Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah - Interdisiplin Kolaboratif

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seluruh tenaga kesehatan memiliki peran dan tugas masing-masing dalam memberikan

pelayanan kepada pasien sesuai dengan bidang dan disiplin keilmuan. Tentunya hal ini

memiliki kepuasan dan kebanggaan tersendiri dalam berkarya bagi setiap tenaga kesehatan

dari berbagai profesi. Tetapi mereka sering dihadapkan pada masalah yang sama yaitu

mereka tidak dapat berkolaborasi dengan baik sehingga menghambat usaha mereka untuk

membantu pasien.

Salah satu tujuan kolaborasi adalah memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas

dengan menggabungkan keahlian unik dari masing-masing profesi, untuk menggabungkan

keahlian unik ini dibutuhkan kesadaran dan kemampuan dari masing-masing profesi,

kurangnya kesadaran dan kemampuan dalam berkolaborasi dapat menimbulkan dampak yang

buruk terhadap kualitas layanan yang diberikan. Banyak faktor yang memengaruhi atau

menghambat pelaksanaan kolaborasi diantaranya adalah faktor sosial, institusional, faktor

ekonomi, kemampuan klinik dan kemampuan menjalin hubungan interpersonal (Siegler,

2000).

Dalam memahami konsep kolaborasi para ahli teori organisasi menurut Sullivan (1998)

bahwa perilaku dalam penanganan konflik dapat digunakan untuk menilai praktik kolaborasi

yang dapat dilihat dari 2 dimensi yaitu tingkat ketegasan atau asertif dan kerja sama atau

kooperatif. Ketegasan berarti bahwa sampai tingkat mana satu pihak berupaya untuk

memenuhi kepentingannya sendiri, dan kerja sama yang berarti suatu tingkat tertentu di mana
salah satu pihak berupaya untuk memuaskan kepentingan pihak lain. Kolaborasi akan terjalin

dengan baik apabila komponen ketegasan dan kerja sama yang dimiliki perawat dan dokter

adalah baik, sehingga masing-masing berkeinginan untuk memuaskan sepenuhnya

kepentingan dari semua pihak (saling menguntungkan). Apabila ketegasan lebih dominan

dari unsur kerja sama yang muncul hanyalah sebuah persaingan, sedangkan apabila kerja

sama lebih dominan dari ketegasan, seseorang akan tampak takut dan cenderung pada

akomodasi atau menerima instruksi begitu saja.

Keperawatan sebagai salah satu profesi mempunyai kewenangan yang jelas, disiplin ilmu

yang berbeda dengan profesi lain, kedudukan perawat sejajar dengan profesi kesehatan lain.

Sebagai mitra masing-masing profesi harus menghargai profesi lain, konsep ini harus

ditanamkan dalam masing-masing profesi kesehatan, sejak dibangku pendidikan sampai

dengan di lingkungan profesional. Diharapkan dengan meningkatnya pendidikan akan diikuti

dengan peningkatan kompetensi klinis dan kemampuan berkolaborasi. Berdasarkan informasi

diatas, maka penyusun tertarik untuk mempelajari bagaimana pelayanan interdisiplin atau

kolaboratif interprofesionalisme dirumah sakit dalam keperawatan dewasa.

B. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini untuk memahami bagaimana pelayanan kesehatan

interdisiplin atau kolaborasi interprofesionalisme dirumah sakit dalam keperawatan dewasa.


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Pengertian

Praktik interdisiplin atau kolaborasi interprofesional adalah kerjasama kemitraan dalam

tim kesehatan yang melibatkan antar profesi kesehatan dan pasien, melalui koordinasi dan

kolaborasi untuk pengambilan keputusan bersama seputar masalah kesehatan. Pendekatan

interdisiplin sangat bermanfaat untuk menjembatani tumpang tindihnya peran para praktisi

kesehatan dalam menyelesaikan masalah pasien (Bigley, 2006).

Tim pelayanan interdisiplin diperlukan untuk menyelesaikan masalah pasien yang

kompleks, meningkatkan efisiensi dan juga kontinuitas asuhan pasien. Proses kerja sama

interdisiplin dapat mengurangi duplikasi dan meningkatkan kualitas asuhan pasien, melalui

tugas dan tanggung jawab serta keterampilan secara komprehensif (WHO, 2009).

