History">
Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Bab Iii Penulisan Al-Qur'An

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 22

BAB III

PENULISAN AL-QUR’AN

Indikator Pembelajaran
Mahasiswa dapat:
1. Mendeskripsikan Penulisan Al-Qur’ân sebelum Khalifah ‘Uṡman
2. Mendeskripsikan Penulisan Al-Qur’ân Masa ‘Uṡman
3. Mendeskripsikan Penulisan Al-Qur’ân Pasca Khalifah ‘Uṡman
4. Mendeskripsikan Mushaf Al-Qur’an dan Rasam ‘Uṡmanî

Orang Mesir Kuno dinyatakan dalam literatur sejarah memiliki tiga


jenis tulisan, yaitu hiegrolif, herotik, dan demotik. Tulisan yang disebut
terakhir dianggap sebagai bagian penting dari embrio tulisan (khat) Arab.
Tulisan demotik ini diciptakan oleh orang Phoenosia yang mendiami
kawasan dekat daratan Kan’an di tepi Laut Tengah. Untuk keperluan
dagang, orang-orang Phoenosia ini mengambil 15 huruf demotik. Setelah
melakukan sedikit modifikasi terhadap beberapa tulisan itu, mereka me-
nambahkannya dengan beberapa huruf.
Perkembangan selanjutnya, upaya penggabungan tulisan demotik
dan tulisan yang telah dimodifikasi dengan tulisan yang berasal dari al-
Musnad (tulisan Arami). Para sejarawan Arab mengakui bahwa tulisan
mereka berasal dari penduduk Hirah dan Anbar. Hirah termasuk sebuah
kota di daerah Najaf yang terletak tiga mil dari Kufah, sedangkan Anbar
sebuah kota di dekat sungai Eufrat yang terletak sekitar 30 mil dari
Bagdad. Orang Hirah dan Anbar sebenarnya bukanlah pencipta tulisan,
melainkan hanya mendapatkan tulisan dari orang-orang Kindah (kabilah
Kahlan yang tinggal di sebelah selatan Jazirah Arabia dan orang Nabti).
Bangsa Hirah pernah memiliki kerajaan yang kekuasaannya membentang
dari Damaskus sampai ke Wadi Qura dekat Madinah sampai ke Terusan
Suez. Orang-orang Nabti menukil tulisan tersebut dari al-Musnad. (Abû
Bab III

‘Abdillah al-Zamzam, 1996). Di samping itu, para sejarawan Arab meng-


akui bahwa tulisan Arab dikenal di Mekkah melalui Harb bin Umayyah
bin Abû asy-Syams. Ia belajar dari Bisyr bin ’Abd al-Mâlik, saudara
Ukaidir, tokoh Daumat al-Jandal. Sampai datang Islam, penduduk
Mekkah telah banyak yang menguasai tulisan yang dibawa Harb ini.
Namun, tidak sedikit dari mereka yang buta huruf (ummî), termasuk di
antaranya Muhammad s.aw.
Berkaitan dengan penulisan Al-Qur’an yang dimaksud dalam dis-
kursus Ulum Al-Qur’an ini, proses penyampaian, pencatatan dan penulis-
an Al-Qur’an hingga dikodifikasikan (dibukukan) tulisan-tulisan tersebut
dalam sebuah mushaf secara lengkap dan disusun secara sistematis.
Aktivitas penulisan Al-Qur’an ini dalam berbagai literatur digunakan
istilah jam’ Al-Qur’ân (pengumpulan Al-Qur’an), kitâbah Al-Qur’ân (pe-
nulisan Al-Qur’an) dan tadwîn Al-Qur’ân (pembukuan Al-Qur’ân). Istilah
jam’ Al-Qur’ân menurut S{ubh{i S{âlih{ berarti menghapal (al-h{ifz{), men-
catat dan menulis (al-kitâbah). Istilah jam’ Al-Qur’ân berarti jam’ fî al-
s{udûr (hafalan) dan jam’ fî al-sut{ûr (tulisan). Proses penulisan Al-Qur’ân
terjadi melalui tiga tahap, yaitu penulisan di masa Nabi Muhamad saw.,
penulisan di masa Abû Bakr ra. dan penulisan di masa ’Uṡmân bin ’Affân.

1. Penulisan Al-Qur’an (Mushaf) sebelum Khalifah ‘Usmân


Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam rentang
waktu sekitar 23 tahun (13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah).
Al-Qur’an dalam bentuk mushaf hingga kini senantiasa terpelihara oten-
tisitasnya. Salah satu faktor determinan berkaitan dengan kemurnian Al-
Qur’an itu terpelihara karena teks (nas{) yang ada kini ditulis menurut
tuntunan dan petunjuk Nabi Muhammad saw. dan dilakukan di hadapan
beliau. Di samping itu, Al-Qur’an dihafal oleh sebagian besar sahabat
selama wahyu itu turun. Dilihat dari aspek ini upaya pemeliharaan Al-
Qur’an di masa Nabi Muhammad saw. di antaranya melalui hapalan
beliau dan para sahabat. Setiap kali Nabi Muhammad saw. menerima
wahyu, beliau langsung menghapalnya. Kemudian beliau memberitahu-
kannya kepada para sahabat untuk mengingat dan menghapalnya pula.
Hal ini berlangsung hingga habis dan sempurna seluruh ayat Al-Qur’an
diturunkan. Nabi Muhammad saw. di masa itu menjadi ‚sayyid al-
H{uffâz‛{ (master para penghafal), sedangkan para sahabat beliau seakan
berlomba dengan penuh antusias menghapal setiap ayat Al-Qur’an yang
dibacakan dan disampaikan kepada mereka. Nabi Muhammad saw. dan
para sahabat senantiasa mengulang-ulang bacaan ayat-ayat Al-Qur’an

48 Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an


Penulisan Al-Qur’an

tersebut, baik di waktu mengerjakan salat lima waktu maupun di luar


salat lima waktu, seperti di waktu bangun malam (qiyâm al-lail). Di
samping itu, ada sebagian sahabat di samping menghapal Al-Qur’an juga
mencatatnya. Catatan tersebut tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan,
melainkan sebagai koleksi pribadi.
Nabi Muhammad saw. dalam upaya menghapal dan mentransfor-
masikan Al-Qur’an tidak jarang mendapatkan teguran agar berhati-hati
dan tidak tergesa-gesa dalam membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Hal itu
terekam dalam QS. T{âhâ/20:114 dan al-Qiyâmah/75:16-19). Para sahabat
penghapal Al-Qur’an jumlahnya cukup banyak, bahkan tidak sedikit dari
mereka yang hapal seluruh isi Al-Qur’an. Jumlah mereka, menurut sebuah
riwayat, mencapai sekitar 140 orang. (‘Alî aṣ-Sâ{bûnî, t.t.) Al-Qur’an,
dengan demikian telah diabadikan, antara lain, dengan hapalan (al-jam’ fî
al-s{udûr). Inilah salah satu keistimewaan Al-Qur’an dari segi pelestarian-
nya; ia dihapal, mudah dihapal dan dijamin kelestariannya. Ini berbeda
dengan kitab-kitab lannya, seperti Taurat, Zabur, dan Injil yang, para pen-
detanya tidak dijumpai menghapal kita-kitab tersebut, melainkan hanya
membaca melalui yang tertulis.
Nabi Muhammad saw., untuk kepentingan penulisan Al-Qur’an,
memiliki para juru tulis (sekretaris) wahyu terpercaya (kredibel) bertugas
merekam seluruh wahyu dalam bentuk tulisan yang diwahyukan kepada
beliau. Di antara mereka yang populer itu sahabat empat (al-khulafâ’ al-
râsyidûn), Amîr bin Fuhairah, Ubay bin Ka’b, Sâbit bin Qais bin Syamas,
Zaid bin Sâbit, Mu’âwiyah bin Abî Sufyân, Yazîd, Mugîrah bin Syu’bah,
Zubair bin Awwâm, Khâlid bin al-Walîd, ‘Alâ bin al-Had{ramî, ‘Amr bin
al-‘As{, dan lain-lain. ‘Abdullah bin Sa’d bin Abî Sarh{ di Makkah dan
Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Sâbit di Madinah tercatat sebagai sahabat
pertama yang menuliskan wahyu Al-Qur’an. (Ibn al-Jazairî, t.t.)
Berkaitan dengan teknis pelaksanaan penulisan Al-Qur’an dijelas-
kan, setiap kali Nabi Muhammad saw. menerima wahyu, seketika itu juga
diusahakan penulisannya oleh para juru tulis beliau. Praktek penulisan
tersebut di antaranya dijelaskan oleh Usmân bin ‘Affân yang, namanya
dikaitkan dengan gerakan penulisan Al-Qur’an. ‘Usmân berkata: ‚Di-
turunkan kepada Rasulullah saw. surat-surat yang masing-masing memi-
liki sejumlah ayat. Apabila ada ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada
beliau, beliau memanggil di antara para juru tulis dan memerintahkan
(kepada mereka), ‘letakkan ayat-ayat ini dalam surat yang di sana di-
terangkan tentang ini dan itu.‛ Masjid Nabi saw. di Madinah merupakan
tempat paling strategis dan efektif dalam mensosialisasikan Al-Qur’an.

Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an 49


Bab III

Di masjid ini para sahabat memperoleh informasi tentang wahyu yang


baru turun.
Para sahabat dapat mengonfirmasikan hapalan dan bacaan (qiraat)
mereka melalui bacaan dan tadarrus yang dilakukan para sahabat senior.
Di tempat ini pula para sahabat memperoleh informasi tentang tata
urutan ayat dan surat Al-Qur’an dari Nabi Muhammad saw.. Alat yang
digunakan para sahabat untuk menuliskan wahyu Al-Qur’an bersifat
sederhana. Mereka menuliskan Al-Qur’an dalam pelapah kurma (‘usub),
batu halus berwarna (likhaf), kulit (riqa’), tulang unta (aktaf), dan lain-
nya. Budaya baca dan tulis belum memasyarakat dan belum ada standar
penulisan yang baku di masa itu. Namun, anggapan tersebut dibantah
oleh Watt, bahwa kota Makkah dan Madinah ketika itu menjadi pusat
pusat perniagaan. Tradisi penulisan telah dikenal luas dalam masyarakat.
Para pedagang telah banyak melakukan transaksi jual-beli dalam bentuk
catatan sehingga pencatatan Al-Qur’an di masa Nabi Muhammad saw.
merupakan sesuatu yang logis. Watt menguatkan pendapat-nya dengan
beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan arti penting pen-
catatan, terutama dalam urusan perdagangan. Di samping itu, Watt juga
meragukan Nabi Muhammad saw. sebagai ummî (buta huruf). Term
‚ummî‛ dalam beberapa ayat Al-Qur’an lebih tepat diartikan dengan
orang-orang yang tidak memiliki kitab suci tertulis.
Term ummî berasal dari bahasa Ibrani, Hebrew, ‘ummot h-‘ôlâm‛
menyeberang ke bahasa Arab (ummî) berarti ‚pribumi‛ (native). Nabi
Muhammad saw. seorang ummî berarti ia bukan seorang Yahudi, tetapi
seorang nabi yang berasal dari bangsanya sendiri, bangsa Arab. Watt
menunjuk beberapa alasan Nabi Muhammad saw. bukan seorang buta
huruf, antara lain, ia menjadi orang kepercayaan Khadijah untuk men-
jalankan misi dagangnya ke luar negeri, tentu saja transaksi tertulis tidak
dapat dihindarkan. Pimpinan ekspedisi ke Nakhlah diberikan surat rahasia
dari Nabi Muhammad saw., dan redaksi ‚Muhammad bin Abdullah‛
dalam perjanjian Hudaibiyah ditulis langsung oleh Nabi Muhammad saw.,
karena ‘Alî sebagai juru tulis yang ditunjuk Nabi Muhammad saw. dalam
perjanjian itu, tidak mau mengganti redaksi pertama ‚Muhammad Rasu-
lullah‛.
Terlepas dari apakah Nabi Muhammad saw. itu buta huruf atau
tidak, sebagaimana dikemukakan Watt, atau mungkin awalnya buta huruf
lalu menjadi pandai, atau sejak kenabiannya tidak buta huruf, bukti-bukti
konkret yang mendukung bahwa Nabi Muhammad saw. dapat menulis
tidak ditemukan. Apa yang diungkapkan Watt, menurut Azra, hanyalah

50 Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an


Penulisan Al-Qur’an

interpretasi dari fakta. Beberapa informasi bahwa penulisan perjanjian


Hudaibiyah yang dikemukakan dalam sejumlah riwayat memang me-
nyebutkan bahwa ‘Alî bin Abî Tâlib ra. menolak menulis dua kata dalam
redaksi perjanjian itu, kata bismika Allâhumma sebagai pengganti
bismillâh al- rah{mân al-rah{îm dan kata Muhammad bin ‘Abdillah sebagai
pengganti kata Muhammad Rasûlullâh. Namun, akhirnya ‘Alî menulisnya
setelah diperintahkan Nabi Muhammad saw.
Selanjutnya, untuk menghindari kerancuan akibat pencampuraduk-
an ayat-ayat Al-Qur’an dengan lainnya, seperti Hadis, Nabi Muhammad
saw. melarang sahabat menuliskan apapun selain Al-Qur’an sebagaimana
sebuah riwayat yang dikemukakan Muslim, ‚Janganlah kalian tulis dari
sesuatu kecuali Al-Qur’an. Barangsiapa yang telah menulis dariku selain
Al-Qur’an, agar menghapusnya‛. Larangan tersebut, boleh jadi, upaya
Nabi Muhammad saw. dalam memelihara otentititas Al-Qur’an.
Perlu dicatat bahwa sekalipun ada upaya penulisan Al-Qur’an di
masa Nabi Muhammad saw., tetapi belum tersusun semodel mushaf di
masa Khalifah‘Usmân, menurut az-Zarqânî, memiliki beberapa alasan: (1)
para penghapal Al-Qur’an masih lengkap dan cukup banyak sehingga
diduga kuat jauh kemungkinannya ada upaya mereka untuk mengganggu
otentisitas Al-Qur’an, (2) mempertimbingkan proses turun wahyu masih
berlangsung karena wahyu, sebagaimana diketahui diturunkan secara
bertahap. Logis saja jika Al-Qur’an dapat dibukukan dalam satu mushaf
setelah beliau wafat, dan (3) selama proses turun wahyu masih terdapat
kemungkinan ada ayat-ayat yang mansûkh (dihapus), sedangkan sistema-
tika (tartîb) ayat dan urutan suratnya pun tidak seperti sistematika turun
(tartîb an-nuzûl).
Setelah Nabi Muhamad saw. wafat Abû Bakr ra. terpilih secara
aklamasi sebagai khalifah pertama pemegang tampuk pemerintahan. Di
awal pemerintahannya, ia disibukkan dengan perlawanan kaum sparatis
(al-murtaddûn) dan kaum oportunis. Abû Bakr ra. dalam upaya memulih-
kan stabilitas pemerintahan dan masyarakat mengirim sejumlah pasukan
tentara untuk memerangi mereka. Perang tersebut dalam sejarah Islam
dikenal dengan perang Riddah atau perang Murtad. Kontak senjata itu
terjadi di Yamamah sehingga ada sejarawan yang menyebutnya perang
Yamamah. Perang Yamamah ini terjadi di tahun XII Hijriah dengan keru-
gian di pihak Abû Bakr karena banyak korban meninggal, termasuk di
dalamnya para sahabat yang hapal Al-Qur’an. Tercatat sekitar 70 orang
sahabat (h{uffâz{) gugur sebagai syuhada. Jauh sebelum perang Yamamah,
kaum Muslim sempat bentrok dengan kaum sparatis itu di Bi’r Ma’unah

Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an 51


Bab III

yang mengakibatkan para penghapal Al-Qur’an (h{uffâz{) gugur. Salah satu


riwayat menyebutkan bahwa jumlah yang gugur itu 500 orang, (‘Alî aṣ-
Sâ{bûnî, t.t.), bahkan ada yang menyebutkan 1200 orang.
Peristiwa tersebut menggugah hati ‘Umar bin al-Khat{t{âb untuk
mengusulkan kepada Abû Bakr agar Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis
dalam sebuah mushaf. Ia merasa khawatir jika Al-Qur’an tidak segera
dikumpulkan dalam sebuah mushaf berangsur-angsur akan hilang seiring
dengan semakin berkurang para penghapal Al-Qur’an. Respon awal Abû
Bakr ra. terkesan ragu-ragu menerima ide dan usul ‘Umar bin al-Khat{t{âb
tersebut. Namun, ia akhirnya menerima usul tersebut setelah mempertim-
bang-kan manfaat dan maslahat dari ide ‘Umar bin al-Khat{t{âb tersebut.
Selanjutnya Abû Bakr memerintahkan Zaîd bin Sâbit --- salah satu
juru tulis Nabi Muhammad saw. --- untuk mengumpulkan dan menuliskan
Al-Qur’an dalam satu mushaf. Terdapat dialog antara Abû Bakr ra.,
‘Umar bin al-Khat{t{âb ra. dan Zaîd bin Sâbit ra. dalam upaya mereali-
sasikan ide ‘Umar bin al-Khat{t{âb sebagaimana diriwayatkan al-Bukhârî
sebagai berikut:

