Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah PPI Hamka Dan Imam Zarkasyi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

HAMKA DAN IMAM ZARKASYI

Dosen Pengampu: H. M. Edi Suharsongko, S.Ag., M.Pd.

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Makalah Pemikiran


Pendidikan Islam

Disusun Oleh:

Aisyah Almas Nurul Izzah (22001020005)


Lita Hanisa (22001020015)
Nida Adinia (22001020022)

PROGRAM STUDI MANAGEMENT PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-AMANAH AL-


GONTORY

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
berkat dan rahmat-Nya lah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Hamka dan Imam Zarkasyi”. Tugas makalah ini dibuat
guna untuk memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah Pemikiran Pendidikan
Islam.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak


kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritk dan saran yang
membangun. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita semua.

Pondok Aren, 20 Oktober 2021

Kelompok IV

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................... I
Daftar Isi................................................................................................................II

Bab I Pendahuluan..............................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan Penelitian........................................................................................2

Bab II Pembahasan............................................................................................. 3
A. Biografi Hamka.......................................................................................... 3
B. Pemikiran Pendidikan Menurut Hamka......................................................10
C. Biografi Imam Zarkasyi..............................................................................15
D. Pemikiran Pendidikan Menurut Imam Zarkasyi.........................................18

Bab III Penutup...................................................................................................23


A. Simpulan...................................................................................................23
B. Saran.........................................................................................................24
Daftar Pustaka.....................................................................................................25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan Islam adalah hal yang sangat penting dalam perjalanan
hidup umat Islam secara khusus, karena lewat pendidikan Islam inilah
kita mengkaji, mengelola dan mengembangkan studi keislaman sesuai
dengan keadaan zaman. Perubahan zaman, meniscayakan adanya
perubahan interaksi antar umat manusia, khususnya umat Islam dan
ajarannya, sehingga dibutuhkan penafsiran lebih lanjut dalam ajarannya,
berkaitan pula dengan pemikiran pendidikan Islam. Dalam makalah ini,
penulis akan menjelaskan Biografi beserta Pemikiran Pendidikan dari tokoh
yang amat masyhur yaitu Buya Hamka dan Imam Zarkasyi.
Buya Hamka adalah seorang yang dengan pemikiran-pemikirannya
banyak mempengaruhi masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari karya-
karya buku Hamka yang selalu diterbitkan ulang semenjak awal terbitnya
hingga saat ini. Permasalahan dunia pendidikan di Indonesia adalah
permasalahan yang tidak akan habis-habisnya dan seolah tidak akan ada
usainya. Satu masalah selesai muncul kembali masalah yang baru. Salah satu
masalah yang muncul dalam dunia pendidikan hari ini adalah terjadinya
pengesampingan nilai dan akhlak dalam setiap kegiatan pendidikan. Lebih
spesifik lagi apabila melihat dari kaca mata teori pendidikan Islam,
pendidikan di Indonesia lebih berorientasi pada ranah ta‘līm dan tarbiyah
saja, dan mengesampingkan ranah ta’dīb, sehingga secara tidak langsung
mengantarkan manusia pada paham yang materialistis.
Sedangkan, Nama KH. Imam Zarkasyi identik dengan Pondok
Modern Darussalam Gontor. Disebabkan beliaulah yang membesarkan
pondok ini sehingga namanya menjadi terkenal. Keberhasilan KH. Ahmad
Zarkasyi dalam mengelola Pondok Pesantren Gontor tersebut karena
pemikirannya yang modern tentang lembaga pendidikan yang disebut
pesantren. Dalam pandangan KH. Ahmad Zarkasyi, hal yang paling penting

1
dalam pesantren bukanlah pelajarannya semata-mata, melainkan jiwanya.
Jiwa itulah yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan
menentukan filasafat hidup para santrinya. Imam Zarkasyi merumuskan jiwa
pesantren itu yang disebutnya Panca Jiwa Pondok.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini terdiri dari:
1. Jelaskanlah tentang biografi Hamka!
2. Jelaskanlah pemikiran pendidikan menurut Hamka!
3. Jelaskanlah tentang Biografi Imam Zarkasyi!
4. Jelaskanlah pemikiran Pendidikan menurut Imam Zarkasyi!

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan dari makalah ini yaitu diharapkan untuk:
1. Mengetahui penjelasan tentang Biografi Hamka.
2. Mengetahui penjelasan tentang pemikiran Pendidikan menurut Hamka.
3. Mengetahui penjelasan tentang Biografi Hamka.
4. Mengetahui penjelasan tentang pemikiran Pendidikan menurut Imam
Zarkasyi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Hamka
1) Latar belakang dan Riwayat Hidup Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), lahir di Sungai
Batang, Maninjau Sumatera Barat pada hari Ahad, tanggal 17 Februari
1908 M./13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang taat agama. ia
diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang
berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami,
atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amarullah atau sering disebut
Haji Rasul bin Syekh Muhammad Amarullah bin Tuanku Abdullah Saleh.
Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami
agama di Mekkah, pelopor kebangkitan kaum mudo dan tokoh
Muhammadiyah di Minangkabau. Ia juga menjadi penasehat Persatuan
Guru-Guru Agama Islam pada tahun 1920an; ia memberikan bantuannya
pada usaha mendirikan sekolah Normal Islam di Padang pada tahun 1931;
ia menentang komunisme dengan sangat gigih pada tahun 1920-an dan
menyerang ordonansi guru pada tahun 1920 serta ordonansi sekolah liar
tahun 1932.1
Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji
Zakaria (w. 1934). Dari geneologis ini dapat diketahui, bahwa ia berasal
dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan dengan
generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan
awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang
menganut sistem matrilineal. Oleh karna itu, dalam silsilah Minangkabau
ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.2

1
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES Anggota IKAPI,
1985), Cet-3, hlm. 46
2
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 15-18

