CRS Akalasia
CRS Akalasia
CRS Akalasia
Oleh :
Siti Syiehan Muhdalin 204031008
Salssabila Muslim 204031007
Pembimbing :
dr. Linda Efanita, Sp.PD, FINASIM
Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Case
Report Session Kepaniteraan Klinik senior Ilmu Penyakit Dalam RSAM Bukit
Tinggi dengan judul “Akalasia dan Monoparese” ini dengan sebaik-baiknya.
Adapun tujuan dari penyusunan Case Report Session ini adalah untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior di RSAM Bukit Tinggi. Selain itu,
penyusunan Case Report Session ini juga bertujuan agar penulis lebih memahami
tentang Thalasemia.
Dalam penulisan Case Report Session ini, penulis banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada dr. Linda Efanita, Sp.PD
FINASIM selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyusunan
Case Report Session .
Kritik dan saran membangun tentu sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan dan perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga Case
Report Session ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa kedokteran dalam
memecahkan masalah tentang Akalasia dan Monoparese.
Penulis
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2. Tujuan Penulisan............................................................................... 2
1.3. Manfaat Penulisan............................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Disfagia............................................................................................ 3
2.1.1 Definisi........................................................................................... 3
2.1.2 Epidemiologi.................................................................................. 3
2.1.3 Klasifikasi....................................................................................... 4
2.1.4 Etiologi .......................................................................................... 7
2.1.5 Manifestasi klinis........................................................................... 9
2.1.6 Patofisiologi................................................................................... 10
2.1.7 Diagnosis........................................................................................ 11
2.1.8 Penatalaksanaan............................................................................ 12
2.1.9 Komplikasi ................................................................................... 14
2.1.10 Prognosis .................................................................................... 14
2.2. Diabetes Melitus............................................................................. 15
2.2.1 Definisi........................................................................................... 15
2.2.2 Epidemiologi.................................................................................. 15
2.2.3 Faktor Resiko................................................................................. 15
2.2.4 Klasifikasi ...................................................................................... 15
2.2.5 Patofisiologi................................................................................... 16
2.2.6 Gejala ............................................................................................ 16
2.2.7 Diagnosis........................................................................................ 16
2.2.8 Penatalaksanaan............................................................................ 17
2.2.9 Komplikasi ................................................................................... 19
II
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Case report session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
di bagian Ilmu Penyakit Dalam RS DR. Achmad Mochtar dan diharapkan agar
dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para
pembaca.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan
kerongkongan (osefagus), panjangnya ± 12 cm. Letaknya setinggi vertebra
servikalis IV ke bawah setinggi tulang rawan krikoidea. Faring di bentuk oleh
jaringan yang kuat dan jaringan otot melingkar, kantung fibromuskuler yang
bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian
bawah. Di dalam faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe
yang banyak mengandung limfosit untuk mempertahankan tubuh terhadap
infeksi, menyaring dan mematikan bakteri / mikroorganisme yang masuk
melalui jalan pencernaan dan pernafasan. Faring berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
isthmus faucium, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui
aditus pharyngeus, dan ke bawah berhubungan esofagus. Faring berlanjut ke
oseofagus untuk pencernaan makanan.
3
2,54 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah lambung.
Esofagus berawal pada area laringofaring, melewati diafragma dan diatus
esofagus. Esofagus terletak dibelakang trakea dan didepan tulang punggung
setelah melalui toraks menembus diafragma masuk ke dalam abdomen
menyambung dengan lambung.
Lapisan terdiri dari 4 lapis yaitu mucosa, submucosa, otot (longitudinal
dan sirkuler), dan jaringan ikat renggang. Makanan atau bolus berjalan dalam
oesofagus karena gerakan peristaltik, yang berlangsung hanya beberapa detik
saja.
4
Gambar 2.3 Anatomi Laring
Cartilago epiglottica
Cartilago elastic berbentuk daun terletak di posterior dr radix linguae.