ٍَ ِ‫َن ََزيْ َد َبْ َن َ ََثب‬


َ‫ت‬ َّ ‫اق َأ‬ ِ َّ‫َالسب‬
َّ ‫َخبَ َرِِن َابْ ُن‬ ْ ‫ال َأ‬ َ َ‫ي َق‬ ِّ ‫َالزْى ِر‬
ُّ ‫َع ْن‬َ ‫ب‬ ٌ ‫َش َعْي‬
ُ ‫َخبَ َرََن‬ ِ
ْ ‫ََحدَّثَنَا َأَبُو َالْيَ َمان َأ‬
َ‫َلَأَبُوَبَ ْك ٍر ََم ْقتَ َلَأ َْى ِلَالْيَ َم َام ِة‬ ِ َّ ‫ي ََر ِض َي‬
ََّ ِ‫الَأ َْر َس َلَإ‬
َ َ‫بَالْ َو ْح َيَق‬ ُ ُ‫َعْن َوَُ َوَكا َنَِم َّْنَيَكْت‬
َ ُ‫َاَّلل‬ َّ ‫صا ِر‬
َ ْ‫ْاْلَن‬
ِ ‫َاستَ َحَّرَيَ ْوَمَالْيَ َم َام ِةَ ِِبلن‬
َ‫َّاس ََوإِِِّن‬ ْ ‫الَإِ َّنَالْ َقْت َلَقَ ْد‬ َ ‫الَأَبُوَبَ ْك ٍرَإِ َّنَعُ َمَرَأ َََتِِنَفَ َق‬ َ ‫َع َم ُرَفَ َق‬
ُ ُ‫َوعْن َده‬
ِ
َ‫ََت َمعُوهُ ََوإِِِّن‬َْ ‫آن َإََِّّل َأَ ْن‬ِ ‫اط ِن َفَي ْذىب َ َكثِري َِمن َالْ ُقر‬ ِ ‫َِبلْ ُقَّر ِاء َِِف َالْمو‬
ِ ‫َخ َشىَأَ ْن ََيَستَ ِحَّر َالْ َقْتل‬
ْ ْ ٌ َ َ َ ََ ُ ْ ْ‫أ‬
َ‫َصلَّى‬ ََ ِ‫َاَّلل‬ ِ ‫ال َأَبوَب ْك ٍر َقُ ْل‬
َّ ‫ول‬ ُ ‫َشْي ئًاَ ََلَْيَ ْف َع ْلوُ ََر ُس‬
َ ‫ف َأَفْ َع ُل‬ َ ‫ت َل ُع َمَر َ َكْي‬ ُ َ ُ َ َ‫ََت َم َع َالْ ُق ْرآ َن َق‬ َْ ‫َْل ََرىَأَ ْن‬
ََ ِ‫َاَّللَُلِ َذل‬
َ‫ك‬ َّ ‫َشَر َح‬ َ ‫َح ََّّت‬ ِِ ِ
َ ‫َخْي ٌر َفَلَ ْم َيََزْل َعُ َم ُر َيَُراجعُ ِِن َفيو‬
َِّ ‫ال َعمر َىو َو‬
َ ‫اَّلل‬ َ َ ُ ُ َ ُ َ ‫اَّللَُ َعلَْيو ََو َسلَّ َم َفَ َق‬
ِ ََّ
َ‫ال َأَبُو‬ َ ‫س َََّل َيَتَ َكلَّ ُم َفَ َق‬ ِ ‫َعْنده‬ ِ ٍِ ِ َّ ‫ص ْد ِريَورأَي‬
ٌ ‫َجال‬ َ ُ َ ‫ال ََزيْ ُد َبْ ُن َ ََثبت ََوعُ َم ُر‬ َ َ‫يَرأَىَعُ َم ُر َق‬ َ ‫ت َالذ‬ ُ ْ ََ َ
َ‫َعلَْي ِو‬ ِ ِ
ِ ‫ك َ ُكْنت َتَكْتُب َالْوحي َلرس‬ ِ
َّ َّ‫َصل‬
َ ُ‫ىَاَّلل‬ َ ‫َاَّلل‬َّ ‫ول‬ َُ َ َْ ُ َ َ ‫َعاق ٌل ََوََّل َنَتَّ ِه ُم‬ َ ‫اب‬ ٌّ ‫َش‬َ ‫َّك ََر ُج ٌل‬ َ ‫بَ ْك ٍَر َإِن‬
َ‫َعلَ َّي َِِمَّاَأََمَرِِن‬َ ‫َاْلبَ ِال ََماَ َكا َنَأَثْ َق َل‬
ِْ ‫اَّللَِلَوَ َكلَّ َف ِِنَنَ ْقلَجب ٍل َِمن‬
ْ ََ َ ْ َّ ‫اْجَ ْعوَُفَ َو‬ ْ َ‫َو َسلَّ َمَفَتَ تَ بَّ ْعَالْ ُق ْرآ َنَف‬
َ‫ال َأَبُو‬ َ ‫َعلَْي ِو ََو َسلَّ َم َفَ َق‬ َّ َّ‫َصل‬
َ ُ‫ىَاَّلل‬ َ ‫َِّب‬ َ ‫ف َتَ ْف َع ََل ِن‬
ُّ ِ‫َشْي ئًاَ ََلَْيَ ْف َع ْلوَُالن‬ َ ‫ت َ َكْي‬
ِ ِِ
ُ ‫بِو َم ْن َْجَْ ِع َالْ ُق ْرآن َقُ ْل‬
ِِ ِ َِّ ‫ب ْك ٍرَىوَو‬
َ‫َص ْد َرَأَِِبَبَ ْك ٍر‬ َ ُ‫َاَّللَُلَو‬
َّ ‫يَشَر َح‬َ ‫َص ْد ِريَللَّذ‬ َ ُ‫َاَّلل‬ َّ ‫َشَر َح‬ َ ‫َح ََّّت‬
َ ُ‫َخْي ٌرَفَلَ ْمَأ ََزْلَأ َُراجعُو‬ َ ‫اَّلل‬ َ َُ َ
ِ ِ ‫ب َوص ُدوِر‬ ِ ِّ ‫َْجَعُوُ َِم ْن‬
َ‫َح ََّّت‬
َ ‫َالر َجال‬ ّ ُ َ ِ ‫َالرقَ ِاع ََو ْاْلَ ْكتَاف ََوالْعُ ُس‬ ْ ‫ت َالْ ُق ْرآ َن َأ‬ ُ ‫ت َفَتَ تَ بَّ ْع‬ُ ‫َوعُ َمَر َفَ ُق ْم‬

52 Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an


Penulisan Al-Qur’an

ِ ٍ ‫َاْلَنْصا ِر ِيَ ََلَأ َِج ْد ُُهاَمعَأ‬ ِ ْ َ‫َسورِةَالتَّوبَِةَآيَت‬ ِ ‫وج ْد‬


َ ‫َ﴿لََق ْد‬:‫َحدَ َغ ِْريَه‬
َ‫َجاءَ ُك ْم‬ َ ََ َ ْ ّ َ ْ ‫َخَزْْيََة‬
ُ ‫ْي ََم َع‬ ْ َ ُ ‫تَم ْن‬ ُ ََ
ِ ِ ‫ول َِمنَأَنْ ُف ِس ُكمَع ِزيزَعلَي ِوَماَعنِتُّمَح ِريصَعلَي ُكم﴾َإِ ََل‬
‫َآخ ِرُهَا‬ ْ َْ ٌ َ ْ َ َ َْ ٌ َ ْ ْ ٌ ‫َر ُس‬
Diriwayatkan oleh al-Bukhârî, Abû al-Yamân ra. telah menceritakan pada
kami, Syu’aib yang bersumber dari al-Zuhrî telah menceritakan kepada
kami, ia berkata: Abû al-Sabâq ra. telah menceritakan kepadaku bahwa
Zayd bin Sâbit al-Ansârî ra., salah seorang penulis wahyu, berkata: Abû
Bakr ra. memberitakukanku tentang orang-orang yang gugur dalam per-
tempuran Yamâmah, sementara ‘Umar bin al-Khaṭṭâb r.a. berada di sam-
pingnya. Abû Bakr ra. membuka pertemuan dengan mengatakan: ‘Umar
bin al-Khaṭṭâb ra. telah mendatangiku dan mengatakan, peperangan di
Yamâmah telah berlangsung sengit dan telah merenggut banyak korban
sejumlah penghafal Al-Qur’an. Aku khawatir hal ini akan meluas kepada
para penduduk sehingga kemungkinan Al-Qur’an hilang. ‘Umar bin al-
Khaṭṭâb ra. memintaku untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Lalu aku kata-
kan kepadanya, bagaimana aku harus melakukan sesuatu yang tidak
pernah dilakukan Rasulullah saw.? ‘Umar bin al-Khaṭṭâb ra. berkata:
‚Demi Allah, ini sesuatu yang baik‛. Ia terus mendesakku untuk melak-
sanakan inisiatif tersebut hingga akhirnya Allah melapangkan hatiku dan
mengakui kebenaran inisiatif ‘Umar ra. Selanjutnya Zaid ra. berkata:
Kemudian Abû Bakr ra. berkata kepadaku: ‚Zaid, engkau seorang pemuda
yang masih muda dan pintar dan aku tidak meragukan kemampuanmu;
engkau penulis wahyu di masa Nabi Muhammad saw. Kini periksalah
catatan-catatan Al-Qur’an dan himpunlah (dalam satu mushaf). Zaid ra.
berkata: ‚Demi Allah, andai aku disuruh memindahkan gunung, hal itu
tidak lebih berat daripada tugas menghimpun Al-Qur’an. Menurut Zaid
ra.: ‚Lalu aku berkata: ‚Mengapa kalian berdua melakukan sesuatu yang
tidak pernah diperbuat oleh Rasulullah?‛ Lalu Abû Bakr ra. menjawab:
‚Demi Allah, ini sesuatu yang baik‛. Setelah berulang kali Abû Bakr ra.
meyakinkanku, kata Zaid ra., barulah Allah melapangkan hati Abû Bakr
dan ‘Umar. Lalu aku memeriksa dan mengumpulkan Al-Qur’an dari ke-
pingan-kepingan yang terdapat pada-nya Al-Qur’an serta berdasarkan
hafalan para huffâz~. Akhirnya aku temukan ayat Al-Qur’an akhir surat al-
Tawbah yang hanya aku dapati dalam catatan dan hafalan Huzaymah al-
Ans{ârî. Ayat dimaksud …‫َعلَْي َِو‬ ِ ِ ٌ ‫ َلَ َق ْدَجاء ُكمَرس‬hingga akhir surat.
َ ‫ولَم ْنَأَنْ ُفس ُك َْمَ َع ِز ٌيز‬ َُ ْ َ َ
Berdasarkan hasil dialog itulah Zaîd ditunjuk sebagai pencatat
mushaf. Zaîd merasa tugas tersebut cukup berat. Ia harus menghimpun
ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis di kayu, pelepah kurma, di tulang dan di
batu, selain ia juga harus mencocokkan catatan-catatan yang ada dalam
catatannya dan sahabat lainnya. Ia juga harus mencocokkan catatan ter-

Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an 53


Bab III

tulis itu dengan hapalan para sahabat. Ternyata kepercayaan Abû Bakr ra.
kepada Zaîd bin Ṡâbit tidak meleset. Diimbangi dengan kecakapan yang
dimilikinya dan dibantu ‘Umar bin al-Khat{t{âb, Zaîd ta. segera bergerak
dan langsung melacak keseluruhan Al-Qur’an hingga akhirnya ia me-
nemukan sebuah ayat Al-Qur’an (akhir surat al-Tawbah) yang hanya ia
dapatkan di Khuzaimah al-Ansâ{rî ra.. Ayat dimaksud berbunyi:

ٌَ ‫وف ََرِح‬
َ‫يم‬ ٌ ُ‫ْي ََرء‬ ِِ
َ ‫َعلَْي ُك ْم َ ِِبلْ ُم ْؤمن‬
َ ‫يص‬ ٌ ‫َح ِر‬
ِ ‫ول َِمن َأَنْ ُف ِس ُكم َع ِزيز َعلَي ِو َم‬
َ ‫اَعنت ُّْم‬
َ َ َْ ٌ َ ْ ْ ٌ ‫َجاءَ ُك ْم ََر ُس‬َ ‫لََق ْد‬
َ‫ب َالْ َع ْر ِش َالْ َع ِظي ِم‬
ُّ ‫ت ََوُى َو ََر‬ ِ ‫َاَّلل َََّل َإِلَو َإََِّّل َىو‬
ُ ‫َعلَْيو َتَ َوَّك ْل‬
َ َُ َ َُّ ‫ِب‬ ِ َ ‫) َفَِإ ْن َتَ َولَّْوا َفَ ُق ْل‬821(
َ ‫َح ْس‬
)821(
Sungguh telah datang kepadamu seoran rasul dari kalanganmu, berat
terasa olehnya penderitaanmu menginginkan (keimanan dan kesela-
matan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin. Jika mereka berpaling, katakan-lah, ‘Cukuplah Allah bagiku,
tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawak-kal dan
Dialah Tuhan yang memiliki Arasy yang agung.