3
Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca
Al-Qur’an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada
tahun 1914, ia dibawa ayahnya ke Padang panjang. Pada usia 7 tahun, ia
kemudian dimasukkan ke sekolah desa yang hanya dienyamnya selama 3
tahun, karena kenakalannya ia dikeluarkan dari sekolah. Pengetahuan
agama, banyak ia peroleh dengan belajar sendiri (autodidak). Tidak hanya
ilmu agama, Hamka juga seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik
Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia
dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah
seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-
Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti
karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William
James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan
Pierre Loti.
Hamka kecil sangat gemar menonton film. Ia tergolong anak yang
tingkat kenakalannya cukup memusingkan kepala. Ia suka keluyuran ke
mana-mana, sering berbelok niat dari pergi ke surau menjadi ke gedung
bioskop untuk mengintip film bisu yang sedang diputar. Selain kenakalan
tersebut, ia juga sering memanjat jambu milik orang lain, mengambil ikan
di kolam orang, kalau kehendaknya tidak dituruti oleh kawannya, maka
kawannya itu akan terus diganggunya. Pendeknya, hampir seluruh
penduduk kampung sekeliling Padang Panjang tidak ada yang tidak kenal
akan kenakalan Hamka.3 Tatkala usianya 12 tahun, kedua orang tuanya
bercerai. Perceraian itu terjadi karena perbedaan pandangan dalam
persoalan ajaran agama. Di pihak ayahnya adalah seorang pemimpin
agama yang radikal, sedangkan di pihak ibunya adalah pemegang adat
yang sangat kental seperti berzanji, randai, pencak, dan sebagainya.4

3
Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009) Cet-2, hlm. 53
4
Ibid., hlm. 53

4
Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi.
Pada usia 8-15 tahun, ia mulai belajar agama di sekolah Diniyyah School
dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan Parabek. Diantara
gurunya adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul
Hamid, Sutan Marajo dan Zainuddin Labay el-Yunusy. Keadaan Padang
Panjang pada saat itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah
pimpinan ayahnya sendiri.
Di antara metode yang digunakan guru-gurunya, hanya metode
pendidikan yang digunakan Engku Zainuddin Labay el-Yunusy yang
menarik hatinya. Pendekatan yang dilakukan Engku Zainuddin, bukan
hanya mengajar (transfer of knowledge), akan tetapi juga melakukan
proses ’mendidik’ (transformation of value). Melalui Diniyyah School
Padang Panjang yang didirikannya, ia telah memperkenalkan bentuk
lembaga pendidikan Islam modern dengan menyusun kurikulum
pendidikan yang lebih sistematis, memperkenalkan sistim pendidikan
klasikal dengan menyediakan kursi dan bangku tempat duduk siswa,
menggunakan buku-buku di luar kitab standar, serta memberikan ilmu-
ilmu umum seperti, bahasa, matematika, sejarah dan ilmu bumi.5
Wawasan Engku Zainuddin yang demikian luas, telah ikut
membuka cakrawala intelektualnya tentang dunia luar. Bersama dengan
Engku Dt. Sinaro, Engku Zainuddin memiliki percetakan dan
perpustakaan sendiri dengan nama Zinaro. Pada awalnya, ia hanya diajak
untuk membantu melipat-lipat kertas pada percetakan tersebut. Sambil
bekerja, ia diijinkan untuk membaca buku-buku yang ada di perpustakaan
tersebut. Di sini, ia memiliki kesempatan membaca bermacam-macam
buku, seperti agama, filsafat dan sastra. Melalui kemampuan bahasa
sastra dan daya ingatnya yang cukup kuat, ia mulai berkenalan dengan
karya-karya filsafat Aristoteles, Plato, Pythagoras, Plotinus, Ptolemaios,

5
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.21-22

5
dan ilmuan lainnya. Melalui bacaan tersebut, membuat cakrawala
pemikirannya semakin luas.6
Dengan banyak membaca buku-buku tersebut, membuat Hamka
semakin kurang puas dengan pelaksanaan pendidikan yang ada.
Kegelisahan intelektual yang dialaminya itu telah menyebabkan ia
berhasrat untuk merantau guna menambah wawasannya. Oleh karnanya,
di usia yang sangat muda Hamka sudah melalang buana. Tatkala usianya
masih 16 tahun, tapatnya pada tahun 1924, ia sudah meninggalkan
Minangkabau menuju Jawa; Yogyakarta. Ia tinggal bersama adik
ayahnya, Ja’far Amrullah. Di sini Hamka belajar dengan Ki Bagus
Hadikusumo, R. M. Suryopranoto, H. Fachruddin, HOS. Tjokroaminoto,
Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, Muhammad Natsir, dan
AR. St. Mansur.
Di Yogyakarta Hamka mulai berkenalan dengan Serikat Islam
(SI). Ide-ide pergerakan ini banyak mempengaruhi pembentukan
pemikiran Hamka tentang Islam sebagai suatu yang hidup dan dinamis.
Hamka mulai melihat perbedaan yang demikian nyata antara Islam yang
hidup di Minangkabau, yang terkesan statis, dengan Islam yang hidup di
Yogyakarta, yang bersifat dinamis. Di sinilah mulai berkembang
dinamika pemikiran ke-Islaman Hamka. Perjalanan ilmiahnya dilanjutkan
ke Pekalongan, dan belajar dengan iparnya, AR. St. Mansur, seorang
tokoh Muhammadiyah. Hamka banyak belajar tentang Islam dan juga
politik.
Rihlah Ilmiah yang dilakukan Hamka ke pulau Pulau Jawa selama
kurang lebih setahun ini sudah cukup mewarnai wawasannya tentang
dinamika dan universalitas Islam. Dengan bekal tersebut, Hamka kembali
pulang ke Maninjau (pada tahun 1925) dengan membawa semangat baru
tentang Islam.7 Ia kembali ke Sumatera Barat bersama AR. st. Mansur. Di
tempat tersebut, AR. St. Mansur menjadi mubaligh dan penyebar
6
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.22-23.
7
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. 1, hlm. 101

