Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Al Am Dan Al Khas

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

Al’am dan Al Khas

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Ulumul Qur’an yang diampuh oleh Bapak Faqih Ali Syari’ati

Oleh:

Nafasatul Komariya 22383042040


Novi Lailatul Hasanah 22383042041
Intan Erfinda Noer Septiani 22383042060

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUS AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT. yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah dan Inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang "Al-am dan Al-Khas". Makalah "Al-Am
dan Al-Khas" ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami
menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh karena itu, kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap
semoga makalah "Al-Am dan Al-Khas" ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi khususnya bagi penulis dan para pembaca.

Pamekasan, 23 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian............................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Al-‘Aam ......................................................................................... 3
B. Al-Khas........................................................................................... 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................... 12
B. Saran............................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Untuk bisa memahami dengan baik dan benar bahasa Al-Qur’an tersebut para Ulama,
baik ulama ushul fiqh, ulama tafsir, ulama lughah, dan lain sebagainya, telah mengadakan
penelitian yang serius terhadap beberapa lafal, khususnya yang terkait dengan ushlub atau
gaya bahasa Arab.Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam
mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh ini, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah
yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah
yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci.1
Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan
mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari
sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah
peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan
ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.
Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu
berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk
menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai qaidah
ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap
peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama
dengan qaidah ushuliyyah, sehingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah
ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam
adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan
pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah yang diperoleh

1
http://alialsudaer.blogspot.com/2017/05/makalah-am-dan-khas.html?m=1 (12.11, 23-10-22)
1
melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash
syara' dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.2
Dalam ilmu ushul fiqih pembahasan lafal ‘Am dan khash mempunyai kedudukan
tersendiri, karena lafal‘Am dan khash mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang
perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Dari sisi lain sumber hukum Islam
pun, Alquran dan Sunah dalam banyak hal memakai lafal yang umum dan khusus. Para
ulama ushul fiqih berbeda pendapat dalam memberikan definisi atau pengertian tentang
lafal‘Am dan khash. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang
sama. Maka dari itu, pentingnya makalah ini kita akan bahas mengenai hal tersebut agar
menjadi pengetahuan bagi kita.3

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Al-‘Am Dan Al-Khas ?
2. Apa Saja Sigat Al-‘Am?
3. Apa Saja Dilalah Al-‘Am Dan Al-Khas?
4. Ada Saja Macam-Macam Al-‘Am Dan Khas?
5. Apa Saja Sifat-Sifat Lafaz Al-Khas?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mahasiswa Mampu Menyebutkan Pengertian Tentang Al-‘Am Dan Al-Khas
2. Mahasiswa Mampu Menyebutkan Apa Saja Sigat Al-‘Am
3. Mahasiswa Mampu Menyebutkan Tentang Apa Saja Dilalah Al-‘Am Dan Al-
Khas
4. Mahasiswa Mampu Menyebutkan Apa Saja Macam-Macam Al-‘Am Dan Khas
5. Mahasiswa Mampu Menyebutkan Apa Saja Sifat-Sifat Lafaz Al-Khas
BAB II
2
https://www.coursehero.com/file/22598027/Makalah-Ushul-Fiqih-kelompok-2-AL-Aam-AL-Khas/ (12.46, 23-10-
22)

3
https://www.studocu.com/id/document/universitas-islam-negeri-raden-fatah/bahasa-indonesia/makalah-
laafadz-am/29359232

2
PEMBAHASAN

1. Al-‘Aam

Pengertian Al-‘Aam

Al-‘aam (‫ )العام‬secara bahasa atau etimologi sebagaimana disebutkan oleh As-subki


berarti umum. Sedangkan secara terminologi atau istilah, ada beberapa definisi yang
diajukan oleh para ulama secara berbeda-beda, di antaranya :

