Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah Akhlak Dan Tasawuf

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH AKHLAK DAN TASAWUF

KONTEKSTUALISASI DAN PENERAPAN

AKHLAK DALAM BINGKAI IBADAH

DOSEN PEMBIMBING: Dr. PURMANSYAH ARIADI, M. Hum

DISUSUN OLEH:

RENITA DIAN UTAMI 642019007

MILANI AGUSTIN 642019017

PRODI EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya ucapkan atas kehadirat ALLAH SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan makalah yang
berjudul“Kontekstualisasi dan Penerapan Akhlak dalam Bingkai Ibadah”.

Saya sadar bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan atau masih
jauh dari kata sempurna, Penyusun mengakui bahwa makalah ini masih banyak yang perlu untuk
diperbaiki.Untuk itu penyusun memerlukan saran dan kritikan dari semua pihak yang bersifat
membangun untuk menyempurnakannya,dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita bersama.

Akhir kata saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.semoga ALLAH SWT senantiasa
meridhoi segala usaha kita.Aamiin.

Palembang, 20 Maret 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 4

A. latar Belakang ................................................................................... 4


B. rumusan Masalah............................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 6

A. Pengertian maqamat wa ahwal......................................................... 6


B. Macam macam maqamat ................................................................. 7
C. Ahwal yang sering di jumpai dalam perjalanan sufi .................... 10
D. Perbedaan mendasar maqamat dan ahwal ................................... 12

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 13

A. KESIMPULAN ................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Formulasi konsep-konsep dalam dunia tasawuf mulai nampak sejak abad ke-3
dan ke-4 H. Ini diawali dengan semakin banyaknya orang yang mempraktikkan jalan sufi
yang di dalamnya mereka mendapat pengalaman keagamaan (religious experience) yang
beraneka ragam. Pengalaman keagamaan itu bahkan ada yang dinilai telah keluar dari
ortodoksi Islam oleh para ulama–biasanya terdiri dari kalangan ahli fiqih. Dari sinilah
kemudian muncul “perdebatan” bahkan “pertentangan” antara sufisme dan syariah yang
dalam sejarahnya Islam selain telah menghabiskan energi para ulama untuk
mendamaikannya.

Berkaitan dengan pengalaman keagamaan yang diperoleh kaum sufi dan upaya
untuk mendamaikan pertentangan antara sufisme dan syariah itulah kemudian dalam
literatur sufi muncul konsep-konsep maqamat dan ahwal. Sebab, dalam konteks seperti
itu tasawuf tidak bisa tinggal puas dengan kesalehan asketis dan seruan cintanya terus-
menerus. Sekali pandangan umumnya telah memperoleh pengikut dan di antara
pengikutnya terdapat kalangan ortodoksi yang terpandang, segera ia mengembangkan
metodologi “jalan batin” atau jalan spiritual menuju Tuhan. Namun, lebih dari sekedar
mendamaikan antara sufirme dan syariah, kemunculan konsep-konsep dan metode dalam
tasawuf juga dipicu oleh tuduhan kalangan ulama atas klaim-klaim kaum sufi. Para ulama
berpendapat bahwa kalau klaim-klaim kaum sufi seluruhnya diakui, maka akan timbul
kekacauan spiritual karena tidak mungkinnya mengatur, mengontrol, bahkan meramalkan
jalannya “kehidupan spiritual” itu. Dzunnun al-Misri (w. 245/859), misalnya, yang pada
umumnya dianggap telah berjasa oleh kaum sufi atas usahanya mengklasifikasikan tahap-
tahap perkembangan spiritual, benar-benar telah dituduh menyelewengkan ajaran agama
di Bagdad pada 240 H./854 M. Selain itu–yang lebih penting lagi–kaum sufi sendiri
tampaknya memang merasa perlu untuk mengembangkan suatu metode kontrol dan kritik
untuk membakukan dan sejauh mungkin mengobjektifkan pengalaman-pengalaman
mereka.
Dengan arah dan motivasi seperti itulah kemudian di kalangan kaum sufi dikenal
tahapan-tahapan atau “station-station” (maqamat) jalan sufi. Selain itu, dari
kandungan maqamat itu juga diperinci lagi sebuah teori tentang “keadaan-keadaan”
(ahwal) yang–meminjam istilah Rahman–bersifat psiko-gnostik. Pada umumnya
isi maqamat itu dinyatakan dalam terminologi yang sepenuhnya dipinjam dari Alquran,
seperti tobat, sabar, syukur, dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah :

1. Apa pengertian maqamat wa ahwal ?


2. Macam-macam maqamat ?
3. Ahwal apa saja yang sering dijumpai dalam sufi?

5
BAB II

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN MAQAMAT WA AHWAL


1. Maqamat

Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang
berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan
panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.
Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam.Secara etimologi maqam
mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua telapak kaki.Sementara itu
dalam pengertian terminologi istilah maqam mengandung pengertian kedudukan,
posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba dalam mendekatakan diri kepada
Allah.
Jadi, maqam sering dipahami oleh para sufi sebagai tingkatan, yaitu tingkatan seorang
hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan latihan (riyadah) jiwa yang
dilakukannya.

2. Ahwal

Ahwal adalah bentuk jamak dari hal.Seperti halnya maqam, hal digunakan
kaum sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam perspektif tasawuf
sering diartikan “keadaan”.Maksudnya keadaan dalam kondisi spiritual.Hal, sebagai
sebuah kondisi yang singgah dalam kalbu, merupakan efek dari peningkatan maqamat
seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami bahwa kapanpun seorang hamba
mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan
mujahadah, maka Allah memanifestasikan dirinya dalam kalbu hamba tersebut.
Secara terminologis yang dimaksud dengan ahwal ialah keadaan atau keadaan kondisi
psikologis yang dirasakan ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. Ahwal
merupakan sebuah batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk suatu keadaan tertentu
yang bersifat tidak permanen.Hal masuk kedalam hati sebagai anugrah dan kerunia
Allah yang tidak terbatas pada hamba-Nya.Hal tidak dapat dicapai melalui usaha,
keinginan, atau undangan.Hal datang dan pergi tanpa diduga duga.Keadaan spiritual
banyak jumlahnya dan kedudukan spiritual juga banyak.Dapat dikatakan bahwa hal
merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan kepada hamba-Nya yang
dikehendaki.Pemberian itu pada kalanya tanpa melalui usaha.Tidak semua orang
berusaha itu berhasil, namun yang menjadi dambaan bagi setiap orang yang menjalani
tasawuf.Hubungan antara usaha dan hasil dalam perkara ini tidak bersifat mutlak.

B. MACAM MACAM MAQAMAT


Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi untuk mencapai
Tuhannya, para sufi berbeda pendapat pada hal ini. Terhadap perbedaan beberapa
pendapat tersebut ada beberapa maqamat yang disepakati oleh para ahli tasawuf, yaitu:
1. Al-Zuhud
Zuhud secara istilah bermakna tidak ingin kepada sesutu yang bersifat
keduniaan. Namun, secara umum zuhud dapat diartikan sebagai sutu sikap
melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan
mengutamakan kehidupan akhirat. Kendatipun didefinisikan dengan redaksi yang
berbeda, inti dan tujuan zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai
tujuan akhir. Jangan sampai kenikmatan dunuawi menyebabkan susutnya waktu dan
perhatian pada tujuan yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan abadi di “hadirat” Ilahi.
Dilihat dari maksudnya zuhud dibagi mejadi tiga tingkatan. Pertama menjauhkan
dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua menjauhi dunia dengan
menimbang imbalan di akhirat. Ketiga mengucilkan dunia bukan karna takut atau
berharap, tetapi karena cinta karen Allah. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini
akan memandabg segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai apa-apa.
2. At-Taubah
At-Taubah adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai
permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa.
At-Taubat di bagi menjadi tiga tingkatan yakni ; yang pertama taubat yang paling
rendah yaitu memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang telah
dilakukan pada saat yang lampau. yang kedua taubat yang lebih tinggi tingkatannya
yaitu taubat terhadap pangkal dosan seperti taubat dari sifat dendam, sombong, iri,

