Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Tugas Bahasa Indonesia (Anisaagustina)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Tugas Bahasa Indonesia

Menganalisis Teks Drama

KAPAI-KAPAI
Karya : Arifin C. Noer

Nama kelompok : 1. Anisa Agustina (13)


2. Ahmad Cahya Ramadani (07)
3. Arika Shufiana Putri (16)
BAGIAN PERTAMA

Dongeng Emak

Emak : Ketika prajurit-prajurit dengan tombak-tombaknya mengepung istana cahaya


itu, sang Pangeran Rupawan menyelinap diantara pokok-pokok puspa, sementara
air dalam kolam berkilau mengandung cahaya purnama. Adapun sang Putri Jelita,
dengan debaran jantung dalam dadanya yang baru tumbuh, melambaikan setangan
sutranya dibalik tirai merjan, dijendela yang sedang mulai ditutup oleh dayang-
dayangnya. Melentik air dari matanya bagai butir-butir mutiara.

Abu : Dan sang Pangeran, Mak ?

Emak : Dan Sang Pangeran, Nak ? Duhai, seratus ujung tombak yang tajam berkilat
membidik pada satu arah ; purnama di angkasa berkerut wajahnya lantaran cemas,
air kolam pun seketika membeku, segala bunga pucat lesi mengatupkan
kelopaknya, dan...

Abu : Dan Sang Pangeran selamat, Mak ?

Emak : Selalu selamat. Selalu selamat.

Abu : Dan bahagia dia, Mak ?

Emak : Selalu bahagia. Selalu bahagia.

Abu : Dan sang Putri, Mak ?

Emak : Dan sang Putri, Nak ? Malam itu merasa lega hatinya dari tindihan
kecemasan. Ia pun berguling-guling bersama Sang Pangeran dalam mimpi yang
sangat panjang, diaman seribu bulan menyelimuti kedua tubuh yang indah itu penuh
cahaya.

Abu : Dan bahagia, Mak ?

Emak : Selalu bahagia. Selalu bahagia.

Majikan : Abu !

Emak : Sekarang kau harus tidur. Anak yang ganteng mesti tidur sore-sore.

Abu : Sang Pangeran juga tidur sore-sore, Mak ?

Emak : Tentu. Sang Pangeran juga tidur sore-sore karena dia anak yang ganteng.
Kau seperti Sang Pangeran Rupawan.
Majikan : Abu !

Abu : Mak ?

Majikan : Abu !

Abu : Bagaimana keduanya bisa senantiasa selamat ?

Majikan : Abu !

Emak : Berkat cermin tipu daya.

Abu : Berkat Cermin Tipu Daya, Mak ?

Majikan : Abu !

Emak : Semuanya berkat Cermin Tipu Daya.

Abu : Cuma berkat itu ?

Majikan : Abu !

Emak : Cuma berkat itu.

Abu : Cuma.

Majikan : Abu ! Abu !

Abu : .... di mana cermin itu dapat diperoleh, Mak ?

Emak : Jauh nun di sana kala semuanya belum ada (KELUAR)

Majikan : Bangsat ! Tuli kamu ?

Abu : Mak ?

Yang Kelam : Ini adalah tahun 1930 dan bukan tahun 1919. Kau harus segera
mengenakan pakaian pesuruhmu (KELUAR)

SETELAH IA MENGENAKAN PAKAIANNYA SEBAGAI PESURUH KANTOR


TERDENGAR GEMURUH SUARA PABRIK

Majikan : Abu !
Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Hamba, Tuan.

Majikan : Bangsat kamu ! Kerja sudah hampir tiga tahun masih saja kamu
melakukan kesalahan yang sama. Lebih bodoh kamu dari pada kerbau.

Emak : Anak yang ganteng tidak boleh menangis. Apakah kau tidak malu kepada
Sang Putri Rupawan ? Setelah mencuci kaki, kau harus mengenakan pakaianmu
yang kotor, nanti emak akan mendongeng lagi. Sudah bersih kakimu ? Ketika Sang
Pangeran turun dari kudanya yang putih bersinar, ia melihat gua itu dikejauhan.
Namanya gua cahaya tapi lebih sering disebut gua hantu.