Pernyataan Zaîd dalam hadis tersebut dimaksudkan bahwa ia me-


nemukan dua surat at-Tawbah yang tertulis hanya di Khuzaimah al-
Ansâ{rî sedangkan kedua ayat tersebut ada dan terdapat dalam hapalan
para sahabat lainnya, termasuk Zaîd. (S~ubh}i S}âlih}, t.t.) Ini berarti per-
nyataan Zaîd tersebut tidak mengurangi kemutawatiran dua ayat tersebut
seperti ayat-ayat lainnya. Demikian akhir dari proses penulis-an mushaf
yang dilakukan dengan hati-hati. Zaîd, dalam melakukan pekerjaan ini,
selalu meminta petunjuk Abû Bakr ra. dan ‘Umar ra., bahkan untuk men-
dapatkan legitimasi bahwa Al-Qur’an ini benar-benar berasal dari Nabi
Muhammad saw., diperlukan dua orang saksi yang adil. Mushaf yang
telah ditulis itu akhirnya disimpan oleh Abû Bakr ra. hingga akhir hayat-
nya. Setelah itu mushaf berpindah ke tangan ‘Umar ra. dan setelah beliau
wafat dipindahkan ke tangan puterinya, H{afsah binti ‘Umar. Mushaf itu
ditulis menurut urutan turun, bukan menurut sistematika sebagaimana
dilihat sekarang.
Al-Qur’an di masa Abû Bakr ra. ini jika dicermati secara seksama,
memiliki tiga karakteristik menonjol, yaitu: (1) seluruh ayat Al-Qur’an
ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian secara cermat; (2) tidak
termasuk di dalamnya ayat-ayat Al-Qur’an yang dinasakh bacaannya; dan
(3) seluruh ayat Al-Qur’an yang ditulis di dalamnya telah diakui kemuta-
watirannya.

54 Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an


Penulisan Al-Qur’an

2. Penulisan Al-Qur’an (Mushaf) Usmani


Penyebaran Islam di masa Khalifah ’Utsmân ra. telah meluas. Di
periode ini ada kecenderungan baru timbul untuk mempelajari Al-
Qur’an, termasuk memperlajari cara membacanya, padahal mereka telah
jauh masanya dengan masa Nabi saw. Penduduk di wilayah-wilayah Islam
waktu itu masing-masing menggunakan bacaan (qirâ’at) sahabat, guru
mereka yang dianggap paling bagus dan benar. Tidak heran terjadi di-
ferensial (perbedaan) bacaan Al-Qur’an ketika itu. Misal, penduduk Syam
menggunakan cara bacaan Ubay bin Ka’b ra., penduduk Mekkah meng-
gunakan cara bacaan ’Abdullâh bin Mas’ûd ra., penduduk Basrah meng-
gunakan cara bacaan Abû Mûsâ al-Asy’ari ra., dan sebagainya.
Mereka bangga dengan qiraat yang mereka bacakan dan pegangi,
sehingga terjadilah sikap saling menyalahkan terhadap qiraat lain di
kalangan kaum Muslim yang tidak sesuai dengan qiraat mereka, bahkan
nyaris saling mengkafirkan sesama mereka. (‘Alî aṣ-Sâ{bûnî, t.t.) Situasi
tersebut jika dibiarkan berlarut-larut dapat mengganggu persatuan dan
kesatuan kaum Muslim disebabkan perbedaan bacaan di antara mereka.
Seorang sahabat bernama Huzaifah ra. mengusulkan kepada Khalifah
’Usmân bin ‘Affân ra. agar mengusahakan dengan segera penyeragaman
bacaan Al-Qur’an dengan cara menyeragamkan tulisan Al-Qur’an. Jika
masih terjadi perbedaan-perbedaan tentang cara membacanya, diusahakan
masih dalam batas-batas yang dianjurkan Nabi Muhammad saw. (ma'sûr),
karena Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan tujuh dialek (lahjât)
bahasa Arab yang berkembang waktu itu. Ide Khuzaimah ra. itu diterima
oleh ’Usmân bin ’Affân ra. yang kemudian membentuk sebuah tim yang
terdiri dari empat orang penyusun mushaf, yaitu Zaîd bin Ṡâbit ra.,
’Abdullâh bin al-Zubair ra., Sa’îd bin ’As ra.{, dan ’Abdul Rahmân ibn
Hâ{ris ibn Hisyâm ra.. ’Usmân bin ’Affân ra. meminta Hafsah ra. agar me-
nyerahkan mushaf yang selama ini disimpan di rumahnya kepada beliau
untuk diserahkan kepada tim penyusun mushaf tersebut. Setelah tim
mushaf menyelesaikan tugasnya ’Usmân bin ’Affân ra. mengembalikan
mushaf yang ditulis di masa Abû Bakr ra. itu kepada H{afsah ra..
Kemudian mushaf hasil kerja tim dikirim ke berbagai wilayah sedangkan
mushaf lainnya yang ada saat itu diperintahkan untuk dibakar. Mushaf
yang disimpan di rumah H{afsah ra. tetap disimpan hingga akhir hayat
H{afsah ra.. Setelah walikota Madinah, Marwân bin H{akkâm ra. (w. 65 H.)
memerintah, mushaf itu dibakar. Para sarjana berbeda pendapat mengenai
salinan mushaf yang dikrim ke berbagai wilayah. Sebagian pendapat me-
ngatakan ada empat mushaf, masing-masing dikirim ke Bas{rah, Kufah

Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an 55


Bab III

dan Syam sedangkan mushaf satunya lagi di tangan ’Usmân bin ’Affân
ra. Sebagian pendapat lainnya mengatakan ada tujuh mushaf, yang tiga
sebagaimana telah disebutkan dan tiga lainnya dikirim ke Makkah,
Yaman dan Bahrain. (az-Zarkasyî, t.t.)
Terlepas dari perbedaan jumlah salinan mushaf tersebut, aspek
penting yang perlu dicatat, mushaf telah berhasil dihimpun dan dibuku-
kan sebagai mushaf rujukan kaum Muslim. Namun, dengan upaya penya-
linan mushaf tidak berarti persoalan berkaitan dengan Al-Qur’an selesai,
karena mushaf Al-Qur’an di masa ’Usmân bin ’Affân ra. ini belum meng-
gunakan tada-tanda baca seperti titik dan simbol-simbol bacaan lainnya.
Bagi orang yang tidak mengetahui dengan baik bahasa Arab ketiadaan
tanda baca itu menyebabkan peluang terjadi kekeliruan dalam membaca
Al-Qur’an. Perbedaan bacaan, apalagi jika bacaan itu tidak benar, dapat
membawa konsekensi fatal sehingga dalam perkembangan mushaf beri-
kutnya diupayakan pembuatan tanda-tanda baca.
Ketika wilayah Islam telah menjangkau banyak daerah non Arab,
seperti Turki, India, Persia, Afrika dan daerah Timur Tengah, kesulitan
berkaitan dengan mushaf tanpa tanda baca semakin terasa. Salah satu
kasus ketika seorang asing, ’ajam, membaca Qs. Al-Taubah/9:3:

َ‫ْي ََوَر ُسوَلِِو‬ ِ ِ


َ ‫َاَّللََبَِريءٌَم َنَالْ ُم ْش ِرك‬
َّ ‫َن‬ َّ ‫أ‬
Sungguh Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasul-Nya.
Seharusnya dibaca:
ِ ِ
َ ‫َاَّللََبَِريءٌَم َنَالْ ُم ْش ِرك‬
َُ‫ْي ََوَر ُسولُو‬ َّ ‫َن‬ َّ ‫أ‬
Sungguh Allah dan rasul-Nya.berlepas diri dari oang-orang musyrik.

Perbedaan bacaan karena ketiadaan tanda baca tersebut memper-


lihatkan bahwa perbedaan dapat menimbulkan perbedaan makna yang
besar. Alasan iniah yang mendorong Khalifah ’Abdul Mâlik bin Marwân
(685-705 M) memerintahkan al-Hajjaj bin Yûsuf aṡ-Ṡaqâfî untuk mem-
berikan tanda-tanda baca kepada Al-Qur’an yang kemudian distandarkan
penggunaannya dengan dibantu oleh Nas{r ibn Âs{im dan Yah{yâ ibn
Mans{ûr, dua murid ulama besar Abû al-Aswad al-Dualî.
Mencermati perjalanan penulisan Al-Qur’an di masa ’Usmân bin
’Affân ra., paling tidak, ada lima hal yang menonjol. Pertama, ayat-ayat
Al-Qur’an yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawatir
berasal dari Nabi Muhammad saw. Kedua, tidak dijumpai ayat-ayat yang

56 Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an


Penulisan Al-Qur’an

telah dinasakh bacaannya. Ketiga, surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an


disusun secara sistematis sebagaimana yang terlihat sekarang, sedangkan
mushaf di masa Abû Bakr ra. disusun berdasarkan sistematika (tartîb)
turunnya. Keempat, tidak terdapat selain ayat-ayat Al-Qur’an yang di-
wahyukan oleh Allah. Berbeda dengan beberapa sahabat yang di dalam-
nya terdapat penafsiran terhadap makna ayat tertentu. Kelima, mushaf-
mushaf yang ditulis di masa ’Usmân bin ’Affân ra. mencakup sab’ah
ah{ruf, sebagaimana Al-Qur’an diturunkan. (Sâlim Mahâ}sin, t.t.)