6
Muhammadiyah, sejak saat itu Hamka menjadi pengiringnya dalam setiap
kegiatan kemuhammadiyahan.8
Berbekal pengetahuan yang telah diperolehnya, dan dengan
maksud ingin memperkenalkan semangat modernis tentang wawasan
Islam, ia pun membuka kursus pidato di Padang Panjang. Hasil kumpulan
pidato ini kemudian ia cetak dalam sebuah buku dengan judul Khatib Al-
Ummah. Selain itu, Hamka banyak menulis pada majalah Seruan Islam,
dan menjadi koresponden di harian Pelita Andalas. Hamka juga diminta
untuk membantu pada harian Bintang Islam dan Suara Muhammadiyyah
di Yogyakarta.
Berkat kepiawaian Hamka dalam menulis, akhirnya ia diangkat
sebagai pemimpin majalah Kemajuan Zaman. Dua tahun setelah
kembalinya dari Jawa (1927), Hamka pergi ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji. Kesempatan ibadah haji itu ia manfaatkan untuk
memperluas pergaulan dan bekerja. Selama enam bulan ia bekerja di
bidang percetakan di Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah, ia tidak
langsung pulang ke Minangkabau, akan tetapi singgah di Medan untuk
beberapa waktu lamanya.
Di Medan inilah peran Hamka sebagai intelektual mulai terbentuk.
Hal tersebut bisa kita ketahui dari kesaksian Rusydi Hamka, salah
seorang puteranya; ”Bagi Buya, Medan adalah sebuah kota yang penuh
kenangan. Dari kota ini ia mulai melangkahkan kakinya menjadi seorang
pengarang yang melahirkan sejumlah novel dan buku-buku agama,
falsafah, tasawuf, dan lain-lain. Di sini pula ia memperoleh sukses
sebagai wartawan dengan Pedoman Masyarakat. Tapi di sini pula, ia
mengalami kejatuhan yang amat menyakitkan, hingga bekas-bekas luka
yang membuat ia meninggalkan kota ini menjadi salah satu pupuk yang
menumbuhkan pribadinya di belakang hari”.

8
H. Rusydi, Pribadi Dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), Cet-2,
hlm. 2

7
Hamka merupakan koresponden di banyak majalah dan seorang
yang amat produtif dalam berkarya. Hal ini sesuai dengan penilaian Prof.
Andries Teew, seorang guru besar Universitas Leiden dalam bukunya
yang berjudul Modern Indonesian Literature I. Menurutnya, sebagai
pengarang, Hamka adalah penulis yang paling banyak tulisannya, yaitu
tulisan yang bernafaskan Islam berbentuk sastra.9
Untuk menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dengan
bahasa Indonesia yang indah itu, maka pada permulaan tahun 1959
Majelis Tinggi University Al Azhar Kairo memberikan gelar Ustaziyah
Fakhiriyah (Doctor Honoris Causa) kepada Hamka. Sejak itu ia
menyandang titel ”Dr” di pangkal namanya. Kemudian pada 6 Juni 1974,
kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas
Kebangsaan Malaysia pada bidang kesusastraan, serta gelar Professor dari
universitas Prof. Dr. Moestopo. Kesemuanya ini diperoleh berkat
ketekunannya yang tanpa mengenal putus asa untuk senantiasa
memperdalam ilmu pengetahuan.10 Ia juga mendapatkan Gelar Datuk
Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Hamka merupakan salah seorang tokoh pembaharu Minangkabau
yang berupaya menggugah dinamika umat dan mujaddid yang unik.
Meskipun hanya sebagai produk pendidikan tradisional, namun ia
merupakan seorang intelektual yang memiliki wawasan generalistik dan
modern. Hal ini nampak pada pembaharuan pendidikan Islam yang ia
perkenalkan melalui Masjid Al-Azhar yang ia kelola atas permintaan
pihak yayasan melalui Ghazali Syahlan dan Abdullah Salim.
Hamka menjadikan Masjid Al-Azhar bukan hanya sebagai
institusi keagamaan, tetapi juga sebagai lembaga sosial, yaitu (1)
Lembaga Pendidikan (Mulai TK Islam sampai Perguruan Tinggi Islam).
(2) Badan Pemuda. Secara berkala, badan ini menyelenggarakan kegiatan
pesantren kilat, seminar, diskusi, olah raga, dan kesenian. (3) Badan
9
Sides Sudyarto DS, Hamka, ”Realisme Religius”, dalam Hamka, Hamka di Mata Hati Umat,
(Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 139
10
Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hlm. XIX

8
Kesehatan. Badan ini menyelenggarakan dua kegiatan, yaitu; poliklinik
gigi dan poliklinik umum yang melayani pengobatan untuk para siswa,
jemaah masjid, maupun masyarakat umum. (4) Akademi, Kursus, dan
Bimbingan Masyarakat. Di antara kegiatan badan ini adalah mendirikan
Akademi Bahasa Arab, Kursus Agama Islam, membaca Al-Qur’an,
manasik haji, dan pendidikan kader muballigh.11 Di masjid tersebut pula,
atas permintaan Hamka, dibangun perkantoran, aula, dan ruang-ruang
belajar untuk difungsikan sebagai media pendidikan dan sosial. Ia telah
mengubah wajah Islam yang sering kali dianggap ’marginal’ menjadi
suatu agama yang sangat ’berharga’.
Pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka telah puang ke rahmatullah.
Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan
agama Islam. Hamka bukan saja sebagai pujangga, wartawan, ulama, dan
budayawan, tapi juga seorang pemikir pendidikan yang pemikirannya
masih relevan dan baik untuk diberlakukan dengan zaman sekarang.
2) Karya-karya Buya Hamka
Sebagai seorang yang berpikiran maju, HAMKA tidak hanya
merefleksikan kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai mimbar dalam
cerama Agama, tetapi ia juga menuangkannya dalam berbagai macam
karyanya berbentuk tulisan. Orientasi pemikirannya meliputi berbagai
disiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat, pendidikan Islam, sejarah
Islam, fiqh, sastra dan tafsir.Sebagai penulis yang sangat produktif,
HAMKA menulis puluhan buku yang tidak kurang dari 103 buku.
Beberapa di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut:
- Tasawuf modern (1983)
- Falsafah Hidup (1950)
- Lembaga Hidup (1962)
- Pelajaran Agama Islam (1952)
- Tafsir Al-Azhar Juz 1-30 (1962)