Model praktik kolaborasi interprofesional pelayanan kesehatan merupakan tatanan

pelayanan yang dirancang untuk menyelaraskan berbagai profesi kesehatan yang terlibat

(antara lain dokter, perawat, farmasi, dan gizi) dalam memberikan pelayanan kepada pasien

yang menjalani hospitalisasi (Susilaningsih, 2011).

Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa perawatan interdisiplin atau

kolaborasi adalah hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dari berbagai disiplin keilmuan

dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Diantaranya yakni melakukan diskusi tentang

diagnosa, melakukan kerja sama dalam asuhan kesehatan, saling berkonsultasi dengan

masing-masing bertanggung jawab pada pekerjaannya.


B. Manfaat

Manfaat yang didapatkan dengan diterapkannya kolaborasi antar profesi kesehatan,

antara lain:

1. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian

unik profesional.

2. Memaksimalkan produktivitas serta efektifitas dan efisiensi sumber daya.

3. Meningkatkan profesionalisme, loyalitas, dan kepuasan kerja.

4. Meningkatkan kohesivitas antar tenaga kesehatan profesional.

5. Memberikan kejelasan peran dalam berinteraksi antar tenaga kesehatan profesional.

C. Karakteristik Kolaborasi

Menurut Carpenter (1990), kolaborasi mempunyai 8 karakteristik, yaitu:

1. Partisipasi tidak dibatasi dan tidak hirarkis.

2. Partisipan bertanggung jawab dalam memastikan pencapaian kesuksesan.

3. Adanya tujuan yang masuk akal.

4. Ada pendefinisian masalah.

5. Partisipan saling mendidik atau mengajar satu sama lain.

6. Adanya identifikasi dan pengujian terhadap berbagai pilihan.

7. Implementasi solusi dibagi kepada beberapa partisipan yang terlibat.

8. Partisipan selalu mengetahui perkembangan situasi.


D. Proses Kolaborasi

Sifat interaksi antara perawat – dokter menentukan kualitas praktik kolaborasi. ANA

(1980) menjabarkan kolaborasi sebagai ”hubungan rekanan sejati, dimana masing-masing

pihak menghargai kekuasaan pihak lain, dengan mengenal dan menerima lingkup kegiatan

dan tanggung jawab masing-masing yang terpisah maupun bersama, saling melindungi

kepentingan masing-masing dan adanya tujuan bersama yang diketahui kedua pihak”. Dari

penjabaran sifat kolaborasi dapat disimpulkan bahwa kolaborasi dapat dianalisis melalui

empat buah indikator :

1. Kontrol Kekuasaan

Berbagi kekuasaan atau kontrol kekuasaan bersama dapat terbina apabila baik dokter

maupun perawat terdapat kesempatan sama untuk mendiskusikan pasien tertentu.

2. Lingkungan Praktik

Lingkungan praktik menunjukan kegiatan dan tanggung jawab masing-masing pihak.

Meskipun perawat dan dokter memiliki bidang praktik yang terpisah sesuai dengan

peraturan praktik perawat dan dokter,tapi ada tugas-tugas tertentu yang dibina bersama.

3. Kepentingan Bersama

Peneliti yang menganalisa kepentingan bersama sebagai indikator kolaborasi antara

perawat dan dokter seringkali menanggapi dari sudut pandang perilaku organisasi. Para

teoris ini menjabarkan kepentingan bersama secara operasional menggunakan istilah

tingkat ketegasan masing-masing (usaha untuk memuaskan sendiri) dan faktor kerja

sama (usaha untuk memuaskan kepentingan pihak lain). Thomas dan Kilmann (1974)

telah merancang model untuk mengukur pola managemen penanganan konflik: (1)

bersaing, (2) berkolaborasi, 3) berkompromi, (4) menghindar, (5) mengakomodasi.


