Bab II Landasan Teori BLM Di Revisi
Bab II Landasan Teori BLM Di Revisi
Bab II Landasan Teori BLM Di Revisi
LANDASAN TEORI
seseorang untuk mampu melestarikan dan mengatasi kendala, kesulitan, atau tekanan
yang dialami, namun tetap menjaga konsentrasi dan motivasi agar konsisten dalam
mencapai suatu tujuan (Gucciardi et al, 2008). Komponen penting yang dapat
Mental toughness dapat menjadikan seorang atlet untuk tetap merasa rileks,
dalam suatu pertandingan (Jones, 2010). Selain itu, mental toughness merupakan
ketetapan hati pada tingkat tinggi, menolak ditekan namun harus mampu untuk tetap
fokus pada situasi menekan, serta kapasitas untuk bertahan di sepanjang pertandingan
(Cashmore, 2008).
yang dapat dilihat pada saat melakukan latihan atau pertandingan (Jones, 2010).
Mental toughness pada atlet akan memperlihatkan kegigihan yang luar biasa meski
secara objektif tidak ada harapan untuk memenangkan suatu pertandingan (Gunarsa,
seseorang untuk berperilaku atau bertindak. Sesuai dengan penjelasan Fahmi (2013)
bahwa kondisi mental sangatlah penting dan perlu disiapkan sebaikbaiknya, bahkan
Disamping kekuatan fisik dan teknik yang dimiliki seorang atlet, faktor mental juga
Pengaruh faktor mental pada atlet secara khusus terlihat ketika sedang
bertanding, terlihat dari kuat lemahnya dorongan untuk meraih prestasi dan
1996) penampilan puncak seorang atlet 80% dipengaruhi oleh mental dan hanya 20%
dipengaruhi oleh aspek lainnya. Ketangguhan mental memiliki pengaruh cukup besar
terhadap peningkatan performa atlet pada saat bertanding. Bagi atlet, bertanding
bukan hanya persoalan tentang memenangkan dan mengalahkan lawan, namun juga
kemampuan untuk mengalahkan rasa takut dalam diri. Dalam bidang olahraga,
keyakinan akan kemampuan diri sangat berpengaruh terhadap performance para atlet
(Sugiono, 2008)
teknik, dan taktis yang dimiliki atlet cenderung sama, ketangguhan mental merupakan
pembeda antara atlet baik dengan atlet hebat. Gucciardi dkk. (2008) melakukan
penelitian ketangguhan mental dalam olahraga beregu yaitu football (Gucciardi
elit. Data verbatim yang diperoleh kemudian dianalisis dan menghasilkan tiga
characteristic, kategori ini terdiri atas sebelas karakteristik yang dianggap sebagai
sport intelligence, dan ketangguhan fisik). Dua kategori lain yaitu situasi dan
ketangguhan mental seperti ketika dalam keadaan cedera, sedang menjalani masa
rehabilitasi cedera, persiapan untuk latihan dan kompetisi, tantangan di dalam dan di
luar lapangan, tekanan sosial, serta tekanan internal (kelelahan dan kurang percaya
diri), dan tekanan eksternal (situasi ketika bertanding, suporter, dan resiko fisik).
Situasi ini merupakan faktor yang mempengaruhi atau keadaan yang membutuhkan
ketangguhan mental didalam diri atlet. Atlet sendiri juga jarang menyadari bahwa
kegagalan untuk mencapai targetnya lebih karena persiapan strategi mental yang
minim atau bahkan dapat dibilang tidak memadai. Baru setelah kompetisi, persentase
terbesar dari alasan biasanya dikaitkan dengan aspek mental dan emosional dalam
permainan (Setyawan, 2017). Seperti yang diungkapkan oleh Zizzi,dkk (2003) bahwa
seorang atlet harus dapat mengenali emosi diri, teman kelompok, dan emosi musuh
permasalahan yang dihadapi atlet terkait dengan 10 mental adalah kecemasan. Hal ini
mental dalam pertandingan yang berpengaruh pada performa atlet adalah kecemasan
bertanding. Selain itu didukung pula dengan penelitian dilakukan Parnabas (2015)
kepada 119 pemain bola voli yang terdiri national athletes, state athletes, district
pertandingan memiliki hubungan yang negatif terhadap performa. Bukan hanya pada
pemain sepak bola saja, Parnabas (2015) juga meneliti pada olahraga sepak takraw.