Abu : (KETAKUTAN)

Emak : Tidak usah takut. Ada Emak. Telah beratus-ratus ksatria dan raja-raja dan
pangeran-pangeran yang mencoba menerobos gua itu, semuanya musnah dibunuh
oleh hantu-hantu penjaga harta karun itu. Di angkasa serombongan mendung yang
maha hebat membendung sang surya, sehingga alam yang siang menjadi gelap
gulita. Sayup-sayup kelihatan pintu gua itu bagaikan mulut raksasa dengan sinar
yang memancar dari dalam. Sang Pangeran menggeleng-gelengkan kepala kagum
karena tahu sinar itu adalah sinar permata-permata yang tertimbun disana. Tatkala
angin pun sirna, Sang Pangeran telah memacu kudanya ke arah mulut gua. Tak ada
suara kecuali derap kuda dengan ringkiknya. Ketika kuda itu berada didepan pintu
gua, sekonyong-konyong serombongan mendung yang tebal tadi menyerang
mengepung Sang Pangeran. Tahulah kini Sang Pangeran bahwa mendung itu
adalah hantu-hantu.

Abu : Dan Sang Pangeran, Mak ?

Emak : Dan Sang Pangeran, Nak ?Amboi, berjuta kuku dan taring lancip bagai
ujung-ujung belati rapat mengancam Sang Pangeran ; dari atas dari bawah, dari kiri
dari kanan, dari muka dari belakang. Rupanya hantu- hantu itu berdengus sehingga
seketika terjadi topan dasyat yang amat bacin baunya.

Abu : Dan Sang Pangeran, Mak ?

Emak : Dan Sang Pangeran, Nak ? Dengan Cermin Tipu Daya, kuku-kuku dan
taring-taring yang berjuta-juta itu seketika mencair sehingga hujan deraslah yang
kini ada. Maka dalam kehujanan itu pun, Sang Pangeran mengacungkan cerminnya
dan terbukalah pintu gua dengan sendirinya. Langit telah kembali sebagai wajarnya,
yang penuh cahaya surya ketika Sang Pangeran memboyong harta permata itu ke
Istana Cahaya dimana Sang Putri menanti dipelaminan.

Abu : Dan bahagia, Mak ?

Emak : Selalu bahagia. Selalu bahagia.

Abu : Dan Sang Putri, Mak ?

Emak : Sang Putri berdebar menanti dipelaminan, sementara rakyat seluruh


kerajaan berpesta. Dan ketika Sang Pangeran muncul di gerbang Istana Cahaya
dengan di iringi kuda-kuda yang mengangkut peti-peti harta, seketika bergetarlah
dada Sang Putri yang baru tumbuh itu dan sekalian rakyat bersorak-sorak mengelu-
elukan. Kedua mempelai itu telah berpadu dalam lautan permata yang sangat
menyilaukan. Lautan harta seharga berjuta-juta nyawa manusia.

Abu : Keduanya bahagia, Mak ?

Emak : Selalu bahagia. Selalu bahagia.

Abu : Berkat Cermin Tipu Daya, Mak ?

Emak : Berkat Cermin Tipu Daya.

Abu : Dimana Cermin itu dapat dibeli, Mak ?

Emak : Jauh nun di ujung dunia... disebuah toko milik Nabi Sulaiman...
Abu : Dan harganya, Mak ?

Emak : Nanti kau sendiri pasti tahu. Nanti. Pasti.

Abu : Bahagia, Mak ?

Emak : Pasti bahagia. Selalu bahagia. Sekarang bayangkan bagaimana kalau kau
menjadi Sang Pangeran Rupawan. Kau niscaya dapat merasakan dengan lebih
nyata apabila kau lelap tidur. Nah, sekarang pejamkan kedua matamu. Tidur.
Burung-burung pun sudah tidur. Tidur. Matahari pun sudah tidur. Tidur. Pohon-
pohon pun sudah tidur. Tidur seantero alam telah mendengkur. Tidur.

Emak : Bulan !

Bulan : Ya, Mak.

Emak : Selimuti keduanya.

Bulan : Kalau dia terbangun.

Emak : Tidurkan lagi.

Bulan : Kalau dia terjaga lagi ?

Emak : Mabukkan dia.

Bulan : Kalau sadar lagi ?

Emak : Pingsankan dia.

Bulan : Kalau dia siuman lagi ?

Emak : Itu urusan Yang Kelam. Sekarang Emak akan menyelesaikan karangan
Emak yang terakhir. Aneh sekali dalam roman Emak kali ini Abu telah mulai
menemukan kunci teka-teki kita. Ia semakin menginsyafi bagaimana selama ini ia
kita perdayakan. Namun bagaimana pun, Emak tetap berharap ia akan tetap patuh
kepada kita. Sudah menjadi kodratnya bagaimana pun ia memerlukan hiburan dan
hanya kitalah yang mampu memenuhi kebutuhan itu. Tetapi juga ini tidak berarti
bahwa kita bisa bekerja secara improvisasi seperti yang sudah-sudah. Di manakah
Yang kelam ?

