Makalah Proses Pendidikan Mtda
Makalah Proses Pendidikan Mtda
Makalah Proses Pendidikan Mtda
Disusun Oleh :
Dosen Pembimbing:
Rini Syevylni Wisda, M.Pd
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun Tugas mata kuliah “Pendidikan
madrasah diniyah takmiliyah awwaliyah” ini dengan baik dan tepat waktu.Tugas ini
kami buat untuk memberikan penjelasan tentang “proses pendidikan MDTA”. Semoga
makalah yang kami buat ini dapat membantu menambah wawasan kita menjadi lebih luas
lagi.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan guna
kesempurnaan makalah ini. Atas perhatian dan waktunya, kami sampaikan terima kasih.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Kesimpulan ........................................................................................................................15
B. Saran ..................................................................................................................................15
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap lembaga pendidikan, tidak terkecuali Madrasah Diniyah pasti merniliki landasan
atau istilah lain asas-asas pendidikan. Pengertian landasan pendidikan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, diartikan sebagai alas, dasar atau tumpuan (Balai Pustaka, 2005:633). Selain
itu, istilah landasan dikenal juga sebagai fondasi. Mengacu pada pendapat tersebut, dapat
dipahami bahwa landasan adalah suatu alas pijakan atau dasar pijakan dari suatu hal. Pakar
pendidikan Islam, Hasan Langgulung (1999:5) mengatakan bahwa landasan tempat lembaga
pendidikan menjadi tegak atau kokoh dan rasional.
Berkenaan dengan landasan pendidikan Madrasah Diniyah tentu tidak terlepas dari
landasan pendidikan Islam, yang menurut Hasan Langgulung (1999:6) diklasifikasikan
menjadi enam, yaitu landasan historis, sosial budaya, ekonomi, politik dan administrasi,
psikologis, dan landasan filsafat. Beberapa pakar pendidikan Islam, mengklasifikasikan
landasan pendidikan menjadi empat jenis, yaitu : 1) landasan relegius, 2) landasan historis, 3)
landasan filosofis, 4) landasan psikologis, dan landasan hukum. Dalam modul ini penulis akan
membahas landasan relegius historis, filosofis, dan psikologis, yang menuurut penulis
berpengaruh kuat terhadap pengembangan madrasah diniyah. Agar para pembaca juga
memaharni makna pada istilah Madrasah Diniyah, maka sebelum dijelaskan tentang landasan
pengembangan, terlebih dahulu dijelaskan istilah madrasah tersebut.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian madrasah diniyah?
2. Bagaimana pandangan islam tentang pendidikan?
3. Bagaimana sejarah awal madrasah diniah?
4. Apa fungsi dan tujuan madrasah diniyah didirikan?
1
C. Tujuan
Tujuan dari karya ilmiah ini di buat, tidak lain adalah untuk memaparkan sebuah materi
tentang “proses pendidikan madrasah diniyah takmiliyah awwaliyah” kepada para pembaca
agar dapat memahami materi yang kami sampaikan melalui karya ilmiah ini untuk dapat di
pahami mulai dari pengertian hingga tujuan dari pendidikan madrasah diniyah takmiliyah
awwaliyah ke depannya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah madrasah dari aspek derivasi kata, maka madrasah merupakan isim makan dari
kata darasa yang berarti belajar. Jadi madrasah berarti tempat belajar bagi siswa atau santri
(umat Islam). Karenanya istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit,
tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain.
Bah.kan dapat dikatakan pula bahwa seorang ibu bisa dikatakan Madrasah Pemula (Abdul
Hamid Al-Hasyimi).
Dalam sejarah pendidikan Islam, makna dari istilah madrasah tersebut memegang
peranan penting sebagai institusi belajar umat Islam selama pertumbuhan dan
perkembangannya. Sebab, pemakaian istilah madrasah secara definitive baru muncul pada
abad ke-11. Penjelasan istilah "madrasah" merupakan transfonnasi dari masjid ke madrasah.
Ada beberapa teori yang berkembang seputar trasformasi tersebut, antara lain teori
yang dikemukakan oleh Geergi Makdisi (1981) menjelaskan bahwa madrasah merupakan
transformasi institusi pendidikan Islam dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak langsung
melalui tiga tahap. Pertama, tahap masjid, kedua tahap masjid'khan, dan ketiga tahap
madrasah.
