Bab 6 Bentuk Usaha Tetap
Bab 6 Bentuk Usaha Tetap
Bab 6 Bentuk Usaha Tetap
Hal ini bukan berarti penghasilan tersebut bebas dari pemajakan dengan
alasan bahwa sesuai dengan kelaziman internasional, misalnya ketentuan
Pasal 7 OECD Model, penghasilan tersebut hanya dikenakan pajak oleh negara
domisili pengusaha aktivitas pemberi penghasilan tersebut secara siginifikan
masih dijalankan dinegara dimaksud.
Konsep Dasar PE
Pasal 5 dalam OECD Model menjelaskan kepada kita tentang kegiatan usaha
yang seperti apa yang dapat dikatagorikan sebagai PE dan kegiatan apa yang
tidak dapat dikatagorikan sebagai PE.
Dengan demikian konsep PE merupakan konsep yang sangat penting dalam
menentukan hak pemajakan negara negara sumber terhadap penghasilan dari
kegiatan usaha yang dijalankan oleh subjek pajak luar negeri.
Tanpa adanya PE, negara sumber tidak dapat mengenakan pajak atas laba
usaha yang diperoleh perusahaan yang manjadi subjek pajak luar negeri di
negara sumber.
KRITERIA BUT
Didirikan di Indonesia
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
WAJIB PAJAK
NEGARA DOMISILI
KEGIATAN USAHA
NEGARA SUMBER DAPAT MENGENAKAN PAJAK JIKA KEGIATAN USAHA INI ( PASAL 7) )
Terminasi BUT
Terminasi BUT dapat terjadi, antara lain karena:
1. Pemekaran menjadi badan anak perusahaan.
2. Pengambilalihan, atau.
3. Penutupan Usaha atau Pembubaran (Likuidasi).
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan
selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas
nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang
mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri.
UU PPh Pasal 5:
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia, dikenakan pajak di Indonesia melalui bentuk usaha tetap
tersebut.
Ayat (1) Huruf a Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang
berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan
pajak di Indonesia. Huruf b Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor
pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan
pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha
tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada
hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup
usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap. Usaha
atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha
tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara
langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di
Indonesia. Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk
usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk
usaha tetap di Indonesia menjual
produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap
tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada
pembeli
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan
oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di
luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang
dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui
bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia. Huruf c Penghasilan
seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat
dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila
terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut.
Pasal 5 ayat 3:
– Cabang perusahaan;
– Kantor perwakilan;
– Gedung kantor;
– Pabrik;
– Bengkel;
– Perikanan/pertanian/kehutanan/perkebunan.
Keberadaan BUT tipe fasilitas fisik dapat dilihat dari ada atau tidaknya
fasilitas fisik seperti cabang, bengkel, kantor, dsb di negara sumber.
Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain
yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 60 hari (kecuali
ditentukan lain dalam tax treaty dengan negara yang bersangkutan)
– dalam jangka waktu 12 bulan.
Misalnya :
Anak perusahaan sebagai entitas terpisah dari induk perusahaan WPLN, anak
perusahaan mempunyai eksistensi sendiri dan pada umumnya bukan
otomatis dengan sendirinya merupakan BUT dan WPLN dimaksud.
Sesuai dengan pasal 2 ayat 5 UU PPh, subjek pajak BUT adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh:
Contoh
Jumlah 303.600.000
3. Sam Ltd, sebuah perusahaan yang termasuk dalam definisi Badan Usaha Tetap
mempunyai bidang usaha konstruksi. Dalam tahun 2015 , menerima pembayaran
atas jasa konstruksi pembangunan hotel dari PT. Anugerah mengingat telah
memenuhi termin penyelesaian pekerjaan kedua sebesar 50% pada tanggal 6
Juni 2018 sebesar Rp 15.000.000.000. Sam Ltd, tidak memiliki sertifikasi Badan
Usaha Jasa Pelaksanaan Konstruksi yang diterbitkan oleh Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi.
Bagaimana kewajiban pemotongan/ pemungutan pajak penghasilan yang
dilakukan PT. Anugerah terkait dengan transaksi tersebut?
Penghasilan dari usaha sebuah perusahaan yang berdomisili di suatu negara hanya
akan dikenai pajak di negara tersebut, kecuali usaha tersebut dilakukan di negara
sumber melalui “Permanent Establisment atau BUT”
2. Force of Attraction Principle ->Tidak hanya dari kegiatan BUT itu saja, tetapi
juga laba usaha yang berasal dari kegiatan yang dilakukan diluar BUT oleh
kantor pusatnya. Biasanya dalam praktek diambil suatu kompromi, yaitu Force of
Attraction akan diterapkan apabila syarat – syarat tertentu dipenuhi.
Contoh Kasus 1
Brown Sugar suatu BUT di Indonesia dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp
10.000.000.000. ,-
Tarif 20% adalah tariff umum untuk penggenaan PPh 26, namun jika
penghasilan berdomisili di negara treaty partner, maka tarifnya mengikuti tariff
untuk Branch Profit Tax dalam Tax Treaty.
Jika PKP setelah dikurangi Pajak Rp 7.500.000.000. ditanamkan kembali ke
Indonesia maka atas penghasilan tersebut tidak terutang pajak. Sesuai PMK
14/KMK 03./2011.
