Filsafat Pendidikan Aliran Perenialisme
Filsafat Pendidikan Aliran Perenialisme
Filsafat Pendidikan Aliran Perenialisme
PERENIALISME
A. Hakikat Aliran Perenialisme
Perenialisme berasal dan kata perenial yang diartikan
sebagai continuing througbout the whole year atau lasting
for a very long time (abadi atau kekal dan dapat berarti pula
tiada akhir. Esensi kepercayaan filsafat perenialisme adalah
berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat
abadi. Aliran ini mengambil analogi realita sosial budaya
manusia, seperti realita sepohon bunga yang terus menerus
mekar dari musim ke musim, datang dan pergi, berubah
warna secara tetap sepanjang masa, dengan gejala yang
terus ada dan sama. Jika gejala dari musim ke musim itu
dihubungkan satu dengan yang lainnya seolah-olah
merupakan benang dengan corak warna yang khas, dan terus
menerus sama.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-
kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan
perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan
pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia
(rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi
telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-
kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap
untuk kembali kemasa Iampau itu merupakan konsep bagi
perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu
kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan
bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Filsafasat pendidikan Perenialisme adalah
mengemukakan bahwa situasi dunia saat ini penuh dengan
kekacauan dan ketidak pastian,dan ketidak teraturan
terutama dalam tatanan kehidupan moral,intelektual,dan
sosio kultural,untuk memperbaiki keadaan ini dengan
kembali kepada nilai nilai atau prinsip umum yang telah
menjadi pandangan hidup yang kuat pada zaman dulu abad
pertengahan (Perealisme membicarakan tentang nilai
kebenaran,nilai ini sudah ada pada setiap budaya yang ada
pada masyarakat).
Ciri Utama memandang Perenialisme bahwa keadaan
sekarang adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang
terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpang
siuran, berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang
membutuhkan usaha untuk mengaman lapangan
moral,inteltual dan lingkungan sosial kultural yang lain,ibarat
kapal yang akan berlayar zaman memerlukan pangkalan dan
arah tujuan yang jelas .
Perenialisme mempunyai ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-
ciri itu adalah (Sadullah Uyoh,2004: 23) :
1. Perenialisme berakar pada tradisi filosofis klasik yang
dikembangkan oleh plato, Aristoteles dan Santo Thomas
Aquines.
2. Sasaran pendidikan ialah kemampuan menguasai prinsip
kenyataan, kebenaran dan nilai-nilai abadi dalam arti tak
terikat oleh ruang dan waktu.
3. Nilai bersifat tak berubah dan universal.
4. Bersifat regresif (mundur) dengan memulihkan kekacauan
saat ini melalui nilai zaman pertengahan (renaissance).
Kondisi dunia yang terganggu oleh budaya yang tak
menentu yaang berada dalam kebingungan dan kekacauan
seperti diungkapkan diatas, maka dengan ini memerlukan
usaha serius untuk menyelamatkan manusia,dari kondisi
yang mencekam dengan mencari dan menemukan orientasi
dan tujuan yang jelas,dan ini adalah tugas utama filsafat
pendidikan.perenialisme dalam hal ini mengambil jalan
regresif dengan mengembalikan arahnya seperti yang
menjadi prinsip dasar perilaku yang dianut pada masa kuno
dan dan abad pertengahan.
Motif Perenialisme dengan mengambil jalan regresif
bukanlah hanya nostaligia atau rindu akan nilai nilai lama
untuk diingat atau dipuja,melainkan berpendapat bahwa
nilaai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi
pembaangunan kebudayaan abad ke dua puluh.prinsip
prinsip aksiomatis yang terikat oleh waktu itu terkandung
dalam sejarah.
Perenialisme memiliki dasar pemikiran yang melekat
pada aliran klasik yang ditokohi oleh
plato,aristoteles,augustinus,dan aquinas,perenialisme
dalaam konteks pendidikan ditokohi oleh Robert maynard
Hutchins,Mortimer J.Aadler,dan Sir Richard livingstone.
Prinsip mendasar perenialis kemudian dikembangkan
pula oleh Sayyed Husein Nasr seorang filsuf islam
kontemporer yanh mengatakan bahwa manusia memiliki
fitrah yang sama yang berpangkal pada asal kejadiannya yang
fitri yang memiliki konsekuensi logis pada watak kesucian dan
kebaikan.perenialisme dalam konteks Sayyed Husein Nasr
terlihat hendak mengembalikan kesadaran manusia akan
hakikatnya yang fitri akan membuatnya berwatak kesucian
dan kebaikan.
Dalam perjalanan sejarahnya,perenialisme berkembang
dalam dua sayap yang berbeda yaitu golongan teologis yang
ingin menegkkan supremasi ajaran agama dan dari
kelompok yang skuler yang berpegang teguh dengan ajaran
filsafat Plato Dan Aristoteles.
2. Aritoteles
Aritoteles (384-322 SM), adalah murid Plato, namun
dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya,
yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realism
(realism klasik). Cara berfikir Arithoteles berbeda dengan
gurunya, Plato, yang menekankan berfikir rasional spekulatif.
Arithoteles mengambil cara berfikir rasional empiris realitas.
Ia mengajarkan cara berfikir atas prinsip realitas, yang lebih
dekat dengan alam kehidupan manusia sehari-hari.
Arithoteles hidup pada abad keempat sebelum Masehi,
namun ia dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan.
Karya-karya Arithoteles merupakan dasar berfikir abad
pertengahan yang melahirkan renaissance. Sikap positifnya
terhadap inkuiry menyebabkan ia mendapat sebutan sebagai
Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan
kabahagiaan dan kebajikan, bukanlah pernyataan pemikiran
atau perenuangan pasif, melainkan merupakan sikap
kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Arithoteles dalam Uyo Sadulloh (2008:153)
manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus.
Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam
hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial.
Sebagai makhluk rohani manusia sadar akan menuju pada
proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal,
manusia sempurna. Manusia sebagai hewan rasional
memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam
alam materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih
tinggi, yaitu kehidupan yang abadi, alam supernatural.
3. Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu
pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara
ajaran Kristen dengan filsafat (sebetulnya dengan filsafat
Aritoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar
pemikiran logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus
yang dikembangkan oleh St. Agustinus. Menurut Aquina,
tidak terdapat pertentangan antara filsafat (khususnya
filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya
dapat berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas
Aquina secara terus menerus dan tanpa ragu-ragu
mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Menurut Bertens dalam Uyo Sadulloh (2008:154)
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala
sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptekan oleh Tuhan,
dan tergantung kepada-Nya. Ia mempertahankan bahwa
Tuhan, bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak
mengalir dari Tuhan bagaikan air yang mengalir dari
sumbernya, seperti halnya yang dipikirkan oleh filosof
neoplatonisme dalam ajaran mereka tentang teori
“emanasi”. Thomas aquina menekankan dua hal dalam
pemikiran tentang realitannya, yaitu : 1) dunia tidak diadakan
dari semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak terbatas
pada satu saat saja.
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina
mengemukaan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai
persentuhan dunia luar dan oleh akal budi, menjadi
pengetahuan. Selain pengetahuan manusia yang bersumber
dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan
dengan melalui pengalaman dan rasionya (di sinilai ia
mempertemukan pandangan filsafat idealism, realism, dan
ajaran gerejanya). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme.
Kadang-kadang orang tidak membedakan antara
perenialisme dengan neotonisme. Perenialisme adalah sama
dengan neotonisme dalam pendidikan.