3
pelaksana program, supervisi dan evalusi serta tindak lanjut agar berkesinambungan dan
semakin lebih baik.1
Dasar ideal pendidikan Islam sudah jelas dan tegas yaitu firman Allah SWT dan Sunah
Rasulullah saw. Kalau pendidikan diibaratkan bangunan maka isi Al-Qur'an dan Haditslah
yang menjadi fondasinya. AI-Qur'an adalah sumber kebenaran dalam Islam, kebenaran yang
sudah tidak dapat diragukan lagi. Sedangkan sunah Rasulullah saw yang dijadikan landasan
pendidikan agama Islam adalah berupa perkataan, perbuatan atau pengakuan Rasullullah saw
dalam bentuk isyarat. Bentuk isyarat ini adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh sahabat
atau orang lain dan Rasullullah membiarkan saja dan terus berlangsung.
Islam sebagai landasan pendidikan, telah nyata diungkap pada turunnya ayat al-Qur'an
yang memerintahkan untuk "membaca" dalam aneka maknanya syarat pertama dan utama
pengembangan ilmu dan teknologi serta syarat utama membangun peradaban. Ilmu baik yang
kasbi (acquired knowledge) maupun yang laduni (abadi, perennial) tidak dapat dicapai tanpa
terlebih dahulu melakukan qiraat 'bacaan' dalam artinya yang luas.
Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan).
Peradaban Yunani dimulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum masehi. la
berakhir dengan hadirnya kitab perjanjian baru. Perdaban Eropa dimulai clengan karya Newton
(1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831 ). Sementara kehadiran Al-Qur'an
melahirkan peradaban Islam, khususnya dipicu oleh daya kekuatan yang tumbuh dari semangat
ayat-ayat Al-Qur'an yang awal mula di.turunk an, yaitu perintah membaca dan menulis.
Dalam rangkaian wahyu Al-Qur'an yang turun perdana ini, iqra' atau perintah membaca
merupakan kata pertama dan alangkah pentingnya kata ini ketika ia diulang dua kali.
Kata iqra' yang terambil dari kata dasar qara'a pada mulanya berarti 'menghimpun'. Arti
kata ini menunjukkan bahwa iqra' yang diterjemahkan dengan 'bacalah' tidak mengharuskan
adanya suatu teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh
orang lain. Dalam kamus bahasa, ditemukan aneka ragam arti dari kata iqra' tersebut, antara
1
Naf’an Tarihoran, dkk, Pemberdayaan Mayarakat Diniyah, (Banten: KANWIL KEMENAG, 2014), hal. 2.
4
lain: 'menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya,' dan
sebagainya yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat "menghimpun" yang
merupakan arti akar kata tersebut. Perintah membaca, dengan demikian, berarti perintah untuk
menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya, clan
sebagainya. Hal tersebut yang menjadi landasan pengembangan penddikan Islam.
Madrasah Diniyah sebagai salah satu institusi Islam, mulai eksis seiring dengan nafas
perkembangan Islam. Pada awal perkembangan Islam madrasah diniyah belum tampak secara
jelas, meski prakteknya telah dilakukan secara tidak langsung. Sebagai contoh, ketika
Rasulullah masih di Mekkah para sahabat belajar tentang Islam kepada beliau di rumah al
Arqam bin Abi al Arqam. Pada saat Rasulullah berhijrah ke Madinah, teras mesjid Nabawi
(shuffah) dijadikan sebagai tempat belajar ilmu-ilmu agama oleh Rasulullah dan sahabatnya.
Sehingga sekitar 400 murid yang dimiliki Rasulullah waktu itu sering disebut sebagai ahlu al
shujfah. Dengan demikian keberadaan shufaf h menjadi tempat yang sangat vital, bahkan
ketika Nabi Muhammad Saw. telah meninggal dilanjutkan oleh sahabat-sahabat beliau. Ketika
Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah, untuk pertama kalinya dilakukan pemugaran
masjid. Fungsi shujfah sebagai tempat transformasi pengetahuan menjadi semakin penting.
2
Ibid, hal. 5.