3. Penulisan Al-Qur’an (Mushaf) Pasca ‘Usmân


Sebuah sumber mengatakan, Ziyâd Ibn Samiyyah, Gubernur Basrah
di masa pemerintahan Muawiyyah (661-680), salah seorang yang me-
miliki atensi besar terhadap pembubuhan tanda baca (syakal). Hal ini
tidak terlepas dari pemantauannya terhadap kaum Muslim yang melaku-
kan kesalahan dalam membaca firman Allah Qs. Al-Tawbah/ 9:3. Melihat
kenyataan ini, Ziyâd bin Samiyyah meminta Abû al-Aswâd ad-Duallî
untuk membubuhkan tanda baca (syakl) dalam mushaf agar tidak terjadi
kekeliruan dalam membaca Al-Qur’an di kalangan kaum Muslim. (Âdil
Kamâl, t.t.; Bakr Ismâ’îl, 1991). Namun, Abû al-Aswâd ad-Duallî belum
meletakkan syakal untuk setiap huruf, kecuali syakal huruf akhir saja.
Misal, untuk tanda fathah (a) ia membubuhkan tanda titik satu yang
terletak di atas huruf (•), tanda kasrah (i) dengan membubuhkan titik satu
di bawah huruf (•) dan tanda d{amah (u) dengan satu titik yang terletak di
antara bagian-bagian huruf (• •). Sementara itu, untuk sukûn (mati)
tidak diberi tanda apa-apa.
Upaya penyempurnaan penulisan (rasm) mushaf berjalan secara
bertahap. Al-Khâlid bin Ahmad, murid al-Duallî, di masa Abbasiah, telah
membuat fathah dengan membubuhkan huruf alif kecil (‫ )ا‬terletak di atas
huruf ( ‫)ا‬, tanda kasrah dengan membubuhkan huruf yâ’ kecil (‫ )ي‬di bawah
huruf (‫ )ي‬dan tanda d{amah dengan membubuhkan huruf wâw kecil (‫ )و‬di
atas huruf (‫)و‬. Adapun tanda sukûn (mati) yaitu dengan membubuhkan
tanda kepala huruf hâ’ (‫ )ح‬yang terletak di atas huruf (‫ )ح‬dan tasydîd
dengan membubuhkan tanda kepala huruf sîn (‫ )س‬yang terletak di atas
huruf (‫)س‬. (Ismâ’îl, t.t.)
Seiring dengan ekspansi Islam ke berbagai wilayah dan semakin
banyak masyarakat non Arab yang masuk Islam, muncul upaya untuk
membuat tanda-tanda huruf Al-Qur’an. Upaya tersebut tampak di masa
Khalifah ’Abd al-Mâlik bin Marwân (685-705 M.). Kemudian beliau

Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an 57


Bab III

menugaskan seorang sarjana, al-H{ajjaj bin Yûsuf al-Saqâfî, untuk me-


nyusun tanda-tanda baca al-Qur’an (nuqat{ al-’ajam). Al-H{ajjâj selanjut-
nya menugaskan Nas{r bin ’As{im dan Yah{yâ bin Ya’mur (murid ad-Duallî)
untuk menyusun tanda-tanda baca tersebut. Atas titah al-Hajjaj kepada
dua orang ahli ini, terdapatlah tanda-tanda dalam al-Qur’an dengan cara
membubuhkan tanda titik (.) pada huruf-huruf yang serupa untuk mem-
bedakan antara huruf yang satu dengan huruf yang lain. Misal, huruf dâl
(‫ )د‬dengan żâl (‫)ذ‬, huruf hâ’ (‫)ح‬, jîm (‫)ج‬, dan khâ’ (‫)خ‬, dan lainnya.
Menurut sebuah riwayat, al-Hajjaj telah melakukan perubahan Rasm
’Uṡmâni dalam 11 tempat.
Tokoh-tokoh lain yang membubuhkan tanda huruf Al-Qur’an itu
’Ubaidillah bin Zayyad (67 H), yang memerintahkan seorang Persia
meletakkan huruf alif, yang pada Rasm ’Usmânî justeru dibuang. Misal,
kata ‫ زكاة‬yang dalam Rasm ’Uṡmâni ditulis ‫زكوة‬. az-Zanjani, seorang
warga Madinah, menciptakan bentuk melengkung ( ). Lalu pengikut
ad-Duallî menambahkan tanda-tanda lainnya dengan meletakkan garis
horizontal di atas huruf yang terpisah, baik hamzah maupun bukan
hamzah. Sebagai tanda alif was{l, mereka meletakkan garis vertikal jika
sebelumnya fath{ah dan ke bawah jika sebelumnya d{ammah. Pembubuhan
tanda-tanda huruf tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan para
sarjana, paling tidak, sampai generasi tabi’in. Para sarjana banyak yang
mendukung upaya tersebut. Pertimbangan dukungan mereka, banyak
kaum Muslim yang merasa kesulitan membaca Al-Qur’an disebabkan
mereka bukan penduduk di wilayah Arab.
Perkembangan berikutnya tidak ditemukan lagi larangan tegas dari
berbagai pihak tentang pemberian tanda-tanda baca Al-Qur’an karena
terbukti memiliki banyak manfaat dalam penyeragaman bacaan Al-
Qur’an. Apalagi di era sekarang, manuskrip-manuskrip kuno tanpa tanda
baca sulit ditemukan. Sebagian manuskrip di masa sahabat telah hancur
karena tidak terawat dan boleh jadi bahan-bahan yang digunakan untuk
menuliskannya berasal dari bahan yang tidak tahan lama.
Manuskrip paling tua yang ditemukan manuskrip yang ditulis di
abad II Hijriah yang dipamerkan di Museum Inggris, London, dalam
World of Islamic Festival, Festival Dunia Islam, di tahun 1976. Manus-
krip tersebut ditulis di atas kertas papirus. Ada juga salinan Al-Qur’an
yang diukir di atas kulit rusa betina kini tersimpan di Perpustakaan
Nasional Mesir yang diperkirakan ditulis di tahun 68 H/699 M., atau
setelah Nabi Muhammad saw. wafat.
Manuskrip ’Uṡmân yang telah digandakan (disalin) hingga kini

58 Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an


Penulisan Al-Qur’an

belum dapat diketahui. Menurut al-Kindi (w. 236 H/850 M.), empat dari
salinan naskah ’Uṡmân rusak dalam kebakaran atau dalam peperangan,
sedangkan manuskrip yang dikirim ke Damaskus masih tersimpan di sana
ketika ia masih hidup. Ibn Batutah (w. 779 H/1377 M.) menceritakan
bahwa ia pernah melihat salinan manuskrip yang dibuat di masa ’Uṡmân
bin ‘Affân ra. di Granada, Marakesh dan Basrah. Sementara itu, Ibn Kasîr
(w. 774 H/1372 M.) menyatakan pernah melihat salinan Al-Qur’an yang
diduga ditulis di zaman ’Uṡmân bin ‘Affân yang bahannya dari kulit unta.
Manuskrip tersebut dipindahkan dari Tiberia (Palestina) ke Damaskus di
tahun 518 H. Menurut sebuah informasi, manuskrip ini masih ditemu-kan
di Masjid Damaskus sebelum masjid itu terbakar di tahun 1310 H/1892
M. Di samping itu ada manuskrip kuno yang diduga salinan dari mushaf
’Usmânî yang tersimpan di dalam masjid al-Husain, Kairo. Al-Jubair (w.
614 H/1217 M.) pernah melihat sebuah manuskrip kuno di Masjid
Madinah di tahun 580 H./1184 M. Kemudian manuskrip tersebut dibawa
ke Istanbul, Turki di tahun 1334 H./1915 M. Setelah perang Dunia I,
manuskrip itu dibawa ke Berlin, Jerman. Informasi terakhir menyebutkan,
manuskrip ini dikembalikan lagi ke Istanbul.
Berdasarkan sebuah informasi, manuskrip Mus{h{af Imâm, manus-
krip yang diamankan ’Uṡmân bin ‘Affân untuk kepentingan pribadinya ---
dibawa ke Andalusia di masa kekhilafahan Umayyah. Manuskrip tersebut
kemudian dibawa ke Fez (Maroko). Ibnu Batuttah di abad VIII Hijriah.
masih menyaksikan manuskrip tersebut. Di samping itu ditemukan pula
manuskrip yang diberi nama manuskrip Samarkand, diperkirakan sebagai
salah satu salinan manuskrip ’Uṡmân yang kini masih tersimpan di
Tashkent, Asia Tengah. Manuskrip ini dibawa ke Samarkand di tahun
890 H./1485 M. dan tetap di sana sampai tahun 1968, tetapi dibawa ke
St. Petersburg oleh tentara Rusia di tahun 1689. Manuskrip ini dibuatkan
salinan oleh S. Pisareff, seorang orientalis Rusia, lalu dikirim ke Sultan
Abdul Hamid dari Dinasti ’Usmâni Turki, Syah Iran, Amir Bukhara,
Afganistan, Fez (Maroko), dan beberapa tokoh Muslim terkemuka. Salah
satu contoh salinan manuskrip tersebut kini tersimpan di perpustakaan
Columbia University, New York. Manuskrip ’Alî bin Abî Tâ{lib menurut
sebuah informasi, sepeninggal beliau, disimpan di Najf, Irak, di Dâr al-
Kutub al-’Alawiyyah. Manuskrip ini ditulis dalam aksara kufi dan di atas-
nya tertulis kata ’Alî bin Abî Tâ{lib yang ditulis di tahun 40 H.
Setelah ditemukan mesin cetak (ketik) oleh Guterbeg di abad XVI,
riset dan eksperimen untuk mengembangkan mushaf berjalan cukup pesat
yang puncaknya dapat dilihat dengan munculnya berbagai tipe dan jenis

Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an 59


Bab III

komputer serta potocopy canggih. Untuk pertama kalinya mushaf dicetak


di Vinisia (Bunduqiyah) tahun 1530 M, tetapi pemerintah Gereja me-
nyuruh menghancurkannya. Selanjutnya terdapat seorang Jerman ber-
nama Hinhelmann untuk mencetak Al-Qur’an di Hamberg, Jerman, di
tahun 1694 M. yang diikuti oleh Maracci yang mencetak Al-Qur’an di
Padone di tahun 1698. Namun, tidak satu pun dari cetakan-cetakan itu
yang tersisa di dunia Islam. (S~ubhh}I S}âlih}, t.t.)
Penerbitan Al-Qur’an dengan logo (label) Islam baru dimulai tahun
1787 M yang diupayakan oleh maula ’Usmânî. Mushaf cetakan tersebut
lahir di St. Patenborg, Rusia, yang kemudian disusul dengan pencetakan
serupa di Kazan di tahun 1828. Di Iran mulai terdapat Al-Qur’an cetakan
baru yang pertama di Teheran di tahun 1828 M dan kedua di Tibriz di
tahun 1833.61 Di tahun 1834 M Flingel mencetak Al-Qur’an di Leibzig
yang merupakan cetakan terbesar dengan mendapatkan sambutan di
Eropa karena ejaannya yang baru dan mudah dibaca. Kendati demikian
Fligel ini tidak mendapat sambutan di dunia Islam.
Di India terdapat cetakan Al-Qur’an yang kemudian disusul di
Istambul yang baru dimulai di tahun 1877 M. Baru ketika tahun 1933 M
(1342 H) Mesir mencetak Al-Qur’an dengan tulisan sebagai yang dikenal
sekarang, pencetakan Al-Qur’an yang mendapat tanggapan luar biasa
hampir di seluruh dunia Islam. Pencetakan tersebut berada di bawah pe-
ngawasan Al-Azhar yang disahkan oleh panitia khusus. Mushaf tersebut
ditulis dengan qiraat Hafs, sebagai jenis kitab pegangan seluruh kaum
Muslim di dunia berdasarkan konsensus sarjana (ijma’). Sejak itulah be-
juta-juta mushaf dicetak, di Mesir dan di berbagai negara, termasuk di
Indonesia.
Di penghujung abad XX Masehi, Pemerintah Arab Saudi memiliki
terobosan baru dalam mencetak mushaf Al-Qur’an. Menurut Direktur
Pencetakan Al-Qur’an yang berpusat di Madinah, tidak kurang dari 10
juta examplar Al-Qur’an dicetak dengan menggunakan bahasa sesuai
jumlah negara Muslim di dunia. (Hasil wawancara, 204). Pencetakan Al-
Qur’an tersebut telah melampaui pencetakan yang dilakukan negara-
negara lain dengan melibatkan 315 insinyur yang juga penghafal Al-
Qur’an.
Di Indonesia, gairah menyalin (mencetak) Al-Qur’an dalam jumlah
banyak dilakukan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama
Republik Indonesia. Di samping itu, pihak swasta juga melakukan akti-
vitas pencetakan Al-Qur’an dengan menggunakan nama-nama yang mar-
ketable dan style yang berbeda-beda.

60 Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an


Penulisan Al-Qur’an

4. Mushaf Al-Qur’an dan Rasm ‘Usmanî


1. Pola Penulisan Al-Quran dalam Mushâf ’Usmânî
Istilah rasm (melukis) Al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan
Al-Qur’an yang digunakan ‘Uṡmân bin ‘Affân dan para sahabatnya ketika
menulis dan membukukan Al-Qur’an. Kemudian pola penulisan tersebut
dijadikan standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf Al-
Qur’an. (Majma’ al-Buh{ûṡ al-Islâmiyyah, 1971) Mushaf ’Uṡmânî ditulis
dengan kaidah-kaidah tertentu, yang oleh sebagian kalangan dinilai ada
penyimpangan dari aturan bahasa secara konvensional. Atas dasar itulah,
sebagian sarjana mempersempit definisi rasm Al-Qur’an, apa yang ditulis
oleh para sahabat Nabi saw. menyangkut sebagian lafaz-lafaz Al-Quran
dalam Mushaf ’Uṡmânî, dengan pola tersendiri yang menyimpang dari
kaidah-kaidah bahasa Arab. (T{âhir ‘Abd al-Qadîr, 1953)
Ada enam pola penulisan Al-Quran versi Mushâf ’Uṡmânî yang me-
nympang dari kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab baku. (‘Adil Kamâl,
t.t.)
1. Penghilangan huruf (al-h{az{f)
Pola ini terdiri dari enam bagian, yaitu:
a. Menghilangkan huruf alif, dari yâ al-nidâ’, ‫بط‬ ُ َُّ‫ ; َيبأيُّ َٓب ان‬dari hâ’ al-
ُ َ َ ُ ْ َ
tanbîh, ‫ْبأَز ْى‬: dari ‫ ََب‬d{amîr, kata ganti, ‫ ;أَ َج ْي َُك ْى‬lafaz jalâlah, ‫ ;هللا‬dari
dua kata ًٍ ْ‫انشح‬ ُ ; sesudah huruf lâm ‫ف‬
َّ dan ٍ‫سجْح‬ َ ِ‫ ; خَهئ‬sesudah dua
َ ْ
huruf lâm, ‫ ;انكَههخ‬dari semua musannâ, ٍ‫ه‬ َ dari semua jama’ s{ah{îh
ِ ‫;س ُج‬
baik muzakkar maupun muannas,ٌْٕ ُ‫س ًّع‬ َ dan ُ‫ ;انًإ ُِيُذ‬dari semua
jamak yang satu pola dengan‫س ِجذ‬ َ ‫ ي‬dan ٖ‫ ;انَُّصش‬dari semua kata
bilangan, ‫هث‬ َ َ‫ ;ث‬dari basmallah, dan sebagainya.
b. Menghilangkan huruf yâ’ dari manqûs{ munawwan (ber-tanwin),
baik ketika berharakat rafa’ maupun jâr, seperti ‫; َغي َْش ثَبغٍ َٔالَ َعب ٍد‬
menghilangkan huruf yâ’ dalam kata ٌِ ْٕ ُ‫أ َ ِط ْيع‬, ٌِ ْٕ ُ‫ارَّق‬, ٌِ ْٕ ُ‫خَبف‬, dan ٌِ ُْٕ ‫بس َْج‬ ْ َ‫ف‬
selain yang dikecualikan.
c. Menghilangkan huruf lâm ketika dalam keadaan idgâm, ‫ اَنَّ ْي ُم‬dan
ِ٘‫ انَّز‬selain yang dikecualikan.
d. Menghilangkan huruf wâw yang terletak bergandengan, َٗ‫ فَأَٔان‬dan
ٌََْٕ ‫الَ َي ْسز‬.
Ada juga beberapa penghilangan huruf yang tidak masuk kaidah.
Misal penghilangan huruf alif dalam kata dan menghilangkan ya’ dari
kata ‫ ِئثْشْى‬serta menghilanggkan waw dari empat kata kerja (al-fi’l)
َ َْ ‫اال‬
ٌُ‫سب‬ ِ ‫ع‬ ُ ْ‫ٔيَذ‬, ُ ْ‫يَ ْٕ َو يَذ‬,dan ُ‫انضثَبَِيَّخ‬
َ ‫يَ ًْ ُح هللا‬, ‫ع‬ َّ ‫ع‬ُ ْ‫سَُذ‬
َ .

Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an 61


Bab III

2. Penambahan huruf (al-ziyâdah)


Penambahan huruf antara lain, alif setelah waw di akhir setiap
isim jamak atau yang memiliki hukum jamak. Misal, ‫ة‬ ِ ‫أُٔنُٕا األ َ ْنجَب‬, ‫ُيالَقُٕا‬
َ dan ‫ثَُُٕاْ ِئس َْشائِ ْي َم‬. Di samping itu, menambah alif setelah hamzah
‫س ِثّ ِٓ ْى‬,
marsûmah wâw (hamzah yang terletak di atas tulisan wâw). Misal, ‫رَب‬
‫ هللاِ رَ ْفزُإْ ا‬yang asalnya ditulis ُ ‫ر َب هللاِ رَفزَأ‬. Demikian kata ‫يبئ َخ‬, ِ dalam ayat ِٗ‫ف‬
ُ َ َ
‫سُجُه ٍخ ِيبئخ َحجَّ ٍخ‬ ْ ّ ُ
ُ ‫ك ِم‬, kata ‫س ْٕل‬ ُ ‫انش‬َّ dalam ayat ‫س ْٕأل‬ َ ُ ‫انش‬ َ َ
َّ ‫ أط ْعُب‬dan kata ‫ سجِيْم‬dalam
ayat َ‫س ِج ْيال‬ َّ ‫ضهُّ ََْٕب ان‬
َ َ ‫فَأ‬. Demikian juga penambahan huruf yâ’ dalam kata
‫ ثِأَيِّ ُك ْى‬atau penambahan huruf wâw dalam kata ُٕ‫ أُٔن‬dan ُ‫أ ُ ْٔالَد‬.
3. Kaidah Hamzah
Kaidah hamzah berlaku jika hamzah berharakat sukun ditulis
dengan huruf yang berharakat sebelumnya. Misal, ٌْ َ‫ اِئْز‬dan ًٍَِ ُ ‫أُٔر‬, selain
yang dikecualikan. Hamzah yang berharakat, jika berada di awal kata
dan bersambung dengan hamzah itu huruf tambahan ditulis dengan
alif secara mutlak, baik berharakat fath{ah maupun berharakat kasrah.
Misal ‫ة‬ َ ّْٕ ‫أَي‬, ْ‫أُٔنُٕا‬, ‫ف‬ ُ ‫ص ِ ّش‬ َ ُ ‫سأ‬
َ , ِّ٘ َ ‫فَ ِجأ‬selain yang dikecualikan. Jika hamzah
terletak di tengah, ditulis sesuai dengan huruf harakatnya, yakni
fathah dengan alif dan kasrah dengan ya’ serta d{amah dengan wâw.
Misal, ‫سئِ َم‬ ُ . ‫سأ َ َل‬ َ , ُِ ُ‫رَ ْق َشؤ‬. Namun, jika huruf yang sebelum hamzah itu
sukun, tidaklah ada tambahan. Misal, ‫ض‬ ِ ‫ ِي ْم ُء األ َ ْس‬dan ‫ ْانخَتْ َء‬selain yang
dikecualikan. Jika hamzah terletak di ujung, ditulis dengan huruf dari
jenis harakat huruf sebelumnya. Misal, kata ‫ نُإْ نُ ُإ‬dan ‫ئ‬ ُ ‫َبط‬ِ ‫ش‬.
4. Menggantikan huruf dengan huruf lain (al-badl)
Kaidah badl ini ada beberapa macam, yaitu: (1) huruf alif ditulis
dengan wâw sebagai penghormatan pada kata ُ ‫صهَٕح‬ َّ ‫ان‬, ُ ‫انضك َْٕح‬ َّ , dan ُ ‫ْان َحيَ ْٕح‬
selain yang dikecualikan; (2) huruf alif yang ditulis dengan ya’ dalam
kata-kata seperti َٗ‫اِن‬, َٗ‫ َعه‬, َٗ ‫ أَر‬yang berarti ‫ْف‬ َ ‫( َكي‬bagaimana), َٗ‫ثَه‬, َٗ‫ َيز‬,
dan َٖ‫ نَذ‬selain kata ‫ة‬ ْ
ِ ‫نَذَا انجَب‬dalam surat Yûsuf; (3) huruf alif diganti
dengan nûn al-tawkîd al-khafîfah dalam kata ٌْ َ‫( ;أِّر‬4) huruf tâ’ ta’nis
(‫ )ح‬diganti dengan tâ’ maftûh{ah (‫ )د‬dalam kata ‫ذ‬ ْ ًَ ْ‫سح‬, َ sebagaimana
dalam surat al-Baqarah, al-A’râf, Hûd, Maryam, ar-Rûm dan az-
Zukhrûf. Disamping itu, huruf tâ’ ta’nis (‫ )ح‬ditulis dengan tâ’ maftû-
h{ah (‫ )د‬dalam kata sebagai terdapat dalam surat al-Baqarah, Âli
’Imrân, al-Mâidah, Ibrâhîm, dan sebagainya.
5. Menyambungkan dan memisahkan huruf (al-was{l dan al-fas{l)
Was{l dan fas{l ragamnya meliputi: (1) kata ٌْ َ‫ أ‬dengan harakat
fath{ah dalam hamzahnya, disusul dengan ‫ ال‬penulisannya bersam-
bung dengan menghilangkan huruf nûn. Misal, َّ‫ أَال‬tidak ditulis َ‫أَ َْال‬,
kecuali dalam kata ‫ أ َ ٌْ الَرَقُ ْٕنُ ْٕا‬dan ْ‫( ;أ َ ٌْ الَر َ ْعجُذ ُٔا‬2) kata ٍْ ‫ ِي‬yang bersam-