Pada taraf tertentu kecemasan memang dapat menyebabkan kesalahan, namun apabila
kegairahan, kecemasan akan membantu untuk performa yang lebih baik (Parnabas,
2015).
kesulitan selama bertanding. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Khan,
mental dengan performa atlet. Ketangguhan mental bermanfaat agar atlet mampu
bertahan dan melalui beragam hambatan, kesusahan, atau tekanan yang dialami
2016). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Algani, dkk (2018) pada atlet
bola voli menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara ketangguhan mental
mampu seorang atlet untuk bersikap positif terhadap tekanan maka semakin rendah
mental toughness (ketangguhan mental) merupakan suatu sikap atau penilaian diri
terhadap reaksi emosi positif khususnya atlet untuk mengatasi kendala, kesulitan,
bahkan tekanan, agar tetap menjaga konsentrasi dan motivasi yang merupakan
ketetapan hati dari energi positif untuk mencapai suatu tujuan dalam bertahan
disepanjang pertandingan,
dimensi yang dirumuskan oleh (Gucciardi,dkk 2009). Di mana terlihat sekali dari
somatik yang cenderung selalu berprasangka khawatir, ketakutan akan gagal, jantung
1) Thrive though challange merupakan sikap atau penilaian diri untuk mampu
menghadapi suatu tantangan yang berasal dari tekanan internal dan eksternal,
dalam dimensi ini terdapat tujuh atribut, yaitu: (a) Belief in physical and
mental ability, atlet memiliki self belief atas kemampuan fisik dan mental
untuk mampu bangkit saat tertekan, (b) Skill execution under pressure, atlet
kompetitif untuk menjadi yang terbaik. (e) Bounce back, atlet memiliki
kemampuan untuk bangkit dari kesulitan dengan etos kerja dan tekad. (f)
Concentration, atlet mampu fokus dan konsentrasi pada tujuan yang ingin
dicapai. (g) Presistence, atlet tekun dan memiliki tekad yang kuat untuk
sukses.
2) Sport awareness merupakan sikap dan nilai yang relevan dengan performa
individual atau tim, dalam dimensi ini terdiri dari enam atribut, yaitu: (a)
jawab individual dalam tim. (b) Understand pressure, atlet memahami setiap
team role, atlet menerima dan memahami tanggung jawab sebagai bagian
sebuah tim dan mendahului kepentingan tim di atas kepentingan pribadi. (d)
Personal value, atlet memiliki dan berpedoman pada nilai kehidupan yang
dimiliki untuk menjadi atlet dan pribadi unggul. (e) Make sacrifice, atlet
personal. (f) Accountability, atlet bertanggung jawab atas setiap perilaku dan
dalam dimensi ini terdapat lima atribut, yaitu: (a) Distractible, atlet mudah
teralihkan yang ditandai dengan perilaku yang menentu, sporadis dan tidak 13
terkendali. (b) Discipline, atlet memiliki disiplin dalam berprilaku. (c) Give in
(e) Niggly injuries and performance, atlet mampu menampilkan yang terbaik
pencapaian atau keberhasilan, dalam dimensi ini terdapat lima atribut, yaitu:
pengorbanan adalah bagian dari kesuksesan. (c) Desire team success, atlet
memiliki keinginan untuk menjadi bagian dari kesuksesan tim. (d) Vision of
success, atlet memiliki visi yang jelas untuk kesuksesan dan mampu
Bull dkk., 2005; Middleton dkk., 2004; Gucciardi dkk., 2008; Jones, 2002; Loehr
dalam Newland, 2009). Hal ini disebabkan karena ketangguhan mental merupakan
variabel baru dalam kajian psikologi olahraga (Gucciardi dkk., 2008). Dalam usaha
dimensi tersebut.
mental) yaitu situasi umum dan situasi kompetitif (Gucciardi dkk., 2008). Situasi
2 Persiapan
kegiatan lebih baik di atas rata-rata orang lain dengan kemampuan terbaik.
3 Bentuk tantangan
Faktor ini berkaitan dengan performa individu maupun tim, baik pada
saat keadaan unggul maupun keadaan buruk atau tertinggal dari lawan.
4 Tekanan sosial
Faktor ini berkaitan dengan teman dan lingkungan sosial sehingga
ditekuni.
kompetitif terdiri atas faktor tekanan eksternal dan internal. Tekanan internal
merupakan tekanan yang berasal dari atlet seperti kelelahan ketika self-belief
lingkungan dan kondisi saat pertandingan berlangsung, misalnya bermain sebagai tim
mendapat tantangan secara individual oleh lawan, resiko fisik atau cedera, ketika
(kecemasan) dibagi menjadi dua jenis yaitu trait anxiety dan state anxiety, di mana
perasaan subjektif (Ansel, dalam Saputra, 2012). Kecemasan merupakan salah satu
dari sekian banyak persoalan yang dihadapi atlet, di mana kecemasan merupakan
masa yang akan datang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut (Chaplin, 2001).
yang individu tersebut tidak mengetahui secara jelas sumbernya. Kecemasan muncul
dengan tanda-tanda keringat bercucuran, denyut jantung yang berdebar cepat, tangan
yang dingin dan berkeringat, mulut kering, sering buang air kecil, dan nafas akan
terasa sesak ketika atlet mengalami gangguan psikis seperti kecemasan, stres, dan
dimana ia merasa tegang tanpa sebab-sebab yang nyata dan keadaan ini memberikan
tubuhnya baik secara somatik maupun psikilogis. Straub (dalam Husdarta, 2010)
menyatakan bahwa kecemasan adalah reaksi situasional terhadap berbagai rangsang
sebagai suatu ketegangan mental yang biasanya disertai dengan gangguan tubuh yang
kelelahan karena senantiasa harus berada dalam keadaan waspada terhadap ancaman
bahaya yang tidak jelas. Gambaran tentang musuh yang lebih kuat, tentang kondisi
fisik yang tidak cukup bagus, even yang sangat besar atau semua 17 orang menaruh
Kecemasaan adalah kondisi yang umum di hadapi oleh siapa saja saat akan
menghadapi sesuatu yang penting, termasuk juga para atlet. Rasa cemas muncul
karena ada bayangan-bayangan yang salah atau pun persepsi berkaitan dengan
baik para atlet maupun official. Kecemasaan ini bisa muncul sebelum bertanding atau
selama pertandingan, dan pada gilirannya kecemasan ini akan dapat mengganggu
penampilan mereka.
Menurut Cratty (dalam Harsono, 1986) mengatakan tingkat kecemasaan
beratnya tugas atau pertandingan yang akan terjadi. Sedangkan selama pertandingan
berlangsung, kecemasaan biasanya menurun. Hal ini disebabkan karena atlet sudah
mulai naik kembali, terutama apabila skor pertandingan sama atau hanya berbeda
sedikit saja. Menurut Putri (dalam Amir, 2004) menjelaskan bahwa kecemasan yang
kecemasan dapat dilihat melalui respons psikologis maupun respons fisiologis (Tallis,
1995). Respons psikologis kecemasan dapat ditunjukkan melalui rasa tegang, gelisah,
mudah tersinggung, merasa tidak nyaman, sedangkan respons fisiologis antara lain
Unsur yang paling dominan menyebabkan kecemasan adalah unsur kognitif yakni
kekhawatiran dan pikiran negatif bahwa proses dan hasil pertandingan dapat
mengancam posisi atlet (Smith & Sarason, 1993). Anshel (2007) menjelaskan bahwa
dikehendaki akan terjadi. Hal yang tidak dikehendaki misalnya atlet tampil buruk,
lawannya dipandang superior, atlet akan mengalami kekalahan, kekalahaan
Kondisi ini memberikan dampak yang sangat tidak menguntungkan pada atlet,
apalagi jika rasa percaya diri atlet kurang tinggi. Atlet cenderung tampil kaku,
dengan anggapan mengenai bahaya yang akan menimpa diri. Ardiansyah (2014)
kecemasan.
tergantung dari kekhawatiran yang dialami oleh setiap atlet. Atkinson (1999)
tidak enak, perasaan kacau, was-was, dan ditandai dengan istilah kekhawatiran,
keprihatinan, dan rasa takut yang kadang dialami dalam tingkat dan situasi yang
berbeda-beda. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan atlet dalam
olahraga terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal, di mana faktor
sedangkan faktor eksternal meliputi pelatihan, skill level, cabang olahraga yang
digeluti, situasi pertandingan, dan pengalaman bertanding (Ardini & Jannah, 2017).
Competitive anxiety (kecemasan bertanding) merupakan salah satu tipe
merupakan reaksi emosional negatif atlet ketika harga dirinya dirasa terancam, karena
menganggap pertandingan sebagai tantangan yang berat, dan akan selalu megingat
perasaan khawatir, gelisah, dan tidak tenang dengan mengaggap pertandingan sebagai
sesuatu yang membahayakan (Martens dkk, dalam Smith dkk., 1990). Kecemasan
bertanding ini biasanya akan mengganggu penampilan atlet karena muncul perasaan
takut untuk gagal atau menimbulkan beban moral jika tidak bisa menang (Miftah,
2017).
Juriana (2012) mengatakan bahwa performa yang tidak optimal dapat terjadi
menurun sehingga teknik yang dikuasainya juga berkurang. Keberhasilan atlet dalam
sebagai ancaman dan akan mempengaruhi tingkah laku. Kepercayaan diri dan
keyakinan akan kemampuan diri merupakan salah satu faktor yang menunjang
untuk kemampuan segala kelebihan dan kemampuan yang dimiliki akan mendorong
seorang atlet untuk mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu meraih prestasi yang
gemilang. Cox (2002) menegaskan, bahwa kepercayaan diri secara umum merupakan
kehidupan seseorang. Lebih lanjut, dikatakan bahwa kepercayaan diri yang rendah
akan memiliki pengaruh negatif terhadap penampilan atlet. Kurangnya rasa percaya
diri pada atlet tidak akan menunjang tercapainya prestasi yang tinggi. Kurang percaya
diri berarti juga meragukan kemampuan diri sendiri dan cenderung untuk
mempersepsikan segala sesuatu dari sisi negatif, sehingga menjadi bibit ketegangan
seimbang maupun kekuatannya yang lebih baik. Maka ketegangan tersebut akan
berakhir pada kegagalan. Brown (dalam Hartanti, dkk., 2004) menyatakan bahwa
yang tidak relevan dan dapat menguasai situasi permainan termasuk lawan mainnya
dengan baik.
seseorang khususnya atlet terhadap reaksi emosi negatif, seperti, gelisah, khawatir,
tidak tenang, tegang, dan takut ketika harga dirinya terancam, dan menganggap
kekalahan. Selain itu, kecemasan bertanding berasal dari kata cemas atau secara
psikologis adalah perasaan tidak menyenangkan dan merupakan kepribadian (trait
anxiety) maupun perasaan subjektif dari luar (state anxiety) pada atlet
1. Cognitive
2. Affective
tindakan dalam bertanding, seperti cepat merasa putus asa, sembrono, dan
3. Somatic
4. Motoric
keadaan raut muka dan dahi berkerut, gemetar, kaki terasa berat, sering
antara lain, takut gagal dalam pertandingan, takut akan akibat sosial atas
mutu perestasi yang dimiliki, takut kalau cidera atau menciderai lawan,
dengan baik, dan tuntutan merubah sesuatu tanpa ada latihan (Cox, 2003).
dan tidak atau belum dapat dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, standar
prestasi individu yang terlalu tinggi dengan kemampuan yang dimilikinya, seperti
bersangkutan, kekurang siapan individu sendiri untuk menghadapi situasi yang ada,
pola fikir dan persepsi negative terhadap situasi yang ada ataupun terhadap diri
mencapai sukses.
pelaksanaan tugas.
4. Bila dalam diri atlet ada pikiran atau rasa puas diri, maka dia telah
(Firmansyah, 2007).
b. Sumber-sumber dari luar, diartikan sebagai kecemasan dari luar diri
berikut :
diri, sehingga dalam situasi yang kritis atlet merasa masih ada
pertandingan:
tindakan seseorang khususnya atlet terhadap reaksi emosi negatif, seperti, gelisah,
khawatir, tidak tenang, tegang, bahkan takut ketika harga dirinya terancam yang
(ketangguhan mental) merupakan sikap atau penilaian diri terhadap reaksi emosi
positif seseorang khususnya atlet untuk mengatasi kendala, kesulitan, bahkan tekanan,
agar tetap menjaga konsentrasi dan motivasi yang merupakan ketetapan hati dari
energi positif untuk mencapai suatu tujuan dalam bertahan disepanjang pertandingan
performa terbaik sehingga berujung pada kekalahan. Salah satu faktor yang berperan
dalam terbentuknya competitive anxiety atlet adalah faktor internal yaitu faktor
mental, di mana faktor mental yang kuat dapat membuat atlet merasa tenang dalam
situasi tertekan dan mengurangi rasa cemas yang dirasakan. Salah satu bentuk faktor
atau berlawanan yang artinya terdapat hubungan antara competitive anxiety yang
merupakan perilaku negatif dan mental toughness yang merupakan suatu penilaian
diri positif yang ditunjukkan ketika mendapatkan suatu tekanan, terutama tekanan
dalam menghadapi suatu pertandingan. Hal tersebut juga diperkuat dengan dimensi
dari mental toughness yang cenderung thrive though challege atau mampu
menghadapi tantangan, sport awareness atau mampu bekerja dalam tim, though
attitude atau mampu menghadapi tekanan, desire success atau selalu berfikir optimis
kecemasan afektif, kecemasan motorik dan kecemasan somatik yang cenderung selalu
khususnya psikologi olahraga, di mana keduaya memiliki suatu hal yang sama yaitu
Oleh karena itu, dari kedua varibel tersebut, baik variabel mental toughness
positif dan yang satu lebih mengarah pada keadaan negatif dalam menghadapi suatu
tekanan, khusunya tekanan dalam bertanding (Smith dkk., 1990 & Gucciardi dkk.,
2008)