Berhubungan dg corpus ossis hyoidea di anterior nya dan cartilage thyroidea di
posterior nya. Sisi epiglottis berhubungan dg cartilage arytenoidea mll plica
aryepiglottica. Sdgkn di superiornya bebas dan membrane mucosa nya melipat
ke depan dan berlanjut meliputi permukaan posterior lidah sbg plica
glossoepiglottica mediana et lateralis. Dimana diantaranya terdapat cekungan
yg disebut dg valecullae
Cartilago thyroidea
Terdiri atas 2 lamina cartylago hyaline yg bertemu di linea mediana anterior mjd
sebuah tonjolan sudut V yg disebut dg Adam’s apple/ commum adamum/
prominentia piriformis
(jakun). Pinggir posterior tiap lamina menjorok ke atas membentuk cornu
superior dan ke bawah membentuk cornu inferior. Pd permukaan luar lamina
terdapat line oblique sbg tempat melekatnya m. sternothyroideus, m.
thyrohyoideeus, dan m. constrictor pharyngis inferior.
5
Cartilago cricoidea
Merupakan cartilage yg berbentuk cincin utuh dan terletak di bawah dr cartilago
thyroidea. Cartilage ini mempunyai arcus anterior yg sempit dan lamina
posterior yg lebar. Pd bagian lateral nya ada facies articularis sirkular yg akan
bersendi dg cornu inferior cartilage thyroidea. Sdgkn di bagian atasnya terdapat
facies articularis yg akan bersendi dg basis cartilage arytenoidea.
Cartilago arytenoidea
Merupakan cartilage kecil berbentuk pyramid yg terletak di belakang dr larynx
pd pinggir atas lamina cartilage cricoidea. Masing2 cartilago memiliki apex di
bagian atas dan basis di bagian bawahnya. Dimana bagian apex nya ini akna
menyangga dr cartilage corniculata, sdgkn pd bagian basis nya bersendi dg
cartilage cricoidea. Pd basis nya terdapat 2 tonjolan yaitu proc. Vocalis yg
menonjol horizontal ke depan merupakn perlekatan dr lig. Vocale, dan proc.
Muscularis yg menonjol ke lateral dan merupakan perlekatan dr m.
crycoarytenoideus lateralis et posterior.
Aditus Laryngis
Merupakan pntu masuk larynx yg menghadap ke dorsocranial dan
menghadap ke laryngopharynx. Aditus laryngis memiliki syntopi :
- Ventral : pinggir atas epiglottis
- Lateral : plica aryepiglottica.
6
- Dorsocaudal : membrane mucosa antar cartilage arytenoidea.
7
Sementara itu, cavitas laryngis terbentang dr aditus laryngis hingga ke pinggir
bawah cartilage cricoidea dan di bagi menjadi 3 bagian :
1. Bagian atas (vestibulum laryngis)
Terbentang dr aditus laryngis hingga ke plica vestibularis. Rima
vstibularis adl celah di antara plica vestibularis. Sedangkan, lig.
Vestibulare terletak dlm plica vestibularis
2. Bagian tengah (Recessus laryngeus)
Terbentang dr plica vestibularis hingga setinggi plica vocalis yg berisi lig.
Vocalis. Rima glottidis adl celah di antara plico vocalis. Diantara plica
vestibularis dan plica vocalis ini terdapat recessus kecil yaitu sinus
laryngis dan ventriculus laryngis.