11
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.108

9
- Ayahku (1958)
- Kenang-kenangan Hidup Jilid I-IV (1979)
Dan, masih banyak yang lainnya.
B. Pemikiran Pendidikan Menurut Hamka
Untuk membahas pendidikan Islam Menurut HAMKA, maka kita
akan membagi pembahasannya sesuai dengan bagian-bagian pendidikan
yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu Tujuan pendidikan, Kurikulum,
Pendidik, materi pembelajaran dan peserta didik.12
1. Tujuan Pendidikan
Secara umum, tujuan pendidikan Islam menurut Hamka memiliki
dua dimensi yang fundamental, yaitu untuk mencapai kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Untuk mencapai tujuan ini, manusia harus
memaksimalkan segala potensi yang dimilikinya untuk beribadah
dengan sebaik-baiknya, karena esensi beribadah bukan hanya pada
orientasi keakhiratan semata. Namun pada akhirnya, segala proses
pendidikan yang dilaksanakan dan dirasakan oleh peserta didik, bertujuan
untuk menjadikan peserta didik sebagai Abdi Allah yang baik.
2. Kurikulum
Secara eksplisit, pandangan HAMKA terhadap kurikulum
sebenarnya belum banyak ditemukan, karena pemikirannya lebih
mengarah pada keadaan pendidik dan peserta didik. Namun, menurut
HAMKA, kurikulum merupakan suatu hal yang dangat penting dalam
pendidikan Islam. Kaitannya dengan ini, Menurut Hamka, keberadaan
adat dalam sebuah kelompok sosial dan kebijakan politik negara, cukup
memberikan pengaruh bagi proses perkembangan kepribadian peserta
didik pada masa selanjutnya. Oleh sebab itu, seluruh sistem sosial di
mana peserta didik itu berada harus bersifat kondusif dan
proporsional untuk menopang perkembangan pergerakan fitrah atau
identitas keberagaman yang dimiliki setiap anak didik. Masyarakat

Muhammad Alfian, Pemikiran Pendidikan Islam Buya Hamka, Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu
12

Keislaman, Vol. 19, No. 02, Desember 2019, 89 – 98. Hlm.92

10
maupun negara semestinya melihat adat dan kebijakan pemerintahan
sebagai sesuatu yang tidak kaku, serta menghargai setiap pendapat
sebagai sebuah entitas yang beragam. Sikap yang demikian akan
menumbuhkan dinamika berfikir kritis dan menghargai kemerdekaan
yang dimiliki setiap orang, tanpa menyinggung kemerdekaan yang
lainnya (Hamka, 1962: 190) hal inilah yang menurutnya, pantas
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan Islam, dimana kita
mengajarkan pada peserta didik mengenai bagaimana
menghargaikeragaman, dan juga keberagaman.13
3. Pendidik
Seperti halnya dengan kurikulum, Hamka tidak merumuskan
pengertian pendidik secara spesifik, namun pendapatnya mengenai hal
ini dapat terbaca dari ia mengungkapkan pendapatnya tentang tugas
seorang pendidik, yaitu sosok yang membantu menyiapkan serta
membawa peserta didik, guna memiliki pengetahuan yang mumpuni,
berahlak yang baik, serta memiliki manfaat dalam kehidupannya ditengah
masyarakat14 (Samsul Nizar, 2008: 136).
Hal ini juga di aminkan oleh beberapa orang pemuka pendidikan
bangsa ini, seperti Ki Hajar Dewantara, M. Syafei, Dr. Sutomo dan lain-
lain. Dr. Sutomo sempat berpendapat agar sistem pondok secara dahulu
dihidupkan kembali. Diadakan seorang pemimpin, pembimbing
pendidikan; kaitannya dengan ini, penulis menyebut pendidik untuk
jangan sampai murid-murid itu hanya menjadi orang pintar, tetapi tidak
berguna untuk masyarakat bangsanya. Karna pendidikan adalah untuk
membentuk watak pribadi. Manusia yang telah lahir ke dunia ini supaya
menjadi seorang yang memiliki manfaat dalam kehidupan bermasyarakat,
juga agar peserta didik bisa mengetahui mengenai suatu hal yang

13
Muhammad Alfian, Pemikiran Pendidikan Islam Buya Hamka, Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman, Vol. 19, No. 02, Desember 2019, 89 – 98. Hlm.93
14
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.136

11
berkaitan dengan baik dan buruk15 (Hamka, 1962: 224). Pendidik yang
tidak memiliki kepribadian sebagai seorang pendidik, tidak akan dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik. Kondisi ini akan mengakibatkan
peserta didik tidak bisa memahami secara penuh mengenai apa yang
diajarkan oleh pendidik.
Kaitannya dengan pendidik, Hamka mengkalisifikasikan pendidik
dalam tiga unsur utama, yaitu: orang tua, guru dan masyarakat.16
a. Orang tua
Orang tua merupakan orang yang paling dekat dengan anak,
tempat pertama bagi anak untuk mengenal hal-hal
disekelilingnya. Tugas dan kewajiban orang tualah dalam
memberi nafkah, tempat berlindung, dan memberi pengarahan
kepada anak sesuai dengan masa perkembangannya.
Hamka juga menegaskan bahwa kewajiban ibu dan bapak
mendidik anak jangan serta merta diberikan kepada guru yang ada
di sekolah saja. Karena waktu yang dimiliki oleh anak disekolah,
tidak sama dengan waktu yang dimilikinya dirumah. Tiap-tiap
anak mesti mendapat didikan dan pengajaran, yang anak didik
terima disekolah hanya ajaran, sedangkan didikan lebih banyak
didapatkannya dirumah17 (Hamka, 1962: 178).
Berdasar pada uraian ini, orang tua menurut Hamka
memegang peran penting dalam tumbuh kembang anak, bahkan
perannya tidak dapat tergantikan. Walaupun disekolah atau di
lembaga pendidikan tertentu anak bisa diawasi oleh gurunya,
namun perhatian serta kasih sayang orang tua tetap tidak akan
terganti, karna anak merupakan darah daging mereka sendiri,
merekalah seharusnya yang lebih tau, paham dan bisa

15
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1962), hlm. 224
16
Muhammad Alfian, Pemikiran Pendidikan Islam Buya Hamka, Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman, Vol. 19, No. 02, Desember 2019, 89 – 98. Hlm.93
17
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1962), hlm. 178

