Pengukuran Dan Pemetaan
Pengukuran Dan Pemetaan
Pengukuran Dan Pemetaan
4. Garis Kontur
4.1. Kontur
4.2. Interval Kontur dan Indeks Kontur
4.3. Sifat Garis Kontur
4.4. Kemiringan Tanah dan Kontur Gradient
4.5. Kegunaan Garis Kontur
4.6. Penentuan dan Pengukuran Titik Detil Untuk Pembuatan Garis Kontur
4.6.1. Pengukuran Tidak Langsung
4.6.2 Pengukuran Langsung
4.7 Interpolasi Garis Kontur
5. Proyeksi Peta
5.1. Pengertian Proyeksi Peta
5.2. Tujuan dan Cara Proyeksi Peta
5.3. Pembagian Sistem Proyeksi Peta
5.3.1. Pertimbangan Ekstrinsink
5.3.2. Pertimbangan Intrinsink
5.4. Peristilahan dalam Proyeksi Peta
5.5. Proyeksi Polyeder
5.5.1. Penerapan Proyeksi Polyeder di Indonesia
5.5.2. Keuntungan dan Kerugian Sistem Proyeksi Polyeder
5.6. Proyeksi Universal Transverse Mercator
5.6.1. Ukuran Lembar Peta dan Cara Menghitung Titik Sudut Lembar Peta UTM
5.6.2. Kebaikan Proyeksi UTM
5.7 Proyeksi TM-3
1.1 Pendahuluan
Kita umumnya mengenal peta sebagai gambar rupa muka bumi pada suatu
lembar kertas dengan ukuran yang lebih kecil. Rupa bumi yang digambarkan
pada peta meliputi: unsur-unsur alamiah dan unsur-unsur buatan manusia.
Kemajuan dalam bidang teknologi yang berbasiskan komputer telah
memperluas wahana dan wawasan mengenai peta. Peta tidak hanya dikenali
sebagai gambar pada lembar kertas, tetapi juga penyimpanan, pengelolaan,
pengolahan, analisa dan penyajiannya dalam bentuk dijital terpadu antara
gambar, citra dan teks. Peta yang terkelola dalam mode dijital mempunyai
keuntungan penyajian dan penggunaan secara konvensional peta garis
cetakan (hard copy) dan keluwesan, kemudahan penyimpanan, pengelolaan,
pengolahan, analisa dan penyajiannya secara interaktif bahkan real time pada
media komputer (soft copy).
Prinsip kerja pengukuran untuk pembuatan peta adalah top down from the
whole to the part, yaitu pertama membuat kerangka dasar peta yang
mencakup seluruh daerah pemetaan dengan ketelitian pengukuran paling
tinggi dibandingkan dengan pengukuran lainnya, kemudian dilanjutkan
dengan pengukuran-pengukuran lainnya yang diikatkan ke kerangka dasar
peta untuk mendapatkan bentuk rupa bumi yang diinginkan. Berdasarkan
konsep ini maka titik-titik pengukuran dikelompokkan menjadi titik-titik
kerangka dasar dan titik-titik detil. Titik kerangka dasar digunakan untuk
rujukan pengikatan (reference) dan pemeriksaan (control) pengukuran titik
detil.
Pemetaan pada daerah yang tidak luas - sekitar (20' x 20') atau setara
dengan (37 km x 37 km), permukaan bumi yang lengkung bisa dianggap
datar, sehingga data ukuran di muka bumi sama dengan data di permukaan
peta. Tetapi bila pemetaan mencakup kawasan yang lebih luas, maka harus
diperhitungkan faktor kelengkungan bumi, data harus "dipindahkan" ke
bidang datum dan selanjutnya "dipindahkan" ke bidang proyeksi peta.
Dalam daur pekerjaan teknik sipil, peta dan pengukuran digunakan mulai dari
rencana dan tahap pemeriksaan pendahuluan hingga pelaksanaan pekerjaan
selesai. Berbagai pengukuran dan pemetaan dengan berbagai ketelitian -
bersama-sama dengan data pendukung lainnya, dilakukan untuk mendukung
pemodelan, pelaksanaan dan pengambilan keputusan dalam proses pekerjaan
teknik sipil.
Peta tanpa skala kurang atau bahkan tidak berguna. Skala peta
menunjukkan ketelitian dan kelengkapan informasi yang tersaji dalam
peta. Peta skala besar lebih teliti dan lebih lengkap dibandingkan peta
skala kecil. Skala peta bisa dinyatakan dengan: persamaan (engineer's
scale), perbandingan atau skala numeris (numerical or fractional scale)
atau skala fraksi dan grafis (graphical scale).
Lembar peta berdasarkan batas geografis pada berbagai skala - pada peta
topografi misalnya, disusun dengan pembagian 4 turun berulang. Misal pada
skala 1 : 100 000 tersajikan dalam satu lembar, maka pada skala 1 : 50 000
akan tersajikan dalam 4 lembar peta yang masing-masing menempati
lembar-lembar kanan atas, kanan bawah, kiri bawah dan kiri atas. Pembagian
lembar seperti ini juga dikaitkan dengan sistem proyeksi peta yang digunakan
untuk menggambarkan peta. Lembar peta geologi lebih mengutamakan
pembagian lembar peta berdasarkan kawasan atau tema tertentu. Pada
Gambar 1.1 berikut ditunjukkan contoh indeks lembar peta geologi skala 1 :
100 000 daerah pulau Jawa.
Gambar unsur rupa bumi pada skala tertentu tidak selalu dapat disajikan
sesuai ukurannya karena terlalu kecil untuk digambarkan. Bila unsur itu
dianggap penting untuk disajikan, maka penyajiannya menggunakan simbol
gambar tertentu.
Supaya peta mudah dibaca dan dipahami, maka aneka ragam informasi peta
pada skala tertentu harus disajikan dengan cara-cara tertentu, yaitu:
Simbol: digunakan untuk membedakan berbagai obyek, misalnya jalan,
sungai, rel dan lain-lainnya.
Daftar kumpulan simbol pada suatu peta disebut legenda peta.
Warna: digunakan untuk membedakan atau memerincikan lebih jauh dari
simbol suatu obyek, misalnya laut yang lebih dalam diberi warna lebih gelap,
berbagai kelas jalan diberi warna yang berbeda-beda dll.
Kumpulan simbol dan notasi pada suatu peta biasa disusun dalam satu
kelompok legenda peta yang selalu disajikan dalam setiap lembar peta. Unsur
legenda peta biasa dibakukan agar memudahkan pembacaan dan interpretasi
berbagai peta oleh berbagai pemakai dengan berbagai keperluan.
Selain skala peta, arah orientasi peta harus tersajikan dalam suatu lembar
peta. Bergantung pada kedekatan lokasi kawasan peta terhadap kutub utara
atau selatan bumi, maka orientasi peta akan dibuat ke arah mendekati arah
kutub. Di Indonesia, arah orientasi peta adalah arah kutub utara atau arah
utara peta. Arah utara peta pada peta topografi dibuat sejajar dengan tepi
lembar peta, tetapi pada peta tematik tidak selalu demikian - boleh
menyerong terhadap tepi lembar peta asal tidak terbalik. Arah utara peta bisa
dinyatakan dalam arah utara geografis berdasarkan: (1) sistem proyeksi peta
(sistem umum berlaku nasional), atau
(2) arah utara geografis berdasarkan satu titik sistem kerangka dasar
tertentu (sistem lokal), atau (3) arah utara magnet berdasarkan satu titik
sistem kerangka dasar tertentu (sistem lokal). Dalam sistem proyeksi peta
tertentu, arah utara peta menujukkan arah utara geografi yang melalui titik
awal (nol) sistem proyeksi peta. Arah utara peta di daerah sekitar ekuator
atau belahan utara bumi umumnya merupakan arah utara geografis.
Berdasarkan alam:
Berdasarkan tujuan:
a. Pengukuran triangulasi,
b. Pengukuran trilaterasi,
c. Pengukuran polygon,
d. Pengukuran offset,
e. Pengukuran tachymetri,
g. Aerial survey,
i. GPS.
