Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Penyusutan Pajak Dan PPN

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Semua Aktiva Tetap kecuali tanah (pegecualian untuk tanah digunakan untuk

usaha keramik, genteng, batu bata) selalu mengalami pengurangan nilai dari satu
periode ke periode berikutnya, hal ini mengakibatkan nilai aktiva tetap akan
menjadi turun apabila sudah dipakai atau digunakan dalam periode tertentu,
peristiwa ini dalam akuntansi dikenal adanya penyusutan aktiva tetap. Pada
dasarnya, tujuan penyusutan (depreciation) dan amortisasi aktiva tetap prinsipnya
sama baik secara Fiskal dan Akuntansi (komersial) yaitu untuk mengalokasikan
nilai perolehan ke masa manfaat aktiva tetap dan harta tak berwujud tersebut
untuk dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung laba neto.
Pengertian PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi, Badan, dan Pemerintah. Dalam penerapannya, Badan atau
perorangan yang membayar pajak ini tidak diwajibkan untuk menyetorkan
langsung ke kas negara, melainkan lewat pihak yang memotong PPN.

Pajak Pertambahan Nilai bersifat objektif, tidak kumulatif, dan merupakan pajak
tidak langsung. Subjek pajaknya terdiri dari Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan non
PKP, harus dipahami subjek pajak ini berbeda dengan Wajib Pajak. Subjek pajak
belum memiliki kewajiban untuk membayar pajak sedangkan Wajib Pajak sudah
memiliki kewajiban untuk membayar pajak.

Undang-Undang yang Mengatur PPN

Terdapat tiga kali perubahan Undang-Undang PPN di Indonesia. Adapun


perubahan yang terjadi disebabkan karena adanya pergantian model pemungutan
pajak dan peraturan perundang-undangan agar bisa lebih sederhana dan adil
untuk masyarakat. Berikut adalah perubahan UU PPN di Indonesia:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah diciptakan untuk mengatur tentang PPN dan
PPnBM dan disahkan pada 1 April 1985.

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000

Setelah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, terdapat perubahan kedua yaitu


Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Perubahan ini dilakukan dengan tujuan
untuk menciptakan sistem perpajakan yang tepat untuk masyarakat juga untuk
meningkatkan penerimaan negara.
3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

Perubahan ketiga adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak


Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Untuk melengkapi kekurangan pada Undang-Undang PPN sebelumnya, Undang-
Undang ini bertujuan memberikan keadilan hukum dan keamanan bagi negara
dan masyarakat dengan sistem perpajakan yang jauh lebih sederhana. Sampai
tahun 2018 ini, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 masih digunakan.

Mekanisme PPN di Indonesia

Secara teknis, mekanisme yang berlaku terhadap PPN di Indonesia adalah sebagai
berikut:

1. PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP wajib memungut PPN dari


pembeli/penerima BKP/JKP yang bersangkutan sebesar 10% dari Harga Jual
atau penggantian, dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti
pemungutannya.
2. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak
Keluaran bagi PKP Penjual BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang harus
dibayar (utang pajak).
3. Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang
dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan yang sifatnya
sebagai pajak yang dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut
berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.
4. Untuk setiap Masa Pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih
besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara
paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan
sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak
Keluaran, maka selisih tersebut dapat dikompensasi ke masa pajak
berikutnya. Restitusi hanya dapat diajukan pada akhir tahun buku. Hanya
PKP yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (4b) UU Nomor 42 Tahun 2009 saja
yang dapat mengajukan restitusi untuk setiap Masa Pajak.
5. PKP di atas wajib menyampaikan SPT Masa PPN setiap bulan ke Kantor
Pelayanan Pajak terkait paling lama akhir bulan berikutnya setelah
berakhirnya Masa Pajak.

Objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

a. Barang atau Jasa yang Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam
daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
2. Impor Barang Kena Pajak.
3. Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean.
4. Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean.
5. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan ekspor Jasa
Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
6. Kegiatan Membangun Sendiri bangunan dengan luas lebih dari 200m2 yang
dilakukan di luar lingkungan perusahaan dan/atau pekerjaan oleh Orang
Pribadi atau Badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.
7. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, sepanjang pajak masukan yang dibayar pada saat
perolehan aktiva tersebut boleh dikreditkan.
b. Barang atau Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

1. Barang hasil pertambangan atau pengeboran (minyak mentah, asbes, batu


bara, gas bumi, dan lain-lain).
2. Barang Kebutuhan Pokok (beras, jagung, susu, daging, kedelai, sayuran, dan
lainnya).
3. Makanan dan minuman yang disajikan di rumah makan atau restoran.
4. Uang dan emas batangan.
5. Jasa pelayanan medis, pelayanan sosial, jasa keuangan, asuransi,
pendidikan dan sebagainya.

Dasar Pengenaan Pajak PPN


Untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai
digunakan nilai yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) sendiri terdiri dari:

1. Harga Jual

Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak.

2. Penggantian

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.

3. Nilai Impor

Nilai Impor adalah uang yang digunakan sebagai dasar penghitungan Bea Masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang
Kena Pajak.

4. Nilai Ekspor

Nilai Ekspor adalah uang atau biaya yang diminta oleh eksportir.

5. Nilai Lain

Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak yang diatur oleh Menteri Keuangan.

DPP PPN (Dasar Pengenaan Pajak PPN) yang diatur dalam Pasal 9 ayat 1 sebagai
berikut:
a. Untuk penyerahan BKP atau pemanfaatan BKP tidak berwujud, DPP-nya adalah
jumlah harga jual.

b. Untuk pengimporan BKP, DPP-nya adalah nilai impor (definisi nilai impor lihat
Pasal 1 angka 20 UU PPN).

c. Untuk pengeksporan BKP, DPP-nya adalah nilai ekspor.

d. Untuk kasus penyerahan BKP/JKP tertentu, DPP-nya adalah nilai lain. Nilai lain
adalah suatu jumlah yang ditetapkan Menteri Keuangan sebagai Dasar Pengenaan
PPN atas jenis penyerahan BKP/JKP tertentu.

Tarif Pajak PPN

1. Tarif umum 10% untuk penyerahan dalam negeri


2. Tarif khusus 0% diterapkan atas ekspor BKP berwujud maupun tidak
berwujud, dan ekspor JKP.
3. Tarif Pajak sebesar 10% dapat berubah menjadi lebih rendah, yaitu 5% dan
paling tinggi 15% sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Rumus & Cara Perhitungan PPN

Perhitungan PPN yang terutang dilakukan dengan cara mengalikan tarif pajak
dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Proses perhitungan tersebut dapat
diilustrasikan sebagai berikut:

PPN = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Contoh Kasus:

Seorang PKP bernama Gaby menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual
Rp25.000.000.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000 = Rp2.500.000


PPN sebesar Rp2.500.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak Gaby.

Cara Lapor SPT Masa (e-Filing PPN)

SPT Masa PPN adalah Surat Pemberitahuan untuk lapor Pajak Pertambahan Nilai
yang dipotong atau dipungut (pajak orang lain) secara bulanan. Batas waktu
pelaporan SPT PPN adalah setiap akhir bulan berikutnya dan bisa dilaporkan
melalui laman DJP Online. Untuk mengetahui lebih jelas tentang cara
pelaporannya, berikut tahapan yang wajib Anda ketahui:

1. Login di aplikasi e-Faktur dengan akun PKP yang sudah Anda miliki.
Masukkan NPWP dan password serta kode keamanan yang tertera.
2. Pilih file SPT Masa PPN (dalam bentuk CSV dan PDF) lalu klik “Start Upload”
maka akan muncul pesan bahwa proses upload selesai.
3. Selanjutnya Anda akan diminta untuk meminta kode verifikasi. Klik “oke”
dan akan muncul kode rincian SPT yang akan dilaporkan serta kolom kode
verifikasi. Segera ambil kode verifikasi dengan klik link yang dimaksud. Anda
bisa copy kode verifikasi yang dikirimkan ke email Anda dan masukkan ke
kolom kosong. Sesudah memastikan SPT dan kode verifikasi sudah benar,
klik “Kirim SPT”.
4. Selanjutnya cek email kembali untuk memastikan Anda mendapat tanda
terima Laporan SPT Masa PPN secara online atau Bukti Penerimaan
Elektronik (BPE). Simpan bukti tersebut sebagai tanda Anda sudah berhasil
melakukan cara lapor SPT Masa PPN online

Ketentuan PPN Jasa Luar Negeri

Pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terdapat beberapa objek yang termuat di
dalamnya seperti PPN dalam sektor ekspor dan impor Barang Kena Pajak (BKP).
Selain itu juga pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) baik dari dalam maupun luar
Daerah Pabean atau Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean maupun PPN.
a. Ketentuan Aturan PPN Jasa Luar Negeri

Selanjutnya, terdapat aturan tentang batasan untuk transaksi Jasa Kena Pajak dari
luar negeri yang diatur dalam pasal 4 Ayat 1 SE-147/PJ/2010, bahwa Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) akan dikenakan atas Jasa Luar Negeri dengan ketentuan
sebagai berikut:

1. Penyerahan dilakukan oleh Orang Pribadi atau Badan yang bertempat


tinggal di luar Daerah Pabean.
2. Pengenaan Jasa Luar Negeri dapat dilakukan di dalam maupun di luar
Daerah Pabean, selama kegiatan pemanfaatan jasa tidak menyebabkan
Orang Pribadi atau Badan yang bertempat tinggal di luar Daerah Pabean
menjadi subjek pajak dalam negeri.
3. Aktivitas pemanfaatan Jasa Luar Negeri dilakukan di dalam Daerah Pabean.
4. Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri dimanfaatkan oleh siapapun dalam
Daerah Pabean.
5. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jasa Luar Negeri tidak melihat
status penggunanya, baik Orang Pribadi maupun Badan, atau telah menjadi
Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun belum.
Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri bisa terutang, sebab terjadi ketika
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sedang dalam proses
pembayaran atau baru saja dimulai. Dengan catatan pembayaran tersebut
diterima sebelum penyerahan Jasa Luar Negeri.

b. Ketentuan Waktu Pemanfaatan Jasa Luar Negeri

1. Waktu pemanfaatan jasa merupakan saat dimana Jasa Luar Negeri tersebut
digunakan secara nyata digunakan oleh pihak yang berkepentingan.
2. Jasa Luar Negeri dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang
memanfaatkannya.
3. Terjadi penggantian Jasa Kena Pajak ditagih oleh pihak yang menyerahkan.
4. Harga perolehan Jasa Kena Pajak dibayar baik sebagian atau seluruhnya
oleh pengguna.Ditandatanganinya kontrak dan perjanjian yang telah
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
5. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang atas penggunaan Jasa Luar
Negeri harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat
terutangnya pajak.

Cara Menghitung PPN Jasa Luar Negeri

Cara menghitung PPN atas Jasa Luar Negeri yaitu 10% x jumlah yang seharusnya
dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Jasa Luar Negeri. Selain itu, cara
tersebut dapat diterapkan antara pihak pemberi Jasa Luar Negeri dan pihak
penerima sesuai kesepakatan.

Contoh Kasus

Perusahaan Mutiara Rezeki memiliki beban untuk membayar jasa tenaga ahli dari
Cina yang telah memberikan pelatihan pengembangan personality pada
perusahaannya. Harta tenaga ahli tersebut adalah sebesar Rp600.000.000.

Sementara tenaga ahli yang disebutkan meminta jumlah gaji yang diterima harus
jumlah bersih termasuk potongan Pajak Pertambahan Nilai. Sehingga dalam hal
ini, Anda dapat menerapkan rumus kedua yaitu 10/110 x Rp600.000.000,- untuk
menetapkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang menjadi beban dan harus Anda
bayarkan untuk jasa tenaga kerja ahli tersebut

Anda mungkin juga menyukai