12
mengarahkan tingkah dan karakter anaknya, dari anak tersebut kecil
hingga dewasanya.18
b. Guru
Kepandaian orang tua mendidik anak, adalah menjadi
penolong guru. Jika tugas mendidik hanya dilimpahkan kepada
guru maka hasil akan tidak maksimal. Pengaruh keadaan sekeliling,
pengaruh pekerjaan, kepandaian dan pendidikan orang tua di zaman
dahulu, pun besar kepada anaknya. ”Air itu turun dari cucuran
atap”, demikian kata pepatah. Hal itu dapat dibuktikan; jika
ayahnya bodoh, sontok pikirannya, hal itupun menurun kepada
anaknya, demikian juga jika ayahnya orang pintar, maka kepintaran
itu akan turun kepada anaknya. Di sinilah gunanya guru 19 (Hamka,
1962:225-226). Hamka optimis bahwa anak yang berasal dari
keturunan orang bodoh dan terbelakang bisa menjadi pandai dan
maju jika diajar dan dididik oleh guru yang baik.
c. Masyarakat
Peserta didik merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup
tanpa berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lain yang ada
di sekitarnya.20 Hamka menyebut peserta didik sebagai bunga
masyarakat yang kelak akan mekar atau akan menjadi tubuh dari
masyarakat, oleh karna itu tiap anggota masyarakat bertanggung
jawab menjaga dan melindunginya dari segala sesuatu yang dapat
menghambat kemajuan kecerdasannya21 (Hamka, 1962: 38).
Menurut Hamka, akhlak peserta didik dapat dikatakan sebagai
cerminan dari bentuk akhlak masyarakat di mana ia berada. Hal ini
karena kehidupan setiap anggota masyarakat dalam sebuah
komunitas sosial, merupakan miniatur kebudayaan yang akan
18
Muhammad Alfian, Pemikiran Pendidikan Islam Buya Hamka, Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman, Vol. 19, No. 02, Desember 2019, 89 – 98. Hlm.94
19
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1962), hlm.225-226
20
Muhammad Alfian, Pemikiran Pendidikan Islam Buya Hamka, Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman, Vol. 19, No. 02, Desember 2019, 89 – 98. Hlm.95
21
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1962), hlm. 38

13
dilihat dan kemudian dicontoh oleh setiap peserta didik. Setiap
anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral
terhadap terlaksananya proses pendidikan yang efektif.22
4. Materi Pembelajaran
Pengembangan akal (filsafat) dan rasa (agama) adalah dua jenis
orientasi materi pendidikan dan Menurut HAMKA, kedua orientasi
materi tersebut penting dan saling mengisi antara satu dengan yang
lain. Pembagian Materi Pendidikan menurut pemikiran HAMKA
dibagi atas 5 bagian, yaitu: Ilmu-ilmu Agama (Tauhid, Fiqih, Tafsir,
Hadist, Akhlak, dll), Ilmu-Ilmu Umum (Sejarah, Filsafat, Ilmu Bumi,
Ilmu Falak, Biologi, Ilmu Jiwa), Ilmu Kemasyarakatan (sosiologi,
ilmu pemerintahan, dll), Ketrampilan Praktis (berenang, berkuda, Olah
Raga, dan lain-lain) dan Ilmu Kesenian (musik, menggambar, menyanyi,
melukis, dan lain-lain)23 (Nizar 2008: 163-166).
5. Peserta Didik
Peserta didik merupakan orang yang secara akal budi masih kosong
dan harus siap menampung, serta mengelola apa saja yang diajarkan
oleh pendidiknya untuk kebaikan hidupnya kedepan. Menurut Buya
Hamka tugas dan tanggung jawab anak didik adalah berusaha semaksimal
mungkin untuk mengembangkan potensi dan anugrah yang
dimilikinya serta seperangkat ilmu pengetahuan sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT melaui
fitrah-Nya.Sebagai seorang yang berupaya mencari ilmu pengetahuan
maka peserta didik dituntut untuk (Syamsul Kurniawan, 2011: 225):
(a). Jangan mudah putus asa. (b).Jangan mudah lalai, selalu mawas diri.
(c).Jangan merasa terhalang karena faktor usia, karena pendidikan tidak
mengenal batas usia. (d).Berusaha agar tingkah lakudan ahlaksnya sesuai
dengan ilmu yang dimiliki. (e). Memperindah tulisan agar mudah dibaca.

22
Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), Cet-1, hlm.
274- 275.
23
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.163-166

14
(f). Sabar, bisa mengendalikan diri dan meneguhkan hati. (g).
Mempererrat hubungan dengan guru. (h). Khusyu, tekun dan rajin.
i.Berbuat baik kepada orang tua dan abdikan ilmu untuk masalah umat.
(j).Jangan menjawab sesuatu yang tidak bermanfaat. k.Menganalisa
fenomena alam semesta secara seksama dan bertafakur.24
C. Biografi Imam Zarkasyi
1) Latar belakang dan Riwayat Hidupnya
KH. Imam Zarkasyi dilahirkan di Gontor, Ponorogo Jawa Timur,
tanggal 21 Maret 1910, dan meniggal dunia di Madiun tanggal 30 Maret
1985 dengan meninggalkan seorang istri dan 11 anak. KH. Imam
Zarkasyi adalah putra bungsu dari tujuh bersaudara, dari pasangan Kyai
Santoso Anom Besari dan Nyai Sudarmi Santoso. Imam Zarkasyi
dibesarkan di lingkungan keluarga muslim yang taat beragama.
Belum genap berusia 16 tahun, KH. Imam Zarkasyi mula-mula
menimba ilmu di beberapa pesantren yang ada di daerah kelahirannya,
seperti pesantren Josari, pesantren Joresan dan pesantren Tegal Sari.
Setelah belajar di sekolah Ongkoloro, ia melanjutkan studinya di Pondok
Pesantren Jamsaren Solo.Pada waktu yang sama ia juga belajar di sekolah
Mambaul Ulum. Kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan
pendidikannya di Sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin oleh KH.
Alhasyimi, sampai tahun 1930.
Selama belajar di sekolah-sekolah tersebut, terutama Sekolah
Arabiyah Adabiyah, ia sangat tertarik dan kemudian mendalami pelajaran
bahasa Arab. Ketika belajar di Solo, guru yang paling banyak mengisi
dan mengarahkan KH. Imam Zarkasyi adalah KH. Alhasyimi, seorang
ulama, tokoh politik dan sekaligus sastrawan dari Tunisia yang
diasingkan oleh pemerintah Perancis di wilayah jajahan Belanda, dan
akhirnya menetap di Solo.