Yang Kelam : Saya di sini, Mak.

Emak : Kau dengar apa yang baru Emak katakan ?


Yang Kelam : Tak satu kata pun lewat dari telingaku, Mak.

Emak : Satu hal lagi; kita harus sistematik. Selama kita masing-masing tetap pada
pos kita, Emak yakin tak satu pun pekerjaan kita yang meleset.

Yang kelam : Dia tidur ?

Emak : Tidur, tidak. Tidak tidur, tidak. Seperti yang sudah-sudah, seperti yang lain-
lain juga, ia sudah mati tapi ia tidak tahu.

Yang Kelam : Saya beritahu dia ?

Emak : Belum waktunya. Berapa umur kau ?

Yang Kelam : Dua puluh satu.

Emak : Kita perpanjang amat panjang. Pada usiamu yang ke 70 beritahulah dia.
Ingat jangan ulang cara yang usang.

Bulan : Beritahu sekarang saja dia.

Emak : Kau selalu punya belas, Bulan.

Bulan : Dia orang miskin.

Emak : Justru akan kita perkaya. Ah, sudahlah. Kau dapat menolongnya dengan
cara yang menghiburnya. Waktu Emak habis. Emak harus mengarang.

Bulan : (MENYANYI) Andai kau tergoda jangan salahkan daku. Cahayaku


memancar pun bukan milikku. Kecantikkanku pun bukan milikku.

Yang Kelam : Jangan nyanyikan nyanyian itu lagi nanti Emak marah lagi.

Bulan : Kau yang salah.

Yang Kelam : Tak ada yang salah.

Bulan : Kau yang salah. Kalau kau tak ada.

Yang Kelam : Adaku bukan minatku. Tapi kalau aku tak ada kau pun dan segala
pun tak ada.

Bulan : Kenapa kau tidak memilih tidak ada ?


Yang Kelam : Karena kita ada. Dan begitu saja ada.

Bulan : Karena ada mula, karena ada mula.

Yang Kelam : Maka ada akhir dan akulah itu. Dia dan aku.

Bulan : Karena ada, itulah kesalahannya.

Yang Kelam : Kita hanya menjalani kodrat. Jalanilah kodrat maka kita akan selamat.

Bulan : (MENYANYI) Andai kau tergoda jangan salahkan daku. Cahayaku


memancar pun bukan milikku.

Yang Kelam : Jangan menyanyi. Mengeramlah kalau bisa atau diam.

Bulan : Aku hanya bisa menyanyi. Pun begitu nyanyian buakn pula milikku.

Yang kelam : Perempuan cengeng.

Bulan : Lelaki kejam. Kembalikan Cermin Tipu Daya itu.

Yang Kelam : Kau tak akan memilikinya lagi.

Bulan : Sudah satu abad kau pinjam.

Yang Kelam : Dan aku tak akan pernah mengembalikan kepadamu. Ya, sejak satu
abad yang lalu Abu sudah mulai menginsyafi bahwa puncak bahagia ada pada
diriku, tatkala ia melihat pada cerminku.

Bulan : Cerminku ! Cerminku !

Yang Kelam : Dulu. Sekarang milikku.

Bulan : Kau kejam. Kau tak punya kasihan. Kalau dia bercermin pada kau hanya
malam yang kau tampilkan.

Yang Kelam : Memang dia hanya punya malam. Akulah dia. Ini pun kodrat. Ia tak
dapat melepaskan diri dari kodrat ini.

Bulan : Konyolnya.

Yang Kelam : Itulah jawaban dari segalanya. Konyol.

ABU BANGUN, MENGIGAU. BULAN DAN YANG KELAM KELUAR.


Bulan : ( MENYANYI) Kalau kau tergoda jangan salahkan daku. Cahayaku
memancar pun bukan milikku. Andai kau mabuk jangan salahkan daku.
Kecantikkanku pun bukan milikku.

Iyem : Monyong lu ! Lelaki macam lu ? Kerbau ? Babi ?

Abu : (BINGUNG) Jam berapa, Yem ?

Iyem : Jam berapa ? Beduk sampai coblos dipalu orang juga kau masih enak- enak
ngorok. Apa kamu tidak mau kerja ?

Abu : Bukan begitu.

Iyem : Baik kalau kamu mau enak-enak ngorok biar saya yang kerja. Apa dikira
tidak bisa ? Saya kira saya masih cukup montok untuk melipat seribu lelaki hidung
belang di ketiak saya.

Abu : Kau jangan bicara sekasar itu.

Iyem : Kamu lebih kasar lagi. Tidur sama istri kamu masih mimpi yang tidak- tidak.
Tuh lihat tikar basah begitu. Kalau kau sudah bosan dengan saya bilang saja terus
terang. Jangan sembunyi-sembunyi. Ayo, kau mimpi dengan siapa ? Dengan si Ijah
yang pantat gede itu ? Bangsat !

Abu : Mimpi ?

Iyem : Jangan main lenong (MENANGIS) Memang saya sudah peot. Habis manis
sepah dibuang.

Abu : Jangan bicara begitu.

Iyem : Memang begitu.

Abu : Tidak seperti yang kau bayangkan.

Iyem : Memang begitu.

Abu : Diamlah, Yem.

Iyem : Memang begitu.

Abu : Iyem.

Iyem : Saya bunting kau tidak tahu.


Abu : Bunting ? Kau bunting ?

Iyem : Kata Emak.

Abu : Kau bunting ?

Iyem : Kalau tidak apa namanya ?

Abu : Iyemku. Iyemku (KEDUANYA MENARI)

Iyem : Pepaya bunting isinya setan.


Dimakan dukun dari Sumedang.
Perut aye bunting isinya intan.
Ditimang sayang anak disayang.

Abu : Pohon pisang tidak berduri.


Pagar disusun oleh rembulan.
Mohon abang lahir si putri.
Biar disayang setiap kenalan.

Iyemku. Iyemku.

Iyem : Abuku. Abuku (KEDUANYA BERPELUKAN) Kau masih cinta pada Iyem ?

Abu : Selalu cinta. Selalu cinta.

Iyem : Kau masih sayang pada Iyem ?

Abu : Selalu sayang. Selalu sayang.

Iyem : Iyem minta anu.

Abu : Minta apa, Yem ?

Iyem : Minta anu.

Abu : Anu apa ?

Iyem : Iyem ngidam.

Abu : Minta rujak asam, Yem ?

Iyem : Bukan.

Abu : Apa Iyem ?


Iyem : Kerupuk.

Abu : Kerupuk udang, Yem ?

Iyem : Bukan.

Abu : Kerupuk terigu, Yem ?

Iyem : Bukan.

Abu : Kerupuk plastik, Iyem ?

Iyem : Bukan. Iyem, bilang !

Abu : Iyem.

Iyem : Kepingin.

Abu : Kepingin.

Iyem : Kerupuk.

Abu : Kerupuk.

Iyem : Apa yo ?

Abu : Apa yo ?

Iyem : Apa ?

Abu : Apa ?

Iyem : Kerupuk.

Abu : Kerupuk.

Iyem : Kerbau !

Abu : Kerbau !

Iyem : Horee !

Abu : Berapa kilo, Iyem ?


Iyem : Satu biji.

Abu : Lainnya, Yem ?

Iyem : Anu.

Abu : Anu apa, Iyem ?

Iyem : Cium.

Abu : Berapa kali, Iyem ?

Iyem : Seribu kali (MEREKA BERCIUMAN)

Abu : Bau pete. Kau makan pete ?

Iyem : tadi di rumah si Ipoh. (MEREKA PUN BERCIUMAN)

YANG KELAM BERSAMA PASUKANNYA MEMUKUL LONCENG EMAS KERAS


SEKALI. ARUS WAKTU DERAS MELANDA KEDUANYA. IYEM MELAHIRKAN
DAN SETERUSNYA. ABU TERPUTAR DALAM RODA KERJA RUTINNYA.

Majikan : Abu !

Abu : Ya, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Ya, Tuan.

Majikan : Abu !

Abu : Ya, Tuan.

SERIBU MAJIKAN MEMRINTAH ABU. MENJERAT LEHER ABU MENJERIT.


SERIBU TANGAN MAJIKAN DI KEPALA ABU.

Yang Kelam : Ini adalah tahun 1941. Ini bukan tahun 1919. Dia dilahirkan di Salam,
6 km dari kota Solo. Dia dibesarkan di Semarang. Kemudian ia pindah ke Tegal.
Kemudian ia pindah ke Cirebon. Kemudian ia pindah ke Jakarta. Kemudian ia akan
mati pada tahun 1980.

Iyem : Tidak. Abu jangan hiraukan. Hidup saja hidup. Habis perkara. Terlalu banyak
pertanyaan untuk terlalu sedikit waktu
*****Layar*****

Anda mungkin juga menyukai