5
Kodifikasi dan tashih al Qur'an dilakukan di sini, juga penyusunan ilmu nahwu yang
dilaksanakan oleh Zaid bin Haritsah yang sekaligus sebagai ketua tim pengkodifikasian al
Qur'an.
Shujfah masjid Nabawi hampir menyerupai lembaga madrasah ketika Ali bin Abi
Thalib menjadi khalifah dengan diterapkannya kegiatan belajar-mengajar di tempat ini. Dua
bait sya'ir "alala tanalul al 'ilm" yang dikarang oleh Ali bin Abi Thalib menjadi salah satu
buktinya. Sya'ir ini mampu mengerakkan umat Islam untuk selalu giat belajar dan mendatangi
ulama-ulama di berbagai daerah, seperti Madinah, Kuffah, dan Bashrah.
Meski demikian kota Madinah tetap memiliki peran sentral sebagai pusat studi Islam,
terutama hadits. Sehingga ketika term madrasah mulai muncul, Madinah lebih dikenal sebagai
tempat ahl al hadits atau sebagai pusat ahl hadits, dengan tokohnya antara lain, Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ja'far, dan Ibnu Sirin.
Di masa Dinasti Umayah istilah madrasah sudah dikenal secara luas. Namun maknanya
bukan sebagai sebuah institusi pendidikan, melainkan aliran pemahaman dan tradisi. Di bidang
agama dikenal dua madrasah, yakni madrasah al hadits yang berpusat di madinah dan
madrasah ahl al ra'y yang berpusat di Bashrah. Di bidang bahasa (madrasah al nuhat) terdapat
tiga madrasah terkenal. Yaitu madrasah al Hijaz, madrasah al Kuffah, dan madrasah al Bashrah
dengan ciri aliran dan pemikiran yang berbeda.
Sekitar abad V Hijriyah atau IX/X Masehi institusi madrasah terus didirikan dan
dikembangkan, sejalan dengan perkembangan Islam yang telah meluas dalam bentuk aliran
atau mazhab dalam bidang fiqh, ilmu kalam atau tasawwuf, dan ilmu pengetahu.an lain yang
mencakup bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai ilmu lainnya.
Aliran-aliran yang timbul sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan ini saling
berebutan dan mencari pengaruh di kalangan umat Islam, dan berusaha untuk
mengembangkannya. Sehingga terbentuklah madrasah-madrasah pada masa itu yang
dihubungkan dengan mazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, atau Hambali dalam bidang ilmu fiqh.
Sejarah mencatat, bahwa institusi madrasah yang pertama kali didirikan dalam sejarah
Islam ialah madrasah al Baihaqiyyah dan madrasah al Sa'idiyyah di Nisyapur yang didirikan
oleh Sabaktikin saudara dari raja Mahmud pada abad ke-9 M. Keduanya berhaluan syi'ah dan
6
lebih banyak meniru model pendidikan Persia bernama Miyan Dahiyyah, yang mengajarkan
pendidikan agama, filsafat dan pengetahuan lainnya yang berkembang di Baghdad waktu itu.
Terkait dengan sejarah munculnya madrasah, para pemerhati sejarah berbeda pendapat tentang
madrasah pertama yang berdiri, namun dalam tulisan ini ada beberapa pendapat yang cukup
representatif yang dapat diungkap tentang sejarah pertama berdirinya madrasah sebagai
institusi pendidikan Islam pada masa awal. Menurut Ali al-Jumbulati (1994) sebelum abad ke
10 M dikatakan bahwa madrasah yang pertama berdiri adalah Madrasah al-Baihaqiah di kota
Nisyapur. Disebut sebagai al-Baihaqiyah karena ia didirikan oleh Abu Hasan al-Baihaqi
(w.414 H). Pendapat ini juga diperkuat oleh Hasan Ibrahim Hasan (1967).
Kedua pendapat di atas diperkuat oleh hasil penelitian Richard Bulliet (1972) yang
menemukan bahwa dua abad sebelum berdirinya Madrasah Nizyamiyah telah berdiri
Madrasah di Nisyapur, yaitu Madrasah Miyan Dahiya yang mengajarkan Fikih Maliki. 'Abd
al-'Al (1977) menjelaskan bahwa pada masa Sultan Mahmud al-Ghaznawi (998-1030) telah
berdiri Madrasah Sa'adiyyah. Demikian juga Naji Ma'ruf (1973) berpendapat bahwa madrasah
pertama telah didirikan 165 tahun sebelum berdiri Madrasah Nizamiyah yaitu sebuah madrasah
dikawasan Khurasan. Ia mengemukakan bukti di Tarikh al-Buhari dijelaskan bahwa Ismail Ibn
Ahmad Asad (w. 295 H) memiliki madrasah yang dikunjungi oleh para pelajar untuk
melanjutkan pelajaran mereka.
Menurut Syalabi (dalam Mehdi, 2003) mengungkapkan bahwa Nizam al-Muluk adalah
orang yang sangat berjasa kepada para sarjana Syafi'iyah dan para teolog Asyariyah untuk
mengembalikan mereka ke Nisyapur untuk melanjutkan karier ilmiyahnya setelah sebelumnya
mengasingkan diri di Hijaz. Di antara mereka adalah Al-Juwaini (w.478/1063) dan Abu
Qasyim al-Qusyairi (w.465/1072). Kemudian Al-Jawaini dibangunkan sebuah madrasah
(sebagai perguruan tinggi) yang pertama di Nisabur.
Menurut hemat penulis adanya perbedaan tersebut tidak perlu jadi perdebatan, di
samping itu, karena kemampuan penulis dalam menggali referensi sejarah pendirian madrasah
sangat terbatas. Untuk itu, bagi para pembaca yang ingin memperdalam tentang sejarah
berdirinya madrasah diniyah dapat melakukan kajian dari buku-buku yang tercantum pada
daftar referensi modul ini.
7
Selanjutnya, untuk mengetahui tentang, apa, bagaimana dan materi apa yang
disampaikan kepada para siswa (santri) madrasah dinyah awal. Penulis mengambil salah satu
kasus pada Madrasah Nizamiyyah yang oleh para ahli banyak dijadikan kajian. Bahwa latar
belakang didirikannya Madrasah Nizamiyyah antara lain :
1. Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam dijadikan sebagai sarana atau wadah dalam
menghidupkan mazhab-mazhab; Mazhab Sunni dan paham Asy 'ariyah.
4. Nizam al-Muluk dalam mengelola pendidikan baik sebagai pencetus ide pertama berdirinya,
sekaligus sebagai bagian dari pemerintah saat ini, selalu menujukkan kesungguhannya. Hal
ini tercermin dalam kesedihan menyisihkan waktunya untuk memantau secara langsung
proses pendidikan dengan mengadakan kunjungan ke Madrasah-Madrasah Nizamiyyah di
berbagai kota. Bahkan ia ikut terlibat dalam menyimak dan mendengarkan kuliah-kuliah
yang diberikan para ustadz, dan kadang-kadang juga ikut memberi sumbangan pemikiran
di depan para pelajar di madrasah tersebut.
8
7. Keterlibatatn pemerintah tidak hanya sebatas perhatian saja, namun juga telah menyediakan
alokasi dana yang cukup besar untuk keperluan fisik dan non-fisik (beasiswa bagi siswa dan
uang pensiun bagi tenaga pengajar).
8. Dan yang terakhir adalah proses pendirian Madrasah Nizamiyyah telah mendapat dukungan dari
berbagai pihak; pemerintah, ulama• ulama, dan masyarakat. Hal ini menujukkan bahwa
Madrasah Nizamiyyah merupakan kemaun dan keinginan bersama bukan sepihak. Di samping
itu juga ia bisa dijadikan sebagai cerminan dalam mencermati gambaran kondisi sosial
masyarakat saat ini.
Sedangkan materi pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada unsur
demokrasinya, di samping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbar) bagi setiap murid juga
ada materi yang bersifat pilihan (ikhtiar), hal ini tampaknya sangat berbeda dengan materi
pendidikan dasar pada masa sekarang. Di saat sekarang ini materi pendidikan tingkat dasar dan
menengah semuanya adalah materi wajib, tidak ada materi pilihan. Materi pilihan baru ada pada
tingkat perguruan tinggi. Materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) ialah: Al Qur'an; Shalat;
Doa; sedikit ilmu Nahwu dan bahasa Arab; dan Membaca dan menulis. Sedangkan materi
pelajaran ikhtiari (pilihan ) ialah: Berhitung; semua ilmu Nahwu dan bahasa arab; Syair• syair;
dan Riwayat/Tarikh Arab.
Menurut Hasan 'Abb al-'Al seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thantha,
dalam tesisnya menyebutkan ada tujuh lembaga pendidikan yang telah berdiri pada masa
Abbasiyah terutama pada abad keempat hijrah. Ketujuh lembaga pendidikan tersebut; a.
Lembaga pendidikan dasar (al-Kuttab); b. Lembaga pendidikan masjid (al-Masjid); c. Kedai
pedagang kitab (al-Hawanit al-Warraqin); d. Tempat tinggal para sarjan (manazil al ulama); e.
Sanggar seni dan sastra (al-shalunat al-adabiyah); f. Perpustakaan (dar al-kutub wa dar al'ilm);
dang. Lembaga pendidikan sekolah (al-Madrasah).
9
(Maktab/Kuttab). Menurut beliau maktab berbeda denga kuttab, paling tidak nisapur, guna
memperkuat pendapatannya Makdisi menjelaskan bahwa Abd al Ghafir al-Farisi belajar di
maktab pada usia 5 tahun untuk belajar Al Qur'an dan ilmu agama di persia. Setelah berusia 10
tahun, ia memasuk kuttab, untuk belajar sastra. Selanjutnya beliau pun menjelaskan bahwa ada
laporan yang mengatakan bahwa maktab adalah sekolah tingkat dasar yang mengajarkan khat,
kaligerafi, Al-Qur'an, akidah, dan syair.
3. Menulis;
6. Berhitung; dan
Sesungguhpun demikian, kurikulum seperti ini yidak dapat dijumpai di seluruh agam
Islam karena masing-masing daerah terkadang berbeda. Sebagaimana pendapat Ibnu Khaldun
yang dikutip oleh Hasan 'Adb al-'Al, di maroko (maghribi) hanya diajarkan Al• Qur'an dan rasm
(tulisannya). Di Andalusia, diajarkan Al-Qur'an, menulis serta sya'ir, pokok-pokok nahwu dan
sharafserta tulis indah (khat). Di Thunisia (Afriqiah) diajarkan A-Qur'an, Hadits dan pokok•
pokok ilmu agama, tetapi lebih mementingkan ilmu Al-Qur'an.3
1. Tujuan
3
Ibid, hal. 8.
10
penyelenggaraan dan pembinaan Madrasah Diniyah yang dikeluarkan Direktorat Jendral
Pembinaan Agama Islam Departemen Agama RI Tahun 2000. Tujuaan tersebut sebagai
berikut: "pendidikan dan pengajaran pada Masdarasah Diniyah bertujuan untuk meberikan
tambahan dan pendalaman pengetahuan agama Islam kepada pelajar-pelajar yang merasa
kurang menerima pelajaran agama di sekolah umum. Dari tujuan umum tersebut lebih
lanjut dirumuskan dalam tujuan institusional yang dapat dispesifikan berdasarkan bidang
pengetahuan, pengalaman, nilai dan sikap, sebagai berikut :
a. Dalam bidang pengetahuan agar siswa memiliki pengetahuan tentang agama Islam dan
bahasa Arab sebagai alat untuk memaham 1 ajaran Islam.
b. Dalam bidang pengamalan agar siswa dapat mengamalkan ajaran agama Islam, dapat
belajar dengan cara yang baik dan dapat bekerja sama dengan orang lain serta dapat
menggunakan bahasa Arab.
c. Dalam bidang nilai dan sikap agar siswa dapat memiliki nilai dan sikap yang positif
terhadap ajaran Islam; baik bagi dirinya, agamanya, sosial dan budaya sekitarnya.
Secara simpel, tujuan pendidikan Madrasah Diniyah menurut Ahm ad Tafsir ada
tiga, sebagai berikut:
Dasar dari tujuan ini, lanjut Ahmad Tafsir, selai sesuai dengan tuntutan normative
ajaran Islam mengeani substansi pendidikan pada anak- anak, juga sebagai tuntutan
keinginan orang tua dan kebutuhan masyarakat yang memang mengarah pada tiga tujuan
tersebut.
a) Darai aspek keterampilan bahasa (Arab) agar anak dapat membaca dan menulis
al-Qar'an.