7
riya’, pamer, dll. Sedangkan yang ketiga taubat tertinggi yaitu taubat untuk berusaha
menjauhkan diri dari bujukan setan dan kelalaian dari mengingat Allah
3. Al-Wara’
Al-Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan Allah.
Mereka yang memiliki sifat ini selalu berusaha agar tidak melanggar aturan Allah
meskipun itu hanya kemaksiatan yang tanpak kecil.Seseorang yang bersifat wara’
adalah mereka yang selalu berhati-hati dalam segala perilakunya sehingga tidak
terjerumus pada hal-hal yang tidak disenangi atau diridai Allah baik yang hukumnya
makruh apalagi haram. Hal ini sejalan dengan hadits nabi:

‫حدثنا أحمد بن نصر النيسابوري وغير واحد قالوا حدثنا أبو مسهر عن إسمعيل بن عبد هللا بن سماعة عن األوزاعي عن قرة‬
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من حسن إسالم المرء تركه ما ال يعنيه‬:‫عن الزهري عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال‬

“Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang


tidak penting baginya”.

4. Al –Faqr (Fakir)
Al –Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup dengan apa yang
telah diterima dan dianugerahi oleh Allah, sehingga tidak mengharapkan atau
meminta sesutu yang bukan haknya. Dengan demikian, seseorang yang faqr selalu
merasa berkecukupan dan merasa puas dalam menjani kehidupan.Sikap ini sangat
penting sehingga manusia dapat terhindar dari sifat serakah dan rakus. Sikap al-Faqr
merupakan kelanjutan sikap zuhud, karena dengan zuhud terhadap kehidupan dunia
dengan tidak terperdaya tipudaya dunia, sesorang akan merasa puas dan cukup
dengan apa yang diperolehnya. Selain itu sifat al-Faqr akan menghasilkan sifat wara’,
karena dengan menerima apa yang dianugerahkan Allah kepadanya, ia akan bersikap
hati-hati dan tidak akan menuntut yang bukan haknya.
5. As-Shabr (sabar)
Sifat As-Shabr adalah salah satu sifat andalan bagi kaum sufi. Sifat sabar
merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh para nabi dan rasul.Mereka yang memiliki
yang memiliki kesabaran yang luar biasa dinamakan dengan ulul al-‘azmi.Jadi sabar
artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah,
demikian juga tenang ketika mendapatkan cobaan dari-Nya, menampakkan sifat yang
berkecukupan sekalipun hidup dalam kekurangan.Dalam ajaran tasawuf sifat sabar
dibagi menjadi tiga macam,yaitu:
a. Sabar dalam beribadah kepada Allah.
b. Sabar dalam menjauhi larangan Allah.
c. Sabar dalam menerima cobaan dari Allah
6. Tawakkal
Secara terminologi tawakkal adalah membebaskan diri dari segala
ketergantungan kepada selain Allah Swt. dan menyerahkan keputusan segala
sesuatunya kepada Allah Swt. Jadi, tawakkal adalah sikap pasrah terhadap Allah dalm
menjalani setiap urusan. Tawakkal dapat dimaknai sebagai sikap hati untuk
menyerahkan diri kepada qada’ dan qadar Allah.
7. Rela (Rida’)
Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang telah di
anugerahkan Allah Swt. orang yang memiliki sikap rida’ mampu melihat hikmah dan
kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap
ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemaha
sempurnaan dzat yang meberikan cobaan kepadanya sehingga tidak menegeluh dan
tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.
8. Mahabbah
Mahabbah (mencintai) Allah adalah kedudukan yang paling tinggi dan mulia
guna menuju keridaan Allah, karena hanya Allah yang maha Besar, Maha Penguasa,
Maha Suci, Maha Pencipta, dan Maha Pemberi.
9. Ma’rifah
Secara etimologi kata dasar ma’rifat berasal dari kata arafah yang artinya
“mengetahui atau mengenal”. Makrifat berarti juga pengetahuan. Jadi mak’rifat
artinya mengenal Allah dengan mata hati, sekaligus ujung perjalanan dari segala
ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh kaum sufi. Unsur ma’rifat adalah “cinta” dan
hasil dari ma’rifat adalah “pandangan”.