Muhammad Alfian, Pemikiran Pendidikan Islam Buya Hamka, Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu
24

Keislaman, Vol. 19, No. 02, Desember 2019, 89 – 98. Hlm.96-97

15
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Solo, KH. Imam Zarkasyi
meneruskan studinya ke Kweekschool di Padang Panjang, Sumatera
Barat, sampai tahun 1935. Setelah tamat belajar di tempat itu, ia langsung
diminta menjadi direktur Perguruan tersebut oleh gurunya Mahmud
Yunus. Tetapi KH. Imam Zarkasyi hanya dapat memenuhi permintaan
dan kepercayaan tersebut selama satu tahun (tahun 1936), dengan
pertimbangan meskipun jabatan itu cukup tinggi, tetapi ia merasa bahwa
jabatan tersebut bukanlah tujuan utamanya setelah menuntut ilmu di
tempat itu.25
KH. Imam Zarkasyi yang dinilai Mahmud Yunus memiliki bakat
yang menonjol dalam bidang pendidikan, namun ia melihat bahwa
Gontor lebih memerlukan kehadirannya. Di samping itu kakaknya KH.
Ahmad Sahal yang tengah bekerja keras mengembangkan pendidikan di
Gontor tidak mengizinkan KH. Imam Zarkasyi berlama-lama berada di
luar lingkungan pendidikan Gontor. Setelah Kembali ke Gontor, genap
sepuluh tahun setelah dinyatakannya Gontor sebagai lembaga pendidikan
dengan gaya baru, KH. Imam Zarkasyi memperkenalkan program
pendidikan baru yang diberi namaKulliyatul Mu’allimin-Islamiyah (KMI)
dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya.
Selanjutnya pada tahun 1943 ia diminta untuk menjadi kepala Kantor
Urusan Agama Keresidenan Madiun. Pada masa pendudukan Jepang, ia
pernah aktif membina dan menjadi dosen di barisan Hizbullah di
Cibarusa, Jawa Barat. Setelah Indonesia merdeka, KH. Imam Zarkasyi
turut aktif membina Departemen Agama RI, khususnya Direktorat
Pendidikan Agama yang pada waktu itu menterinya adalah Prof. Dr.
H.M. Rasyidi. Tenaga dan pikirannya juga banyak dibutuhkan di
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ketika Ki Hajar Dewantoro
sebagai menterinya.

25
Rusli Takunas, Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH.Imam Zarkasyi, Scolae: Journal of
Pedagogy, Volume 1, Number 2, 2018: 154-160., hlm 156

16
Jabatan-jabatan penting lainnya yang diduduki KH. Imam Zarkasyi di
tengah kesibukannya sebagai pendidik di Lembaga Pendidikan Gontor
adalah sebagai Kepala Seksi Pendidikan Kementerian Agama dari
anggota Komite Penelitian Pendidikan pada tahun 1946. Selajutnya
selama delapan tahun (1948-1955) ia dipercaya sebagai Ketua Pengurus
Besar Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII) yang sekretarisnya pada
waktu itu dipegang oleh K.H.E.Z. Muttaqin. Dalam percaturan
internasional, pada tahun 1962 KH. Imam Zarkasyi pernah menjadi
anggota delegasi Indonesia dalam peninjauan ke Negaranegara Uni
Soviet. Sepuluh tahun kemudian, ia juga mewakili Indonesia dalam
Mu’tamar Majma’ Al-Buluth al-Islamiyah (Mu’tamar Akademisi Islam
se-Dunia), ke 7 yang berlangsung di Kairo. Di samping itu, ia juga
menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat.
2) Karya-karya KH Imam Zarkasyi
KH. Imam Zarkasyi dikenal sebagai seorang aktivis dalam bidang
pendidikan, sosial dan politik kenegaraan, di samping itu juga dikenal
sebagai seorang penulis produktif yang telah banyak menghasilkan karya
ilmiah, yang hingga sekarang masih digunakan di Pondok Pesantren
Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan beberapa pondok pesantren
lainnya di Indonesia. Di antara beberapa karya tulis KH. Imam Zarkasyi
adalah:
1) Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam,
2) Pedoman Pendidikan Modern
3) Kursus agama Islam.
Ketiga buku tersebut ditulis bersama KH. Zainuddin
Fannani. Selanjutnya ia menulis buku Ushuluddin,
Pelajaran Fiqih I dan II, Bimbingan Keimanan, Pelajaran
Bahasa Arab I dan II berikut kamusnya, dan buku-buku
pelajaran lainnya.
Di samping itu KH. Imam Zarkasyi juga menulis beberapa petunjuk
teknik bagi para santri dan guru di Pondok Modern Gontor, dalam

17
berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan di pesantren
tersebut, termasuk metode mengajar beberapa mata pelajaran.

D. Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH Imam Zarkasyi


Secara garis besar konsep pemikiran pendidikan Islam KH. Imam
Zarkasyi dapat dibagi ke dalam empat bidang yaitu pembaruan dalam bidang
1) sistem dan metode pendidikan, 2) materi dan kurikulum pendidikan, 3)
struktur dan manajemen, 4) pola pikir dan kebebasan.26
1. Sistem dan Metode Pendidikan.
Sistem pendidikan yang diterapkan di Gontor adalah menganut sistem
pendidikan klasikal yang terpimpin secara terorganisir dalam bentuk
penjenjangan kelas dalam jangka waktu yang ditetapkan. Hal ini
ditempuh oleh KH. Imam Zarkasyi dalam rangka menerapkan efisiensi
dalam pengajaran, dengan harapan bahwa dengan biaya dan waktu yang
relative sedikit dapat menghasilkan produk yang besar dan bermutu.
Di samping dengan menggunakan sistem klasikal sebagaimana
disebutkan di atas, KH. Imam Zarkasyi juga memperkenalkan kegiatan
ekstrakurikuler. Dalam hal ini para santri memiliki kegiatan lain di luar
jam pelajaran, seperti olahraga, kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga
bahasa (Indonesia, Arab dan Inggris), pramuka dan organisasi pelajar.
Semua ini dijadikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler dalam wadah
sistem pesantren yang diselenggarakan oleh santri sendiri. Dalam
mengerjakan semua aktivitas itu, santri diharuskan tetap tinggal di
pondok pesantren (boarding school). Sistem ini sengaja diterapkan, di
samping tidak meninggalkan ciri khas pesantren, juga dengan sistem
asrama diharapkan dapat menjadi wadah dimana asas dan tujuan
pendidikannya dapat dibina dan dikembangkan secara lebih efisien dan
efektif.

