Teori Belajar Behavioristik & Kognitif
Teori Belajar Behavioristik & Kognitif
Teori Belajar Behavioristik & Kognitif
Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Dosen Pembimbing:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
lantunan syukur kami haturkan kepada-Nya sehingga kita masih dalam lingkaran
shirot al-mustaqim.
Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada junjungan seluruh umat,
sang penegak kebenaran, Nabi Muhammad SAW karena ajaran beliaulah kita
selamat dari kedzaliman dunia dan akhirat.
Begitu sulitnya menyempurnakan makalah ini sehingga terlalu jauhdari kata layak
dan pantas untuk dikonsumsi oleh para pembaca dan kami menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan semua pihak,
untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
demi terselesaikannya penyusunan makalah ini, yang terlalu banyak untuk
disebutkan satu persatu.
Dengan selesainya makalah ini, kami berharap membawa manfaat bagi pembaca
dan kami sendiri khususnya. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan
kami terima dengan senang hati.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Teori belajar adalah teori yang prakmatik dan eklektik. Teori dengan sifat
demikian ini hampir dipastikan tidak pernah mempunyai sifat ekstrim. Tidak ada
teori belajar yang secara ekstrim memperhatikan aspek siswa saja, aspek guru
saja, aspek kurikulum saja dan sebagainya.
Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu ada. Ada yang lebih
mementingkan proses belajar, ada yang lebih mementingkan sistem informasi
yang diolah dalam proses belajar, dan lain-lain. Namun faktor-faktor lain du luar
titik fokus itu juga selalu diperlukan untuk menjelaskan seluruh persoalan belajar
yang dibahas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan konsep belajar behaviorisme?
2. Apa yang dimaksud dengan konsep belajar kognitivisme?
3. Bagaimana konsep teori belajar behavioristik dan kognitifistik?
4. Apa kelebihan dan kekurangan dari teori belajar untuk materi
pembelajaran tertentu di sekolah?
5. Bagaimana implikasi dari konsep-konsep belajar tersebut?
c. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui definisi konsep belajar behaviorisme
2. Untuk mengetahui definisi konsep belajar kognitivisme
3. Untuk mengetahui konsep belajar behavioristik dan kognitifistik
4. Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan konsep belajar
behaviorisme dan kognitivisme.
5. Untuk mengetahui implikasi dari konsep belajar tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinspip umum atau
kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas
sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.
Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan
Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia.
Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap
lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.
Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari
teori ini adalah
a. Mementingkan faktor lingkungan
b. Menekankan pada faktor bagian
c. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan
mempergunakan metode obyektif.
d. Bersifat mekanis
e. Mementingkan masa lalu
f. Mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil
g. Mementingkan pembentukan reaksi atau respon
h. Menekankan pentingnya latihan
i. Mementingkan mekanisme hasil belajar
j. Mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang
diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku
manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau
reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar
terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya.
Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa
merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
b. Thorndike (1874-1949)
c. Skinner (1904-1990)
1) Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan
jika benar diberi penguat.
2) Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran
digunakan sebagai sistem modul.
3) Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak
digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk
menghindari hukuman.
4) Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya
hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
5) dalam pembelajaran digunakan shapping.
2. Analisis Tentang Teori Behavioristik
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun
dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya
terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program
pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan
program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan
stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan Skiner.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila
hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda
dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus)
harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang
pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika
sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan)
dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar
untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif.
Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar
memperkuat respons.
Ada beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan para ahli
sebelumnya mengenai belajar sebagai sebuah proses hubungan stimulus-response-
reinforcement. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya
dikontrol oleh reward dan reinforcement. Menurut mereka tingkah laku seseorang
senantiasa didasarkan pada kognitif, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan
situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat
langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah.
Jadi kaum kognitifis berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih
bergantung kepada pemahaman terhadap hubungan – hubunganyang ada didalam
suatu situasi. Mereka memberi tekanan pada organisasi pegamatan atas stimuli di
dalam lingkungan serta pada faktor yang mempengaruhi pengematran tersebut.
1. Teori kognitif Gestalt
Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Peletak
dasar teori gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang
pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-
1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hokum-hukum pengamatan,
kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada
simpase. Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang
terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut pandangan gestaltis, semua kegiatan
belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan hubungan, terutama
hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat
kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih
meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan
ganjaran.
Yang menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan
bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu bruner
memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana
murid mengorganisasi bahan pelajaran yang dipelajarai dengan suatu bentuk akhir
yang sesuai dengan tingkat kemajuan anak tersebut. Bruner menyebutkan
hendaknya guru harus memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi
seorang problem solver, seorang scientist, historian atau ahli matematika. Biarkan
murid kita menemukan arti bagi diri mereka sendiri dan memungkinkan mereka
mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang mereka mengerti.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran
behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan
pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar
adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan
dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991:
121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai
hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu
proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh
Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai
sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses
usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai
akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu
perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan
nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat
terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses
berpikir pada anak.
Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar
Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan
struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed Learning
Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized
cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual respon” atau
respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka menerima
kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa hal
tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah
“hypothesized cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis.
Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari
pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam
menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat
penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan
seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas
lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya
asumsi ini juga meliputi penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada
pada level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa
berada pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada
level yang konkrit pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak
dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan kognitif
yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih
proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan
pada analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan
butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak
difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada
melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke
waktu.
Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak
membangun kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur
interaksinya dengan lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan
pada mode ini ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya
tacit knowledge.
Pada mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka
mulai merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk
tulisan, yaitu sebuah system symbol yang akan mereka gunakan dalam
kehidupannya di dunia. Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan
logika internal yang dapat memfasilitasi sebuah hubungan antara sistem
simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem symbol yang digunakan di
sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode concrete symbolic
adalah mode terbesar sebagai target dari matematika sekolah. Karena dalam
matematika anak menggambarkan dan mengoperasikan objek-objek yang
berada di sekitarnya.
Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan
mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan
berpikir pada tahap ini meliputi membuat formula hipotesis dan membuat
penalaran yang proporsional. Oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada
mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan
perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di
berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO:
1). Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang
bahkan tidak saling berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah
kesatuan konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun.
Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu
konsep dengan konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum
dipahami. Beberapa kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap
ini adalah; mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan prosedur
sederhana.
Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini
masih bersifat terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk
pemahaman secara komprehensif. Beberapa koneksi sederhana sudah
terbentuk namun demikian kemampuan meta-kognisi belum tampak pada
tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan
siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau mencacah, mengurutkan,
mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar, menggabungkan dan
melakukan algoritma.
Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta
tindakan dan tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman
beberapa komponen dari satu kesatuan konsep, memahami peran bagian-
bagian bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep
pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang mengidikasikan
kemampuan pada tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan,
menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan, menganalisis,
mengaplikasikan, menghubungkan.
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-
konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar
itu. Dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan sebuah
perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang
merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu teori,
membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta
membangun suatu konsep.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B.Saran
Rida, dkk, 2009. Teori Belajar Aliran Psikologi Behavioristik, Kognitifistik Dan
Humanistik. http://docs.docstoc.com/orig/1594716/9222ca26-61c6-4564-
a5db-c0751a600084. Diakses 17 Januari 2011.