1. Muhammad Adib Saleh mendefinisikan bahwa al-‘am adalah lafadz yang


diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian tiap lafadz itu sendiri
tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
2. Jalaludin As Suyuthi menyebutkan bahwa ‘aam adalah lafadz yang mencakup
seluruh satuansatuan yang pantas baginya dan tidak terbatas dalam jumlah
tertentu.
3. Zakiy al-Din Sya’baniy menyebutkan bahwa lafadz ‘aam adalah suatu lafadz
yang cakupan maknanya meliputi berbagai satuan (afrod) menurut makna yang
sebenarnya tanpa adanya batasan tertentu.
4. Subkkhi Al Shaleh menuliskan dalam kitabnya bahwa lafadz ‘aam adalah suatu
lafadz yang di dalamnya menunjukkan pengertian umum menurut makna yang
sebenarnya, tidak dibatasi oleh jumlah dan tidak pula menunjukkan bilangan
tertentu.

Para ulama di kalangan mazha Al-Hanafiah menyebutkan bahwa al-‘aam adalah


setiap lafadz yang mencakup banyak hal, baik itu secara lafadz maupun makna. Al-
Ghazali menyebutkan bahwa al‘aam adalah suatu lafadz yang dari suatu segi
menunjukkan dua makna atau lebih. Al-Bazdawi mengatakan bahwa al-‘aam adalah
suatu lafadz yang mencakup semua yang cocok untuk lafadz tersebut dalam satu kata.
Para ulama di kalangan mazhab Al-Hanabilah menyebutkan bahwa al-‘aam adalah
lafadz yang mengumumi dua hal atau lebih.
Dari beberapa pengertian di atas, secara substansial tidak memiliki perbedaan
makna. Artinya, suatu lafadz bisa dikatakan ‘am apabila kandungan maknanya tidak
memberikan batasan pada jumlah yang tertentu.

3
Lafadz-lafadz Al ‘am

Hasil penelitian para ulama terhadap kata-kata dan susunan kalimat bahasa arab yang
terkandung di dalam Al Quran, lafadz-lafadz yang menunjukkan lafadz umum adalah
sebagai berikut :

1. Lafadz kullu ( ‫ )كل‬dan jami’ ( ‫)جميع‬.


Seperti dalam surat At Thur ayat 21
َ ‫ُك ُّل ا ْمرٍِئ ۢبِ َما َك‬
ٌ‫س َب َر ِهيْن‬
… tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang ia kerjakan. (QS At Thur: 21)

2. Sighat Jama’ Yang Disertai Alif Lam ( ‫ )ال‬di Awal


Seperti lafadz al-walidat dalam Surat Al Baqarah ayat 233

‫ض ْعنَ اَوْ اَل َده َُّن َحوْ لَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن‬ ُ ‫َو ْال َوالِ ٰد‬
ِ ْ‫ت يُر‬

“para ibu hendaknya menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh yaitu bagi
orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”(QS Al Baqarah : 233)

3. Kata Benda Tunggal Yang Dima’rifahkan Dengan Alif Lam ( ‫)ال‬


Contohnya lafadz al-insan dalam surat Al-‘Asr ayat 2.
ْ ‫سانَ لَفِ ْي ُخ‬
‫س ۙ ٍر‬ َ ‫اِنَّ ااْل ِ ْن‬
“ sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman” .
(QS Al-Asr:2)

4. Isim Isyarat
Isim syarat (kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata man (‫ )من‬dalam surat
An Nisa’ ayat 92.
‫َو َم ْن قَت ََل ُمْؤ ِمنًا َخطَـًٔا فَتَحْ ِر ْي ُر َرقَبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة‬
Orang yang membunuh mukmin karena tidak disengaja (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. (QS An Nisa’ : 92)

5. Isim Nakirah Yang Dinafikan


Isim nakirah yang dinafikkan, seperti kata laa junaha dalam surat al mumtahanah
ayat 10 :
‫َاح َعلَ ْي ُك ْم اَ ْن تَ ْن ِكحُوْ ه َُّن اِ َذٓا ٰاتَ ْيتُ ُموْ ه َُّن اُجُوْ َره ۗ َُّن‬
َ ‫َواَل ُجن‬
Dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. (Qs Al-mumtahanah / 60; 10)
6. Isim maushul
Isim maushul itu adalah kata ganti penghubung, misalnya kata al-ladzina dalam
ayat 10 Qs An-Nisa
4
‫اِ َّن الَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ اَ ْم َوا َل ْاليَ ٰتمٰ ى ظُ ْل ًما‬
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzolim”
(QS An Nis : 10)

Dalalah Lafadz ‘Am


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa keumumannya lafadz ‘am itu
akan tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang dijadikan dasar untuk
mentakhsishnya.