26
Rusli Takunas, Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH.Imam Zarkasyi, Scolae: Journal of
Pedagogy, Volume 1, Number 2, 2018: 154-160., hlm 157

18
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa sekalipun adanya perpaduan
antara sistem klasikal dan sistem asrama, tetapi tidak menghilangkan satu
elemen penting dalam tradisi sistem pendidikan pesantren, yaitu
pengajian kitab-kitab Islam klasik, yang sering disebut dengan kitab
kuning. KH. Imam Zarkasyi menganjurkan agar para santri memiliki,
membaca dan memahami kitab-kitab yang dipakai di pesantren
tradisional, Seperti kitab Fathul Qorib, Fathul Mu’in, I’anatut Thalibin
dan lain-lain.
Dalam hal metode pembelajaran KH. Imam Zarkasyi memberikan
beberapa metode dan kaidah pengajaran kepada guru-guru dalam proses
belajar mengajar di kelas, misalnya pelajaran harus dimulai dari yang
mudah dan sederhana, tidak tergesa-gesa pindah ke pelajaran yang lain
sebelum santri memahami betul pelajaran yang telah diberikan, proses
pengajaran harus teratur dan sistematik, latihan-latihan diperbanyak
setelah pelajaran selesai, dan lain-lain yang kesemua kaidah tersebut bisa
dipraktikkan oleh setiap guru dengan persyaratan guru harus memiliki
dan menguasai berbagai metode dalam mengajar. Hal tersebut
dikarenakan dalam pandangan KH. Imam Zarkasyi metode lebih penting
dibanding materi. Namun demikian, menurutnya, pribadi guru jauh lebih
penting dari metode itu sendiri.27
2. Materi dan Kurikulum Pendidikan
Konsep pendidikan KH. Imam Zarkasyi berekenaan dengan
pembaruan kurikulum di Pondok Pesantren Modern Gontor adalah 100%
umum dan 100% agama Di samping pelajran tafsir, hadis, fiqih, ushul
fiqih yang biasa diajarkan di pesantren tradisional, KH. Imam Zarkasyi
juga menambahkan ke dalam kurikulum lembaga pendidikan yang
diasuhnya itu pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu
pasti (berhitung, aljabar dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi,
ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya. Di samping itu, mata

27
Rusli Takunas, Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH.Imam Zarkasyi, Scolae: Journal of
Pedagogy, Volume 1, Number 2, 2018: 154-160., hlm 158

19
pelajaran yang sangat ditekankan dan harus menjadi karakteristik
lembaga pendidikannya itu, yaitu pelajaran bahasa Arab dan bahasa
Inggris. Pelajaran bahasa Arab lebih ditekankan pada penguasaan kosa
kata yang dimilikinya. Dalam pengajaran bahasa Arab ini, KH. Imam
Zarkasyi menerapkan semboyan Alkalimah al-wahidah fi alf jumlati
khairun min alfi kalimah fi jumlatin wahidah (kemampuan memfungsikan
satu kata dalam seribu susunan kalimat lebih baik dari pada penguasaan
seribu kata secara hafalan dalam satu kalimat saja. Namun demikian
kemampuan dalam penguasaan bahasa Arab dan Inggris serta berbagai
pengetahuan tersebut tetap harus didasarkan pada asas, jiwa dan
kepribadian moral yang tinggi dan baik, seperti ikhlas, mandiri, sederhana
dan sebagainya.28
Untuk mendukung tercapainya moralitas dan kepribadian tersebut,
para santri diberikan juga pendidikan kemasyarakatan dan sosial yang
dapat mereka gunakan untuk melangsungkan kehidupan sosial
ekonominya. Untuk itu kepada para siswa diberikan latihan praktis dalam
mengamati dan melakukan sesuatu yang ia perkirakan akan dihadapinya
dalam hidupnya kelak di masyarakat. Segala sesuatu diorganisasi
sedemikian rupa untuk memberikan gambaran realisti kepada santri
tentang kehidupan dalam masyarakat. Para santri dilatih untuk
mengembangkan cinta kasih yang mendahulukan kesejahteraan bersama
dari pada kesejahteraan pribadi, kesadaran pengorbanan yang diabdikan
demi kesejahteraan masyarakat, khusunya umat Islam.
Sejalan dengan itu, maka di Pondok Modern Gontor diajarkan
pelajaran ekstra seperti etiket atau tatakrama yang berupa kesopanan lahir
dan kesopanan batin. Kesopanan batin menyangkut akhlak dan jiwa,
sedangkan kesopanan lahir termasuk gerak-gerik, tingkah laku, bahkan
pakaian.
3. Struktur dan Manajemen

28
Rusli Takunas, Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH.Imam Zarkasyi, Scolae: Journal of
Pedagogy, Volume 1, Number 2, 2018: 154-160., hlm 158

20
Demi kepentingan pendidikan pengajaran Islam yang tetap sesuai
dengan perkembangan zaman, KH. Imam Zarkasyi dan dua saudaranya
telah mewakafkan Pondok Pesantren Gontor kepada sebuah lembaga
yang disebut Badan Wakaf Pondok Pesantren Gontor. Ikrar perwakafan
ini telah dinyatakan di muka umum oleh ketiga pendiri pondok tersebut.
Dengan ditandatanganinya Piagam penyerahan wakaf itu, maka Pondok
Modern Gontor tidak lagi menjadi milik pribadi atau perorangan
sebagaimana dijumpai dalam lembaga pendidikan tradisional. Dengan
cara demikian secara kelembagaan Pondok Modern Gontor menjadi milik
umat Islam, dan semua Islam bertanggung jawab atasnya.
Lembaga Badan Wakaf ini selanjutnya menjadi badan tertinggi di
Pondok Gontor. Badan inilah yang bertanggung jawab mengangkat kyai
untuk masa jabatan lima tahun. Dengan demikian kyai bertindak sebagai
mandataris dan bertanggung jawab kepada Badan Wakaf. Untuk ini
Badan Wakaf memiliki lima program yang berkenaan dengan bidang
pendidikan dan pengajaran, bidang peralatan dan pergedungan, bidang
perwakafan dan sumber dana, bidang kaderisasi serta bidang
kesejahteraan. Sedangkan Pimpinan Pondok Pesantren Modern Gontor
membawahi beberapa lembaga, yaitu 1) Kulliyatul Mu’allimin Al-
Islamiyah (KMI), 2) Institut Studi Islam Darussalam (ISID), 3)
Pengasuhan Santri, 4) Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf
Pondok, dan 5) Ikatan Keluarga Pondok Modern. Di samping kelima
lembaga ini, terdapat tiga lembaga lain yang juga bertanggung jawab
langsung kepada pimpinan pondok tetapi posisinya tidak sejajar dengan
kelima lembaga di atas, yaitu Pusat Latihan dan Pengembangan
Masyarakat, Bagian Pembangunan, dan Bagian Koperasi Pondok
Pesantren.29
4. Pola Pikir dan Kebebasan

