Makalah Materi Kulasi Ilmu Tasawuf
Makalah Materi Kulasi Ilmu Tasawuf
Makalah Materi Kulasi Ilmu Tasawuf
ILMU TASAWUF
ILMU TASAWUF
Di Susun Oleh:
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhamad SAW, para keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umatnya hingga akhir
zaman. Perlu diketahui, bahwa buku daras ini disusun dalam rangka untuk menjadi bahan
referensi bacaan mata kuliah Pengantar Ilmu Tasawuf.
Materi-materi bahasan yang terdapat dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Tasawuf ini
mengambil sosok karakteristik Waliyullah (kekasih allah). Dengan segala kerendahan
hatisaran dan kritik demi perbaikan selanjutnya, penulis sambut dengan senang hati. Dalam
hal ini penulis mengaharapkan saran-saran yang membangun ke arah yang positif demi
perbaikan selanjutnya.
Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada
bapak Drs,AMIN SIHABUDIN,M.Hum selaku dosen pengajar mata kuliah ilmu tasawuf ,
penulis ucapkan banyak terima kasih semoga amal baik senantiasa di terima di sisi Allah
SWT. Amin.
Akhirnya penulis mohon maaf dan maklum yang sebesar-besarnya apabila dalam menusun
dan menyajikannya kurang berkenan. Dengan mengharap ridha Allah SWT, mudah-mudahan
buku daras ini menjadi wasilah sebagai amal shaleh (‘ilmun yun tafa’u bihi). Demikian kata
pengantar ini penulis sampaikan kepada pembaca, saran dan kritik membangun untuk
perbaikan dan penyempurnaan buku ini akan penulis terima dengan senang hati. Dan hanya
kepada Allah SWT kita mengharapkan hidayah dan taufik-Nya. Amin.
Sejarah dan perkembangan tasawuf
Pada masa Rasulullah SAW Islam tidak mengenal aliran tasawuf, dan pada masa
sahabat dan tabi’in (generasi setelah sahabat) mereka itu menuntut ilmu dari para
sahabat. Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud
yang berpakain shuff (pakaian dari bulu domba). Maka karena pakaian inilah
mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu sufi dengan nama
tarekatnnya tasawuf.
Salah satu argumen yang mengatakan bahwa tasawuf sudah ada pada masa
Rasulullah SAW adalah perilaku nabi yang sering melakukan tahannus di Gua
Hiro sebelum turunnya wahyu. Pertapaan tersebut dilakukan rasul sebagai sebuah
upaya untuk menenangkan jiwa, menyucikan diri sebagai persiapan untuk
menerima sabda yang agung yaitu wahyu Al- Qur’an. Dalam proses itu rasul
melakukan riyahah dengan bekal secukupnya, pakaian sederhana yang jauh dari
kemewahan dunia. Setelah menjalani proses tersebut jiwa rasul telah mencapai
tingkat spiritual yang benar-benar siap menerima wahyu dari Jibril.
Memasuki abad ke tiga dan ke empat hijriyah tasawuf kembali menjalani babak
baru. Pada masa ini tema yang di angkat para sufi lebih mendalam. Berawal dari
perbincangan seputar akhlak dan pekerti, mereka mulai ramai membahas tentang
hakikat Tuhan, esensi manusia serta hubungan antara keduanya dan dari sini
muncul tema-tema semacam makrifat, fana, zauq.
Dari realitas ini dapat disimpulkan bahwa tasawuf mulai menemukan identitasnya.
Tasawuf mulai berkembang dan menjafi satu disiplin ilmu yang berbeda dengan
fiqih, tafsir, hadits dan kalam. Memasuki abad ke 6 dan ke 7 hijriyah tasawuf
kembali menemukan suatu bentuk pengalaman baru. Bersentuhan tasawuf dengan
filsafat berhasil mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal
dengan istilah teosofi. Dari sinilah kemudian muncul 2 parian tasawuf, sunni
dengan coraknya amali dan falsafi dengan corak iluminatifnya.
Gambaran ini menunjukan, bahwa tarekat itu adalah tasawuf yang telah berkembang dengan
beberapa versi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada
muridnya, karena ajaran pokok tarekat adalah sama dengan ajaran tasawuf.
Dengan demikian jelaslah hubungan antara tasawuf dengan tarekat, yaitu: tarekat itu bermula
dari tasawuf dan berkembang dengan berbagai macam faham dan aliran, yang tergambar
dalam adanya thuruqush sufiah (aliran-aliran tarekat) sehingga belakangan ini seseorang yang
hendak berkecimpung dalam kehidupan tasawuf pada umumnya adalah melalui aliran tarekat
yang sudah ada.
Dengan metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya
untuk menghindari akhlak mazmumah (perilaku buruk) dan
mewujudkan akhlak mahmudah (perilaku baik).
Oleh karena itu, dalam tasawuf akhlaki mempunyai sistem pembinaan akhlak
yang disusun sebagai berikut:
Takhalli
Merupakan langkah pertama yang yang harus dilakukan oleh seorang sufi.
Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku tercela.
Tahalli
Upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan
sikap, perilaku, dan akhlak terpuji.
Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-
akhlak tercela.
Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui fase tahalli, maka
rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli.
Kata tajalli bermakna terbukanya hijab sehingga tampak jelas nur ilahi.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT yang artinya, “Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musa pun jatuh pingsan ,” (QS. Al-A'raf: 143).
2. Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan pada gabungan teori-teori
tasawuf dan filsafat atau yang bermakna mistik dan metafisis. Tasawuf ini
dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filsuf.
3. Tasawuf Syi'i
Tasawuf kontemporer
Kembali kepada sejarah bahwa lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam – diawali
(secara internal) dari ketidakpuasan terhadap praktek Islam yang cendrung formalisme dan legalisme,
dan juga sebagai reaksi terhadap ketimpangan politik, moral, dan ekonomi di kalangan umat Silam,
khususnya di kalangan penguasa. Pada saat dmeikian tasawuf tampil memberikan solusi.
Solusi tasawuf terhadap formalisme dan legalisme dengan spiritualitasi ritual, pembenahan
dan transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin. Sedangkan reaksi terhadap sikap politik,
penguasa dan ekonomi sebagai akibat diraihnya kemakmuran, yang menimbulkan sikap kefoya-
foyaan materiil, adalah dengan penampakan sikap isolasi diri dari hiruk pikuknya kehidupan yang
berorientasi dunawi, dan menanamkan sikap sedia miskin.
Gerakan tersebut di satu sisi bisa dikatakan sebagai reaksi sosial, dan di sisi lain bisa
dikatakan sebagai tanggung jawab sosial. Gerakan seperti ini adalah cocok pada masa itu, namun
pada masa sekarang perlu dipertanyakan.
Ketika hal ini dibicarakan, maka akan teringat pendapat Emile Durkheim, bahwa pemikiran
dan perkembangan pribadi tidak bisa terlepas sama sekali dari setting sosialnya (Doyle, Paul
Johasan, 1994, Emile Durkheim, 1993)
Tasawuf pada masa sekarang mempunyai tanggung jawab sosial lebih berat dari pada masa
lalu. Untuk memberi jawaban bagaimana tanggung jawab sosial tasawuf pada zaman modern ini,
maka terlebih dahulu akan diketengahkan bagaimana ciri masyarakat modern itu.
Masyarakat modern ditandai oleh lima ciri pokok, yakni:
Husen Nasr dalam "Islam and tha Pligh of Modern Man" menyatakan bahwa akibat
masyarakat modern yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan mereka
berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat, sementara
pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan, hidup dalam keadaan sekuler.
Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang dikatakan the Post Industrial Society telah
kehilangan visi keilahian (Komaruddin).
Kehilangan visi keilahian ini bisa mengakibatkan timbulnya gejala psikologis, yakni adanya
kehampaan spiritual. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat nasionalisme tidak
mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital
yang hanya bisa digali dari sumber wahyu Ilahi.