1. Jumhur Ulama

Meskipun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap


lafadz ‘am, pasti ada dalil yang mentakhsishnya. Diantara yang berpendapat
demikian adalah jumhur ulama seperti Madzhab Asy-Syafi’i.

Atas dasar itulah sehingga mereka membuat suatu kaidah.

َ ‫ما َ ِم ْن عا َ ٍم اِالٌ ُخصُوْ صها‬

Tidak ada lafadz ‘am, melainkan selalu ditakhshiskan

Berdasarkan kaidah tersebut, maka mereka berpendapat bahwa lafadz ‘am


itu dalalahnya zhanniyah dan bukan dalalah qath’iyyah. Maksudnya sifatnya
sebagai dalil masih belum mutlak dan masih bersifat zhanni. Maka bila kita
temukan lafadz ‘am, masih dibutuhkan takhshisnya dulu sebelum diamalkan.

2. Mazhab Al-Hanafiyah

Sedangkan menurut ulama madzhab hanafi bahwa dalalah lafazh ‘am itu
bersifat qath’iyyah atau mutlak. Lafazh ‘am dalam pandangan mereka memiliki
makna secara pasti, tegas selama tidak ada dalil yang menyalahinya.Berkaitan
dengan masalah ini mereka membuat kaidah sebagai berikut:
“Apabila terdapat lafazh ‘am, maka yang dimaksudkan adalah seluruh satuan-
satuan yang dapat masuk kedalamnya dan ia bersifat qath’i, sampai nanti ada
dalil yang menunjukan atas pengkhususannya dan yang membatasi sebagian
satuan-satuannya”

5
Pembagian Lafadz ‘Am

Lafadz ‘am apabila dilihat dari segi penggunaanya dapat dikategorikan menjadi tiga
macam, yaitu :

1. Tetap Pada Keumumannya

Lafadz ‘am yang tetap pada keumumannya (albaqiy ‘ala umumihi), yaitu
‘am yang disertai qarinah yang tidak memungkinkan untuk ditakhshish. Contoh
lafadz untuk kategori pertama ini biasanya berkaitan dengan kalimat-kalimat yang
menerangkan sunnatullah (hukum ilahi), seperti dalam surat hud ayat 6

ْ‫ض ِااَّل َعلَى هّٰللا ِ ِر ْزقُ َها َو َيعْ لَ ُم مُسْ َت َقرَّ َها َومُسْ َت ْودَ َع َها ۗ ُك ٌّل فِي‬
ِ ْ‫َو َما مِنْ د َۤا َّب ٍة فِى ااْل َر‬
‫ْن‬ ٍ ‫ك ِٰت‬
ٍ ‫ب م ُِّبي‬
“Dan tidak ada seekor binatang melata pun dibumi, melainkan allah-lah yang
memberi rizkinya…..” ( Qs Hud : 6)

2. Lafadz ‘Am Maksudnya Khusus


Lafadz ‘am tetapi maksudnya khusus(al-am almuradu bihi al-khushush),
yaitu ‘am yang disertai qarinah yang menghilangkan arti umumnya dan
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘am itu adalah sebagian dari
satuannya, seperti dalam surat at taubah ayat 120 :
ْ‫ب اَنْ َّي َت َخلَّفُ ْوا َعنْ رَّ س ُْو ِل هّٰللا ِ َواَل َيرْ َغب ُْوا ِبا َ ْنفُسِ ِه ْم َعن‬
ِ ‫ان اِل َهْ ِل ْال َم ِد ْي َن ِة َو َمنْ َح ْولَ ُه ْم م َِّن ااْل َعْ َرا‬
َ ‫َما َك‬
‫َّن ْفسِ ۗ ٖه‬
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk madinah dan orang-orang arab
baduwi yang berdiri di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi
berperang) dan tidak patut ( pula)bagi mereka mencintai diri mereka daripada
mencintai diri Rasul.” (At Taubah/9:120).

