Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah Materi Kulasi Ilmu Tasawuf

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH MATERI KULASI

ILMU TASAWUF

Di Buat Untuk Memenuhi Tugas

ILMU TASAWUF

Drs ,AMIN SIHABUDIN ,M.Hum

Di Susun Oleh:

BAYU SAPUTRA (2220501034)

DAKWAH DAN KOMUNIKASI

KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN FATAH PALEMBANG

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhamad SAW, para keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umatnya hingga akhir
zaman. Perlu diketahui, bahwa buku daras ini disusun dalam rangka untuk menjadi bahan
referensi bacaan mata kuliah Pengantar Ilmu Tasawuf.
Materi-materi bahasan yang terdapat dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Tasawuf ini
mengambil sosok karakteristik Waliyullah (kekasih allah). Dengan segala kerendahan
hatisaran dan kritik demi perbaikan selanjutnya, penulis sambut dengan senang hati. Dalam
hal ini penulis mengaharapkan saran-saran yang membangun ke arah yang positif demi
perbaikan selanjutnya.
Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada
bapak Drs,AMIN SIHABUDIN,M.Hum selaku dosen pengajar mata kuliah ilmu tasawuf ,
penulis ucapkan banyak terima kasih semoga amal baik senantiasa di terima di sisi Allah
SWT. Amin.
Akhirnya penulis mohon maaf dan maklum yang sebesar-besarnya apabila dalam menusun
dan menyajikannya kurang berkenan. Dengan mengharap ridha Allah SWT, mudah-mudahan
buku daras ini menjadi wasilah sebagai amal shaleh (‘ilmun yun tafa’u bihi). Demikian kata
pengantar ini penulis sampaikan kepada pembaca, saran dan kritik membangun untuk
perbaikan dan penyempurnaan buku ini akan penulis terima dengan senang hati. Dan hanya
kepada Allah SWT kita mengharapkan hidayah dan taufik-Nya. Amin.
 Sejarah dan perkembangan tasawuf

SECARA historis tasawuf adalah pemandu perjalanan hidup umat manusia agar


selamat dunia dan akhirat. Hal itu karena tasawuf menjadi salah satu khazanah
intelektual muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Tidaklah
berlebihan jika misi utama kerasulan Nabi Muhammad SAW untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia. Sejarah juga mencatat bahwa faktor
pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya
yang prima.
 
Tasawuf baru muncul setelah masa sahabat dan tabi’in, tidak muncul pada masa
Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa nabi kondisinya tidak membutuhkan
tasawuf. Perilaku umat pada masa itu sangat stabil. Selain itu, dari sudut pandang
akal, jasmani, dan rohani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara
seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya prakmatisme, materialisme,
dan hedonisme. 

Tasawuf sebagai sebuah gerkan perlawanan terhadap budaya materialisme belum


ada, bahkan tidak dibutuhkan. Nabi, para sahabat, dan para tabi’in pada
hakikatnya sudah sufi. Mereka mempraktekkan selalu terhadap hal-hal yang tidak
pernah mengagungkan kehidupanm dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu
ingat kepada Allah sebagai sang khaliq. 

Pada masa Rasulullah SAW Islam tidak mengenal aliran tasawuf, dan pada masa
sahabat dan tabi’in (generasi setelah sahabat) mereka itu menuntut ilmu dari para
sahabat. Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud
yang berpakain shuff (pakaian dari bulu domba). Maka karena pakaian inilah
mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu sufi dengan nama
tarekatnnya tasawuf. 

Salah satu argumen yang mengatakan bahwa tasawuf sudah ada pada masa
Rasulullah SAW adalah perilaku nabi yang sering melakukan tahannus di Gua
Hiro sebelum turunnya wahyu. Pertapaan tersebut dilakukan rasul sebagai sebuah
upaya untuk menenangkan jiwa, menyucikan diri sebagai persiapan untuk
menerima sabda yang agung yaitu wahyu Al- Qur’an. Dalam proses itu rasul
melakukan riyahah dengan bekal secukupnya, pakaian sederhana yang jauh dari
kemewahan dunia. Setelah menjalani proses tersebut jiwa rasul telah mencapai
tingkat spiritual yang benar-benar siap menerima wahyu dari Jibril. 

Memasuki abad ke tiga dan ke empat hijriyah tasawuf kembali menjalani babak
baru. Pada masa ini tema yang di angkat para sufi lebih mendalam. Berawal dari
perbincangan seputar akhlak dan pekerti, mereka mulai ramai membahas tentang
hakikat Tuhan, esensi manusia serta hubungan antara keduanya dan dari sini
muncul tema-tema semacam makrifat, fana, zauq. 

Dari realitas ini dapat disimpulkan bahwa tasawuf mulai menemukan identitasnya.
Tasawuf mulai berkembang dan menjafi satu disiplin ilmu yang berbeda dengan
fiqih, tafsir, hadits dan kalam. Memasuki abad ke 6 dan ke 7 hijriyah tasawuf
kembali menemukan suatu bentuk pengalaman baru. Bersentuhan tasawuf dengan
filsafat berhasil mencetak tasawuf menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal
dengan istilah teosofi. Dari sinilah kemudian muncul 2 parian tasawuf, sunni
dengan coraknya amali dan falsafi dengan corak iluminatifnya.