62 Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an


Penulisan Al-Qur’an

bung dengan ‫ َيب‬penulisannya disambung dan huruf dalam mîmnya


tidak ditulis, seperti ٍْ ًَّ ‫ ِي‬kecuali dalam kalimat ‫َذ أ َ ْي ًَبَُ ُك ْى‬ ْ ‫ِي ٍْ َيهَك‬
sebagaimana terdapat dalam surat al-Nisâ’ dan al-Rûm; dan kata ٍْ ‫ِي‬
‫بسصَ ْقَُب ُك ْى‬
َ ‫ َي‬dalam surat al-Munâfiqûn; (3) kata ٍْ ‫ ِي‬yang bersambung ٍْ ‫َي‬
dengan ditulis bersambung dengan menghilangkan nûn, sehingga
menjadi kata ٍْ ًَّ ‫ ِي‬bukan ٍْ ‫;ي ٍْ َي‬ ِ (4) kata ٍْ ‫ َع‬yang ber-sambung dengan
‫ َيب‬ditulis bersambung dengan menghilangkan nûn, sehingga menjadi
ٍْ ًَّ ‫ َع‬bukan tu kecuali dalam kalimat ٍْ ‫( ; َع ٍْ َي‬5) kata ٌْ َ ‫ أ‬yang ber-
sambung dengan ‫ َيب‬ditulis bersambung dengan menghilangkan nûn,
sehingga menjadi ‫( ;أَ َّيب‬6) ٌِْ ‫ ا‬yang bersambung dengan ‫ َيب‬ditulis ber-
sambung dengan menghilangkan nûn, sehingga menjadi ‫( ;اِ َّيب‬7) kata
‫ ُك ُّم‬yang diiring ‫ َيب‬disambung sehingga menjadi ‫ ُكهَّ ًَب‬, kecuali dalam
firman Allah: ُِْٕ ًُ ُ‫سأ َ ْنز‬
َ ‫ ِي ٍْ ُك ِّم َيأ‬dan ‫يبسد ُّْٔا ئِنَٗ ْان ِفزَُْ ِخ‬
َ ‫ ُك ُّم‬.
6. Kata yang bisa dibaca dengan dua bunyi (mâ’fîh qirâatâni).
Jika ada dua ayat Al-Qur’an yang memiliki versi qiârat yang ber-
beda yang dimungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan yang sama,
penulisannya sama dalam setiap Mushâf ’Uṡmânî. Kata tersebut
dalam Mushâf ’Usmânî ditulis dengan meng-hilangkan alif. Misal,
kalimat ٍِْ ‫ يب ِِك يَ ْٕ ِو ان ِذّي‬dan َ‫يَ ْخذَع ٌَُْٕ هللا‬. Ayat-ayat tersebut boleh dibaca
dengan menetapkan alif (dibaca dua harakat) dan dapat dibaca
sebagai haknya lafaz (dibaca satu harakat). Namun, jika tidak me-
mungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan yang sama, ditulis dalam
Mushâf ’Usmânî dengan Rasm al-Mus-hâf yang berbeda. Misal,
kalimat ِّ ‫صٗ ِث َٓب ِئث َْش ِْ ْي ُى َث ُِ ْي‬
َّ َٔ ٔ.
َ Di sebagian Mushâf ’Usmânî ditulis dan
dibaca ٗ‫ص‬ َ ْٔ ‫ٔأ‬, َ َ sedangkan di sebagian mushaf lainnya ditulis dan
dibaca ٗ‫ص‬ َّ َٔ َٔ dan sebagainya.
2. Kedudukan Rasm ’Usmânî
Para sarjana berbeda pendapat tentang pola penuliisan Al-Qur’an
dalam Mushâf ’Usmânî. (Khalîl al-Qat{t{ân, 1994; Majma’ al-Buh{ûṡ al-
Islâmiyyah, 1971; ‘Âdil Kamâl, t.t.) Sebagian mengatakan rasm dalam
Mushâf ’Usmânî bersifat tawqîfî (sesuai petunjuk Nabi Muhammad saw.)
Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas sarjana dengan beberapa
ulasan. Pertama, penulisan Al-Qur’an dengan Rasm’Usmânî dilakukan
oleh para juru tulis wahyu di hadapan Nabi Muhammad saw. dan apa
yang dilakukan mereka telah ditetapkan oleh beliau. Kedua, penulisan Al-
Qur’an selanjutnya dilakukan di masa Abû Bakr ra. dan di masa ’Uṡmân
bin ’Affân ra. sampai di masa tabi’in dan seterusnya sehingga dapat di-
katakan penulisan Al-Qur’an menurut Rasm’Usmânî telah menjadi kon-

Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an 63


Bab III

sensus (ijmâ’) para sahabat. Alasan tersebut didukung juga oleh Hadis
Nabi Muhammad saw. ketika beliau berpesan kepada Mu’âwiyyah:
‚Letakkanlah tinta, pegang pena baik-baik, luruskan huruf bâ’, bedakan
sîn. Jangan butakan mîm dan buat baguslah tulisan Tuhan. Panjangkan al-
Rahmân dan buat baguslah al-Rah{îm. Lalu letakkanlah kalammu di atas
telinga kirimu, karena itu akan membuatmu lebih ingat.‛
Pendapat lain mengatakan bahwa rasm dalam Mushâf ’Uṡmânî ber-
sifat ijtihâdî (rekayasa para sahabat). Alasan yang dapat dikemukakan,
tidak ada naṣ baik ayat Al-Qur’an maupun Hadis yang menunjukkan
keharusan menulis Al-Qur’an menurut rasm atau pola tertentu. Aṣ-S{ubh{i
S{âlih dalam kaitan ini mengatakan, tidak logis jika dikatakan Rasm
’Usmânî bersifat tawqîfî, karena berbeda sekali dengan huruf tahajjî (di
awal surat), ‫انى‬, ‫ انش‬dan sebagainya yang terdapat di awal surat. Huruf-
huruf tahajjî itu berstatus mutawatir, sedangkan Rasm ’Usmânî baru lahir
di kalangan masyarakat ’Uṡmân bin ’Affân ra.. Rasm ini disetujui oleh
’Uṡmân bin ’Affân ra., melalui persetujuan Nabi Muhammad saw.
Al-Bâqillanî berpendapat, Nabi Muhammad saw. betul menyuruh
untuk menuliskan Al-Qur’an, tetapi beliau tidak menunjukkan ada pola
tertentu kepada para sahabatnya dan tidak melarang menuliskannya
dalam model tertentu. Ini berarti dibolehkan menuliskan mushâf dengan
bentuk huruf dan pola penulisan gaya klasik dan boleh pula menulis-
kannya dengan bentuk huruf serta pola penulisan gaya modern. (Khalîl al-
Qat{t{ân, 1994; Rajab al-Farjani, t.t.) Dapat dibayangkan seandainya hadis
yang diriwayatkan melalui Muhammad ’Mu’âwiyyah benar, boleh jadi,
Rasm ’Usmânî itu bersifat tawqîfî. Namun, secara faktual Rasm ’Usmânî
ada di masa ’Uṡmân bin ’Affân ra., sekaligus beliau menyetujui pola rasm
tersebut sehingga dipandang bersifat ijtihâdî.
Perbedaan pendapat sarjana di seputar kedudukan Rasm ’Usmânî
berdampak pada hukum penulisannya. Bagi sarjana yang berpendapat
Rasm ’Usmanî bersifat tawqifî, mereka menetapkan kaum Muslim harus
mengikutinya dalam penulisan Al-Qur’an dan tidak boleh menyalahinya.
Ahmad bin Hanbal dalam hal ini menyatakan haram hukumnya penulisan
huruf alif, wâw dan yâ’. (Rajab al-Farjani, t.t.) Imam Mâlik pun ketika
ditanya tentang boleh atau tidak Al-Qur’an ditulis dengan pola yang baru,
ia menjawab tidak boleh. (Rajab al-Farjani, t.t.) Sementara itu, sarjana
yang menganggap bahwa Rasm ’Usmânî bersifat ijtihâdî mengatakan,
tidak mesti kaum Muslim mengikuti Rasm ’Usmânî dalam penulisan Al-
Qur’an. Ini berarti boleh menuliskan Al-Qur’an dengan rasm lain (al-rasm
al-imlâî). Mereka menyatakan bahwa model tulisan hanyalah formula dan

64 Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an


Penulisan Al-Qur’an

simbol saja sehingga segala bentuk model tulisan Al-Qur’an sepanjang


menunjukkan ke arah bacaan yang benar dapat dibenarkan. Sementara itu
Rasm ’Usmânî yang menyalahi imlâî dipandang menyulitkan banyak
orang. (Al-Sa’îd, t.t.)
Di samping dua pendapat tersebut, ada pendapat yang mengatakan
wajib mengikuti Rasm ‘Usmânî dalam penulisan Al-Qur’an yang diper-
untukan bagi orang-orang awam dan tidak boleh menuliskannya dengan
Rasm ’Usmânî. Bagaimanapun penulisan Al-Qur’an dengan Rasm
’Usmânî mesti dilestarikan sebagai warisan yang berharga.