4. Tujuan Bersama

Tujuan manajemen penyembuhan sifatnya lebih terorientasi kepada pasien dan dapat

membantu menentukan bidang tanggung jawab yang erat kaitannya dengan prognosis

pasien. Ada tujuan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab perawat, ada yang

dianggap sebagai tanggung jawab sepenuhnya dari dokter, ada pula tujuan yang

merupakan tanggung jawab bersama antara dokter dan perawat.

E. Elemen Kunci Efektifitas Kolaborasi

Kerjasama, menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa beberapa

alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas penting ketika individu dalam tim

mendukung pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa

pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai. Tanggung jawab,

mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam

pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk

membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk

membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggota tim dalam batas

kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan

pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan

permasalahan.

Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi profesional,

kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien. Kolegalitas

menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah

dalam team dari pada menyalahkan seseorang atau atau menghindari tangung jawab. 
Hensen  menyarankan  konsep dengan arti yang sama : mutualitas dimana dia mengartikan

sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis  antara orang-orang

ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota.

Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya, 

kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab,

terganggunya komunikasi. Otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi.

Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat digunakan untuk 

mencapai tujuan kolaborasi team yaitu :

1. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian

unik professional

2. Produktivitas  maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya

3. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas

4. Meningkatnya kohesifitas antar profesional 

5. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,

6. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas,  dan menghargai dan memahami orang lain.

F. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Kolaborasi

Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekelompok profesional yang

mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum, dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik

jika terjadi adanya kontribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan

terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi pasien, perawat, dokter, fisioterapis, pekerja sosial,

ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu, tim kolaborasi hendaknya memiliki

komunikasi yang efektif, bertanggung jawab, dan saling menghargai antar sesama anggota

tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam

pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif.

Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai

pusat anggota tim. Perawat sebagai anggota membawa perspektif yang unik dalam

interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan dari praktik profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting

antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.

Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis dan mengobati. Pada situasi ini dokter

menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering

berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian

pengobatan. Perawat mempunyai peran dalam memberikan asuhan keperawatan secara

komprehensif dari segi fisik, psikologis, sosial dan spiritual.

Selain itu, keluarga serta orang-orang lain yang berpengaruh bagi pasien juga termasuk

pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi. Karena keluarga merupakan orang terdekat dari

pasien atau individu yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap individu. Melalui

keluarga tenaga kesehatan bisa mendapatkan data-data mengenai pasien yang dapat

mempermudah dalam mendiagnosis penyakit dan proses penyembuhan pasien.

G. Sikap Perawatan Interdisiplin atau Kolaboratif

Sikap tenaga kesehatan tentang praktik kolaborasi terbanyak adalah berunding atau

kompromi. Kompromi atau berunding merupakan suatu situasi di mana tiap-tiap pihak pada

suatu konflik bersedia untuk melepaskan sesuatu. Kedua unsur yang terlibat menyerah dan

menyepakati hal yang telah dibuat. Menurut Sullivan, kompromi atau berunding menjadi
pilihan ketika tujuan yang akan diselesaikan benar-benar merupakan perselisihan tidak

berguna, lawan dalam konflik memiliki komitmen untuk mencapai hasil akhir yang berbeda,

dan dilakukan ketika penyelesaian diperlukan secara cepat. Melihat konsep diatas sikap

berunding ini bagi antar tenaga kesehatan merupakan tindakan yang paling tepat dilakukan

saat ini, karena perawat dan dokter mengerti bahwa keterbatasan-keterbatasan yang mereka

miliki baik dalam hal waktu, tenaga dan kemampuan (terutama perawat) masih merupakan

permasalahan yang patut diselesaikan secara bertahap (Martiningsih, 2011)..

Sikap yang sering ditunjukkan perawat adalah meminta masukan sejawat untuk

memperkuat sistem pendukung, menceritakan kesulitan pasien, sedangkan pada dokter

adalah menyampaikan apabila tindakan perawat kurang tepat dan memberi saran cara

pendekatan yang bermanfaat, sedangkan sikap perawat dan dokter yang paling jarang

dilakukan adalah menjelaskan lingkup keahlian masing-masing dan diskusi bidang mana

termasuk keperawatan dan mana termasuk medis, karena dianggap masing-masing profesi

sudah jelas tentang peran dan fungsinya masing-masing, keberanian mengambil sikap pada

dokter dalam hal ini masih dominan karena dokter kebanyakan berani mengingatkan jika

tindakan kurang tepat, dan memberi saran cara pendekatan yang bermanfaat. Perawat

seharusnya juga bersikap demikian, tidak hanya kompromi yang dilakukan tetapi juga harus

berani mengatakan tidak apabila tidak sesuai dengan standar yang ada (Martiningsih, 2011).