Melihat gejala manusia modern yang penuh problema tersebut, Husen Nasr, seorang ulama'
Iran menawarkan alternatif terapi agar mereka mendalami dan menjalankan praktek tasawuf. Sebab
tasawuflah yang dapat memberikan jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka. Dalam
pandangan tasawuf, penyelesaian dan perbaikan keadaan itu tidak dapat tercapai secara optimal jika
hanya dicari dalam kehidupan lahir.
Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan masa depan
manusia, seperti introspeksi (muhasabah) baik dalam kaitannya dengan masalah-masalah vertikal
maupun horizontal, kemudian meluruskan hal-hal yang kurang baik.
Sebagai akibat modenisasi dan industrialisasi, kadang manusia mengalami degradasi moral
yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern seperti sekarang ini sering
menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi yang
gemerlap ini. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut adalah al-hirsh, al-hasud dan riya'.
Memang diakui oleh para ahli tasawuf, bahwa manusia dalam kehidupanmya selalu
berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya. Agar hawa nafsu seseorang
dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan
berbagai cara, seperti riyadhah (latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) sebagai sarana
untuk melawan hawa nafsunya tadi. Cara pembinaannya melalui tiga tahapan, yakni tahap
pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri
dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar Ilahi (tajalli).
Tasawuf pada masa sekarang tidak lagi menjauhi kekuasaan, sebagaimana yang dilakukan
oleh para sufi klasik. Akan tetapi tampil di tengah-tengah percaturan politik dan masuk ke dalam
"kekuasaan". Sebab menjauhinya menunjukkan ketidakberdayaan dan kelemahan. Apabila pada
masa klasik ada fatwa untuk menjauhi dan bersikap oposan terhadap kekuasaan, hal itu sedikit bisa
dibenarkan karena kekuasaan pada waktu itu bersifat individual, sementara itu kini kekuasaan
bersifat kolektif.
Satu hal lain yang menjadi kenyataan masyarakat dunia adalah masyarakat majemuk (plural),
yakni masyarakat yang beraneka ragam, baik agama, suku, daerah, adat istiadat, maupun yang
lainnya.
Pluralitas masyarakat modern dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sebab telah menjadi
sunnatullah, tidak ada hidup tanpa pluralitas dalam arti antar umat. Dan dalam pengertian yang sudah
luas lagi, pluralitas dalam berbagai bidang pun tidak bisa dipungkiri lagi, seperti ras, suku, watak, dan
sebagainya. Di sini tasawuf akan melihat hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan yang berasal-usul
satu, yakni Adam a.s.
Ilmu tasawuf merupakan salah satu daripada cabang ilmu agama Islam yang utama yakni
ilmu Tauhid (Ushuluddin) dan ilmu Fiqih. Jika dalam ilmu Tauhid mempelajari
mengenail I’tiqad (kepercayaan) seperti I’tiqad (kepercayaan) mengenai hal Ketuhanan,
kerasulan, hari akhir, ketentuan qadla’ dan qadar Allah dan sebagainya, dan
ilmu Fiqih tentang hal-hal yang berkaitan dengan ibadah yang bersifat lahir, maka
ilmu Tasawuf ini membahas mengenai hal yang berkaitan dengan akhlak, amalan ibadah,
budi pekerti, taubat, sabar, dan lain-lainnya.
Ilmu tasawuf dikenal juga dengan sebutan ilmu sufisme. Singkatnya, ilmu tasawuf atau
sufisme ini ialah ilmu yang mempelajari atau mengetahu bagaimana cara untuk mensucikan
jiwa, membangun akhlaq yang baik dan benar secara lahir dan bathin, serta demi memperoleh
kebahagian yang kekal.
Dasar – Dasar Tasawwuf
Sesuai kesepakatan para alim ulama dan para pengkaji ilmu tasawuf, menyatakan bahwa
dasar daripada ilmu tasawuf ialah zuhud; yakni merupakan implimentasi atau penerapan
daripada nash-nash Al-Qur’an dan hadist, yang berlandaskan kepada akhirat dan usaha untuk
menjauhkan diripada kesenangan dunia yang berlebihan agar terbentuk diri yang suci dan
bertawakkal kepada Allah SWT, mengharap ridha serta takut kepada ancaman dan larangan
Allah.
1. Firman Allah SWT yang dijadikan sebagai landasan kezuhudan dalam kehidupan
dunia, yakni (yang artinya): “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat
akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki
keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan
tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (Q. S. Asy-Syuura : 20).
2. Firman Allah yang memerintahkan kepada orang-orang beriman agar selalu
menyiapkan bekal amal ibadah untuk akhirat, yang artinya: yang
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-
tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan
kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada
azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia
Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Q. S. Al-Hadid: 20).
3. Firman Allah SWT berkaitan dengan kewajiban seorang mukmin untuk selalu
bertawakkal kepada Allah, yang artinya: “Dan memberinya rezki dari arah yang
tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-
tiap sesuatu.” (Q. S. Ath-Thalaq: 3).
4. Firman Allah yang berkaitan dengan rasa takut dan hanya berharap kepada-Nya; yang
artinya; “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa
kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap. Maksud dari perkataan Allah
Swt : “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya” adalah bahwa mereka tidak tidur
di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam.” (Q. S. As-
Sajadah : 16). Adapun yang dimaksud dengan “Lambung mereka jauh dari tempat
tidurnya” ialah mereka yang tidak tidur pada waktu dimana biasanya orang lain telah
terlelap, yakni untuk melaksanakan ibadah atau shalat malam.
Secara etimologi, psikologi memiliki arti ilmu-ilmu tentang jiwa. Dalam Islam, istilah
jiwa memiliki kesamaan padangan dengan kata nafs, meski ada juga yang
menyamakan dengan istilah ruh. Namun begitu, istilah nafs lebih populer
penggunaannya daripada istilah ruh. Dan dengan demikian, psikologi dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al nafs atau ilmu al ruh.
Selanjutnya, istilah ilmu al nafs banyak dipakai dalam literatur psikologi Islam,
meskipun sebenarnya term al nafs tidak dapat disamakan dengan istilah-istilah
psikologi kontemporer yang hanya memberikan fokus kajian pada aspek psikis
manusia, hal demikian dikarenakan al nafs merupakan gabungan substansi jasmani
dan ruhani. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang relatif baru, psikologi baru dikenal
pada akhir abad ke-18 M, meskipun akarnya telah menghujam jauh ke dalam
kehidupan primitive umat manusia sejak zaman dahulu kala. Plato sudah
mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, sedangkan badannya hanyalah sekedar
alat saja. Aristoteles, berbeda dengan Plato, juga pernah mengatakan bahwa jiwa
adalah fungsi dari badan seperti halnya penglihatan adalah fungsi dari mata.
Meskipun kajian tentang jiwa sudah ada sejak zaman Plato di Yunani, namun kajian
tentang jiwa tersebut selanjutnya menghilang bersama dengan runtuhnya
peradaban Yunani. Kemudian ketika pemikir-pemikir Islam mengisi panggung
sejarah melalui gerakan penterjemahan dan kemudian komentar serta karya orisinil
yang dilakukan pada masa Daulah Abbasysyiyah, esensi dari pemikiran Yunani
diangkat dan diperkaya.
Namun begitu, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemahaman jiwa
(nafs) oleh para ulama’ generasi pertama tidaklah diilhami dari pemikiran Yunani,
tetapi dari al Qur’an dan Hadits. Hal ini bisa kita lihat dalam al Qur’an yang
banyak menyebut kata nafs termasuk juga dalam hadits-hadits nabi.
Dalam psikologi humanistik, manusia dikendalikan bukan oleh faktor eksternal dan
kekuatan tidak sadar, melainkan oleh potensi manusia sendiri yang bersifat kodrati.
Sifat kodrati yang dalam bahasa tasawuf disebut fitrah. Fitrah manusia bisa
dipengaruhi dengan mudah bila tidak ada kesadaran diri untuk menjaga. Di sinilah
letak kesamaannya bahwa kodrat manusia dikendalikan oleh dirinya walaupun juga
ada potensi untuk dipengaruhi apa yang menjadi kodratnya..
Tasawuf menempatkan puncak kesadaran ada pada hati, begitu pula puncak
kecerdasan seseorang ada pada kecerdasan spiritual. Dan dalam memperoleh
pengetahuan tidak hanya tergantung pada kemampuan nalar logika dan rasional,
tapi juga bisa melalui jalan penyucian diri. Di sini, nalar logika tidak terlalu
memberikan pengaruh banyak terhadap pengetahuan yang ia peroleh khususnya
pengetahuan yang erat kaitannya dengan pengalaman spiritual. Namun perbedaan
itu bukanlah perbedaan yang berakibat pada pengaruh antar individu disebabkan
perbedaan sudut pandang.
Inilah nafs yang belum dimurnikan atau dibersihkan oleh cahaya hati dan menjadi
sumber segala jenis kejahatan. Nafs ini menghiasi perbuatan-perbuatan manusia
dengan berbagai jenis keburukan, kemurkaan dan keinginan menguasai.
Dalam hal ini nafs amarah memiliki sepuluh sifat buruk, yaitu: penentang, pemarah,
pendendam, kejam, sombong dan angkuh, pendengki, iri hati, tamak dan serakah,
ingkar serta munafik.
Istilah nafs yang penuh penyesalan didapatkan oleh kaum sufi dari ayat Al-Qur’an,
“Aku bersumpah dengan hari Kiamat, dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu
menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah [75]: 1-2).
Nafs yang diberi ilham (nafs muhmalah) adalah nafs yang diilhami oleh Allah swt
untuk mampu membedakan antara jalan petunjuk yang benar dan jalan kesesatan.
Para sufi mendapatkan istilah ini dari ayat Al-Qur’an, “Demi jiwa serta
penyempurnaan (ciptaan)nya,maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan
dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syam [91]: 7-8).
Nafs ini biasanya akan menghindari semua hal yang berbau kejahatan dan
cenderung kepada berbagai hal yang merupakan kebaikan.
Pada masa Rasulullah saw belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada
waktu itu hanyalah sebutan sahabat Nabi saw. Menurut Amin Syukur, inti
tasawuf ialah kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara
manusia dengan Tuhannya. Tasawuf di sini adalah usaha bagaimana
seseorang membersihkan jiwanya, membersihkan jiwa atau roh dengan
jalan menghilangkan sifat-sifat buruk.
Tasawuf bertujuan agar ketujuh tingkat kesadaran ini dapat bekerja secara
seimbang dan selaras. Banyak sistem psikologi dan spiritual yang hanya
menekankan kepada fungsi satu atau dua tingkat kesadaran tersebut.
Fungsi psikis kita berakar dari jiwa yang terletak Dalam tasawuf yang
mempunyai arti pendekatan pada Tuhan, maka kita sangat memperhatikan
bahwa ajaran tasawuf yang mempunyai tingkatan-tingkatan itu, dapat
digunakan untuk penyembuhan penyakit yang ada dalam diri manusia,
terutama masalah jiwa.
Di atas telah dijelaskan jiwa yang mempunyai banyak arti, di sini, bila jiwa
kita jelek, maka akan berpengaruh pada diri kita. Hanya dengan ajaran
tasawuf lah, kita dapat mengembangkan diri agar dengan berdzikir, dan
lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Ajaran tasawuf dapat berperan sebagai pelindung berbagai penyebab
masalah. Ada hubungan timbal balik antara ajaran tasawuf dengan
penyakit jiwa. Bahwa seseorang yang dengan tekun beribadat secara rutin,
ternyata memiliki resiko lebih rendah untuk terkena penyakit.
atatan sejarah penyebaran Islam di Nusantara tidak terlepas dari para dai mistik yang
berhaluan tasawuf, terutama dilakukan oleh para Wali Songo. Berbagai sumber sejarah,
kitab-kitab klasik, dan manuskrip tidak sedikit yang berisi ajaran-ajaran tasawuf yang
berkaitan dengan penyucian lahir dan batin, seperti yang ada di Serat Centini. Mengkaji
tentang tasawuf tentu tidak lepas dari seorang hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad
Al-Ghazali. Namun, tidak hanya ilmu pembukaan hati (mukasyafah), tetapi Al-Ghazali
juga mengajarkan ilmu pengamalannya (mu’amalah). Hal ini menunjukkan bahwa Al-
Ghazali mengintegrasikan antara ilmu syariat dan hakikat. ADVERTISEMENT Imam Al-
Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin menegaskan sikapnya terkait dikotomi ilmu
tasawuf dan syariat berupa hukum fiqih. Ia menentang keras orang-orang tasawuf yang
mengingkari ibadah ritual. Justru menurut penganggit kitab Ihya’ Ulumiddin ini, ibadah
ritual perlu dikembangkan dan dipelihara dengan menanamkan arti, makna, dan
rahasia amaliah di balik kandungan ritual ibadah tersebut. Baca juga: Kriteria Ulama
yang Dapat Diikuti: Mewarisi Akhlak Nabi Sebagai contoh bersuci atau berwudhu,
menurut Al-Ghazali tidak cukup hanya menuangkan air dan membersihkan badan dari
kotoran dan najis, tetapi jauh lebih dari itu, yakni meliputi: Pertama, membersihkan
lahir (anggota-anggota badan) dan hadats dan berbagai kotoran. Kedua, membersihkan
hati dari tingkah laku dan akhlak tercela. Ketiga, menyucikan anggota badan dari
perbuatan-perbuatan dosa. Keempat, membersihkan diri dari pengabdian selain Allah
SWT. ADVERTISEMENT Berdasarkan ajaran Al-Ghazali itulah para penganut tasawauf di
Jawa pada abad ke-19 mengajarkan tiga tingkatan bersuci dan empat tingkatan
sembahyang yang bukan hanya sekadar aktivitas lahiriah semata, tetapi juga proses
batiniah. Baca juga: Menjaga Akhlak di Era Digital ADVERTISEMENT Prinsip ajaran
esoteris dan eksoteris yang disampaikan Al-Ghazali di atas juga termaktub dalam Serat
Centini. Dalam kitab Centini, tiga tingkatan bersuci dimaksud ialah, Pertama, bersuci
membersihkan badan atau raga dengan air sebagaimana berwudhu dan mandi. Kedua,
bersuci membersihkan mulut secara lahir dan batin sehingga tidak hanya dalam
pengertian makan, tetapi juga baik dalam kata dan tutur. Ketiga, bersuci membersihkan
hati. Adapun empat tingkatan sembahyang dalam kitab Centini ialah; Pertama, sembah
raga. Ini sama dengan shalat dalam syariat. Kedua, sembah cipta yang bisa disamakan
dengan proses bertarekat. Ketiga, sembah jiwa atau hakikat. Keempat, sembah rahsa
atau yang dikenal sebagai proses menuju makrifat. Ketiga tingkatan bersuci dan
keempat tingkatan sembahyang tersebut harus dilaksanakan secara utuh, lengkap, dan
tidak boleh hanya salah satu saja. Hal ini sesuai dengan prinsip ajaran syariat dan
hakikat dari Imam Al-Ghazali yang harus menyatu satu sama lain.
REFERENSI:
Sumber: https://islam.nu.or.id/tasawuf-dan-akhlak/tuntunan-penyucian-jiwa-menurut-
al-ghazali-dan-serat-centini-jutGx
.HAMKA TASAWUF MODERN