Sepintas dipahami bahwa ayat tersebut menunjukkan ayat umum, yaitu


penduduk madinah dan orang-orang arab disekitarnya, termasuk orang-orang
sakit dan lemah. Namun yang dikehendaki dari ayat tersebut bukanlah masyarakat
pada umumnya, tetapi hanya masyarakat yang mampu saja yang diwajibkan.

3. Lafadz ‘Am Yang Dikhususkan


Lafadz ‘am yang dikhusushkan (al-am almakhshush), yaitu ‘am yang tidak
disertai qarinah, baik itu qarinah yang tidak memungkinkan untuk ditakhshish,
maupun qarinah yang menghilangkan keumumannya.
Lafadz ‘am ini menunjukkan keumumannya selama tidak ada dalil yang
mengkhususkan, seperti dalam surat al baqarah ayat 228 berikut

6
‫املطلقات يرتبصن ابنفسهن ثالثةُّقرو‬

“Wanita-wanita yang dithalaq, hendaklah menahan diri (menunggu)sampai tiga


kali suci…..”(QS Al Baqarah :228)

4. Takhsish Al ‘am
Menurut Zakiy al-Din Sya’ban, takhshish adalah memalingkan lafadz ‘am
dari makna umumnya dan membatasinya dengan sebagian satuan-satuan yang
tercakup di dalamnya, karena ada dalil yang menunjukkan mengenai hal itu.
Takhshish al-‘am biasa disebut juga dengan qashar al-‘am, yaitu
mempersempit makna yang masih umum. Alat atau sarana yang digunakan untuk
melakukan takhshish al ‘am biasa disebut dengan mukhashshish.
Definisi mukhashshish menurut Manna alQaththan adalah dalil yang
menjadi dasar adanyapengeluaran lafadz ‘am. Mukhashshish dapat dibagi menjadi
2 macam, yaitu mukhashshis muttashil dan mukhashshish munfashil.

5. Mukhashshish Muttashil
Mukhashshish muttashil yaitu takhshish yang tidak berdiri sendiri, dimana
‘am dan mukhashshishnya tidak dipisah oleh suatu hal. Mukhashshish muttashil
ini dibagi lagi menjadi lima macam, yaitu :
Istisna’ (pengecualian), seperti dalam surat An Nur ayat 4-5

‫ُّمثني جدلةُّ َولُّتقبلواُّهل ُّمشهادةُّابداُّاولئ ُّكمهُّالفسقونُّاَّلينُّاتبواُّ من‬


ُّ ‫واَّلي ُّنيرمو ُّناحملصن ُّتوماُّل يتواُّابربعةُّشهداءُّفاجدلومه‬
‫بعد ذكل و اصلحوا فان هلال غفورُّ رحي‬

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat


zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik.4) Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki
dirinya, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS An Nur :4-5)

Surat An Nur ayat 5 berfungsi sebagai pentakhshish Surat An Nur ayat 4.


Dan kata (‫ ) اال‬merupakan qarinah dari istisna’.Sifat, sebagaimana firman Allah
dalam QS An Nur ayat 27 sebagai berikut :

‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَ ْد ُخلُوْ ا بُيُوْ تًا َغي َْر بُيُوْ تِ ُك ْم َح ٰتّى تَ ْستَْأنِسُوْ ا َوتُ َسلِّ ُموْ ا ع َٰلٓى اَ ْهلِهَ ۗا‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu, sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.”

7
Syarat, sebagaimana dalam QS An Nur ayat 33 sebagai berikut:

‫ف الَّ ِذ ْينَ اَل يَ ِج ُدوْ نَ نِ َكاحًا َح ٰتّى يُ ْغنِيَهُ ُم هّٰللا ُ ِم ْن فَضْ لِ ٖه‬
ِ ِ‫َو ْليَ ْستَ ْعف‬

“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian,


hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui pada
mereka terdapat kebaika.”