3. Bagian bawah. (Fossa infraglottidis)
a. Otot-otot Depressor :
- m. omohyoideus
- m. sternohyoideus
- m. sternothyroideus
b. Otot-otot Elevator :
- m. mylohyoideus
- m. stylohyoideus
- m. thyrohyoideus
- m. stylopharyngeus
- m. palatopharyngeus
- m. constrictor pharyngeus medius
- m. constrictor pharyngeus inferior
Gambar 2.4 Otot penyusun laring
2.2 Fisiologi Menelan
Selama proses menelan, otot-otot diaktifkan secara berurutan dan secara
teratur dipicu dengan dorongan kortikal atau input sensoris perifer. Begitu
proses menelan dimulai, jalur aktivasi otot beruntun tidak berubah dari otot-otot
perioral menuju kebawah. Jaringan saraf, yang bertanggung jawab untuk
menelan otomatis ini, disebut dengan pola generator pusat. Batang otak,
termasuk nucleus tractus solitarius dan nucleus ambiguus dengan formatio
retikularis berhubungan dengan kumpulan motoneuron kranial, diduga sebagai
pola generator pusat.
1. Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar. Fase persiapan oral merujuk kepada
pemrosesan bolus sehingga dimungkinkan untuk ditelan, dan fase propulsif
oral berarti pendorongan makanan dari rongga mulut ke dalam orofaring.
Prosesnya dimulai dengan kontraksi lidah dan otot- otot rangka mastikasi. Otot
bekerja dengan cara yang berkoordinasi untuk mencampur bolus makanan
dengan saliva dan membentuk bolus makanan kemudian mendorong bolus
makanan dari rongga mulut di bagian anterior ke dalam orofaring, dimana
reflek menelan involunter dimulai. Bolus ini bergerak dari rongga mulut
melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik
lidah.
2. Fase Faringeal
Fase faringeal terjadi pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus
makanan dari faring ke esofagus. Aspirasi paling sering terjadi pada fase
ini.Fase faringeal pada proses menelan adalah involunter dan kesemuanya adalah
reflek, jadi tidak ada aktivitas faringeal yang terjadi sampai reflek menelan
dipicu. Reflek ini melibatkan traktus sensoris dan motoris dari nervus kranialis
IX (glossofaringeal) dan X (vagus).
3. Fase Esophageal
Fase esophageal adalah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke
lambung. Pada fase esophageal, bolus didorong kebawah oleh gerakan
peristaltik. Sphincter esophageal bawah relaksasi pada saat mulai menelan,
relaksasi ini terjadi sampai bolus makanan mecapai lambung.
2.3 Disfagia
2.3.1 Definisi
Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan dalam mengalirkan makanan
padat atau cair dari mulut melalui esofagus. Penderita disfagia mengeluh sulit
menelan atau makanan terasa tidak turun ke lambung. Disfagia harus dibedakan
dengan odinofagia (sakit waktu menelan). Disfagia dapat disebabkan oleh
gangguan pada masing-masing fase menelan yaitu pada fase orofaringeal dan
fase esofageal.
Keluhan disfagia pada fase orofaringeal berupa keluhan adanya
regurgitasi ke hidung, terbatuk waktu berusaha menelan atau sulit untuk mulai
menelan. Sedangkan disfagia fase esofageal, pasien mampu menelan tetapi
terasa bahwa yang ditelan terasa tetap mengganjal atau tidak mau turun serta
sering disertai nyeri retrosternal. Disfagia yang pada awalnya terutama terjadi
pada waktu menelan makanan padat dan secara progresif kemudian terjadi pula
pada makanan cair, diperkirakan bahwa penyebabnya adalah kelainan mekanik
atau struktural. Sedangkan bila gabungan makanan padat dan cair diperkirakan
penyebabnya adalah gangguan neuro muskular. Bila keluhan bersifat progresif
bertambah berat, sangat dicurigai adanya proses keganasan.
2.3.2 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi :
2.3.3 Patofisiologi
Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan tergantung dari
fase menelan yang dipengaruhinya. Keberhasilan mekanisme menelan
tergantung dari beberapa faktor, yaitu :
1. Ukuran bolus makanan
2. Diameter lumen esofagus yang dilalui ( normalnya 4cm bila kurang dari
2,5cm maka akan terjadi disfagia )
3. Kontraksi peristaltik esofagus
4. Fungsi sfingter esofagus atas dan bawah
5. Kerja otot – otot rongga mulut dan lidah
Fase Oral
Gagguan pada fase Oral mempengaruhi persiapan dalam mulut dan fase
pendorongan oral biasanya disebabkan oleh gangguan pengendalian lidah.
Pasien mungkin memiliki kesulitan dalam mengunyah makanan padat dan
permulaan menelan. Ketika meminum cairan, psien mungki kesulitan dalam
menampung cairan dalam rongga mulut sebelum menelan. Sebagai akibatnya,
cairan tumpah terlalu cepat kadalam faring yang belum siap, seringkali
menyebabkan aspirasi.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase oral sebagai berikut:
- Tidak mampu menampung makanan di bagian depan mulut karena tidak
rapatnya pengatupan bibir
- Tidak dapat mengumpulkan bolus atau residu di bagian dasar mulut karena
berkurangnya pergerakan atau koordinasi lidah
- Tidak dapat menampung bolus karena berkurangnya pembentukan oleh
lidah dan koordinasinya
- Tidak mampu mengatupkan gigi untukmengurangi pergerakan madibula
- Bahan makanan jatuh ke sulcus anterior atau terkumpul pada sulcus anterior
karena berkurangnya tonus otot bibir.
- Posisi penampungan abnormal atau material jatuh ke dasar mulut karena
dorongan lidah atau pengurangan pengendalian lidah
- Penundaan onset oral untuk menelan oleh karena apraxia menelan atau
berkurangnya sensibilitas mulut
- Pencarian gerakan atau ketidakmampuan unutkmengatur gerakan lidah
karena apraxia untuk menelan
- Lidah bergerak kedepan untuk mulai menelan karena lidah kaku.
- Sisa-sisa makanan pada lidah karena berkurangnya gerakan dan kekuatan
lidah
- Gangguan kontraksi (peristalsis) lidah karena diskoordinasi lidah
- Kontak lidah-palatum yang tidaksempurna karena berkurangnya
pengangkatan lidah
- Tidak mampu meremas material karena berkurangnya pergerakan lidah keatas
- Melekatnya makanan pada palatum durum karena berkurangnya elevasi
dan kekuatan lidah
- Bergulirnya lidah berulang pada Parkinson disease
- Bolus tak terkendali atau mengalirnya cairan secara prematur atau
melekat pada faring karena berkurangnya kontrol lidah atau penutupan
linguavelar
- Piecemeal deglutition
- Waktu transit oral tertunda
Fase Faringeal
Jika pembersihan faringeal terganggu cukup parah, pasien mungkin
tidak akan mampu menelan makanan dan minuman yang cukup untuk
mempertahankan hidup. Pada orang tanpa dysphasia, sejumlah kecil makanan
biasanya tertahan pada valleculae atau sinus pyriform setelah menelan. Dalam
kasus kelemahan atau kurangnya koordinasi dari otot-otot faringeal, atau
pembukaan yang buruk dari sphincter esofageal atas, pasien mungkin menahan
sejumlah besar makanan pada faring dan mengalami aspirasi aliran berlebih
setelah menelan.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase faringeal sebagai
berikut:
- Penundaan menelan faringeal
- Penetrasi Nasal pada saat menelan karena berkurangnya penutupan
velofaringeal
- Pseudoepiglottis (setelah total laryngectomy) – lipata mukosa pada dasar lidah
- Osteofit Cervical
- Perlengketan pada dinding faringeal setelah menelan karena
pengurangan kontraksi bilateral faringeal
- Sisa makanan pada Vallecular karena berkurangnya pergerakan posterior dari
dasar lidah
- Perlengketan pada depresi di dinding faring karena jaringan parut atau lipatan
faringeal
- Sisa makanan pada puncak jalan napas Karena berkurangnya elevasi laring
- penetrasi dan aspirasi laringeal karena berkurangnya penutupan jalan napas
- Aspirasi pada saat menelan karena berkurangnya penutupan laring
- Stasis atau residu pada sinus pyriformis karena berkurangnya tekanan
laringeal anterior
Fase Esophageal
Gangguan fungsi esophageal dapat menyebabkan retensi makanan dan
minuman didalam esofagus setelah menelan. Retensi ini dapat disebabka oleh
obstruksi mekanis, gangguan motilitas, atau gangguan pembukaan Sphincter
esophageal bawah.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan pada fase esophageal sebgai
berikut:
- Aliran balik Esophageal-ke-faringeal karena kelainan esophageal
- Tracheoesophageal fistula
- Zenker diverticulum
- Reflux
Aspirasi
Aspirasi adalah masuknya makanan atu cairan melalui pita suara.