Organisasi penyaji peta di Indonesia pada awal tahun 2000 ini seperti
Bakosurtanal, Direktorat Geologi Bandung dan Meneg Pekerjaan Umum,
selain layanan peta konvensional juga sudah memproduksi peta-peta dijital
yang bisa dipesan lewat homepage masing-masing. Alamat situs organisasi
ini dan layanannya adalah:
Dalam daur pekerjaan teknik sipil ini terlihat bahwa pengukuran dan
pemetaan terlibat dari awal perencanaan hingga selesainya pelaksanaan
pekerjaan. Pengukuran dan pemetaan khusus suatu pekerjaan baru dilakukan
pada tahapan perencanaan pendahuluan dan seterusnya hingga pembuatan
as bulid drawing pelaksanaan pekerjaan.
1. Bila bumi dianggap berbentuk bola dengan jejari 6 378 km, hitung
perbedaan panjang lengkung dan panjang lurus pada kawasan pengukuran
(20' x 20').
2. Jelaskan dan berikan beberapa contoh peta sebagai alat bantu pemodelan
dan pengambilan keputusan dalam pekerjaan rekayasa sipil.
3. Peta A skala 1 : 25 000, peta B skala 1 : 5 000 dan peta C skala 1 : 100
000.
Ukuran lembar peta A dan B sama.
a. Hitung perbandingan panjang satu satuan jarak peta di A dan B.
b. Hitung perbandingan luas satu satuan luas peta di A dan B.
c. Hitung jumlah lembar peta A bila dibuat dan digambar pada skala peta B.
d. Hitung unsur rupabumi terkecil yang bisa digambarkan bila kemampuan
gambar 0,5 mm.
e. Hitung kesalahan taksir jarak bila taksiran pembacaan jarak pada peta 0.1
mm.
f. Peta ..... disebut peta skala BESAR. karena .............. teliti dan ................
informasi.
g. Peta ..... disebut peta skala SEDANG karena .............. teliti
dan ................ informasi.
h. Peta ..... disebut peta skala KECIL karena .............. teliti dan ................
informasi.
4. Untuk pembuatan peta jalan skala 1 : 100 000 yang menunjukkan: (1)
jalan-jalan negara dan jalan penting lainnya, (2) lokasi rawan macet, dan (3)
lokasi rawan banjir di sekitar kotamadya Surakarta dan sekitarnya (Kodya
Surakarta dan sebagian pinggir Kab. Boyolali, Karanganyar dan Sukoharjo
yang bersisian dengan Kodya Surakarta):
a. Tentukan peta dasar yang akan digunakan.
b. Identifikasikan unsur-unsur rupabumi alamiah dan buatan manusia yang
perlu disajikan.
Perhatian:
Soal 3b dan 4 merupakan soal tipe kajian dalam, pelajari lagi atau tanyakan dengan
dosen mata kuliah yang bersangkutan. Perhatikan ukuran-ukuran unsur yang bisa
disajikan dan atau perlu disajikan.
Rangkuman
Daftar Pustaka
BAB 2
Kerangka Dasar Pemetaan
Kerangka dasar pemetaan untuk pekerjaan rekayasa sipil pada kawasan yang tidak
luas, sehingga bumi masih bisa dianggap sebagai bidang datar, umumnya
merupakan bagian pekerjaan pengukuran dan pemetaan dari satu kesatuan paket
pekerjaan perencanaan dan atau perancangan bangunan teknik sipil. Titik-titik
kerangka dasar pemetaan yang akan ditentukan lebih dahulu koordinat dan
ketinggiannya itu dibuat tersebar merata dengan kerapatan teretentu, permanen,
mudah dikenali dan didokumentasikan secara baik sehingga memudahkan
penggunaan selanjutnya.
Titik-titik ikat dan pemeriksaan ukuran untuk pembuatan kerangka dasar pemetaan
pada pekerjaan rekayasa sipil adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional
yang sekarang ini menjadi tugas dan wewenang BAKOSURTANAL. Pada tempat-
tempat yang belum tersedia titik-titik kerangka dasar pemetaan nasional, koordinat
dan ketinggian titik-titik kerangka dasar pemetaan ditentukan menggunakan sistem
lokal.
Bahasan kerangka dasar pemetaan berikut lebih mengutamakan teknik dan cara
pengukuran titik kerangka dasar pemetaan teristris, utamanya cara polygon dan
sipat datar.
Titik pengikat (reference point) adalah titik dan atau titik-titik yang diketahui
posisi horizontal dan atau ketinggiannya dan digunakan sebagai rujukan atau
pengikatan untuk penentuan posisi titik yang lainnya. Dengan mengetahui
arah, sudut, jarak dan atau beda tinggi suatu titik terhadap titik pengikat,
maka dapat ditentukan koordinat dan atau ketinggian titik bersangkutan.
Titik pemeriksa (control point) adalah titik atau titik-titik yang diketahui posisi
horizontal dan atau ketinggiannya yang digunakan sebagai pemeriksa hasil
ukuran-ukuran yang dimulai dari suatu titik pemeriksa dan diakhiri pada titik
pemeriksa yang sama atau titik pemeriksa yang lain. Dengan demikian titik
pengikat juga bisa berfungsi sebagai titik pemeriksa.
Kedua pengertian tentang titik pengikat dan titik pemeriksa ini mensyaratkan
adanya sistem posisi horizontal dan atau ketinggian yang sama dan dengan
tingkat ketelitian yang sama pula pada titik pengikatan dan pemeriksa yang
digunakan pada suatu pengukuran. Selain itu juga perlu diperhatikan bahwa
ketelitian posisi titik pemeriksa harus lebih tinggi dibandingkan dengan
ketelitian pengukuran.
Lazim dilakukan dalam suatu sistem pengukuran dan pemetaan, titik pengikat
dan pemeriksa dibuat dan diukur berjenjang turun semakin rapat dari yang
paling teliti hingga ke yang paling kasar ketelitiannya. Sudah tentu titik
pengikat dan pemeriksa yang lebih rendah ketelitiannya diikatkan dan
diperiksa hasil pengukurannya ke titik pengikat dan pemeriksa yang lebih
tinggi ketelitiannya.
Titik Triangulasi:
P 20 - 40 km ± 0.07 m Triangulasi
S 10 - 20 km ± 0.53 m Triangulasi
T 3 - 10 km ± 3.30 m Mengikat
K 1 - 3 km - Polygon
Penempatan JKG(H)N Orde 0 dan 1 ini juga menempati berberapa titik yang
telah diketahui posisi sebelumnya pada berbagai sistem datum. Dengan
demikian bisa ditentukan pula hubungan WGS84 terhadap datum yang ada.
Tahun 1996 BAKOSURTANAL menetapkan wilayah Republik Indonesia sebagai
satu kesatuan wilayah kegiatan survai dan pemetaan menggunakan Datum
Geodesi Nasional 1995 disingkat DGN-95 dan posisi pada bidang datar
berdasarkan sistem proyeksi peta UTM.
Hingga saat ini, pengukuran beda tinggi sipat datar masih merupakan cara
pengukuran beda tinggi yang paling teliti. Sehingga ketelitian kerangka dasar
vertikal (K) dinyatakan sebagai batas harga terbesar perbedaan tinggi hasil
pengukuran sipat datar pergi dan pulang. Pada Tabel 2.2 ditunjukkan contoh
ketentuan ketelitian sipat teliti untuk pengadaan kerangka dasar vertikal.
Untuk keperluan pengikatan ketinggian, bila pada suatu wilayah tidak
ditemukan TTG, maka bisa menggunakan ketinggian titik triangulasi sebagai
ikatan yang mendekati harga ketinggian teliti terhadap MSL.
Tingkat / Orde K
I ± 3 mm
II ± 6 mm
III ± 8 mm
Contoh 2.1
Alat ukur sudut yang digunakan dengan ketelitian satu sekon, dan sudut
diukur dalam
4 seri pengukuran.
Alat ukur pengamatan matahari untuk menentukan jurusan awal dan jurusan
akhir.
Jarak antar titik polygon 0.1 - 2 km dan ketelitian alat ukur jarak 10 ppm.
Salah penutup sudut polygon = 10" Ö N, dengan N = jumlah titik poligon.
Salah penutup koordinat 1 : 10 000:
Bila fx adalah salah penutup absis, fy adalah salah penutup ordinat dan D
adalah total jarak sisi-sisi poligon, maka salah penutup koordinat:
S = {(fx2 + fy2)/D}1/2 harus £ 1 : 10 000.
Bakuan BM: ukuran, bahan, notasi.
Kasus:
Berdasarkan ketentuan poligon pada Contoh 2.1 di atas.
Gambar 2.1: Poligon terbuka terikat di ujung dan akhir untuk pembuatan
kerangka peta.
1. Diperlukan titik ikat dan pemeriksa di awal dan akhir lokasi pekerjaan:
a. Telah terdapat kedua titik ikat/pemeriksa: diperlukan pengamatan
azimuth,
3. Penyiapan alat hingga siap untuk pengukuran dan tidak mengandung salah
sistematis.
Sistem umum atau nasional adalah sistem yang berlaku secara nasional
menggunakan bidang datum dan sistem proyeksi peta yang berlaku umum
secara nasional.
Pengukuran beda tinggi cara sipat datar mudah dilaksanakan pada daerah
relatif datar dan terbuka. Pada daerah pegunungan, terjal atau tertutup
berakibat jarak pandang yang semakin pendek. Jumlah pengamatan pada
selang pengukuran yang sama bertambah, sehingga memperbesar
kemungkinan dan besaran kesalahan atau mengurangi ketelitian. Bila titik
poligon sebagai titik kerangka horizontal juga merupakan titik tinggi kerangka
vertikal, maka penempatannya harus memungkinkan pelaksanaan
pengukuran sipat datar.
Tingkat ketelitian ukuran beda tinggi sipat datar untuk kerangka dasar
pemetaan ditentukan oleh tahapan dan jenis pekerjaan. Ketelitian tinggi pada
perencanaan dan perancangan jalan secara umum tidak perlu seteliti untuk
pekerjaan pengairan. Keberadaan titik ikatan di lokasi berpengaruh pada
volume pekerjaan pengikatan.
Contoh:
Bila pada Contoh 2.1 di atas, titik-titik KDH yang dipasang juga merupakan
titik-titik KDV, maka diperlukan, misalnya:
Alat ukur sipat datar yang digunakan mampu untuk membaca sampai ke
fraksi mm, pengukuran beda tinggi dilakukan pergi pulang dan masing-
masing pengukuran dilakukan dua kali.
Jarak alat ke rambu ukur 10 – 60 m.
Salah penutup beda tinggi antar BM dan pengukuran kurang atau sama
dengan ± 6 Ö Dkm
Tata cara sipat datar kerangka dasar harus sepadan dengan persayaratan
dalam ketentuan sipat datar yang memenuhi kebutuhan penentuan
ketinggian dalam sistem tinggi yang diinginkan. Tata caranya meliputi:
oragnisasi pelaksanaan secara umum, perlatan, pengukuran dan pencatatan,
hitungan perataan dan pelaporan.
Kasus:
Berdasarkan bentuk KDH pada Contoh 2.1 di atas.
1. Diperlukan titik ikat dan pemeriksa serta pengikatan di awal dan akhir
lokasi pekerjaan.
2. Penyiapan alat hingga siap untuk pengukuran dan tidak mengandung salah
sistematis.
Peninjauan lapangan:
Perencanaan:
Bab 3
Pengukuran untuk Pembuatan Peta
Pengukuran untuk pembuatan peta juga biasa disebut pengukuran topografi, atau
pengukuran situasi, atau pengukuran detil, dilakukan untuk dapat menggambarkan
unsur-unsur: alam, buatan manusia dan bentuk permukaan tanah dengan sistem
dan cara tertentu. Di antara beberapa cara yang dibahas berikut adalah cara offset
dan tachymetry.
Pengukuran untuk pembuatan peta cara offset menggunakan alat utama pita
ukur, sehingga cara ini juga biasa disebut cara rantai (chain surveying). Alat
bantu lainnya adalah: (1) alat pembuat sudut siku cermin sudut dan prisma,
(2). jalon, dan (3) pen ukur.
Dari jenis peralatan yang digunakan ini, cara offset biasa digunakan untuk
daerah yang relatif datar dan tidak luas, sehingga kerangka dasar untuk
pemetaanya-pun juga dibuat dengan cara offset. Peta yang diperoleh dengan
cara offset tidak akan menyajikan informasi ketinggian rupa bumi yang
dipetakan.
Cara pengukuran titik detil dengan cara offset ada tiga cara: (1) Cara siku-
siku (cara garis tegak lurus ), (2) Cara mengikat (cara interpolasi), dan (3)
Cara gabungan keduanya.
Andai akan digunakan garis AC sebagai garis ukur, maka dibuat garis ukur
BB' dan DD' tegak lurus garis ukur AC. Ukur jarak AC, AD', D'D, D'B', B'B dan
B'C. Sebagai kontrol, bila memungkinkan, diukur pula jarak AD, DC, CB dan
BA.
Bila akan digunakan garis AC sebagai garis ukur, maka ditentukan sembarang
titik-titik D', D", B' dan B" pada garis ukur AC. Ukur jarak AC, AD', D'D", D'B',
B'B", B"C, D'D, D"D, B'B dan B"B. Sebagai kontrol, bila memungkinkan,
diukur pula jarak AD, DC, CB dan BA.
Titik A, B, C dan D adalah titik kerangka dasar yang telah dipasang seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.2. Ukur jarak-jarak AB, BC, CD, DA dan AC yang
merupakan sisi-sisi segitiga ABC dan ADC sebagai garis ukur.
Karena garis ukur dibuat dengan membentuk segitiga-segitiga, maka cara ini
juga disebut cara trilaterasi.
3.1.2 Pengukuran Detil Cara Offset
Setiap titik detil diproyeksikan siku-siku terhadap garis ukur dan diukur
jaraknya.
A dan B adalah titik-titik kerangka dasar sehingga gari AB adalah garis ukur.
Titik-titik a, b, c dan d dadalah tittik-titik detil dan titik-titik a', b', c' dan d'
adalah proyeksi titik a, b, c dan d ke garis ukur AB.
A dan B adalah titik-titik kerangka dasar, sehingga gari AB adalah garis ukur.
Titik-titik a, b, c adalah tittik-titik detil dan titik-titik a', b', c' dan a", b", c"
adalah titik ikat a, b, dan c ke garis ukur AB. Diusahakan segi-3 aa'a", bb'b"
dan cc'c" samasisi atau sama kaki.
Setiap titik detil diproyeksikan atau diikatkan dengan garis lurus ke garis
ukur. Dipilih cara pengukuran yang lebih mudah di antara kedua cara.
Titik detil penting dianjurkan diukur dengan kedua cara untuk kontrol ukuran.
Bila skala peta adalah 1 : S, maka akan terjadi salah plot sebesar 1/S x
kesalahan.
Upaya peningkatan ketelitian hasil ukur cara offset bisa dilakukan dengan :
1. Titik-titik kerangka dasar dipilih atau dibuat mendekati bentuk segitiga
sama sisi
2. Garis ukur:
3. Garis offset pada cara siku-siku harus benar-benar tegak lurusgaris ukur
Pengukuran cara offset dicatat ke dalam buku ukur yang tiap halamannya
berbentuk tiga kolom. Kolom ke 1 – paling kiri, digunakan untuk
menggambar sket pengukuran. Kolom ke 2 digunakan untuk mencatat hasil
ukuran dengan paling bawah awal garis ukur, dan kolom ke 3 digunakan
untuk mencatatat deskripsi garis offset.
Salah satu unsur penting pada peta topografi adalah unsur ketinggian yang
biasanya disajikan dalam bentuk garis kontur. Menggunakan pengukuran cara
tachymetri, selain diperoleh unsur jarak, juga diperoleh beda tinggi. Bila
theodolit yang digunakan untuk pengukuran cara tachymetri juga dilengkapi
dengan kompas, maka sekaligus bisa dilakukan pengukuran untuk
pengukuran detil topografi dan pengukuran untuk pembuatan kerangka peta
pembantu pada pengukuran dengan kawasan yang luas secara efektif dan
efisien.
Alat ukur yang digunakan pada pengukuran untuk pembuatan peta topografi
cara tachymetry menggunakan theodolit berkompas adalah: theodolit
berkompas lengkap dengan statif dan unting-unting, rambu ukur yang
dilengkapi dengan nivo kotak dan pita ukur untuk mengukur tinggi alat.
Data yang harus diamati dari tempat berdiri alat ke titik bidik menggunakan
peralatan ini meliputi: azimuth magnet, benang atas, tengah dan bawah pada
rambu yang berdiri di atas titik bidik, sudut miring, dan tinggi alat ukur di
atas titik tempat berdiri alat.
Keseluruhan data ini dicatat dalam satu buku ukur.
Pengukuran detil cara tachymetri dimulai dengan penyiapan alat ukur di atas
titik ikat dan penempatan rambu di titik bidik. Setelah alat siap untuk
pengukuran, dimulai dengan perekaman data di tempat alat berdiri,
pembidikan ke rambu ukur, pengamatan azimuth dan pencatatan data di
rambu BT, BA, BB serta sudut miring m.
Tempatkan alat ukur di atas titik kerangka dasar atau titik kerangka penolong
dan atur sehingga alat siap untuk pengukuran, ukur dan catat tinggi alat di
atas titik ini.
Dirikan rambu di atas titik bidik dan tegakkan rambu dengan bantuan nivo
kotak.
Arahkan teropong ke rambu ukur sehingga bayangan tegak garis diafragma
berimpit dengan garis tengah rambu. Kemudian kencangkan kunci gerakan
mendatar teropong.
Kendorkan kunci jarum magnet sehingga jarum bergerak bebas. Setelah
jarum setimbang tidak bergerak, baca dan catat azimuth magnetis dari
tempat alat ke titik bidik.
Kencangkan kunci gerakan tegak teropong, kemudian baca bacaan benag
tengah, atas dan bawah serta cata dalam buku ukur. Bila memungkinkan,
atur bacaan benang tengah pada rambu di titik bidik setinggi alat, sehingga
beda tinggi yang diperoleh sudah merupakan beda tinggi antara titik
kerangka tempat berdiri alat dan titik detil yang dibidik.
Titik detil yang harus diukur meliputi semua titik alam maupun buatan
manusia yang mempengaruhi bentuk topografi peta daerah pengukuran.
3.2.2 Kesalahan pengukuran cara tachymetri dengan theodolit berkompas
Kesalahan alat, misalnya:
a. Jarum kompas tidak benar-benar lurus.
b. Jarum kompas tidak dapat bergerak bebas pada prosnya.
c. Garis bidik tidak tegak lurus sumbu mendatar (salah kolimasi).
d. Garis skala 0° - 180° atau 180° - 0° tidak sejajar garis bidik.
e. Letak teropong eksentris.
f. Poros penyangga magnet tidak sepusat dengan skala lingkaran mendatar.
Kesalahan pengukur, misalnya:
a. Pengaturan alat tidak sempurna ( temporary adjustment ).
b. Salah taksir dalam pemacaan
c. Salah catat, dll. nya.
Kesalahan akibat faktor alam, misalnya:
a. Deklinasi magnet.
b. atraksi lokal.
Posisi horizontal dan vertikal titik detil diperoleh dari pengukuran cara polar
langsung diikatkan ke titik kerangka dasar pemetaan atau titik (kerangka)
penolong yang juga diikatkan langsung dengan cara polar ke titik kerangka
dasar pemetaan.
Posisi horizontal dan vertikal titik detil diukur dengan cara polar dari titik-titik
penolong.
Pengukuran poligon kompas K3, H1, H2, H3, H4 , H5, K4 dilakukan untuk
memperoleh posisi horizontal dan vertikal titik-titik penolong, sehingga ada
dua hitungan:
a. Hitungan poligon dan
b. Hitungan beda tinggi.
Selain hitungan cara numeris, poligon kompas juga bisa digambar kesalahan
ukurnya dengan cara mengeplotkan langsung data yang diperoleh dari
tahapan hitungan 1, 2, 3 dan 4 di atas. Seharusnya, bila tidak ada kesalahan
ukur titik K4 hasil pengeplotan langsung berdasarkan koordinat dan
pengeplotan titik K4 dari polygon kompas seharusnya berimpit. Penyimpangan
grafis yang tidak terlalu besar atau dalam selang toleransi dikoreksikan
secara grafis pada masing-masing titik poligon sebanding jumlah jarak
poligon di titik poligon.
Rangkuman
Peta planimetris pada daerah datar dengan cakupan tidak luas bisa dibuat dengan
cara offset. Pengukuran untuk pembuatan peta cara tachymetri menggunakan
theodolite berkompas banyak digunakan untuk pembuatan peta topografi pada
berbagai jenis medan pengukuran. Pengukuran poligon cara tachymetri berbantukan
theodolite berkompas memungkinkan pengadaan KDH dan KDV pembantu dan
sekaligus pengukuran titik detil.
Daftar Pustaka
4.1 Kontur
Salah satu unsur yang penting pada suatu peta topografi adalah informasi
tentang tinggi suatu tempat terhadap rujukan tertentu. Untuk menyajikan
variasi ketinggian suatu tempat pada peta topografi, umumnya digunakan
garis kontur (contour-line).
Interval kontur adalah jarak tegak antara dua garis kontur yang berdekatan.
Jadi juga merupakan jarak antara dua bidang mendatar yang berdekatan.
Pada suatu peta topografi interval kontur dibuat sama, berbanding terbalik
dengan skala peta. Semakin besar skala peta, jadi semakin banyak informasi
yang tersajikan, interval kontur semakin kecil.
Rumus untuk menentukan interval kontur pada suatu peta topografi adalah:
Contoh:
a. Garis-garis kontur saling melingkari satu sama lain dan tidak akan saling
berpotongan.
b. Pada daerah yang curam garis kontur lebih rapat dan pada daerah yang
landai lebih jarang.
c. Pada daerah yang sangat curam, garis-garis kontur membentuk satu garis.
d. Garis kontur pada curah yang sempit membentuk huruf V yang menghadap
ke bagian yang lebih rendah.
Garis kontur pada punggung bukit yang tajam membentuk huruf V yang
menghadap ke bagian yang lebih tinggi.
e. Garis kontur pada suatu punggung bukit yang membentuk sudut 90° dengan
kemiringan maksimumnya, akan membentuk huruf U menghadap ke bagian
yang lebih tinggi.
f. Garis kontur pada bukit atau cekungan membentuk garis-garis kontur yang
menutup-melingkar.
g. Garis kontur harus menutup pada dirinya sendiri.
h. Dua garis kontur yang mempunyai ketinggian sama tidak dapat dihubungkan
dan dilanjutkan menjadi satu garis kontur.
Gambar 4.2: Kerapatan garis kontur pada daerah curam dan daerah landai
Kemiringan tanah adalah sudut miring antara dua titik = tan-1( hAB/sAB).
Sedangkan kontur gradient adalah sudut antara permukaan tanah dan
bidang mendatar.
Gambar 4.8: Bentuk, luas dan volume daerah genangan berdasarkan garis kontur.
4.6 Penentuan dan Pengukuran Titik Detil Untuk Pembuatan Garis Kontur
Semakin rapat titik detil yang diamati, maka semakin teliti informasi yang
tersajikan dalam peta.
Dalam batas ketelitian teknis tertentu, kerapatan titik detil ditentukan oleh
skala peta dan ketelitian (interval) kontur yang diinginkan.
Pengukuran titik-titik detil untuk penarikan garis kontur suatu peta dapat
dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Titik-titik detil yang tidak harus sama tinggi, dipilih mengikuti pola tertentu,
yaitu: pola kotak-kotak (spot level), pola profil (grid) dan pola radial. Titik-
titik detil ini, posisi horizontal dan tingginya bisa diukur dengan cara
tachymetri - pada semua medan, sipat datar memanjang ataupun sipat datar
profil - pada daerah yang relatif datar.
Pola radial digunakan untuk pemetaan topografi pada daerah yang luas dan
permukaan tanahnya tidak beraturan.
Gambar 4.11: Pengukuran kontur pola spot level dan pola grid.
Gambar 4.12 Pengukuran kontur pola radial.
Titik-titik detil ditelusuri sehingga dapat ditentukan posisinya dalam peta dan
diukur pada ketinggian tertentu - ketinggian garis kontur. Cara
pengukurannya bisa menggunakan cara tachymetri atau cara sipat datar
memanjang dan diikuti dengan pengukuran polygon.
Cara ini pada dasarnya juga menggunakan dua titik yang diketahui posisi dan
ketinggiannya, hanya saja hitungan interpolasinya dikerjakan secara numeris
(eksak) menggunakan perbandingan linier.
Pada Gambar 4.14 di atas, titik R yang terletak pada garis ketinggian + 600
berada pada
jarak BR =( hBR / hBC) jarakBC.
Cara grafis
1. Dari sebuah peta topografi yang dibuat oleh BAKOSURTANAL atau peta
geologi dari Dir. Geologi di Bandung pada skala tertentu, misalnya 1 : 50
000:
a. Amati dan catat interval kontur yang ada serta catat jarak dua kontur di
peta.
d. Bandingkan peta untuk tempat yang sama dengan peta rupabumi dari
BPN ?
Apa yang terlihat ? Kesimpulannya ?
2. Tarik garis kontur dengan interval 2.5 m dan indeks kontur tiap kelipatan
genap 10 m dari data ukur pengukuran kontur cara grid yang sudah diplot
pada sket berikut. Pada satu kotak = (1 cm x 1 cm) = (500 m x 500 m).
Bila bacaan benang tengah sipat datar pada rambu di BM-01 = 1.937 m,
maka tentukan berapa seharusnya bacaan benang tengah pada rambu yang
berdiri tepat di ketinggian
+ 775.500 m.
Rangkuman
Garis kontur menghubungkan titik-titik dengan ketinggian sama. Pada daerah landai
garis kontur jarang dan semakin rapat pada derah yang semakin terjal. Interval
kontur dipengaruhi oleh bentuk medan dan skala peta yang berkaitan dengan tujuan
pemakaian peta. Membesarkan peta dari peta skala kecil menjadi peta skala besar
akan diperoleh peta dengan informasi yang "hilang" atau tidak tercakup, termasuk
garis kontur pada peta skala besar. Berdasarkan pola kontur bisa diinterpretasikan
kondisi fisik rupabumi dan dibuat keputusan-keputusan pada pekerjaan perencanaan
dan perancangan bangunan rekayasa sipil.
Daftar Pustaka
Bab 5
Proyeksi Peta
Bentuk bumi bukanlah bola tetapi lebih menyerupai ellips 3 dimensi atau
ellipsoid. Istilah ini sinonim dengan istilah spheroid yang digunakan untuk
menyatakan bentuk bumi. Karena bumi tidak uniform, maka digunakan istilah
geoid untuk menyatakan bentuk bumi yang menyerupai ellipsoid tetapi
dengan bentuk muka yang sangat tidak beraturan.
Untuk memudahkan rekonstruksi proyeksi peta dari titik di muka bumi maka
digunakan model spheroid dengan volume yang sama dengan spheroid
terbaik. Rekonstruksi proyeksi peta yang baik adalah yang bisa meminimkan
distorsi dalam hal: luas, bentuk, arah dan jarak. Dalam praktek tak ada
satupun sistem proyeksi peta yang bisa menghasilkan peta dengan keempat
faktor luas, bentuk, arah dan jarak tidak mengalami distorsi. Upaya
mempertahan salah satu unsur berakibat terjadinya distorsi pada unsur yang
lain.
Kebanyakan orang enggan untuk berpindah atau ganti dari satu sistem
proyeksi peta ke sistem proyeksi peta yang lain. Namun dengan berkembang
majunya teknologi komputer dan komunikasi dengan terapannya dalam
bidang pemetaan, seperti GPS dan GIS, maka perpindahan sistem proyeksi
merupakan hal yang penting dan untuk dikerjakan.
Ciri-ciri tertentu atau asli yang ingin dipertahankan sesuai dengan tujuan
pembuatan / pemakaian peta,
Ukuran dan bentuk daerah yang akan dipetakan,
Letak daerah yang akan dipetakan.
KELAS
c. Bujur (longitude - j ), Bujur Barat (0° - 180° BB) dan Bujur Timur (0° -
180° BT)
d. Lintang ( latitude - l ), Lintang Utara (0° -90° LU) dan Lintang Selatan (0°
–90° LS)
Gambar 5.2: Bumi sebagai spheroid.
Ellipsoid:
Gambar 5.5: orthodrome dan loxodrome pada proyeksi gnomonis dan proyeksi
mercator.
Gambar 5.8: Lembar proyeksi peta polyeder di bagian lintang utara dan
lintang selatan
Gambar 5.9: Konvergensi meridian pada proyeksi polyeder.
Secara praktis, pada kawasan 20' x 20', jarak hasil ukuran di muka bumi dan
jarak lurusnya di bidang proyeksi mendekati sama atau bisa dianggap sama.
Tergantung pada skala peta, tiap lembar bisa dibagi lagi dalam bagian yang
lebih kecil.
Koordinat titik-titik lain seperti titik triangualsi dan titik pojok lembar peta
dihitung dari titik pusat bagian derajat masin-masing bagian derajat.
Koordinat titik-titik sudut (titik pojok) geografis lembar peta dihitung
berdasarkan skala peta, misal 1 : 100 000, 1 : 50 000, 1 : 25 000 dan 1 : 5
000.
Pada skala 1 :50 000, satu bagian derajat proyeksi polyeder (20' x 20')
tergambar dalam 4 lembar peta dengan penomoran lembar A, B, C dan D.
Sumbu Y adalah meridian tengah dan sumbu X adalah garis tegak lurus
sumbu Y yang melalui perpotongan meridian tengah dan paralel tengah.
Setiap lembar peta mempunyai sistem sumbu koordinat yang melalui titik
tengah lembar dan sejajar sumbu X,Y dari sistem koordinat bagian derajat.
Ketentuan selanjutnya:
Bidang silinder memotong bola bumi pada dua buah meridian yang disebut
meridian standar dengan faktor skala 1.
Lebar zone 6° dihitung dari 180° BB dengan nomor zone 1 hingga ke 180° BT
dengan nomor zone 60. Tiap zone mempunyai meridian tengah sendiri
Perbesaran di meridian tengah = 0.9996
Batas paralel tepi atas dan tepi bawah adalah 84° LU dan 80° LS.
Pada kedua gambar tersebut, ekuator tergambar sebagai garis lurus dan
meridian-meridian tergambar sedikit melengkung. Karena proyeksi UTM
bersifat konform, maka paralel-paralel juga tergambar agak melengkung
sehingga perpotongannya dengan meridian membentuk sudut siku. Ekuator
tergambar sebagai garis lurus dan dipotong tegak lurus oleh proyeksi
meridian tengah yang juga terproyeksi sebagai garis lurus melalui titik V dan
VI. Kedua garis ini digunakan sebagai sumbu sistem koordinat (X,Y) proyeksi
pada setip zone.
Sistem grid pada proyeksi UTM terdiri dari garis lurus yang sejajar meridian
tengah. Lingkaran tempat perpotongan silinder dengan bola bumi tergambar
sebagai garis lurus. Pada daerah
I, V, II dan III, VI, IV gambar proyeksi mengalami pengecilan, sedangkan
pada daerah IA, IIB, IIIC dan IVD mengalami perbesaran. Garis tebal dan
garis putus-putus pada gambar menunjukkan proyeksi lingkaran-lingkaran
melalui I, II, III dan IV yang tidak mengalami distorsi setelah proyeksi.
dL Li - Li-1
dB Bi - Bi-1
A Azimuth geodesi, adalah sudut antara meridian spheroid dan garis geodesik
searah jarum jamdari utara sebenarnya sampai 360 .
Ag Azimuth grid, adalah sudut antara utara grid dan garis geodesik searah
jarum jamdari utara sebenarnya sampai 360 .
As Sudut jurusan grid, adalah sudut antara utara grid dan garis penghubung
lurus 2 titik searah jarum jam sampai 360 .
Kg Konvergensi grid, adalah sudut antara azimuth geodesi dan azimuth grid.
Kn Sudut kelengkungan garis adalah perubahan azimuth grid antara 2 titik pada
busur.
Ag i-1 = Ag i + K n 180 .
tmt Koreksi kelengkungan busur, adalah sudut antara busur dan garis lurus (arc-
to-chord).
As = Ag + tmt = A + Kg + tmt
S Jarak grid adalah panjang busur sebagai proyeksi dari jarak geodesi (jarak di
spheroid)
D Jarak di bidang datar, yaitu garis penghubung lurus antara dua titik di
bidang datar.
Konvergensi Meridian:
Gambar 5.13: Konvergensi Meridian pada proyeksi UTM
5.6.1 Ukuran Lembar Peta dan Cara Menghitung Titik Sudut Lembar Peta
UTM
Ukuran satu lembar bagian derajat adalah 6° arah meridian 8° arah paralel
(6° x 8° ) atau sekitar (665 km x 885 km).
Gambar 5.14 dan 5.15 menunjukkan sistem koordinat dan faktor skala pada
setiap lembar peta. Perhatikan pada absis antara 320 000 m – 500 000 m
dan 680 000 m – 500 000 m terjadi pengecilan faktor skala dari 1 ke 0.9996.
Sedangkan pada selang diluar kedua daerah ini terjadi perbesaran faktor
skala. Misalnya, pada tepi zone atau sekitar 300 km di sebelah barat dan
timur meriadian tengah, untuk jarak 1 000 m pada meridian tengah akan
tergambar 1.000 070 x 1 000 m = 1 000.70 m, atau terjadi distorsi sekitar 70
cm / 1 000 m.
Gambar 5.14: Sistem koordinat proyeksi peta UTM.
Gambar 5.15: Grafik faktor skala proyeksi peta UTM.
Menggunakan cara penomoran seperti itu, secara global pada proyeksi UTM,
wilayah Indonesia di mulai pada zone 46 dengan meridian sentral 93° BT dan
berakhir pada zone 54 dengan meridian sentral 141° BT, serta 4 satuan arah
lintang, yaitu L, M, N dan P dimulai dari
15° LS – 10° LU.
Bujur
Meridian Batas Zone
Meridian Sentral
Nomor Zone
( B0 ) Barat Timur
47.1 97 30 96 99
d. Satuan : Meter
2. Pada awal pemetaan di Indonesia, pernah digunakan titik (6° LS, 106° 48’
27.79’’ BT) sebagai titik pangkal koordinat.
Hitung posisi titik ini dalam lembar peta: Polyeder, UTM dan TM3 pada
bergaia skala yang anda ketahui.
Rangkuman
Sistem proyeksi peta dipilih untuk menggambarkan rupa bumi tiga dimensi ke muka
bidang datar atau bidang yang dapat didatarkan dua dimensi dengan distorsi
sesedikit mungkin. Tak ada satu sistem proyeksi peta-pun yang mampu
memproyeksikan ke bidang datar bentuk, luas dan jarak rupa bumi sama persis
tanpa distorsi. Sistem proyeksi peta yang sekarang umum digunakan adalah UTM. Di
Indonesia, UTM dimodifikasi dengan membagi lembar peta UTM menjadi (3 x 3).
Sistem proyeksi peta UTM digunakan oleh BAKOSURTANAL untuk JKGN Orde 0 dan
1, sedangkan TM3 digunakan oleh eks Badan Pertanahan Nasional untuk JKGN Orde
2 dan 3. Peta topografi Indonesia buatan Belanda menggunakan sistem proyeksi
Polyeder.
Daftar Pustaka
BAB 6
Pematokan Alinyemen Rute dan Penampang
Pada bagian lurus, bila tidak ada halangan maka pematokan bisa dilakukan
langsung dengan menarik meteran mendatar. Misal stasion awal proyek
berada pada sta 12 + 357.50, maka patok pertama untuk pematokan tiap 50
meter adalah sta 12 + 400.00 yang berjarak 42.50 meter dari sta 12 +
357.50. Patok-patok berikutnya pada bagian lurus adalah
sta 12 + 450.00, 12 + 500.00 dst.
Pelaksanaan:
1. Siapkan theodolite di atas PC,
2. Arahkan teropong ke PI, tempatkan diafragma tepat ke PI,
3. Geser teropong dari arah PI sebesar sudut defleksi,
4. Tarik jarak datar penghubung lurus PC ke stasion yang dipatok,
5. Ulangi 3 dan 4 hingga seluruh stasion terpasang patoknya,
6. Sebagai kontrol, bacaan ke PT = bacaan ke PC + D/2.
Theodolite di PT:
Persiapan dan pelaksanaan sama dengan cara theodolite di PC dengan
argumen dari PT.
Cara ini dilakukan untuk pemeriksaan pematokan sepanjang lingkaran cara
defleksi dengan theodolite di PC.
Gambar 6.3: Pematokan lingkaran menggunakan titik antara yang terlihat dari PC.
b. Titik antara D tidak terlihat dari PC. Lihat Gambar 6.3, titik D
tidak terlihat PC
Persiapan data:
1. Hitung sudut-sudut pembentuk sudut defleksi d, D dan d'
2. Susun data defleksi jarak tali busur dari PC ke patok-patok hingga
ke patok C
3. Susun data defleksi jarak tali busur dari C ke patok D
4. Susun data defleksi jarak tali busur dari D ke patok-patok hingga ke
patok PT
Pelaksanaan:
1.Tempatkan dan siapkan theodolite di titik D serta tepatkan garis
bidik ke titik C
2. Putar teropong searah jarum jam sebesar arah defleksi dari PC-C
ke PC-D ( a ),
3. Balikkan teropong, maka diperoleh arah tangent di titik satsion D,
4. Lanjutkan pematokan dari D dengan argumen defleksi berikutnya.
Theodolite di titik PI:
Cara ini dilakukan bila titik PI dapat ditempati alat seperti ditunjukkan pada
Gambar 6.4.
Persiapan data:
1. Susun data sudut pusat patok sepanjang lingkaran,
2. Sudut defleksi a dari arah PI-PT ke titik P = tan-1 {(1 – cos q
)/(tan D /2 – sin q )}
3. Hitung XP dan YP terhap PI dan PT (atau PC - tergantung posisi
titik).
3.a XP = T - 2 R sin q /2 cos q /2
3.b YP = R (1 – cos q )
4. Jarak dari PI ke P = (XP2 + YP2)1/2
Pelaksanaan:
1. Tempatkan dan siapkan theodolite di titik PI dan arahkan garis bidik
ke PT (atau PC)
2. Putar garis bidik sebesar a searah jarum jam dan pasang jarak PI
ke P, maka titik P
terpasang.
Persiapan data:
1. Hitung sudut pusat q pada lingkaran dengan argumen panjang
lengkung lingkaran dari
PC / PT ke PI,
2. Hitung panjang lurus LC (long chord) = 2 R sin q/2.
3. Hitung x = LC cosq /2 dan y = LC sinq/2 ,
4. Ulangi hitungan 1, 2dan 3 untuk semua patok stasion.
Pelaksanaan:
Alat yang digunakan bisa menggunakan pasangan theodolite, jalon
dan pita ukur atau pasangan pita ukur dan jalon saja.
1. Tarik arah lurus dari PC/ PT ke PI,
2. Tarik jarak x,
3. Buat sudut siku di x ke arah pusat lingkaran,
4. Tarik jarak y sehingga diperoleh posisi patok pada lengkung
horizontal lingkaran,
5. Ulangi 2, 3 dan 4 untuk semua titik.
Cara ini juga disebut cara defleksi jarak. Pada Gambar XYZ, PP' dan
QQ' disebut "jarak defleksi" dari perpanjangan bagian lurus (chord)
= 2y.
Persiapan data:
1. Hitung jarak defleksi (JD ) = 2y = 2 LC sinq/2,
2. Ulangi 1 untuk semua titik stasion. Perhatikan bila jarak stasion
tidak sama.
Pelaksanaan:
Alat yang digunkan adalah pita ukur dan jalon.
1. Perpanjang chord sepanjang c,
2. Buat segitiga sama kaki dengan sisi-sisinya c (perpanjangan
chord) , JD dan c (chord).
Persiapan data:
1. Hitung c,
2. Hitung x dan y,
3. Ulangi 1, 2 untuk semua titik patok stasion.
Pelaksanaan:
Alat yang digunakan pita ukur dan jalon.
1. Tentukan arah tangen di titik tengah,
2. Tarik panjang x,
3. Buat sudut siku ke arah dalam lingkaran di x, dan tarik y pada arah
ini dari x
sehingga diperoleh posisi P,
4. Ulangi 2 dan 3 untuk semua patok.
Notasi:
Gambar 6.8: Geometri lengkung peralihan spiral
qs Sudut pusat spiral dengan panjang spiral ls, disebut "sudut spiral"
f Sudut defleksi di titik TS dari arah tangent awal ke suatu titik di spiral
Sudut pusat total lengkungan
D
Sudut pusat lengkung lingkaran dari SC ke CS
D c c
x Absis sembarang titik pada spiral terhadap sumbu dari TS arah awal tangen
xc Absis titik SC
Ordinat sembarang titik pada spiral terhadap sumbu dari TS arah awal tangen
y
yc Ordinat titik SC
LT Tangen panjang, jarak lurus dari TS hingga perpotongan tangen spiral dan
tangent circle.