9
C. AHWAL YANG SERING DIJUMAPAI DALAM PERJALANAN SUFI.
Ahwal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui waktunya.
Dengan demikian Ahwal adalah pemberian dari Allah ketika sang sufi menapaki jalan
menuju Allah. Dalam ilmu tasawuf dikenal dengan beberapa Ahwal sebagai berikut:
1. Muhasabah dan Muraqabah (Mawas Diri dan Waspada)
Muhasabah ialah meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan,
dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk
kepada-Nya. Sedangkan Muraqabah yaitu adanya kesadaran diri bahwa ia selalu
berhadapan dengan Allah dalam keadaan diawasi-Nya.Muhasabah dan Muraqabah
merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang
mengupasnya secara bersamaan. Kedua sikap itu merupakan dua sisi dari tugas yang
sama dengan menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari
pembawaan nafsu dan amarah.
2. Hubb ( cinta )
Hubb adalah cinta.Maksudnya, cinta seorang hamba kepada tuhan. Dalam
pandangan tasawuf, hubb pada dasarnya anugerah yang menjadi dasar pijakan ahwal,
sama seperti taubat yang menjadi dasar pijakan maqam. Ibn Taimiyah membagi
tingkatan- tingkatan cinta, yaitu: pertama, al-alaqah, yaitu keterkaitan hati dengan
yang dicintai. Kedua, al-sababah ( kegairahan) yaitu hati selalu bergairah kepada
Allah. Ketiga, al-ghuram yaitu cinta sebagaimana biasanya.Keempat, al-isyq yaitu
mencintai kepada Allah dengan bergairah yang berlebih. Kelima, al-tatayyum(
menjadi budak) yaitu menjadi budak kepada Allah. Dari kelima tingkatan cinta itu,
maka dapat ditegaskan bahwa seorang yang mencintai Allah adalah mereka yang
selalu mempunyai keterkaitan dan keterpautan dengan Allah, “ asyik bercengkrama”
dengan Allah, dan menjadi budak dihadapan Allah.Keterkaitan dengan Allah di
wujudkan dengan keadaan hati yang selalu bersama Allah dalam semua keadaan dan
perilaku seseorang. Ini di wujudkan ketika orang merasa mendapat ke asyikan,
kenikmatan ketika ia beribadah dengan Allah. Sedangkan menjadi budak Allah, ia
akan menuruti segala sesuatu yang mengakibatkan kesenangan dan keridhaan Allah.
Di samping itu, perasaan menjadi budak juga mengakibatkan adanya perasaan
merendah atau hina di hadapan Allah.
3. Raja’ dan Khauf ( Berharap dan Takut)
Menurut kalangan kaum sufi, Raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling
mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimis, yaitu persaan senang hati
karena menanti sesuatu yang di inginkan dan di senangi. Raja’ menuntut tiga perkara
yaitu: cinta kepada apa yang di harapkannya, takut apabila harapan yang hilang,
berusaha untuk mencapainya. Sedangkan Khauf, ialah kesaksian hati karena
membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri di masa yang akan
datang. Khauf dapat mecegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk
senantiasa berada dalam ketaatan.Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan
khauf menyebabkan seseorang lalaim dan berani melakukan maksiat, sedangakan
khauf yang berlebihan akan menjadikan putus asa dan pesimitis. Begitu pila
sebaliknya, apabila sikap raja’ terlalu besar, hal itu akan membuat seseoarang
menjadi sombong dan meremehkan amalan- amalanya karena rasa optimisnya yang
berlebihan.
4. Syauq ( Rindu)
Syauq yang dimaksudkan ialah rindu kepada Tuhan.Syauq ialah rasa rindu
yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni dan di sertai dengan
mahabbah. Perasaan inilah yang menjadi motor pendorong kaum sufi agar selalu
berada sedekat mungkin kepada Allah yang menjadi sumber segal kenikmatan dan
keindahan.
5. Uns (intim)
Uns ( intim) adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh pada suatu titik
sentrum, yaitu Allah; tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, dan tidak ada
yang diharap kecuali Dia. Uns merupakan keadaan spiritual ketika hati dipenuhi
cinta, keindahan, kelembutan, belas kasih, dan pengampunan Allah. Keindahan uns
tidak dapat terlukiskan. Hal ini dapat dialami oleh pendengar dalam konser spiritual(
sama’) yang menyebabkannya mengalami kemabukan( wajd) ketika menemukan
Allah.