Seseorang yang mengalami aspirasi beresiko tinggi terkena pneumonia.
Beberapa faktor yang mempengaruhi efek dari aspirasi adalah banyaknya,
kedalaman, keadaan fisik benda yang teraspirasi, dan mekanisme pembersihan
paru. Mekanisme pembersihanpasu antara lain kerja silia dan reflek batuk.
Aspirasi normalnya memicu refleks batuk yang kuat. Jika ada gangguan
sensosris, aspirasi dapat terjadi tanpa gejala.
2. Disfagia Esophageal
- Sensasi makanan tersangkut di tenggorokan atau dada
- Regurgitasi Oral atau faringeal
- Perubahan pola makan
- Pneumonia rekuren
2.3.5 Diagnosis
Pemeriksaan fisik :
Gambar CT Scan :
2.3.8 Komplikasi
Disfagia menyebabkan penurunan pemasukan kkal- atau makanan yang
mengandung protein sehingga harus diperhatikan apakah pasien mengalami
kekurangan kalori protein (KKP).
Penderita disfagia akan mengalami kesulitan menelan makanan sehingga
suplai nutrisi yang dibutuhkan tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, mineral, dan cairan berkurang. Dampak lanjut akan mengalami
defisiensi zat gizi dan tubuh mengalami gangguan metabolisme.
Terdapat pengobatan yang berbeda untuk berbagai jenis dysphagia.
Pertama dokter dan speech-language pathologists yang menguji dan menangani
gangguan menelan menggunakan berbagai pengujian yang memungkinkan
untuk melihat bergagai fungsi menelan. salah satu pengujian disebut dengan,
laryngoscopy serat optik, yang memungkinkan dokter untuk melihat kedalam
tenggorokan. Pemeriksaan lain, termasuk video fluoroscopy, yang mengambil
video rekaman pasien dalam menelan dan ultrasound, yang menghasikan
gambaran organ dalam tubuh, dapat secara bebas nyeri memperlihakab tahapan-
tahapan dalam menelan.
Setelah penyebab disfagia ditemukan, pembedahan atau obat-obatan
dapat diberikan. Jika dengan mengobati penyebab dysphagia tidak membantu,
dokter mungkin akan mengirim pasien kepada ahli patologi hologist yang
terlatih dalam mengatasi dan mengobati masalah gangguan menelan.
Pengobatan dapat melibatkan latihan otot ntuk memperkuat otot-otot
facial atau untuk meninkatkan koordinasi. Untuk lainnya, pengobatan dapat
melibatkan pelatihan menelan dengan cara khusus. Sebagai contoh, beberapa
orang harus makan denan posisi kepala menengok ke salah satu sisi atau
melihat lurus ke depan. Meniapkan makanan sedemikian rupa atau menghindari
makanan tertentu dapat menolong orang lain. Sebagai contoh, mereka yang
tidak dapat menelan minuman mungkin memerlukan pengental khusus
untukminumannya. Orang lain mungkin garus menghindari makanan atau
minuman yang panan ataupun dingin.