Pada ayat ini, perintah untuk melakukan perjanjian ditakhshish dengan


syarat majikan mengetahui adanya kebaikan, baik sebelum atau sesudah
menandatangani perjanjian.

Ghayah atau batas penghabisan (pembatasan). Seperti dalam surat Al Isra’


ayat 15 :

َ ‫َو َما ُكنَّا ُم َع ِّذبِي َـْن َح ٰتّى نَ ْب َع‬


‫ث َرسُوْ اًل‬

“….. dan kami tidak akan mengazab, sampai Kami mengutus seorang Rasul.

Badal ba’da min kull (mengganti sebagian dari keseluruhannya)


‫هّٰلِل‬
ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬
‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع اِلَ ْي ِه َسبِ ْياًل‬ ِ َّ‫َو ِ َعلَى الن‬
“…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yakni
orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan.” (Qs Ali Imran/ 3:97)

Melaksanakan ibadah haji merupakan kewajiban seorang muslim, tetapi


keumuman tersebut dipersempit, yaitu hanya bagi orang yang mampu saja.

6. Mukhashshish Munfashil
Mukhashshish munfashil merupaka kebalikan dari mukhashshish
muttashil, dimana antara ‘am dengan mukhashshish dipisahkan oleh suatu hal,
sehingga antara keduanya tidak disebutkan dalam satu kalimat. 1Takhshish untuk
kategori ini dapat berupa nash Al Quran, hadist nabi, ijma’, maupun qiyas.4

2. Al-Khas
Pengertian Khas
Kalangan Ushuliyyun (pakar Ushul Fikih) berbeda-beda kalimatyang digunakan
dalam memberikan definisi tentang Khas meskipun padatitik akhirnya sama dari sisi
substansi dan hakikat yang dikandungnya Imam al-Bazdawi mendefinisikan khas sebagai

‫كل لفظ وضع لمعني واحد على االنفراد وانقطاع المشاركة‬


4
Sarwat, Ahmad, “AL-‘Aam dan Al-Khash”, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing), hlm. 8
8
Terjemahnya: Setiap lafadz yang diperuntukkan untuk satu makna yang menyendiri dan
tidak mungkin mengandung makna lain.

Badran Abu al-Aynayn Badran –salah seorang pakar Ushul Fiqh berkebangsaan Mesir-
mendefinisikan khas sebagai:

‫لفظ وضع لمعني واحد معلوم على االنفراد‬

Terjemahannya: Suatu lafadz yang diperuntukan untuk satu makna yang tertentu

Dari definisi yang dikemukakan tersebut mengindikasikan bahwa lafadz musyatarak dan
lafadz am tidak masuk dalam definisi ini karena lafadz musyatarak mengandung
beberapa kemungkinan makna. Sedangkan lafadz am mengandung arti secara umum dan
tidak tertentu dari lafadz itu. Adapun dari cara penunjukan lafadz atas suatu arti ini bisa
dalam berbagai bentuk yaitu bentuk genius seperti lafadz insanun yang diperuntukkan
untuk hewan yang berpikir atau berbentuk spesies (nau) seperti kata laki-laki dan
perempuan atau dalam bentuk personal yang berbeda-beda tetapi terbatas seperti bilangan
angka (1, 3, 10, 80, 1000) dan seterusnya.

1. Hukum Lafadz Khash


Lafadz yang terdapat pada nash menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti
selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya. Dengan demikian, apabila ada
suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke qathian
dilalahnya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafadz khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa
batasan apapun, maka lafadz itu memberi faedah hukum secara mutlak selama tidak
ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk
perintah, maka ia menunjukkan berupa tuntutan kewajiban bagi orang yang
diperintahkan (ma’mur bih) selama tidak ada dalil yang memalingkannya dari makna
yang lain yangdikandungnya. Demikian juga, jika lafadz itu dalam bentuk larangan
(nahy), maka ia menunjukkan keharaman untuk dilakukan dari perbuatan itu selama
tidak ada indikasi (qarinah) yang merubah makna itu.