11
b) Dari aspek pengetahuan dan pengamalan agar anak dapat mengauasai dan
mengamalkan ajaran Islam.
c) Dari aspek sikap agar anak memiliki akhlak yang baik dalam pergaulan sehari-
hari.
2. fungsi
• Membina hubungan kerja sama dengan orang tua dan masyarakat antara lain:
Membantu membangun dasar yang kuat bagi pembangunan kepribadian manusia
Indonesia seutuhnya dan Membantu mencetak warga Indonesia takwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan menghargai orang lain.
12
b) Memberikan bimbingan yang seksama agar anak-anak memberikan sifat-siafat
yang luhur, dapat menghargai dan mengamalkan nilai-nilai dan kebiasaan-
kebiasaan yang berlaku dalam agama Islam dan masyarakat sekitamya.
c) Memberi tuntunan dan pembinaan kesejahtraan anak yang diperlukan pada masa
mudanya untuk mencegah timbulnya akibat negative dikemudian hari.
d) Memberikan pendidikan pada anak untuk diamalkan bagi dirinya sendiri dan
dicontohkan kepada orang lain atau masyarakat sekitarnya.
Fungsi Madrasah Diniyah yang didasarkan pada setiap jenjangnya dijelaskan dalam
pedoman penyelenggaraan dan pembinaan Madrasah Diniayah yang dikeluarkan
Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam tahun 2002, sebagai berikut:
13
4) Membina hubungan kerja sama dengan orang tua, warga belajar dan masyarakat.
4
Ibid, hal. 41.
14
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Madrasah adalah sarana tempat belajar berprinsip pada pembelajaran akhlah dan keagamaan
yang kebanyakan di madrasah ini sangat berbeda dengan pelajaran yang di ajarkan di
sekolah umum lainnya.
2. Di madrasah ini rata2 bahkan 100% dari mayoritas siswa/i-nya beragama islam.
3. Islam sebagai landasan pendidikan, telah nyata diungkap pada turunnya ayat al-Qur'an yang
memerintahkan untuk "membaca" dalam aneka maknanya syarat pertama dan utama
pengembangan ilmu dan teknologi serta syarat utama membangun peradaban. Ilmu baik
yang kasbi (acquired knowledge) maupun yang laduni (abadi, perennial) tidak dapat dicapai
tanpa terlebih dahulu melakukan qiraat 'bacaan' dalam artinya yang luas.
4. Sekitar abad V Hijriyah atau IX/X Masehi institusi madrasah terus didirikan dan
dikembangkan, sejalan dengan perkembangan Islam yang telah meluas dalam bentuk aliran
atau mazhab dalam bidang fiqh, ilmu kalam atau tasawwuf, dan ilmu pengetahu.an lain yang
mencakup bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai ilmu lainnya.
5. Tujuan dari sekolah madrasah ini tentunya lebih menekankan kepada pelajaran agamanya
terutama dalam peajaran bahasa arab, karena bahasa arab adalah bahasa Al-Qur’an dan
banyak kitab arab yang belum di terjemahkan ke bahasa indonesia sehingga untuk
memahami buku bahasa arab tersebut tentunya dapat membantu siswa/i-nya dalam membaca
buku yang berbahasa arab.
B. Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Sa'ad Mursi dan Said Ismail Ali. 1974. Tarikh Tarbiyah wa Ta'lim. Kairo : 'Alim Kutub.
Al-Attas, Muhammad Naquib. 1988. The Concept of Education in Islam. Terjemahan Haidar
Bagir. Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung. Mizan.
Dworetzky, John P. 1990. Introduction to Child Development. New York: West Publishing
Company.
Glazer, Susan Mendel dan Carrol Smullen Brown. 1993. Portfolios and Beyond:
Hasan, Hasan Muhammad dan Nadiyahjamaluddin. 1988. Madaris At• Tarbiyahfi Al-Hadarah al-
Islamiyah. Kairo : Dar al-Fikr al-Arabi.
Hasbullah, 1996. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintasan Sejarah dan Perkembangan.
Jakarta: Raja Grafindo.
Jalaluddin, dkk 1994. Filsafat Pendidikan Islam : Konsep dan Perkembangan Pemikirannya.
Jakana: Raja Grafindo.
16