29
Rusli Takunas, Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH.Imam Zarkasyi, Scolae: Journal of
Pedagogy, Volume 1, Number 2, 2018: 154-160., hlm 159

21
Sejalan dengan Panca Jiwa Pondok Modern Gontor, bahwa setiap
para santri ditanamkan jiwa agar berdikari dan bebas. Sikap ini tidak saja
berarti bahwa santri belajar dan berlatih mengurus kepentingan sendiri
serta bebas menentukan jalan hidupnya di masyarakat, tetapi juga bahwa
pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan harus tetap
independen dan tidak tergantung pada pihak lain. Prinsip kemandirian
tersebut bertolak dari upaya menghindari dari kenyataan dimana
kebanyakan lembaga pendidikan yang diselenggarakan pada waktu itu
didasarkan pada kepentingan golongan dan politik tertentu.
Gagasan independen KH. Imam Zarkasyi itu direalisasikan dengan
menciptakan Pondok Modern Gontor benar-benar steril dari kepentingan
politik dan golongan apapun. Hal ini diperkuat dengan semboyan Gontor
di atas dan untuk semua golongan.
Jiwa independensi juga terlihat pada adanya kebebasan para
lulusannya dalam menentukan jalan hidupnya kelak. Menurut Imam
Zarkasyi bahwa pondok Pesantren Gontor Ponorogo tidak mencetak
pegawai, tetapi mencetak majikan untuk dirinya sendiri.30

30
Rusli Takunas, Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH.Imam Zarkasyi, Scolae: Journal of
Pedagogy, Volume 1, Number 2, 2018: 154-160., hlm 159

22
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pendidikan islam merupakan suatu proses berjalannya alat-alat
pendidikan dalam sebuah sistem yang saling berhubungan antar alat tersebut
untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Dalam pemikiran
pendidikan Islam Hamka, ditemukan sebuah pemikiran konkrit mengenai
pentingnya hubungan dari berbagai alat pendidikan ini. Tujuan pendidikan,
yang menurut Hamka untuk mengantarkan peserta didik pada pintu
kebahagiaan dunia dan akhirat, pada terbentuknya peserta didik menjadi
seorang abdi Allah yang taat, tidak akan bisa terealisasi, jika tidak ada kerja
sama antara pendidik, yang dalam hal ini orang tua, guru dan masyarakat.
Keharmonisan hubungan antar pendidik ini, merupakan sebuah hal
yang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Lebih lanjut,
hal ini juga harus didukung oleh kurikulum yang relevan sesuai
perkembangan peserta didik, dan juga materi pembelajaran yang sesuai
dengan tujuan pendidikan Islam tersebut.
Dan, dari uraian di atas pula, dapat diambil kesimpulan dari
pemikiran KH. Imam Zarkasyi tentang pendidikan Islam sebagai berikut: (1).
KH. Imam Zarkasyi adalah seorang ulama yang mempunyai gagasan,
komitmen dan kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan Islam di
Indonesia. Pondok Pesantren Modern Gontor yang didirikannya mampu
mengakomodir keberagaman masyarakat Islam Indonsia. (2). Sistem
Pendidikan yang diterapkan di Pondok Pesantren Modern Gontor adalah
menganut sistem klasikal yang terpimpin secara terorganisir dalam bentuk
penjenjangan kelas dan jangka waktu yang ditetapkan. Di samping itu
diperkanalkan kegiatan ekstra kurikuler, dan tidak menghilangkan tradisi
pesantren yaitu pengajaran kitab-kitab klasik. (3). Dalam Struktur dan
Manajemen, Pondok Pesantren Modern Gontor memiliki struktur organisasi
mulai dari Badan Wakaf, Pimpinan Pondok, sampai lembaga-lemabaga lain

23
yang berada di bawah koordinasi pimpinan pondok. (4). Pola pikir dan
kebebasan, para santri diberi arahan melalui pembiasaan, keteladanan, dan
pengenalan lingkungan. Dengan demikian diharapkan para santri memiliki
jiwa berdikari, bebas untuk menentukan masa depannya, memiliki jiwa
keikhlasan dan jiwa kesederhanaan dalam hidup. Dan Pondok Pesantren
Modern Gontor sebagai lembaga pendidikan tetap independen, steril dari
kepentingan politik dan golongan apapun.

B. SARAN
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan.
Harapan kami dengan adanya tulisan ini bisa memberikan manfaat dan
sebuah saran sangat kami harapkan dari para pembaca, khususnya dari Para
Dosen yang telah membimbing kami dan para Mahasiswa demi
kesempurnaan makalah ini. Apabila ada kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Muhammad,. 2019., Pemikiran Pendidikan Islam Buya Hamka,


Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 19, No. 02, Desember 2019, 89 –
98.

Hamka, 1962., Lembaga Hidup, Jakarta: PT Pustaka Panjimas.

Hamka, 1987., Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas.

Nizar, Samsul, 2008,. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan


Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Noer, Deliar, 1985,. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942,


Jakarta: LP3ES Anggota IKAPI, Cet-3.

Ramayulis, 2005., Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum


Teaching, Cet-1

Roziqin, Badiatu, 2009., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-


Nusantara, Cet-2.

Rusydi,1983., Pribadi Dan Martabat Buya Prof. DR. Hamka, Jakarta:


Pustaka Panjimas, Cet-2.

Sudyarto, Sides, 1984, Hamka, ”Realisme Religius”, dalam Hamka, Hamka


di Mata Hati Umat, Jakarta: Sinar Harapan.
Susanto, A., 2009., Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009, Cet.
1.

Takunas, Rusli,2018., Pemikiran Pendidikan Islam Menurut KH.Imam


Zarkasyi, Scolae: Journal of Pedagogy, Volume 1, Number 2, 2018: 154-160.

25

Anda mungkin juga menyukai