11
D. PERBEDAAN MENDASAR MAQAMAT DAN AHWAL
Secara historis, konsep maqamat dan ahwal diduga muncul pertama kali pada
abad 1 Hijriyah.Sosok yang memperkenalkan kedua terms tersebut adalah Ali bin Abi
Thalib.Hal ini dapat ditelusuri ketika para sahabat berkonsultasi tentang iman. Ia
menjawab bahwa iman itu adalah bersumber pada empat fondasi yaitu taqwa, sabar, adil,
jihad, yang masing-masing fondasi tersebut mempunyai tingkatan( maqamat).
Para sufi sendiri secara teliti menegaskan perbedaan maqam dan ahwal.
Maqam, menurut mereka, ditandai oleh kemapanan.Sementara itu, ahwal justru mudah
hilang.Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya.Sementara itu,
ahwal dapat diperoleh secara disengaja.Hal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik
dengan menari, bersedih hati, bersenang-senang, rasa mencekam, rindu, gelisah, atau
harap. Jelasnya, hal sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh dengan daya dan
upaya. Hal akan datang dengan sendirinya, sementara maqam diperoleh dengan
berupaya. Orang yang meraih maqam tetap dalam tingkatannya, sementara orang yang
meraih ahwal justru akan mudah lepas dirinya.
Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari cara
mendapatkannya maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa tahap-tahap
perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya.
Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang untuk
melawan hawa nafsu, ego manusia, yang dipandang perilaku yang buruk yang paling
besar yang dimiliki manusia dan hal itu menjadi kendala menuju Tuhan. Kerasnya
perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seseorang sufi
kadang memerlukan waktu puluhan taun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke
stasiun yang lainnya. Sedangkan “ahwal”yang sering diperoleh secara spontan sebagai
hadiah dari Tuhan.Di antara “ahwal” yang sering disebut adalah takut, sukur, rendah
hati, tawakkal, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para penulis tasawuf,
namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan
berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan
keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah berupa kalitan-kalitan
ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut lama’at.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara etimologi maqam
mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua telapak kaki. Sementara itu
dalam pengertian terminologi istilah maqam mengandung pengertian kedudukan,
posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba dalam mendekatakan diri kepada
Allah. Sedangkan, ahwal ialah keadaan atau keadaan kondisi psikologisyang
dirasakan ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu.
2. Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi untuk
mencapai Tuhannya, para sufi berbeda pendapat pada hal ini. Terhadap perbedaan
beberapa pendapat tersebut ada beberapa maqamat yang disepakati oleh para ahli
tasawuf, yaitu: Al-Zuhud, At-Taubah, Al-Wara’, Al –Faqr (Fakir), As-Shabr (sabar),
Tawakkal, Rela (Rida’), Mahabbah, dan Ma’rifah.
3. Ahwal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui waktunya. Dengan
demikian Ahwal adalah pemberian dari Allah ketika sang sufi menapaki jalan menuju
Allah. Dalam ilmu tasawuf dikenal dengan beberapa Ahwal sebagai berikut:
Muhasabah dan Muraqabah (Mawas Diri dan Waspada), Hubb ( cinta ), Raja’ dan
Khauf ( Berharap dan Takut), Syauq ( Rindu), dan Uns ( intim).
4. Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari cara mendapatkannya
maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa tahap-tahap perjalanan spiritual
yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini
pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang untuk melawan hawa
nafsu, ego manusia, yang dipandang perilaku yang buruk yang paling besar yang
dimiliki manusia dan hal itu menjadi kendala menuju Tuhan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Media Zainul. 2010. Tasawuf Mendamaikan Dunia. - : Erlangga.


Kartanegara, Mulyadhi. 2012. Melayani Lubuk Tasawuf. - : Erlangga.
Solichin, Mohammad Muchlis. 2013.Akhlak& Tasawuf. Surabaya : Pena Salsabila.
Solihin, M., Anwar, Rosihon. 2014. Ilmu Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia .
Amin, Samsul Munir. 2014.Ilmu Tasawuf. Jakarta : Amzah.
Nata, Abuddin. 2015. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia.Jakarta : PT Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai