Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Bab II Landasan Teori BLM Di Revisi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Mental Toughness (Ketangguhan Mental)

1. Definisi Ketangguhan Mental

Pengertian Mental Toughness Mental toughness (ketangguhan mental)

merupakan kumpulan nilai-nilai, sikap, perilaku, dan emosi yang memungkinkan

seseorang untuk mampu melestarikan dan mengatasi kendala, kesulitan, atau tekanan

yang dialami, namun tetap menjaga konsentrasi dan motivasi agar konsisten dalam

mencapai suatu tujuan (Gucciardi et al, 2008). Komponen penting yang dapat

menentukan keberhasilan atlet di arena pertandingan, salah satunya adalah

ketangguhan mental (Fauzee,dkk, 2012).

Mental toughness dapat menjadikan seorang atlet untuk tetap merasa rileks,

tenang, dan bersemangat, karena dapat mengembangkan dua keterampilan yaitu

mengalirkan energi positif seperti berpersepsi menghilangkan kesulitan dan berfikir

untuk bersikap atau menghiraukan masalah, tekanan, kesalahan, dan persaingan

dalam suatu pertandingan (Jones, 2010). Selain itu, mental toughness merupakan

ketetapan hati pada tingkat tinggi, menolak ditekan namun harus mampu untuk tetap

fokus pada situasi menekan, serta kapasitas untuk bertahan di sepanjang pertandingan

(Cashmore, 2008).

Mental toughness merupakan kumpulan atribut psikologis atlet yang unggul

yang dapat dilihat pada saat melakukan latihan atau pertandingan (Jones, 2010).
Mental toughness pada atlet akan memperlihatkan kegigihan yang luar biasa meski

secara objektif tidak ada harapan untuk memenangkan suatu pertandingan (Gunarsa,

2008). Menurut Sukadiyanto (2006) reaksi emosional adalah terjadinya perubahan

tingkat kegairahan yang dapat memudahkan atau justru menghambat keinginan

seseorang untuk berperilaku atau bertindak. Sesuai dengan penjelasan Fahmi (2013)

bahwa kondisi mental sangatlah penting dan perlu disiapkan sebaikbaiknya, bahkan

tidak menutup kemungkinan juga menjadi faktor penentu dalam pertandingan.

Disamping kekuatan fisik dan teknik yang dimiliki seorang atlet, faktor mental juga

berperan dalam mendukung penampilan secara maksimal.

Pengaruh faktor mental pada atlet secara khusus terlihat ketika sedang

bertanding, terlihat dari kuat lemahnya dorongan untuk meraih prestasi dan

memenangkan pertandingan (Gunarsa, 1989). Menurut harsono (dalam Gunarsa,

1996) penampilan puncak seorang atlet 80% dipengaruhi oleh mental dan hanya 20%

dipengaruhi oleh aspek lainnya. Ketangguhan mental memiliki pengaruh cukup besar

terhadap peningkatan performa atlet pada saat bertanding. Bagi atlet, bertanding

bukan hanya persoalan tentang memenangkan dan mengalahkan lawan, namun juga

kemampuan untuk mengalahkan rasa takut dalam diri. Dalam bidang olahraga,

keyakinan akan kemampuan diri sangat berpengaruh terhadap performance para atlet

(Sugiono, 2008)

Sedangkan Gucciardi dkk. (2008) menjelaskan ketika kemampuan fisik,

teknik, dan taktis yang dimiliki atlet cenderung sama, ketangguhan mental merupakan

pembeda antara atlet baik dengan atlet hebat. Gucciardi dkk. (2008) melakukan
penelitian ketangguhan mental dalam olahraga beregu yaitu football (Gucciardi

menggunakan Australian-rules volyball). Dalam penelitiannya, Gucciardi 9 dkk.

(2008) melakukan wawancara dengan sebelas pelatih berpengalaman pada tingkat

elit. Data verbatim yang diperoleh kemudian dianalisis dan menghasilkan tiga

kategori utama dalam memahami ketangguhan mental. Kategori pertama adalah

characteristic, kategori ini terdiri atas sebelas karakteristik yang dianggap sebagai

kunci ketangguhan mental (self-belief, etos kerja, nilai personal, self-motivated,

though attitude, konsentrasi, resiliensi, handling pressure, kecerdasan emosional,

sport intelligence, dan ketangguhan fisik). Dua kategori lain yaitu situasi dan

perilaku. Ketiga kategori tersebut mampu memberikan pemahaman hubungan antara

karakteristik utama dengan proses (situasi dan perilaku).

Situasi merupakan kondisi yang memberikan tuntutan tinggi akan

ketangguhan mental seperti ketika dalam keadaan cedera, sedang menjalani masa

rehabilitasi cedera, persiapan untuk latihan dan kompetisi, tantangan di dalam dan di

luar lapangan, tekanan sosial, serta tekanan internal (kelelahan dan kurang percaya

diri), dan tekanan eksternal (situasi ketika bertanding, suporter, dan resiko fisik).

Situasi ini merupakan faktor yang mempengaruhi atau keadaan yang membutuhkan

ketangguhan mental didalam diri atlet. Atlet sendiri juga jarang menyadari bahwa

kegagalan untuk mencapai targetnya lebih karena persiapan strategi mental yang

minim atau bahkan dapat dibilang tidak memadai. Baru setelah kompetisi, persentase

terbesar dari alasan biasanya dikaitkan dengan aspek mental dan emosional dalam

permainan (Setyawan, 2017). Seperti yang diungkapkan oleh Zizzi,dkk (2003) bahwa
seorang atlet harus dapat mengenali emosi diri, teman kelompok, dan emosi musuh

supaya dapat menampilkan performa maksimal dalam permainan. Salah satu

permasalahan yang dihadapi atlet terkait dengan 10 mental adalah kecemasan. Hal ini

sejalan dengan yang disampaikan oleh Ciptaningtyas (2012) bahwa permasalahan

mental dalam pertandingan yang berpengaruh pada performa atlet adalah kecemasan

bertanding. Selain itu didukung pula dengan penelitian dilakukan Parnabas (2015)

kepada 119 pemain bola voli yang terdiri national athletes, state athletes, district

athletes, dan university athletes menunjukkan bahwa kecemasan menghadapi

pertandingan memiliki hubungan yang negatif terhadap performa. Bukan hanya pada

pemain sepak bola saja, Parnabas (2015) juga meneliti pada olahraga sepak takraw.

Pada taraf tertentu kecemasan memang dapat menyebabkan kesalahan, namun apabila

seorang atlet dapat mengelola kecemasan menjadi kewaspadaan, semangat dan

kegairahan, kecemasan akan membantu untuk performa yang lebih baik (Parnabas,

2015).

Jones, dkk (2007) mengatakan bahwa tingkat pencapaian puncak sangat

ditentukan oleh kematangan dan ketangguhan mental dalam mengatasi berbagai

kesulitan selama bertanding. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Khan,

dkk(2017) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara ketangguhan

mental dengan performa atlet. Ketangguhan mental bermanfaat agar atlet mampu

bertahan dan melalui beragam hambatan, kesusahan, atau tekanan yang dialami

terutama dalam mengurangi tingkat kecemasan dalam pertandingan (Raynadi, dkk

2016). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Algani, dkk (2018) pada atlet
bola voli menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara ketangguhan mental

dan kecemasan menghadapi pertandingan. Hal ini menunjukkan bahwa 11 semakin

mampu seorang atlet untuk bersikap positif terhadap tekanan maka semakin rendah

kecemasannya dalam menghadapi kompetisi.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa secara operasional

mental toughness (ketangguhan mental) merupakan suatu sikap atau penilaian diri

terhadap reaksi emosi positif khususnya atlet untuk mengatasi kendala, kesulitan,

bahkan tekanan, agar tetap menjaga konsentrasi dan motivasi yang merupakan

ketetapan hati dari energi positif untuk mencapai suatu tujuan dalam bertahan

disepanjang pertandingan,

2. Dimensi Ketangguhan Mental

Penelitian mengenai mental toughness (ketangguhan mental) memiliki empat

dimensi yang dirumuskan oleh (Gucciardi,dkk 2009). Di mana terlihat sekali dari

dimensi-dimensi tersebut berbanding terbalik dengan atribut competitive anxiety

seperti kecemasan kognitif, kecemasan afektif, kecemasan motorik, dan kecemasan

somatik yang cenderung selalu berprasangka khawatir, ketakutan akan gagal, jantung

berdebar-debar, gelisah, tegang, dan sembrono dalam menghadapi sebuah tekanan

atau tantangan (Smith, dkk 1990). Sedangkan dimensi-dimensi mental toughness

tersebut antara lain:

1) Thrive though challange merupakan sikap atau penilaian diri untuk mampu

menghadapi suatu tantangan yang berasal dari tekanan internal dan eksternal,
dalam dimensi ini terdapat tujuh atribut, yaitu: (a) Belief in physical and

mental ability, atlet memiliki self belief atas kemampuan fisik dan mental

untuk mampu bangkit saat tertekan, (b) Skill execution under pressure, atlet

12 mampu menunjukan skill dalam keadaan tertekan. (c) Pressure as

challange, atlet menerima sikap tekanan yang diterima sebagai tantangan

terhadap kemampuan diri. (d) Competitivenes, atlet mampu memiliki hasrat

kompetitif untuk menjadi yang terbaik. (e) Bounce back, atlet memiliki

kemampuan untuk bangkit dari kesulitan dengan etos kerja dan tekad. (f)

Concentration, atlet mampu fokus dan konsentrasi pada tujuan yang ingin

dicapai. (g) Presistence, atlet tekun dan memiliki tekad yang kuat untuk

sukses.