H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perawatan Interdisiplin atau Kolaboratif

1. Usia

Sesuai dengan teori perkembangan Erik Erikson, tahap perkembangan dewasa,

merupakan waktu ketika manusia mulai mengambil tempat di masyarakat dan


mengasumsikan sebuah tanggung jawab bagi apapun yang dihasilkan masyarakat. Usia

dewasa menengah adalah mencapai generativitas yaitu pembangkitan ide-ide baru,

memberikan instruksi-instruksi ke orang lain dengan cara yang sesuai dengan budaya.

Untuk orang dewasa yang matang motivasi ini bukan sekadar kebutuhan tapi juga

merupakan dorongan untuk memberikan kontribusi untuk menjamin kontinuitas di

masyarakat. Seluruh tenaga kesehatan harus bisa menentukan tugas mana yang dapat

dilakukan secara individual, yang harus dilakukan bersama-sama, dan apa yang

diharapkan dalam interaksi (Lindeke, 2005). Mereka juga mengerti bahwa kolaborasi

merupakan suatu pengakuan keahlian seseorang oleh orang lain di dalam maupun di luar

profesi orang tersebut. Pada usia ini masing-masing pasangan kolaborasi membuat suatu

komitmen untuk berinteraksi secara konstruktif untuk menyelesaikan masalah klien dan

mencapai tujuan, target atau hasil yang ditetapkan (Martiningsih, 2011).

2. Pendidikan

Dalam teori, edukasi sebagai institusi sosial tertua, merupakan pengarahan formal dari

pengalaman belajar. Fungsi edukasi adalah sosialisasi, transmisi pengetahuan kultural

seperti nilai (value) dan kepercayaan (belief). Membantu individu memilih dan belajar

peran sosial serta mempertemukan antara bakat (talent) dan kemampuannya (ability)

dengan kebutuhan spesialisasi pekerjaan. Selain itu edukasi juga berhubungan dengan

stratifikasi sosial yaitu membantu menentukan posisi di masa depan dalam struktur sosial.

Peningkatan tingkat pendidikan cenderung membuat individu lebih toleran dan lebih

demokratik, karena orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi akan lebih

mudah mengenali dan menganalisis bermacam kenyataan atau implikasi tindakan yang

tidak benar (Sarwono dan Soeroso, 2001). Kurikulum pendidikan keperawatan


menunjukkan bahwa adanya pembelajaran tentang konsep-konsep kepemimpinan, kerja

sama, manajemen konflik, komunikasi interpersonal mendukung kemampuan perawat

dalam berkolaborasi (Martiningsih, 2011).

3. Jabatan Fungsional

Jabatan dipandang sebagai komponen demografi yang penting, peningkatan jabatan akan

menyebabkan peningkatan komitmen terhadap organisasi yang salah satunya adalah

komitmen untuk mau berkolaborasi, namun faktor situasi juga perlu diperhatikan, walau

jabatan tinggi, tetapi pasangan dalam kolaborasi tidak punya komitmen yang sama, akan

mengakibatkan menurunnya minat untuk berkolaborasi. Pendapat lain, bahwa

sikap/kepuasan dalam bekerja dipengaruhi oleh kedudukan/jabatan, bahwa umumnya

manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada jabatan yang lebih tinggi akan

merasa lebih puas daripada yang jabatannya lebih rendah, sesungguhnya hal tersebut

tidaklah selalu benar (Sarwono dan Soeroso, 2001). Melihat fakta ini, pembagian tugas

sesuai dengan wewenang dan jabatan harus dilakukan, tidak harus melihat sisi senioritas

tetapi dipertimbangkan tentang kemampuan yang dimiliki (Martiningsih, 2011).