Rangkuman
1. Penulisan Al-Qur’an di masa awal Islam belum dalam bentuk mushaf
yang dibukukan. Penulisan dan pemeliharaan Al-Qur’an dilakukan
melalui hapalan Nabi Muhammad saw. dan para sahabat. Alasan Al-
Qur’an belum ditulis dalam mushaf seperti sekarang, karena setiap
persoalan yang dihadapi masyarakat langsung dapat ditanyakan
kepada Nabi Muhammad saw. sebagai sumber utamanya. Ada seba-
gian sahabat yang menghapal Al-Qur’an dan mencatatnya sebatas
koleksi pribadi. Para sahabat dapat mengonfirmasikan hapalan dan
bacaan (qiraat) mereka melalui bacaan dan tadarrus yang dilakukan
para sahabat senior. Mereka menuliskan Al-Qur’an dengan meng-
gunakan alat sederhana seperti pelapah kurma (‘usub), batu halus
berwarna (likhaf), kulit (riqa’), tulang unta (aktaf), dan lainnya. Ide
dan gaasan penulisan Al-Qr’an dalam bentuk mushaf mulai diwaca-
nakan di masa pemrintahan Abû Bakr ra. Alasan krusial Al-Qur’an
dibukukan dengan pertimbangan Al-Qur’an akan hilang seiring
dengan banyak para penhafal Al-Qur’an gugur dalam pertempuran
Riddah, kaum sparatris. Atas desakkan ‘Umar bin al-Khaṭṭâb ra. pula
akhirnya Al-Qur’an ditulis dalam sebuah mushaf. Mushaf yang telah
ditulis itu akhirnya disimpan oleh Abû Bakr ra. hingga akhir hayat-
nya. Setelah itu mushaf berpindah ke tangan ‘Umar bin al-Khaṭṭâb
ra. sebagai pengganti Abû Bakr ra. Setelah ‘Umar bin al-Khaṭṭâb ra.
wafat mushaf tersebut dipindahkan ke tangan puterinya, H{afsah binti
‘Umar. Mushaf itu ditulis menurut urutan turun, bukan menurut
sistematika sebagaimana dilihat sekarang.
2. Penulisan Al-Qur’an di masa ‘Uṡmân bin ‘Affân ra. dilakukan seiring
dengan perluasan Islam hingga ke luar Arab. Penduduk Islam di luar
Arab memiliki minat kuat mempelajari Al-Qur’an, termasuk cara

Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an 65


Bab III

membacanya, padahal mereka telah jauh masanya dengan masa Nabi


saw. Penduduk di wilayah-wilayah Islam waktu itu menggunakan
bacaan (qirâ’at) sahabat, guru mereka yang dianggap paling bagus
dan benar. Tidak heran terjadi diferensial (perbedaan) bacaan Al-
Qur’an ketika itu. Mereka bangga dengan qiraat yang mereka baca-
kan dan pegangi, sehingga terjadi sikap saling menyalahkan terhadap
qiraat lain di kalangan kaum Muslim yang tidak sesuai dengan qiraat
mereka. Huzaifah ra. mengusulkan kepada ’Usmân bin ‘Affân ra.
agar dilakukan penyeragaman bacaan Al-Qur’an dengan cara me-
nyeragamkan tulisan Al-Qur’an dan ia menerima usul tersebut. Di-
bentuklah tim untuk melakukan penyeragaman tulisan Al-Qur’an
yang rujukannya mushaf yang disimpan di rumah H{afsah ra. Selan-
jutnya salinan mushaf dikirim ke berbagai wilayah, jumlahnya,
menurut sumber populer, empat mushaf, sedangkan mushaf lainnya
dibakar. Mushaf yang disimpan di rumah H{afsah ra. tetap disimpan
hingga akhir hayat H{afsah ra.. Setelah Marwân bin H{akkâm ra.
memerintah, mushaf tersebut dibakar.
3. Al-Qur’an di masa ’Usmân bin ’Affân ra. ini belum menggunakan
tada-tanda baca seperti titik dan simbol-simbol bacaan lainnya. Bagi
orang yang tidak mengetahui dengan baik bahasa Arab ketiadaan
tanda baca itu menyebabkan peluang terjadi kekeliruan dalam mem-
baca Al-Qur’an. Perbedaan bacaan, apalagi jika bacaan itu tidak
benar, dapat membawa konsekensi fatal sehingga dalam perkem-
bangan mushaf berikutnya diupayakan pembuatan tanda-tanda baca.
Abû al-Aswâd ad-Duallî ditunjuk untuk memformulasi tanda baca
(syakl) dalam mushaf agar tidak terjadi kekeliruan dalam membaca
Al-Qur’an di kalangan kaum Muslim, apalagi Islam telah berkem-
bang ke luar Arab. Abû al-Aswâd ad-Duallî belum meletakkan syakal
untuk setiap huruf, kecuali syakal huruf akhir saja, seperti tanda
fathah, kasrah, dan ḑamah dalam proses panjang dan penuh dinamika.
Kemudian Khalifah ’Abd al-Mâlik bin Marwân menugaskan al-H{ajjaj
bin Yûsuf al-Saqâfî, untuk me-nyusun tanda-tanda baca al-Qur’an
(nuqat{ al-’ajam). Al-H{ajjâj menugaskan Nas{r bin ’As{im dan Yah{yâ
bin Ya’mur (murid ad-Duallî) menyusun tanda-tanda baca tersebut.
Kreatifitas sarjana-sarjana ini, atas titah al-Hajjaj, mushaf Al-Qur’an
memiliki tanda-tanda baca dengan cara membubuhkan tanda titik (.)
pada huruf-huruf yang serupa untuk membedakan antara huruf yang
satu dengan huruf yang lain.
4. Rasm ‘Uṡmânî adalah pola penulisan Al-Qur’an yang digunakan

66 Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an


Penulisan Al-Qur’an

‘Uṡmân bin ‘Affân dan para sahabatnya ketika menulis dan mem-
bukukan Al-Qur’an. Pola penulisan tersebut dijadikan standar dalam
penulisan kembali atau penggandaan mushaf Al-Qur’an. Ada enam
pola penulisan Al-Quran versi Mushâf ’Uṡmânî yang menyimpang
dari kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab baku. Pola-pola tersebut
mencakup: (1) penghilangan huruf (al-h{az{f), (2) penambahan huruf
(al-ziyâdah), (3) kaidah ḥamzah, (4) menggantikan huruf dengan
huruf lain (al-badl), (5) menyambungkan dan memisahkan huruf (al-
was{l dan al-fas{l), dan (6) kata yang bisa dibaca dengan dua bunyi
(mâ’fîh qirâatâni). Para sarjana berbeda pendapat tentang pola penu-
lisan Al-Qur’an dalam Mushâf ’Usmânî. Sebagian mengatakan rasm
dalam mushâf ’Usmânî bersifat tawqîfî (sesuai petunjuk Nabi
Muhammad saw. Pendapat lain mengatakan bahwa rasm dalam
mushâf ’Uṡmânî bersifat ijtihâdî (rekayasa para sahabat). Perbedaan
pendapat sarjana di seputar kedudukan Rasm ’Usmânî berdampak
pada hukum penulisannya. Sarjana yang mengakui Rasm ’Usmanî
bersifat tawqifî menetapkan kaum Muslim untuk mengikutinya
dalam penulisan Al-Qur’an dan tidak boleh menyalahinya. Sementara
itu, sarjana yang menganggap bahwa Rasm ’Usmânî bersifat ijtihâdî
mengatakan, tidak mesti kaum Muslim mengikuti Rasm ’Usmânî
dalam penulisan Al-Qur’an. Ini berarti boleh menuliskan Al-Qur’an
dengan rasm lain (al-rasm al-imlâî). Ada juga pendapat yang me-
ngatakan wajib mengikuti Rasm ‘Usmânî dalam penulisan Al-Qur’an
yang diperuntukan bagi orang-orang awam dan tidak boleh menulis-
kannya dengan Rasm ’Usmânî.

Latihan-latihan
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut secara detail. Jawaban setiap
pertanyaan dapat diselesaikan melalui kertas kerja (worksheet) Anda!
1. Jelaskan penulisan Al-Qur’an sebelum Khalifah ‘Uṡman! Jelaskan
pula karakteristiknya!
2. Jelaskan penulisan Al-Qur’ân di masa ‘Uṡman dan karakteristiknya!
3. Jelaskan penulisan Al-Qur’ân pasca Khalifah ‘Uṡman dan karakte-
ristiknya!
4. Jelaskan penulisan Mushaf Al-Qur’an dengan Rasam ‘Uṡmanî dan
berikan komentar!

Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an 67


Bab III

68 Ulum Al-Qur’an: Perangkat Penafsiran Al-Qur’an

Anda mungkin juga menyukai