Untuk beberapa orang, namun demikian, mengkonsumsi makanan dan
minuman lewat mulut sudah tidak mungkin lagi. Mereka harus menggunakan
metode lain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Biasanya ini memerlukan suatu
system pemberian makanan, seperti suatu selang makanan (NGT), yang
memotong bagian menelan yang tidak mampu bekerja normal
Berbagai pengobatan telah diajukan unutk pengobatan disfagia orofaringeal
pada dewasa. Pendekatan langsung dan tidak langsung disfagia telah
digambarkan. Pendekatan langsung biasnya melibatkan makanan,
pendekatan tidak langsung biasanya tanpa bolus makanan.
Modifikasi diet
Merupakan komponen kunci dalam program pengobatan umum disfagia.
Suatu diet makanan yang berupa bubur direkomendasikan pada pasien
dengan kesulitan pada fase oral, atau bagi mereka yang memiliki retensi
faringeal untuk mengunyah makanan padat.
Jka fungsi menelan sudah membaik, diet dapat diubah menjadi makanan
lunak atau semi- padat sampai konsistensi normal.
Suplai Nutrisi
Efek disfagia pada status gizi pasien adalah buruk. Disfagia dapat
menyebabkan malnutrisi
Banyak produk komersial yang tersedia untuk memberikan bantuan nutrisi.
Bahan-bahan pengental, minuman yang diperkuat, bubur instan yang
diperkuat, suplemen cair oral. Jika asupan nutrisi oral tidak adekuat, pikirkan
pemberian parenteral.
Hidrasi
Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi. Pemeriksaan berkala keadaan hidrasi
pasien sangat penting dan cairan intravena diberikan jika terapat dehidrasi
Pembedahan
Pembedahan gastrostomy
2.4 Akalasia
2.4.1 Definisi
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia,
Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis, dan
Dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah
achalasia berasal dari bahasa Yunani, a berarti tidak, chalasis berarti mengendur,
sehingga arti seutuhnya adalah “tidak bisa mengendur” dan merujuk pada
ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus
bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat
kedalam lambung. Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses
menelan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak
peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya
makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan proses menelan.
Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi.
(Sjamsuhidajat, 2005, Bakry, 2006)
2.4.2 Etiologi
Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah
mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik.
Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita
akalasia.
Teori Infeksi
Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber.
Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh
limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi
tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit
autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan
autoantibodi dari pleksus mienterikus.
Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan
dengan proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti
penyakit Parkinson dan depresi
2.4.3 Patofisiologi
Secara umum, esofagus dibagi menjadi tiga bagian fungsional yaitu
sfingter esofagus bagian atas yang biasanya selalu tertutup untuk mencegah
refluks makanan dari korpus esofagus ke tenggorokan. Bagian kedua yang
terbesar adalah korpus esofagus yang berupa tabung muskularis dengan panjang
20 cm, sedangkan bagian yang terakhir adalah esofagus bagian
bawah (SEB) yang mencegah makanan dan asam lambung dari gaster ke korpus
esofagus. (Bakry. 2009)
Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur oleh
neurotransmitter perangsang seperti asetilkolin dan substansi P, serta
neurotransmitter penghambat seperti nitrit oxyde dan ,vasoactive intestinal
peptide (VIP). (Bakry. 2009)
Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia :
2.4.5 Terapi
Terapi farmakologi
Terapi secara farmakologis bertujuan untuk menurunkan tekanan
sphingter bawah esofagus (LES) dengan menggunakan pelemas otot, seperti Ca
Channel Blocker (nifedipin 10-30mg sublingual 30-45 menit sebelum makan)
atau Nitrat (isosorbide dinitrate 5 mg sublingual 10-15 menit sebelum makan).
(Eckardt.2009).