4. Lama Kerja

Pertumbuhan pekerjaan dapat dialami oleh seseorang hanya apabila menjalani proses

belajar sehingga berpengalaman, diharapkan orang yang bersangkutan memiliki sikap

kerja yang bertambah maju ke arah positif, memiliki kecakapan (pengetahuan) kerja dan

keterampilan kerja yang bertambah dalam kualitas dan kuantitas, dan dengan tingginya

frekuensi dua orang berjumpa dan bekerja sama, kemungkinan akan tumbuh rasa suka

antara satu dengan lainnya. Namun demikian tidak semua individu akan bersikap

demikian tergantung banyak faktor, adanya kejadian yang tidak diinginkan akan
meninggalkan kesan mendalam dalam diri individu atau peristiwa yang memberikan

kesan kuat pada individu yaitu peristiwa traumatik. Seperti terungkap dalam jawaban

perawat "akan mengingatkan dokter apabila tindakan kurang tepat dan hanya pada dokter

yang mau menerima pendapat kita", atau jawaban perawat berikut "takut dikatakan

menggurui". Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kriteria yaitu

adanya rasa saling percaya dan menghormati, saling memahami dan menerima keilmuan

masingmasing, memiliki citra diri positif, memiliki kematangan profesional yang setara

(yang timbul dari pendidikan dan pengalaman), mengakui sebagai mitra kerja bukan

bawahan, dan keinginan untuk bernegosiasi. Bila kedua profesi memahami hal ini,

hambatan-hambatan dalam kolaborasi dapat diminimalisir. Melihat fakta ini kewajiban

pengambil kebijakan adalah memotivasi dan memberikan reward bagi mereka yang

sudah lama bekerja agar mereka tetap punya motivasi dalam bekerja, dan tidak

mengalami titik kejenuhan dalam bekerja (Martiningsih, 2011).

I. Penerapan Perawatan Interdisiplin atau Kolaboratif

Beberapa kebijakan diambil oleh rumah sakit agar terjadi harmonisasi antar tim pemberi

layanan kesehatan seperti ronde bersama, pertemuan bersama pada hari-hari yang telah

disepakati atau bentuk kegiatan lain yang tujuannya adalah menyamakan persepsi atau

bekerja sama untuk menyelesaikan masalah. Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang

kolaborasi tim kesehatan nampaknya dapat terlihat saat pelaksanaan ronde keperawatan, atau

kegiatan lain yang melibatkan tim kesehatan lain (Martiningsih, 2011).

Dalam isu perawatan interdisiplin atau kolaboratif sesuai bidang keilmuan setiap tenaga

kesehatan memiliki perannya masing-masing, seperti yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, ”apa diagnosa pasien ini dan

perawatan apa yang dibutuhkannya” pola pemikiran seperti ini sudah terbentuk sejak awal

proses pendidikannya. Sulit dijelaskan secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir

seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus berkembang. Mereka juga diperkenalkan

dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat medis, pemeriksaan

fisik serta hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat

langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti

gabungan bimbingan-pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan

para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi memang

mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik untuk

menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega (Siegler dan Whitney, 2000).

Di lain pihak seorang perawat akan berfikir: apa masalah pasien ini?, bagaimana pasien

menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya?, dan apa yang dapat diberikan kepada

pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien, merencanakan

intervensi, melaksanakan rencana, mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan.

Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar

argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu

sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan

sehingga pasien bisa mandiri.

Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien. Praktek

keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah sakit dan

praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja diunit perawatan pasien

bersama staf perawatan untuk belajar merawat, menjalankan prosedur dan menginternalisasi
peran.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Interkolaborasi professional dirumah sakit seringkali belum berjalan maksimal. Hal tersebut

dapat ditingkatkan melalui penuangan ide dalam setiap pemecahan masalah pasien sesuai

dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Sangat disarankan untuk meningkatkan pengetahuan

terkini perawat untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan yang akan diberikan kepada

pasien lewat pelatihan, seminar, atau penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Martiningsih, W. (2011). Collaboration Practice Between Nurses and Physician and the

Affecting Factors. Jurnal Ners Vol 6 No 2 Oktober 2011: 147-155

Anda mungkin juga menyukai