 Perkembangan tasawuf di indonesia


 Perkembangan tasawuf di Pulau Jawa
Islam masuk ke pulau Jawa tidak bisa dilepaskan dalam konteks masuknya Islam di
Nusantara. Begitu juga dengan tasawuf, masuknya tasawuf di Pulau Jawa tidak bisa
dilepaskan konteks masuknya Islam di Nusantara khusunya Pulau Jawa. Orang banyak
menyebut bahwa Pulau Jawa adalah pulaunya wali songo, karena Islam tersebar di pulau ini
tidak lepas dari kegigihan perjuangan para wali, yang disebut dengan “Wali Songo”. Islam di
Pulau Jawa juga menyebabkan lahirnya beberapa kerajaan islam. Kerajaan Islam di Jawa
mulai berdiri pada abad ke 15 . Tetapi jika dilihat datangnya Islam ke Pulau Jawa bisa
diperkirakan sejak abad ke 11 yakni dibuktikan dengan penemuan nisan-kubur di Leran
(Gresik) dalam huruf Kufi yang memuat nama Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang
wafat tahun 475 H / 1082 M.    
Dengan demikian, tersebarnya  Islam di Jawa lebih cenderung pada pendekatan
keteladanan dan jiwa kesufian yang ditampilkan oleh para wali songo yakni dengan
pendekatan tasawuf.[11] Adapun jenis tasawuf yang memberikan kontribusi lebih banyak
mengenai proses islamisasi di Indonesia adalah tasawuf suni. Model pengajaran tasawuf suni
yang diperkenalkan para da’i alawiyyin memotori proses Islamisasi di Nusantara sejak abad
ke 13 di Sumatera dan mengalami kemajuan pesat di Jawa pada abad ke  15-16 dengan tokoh
sentral wali songo.
Diantara ulama sufi yang sangat berpengaruh di Pulau Jawa antara lain
1.   Wali Songo
Corak tasawuf yang dianut oleh para wali songo adalah tasawuf suni. Ini bisa dilihat
padakecenderungan mereka terhadap tokoh tasawuf sunni misalnya al-Ghazali.
2.   Abd. Muhyi Pamijah
Corak tasawuf yang dianut oleh Abd. Muhyi Pamijahan menurut penulis sendiri adalah
tasawuf falsafi. Sebagaimana konsep martabat tujuh yang ia pegang dengan penjelasan-
penjelasan yang menggunakan istilah khas dan lambnag-lambang filosofis yang penuh
dengan karakteristik mistik.
3.   Ranggawarsita
Corak tasawuf yang dianut oleh Ranggawarsita menurut penulis sendiri adalah tasawuf
falsafi. Sebagaimna bentuk ajaran union-mistik (paham yang mengajarkan kesatuan antara
manusia dengan Tuhan).
4.   Syaikh Siti Jenar
Corak tasawuf yang dianut oleh Syeikh Siti jenar menurut penulis sendiri adalah tasawuf
falsafi. Yaitu bentuk ajarannya yang bernama Manunggaling Kawulo Gusti (Menyatunya
Tuhan dengan manusia).

 Perkembangan tasawuf di Pulau Sumatera


Tasawuf berkembang di Pulau Sumatera, terkait erat dengan sejarah masuknya Islam itu
sendiri. Masuknya Islam di Pulau Sumatera mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi
penyebaran Islam di Nusantara. Hampir semua sejarawan sepakat bahwa Islam pertama kali
masuk ke Nusantara bermula di Pulau Jawa yang lebih tepatnya di Aceh.
Perkembangan tasawuf di Sumatera tidak terlepas dari upaya maksimal ulama sufi yang
bermukim di beberapa daerah di Pulau Sumatera untuk mengembangkan ajarannya. Ulama-
ulama sufi yang berpengaruh di Pulau Sumatera antara lain :
1.        Hamzah Fansuri
Corak tasawuf yang dianut oleh Hamzah Fansuri adalah tasawuf falsafi. Hal ini dilihat dari
hasil penelitian para peneliti yang menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri adalah orang
pertama yang menjelaskan paham wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi untuk kawasan Asia
Tenggara.
2.        Nuruddin Al-Raniri.
Corak tasawuf yang dianut oleh Nuruddin Al-Raniri adalah tasawuf sunni. Hal ini dilihat dari
sikap Al-Raniri yang cenderung sangat menentang aliran panteisme pada umumnya, yang
menurutnya sesat bahkan ateis. Khususnya lagi, pendapat-pendapat Fansuri.
3.        Syamsudin Sumaterani
Corak tasawuf yang dianut oleh Syamsudin Sumaterani adalah tasawuf falsafi. Karena beliau
murid Hamzah Fansuri yang mengajarkan paham  wujudiyyah. Dan tentang pemikiran
tasawufnya yang membahas tentang martabat tujuh dan sifat dua puluh Tuhan.
4.        Abd. Shamad Al-Palimbani
Corak tasawuf yang dianut oleh oleh Abd. Shamad Al-Palimbani adalah tasawuf suni. Beliau
adalah figur yang mencerminkan kesinambungan pengaruh tasawuf suni dalam melanjutkan
pemikiran-pemikiran Al-Raniri. Dan juga belaiu adalah tokoh tasawuf suni yang
menggantikan posisi Al-Raniri dalam pergelutan pemikiran melawan pengikut Hamzah
Fansuri.

 Perkembangan tasawuf di Pulau Sulawesi


Perkembangan tasawuf di Pulau Sulawesi tidak jauh berbeda dengan keadaan di pulau
lain. Di mana ajaran tasawuf yang diterimanya ada yang bercorak sunni dan ada yang
bercorak falsafi. Sejarah dan pemikiran tasawuf juga mulai berkembang ke wilayah nusantara
timur, yakni di gugusan pulau-pulau Sulawesi, tepatnya adalah Buton dan Makasar.
Ulama-ulama sufi yang mengajarkan tasawuf di Pulau Sulawesi antara lain :
1.      Muhammad Aidrus
Corak tasawuf yang dianut oleh Muhammad Aidrus menurut penulis adalah tasawuf falsafi
kemudian berpindah menuju tasawuf sunni. Ia mengikuti corak tasawuf falsafi dengan bukti
terdapat pemikiran beliau mengenai fana’ dan baqa’. Kemudian ia menuju corak tasawuf
sunni dengan bukti ajarannya tentang zikir.
2.      Haji Abdul Ghani
Corak tasawuf yang dianut oleh Haji Abdul Ghani adalah tasawuf sunni. Hal ini bisa dilihat
dalam sejumlah karyanya yang dapat dipahami bahwa aspek tasawuf beliau adalah pengikut
Imam Al-Ghazali.
3.      Haji Abdul Hadi.
Corak tasawuf yang dianut oleh Haji Abdul Hadi adalah tasawuf sunni. Dikatakan demikian
karena terdapat pemikirannya tentang pentingnya syari’at dalam bertasawuf.
4.      Syaikh Yusuf Al-Makassari.
Corak tasawuf yang dianut oleh Syaikh Yusuf Al-Makassari adalah tasawuf falsafi. Hal itu
diketahui karena terdapat naskah karya Syaikh Yusf Al-Makassari yang berjudul Zubdat Al-
Asrar berisi ajaran tentang wujudiyyah.
 Perkembangan tasawuf di Pulau Kalimantan
Perkembangan tasawuf di Pulau Kalimantan sama halnya pulau lain di Nusantara. Di
mana ulama bermukim di sana berupaya semaksimal mungkin untuk menyebarkan ajaran
tasawufnya.
Ulama-ulama yang menyebarkan tasawuf di Pulau Kalimantan antara lain :
1.      Muhammad Arsyad Al-Banjari
Corak tasawuf yang dianut oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari adalah tasawuf sunni. Hal ini
bisa dilihat dari upaya Arsyad untuk memelihara akidah umat Islam dan memelihara ajaran-
ajaran agama dengan memberikan fatwa penjatuhan hukuman mati terhadap H. Abdul
Hamid.
2.      Ahmad Khatib Al-Sambasi.
Corak tasawuf yang dianut oleh Ahmad Khatib Al-Sambasi adalah tasawuf sunni. Hal ini bisa
dilihat dari kedua ajaran tarekatnya yang menekankan pentingnya syariat dan menentang
paham wahdat al-wujud.

 Tasawuf Dan Tarekat

HUBUNGAN TASAWUF DENGAN TAREKAT


Sebagaimana telah di ketahui, bahwa tasaawuf itu secara umum adalah usaha untuk
medekatkan diri kepada Tuhan. Mendekatkan diri ini biasanya selalu di bawah bimbingan
seorang guru/syaikh. Ajaran-ajaran tasawuf yang merupakan jalan yang harus ditempuh
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, itulah sebenarnya tarekat. Dengan demikian dapatlah
dikatakan, bahwa tasawuf itu adalah usaha mendekatkan diri kepada Tuhan, sedangkan
tarekat itu adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri
itu kepada Tuhan.

Gambaran ini menunjukan, bahwa tarekat itu adalah tasawuf yang telah berkembang dengan
beberapa versi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada
muridnya, karena ajaran pokok tarekat adalah sama dengan ajaran tasawuf.

Dengan demikian jelaslah hubungan antara tasawuf dengan tarekat, yaitu: tarekat itu bermula
dari tasawuf dan berkembang dengan berbagai macam faham dan aliran, yang tergambar
dalam adanya thuruqush sufiah (aliran-aliran tarekat) sehingga belakangan ini seseorang yang
hendak berkecimpung dalam kehidupan tasawuf pada umumnya adalah melalui aliran tarekat
yang sudah ada.

Tarekat-tarekat yang berkembang di Indonesia


Sebagaimana telah di kemukakan bahwa tasawuf ke Indonesia bersamaan dengan masuknya
islam. Diantara tarekat-tarekat yang ada dan berkembang di Indonesia dapat di kemukakan
sebagai baerikut :
1.  Tarekaat Qodariyah
Tarekat Qodariyah dinisbatkan kepada pendirinya Syaikh Adul Qodir al jailani. Ia lahir di
jilan pada tahun 470 H. Ia kemudian merantau ke Baghdad, ia mempelajari fikh madzha-
Uwaisib hambali dan menempuh jalan sufi. Ajaran –ajarannya menekankan pentingnya
mengamalkan syari’ah dan moral. Syaikh Abdul Qodir meninggal pada tahun 561 H.
2. Tarekat Rifa’iyah
Tarekat rifa’iyah didirikan oleh syaikh akhmad al-Rifa’I(w.578/1183) di basrah. Ajaran
tasauf al-rifa’I banyak diriwayatkan oleh al-sya’yani antara lain mengenai pentingnya zuhud.
Pengikut tarekat ini mempunyai cara berdzikir dengan suara yang keras dan dapat
mendemontrasikan perbuatan-perbuatan yagn liar biasa, seperti makan benda-benda
berbahaya, menyentuh benda-benda tajamdan sebagainya.
3. Tareakt Naqsyabandiyah
Tarekat naqsyabandiyah didirikan oleh muhamad bin bahaudidin Al-Uwaisi Al-Bukhori
(719-791 H). ajarannya tentang wahdat al-syuhud,yang mengaatakan bahwa kesatuan Tuhan
dan alam adalah Pengalaman rohani sufi. Kesatuan itu hanyalah terjadi dalam
penyaksian(syuhud)bukan dalam keberadaan (wujud) yang sebenarnya.
4. Tarekat Sammaniyah
Tarekat ini didirikan oleh  Muhammad samman yang meninggal pada tahun 1720 M di
medinah cirri-ciri tarekat ini adalah dzikirnya yang keras-keras dengan suaara yang
melengkin dari pengikut-pengikutnya sewktu melakukan dzikir lailaha ilallah.
5. Tarekat Khalwatiyah
Tarekat ini didirikan oleh Syaikh Yusuf Al-Khawalti Al-Makasari, meninggal pada tahun
1699 M. Ajarannya untuk membawa jiwa dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih
sempurna melalui tujuh gelombang (tingkat) yaitu: Nafsul amarah, nafsul nawwamah, nafsul
muthma’innah, nafsul radhiyah, nafsul mardiyah dan nafsul kamilah.
6. Tarekat Al-Haddad
Terkat t ini didirikan oleh syayid Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad.

 Aliran aliran Tasawuf


Adapun macam-macam ilmu tasawuf, di antaranya:
1. Tasawuf Akhlaki (Sunni)

Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada teori-teori perilaku


akhlak atau budi pekerti .

Dengan metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya
untuk menghindari akhlak mazmumah (perilaku buruk) dan
mewujudkan  akhlak   mahmudah (perilaku baik).

Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap


mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah.

Oleh karena itu, dalam tasawuf akhlaki mempunyai sistem pembinaan akhlak
yang disusun sebagai berikut:

 Takhalli

Merupakan langkah pertama yang yang harus dilakukan oleh seorang sufi.
Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku tercela.

 Tahalli

Upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan
sikap, perilaku, dan akhlak terpuji.

Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-
akhlak tercela.

 Tajalli

Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui fase tahalli, maka
rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli.

Kata tajalli bermakna terbukanya hijab sehingga tampak jelas nur ilahi.

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT yang artinya, “Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musa pun jatuh  pingsan ,” (QS. Al-A'raf: 143).

2. Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan pada gabungan teori-teori
tasawuf dan filsafat atau yang bermakna mistik dan metafisis. Tasawuf ini
dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filsuf.

3. Tasawuf Syi'i

Tasawuf syi'i beranggapan bahwa manusia dapat meninggal dengan Tuhannya


karena memiliki kesamaan esensi dengan Tuhannya.

 Tasawuf kontemporer

asawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembahasan spiritual,


mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Dan ini merupakan
pegangan hidup manusia yang paling ampuh, sehingga tidak terombang-ambingkan oleh badai
kehidupan ini. Ia menjadi penuntun hidup bermoral, sehingga dapat menunjukkan eksistensi manusia
sebagai makhluk termulia di muka bumi ini.

Kembali kepada sejarah bahwa lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam – diawali
(secara internal) dari ketidakpuasan terhadap praktek Islam yang cendrung formalisme dan legalisme,
dan juga sebagai reaksi terhadap ketimpangan politik, moral, dan ekonomi di kalangan umat Silam,
khususnya di kalangan penguasa. Pada saat dmeikian tasawuf tampil memberikan solusi.

Solusi tasawuf terhadap formalisme dan legalisme dengan spiritualitasi ritual, pembenahan
dan transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin. Sedangkan reaksi terhadap sikap politik,
penguasa dan ekonomi sebagai akibat diraihnya kemakmuran, yang menimbulkan sikap kefoya-
foyaan materiil, adalah dengan penampakan sikap isolasi diri dari hiruk pikuknya kehidupan yang
berorientasi dunawi, dan menanamkan sikap sedia miskin.

Gerakan tersebut di satu sisi bisa dikatakan sebagai reaksi sosial, dan di sisi lain bisa
dikatakan sebagai tanggung jawab sosial. Gerakan seperti ini adalah cocok pada masa itu, namun
pada masa sekarang perlu dipertanyakan.

Sebenarnya gerakan seperti tersebut merupakan gerakan individual. Padahal pengingkaran


kekayaan adalah tidak mungkin, tidak praktis dan hanya bersifat individual. Desakan etika mencari
yang halal untuk melegitimasikan kemiskinan itu adalah sikap ketidakberdayaan kaum tertindas
sebagai keompensasi atas penderitaan dari dua hal, materialisme dan spitirtualisme.

Ketika hal ini dibicarakan, maka akan teringat pendapat Emile Durkheim, bahwa pemikiran
dan perkembangan pribadi tidak bisa terlepas sama sekali dari setting sosialnya (Doyle, Paul
Johasan, 1994, Emile Durkheim, 1993)

Tasawuf pada masa sekarang mempunyai tanggung jawab sosial lebih berat dari pada masa
lalu. Untuk memberi jawaban bagaimana tanggung jawab sosial tasawuf pada zaman modern ini,
maka terlebih dahulu akan diketengahkan bagaimana ciri masyarakat modern itu.
Masyarakat modern ditandai oleh lima ciri pokok, yakni:

1.        Berkembangnya massa culture.


2.        Tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak, manusia bergerak menuju
perubahan masa depan.
3.        Tumbuhnya kecenderungan berpikir rasional.
4.        Tumbuhnya sikap hidup yang materialistik.
5.        Meningkatnya laju urbanisasi. (Atha' Muzhar, 1993).[2]

B.       Tanggung jawab sosial tasawuf pada masa sekarang (kontemporer)

1.    Tanggung jawab spiritual

Husen Nasr dalam "Islam and tha Pligh of Modern Man" menyatakan bahwa akibat
masyarakat modern yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan mereka
berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri, bergerak menjauh dari pusat, sementara
pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan, hidup dalam keadaan sekuler.
Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang dikatakan the Post Industrial Society telah
kehilangan visi keilahian (Komaruddin).

Kehilangan visi keilahian ini bisa mengakibatkan timbulnya gejala psikologis, yakni adanya
kehampaan spiritual. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat nasionalisme tidak
mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital
yang hanya bisa digali dari sumber wahyu Ilahi.

Melihat gejala manusia modern yang penuh problema tersebut, Husen Nasr, seorang ulama'
Iran menawarkan alternatif terapi agar mereka mendalami dan menjalankan praktek tasawuf. Sebab
tasawuflah yang dapat memberikan jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka. Dalam
pandangan tasawuf, penyelesaian dan perbaikan keadaan itu tidak dapat tercapai secara optimal jika
hanya dicari dalam kehidupan lahir.

Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan masa depan
manusia, seperti introspeksi (muhasabah) baik dalam kaitannya dengan masalah-masalah vertikal
maupun horizontal, kemudian meluruskan hal-hal yang kurang baik.

2.    Tanggung jawab Etik

Sebagai akibat modenisasi dan industrialisasi, kadang manusia mengalami degradasi moral
yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern seperti sekarang ini sering
menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi yang
gemerlap ini. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut adalah al-hirsh, al-hasud  dan riya'.

Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan mengadakan penghayatan atas


keimanan dan ibadahnya, mengadakan latihan secara bersungguh-sungguh, berusaha merubah sifat-
sifatnya itu dengan mencari waktu yang tepat.

Memang diakui oleh para ahli tasawuf, bahwa manusia dalam kehidupanmya selalu
berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya. Agar hawa nafsu seseorang
dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan
berbagai cara, seperti riyadhah (latihan) dan mujahadah  (bersungguh-sungguh) sebagai sarana
untuk melawan hawa nafsunya tadi. Cara pembinaannya melalui tiga tahapan, yakni tahap
pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri
dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar Ilahi (tajalli).

3.    Tanggung jawab Politik

Tasawuf pada masa sekarang tidak lagi menjauhi kekuasaan, sebagaimana yang dilakukan
oleh para sufi klasik. Akan tetapi tampil di tengah-tengah percaturan politik dan masuk ke dalam
"kekuasaan". Sebab menjauhinya menunjukkan ketidakberdayaan dan kelemahan. Apabila pada
masa klasik ada fatwa untuk menjauhi dan bersikap oposan terhadap kekuasaan, hal itu sedikit bisa
dibenarkan karena kekuasaan pada waktu itu bersifat individual, sementara itu kini kekuasaan
bersifat kolektif.

4.    Tanggung jawab Pluralisme Agama

Satu hal lain yang menjadi kenyataan masyarakat dunia adalah masyarakat majemuk (plural),
yakni masyarakat yang beraneka ragam, baik agama, suku, daerah, adat istiadat, maupun yang
lainnya.

Pluralitas masyarakat modern dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sebab telah menjadi
sunnatullah, tidak ada hidup tanpa pluralitas dalam arti antar umat. Dan dalam pengertian yang sudah
luas lagi, pluralitas dalam berbagai bidang pun tidak bisa dipungkiri lagi, seperti ras, suku, watak, dan
sebagainya. Di sini tasawuf akan melihat hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan yang berasal-usul
satu, yakni Adam a.s.

 Hubungan tasawuf dengan komunikasi penyiaran islam

Ilmu tasawuf merupakan salah satu daripada cabang ilmu agama Islam yang utama yakni
ilmu Tauhid (Ushuluddin) dan ilmu Fiqih. Jika dalam ilmu Tauhid mempelajari
mengenail I’tiqad (kepercayaan) seperti I’tiqad (kepercayaan) mengenai hal Ketuhanan,
kerasulan, hari akhir, ketentuan qadla’ dan qadar Allah  dan sebagainya, dan
ilmu Fiqih tentang hal-hal yang berkaitan dengan ibadah yang bersifat lahir, maka
ilmu Tasawuf  ini membahas mengenai hal yang berkaitan dengan akhlak, amalan ibadah,
budi pekerti, taubat, sabar, dan lain-lainnya.
Ilmu tasawuf dikenal juga dengan sebutan ilmu sufisme. Singkatnya, ilmu tasawuf atau
sufisme ini ialah ilmu yang mempelajari atau mengetahu bagaimana cara untuk mensucikan
jiwa, membangun akhlaq yang baik dan benar secara lahir dan bathin, serta demi memperoleh
kebahagian yang kekal.
Dasar – Dasar Tasawwuf

Sesuai kesepakatan para alim ulama dan para pengkaji ilmu tasawuf,  menyatakan bahwa
dasar daripada ilmu tasawuf ialah zuhud; yakni merupakan implimentasi atau penerapan
daripada nash-nash Al-Qur’an dan hadist, yang berlandaskan kepada akhirat dan usaha untuk
menjauhkan diripada kesenangan dunia yang berlebihan agar terbentuk diri yang suci dan
bertawakkal kepada Allah SWT, mengharap ridha serta takut kepada ancaman dan larangan
Allah.

1. Firman Allah SWT yang dijadikan sebagai landasan kezuhudan dalam kehidupan
dunia, yakni (yang artinya): “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat
akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki
keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan
tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (Q. S. Asy-Syuura : 20).
2. Firman Allah yang memerintahkan kepada orang-orang beriman agar selalu
menyiapkan bekal amal ibadah untuk akhirat, yang artinya: yang
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-
tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan
kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada
azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia
Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Q. S. Al-Hadid: 20).
3. Firman Allah SWT berkaitan dengan kewajiban seorang mukmin untuk selalu
bertawakkal kepada Allah, yang artinya: “Dan memberinya rezki dari arah yang
tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-
tiap sesuatu.” (Q. S. Ath-Thalaq: 3).
4. Firman Allah yang berkaitan dengan rasa takut dan hanya berharap kepada-Nya; yang
artinya; “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa
kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap. Maksud dari perkataan Allah
Swt : “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya” adalah bahwa mereka tidak tidur
di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam.”  (Q. S. As-
Sajadah : 16). Adapun yang dimaksud dengan “Lambung mereka jauh dari tempat
tidurnya” ialah mereka yang tidak tidur pada waktu dimana biasanya orang lain telah
terlelap, yakni untuk melaksanakan ibadah atau shalat malam.

 Psikologi dalam ilmu tasawuf


 tasawuf sebagaimana yang sudah dikemukakan yaitu upaya membersihkan diri
dari perilaku yang mempengaruhi kesucian jiwa dan berjuang mengendalikan
hawa nafsu menuju keabadian. Sedangkan psikologi yang berarti ilmu tentang
jiwa yang di dalam ilmu tentang jiwa menurut Gross yang dikutip oleh Matt Jarvis
adalah pikiran dan perilaku. Dengan adanya kajian tentang jiwa yang di dalamnya
terdapat pikiran dan perilaku, menjadikan kajian psikologi memilki kesamaan
dengan tasawuf yakni menjaga perilaku melalui pensucian diri.

Secara etimologi, psikologi memiliki arti ilmu-ilmu tentang jiwa. Dalam Islam, istilah
jiwa memiliki kesamaan padangan dengan kata nafs, meski ada juga yang
menyamakan dengan istilah ruh. Namun begitu, istilah nafs lebih populer
penggunaannya daripada istilah ruh. Dan dengan demikian, psikologi dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al nafs atau ilmu al ruh.

Selanjutnya, istilah ilmu al nafs banyak dipakai dalam literatur psikologi Islam,
meskipun sebenarnya term al nafs tidak dapat disamakan dengan istilah-istilah
psikologi kontemporer yang hanya memberikan fokus kajian pada aspek psikis
manusia, hal demikian dikarenakan al nafs merupakan gabungan substansi jasmani
dan ruhani. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang relatif baru, psikologi baru dikenal
pada akhir abad ke-18 M, meskipun akarnya telah menghujam jauh ke dalam
kehidupan primitive umat manusia sejak zaman dahulu kala. Plato sudah
mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, sedangkan badannya hanyalah sekedar
alat saja. Aristoteles, berbeda dengan Plato, juga pernah mengatakan bahwa jiwa
adalah fungsi dari badan seperti halnya penglihatan adalah fungsi dari mata.

Meskipun kajian tentang jiwa sudah ada sejak zaman Plato di Yunani, namun kajian
tentang jiwa tersebut selanjutnya menghilang bersama dengan runtuhnya
peradaban Yunani. Kemudian ketika pemikir-pemikir Islam mengisi panggung
sejarah melalui gerakan penterjemahan dan kemudian komentar serta karya orisinil
yang dilakukan pada masa Daulah Abbasysyiyah, esensi dari pemikiran Yunani
diangkat dan diperkaya.

 Namun begitu, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemahaman jiwa
(nafs) oleh para ulama’ generasi pertama tidaklah diilhami dari pemikiran Yunani,
tetapi dari al Qur’an dan Hadits. Hal ini bisa kita lihat dalam al Qur’an yang
banyak menyebut kata nafs termasuk juga dalam hadits-hadits nabi.

 Dalam perkembangannya, kaitannya dengan upaya membangun kesehatan


mental manusia, kajian nafs ternyata bukan psikologi seperti yang dikenal saat ini,
tetapi tasawuf dan akhlak, yakni ilmu yang menekankan nafs sebagai sifat yang
tercela yang perlu disucikan (tazkiyah al nafs) agar menjadi nafs yang sehat (nafs
al muthma’innah). Adanya analisis tentang jiwa manusia dalam upaya
menciptakan moral manusia yang sempurna, melahirkan psikologi sufi. Psikologi
sufi tidak terlepas dari adanya korelasi antara tasawuf dengan psikologi. Tasawuf
dan psikologi ditemukan persamaan yaitu persamaan konsepsi tentang potensi
dasar dan perkembangan jiwa manusia. Manusia yang sehat secara psikologis
memiliki potensi yang bersifat ruhaniah yaitu melahirkan perilaku yang baik.
Potensi ini dalam bahasa nafs atau psikologi, dipandang mempunyai hubungan
dengan tingkah laku psikologis, yang tercermin pada keseimbangan perilaku
yang ditampilkan.

Dalam psikologi humanistik, manusia dikendalikan bukan oleh faktor eksternal dan
kekuatan tidak sadar, melainkan oleh potensi manusia sendiri yang bersifat kodrati.
Sifat kodrati yang dalam bahasa tasawuf disebut fitrah. Fitrah manusia bisa
dipengaruhi dengan mudah bila tidak ada kesadaran diri untuk menjaga. Di sinilah
letak kesamaannya bahwa kodrat manusia dikendalikan oleh dirinya walaupun juga
ada potensi untuk dipengaruhi apa yang menjadi kodratnya..

Tasawuf menempatkan puncak kesadaran ada pada hati, begitu pula puncak
kecerdasan seseorang ada pada kecerdasan spiritual. Dan dalam memperoleh
pengetahuan tidak hanya tergantung pada kemampuan nalar logika dan rasional,
tapi juga bisa melalui jalan penyucian diri. Di sini, nalar logika tidak terlalu
memberikan pengaruh banyak terhadap pengetahuan yang ia peroleh khususnya
pengetahuan yang erat kaitannya dengan pengalaman spiritual. Namun perbedaan
itu bukanlah perbedaan yang berakibat pada pengaruh antar individu disebabkan
perbedaan sudut pandang.

 Struktur jiwa,Kesehatan jiwa,gangguan jiwa,dan metode penyembuhanya dalam


persefektif tasawuf

Berikut tahap-tahap perkembangan nafs (jiwa) dalam ajaran tasawuf.

 Nafs yang memerintah (nafs ammarah) 

Nafs yang memerintah – atau nafs yang menyuruh seseorang untuk melakukan


segala bentuk kejahatan – merupakan nafs dari orang-orang awam pada umumnya.

Inilah nafs yang belum dimurnikan atau dibersihkan oleh cahaya hati dan menjadi
sumber segala jenis kejahatan. Nafs ini menghiasi perbuatan-perbuatan manusia
dengan berbagai jenis keburukan, kemurkaan dan keinginan menguasai.

Dalam Kasyf al-Asrar, Maibudi menyebutkan bahwa nafs yang memerintah


memaksa seseorang melakukan kejahatan dan mengundang mereka kepada
kehancuran diri. Mereka yang memenuhi keinginan nafs ini akan tenggelam dalam
berbagai penderitaan dan kejahatan.

Nafs ini juga mendorong seseorang cenderung ke arah sifat-sifat jasmani dan


kesenangan-kesenangan serta hasrat seksual.Apabila seseorang tunduk
kepada nafs yang memerintah, maka kemungkinan besar ia lebih mudah untuk
berbuat keburukan dan kejahatan sebagaimana sifat bawaan nafs itu sendiri.

Dalam hal ini nafs amarah memiliki sepuluh sifat buruk, yaitu: penentang, pemarah,
pendendam, kejam, sombong dan angkuh, pendengki, iri hati, tamak dan serakah,
ingkar serta munafik.

 Nafs yang penuh penyesalan (nafs muhmalah)

Nafs yang penuh penyesalan (nafs lawwamah) dikenal demikian karena dia


menyesal dan menyalahkan seseorang atas perbuatan-perbuatan buruknya yang
telah lalu.

Istilah nafs yang penuh penyesalan didapatkan oleh kaum sufi dari ayat Al-Qur’an,
“Aku bersumpah dengan hari Kiamat, dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu
menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah [75]: 1-2).

Sumber dari nafs yang penuh penyesalan adalah nafs yang memerintah.


Ketika nafs yang memerintah dibersihkan dari sebagian besar keburukannya atas
izin Allah dan akibat pengaruh kebersihan hati, maka nafs ini bertransformasi
menjadi nafs yang penuh penyesalan.
Pada tahap ini, seseorang cenderung menyesali perbuatan buruknya di masa lalu
dan menyalahkan dirinya atas kesalahan itu. Nafs yang penuh penyesalan
adalah nafs yang diterangi cahaya hati dan dibangunkan dari ketidakpedulian
menuju pembersihan dirinya.

Pada tahap ini, jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan buruk karena


kegelapan sifatnya, maka dia dapat mengatasi hal ini melalui cahaya Ketuhanan dan
“penyesalan.” Proses tersebut dapat membawanya kepada pencarian menuju
ampunan ilahi.

Jika nafs yang memerintah memiliki sepuluh sifat buruk, maka nafs yang penuh


penyesalan memiliki sepuluh karakter baik, yaitu: pertapaan, kesalehan,
pengendalian diri, ketaatan, kepatuhan untuk tetap mengerjakan shalat, puasa, haji,
perjalanan mencari ilmu, membayar zakat dan perjuangan spiritual. Sebagian sufi
mengatakan bahwa nafs yang penuh penyesalan sama seperti akal.

 Nafs yang diberi ilham (nafs muhmalah)

Nafs yang diberi ilham (nafs muhmalah) adalah nafs yang diilhami oleh Allah swt
untuk mampu membedakan antara jalan petunjuk yang benar dan jalan kesesatan.

Para sufi mendapatkan istilah ini dari ayat Al-Qur’an, “Demi jiwa serta
penyempurnaan (ciptaan)nya,maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan
dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syam [91]: 7-8).

Asal usul nafs yang diberi ilham adalah nafs yang penuh penyesalan pasca disinari


dan diterangi oleh cahaya ruh manusia yang bersumber dari Allah swt. Pada tahap
ini, nafs yang penuh penyesalan bertransformasi menjadi nafs yang diberi ilham.

Nafs inilah yang kemudian mendorong seseorang untuk melakukan segala


perbuatan baik atas dasar ilham Allah swt kepadanya. Menurut para sufi, nafs yang
diberi ilham memiliki sepuluh karakter utama, yakni: kemampuan berfikir,
kebijaksanaan, pengetahuan, penyingkapan, ilham, kesadaran, kesempurnaan,
kemuliaan, amal kebaikan, dan kemurahan hati.

Nafs ini biasanya akan menghindari semua hal yang berbau kejahatan dan
cenderung kepada berbagai hal yang merupakan kebaikan.

 Nafs yang tenang (nafs mutma’innah)

Nafs yang tenang merupakan nafs yang berada pada puncak tingkatan


perkembangan jiwa karena ia telah mendapatkan kedamaian dan ketentraman dari
Allah swt melalui pancaran cahaya hati. Para sufi mendapatkan istilah ini dari ayat
Al-Qur’an, “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
rida dan diridai-Nya.” (QS. Al-Fajr [89]: 27-28).

Nafs yang tentang adalah kelanjutan dari nafs yang diberi ilham. Ketika nafs yang


penuh penyesalan bertransformasi menjadi nafs yang diberi ilham, lalu disucikan
oleh cahaya makrifat, maka ia bertransformasi untuk kedua kalinya
menjadi nafs yang tenang.
Kesehatan jiwa dalam tasawuf

Esensi tasawuf telah ada sejak masa Rasulullah saw.


Namun tasawuf sebagai ilmu keislaman yang merupakan hasil dari
kebudayaan Islam sebagaimana bentuk dari ilmu-ilmu keislaman lainnya,
seperti fikih, dan ilmu tauhid, belum ada kala itu.

Pada masa Rasulullah saw belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada
waktu itu hanyalah sebutan sahabat Nabi saw. Menurut Amin Syukur, inti
tasawuf ialah kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara
manusia dengan Tuhannya. Tasawuf di sini adalah usaha bagaimana
seseorang membersihkan jiwanya, membersihkan jiwa atau roh dengan
jalan menghilangkan sifat-sifat buruk.

Apabila tasawuf berpangkal dari konsep bahwa kejahatan berpangkal dari


nafsu, maka tasawuf bereaksi positif dengan penyucian jiwa dengan melalui
mujahadah dan riyadlah. Tasawuf mencakup sebuah model jiwa
manusia yang di dasari oleh prinsip. Jiwa memiliki tujuan aspek atau
dimensi, mineral, nabati, hewani. Pribadi insani dan jiwa rahasia serta
maha rahasia, masing-masing kita memiliki tujuan tingkat kesadaran.

Tasawuf bertujuan agar ketujuh tingkat kesadaran ini dapat bekerja secara
seimbang dan selaras. Banyak sistem psikologi dan spiritual yang hanya
menekankan kepada fungsi satu atau dua tingkat kesadaran tersebut.

Di dalam tasawuf, keseimbangan emosi dan hubungan yang sehat dan


menyehatkan adalah sama pentingnya dengan kesehatan spiritual dan
jasmani. Tujuannya adalah hidup sepenuhnya di dunia tanpa merasa
terikat kepadanya atau melupakan sifat dasar diri kita dan tujuan spiritual
kita. Model ini mengintegrasikan fisik, psikis, dan spiritual. Aspek fisik
kehidupan kita ditopang oleh kearifan mineral, nabati dan jiwa hewani
yang telah ada sejak dahulu kala.

Fungsi psikis kita berakar dari jiwa yang terletak Dalam tasawuf yang
mempunyai arti pendekatan pada Tuhan, maka kita sangat memperhatikan
bahwa ajaran tasawuf yang mempunyai tingkatan-tingkatan itu, dapat
digunakan untuk penyembuhan penyakit yang ada dalam diri manusia,
terutama masalah jiwa.

Di atas telah dijelaskan jiwa yang mempunyai banyak arti, di sini, bila jiwa
kita jelek, maka akan berpengaruh pada diri kita. Hanya dengan ajaran
tasawuf lah, kita dapat mengembangkan diri agar dengan berdzikir, dan
lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Ajaran tasawuf dapat berperan sebagai pelindung berbagai penyebab
masalah. Ada hubungan timbal balik antara ajaran tasawuf dengan
penyakit jiwa. Bahwa seseorang yang dengan tekun beribadat secara rutin,
ternyata memiliki resiko lebih rendah untuk terkena penyakit.

Kemudian dalam hal kemampuan mengatasi penderita yang terkena


penyakit jiwa dan penyembuhan, ternyata mereka yang rajin beribadatlah
yang lebih mampu mengatasi dan proses penyembuhan penyakit lebih
cepat. Dalam menangani kesehatan jiwa manusia untuk mencapai
kesejahteraan hidup (Well Being), maka ada dua ruang lingkup yang dapat
dilakukan.

Kerjasama antara agama, disatu pihak yaitu agama Islam yang


mengajarkan tasawuf, dan pengobatan secara keseluruhan. Maka dengan
cara yang telah diajarkan dalam tasawuf, yaitu dimulai dengan cara
bertaubat, tidak akan mengulangi lagi, dan bertaubat karena banyak
melakukan kesalahan.

atatan sejarah penyebaran Islam di Nusantara tidak terlepas dari para dai mistik yang
berhaluan tasawuf, terutama dilakukan oleh para Wali Songo. Berbagai sumber sejarah,
kitab-kitab klasik, dan manuskrip tidak sedikit yang berisi ajaran-ajaran tasawuf yang
berkaitan dengan penyucian lahir dan batin, seperti yang ada di Serat Centini. Mengkaji
tentang tasawuf tentu tidak lepas dari seorang hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad
Al-Ghazali. Namun, tidak hanya ilmu pembukaan hati (mukasyafah), tetapi Al-Ghazali
juga mengajarkan ilmu pengamalannya (mu’amalah). Hal ini menunjukkan bahwa Al-
Ghazali mengintegrasikan antara ilmu syariat dan hakikat. ADVERTISEMENT Imam Al-
Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin menegaskan sikapnya terkait dikotomi ilmu
tasawuf dan syariat berupa hukum fiqih. Ia menentang keras orang-orang tasawuf yang
mengingkari ibadah ritual. Justru menurut penganggit kitab Ihya’ Ulumiddin ini, ibadah
ritual perlu dikembangkan dan dipelihara dengan menanamkan arti, makna, dan
rahasia amaliah di balik kandungan ritual ibadah tersebut.   Baca juga: Kriteria Ulama
yang Dapat Diikuti: Mewarisi Akhlak Nabi Sebagai contoh bersuci atau berwudhu,
menurut Al-Ghazali tidak cukup hanya menuangkan air dan membersihkan badan dari
kotoran dan najis, tetapi jauh lebih dari itu, yakni meliputi: Pertama, membersihkan
lahir (anggota-anggota badan) dan hadats dan berbagai kotoran. Kedua, membersihkan
hati dari tingkah laku dan akhlak tercela. Ketiga, menyucikan anggota badan dari
perbuatan-perbuatan dosa. Keempat, membersihkan diri dari pengabdian selain Allah
SWT. ADVERTISEMENT Berdasarkan ajaran Al-Ghazali itulah para penganut tasawauf di
Jawa pada abad ke-19 mengajarkan tiga tingkatan bersuci dan empat tingkatan
sembahyang yang bukan hanya sekadar aktivitas lahiriah semata, tetapi juga proses
batiniah.   Baca juga: Menjaga Akhlak di Era Digital ADVERTISEMENT Prinsip ajaran
esoteris dan eksoteris yang disampaikan Al-Ghazali di atas juga termaktub dalam Serat
Centini. Dalam kitab Centini, tiga tingkatan bersuci dimaksud ialah, Pertama, bersuci
membersihkan badan atau raga dengan air sebagaimana berwudhu dan mandi. Kedua,
bersuci membersihkan mulut secara lahir dan batin sehingga tidak hanya dalam
pengertian makan, tetapi juga baik dalam kata dan tutur. Ketiga, bersuci membersihkan
hati. Adapun empat tingkatan sembahyang dalam kitab Centini ialah; Pertama, sembah
raga. Ini sama dengan shalat dalam syariat. Kedua, sembah cipta yang bisa disamakan
dengan proses bertarekat. Ketiga, sembah jiwa atau hakikat. Keempat, sembah rahsa
atau yang dikenal sebagai proses menuju makrifat. Ketiga tingkatan bersuci dan
keempat tingkatan sembahyang tersebut harus dilaksanakan secara utuh, lengkap, dan
tidak boleh hanya salah satu saja. Hal ini sesuai dengan prinsip ajaran syariat dan
hakikat dari Imam Al-Ghazali yang harus menyatu satu sama lain.

REFERENSI:
Sumber: https://islam.nu.or.id/tasawuf-dan-akhlak/tuntunan-penyucian-jiwa-menurut-
al-ghazali-dan-serat-centini-jutGx

 Psikologi Qur'ani/penerjemah Muhammad Al-Mighwar


oleh: SYARIF, Adnan
Terbitan: (2002)
  Psikologi Qurani
  Psikologi Qurani
oleh: Dr. Adnan Syarif
Terbitan: (2003)
  Psikologi Qurani / Adnan Syarif
oleh: Syarif, Adnan
Terbitan: (2002)
  Psikologi qur'ani
oleh: Syarif, Adnan, et al.
Terbitan: (2003)

. AL GHAZALI IHYA ULUMUDDIN

.HAMKA TASAWUF MODERN

.AS MARA AS ,PENGANTAR STUDI TASAWUF

Anda mungkin juga menyukai