Contoh Kasus 2
Baklok, Ltd. sebuah perusahaan yang termasuk dalam definisi Badan Usaha
Tetap (BUT) mempunyai bidang usaha konstruksi. Dalam tahun 2013
menerima pembayaran atas jasa konstruksi pembangunan hotel dari PT Langit
Biru mengingat telah memenuhi termin penyelesaian pekerjaan kedua sebesar
50% pada tanggal 8 Oktober 2016 sebesar Rp10.000.000.000,00.
Jasa Konstruksi.
Jawab:
Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final. Dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak maka
penghasilan dari usaha jasa konstruksi tersebut dipotong oleh pengguna jasa
pada saat pembayaran bagian nilai kontrak jasa konstruksi.
Catatan:
BUT diartikan sebagai bentuk usaha tetap. Mungkin pada bagian soal
terdapat kesalahan tulis, bukan badan usaha tetap tetapi bentuk usaha
tetap seperti lazimnya istilah BUT di perpajakan.
BUT adalah "kendaraan" penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar
negeri. Jika BUT sudah didaftarkan di Badora dan memiliki NPWP maka
kewajiban perpajakannya "seperti" subjek pajak dalam negeri. Inilah alasan
kenapa tidak dipotong PPh Pasal 26.
BUT BAKLOK
PKP 100 M (Laba sebelum pajak)
PPh 4% 4 M (final PPh 4 ayat 2)
EAT 96 M
Branch Profit Tax= 20% x 96 M= 19,2M
Catatan: jika laba (EAT) dibawa ke LN tidak ditanamkan di Indonesia.
Contoh Kasus 3
SOAL
Sales 45.0000.000.000.
COGS 25.000.000.000.
Gross Proffit 20.000.000.000.
Expends 10.000.000.000.
EBT 10.000.000.000.
Ditanya:
Berapakah PPh yang harus dibayar BUT Jacks Sparow ? Berdasarkan PMK
14/KMK 03./2011 apa yang akan terjadi sehubungan dengan perpajakan BUT
tersebut, terangkan.
EAT 7.800.000.000.
Dalam UU PPh Pasal 5 ayat 2 ada Biaya yg tidak boleh dibebankan oleh
BUT.
Sales 45.0000.000.000.
COGS 25.000.000.000.
Gross Proffit 20.000.000.000.
B Royalti ktr pst 1.000.000.000.
B Bunga ke ktr pst 2.000.000.000.
B Jasa Mgt ktr pst 2.000.000.000.
Expends DE 10.000.000.000.
EBT sblm korfis 5.000.000.000.
Korfis positif 5.000.000.000. ( Royalti, Bunga dan Jasa Mgt)
EBT 10.000.000.000.
EAT 7.800.000.000.
SOAL TEORI:
LAMPIRAN
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan perpajakan atas penanaman
kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan
Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, perlu
mengatur kembali perlakuan perpajakan atas penanaman kembali Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak
Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK
SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP.
Pasal 1
(1) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Dalam hal Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
ditanamkan kembali di Indonesia, penghasilan dimaksud dikecualikan dari pengenaan Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengecualian dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan apabila
seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri;
b. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pemegang saham;
c. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha
Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau
d. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha
Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
Pasal 2
(1) Seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap
yang ditanamkan kembali di Indonesia yang dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun Pajak
berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi Bentuk Usaha Tetap
yang bersangkutan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/
atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan
kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut
didirikan; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud
berproduksi komersial.
(3) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3) huruf b, selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha
aktif di Indonesia; dan
b. Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal.
(4) Untuk penanaman kembali di Indonesia dalam bentuk:
a. pembelian aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf c; atau
b. investasi berupa aktiva tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf d,
selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan tidak
boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva
tidak berwujud, paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau
investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan.
(5) Dalam hal persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), tidak lagi dipenuhi, atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu
Bentuk Usaha Tetap yang terkait, dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak yang bersangkutan, dan dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi pajak penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
(2) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan, kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan melampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan realisasi penanaman kembali tersebut.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap
dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
b. bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan Tahun Pajak dilakukan
realisasi penanaman kembali.
Pasal 4
(1) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali seluruh Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.
(2) Saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah saat perusahaan yang baru
didirikan tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan manufaktur atau saat
perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau jasa bagi perusahaan selain manufaktur.
(3) Keputusan tentang saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap terdaftar atas nama Direktur
Jenderal Pajak berdasarkan hasil penelitian Kantor Pelayanan Pajak dimaksud, paling lama 6 (enam)
bulan setelah Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap meyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
saat berproduksi komersial.
(4) Penetapan saat berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan
keadaan sebenarnya dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial yang disampaikan oleh
Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak menerbitkan surat keputusan tentang saat berproduksi komersial, saat berproduksi komersial
adalah berdasarkan pemberitahuan tertulis yang disampaikan oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap
yang bersangkutan.
Pasal 5
Dalam hal induk perusahaan dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara
yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, besarnya tarif untuk
menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan
dalam Persetujuan Penghindaran Pajak yang berlaku.
Pasal 6
Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dilakukan koreksi fiskal,
dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pasal 7
Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2008
tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha
Tetap, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
Diundangkan Di Jakarta
pada tanggal 24 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ttd.
PATRIALIS AKBAR
Advertisements