2) Sport awareness merupakan sikap dan nilai yang relevan dengan performa

individual atau tim, dalam dimensi ini terdiri dari enam atribut, yaitu: (a)

Aware of individual roles, atlet memiliki kesadaran dan menerima tanggung

jawab individual dalam tim. (b) Understand pressure, atlet memahami setiap

tekanan yang diterima di dalam dan di luar pertandingan. (c) Acceptance of

team role, atlet menerima dan memahami tanggung jawab sebagai bagian

sebuah tim dan mendahului kepentingan tim di atas kepentingan pribadi. (d)

Personal value, atlet memiliki dan berpedoman pada nilai kehidupan yang

dimiliki untuk menjadi atlet dan pribadi unggul. (e) Make sacrifice, atlet

menyadari pengorbanan merupakan usaha untuk meraih kesuksesan tim dan

personal. (f) Accountability, atlet bertanggung jawab atas setiap perilaku dan

tidak mencari alasan ketika gagal.


3) Though attitude merupakan sikap atau penilaian diri yang mendasar untuk

menghadapi tekanan maupun tantangan yang bersifat positif dan negatif,

dalam dimensi ini terdapat lima atribut, yaitu: (a) Distractible, atlet mudah

teralihkan yang ditandai dengan perilaku yang menentu, sporadis dan tidak 13

terkendali. (b) Discipline, atlet memiliki disiplin dalam berprilaku. (c) Give in

to challeges, atlet tidak mudah menyerah dalam menghadapi beragam

tantangan. (d) Physical fatigue and performance, atlet mampu menampilkan

yang terbaik dalam latihan maupun pertandingan meski mengalami kelelahan.

(e) Niggly injuries and performance, atlet mampu menampilkan yang terbaik

dalam latihan dan pertandingan meski mengalami cidera.

4) Desire Success merupakan sikap dan nilai yang dihubungkan dengan

pencapaian atau keberhasilan, dalam dimensi ini terdapat lima atribut, yaitu:

(a) Understanding the game, atlet mengetahui dan memahami aturan

permainan secara utuh. (b) Sacrifice as part of success, atlet memahami

pengorbanan adalah bagian dari kesuksesan. (c) Desire team success, atlet

memiliki keinginan untuk menjadi bagian dari kesuksesan tim. (d) Vision of

success, atlet memiliki visi yang jelas untuk kesuksesan dan mampu

menerapkannya dalam tindakan. (e) Enjoy 50/50 situation, atlet memahami

situasi yang memiliki peluang sama kuat.

Berdasarkan dimensi-dimensi yang diperoleh, maka dalam penelitian ini

peneliti menggunakan keempat dimensi yang dikemukakan oleh Gucciardi dkk

(2008), karena beberapa penelitian terkait mental toughness (ketangguhan mental)


masih belum mampu menghasilkan dimensi yang sama dengan penelitian lain (lihat

Bull dkk., 2005; Middleton dkk., 2004; Gucciardi dkk., 2008; Jones, 2002; Loehr

dalam Newland, 2009). Hal ini disebabkan karena ketangguhan mental merupakan

variabel baru dalam kajian psikologi olahraga (Gucciardi dkk., 2008). Dalam usaha

14 mencapai kesamaan persepsi maka dalam penelitian ini menggunakan keempat

dimensi tersebut.

3. Faktor yang Mempengaruhi Mental Toughness

Adapun faktor utama yang mempengaruhi mental toughness (ketangguhan

mental) yaitu situasi umum dan situasi kompetitif (Gucciardi dkk., 2008). Situasi

umum terdiri dari lima faktor, yaitu:

1 Cedera dan rehabilitasi

Faktor ini berkaitan dengan cedera yang dialami dan proses

rehabilitasi sehingga menyebabkan perubahan rutinitas dan membuat

penyesuaian yang dibutuhkan oleh atlet.

2 Persiapan

Faktor ini berkaitan terhadap latihan dan kompetisi guna melakukan

kegiatan lebih baik di atas rata-rata orang lain dengan kemampuan terbaik.

3 Bentuk tantangan

Faktor ini berkaitan dengan performa individu maupun tim, baik pada

saat keadaan unggul maupun keadaan buruk atau tertinggal dari lawan.

4 Tekanan sosial
Faktor ini berkaitan dengan teman dan lingkungan sosial sehingga

memungkinkan atlet kehilangan kontrol atas dirinya dan olahraga yang

ditekuni.

5 Komitmen yang seimbang

Faktor ini berkaitan dengan komitmen atlet yang seimbang antara

olahraga yang ditekuni dengan kehidupan di luar olahraga, terutama yang

berhubungan dengan manajemen waktu dan disiplin. Selain itu, situasi

kompetitif terdiri atas faktor tekanan eksternal dan internal. Tekanan internal

merupakan tekanan yang berasal dari atlet seperti kelelahan ketika self-belief

atlet berkurang, sedangkan tekanan ekternal merupakan tekanan yang berasal

dari luar atlet yang terdiri atas:

1. Kondisi lingkungan ketika bermain Faktor ini berkaitan dengan keadaan

lingkungan dan kondisi saat pertandingan berlangsung, misalnya bermain sebagai tim

tamu, cuaca, keputusan wasit, dan lain sebagainya.

2. Variabel pertandingan Faktor ini merupakan beberapa variabel seperti,

mendapat tantangan secara individual oleh lawan, resiko fisik atau cedera, ketika

sedang unggul bermain baik, dan lain sebagainya.


B. Copetitive Anxiety (Kecemasan Bertanting)

1) Pengertian Competitive Anxiety

Competitive anxiety (kecemasan bertanding) berasal dari kata cemas yang

merupakan proses psikologis dari perasaan yang tidak menyenangkan, Anxiety

(kecemasan) dibagi menjadi dua jenis yaitu trait anxiety dan state anxiety, di mana

trait anxiety merupakan dimensi kepribadian, sedangkan state anxiety merupakan

perasaan subjektif (Ansel, dalam Saputra, 2012). Kecemasan merupakan salah satu

dari sekian banyak persoalan yang dihadapi atlet, di mana kecemasan merupakan

perasaan campuran berisikan ketakutan dan berisi keprihatinan mengenai masa- 16

masa yang akan datang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut (Chaplin, 2001).

Sedangkan menurut Jamshidi, dkk (2011) menerangkan kecemasan adalah reaksi

emosi menghadapi situasi yang dipersepsikan mengancam dan tidak menyenangkan

yang individu tersebut tidak mengetahui secara jelas sumbernya. Kecemasan muncul

dengan tanda-tanda keringat bercucuran, denyut jantung yang berdebar cepat, tangan

yang dingin dan berkeringat, mulut kering, sering buang air kecil, dan nafas akan

terasa sesak ketika atlet mengalami gangguan psikis seperti kecemasan, stres, dan

bahkan depresi (Ramaiah, 2003). Sedangkan Ciptaningtias (2011) menerangkan salah

satu faktor yang mempengaruhi performa atlet di lapangan adalah kecemasan.

Kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang dialami oleh seseorang,

dimana ia merasa tegang tanpa sebab-sebab yang nyata dan keadaan ini memberikan

pengaruh yang tidak menyenangkan serta mengakibatkan perubahanperubahan pada

tubuhnya baik secara somatik maupun psikilogis. Straub (dalam Husdarta, 2010)
menyatakan bahwa kecemasan adalah reaksi situasional terhadap berbagai rangsang

stres atau ketegangan. Apabila ketegangan-ketegangan yang dimiliki atlet berlebihan

dan melebihi batas normal atlet akan mengalami kecemasan.

Geist (dalam Gunarsa, 2008) secara lebih jelas merumuskan kecemasan

sebagai suatu ketegangan mental yang biasanya disertai dengan gangguan tubuh yang

menyebabkan individu yang bersangkutan merasa tidak berdaya dan mengalami

kelelahan karena senantiasa harus berada dalam keadaan waspada terhadap ancaman

bahaya yang tidak jelas. Gambaran tentang musuh yang lebih kuat, tentang kondisi

fisik yang tidak cukup bagus, even yang sangat besar atau semua 17 orang menaruh

harapan yang berlebihan bisa mengakibatkan adanya kecemasan yang berlebihan.

Kecemasaan adalah kondisi yang umum di hadapi oleh siapa saja saat akan

menghadapi sesuatu yang penting, termasuk juga para atlet. Rasa cemas muncul

karena ada bayangan-bayangan yang salah atau pun persepsi berkaitan dengan

pertandingan yang akan dihadapi. Pertandingan sangatlah penting artinya bagi

seorang atlet untuk menunjukkan prestasi dan kemampuannya setelah melakukan

berbagai pelatihan dengan berusaha untuk mencapai kemenangan dan mengalahkan

setiap lawan didalam pertandingan. Pertandingan olahraga terutama olahraga

kompetitif akan menimbulakan kecemasan. Kecemasan ini akan selalu menghantui

baik para atlet maupun official. Kecemasaan ini bisa muncul sebelum bertanding atau

selama pertandingan, dan pada gilirannya kecemasan ini akan dapat mengganggu

penampilan mereka.
Menurut Cratty (dalam Harsono, 1986) mengatakan tingkat kecemasaan

umumnya berubah-ubah sebelum, selama, dan mendekati akhir pertandingan.

Biasanya sebelum pertandingan, kecemasaan naik disebabkan oleh bayangan akan

beratnya tugas atau pertandingan yang akan terjadi. Sedangkan selama pertandingan

berlangsung, kecemasaan biasanya menurun. Hal ini disebabkan karena atlet sudah

mulai mengadaptasikan dirinya dengan situasi pertandingan sehingga keadaan sudah

dapat dikuasainya, dan mendekati akhir pertandingan, tingkat kecemasaan biasanya

mulai naik kembali, terutama apabila skor pertandingan sama atau hanya berbeda

sedikit saja. Menurut Putri (dalam Amir, 2004) menjelaskan bahwa kecemasan yang

timbul saat akan menghadapi pertandingan disebabkan karena atlet banyak

memikirkan akibat-akibat 18 yang akan diterimanya apabila mengalami kegagalan

atau kalah dalam pertandingan.

Berkaitan dengan kondisi fisik orang cemas, secara umum respons

kecemasan dapat dilihat melalui respons psikologis maupun respons fisiologis (Tallis,

1995). Respons psikologis kecemasan dapat ditunjukkan melalui rasa tegang, gelisah,

mudah tersinggung, merasa tidak nyaman, sedangkan respons fisiologis antara lain

ditandai dengan keringat dingin, tekanan darah meningkat, jantung berdebar-debar.

Unsur yang paling dominan menyebabkan kecemasan adalah unsur kognitif yakni

kekhawatiran dan pikiran negatif bahwa proses dan hasil pertandingan dapat

mengancam posisi atlet (Smith & Sarason, 1993). Anshel (2007) menjelaskan bahwa

kecemasan olahraga menggambarkan perasaan atlet bahwa sesuatu yang tidak

dikehendaki akan terjadi. Hal yang tidak dikehendaki misalnya atlet tampil buruk,
lawannya dipandang superior, atlet akan mengalami kekalahan, kekalahaan

menyebabkan dirinya dicemooh dan seterusnya membentuk kecemasan berantai.

Kondisi ini memberikan dampak yang sangat tidak menguntungkan pada atlet,

apalagi jika rasa percaya diri atlet kurang tinggi. Atlet cenderung tampil kaku,

bingung, dan gerakan-gerakannya menjadi kurang terkontrol dengan baik. Spielbelger

(1972) menerjemahkan kecemasan sebagai takut mengalami kegagalan atau takut

menderita kekalahan. Spielbelger juga mendefinisikan pikiran negatif berhubungan

dengan anggapan mengenai bahaya yang akan menimpa diri. Ardiansyah (2014)

berpendapat baik atau buruknya kemampuan seorang atlet di lapangan akan

mempengaruhi keadaan psikologis atlet tersebut khususnya pada perasaan seperti

kecemasan.

Adapun atlet tentunya memiliki tingkat kecemasan yang berbeda-beda

tergantung dari kekhawatiran yang dialami oleh setiap atlet. Atkinson (1999)

mengatakan kecemasan merupakan emosi yang tidak menyenangkan, seperti perasaan

tidak enak, perasaan kacau, was-was, dan ditandai dengan istilah kekhawatiran,

keprihatinan, dan rasa takut yang kadang dialami dalam tingkat dan situasi yang

berbeda-beda. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan atlet dalam

olahraga terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal, di mana faktor

internal meliputi kepercayaan diri, kecemasan bawaan, posistif-negatif-affect,

sedangkan faktor eksternal meliputi pelatihan, skill level, cabang olahraga yang

digeluti, situasi pertandingan, dan pengalaman bertanding (Ardini & Jannah, 2017).
Competitive anxiety (kecemasan bertanding) merupakan salah satu tipe

kecemasan yang dalam beberapa tahun terakhir telah dipertimbangkan di bidang

psikologi khususnya psikologi olahraga. Competitive anxiety (kecemasan bertanding)

merupakan reaksi emosional negatif atlet ketika harga dirinya dirasa terancam, karena

menganggap pertandingan sebagai tantangan yang berat, dan akan selalu megingat

kemampuan penampilannya, yang berdampak pada perilaku bertanding (Smith,

Smoll, & Schutz, 1990). Competitive anxiety (kecemasan bertanding) merupakan

perasaan khawatir, gelisah, dan tidak tenang dengan mengaggap pertandingan sebagai

sesuatu yang membahayakan (Martens dkk, dalam Smith dkk., 1990). Kecemasan

bertanding ini biasanya akan mengganggu penampilan atlet karena muncul perasaan

takut untuk gagal atau menimbulkan beban moral jika tidak bisa menang (Miftah,

2017).

Juriana (2012) mengatakan bahwa performa yang tidak optimal dapat terjadi

karena atlet mengalami kecemasan yang berlebihan saat pertandingan, konsentrasinya

menurun sehingga teknik yang dikuasainya juga berkurang. Keberhasilan atlet dalam

berprestasi tidak terlepas dari faktor-faktor psikologis yang menjadi kunci

keberhasilan berprestasi. Menurut Pahlevi (dalam Firmansyah, 2007) berpendapat

bahwa kecemasan merupakan suatu kecenderungan untuk mempersepsikan situasi

sebagai ancaman dan akan mempengaruhi tingkah laku. Kepercayaan diri dan

keyakinan akan kemampuan diri merupakan salah satu faktor yang menunjang

seorang atlet dalam berprestasi (Adisasmito, 2007).


Kepercayaan diri akan menjadi modal besar bagi para atlet, karena keyakinan

untuk kemampuan segala kelebihan dan kemampuan yang dimiliki akan mendorong

seorang atlet untuk mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu meraih prestasi yang

gemilang. Cox (2002) menegaskan, bahwa kepercayaan diri secara umum merupakan

bagian penting dari karakteristik kepribadian seseorang yang dapat memfasilitasi

kehidupan seseorang. Lebih lanjut, dikatakan bahwa kepercayaan diri yang rendah

akan memiliki pengaruh negatif terhadap penampilan atlet. Kurangnya rasa percaya

diri pada atlet tidak akan menunjang tercapainya prestasi yang tinggi. Kurang percaya

diri berarti juga meragukan kemampuan diri sendiri dan cenderung untuk

mempersepsikan segala sesuatu dari sisi negatif, sehingga menjadi bibit ketegangan

khususnya pada waktu menghadapi pertandingan melawan kekuatannya yang

seimbang maupun kekuatannya yang lebih baik. Maka ketegangan tersebut akan

berakhir pada kegagalan. Brown (dalam Hartanti, dkk., 2004) menyatakan bahwa

konsentrasi dan percaya diri 21 memungkinkan seorang atlet mengeliminasi hal-hal

yang tidak relevan dan dapat menguasai situasi permainan termasuk lawan mainnya

dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara operasional

competitive anxiety (kecemasan bertanding) merupakan suatu perilaku atau tindakan

seseorang khususnya atlet terhadap reaksi emosi negatif, seperti, gelisah, khawatir,

tidak tenang, tegang, dan takut ketika harga dirinya terancam, dan menganggap

pertandingan sebagai sesuatu yang membahayakan sehingga mengakibatkan

kekalahan. Selain itu, kecemasan bertanding berasal dari kata cemas atau secara
psikologis adalah perasaan tidak menyenangkan dan merupakan kepribadian (trait

anxiety) maupun perasaan subjektif dari luar (state anxiety) pada atlet

2) Aspek-aspek Kepribadian Competitive Anxiety

Competitive anxiety (kecemasan bertanding) sendiri memiliki empat aspek

kepribadian yang dapat diukur (Smith et al., 1990), yaitu:

1. Cognitive

merupakan suatu kejadian pada pikiran individu yang mencerminkan

gejala dan gangguan kecemasan dalam berolahraga sehingga

mempengaruhi tindakan dalam bertanding, seperti tidak bisa

berkonsentrasi, berfikir tentang hal-hal yang tidak berhubungan, dan

pikiran negatif yang menganggu konsentrasi.

2. Affective

merupakan suatu kejadian pada perasaan individu yang mencerminkan

gejala dan gangguan kecemasan dalam olahraga sehingga mempengaruhi

tindakan dalam bertanding, seperti cepat merasa putus asa, sembrono, dan

memiliki keraguan diri.

3. Somatic

merupakan sautau kejadian persepsi dari gairag fisiologis pada

individu mencerminkan gejala dan gangguan kecemasan dalam

berolahraga sehingga mempengaruhi tindakan dalam bertanding, seperti


keadaan jantung yang berdebar-debar, ingin buang air kecil, berkeringat

dingin, dan sukar tidur.

4. Motoric

merupakan suatu kejadian fisik (otot-otot) pada individu secara tidak

wajar yang mencerminkan gejala dan gangguan kecemasan dalam

berolahraga sehingga mempengaruhi tindakan dalam bertanding, seperti

keadaan raut muka dan dahi berkerut, gemetar, kaki terasa berat, sering

menggaruk-garuk kepala, otot-otot sakit. Adapun faktor yang

mempengaruhi competitive anxiety (kecemasan bertanding) pada atlet

antara lain, takut gagal dalam pertandingan, takut akan akibat sosial atas

mutu perestasi yang dimiliki, takut kalau cidera atau menciderai lawan,

takut fisiknya tidak mampu menyelesaikan tugasnya untuk bertanding

dengan baik, dan tuntutan merubah sesuatu tanpa ada latihan (Cox, 2003).

3) Sumber-Sumber Yang Menimbulkan Kecemasan

Sumber kecemaan bermacam-macam seperti tuntutan sosial yang berlebihan

dan tidak atau belum dapat dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, standar

prestasi individu yang terlalu tinggi dengan kemampuan yang dimilikinya, seperti

misalnya kecenderungan perfeksionis, perasaan rendah diri pada individu yang

bersangkutan, kekurang siapan individu sendiri untuk menghadapi situasi yang ada,

pola fikir dan persepsi negative terhadap situasi yang ada ataupun terhadap diri

sendiri (Firmansyah, 2007). Gunarsa (2008) mengatakan bahwa terdapat

sumbersumber yang menimbulkan kecemasan yaitu :


a. Sumber kecemasan dari dalam, mempunyai arti bahwa terdapat

sumbersumber yang menimbulkan kecemasan yaitu :

1. Seseorang atlet menghadapi lawan yang ulet dan cermat, sehingga

lawan itu mampu mengantisipasi setiap serangan yang ia lakukan.

Akibatnya atlet tersebut akan merasa terdesak dan selanjutnya

tidak mampu lagi menguasai situasi yang sedang dihadapinya.

2. Perasaan-perasaan yang memberikan beban mental pada diri atlet itu

sendiri, misalnya : atlet merasa bermain bagus sekali. Demikian

pula pada perasaan sebaliknya, yang seakan-akan dia telah

menjatuhkan vonis pada diri sendiri bahwa dia tidak akan

mencapai sukses.

3. Dicemooh atau dimarahi akan menimbulkan reaksi pada diri atlet.

Reaksi tersebut akan tetap bertahan, sehingga menjadi sesuatu

yang menekan dan menimbulkan frustasi yang mengganggu

pelaksanaan tugas.

4. Bila dalam diri atlet ada pikiran atau rasa puas diri, maka dia telah

menanamkan benih-benih stress pada diri sendiri. Atlet akan

dituntut oleh diri sendiri untuk mewujudkan sesuatu yang mungkin

berada diluar kemampuannya. Bia demikian keadaannya, maka

sebenarnya atlet itu telah menerima tekanan yang tidak disadari

(Firmansyah, 2007).
b. Sumber-sumber dari luar, diartikan sebagai kecemasan dari luar diri

atlet. Adapun beberapa faktor yang menimbulkan kecemasan sebagai

berikut :

1 Rangsangan yang membingungkan Salah satu bentuk rangsang

yang membingungkan adalah komentar anggota pengurus atau

pelatih yang merasa berkompeten untuk melakukan koreksi,

strategi atau teknik yang harus diterapkan serta petunjuk lain

pada atlet. Menerima beberapa petunjuk dan perintah sekaligus

akan membingungkan atlet.

2 Pengrauh massa penonton Massa penonton, terlebih yang masih

asing, dapat mempengaruhi kestabilan mental atlet. Penonton

juga memainkan peranan yang sangat berarti dalam suasana

pertandingan. Pengaruh mereka terhadap atlet bisa dalam bentuk

negatif seperti ; tindakan agresif berupa cemoohan terhadap atlet

itu sendiri, disamping pengaruh yang merugikan, adapula

pengaruh yang dapat membangkitkan semangat atau rasa percaya

diri, sehingga dalam situasi yang kritis atlet merasa masih ada

yang mendukungnya dan selanjutnya secara berangsur-angsur ia

mampu menguasai keadaan kembali dan melanjutkan

penampilanyang lebih baik.

3 Saingan yang bukan tandingannya Apabila atlet mengetahui

lawan yang akan dihadapi adalah atlet peringkat diatasnya atau

lebih unggul daripada dirinya, maka dalam hati kecil atlet


tersebut telah timbul pengakuannya aka ketidak mampuannya

untuk menang. Situasi tersebut akan menyebabkan berkurangnya

kepercayaan pada diri sendiri. Setiap kali berbuat kesalahan, ia

makin menyalahkan diri sendiri.

4 Kehadiran atau ketidakhadiran pelatih Pelatih tidak hadir pada

saat pertandingan berlangsung sehingga membuat atlet kurang

mendapat petunjuk, motivasi dari pelatihnya karena mungkin

bagi atlet tersebut pelatihnya bisa dipercaya dalam memberikan

arahanarahan yang baik untuk memenangi pertandingan. Namun

bisa juga atlet tersebut merasa tertekan karena tuntutan pelatih

yang terlalu tinggi, sehingga atlet kurang konsentrasi dalam

pertandingan (Firmansyah, 2007). Menurut Cratty (dalam

Husdarta, 2010) hubungan antara kecemasan dengan

pertandingan:

a. Pada umumnya kecemasan meningkat sebelum pertandingan yang

disebabkan oleh bayangan akan beratnya tugas dan pertandingan

yang akan datang.

b. Selama pertandingan berlangsung, tingkat kecemasan mulai

menurun karena sudah mulai adaptasi.

c. Mendekati akhir pertandingan, tingkat kecemasan mulai naik lagi,

terutama apabila skor pertandingan kalah atau hanya imbang


C. Hubungan Ketangguhan Mental (Mental Toughness) Terhadap

Kecemasan Bertanding (Competitive Anxiety)

Competitive anxiety (kecemasan bertanding) merupakan suatu perilaku atau

tindakan seseorang khususnya atlet terhadap reaksi emosi negatif, seperti, gelisah,

khawatir, tidak tenang, tegang, bahkan takut ketika harga dirinya terancam yang

menganggap pertandingan sebagai sesuatu yang membahayakan sehingga

mengakibatkan kekalahan (Smith dkk., 1990). Sedangkan mental toughness

(ketangguhan mental) merupakan sikap atau penilaian diri terhadap reaksi emosi

positif seseorang khususnya atlet untuk mengatasi kendala, kesulitan, bahkan tekanan,

agar tetap menjaga konsentrasi dan motivasi yang merupakan ketetapan hati dari

energi positif untuk mencapai suatu tujuan dalam bertahan disepanjang pertandingan

(Gucciardi dkk., 2008).

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa keduanya memiliki

keterkaitan, di mana competitive anxiety yang dirasakan atlet dapat mempengaruhi

performa saat bertanding, dampaknya menyebabkan atlet tidak dapat menampilkan

performa terbaik sehingga berujung pada kekalahan. Salah satu faktor yang berperan

dalam terbentuknya competitive anxiety atlet adalah faktor internal yaitu faktor

mental, di mana faktor mental yang kuat dapat membuat atlet merasa tenang dalam

situasi tertekan dan mengurangi rasa cemas yang dirasakan. Salah satu bentuk faktor

mental yang dapat mempengaruhi competitive anxiety atlet saat menghadapi

pertandingan adalah mental toughness atau ketangguhan mental (Forastero, 2016).


Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan negatif

atau berlawanan yang artinya terdapat hubungan antara competitive anxiety yang

merupakan perilaku negatif dan mental toughness yang merupakan suatu penilaian

diri positif yang ditunjukkan ketika mendapatkan suatu tekanan, terutama tekanan

dalam menghadapi suatu pertandingan. Hal tersebut juga diperkuat dengan dimensi

dari mental toughness yang cenderung thrive though challege atau mampu

menghadapi tantangan, sport awareness atau mampu bekerja dalam tim, though

attitude atau mampu menghadapi tekanan, desire success atau selalu berfikir optimis

untuk mencapai keberhasilan, di mana terlihat sekali dari dimensi-dimensi tersebut

berbanding terbalik dengan atribut competitive anxiety seperti kecemasan kognitif,

kecemasan afektif, kecemasan motorik dan kecemasan somatik yang cenderung selalu

berprasangka khawatir, ketakutan akan gagal, jantung berdebardebar, gelisah, tegang,

dan sembrono dalam menghadapi sebuah tekanan atau tantangan.

Selain itu, untuk memperkuat kedua variabel penelitian psikologi ini

khususnya psikologi olahraga, di mana keduaya memiliki suatu hal yang sama yaitu

competitive (kompetisi) yaitu competitive anxiety (kecemasan bertanding)

merupakan suatu keadaan negatif (cemas) di suatu pertandingan, hal tersebut

menunjukkan suatu hubungan yaitu di dalam dimensi mental toughness tepatnya

thrive though challenge terdapat atribut competitivenes atau kompetisi yang

cenderung positif dalam bertanding.

Oleh karena itu, dari kedua varibel tersebut, baik variabel mental toughness

maupun competitive anxiety sama-sama merupakan aspek psikologis yang ada di


dalam diri individu khususnya atlet, namun yang satu lebih mengarah pada keadaan

positif dan yang satu lebih mengarah pada keadaan negatif dalam menghadapi suatu

tekanan, khusunya tekanan dalam bertanding (Smith dkk., 1990 & Gucciardi dkk.,

2008)

Anda mungkin juga menyukai