Tangen pendek, jarak lurus dari SC hingga perpotongan tangen spiral dan
ST tangen circle.
Persiapan Data:
Data perencanaan yang ada: D , ls dan Rc
a. Hitung qs
b. Hitung p dan k
c. Hitung Ts
d. Hitung Dc dan Lc
e. Hitung Sta TS, SC, CS dan ST
f. Susun data pematokan sesuai jarak antar patok ( 25, 50, atau 100 m ).
Contoh hitungan pematokan S-C-S simetri terlampir (stakeSpiral).
Pelaksanaan Pematokan:
Cara Defleksi:
a. Dirikan dan siapkan theodolite di TS,
b. Bidikkan teropong ke titik PI,
c. Geserkan teropong sebesar sudut defleksi,
d. Tarik jarak = jarak lurus ke titik patok dari TS,
e. Ulangi c dan d hingga seluruh patok terpasang hingga titik SC,
f. Pindahkan theodolite ke SC dan siapkan untuk pematokan,
g. Arahkan teropong ke TS,
h. Geser teropong searah jarum jam sebesar (q s - f f c) dan balikkan
teropong,
i. Arah teropong sekarang = arah tangent circle di titik SC,
j. Lakukan pematokan cara defleksi titik sepanjang circle hingga CS,
k. Pindahkan theodolit ke ST dan siapkan untuk pematokan,
l. Lakukan pematokan titik sepanjang spiral dari ST ke SC
Notasi:
Titik PVI pada lengkung parabola vertikal tidaklah seperti PI pada lengkungan
horizontal yang dalam banyak hal masih bisa dipasang langsung di lapangan.
Titik PVI adalah titik model yang tidak mungkin di pasang di lapangan.
Pematokan pada sumbu arah vertikal dilakukan dua tahap, pertama hitungan
tinggi titik pada permukaan sumbu dan kedua hitungan tinggi titik-titik dan
jaraknya dari sumbu sesuai dengan bentuk rencana potongan melintang
sumbu di stasion tersebut. Hitungan pada arah penampang melintang juga
harus digambarkan pada gambar penampang melintang tanah yang ada
(existing) untuk menghitung kuantitas pekerjaan. Gambar ini juga membantu
untuk pegangan bagi pelaksana di lapangan.
Persiapan data:
a. Hitung jarak patok x dari stasion PVC,
b. Hitung ketinggian titik, Ex = Ea + g1x + (x/L)24e atau Ex = Ea + g1x +
1/2 rx2
c. Hitungan (stakeParabola). dalam bentuk spread sheet MS Excel terlampir.
Pematokan:
a. Alat yang digunakan: sipat datar dengan sepasang rambu, pita ukur,
mistar, kuas dan cat
untuk penandaan,
b. Dirikan sipat datar di lokasi pematokan dan bidikkan ke titik rujukan
ketinggian,
c. Hitung ketinggian garis bidik,
d. Hitung bacaan rambu pada suatu titik rencana = tinggi garis bidik - tinggi
rencana,
e. Pasang tanda ketinggian pada patok pengikat sumbu di kanan dan kiri rute
sesuai tinggi
rencana.
6.4.1 Superelevasi:
Pada lengkungan S-C-S, superelevasi menaik sedikit demi sedikit dari normal
pada TS hingga maksimum pada SC dan konstan terus ke CS serta sedikit
demi sedikit menurun hingga normal di ST.
Misal pada suatu jalan mempunyai kemiringan potongan tipikal muka jalan
permukaan perkerasan normal - e% dan superelevasi + E%, maka:
a. Bagian luar diangkat sedikit demi sedikit linier dari - e% pada TS dan
maksimum + E%
pada SC.
c. Kemiringan bagian dalam tetap -e% hingga stasion bagian luar menjadi +
e%,
d. Kemudian keduanya menaik/menurun hingga +E%/-E% di SC,
6.4.2 Pelebaran
6.5. Penampang
Penampang merupakan gambar irisan tegak. Bila pada peta topografi bisa
dilihat bentuk proyeksi tegak model bangunan, maka pada gambar
penampang bisa dilihat model potongan tegak bangunan dalam arah
memanjang ataupun melintang tegak lurus arah potongan memanjang. Bisa
dipahami bahwa gambar penampang merupakan gambaran dua dimensi
dengan elemen unsur jarak (datar) dan ketinggian. Unsur-unsur rupa bumi
alamiah ataupun unsur-unsur buatan manusia yang ada dan yang akan
dibuat disajikan dalam gambar penampang. Pada gambar penampang dibuat
dan disajikan rencana dan rancangan bangunan dalam arah tegak. Skala
horizontal pada gambar penampang umumnya lebih kecil dibandaing skala
tegak.
Skala horintal dan vertikal gambar penampang melintang selalu dibuat dalam
skala besar
1 : 100/1 : 100, 1 : 200/1 : 100 atau 1 : 200/1 : 200.
1. Buat perbandingan penentuan posisi (X,Y) cara polar dan penentuan posisi
patok stasion cara defleksi.
2. PI-10 terletak pada dinding bukit terjal. Untuk itu dibuat PI pembantu PI-10a
dan PI-10b. Bila PI-10a terletak 201.374 m dari PI-09, sudut defleksi PI-10a
= 2° 15’ 20" dan
PI-10b = 3° 10’ 15" dan jarak PI-10a – PI-10b = 75.555 m, maka hitung data
PI-10 itu.
3. PI-01 terletak 301.17 m dari awal proyek pada sta 35 + 063.91. Hitung
stasion tiap 50m dan pematokannya cara defleksi bila data perencanaan
geomtri jalan di PI ini adalah:
q S 12° 0’ 0’’
Rc 300.00 m
ls 125.66 m
xc 125.11 m
yc 8.75 m
p 2.19 m
k 62.74 m
Ts 173.72 m
Es 21.926 m
Lc 85.52 m
L 336.85 m
4. Periksa bila pada PVI berikut terdapat titik belok. Bila terdapat tentukan
lokasi dan jenisnya sebagai titik terendah atau tertinggi.
PVI g1 % g2 % L m
17 - 3 + 1 150
23 - 3 - 1 150
35 + 2 + 5 150
45 + 3 - 4 150
55 - 2 + 3 150
5. Pada PI-02 stasion 112+246.35 direncanakan belokan ke kanan lengkung
horizontal S-C-S dengan panjang ls = 175 m, lc = 150 m, superelevasi + 5%
dan pelebaran + 1.00 m. Bila dianggap tanah asli sepanjang lengkungan ini
datar demikian juga rencana alignment vertikalnya, serta dianggap rencana
permukaan berada 1.00 meter di atas tanah asli maka:
Rangkuman
Pematokan alinyemen horizontal pada dasarnya berbasis cara polar dan poligon.
Titik-titik patok alinyemen horizontal secara fisik bisa dipasang di lapangan dan
menjadi rujukan dalam pengukuran penampang dan pematokan alinyemen vertikal.
Pematokan alinyemen vertikal pada dasarnya berupa pemasangan ketinggian
rencana berbasis penampang melintang. Cara defleksi merupakan cara yang umum
digunakan untuk pematokan alinyemen horizontal pada medan yang terbuka atau
tanpa halangan.
Daftar Pustaka
BAB 7
Pengukuran Jalan dan Pengairan
Contoh skala peta dan gambar untuk pekerjaan jalan tahap perancangan rinci:
Pengukuran dan Sama seperti pada tahap perancangan rinci, hanya pengukuran penampang
pemetaan melintang dibuat lebih rapat.
untuk
pelaksanaan
Gambar 7.4: Penampang melintang pada berbagai
tipikal konstrusi jalan.
(Dialih dan dikembangkan berdasarkan Hickerson.)
Kriteria Perencanaan:
Bench Mark:
BM merupakan titik rujukan dan pemeriksaan posisi horizontal (KDH) dan
vertikal (KDV) pengukuran dan pemetaan. Sepanjang rute sungai dan
saluran, BM dipasang setiap interval 2,5 km. BM terpasang dibuatkan
deskripsi.
Gambar 7.5: BM untuk
pengukuran pengairan.
(Disalin dari PT 02 PU)
Poligon:
Poligon utama:
1. Poligon terikat sempurna,
2. Kesalahan penutup sudut lebih teliti atau sama dengan 10"Ö n; n = jumlah
titik sudut,
3. Kesalahan penutup linier poligon (jarak) £ 1: 10 000.
Poligon cabang:
1. Poligon terikat sempurna pada poligon utama,
2. Kesalahan penutup sudut lebih teliti atau sama dengan:
1. Poligon terikat sempurna pada poligon utama,
2. Kesalahan penutup sudut lebih teliti atau sama dengan 20"Ö n; n = jumlah
titik sudut,
3. Kesalahan penutup linier poligon (jarak) £ 1: 5 000.
Sipat datar:
Kesalahan penutup sipat datar lebih teliti atau sama dengan 7Ö Dkm mm.
Titik detil cara tachymetri:
Poligon pembantu:
1. Poligon pembantu terikat pada poligon utama atau poligon cabang,
2. Kesalahan penutup sudut lebih teliti atau sama dengan 24"Ö n; n = jumlah
titik sudut,
3. Kesalahan penutup linier poligon (jarak) £ 1: 2 000,
4. Kesalahan penutup ketinggian titik poligon pembantu £ ± 10Ö Dkm mm.
Garis kontur:
1. Indeks kontur umumnya 5 m atau 10 m,
2. Inteval 0,25 m pada daerah datar hingga 10 m pada derah dengan
kecuraman > 20%.
Proyeksi peta: UTM
Kertas gambar:
1. Kertas gambar ukuran A1,
2. Wajah peta (50 cm x 80 cm),
3. Skala peta 1 : 2 000, 1 : 5 000, 1 : 10 000 dan 1 : 20 000.
Gambar 7.6: Contoh lembar peta
ortofoto pengairan.
(Disalin dari PT 02 PU)
Stasion rute:
1. Stasion atau patok kilometer dimulai dari bagian hilir sungai atau awal
bendung,
2. Patok kilometer di pasang sebelah kanan/kiri sungai ataupun saluran.
Penampang memanjang:
1. Penampang memanjang (PM) sepanjang sungai atau saluran,
2. PM menunjukkan kedalaman asli sumbu, bagian terdalam, tinggi muka air
terendah dan
tertinggi,
3. PM menunjukkan tinggi rencana muka air tertinggi, banjir, tinggi tanggul
kanan dan kiri,
4. PM dibuat berdasarkan data pengukuran penampang melintang,
4. Skala gambar H/V 1 : 2 000/1 : 200 atau 1 : 1 000/1 : 100.
Penampang melintang:
1. Penampang melintang tegak lurus sumbu sungai atau saluran,
2. Penampang dilihat dari arah hilir,
3. Selang pengukuran setiap 25, 50 atau 100 m,
4. Skala gambar H/V 1 : 200/1 : 200, 1 : 200/1 : 100 atau 1 : 100/1 : 100.
Gambar 7.8: Contoh tipe pengukuran
panampang sungai.
(Disalin dari Suyono Sosrodarsono)
Bangunan Khusus:
1. Bendung/waduk peta topografi skala 1 : 500,
2. Bangunan lainnya skala peta topografi skala 1 : 500 atau 1 : 200.
1. Sebutkan jenis dan skala serta pemakaian gambar dan peta pada berbagai
tahapan pekerjaan rekayasa sipil, khususnya jalan. Coba berikan alasan
pemakaian berbagai skala itu.
2. Gambar dan sebutkan elemen pengukuran penampang melintang pada
pengukuran jalan dan sungai. Bandinghkan cara dan peralatan pengukuran
yang mungkin diperlukan.
Rangkuman
Penerapan pengukuran dan pemetaan di bidang rekayasa sipil mulai dari pemetaan
skala kecil yang mencakup daerah luas hingga ke skala besar untuk pelaksanaan
pekerjaan. Pembuatan peta skala kecil dan peta dasar oleh lembaga khusus
pemetaan nasional. Pengukuran dan pemataan skala besar mulai dari tahap
perencanaan pendahuluan dilakukan khusus untuk lokasi pekerjaan.
Daftar Pustaka
Kemajuan dalam teknologi perangkat keras dan lunak komputer saat ini menjadikan
media dijital (soft copy) sebagai media pilihan untuk penggambaran dan pemetaan.
Bila gambar dan peta tersimpan dan tersajikan secara dijital menggunakan paket-
paket program terapan kelompok CAD (computer aided drafting/design) ataupun
GIS (geographical information systems), maka hitungan panjang, luas dan volume
dari suatu gambar ataupun peta bisa diperoleh dengan mudah menggunakan
program-program yang disediakan.
Gambar yang akan dihitung luasnya bisa berupa gambar potongan, gambar kawasan
yang dibatasi oleh poligon atau kawasan yang dibatasi oleh garis kontur.
8.1 Luas
Persegi empat
Segitiga
Bila panjang satu sisi b dan tinggi segitiga pada sisi itu = h,
maka luas segitiga LST = 1/2 bh
Trapesium
Gambar 8.1: Hitungan luas cara offset dengan interval tidak tetap.
Cara offset
A = l (h1 + h2 + h3 + ... + hn) = l S hi, dengan i = 1 ... n.
Bila koordinat (X,Y) suatu segi banyak diketahui, maka luasnya adalah:
A = 1/2 S X(Y+1 - Yi-1) atau A = 1/2 S Yi(Xi-1 - Xi+1).
Typical cross section adalah bentuk potongan baku yang menunjukkan bentuk
struktur bangunan pada arah potongan. Misal, pada konstruksi jalan beraspal,
typical cross section jalan menunjukkan struktur pelapisan perkerasan jalan
yang juga menunjukkan cara penimbunan ataupun penggalian bila
diperlukan.
Contoh:
Luas galian pada potongan yang ditunjukkan pada Gambar X.5 berikut
adalah
A = h(W + r1h)
Hitungan luas berdasarkan potongan lintang pada bentuk tanah asli tidak
beraturan menggunakan cara koordinat. Koordinat perpotongan typical cross
sections dengan tanah asli harus dihitung.
Cara kisi-kisi
Cara lajur
8.2 VOLUME
Bila A1 dan A2 merupakan luas dua buah penampang yang berjarak L, maka
volume yang dibatasi oleh kedua penampang ini:
V = 1/2(A1 + A2) L
Cara prisma
V = h/6(A1 + 4 Am + A2)
V = A/4( h1 + 2 S h2 + 3 S h3 + 4 S h4)
Contoh, lihat Gambar XYZ. Titik-titik berurutan dari pojok kiri atas ke kanan
terus kebawah masing-masing digunakan dalam hitungan bujur sangkar: 1,
2, 2, 2, 1; 2, 4, 4, 3, 1 dan 1, 2, 2, 1 kali. Contoh hitungan (Volume tinggi
sama basis bujur sangkar). menggunakan spread sheet terlampir.
V = A/3(h1 + 2S h2 + 3S h3 + 4S h4 + 5S h5 + 6S h6 + 7S h7 + 8S h8)
V = h/2 { Ao + An + 2S Ar }
1. Ambil suatu tipikal perkerasan jalan normal yang lapisan kekerasannya urut
dari atas terdiri dari aspal, base course, sub base dan timbunan atau galian
tanah asli.
a. Gambar tipikal perkerasan ini pada kondisi galian dan timbunan
b. Turunkan rumus untuk menghitung posisi perpotongan timbunan/galian
dengan tanah asli
Bila terjadi timbunan dan galian sekaligus, buat hitungan terpisah untuk
masing-masing.
2. Pada stasion A yang berjarak 50 meter dari stasion B terjadi penimbunan,
sedangkan pada stasion B terjadi penggalian. Buat analisa lokasi stasion
perubahan dari timbunan menjadi galian:
a. Bila galian dan timbunan seragam di kanan dan kiri
b. Bila galian dan timbunan tidak seragam di kanan dan kiri.
Rangkuman
Hitungan luas dan volume bisa dilakukan secara grafis dan numeris. Untuk gambar
yang dibatasi oleh titik-titik yang berkoordinat dianjurkan hitungan luas dan volume
dihitung secara numeris menggunakan kalkulator berprogram dan program
komputer.
Daftar Pustaka
Wirshing, J.R. and Wirshing, R.H., (1985), Teori dan Soal Pengantar Pemetaan –
Terjemahan, Introductory Surveying, Schaum Series, Penerbit