9
Atas dasar itu, maka kata tsalasah pada firman Allah yang berbunyi:
‫فمن لم يجد فصيام ثالثة أيام فى الحج وسبعة إذا رجعتم‬

Mengandung pengertian khash yang tidak mungkin mengandung arti lebih atau
kurang dari makna yang dikehendaki oleh lafadz itu sendiri yaitu tiga. Oleh karena itu,
penunjukkan makna yang dikandungnya adalah sesuatu yang pasti (qath’iy).

Terhadap adanya kemungkinan untuk ditakwil dalam lafadz khas, para pengikut
mazhab Hanafi telah memalingkan arti lafadz khas tersebut dari maknanya yang haqiqi
dalam beberapa nash karena adanya qarinah yang mengharuskan pemalingan artinya
yang hakiki dan karena adanya maksud untuk memberi makna yang lain melalui maksud
yang terkandung dalam dalil tersebut.

2. Perbedaan pendapat Akibat Keqathian Dilalah Khas


Para ulama sepakat bahwa dilalah lafadz khash adalah qathi.Namun mereka
berbeda pendapat dalam sifat keqathian itu, apakahblafadz khash yang yang
dipandang qathiy dilalahnya itu sudah jelas dengan sendirinya, sehingga tidak
mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun
lafadz khash itu qathi dilalahnya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan
penjelasan yang lain.
Golongan Hanafiyah memperpegangi pendapat yang pertama.Mereka menyatakan,
“Sesungguhnya lafadz khash sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti
lafadz itu sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafadz-lafadz itu sendiri.
Seandainya lafadz khash itu masih mempunyai kemungkinan perubahan dengan
penjelasan yang lain, pasti keadaan penjelasannya itu menetapkan yang sudah tetap
atau menolak yang sudah tertolak. Sedangkan keduanya ini tidak bisa diterima.

Dari sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok, yaitu;


a. Mereka menetapkan bahwa lafadz khash itu tidak memerlukan penjelasan
lain, sehingga dalam mengambil hukum dari satu dilalah khash, mereka tidak
mengambil hukum berhubungan dengan penjelasan lafadz khash sebagai alat
bantu untuk memberikan kejelasan dari lafadz khash itu. Karena menurut
mereka, dilalah khas itu tidak memerlukan penjelasan lain.
b. Karena mereka berpendapat bahwa lafadz khash Al-Qur’an itu qathi
dilalahnya dan tidak memerlukan penjelasan atau bayan, maka setiap
perubahan hukum dengan nash yang lain dipandang sebagai penghapusan
hukum bukan penjelasan. Oleh sebab itu, nasikh (penghapus hukum) harus
sama kekuatan dilalahnya dengan nash yang dihapus dilalahnya (mansukh).
Dengan demikian, apabila tidak sama kekuatan dilalahnya, maka tidak bisa
diterima. Konsekuensinya lafadz khash yang qathi itu tidak bisa dihapus dengan
hadis ahad.
10
Golongan jumhur ulama antara lain Syafiiyah dan Malikiyah mengambil
pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafadz khash itu dilalahnya qathi,
namun tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna soal peletakannya,
sehingga apabila terdapat nash yang mengubah dilalah khash itu, maka ia
dipandang sebagai penjelasan terhadap lafadz khash itu. Dari sikap ini terdapat
dua konklusi yang berbeda dengan pendapat pertama, yaitu:

1) Nash Khash menerima penjelasan dan perubahan


2) Lafadz khash Al-Qur’an menurut pandangannya tetap menerima
penjelasan dan perubahan. Maka ia dipandang sebagai lafadz mujmal.
Oleh sebab itu, lafadz khash mungkin saja berubah melalui penjelasan
meskipun penjelasannya itu berasal dari hadis ahad.
Perbedaan pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khash
tersebut berpengaruh terhadap beberapa masalah furu fiqhiyah
misalnya pengertian ruku pada firman Allah:

‫واركعوا مع الراكعين‬
Ruku’lah bersama dengan orang-orang ruku’

Ulama Hanafiyah memandang bahwa ruku dalam shalat itu


sebagaimana lafadz khash itu untuk suatu perbuatan yang maklum yaitu
condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan sesungguhnya ruku
yang diperintahkan pada ayat itu dan merupakan bagian fardhu shalat
adalah condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah.
Adapun hadis yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah:

‫قم فصل ألنك لم تصل‬


Berdirilah dan shalatlah karena engkau belum shalat.