2.4.6 Komplikasi
4. Kanker esofagus : Merupakan pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-
sel epitel yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitar esofagus dan
menimbulkan metastase pada saluran esofagus. (Streitz JM. 1995)
2.4.7 Prognosis
2.5.1 Definisi
Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas
atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
2.5.2 Etiologi
Kelemahan anggota gerak bisa disebabkan oleh lesi upper motor neuron
dan motor unit. Lesi upper motor neuron dibagi lagi menjadi lesi di cortex,
subkorteks, brainstem, dan spinal cord. Lesi motor unit dibagi dari spinal motor
neuron, spinal root, saraf tepi, neuromuscular junction, dan otot.
Lesi spinal motor neuron misalnya pada penyakit degeneratif. Lesi spinal
root terjadi pada kasus kompresi (degenertive disc disease), imunologi pada kasus
Guillain Barre Syndrome (GBS), infeksi pada AIDS-associated polyradiculopathy
dan Lyme Disease.
Lesi saraf tepi dapat disebabkan oleh kelainan metabolik pada kasus
diabetes mellitus, uremia, porfiria; toksin dari ethanol, logam berat, beberapa obat,
dan difteri; kekurangan nutrisi yaitu vitamin B12; inflamasi misalnya pada
poliartritis nodosa; herediter misalnya pada kasus Charcot Marie Tooth;
imunologi pada kasus paraneoplastik, paraproteinemia; infeksi pada pasien
dengan imunokompromais; dan kompresi.
2.5.3 Diagnosis
1. Onset kelemahan
2. Sifat kelemahan
3. Demam untuk mencari kemungkinan penyakit infeksi
4. Riwayat trauma
5. Riwayat makan
6. Riwayat pengobatan
7. Riwayat penyakit metabolik
8. Kemungkinan penyakit infeksi misalnya TB, HIV
3.2 Anamnesa
Anamnesis dilakukan dengan cara alloanamnesa pada tanggal 09 Agustus
2021 di bangsal wanita interne RSUD Dr, Achmad Mochtar Bukittinggi,
dengan :
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan sulit menelan yang terasa memberat sejak tiga
hari sebelum masuk rumah sakit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
- Pasien mengeluhkan sulit menelan yang terasa memberat sejak tiga
hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan sulit menelan sudah
dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, yang semakin lama semakin
memberat. Awalnya, pasien merasa sulit untuk menelan makanan yang
padat. Setiap mencoba menelan, pasien sering tersedak. Sehingga
sekarang pasien hanya bisa menelan makanan yang diblender terlebih
dahulu.
- Pasien sering mengeluhkan nyeri perut atas kiri yang menjalar ke
punggung selama 3 bulan terakhir. Pasien mengatakan ada keluhan
asam lambung sejak 2 tahun yang lalu.
- Suara pasien mulai tidak jelas terdengar sejak 8 bulan yang lalu.
Keluarga pasien mengatakan awalnya bicara pasien terdengar tidak
jelas, makin lama suara pasien makin tidak terdengar. Sekarang pasien
berkomunikasi dengan menulis.
- Pasien mengeluhkan kelemahan pada lengan kiri sejak 2 tahun yang
lalu. Kelemahan dirasakan semakin berat hingga sekarang tidak bisa
digerakkan sama sekali. Pasien juga mengeluhkan lengan kanan dan
kaki yang mulai terasa melemah namun masih bisa digerakkan.
- Pasien diketahui pernah dirawat dibangsal neurologi dengan diagnosis
stroke batang otak pada bulan Maret 2021.
- Pasien mengatakan leher nya terasa sakit dan melemah jika banyak
bergerak atau ketika mengubah posisi.
- Pasien diketahui mengalami penurunan berat badan sebanyak 13 kg
selama 2 tahun terakhir.
- Nafsu makan biasa, tetapi pasien sulit untuk makan banyak karena
keluhan asam lambung dan sulit menelan.
- Riwayat tertelan zat korosif disangkal
- Mual dan muntah tidak ada
- Demam tidak ada
- Riwayat jatuh/trauma tidak ada
- Buang air kecil tidak ada keluhan
- Buang air besar tidak ada keluhan
e. Riwayat Pengobatan
- Pasien pernah melakukan akupuntur tiga kali untuk mengobati
kelemahan pada lengannya. Namun, tidak ada per aikan dari keluhan
pasien.
- Pada tahun 2020, pasien pernah berobat ke Surabaya untuk mengobati
kelemahan pada lengannya. Pasien mengatakan hasil pemeriksaan
dokter menunjukan adanya kecurigaan infeksi virus, namun tidak
diketahu secara pasti.
- Pada Maret 2021 pasien dirawat dibangsal neurologi RSAM
Bukittinggi dengann diagnosis stroke batang otak
- Pasien melakukan fisioterapi berupa terapi bicara dan untuk lengan
kanan sebanyak 5 kali selama 2021.
b. Status Lokalisata
- Kulit
Berwarna coklat, teraba hangat, turgornya baik.
- Kepala
Normochepal, rambut hitam, tidak mudah dicabut.
- Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks pupil
(+/+)
- Telinga
Telinga luar tidak terlihat tanda-tanda peradangan dan massa, nyeri
tekan tragus tidak ada, nyeri tekan procesus mastoid tidak ada, bunyi
mendenging tidak ada, deformitas tidak ada.Pada liang telinga, sekret
(-/-), serumen (-/-).
- Hidung
Deformitas (-/-), sekret (-/-), penyumbatan (-/-), epistaksis (-/-),
penciuman normal, nyeri (-/-)
- Mulut
Mukosa bibir kering, sianosis (-), lidah kotor (-), caries (-), tonsil
ukuran T1-T1, uvula di tengah, faring hiperemis (-), gangguan
mengecap (-).
- Leher
JVP : 5+1 cmH2O
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran KGB
Kelenjar Tiroid : tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid
Deviasi Trakea : tidak terdapat deviasi trakea
Tumor : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada
- Thorak
Paru
Inspeksi : Normochest, sikatrik(-), pergerakan dinding dada
simetris kiri kanan.
Palpasi : Fremitus sama di kedua lapangan paru
Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada 1 jari medial linea
midclavikula sinistra RIC V
Perkusi : Atas : Linea parasternalis RIC II sinistra
Kanan : Linea parasternalis dextra RIC III-IV
Kiri :1 Jari medial linea midklavicula sinistra
RICV
Auskultasi : Bunyi jantung S1 S2 Irama reguler, gallop (-/-),
murmur (-/-)
- Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak membuncit, sikatrik (-); spider navy
(-); pelebaran vena (-)
Auskultasi : Bising usus normal ; bruit (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri lepas(-), Hepar tidak teraba,
Lien tidak teraba, ballotement (-/-)
Perkusi : Timpani, asites (-)
Sensibilitas
Halus : positif
Kasar : positif
- Ekstremitas inferior
Inspeksi : Deformitas (-/-), edema (-/-), hiperpigmentasi
(-/-), hipopigmentasi (-/-), ulkus (-/-),
Palpasi : Akral dingin, edema (-/-), kekuatan otot 555/555
Refleks
Fisiologis kiri: positif kanan: positif
Patologis kiri: negatif kanan: negatif
Sensibilitas
Halus : positif
Kasar : positif
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Gambar Ekg
Ditemukan irama sinus rhythm, dengan frekuensi 75x/menit.
3.5 Diagnosis
Diagnosis utama : Striktur Esoga
Diagnosis sekunder : Hipertensi dalam pengobatan
3.6 Penatalaksanaan
Nonfarmakologi:
Bedrest
Farmakologi:
IVFD Tutofusin 1 kolf/ 8 jam
Inj Pantoprazole 1 kali sehati (IV)
Eritromisin 3 kali 500 PO
Amlodipin 1 kali 5 mg PO
Rencana Pemeriksaan
Endoskopi
3.7 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad malam
- Quo ad fungsionam : dubia ad malam
- Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB 4
PEMBAHASAN