Tuma’ninah itu bukan syarat sah shalat. Menurut mereka,


seandainya tuma’ninah itu syarat sah shalat berarti merupakan
penambahan atas lafadz khash Al-Qur’an yang jelas. Dengan
sendirinya, hal itu termasuk penambahan khabar ahad. Dan berarti
sebagai nasakh, sedangkan nasikh (penghapus) harus sama kekuatan
dilalahnya dari segi wurud dengan mansukhnya. Pada hal hadis ahad
tersebut tidak sama dengan kekuatan khash Al-Qur’an yang qathi,
sehingga mereka tidak mensyaratkan tuma’ninah sebagai syarat ruku.

11
Dengan kata lain, mereka tidak menjadikan tuma’ninah sebagai fardhu.
Tegasnya, yang fardhu ituruku’nya bukan tuma’ninanya.

Golongan Syafiiyah memandang bahwa lafadz khash itu


mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari
sisi ini mereka memandang lafadz khash itu sebagai lafadz mujmal.
Oleh sebab itu, mereka menerima kemungkinan adanya penambahan
atas lafadz khash yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan hadis ahad
yang merupakan penjelasannya. Maka menurut golongan ini,
tuma’ninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan
terhadap ayat AlQur’an dan termasuk fardu dalam ruku’.5

BAB III
5
Misbahuddin, “Ushul Fiqh II”, (Makassar: Alauddin Press, 2015), hlm. 11
12
PENUTUP
A. Kesimpulan
‘Am adalah suatu perkataan yang memberi pengertian umum dan meliputi segala
sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu dengan tidak terbatas, misalnya al-Insan
yang berarti manusia.Dapat dimengerti keumuman itu menjadi sifat yang pengertiannya
mencakup segala yang dapat dimasukkan kedalam konotasi lafal. Sedangkan lafal yang
hanya menunjukkan beberapa orang, seperti rijalun tidak termasuk lafadz umum.
Lafadz Khas ialah lafadz yang dilalahnya berlaku bagi seseorang yang namanya
disebutkan seperti Muhammad atau seseorang yang disebutkan jenisnya umpamanya
seorang lelaki atau beberapa orang tertentu seperti tiga orang, sepuluh orang, seratus
orang, sekelompok orang. Jadi berarti lafadz Khas tidak mencakup semua namun hanya
berlaku untuk sebagian tertentu.

B. Saran
Dalam ilmu ushul fiqih pembahasan lafal ‘Am dan khash mempunyai kedudukan
tersendiri, karena lafal‘Am dan khash mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang
perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Bagi pembaca diharapkan agar
bisa mengetahui perbedaan Al’Aam dan Al-Khas. Dan di sisi lain sumber hukum Islam
pun, Alquran dan Sunah dalam banyak hal memakai lafal yang umum dan khusus.
Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga kami
berharap saran dan kritikan dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah wawasan pembaca tentang Al’Aam dan Al-Khas.

13
Daftar Pustaka

Sarwat, Ahmad. AL-‘Aam dan Al-Khash, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing

Misbahuddin. Ushul Fiqh II, Makassar: Alauddin Press, 2015.

http://alialsudaer.blogspot.com/2017/05/makalah-am-dan-khas.html?m=1 (12.11, 23-10-22)

https://www.coursehero.com/file/22598027/Makalah-Ushul-Fiqih-kelompok-2-AL-Aam-AL-
Khas/ (12.46, 23-10-22)

https://www.studocu.com/id/document/universitas-islam-negeri-raden-fatah/bahasa-indonesia/
makalah-laafadz-am/29359232 (13.15, 23-10-22)

14

Anda mungkin juga menyukai