Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah Dimensionalitas Ilmu

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

DIMENSIONALITAS ILMU

Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah “Filsafat ilmu”

Dosen Pengampu: bapak Dr. Abdur Rahman, S.Ag., M.EI.

Disusun oleh:

Rini Fahrun Nishak (200721100132)


Nur Khairudin (200721100028)
Sania Maria Ulfa (200721100030)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS ILMU KEISLAMAN


UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq dan
hidayahnya sehingga kami sekelompok dapat menyelesaikan makalah mata kuliah
Filsafat Ilmu yang bab nya berjudul “Dimensionalitas Ilmu”.
Saya mengucapkan terimakasih kepada dosen yang telah membimbing kami
dalam kegiatan belajar mengajar. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman kami yang telah mendukung kami dalam menyusun makalah ini.
Demikian makalah ini kami sekelompok susun, apabila ada kekurangan dalam
peyusunan kata, atau kata yang tidak berkenan di hati, kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………. 2
C. Tujuan ...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

1. Ontologi……………………………………………………………….3
2. Epistimogi …………………………………………………………….7
3. Aksiologi………..................................................................................15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………… 19
B. Saran………………………………………………………………....19

DAFTAR PUSAKA…………………………………………………………20

ii
Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial
maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Pada perkembangan selanjutnya,
ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek,
tujuan dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya
(Semiawan, 2005). Pembahasan filsafat ilmu sangat penting karena akan mendorong
manusia untuk lebih kreatif dan inovatif. Filsafat ilmu memberikan spirit bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung
pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun aksiologi.Ilmu
merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan
atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat
penjelasan mengenai hasil pengamatan/penelitiannya. Dengan demikian, ilmu
merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas
dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal. Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu
pengetahuan tidak menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajian hal-
hal normatif. Ilmu pengetahuan hanya membahas segala sisi yang sifatnya positif
semata. Hal-hal yang bekaitan dengan kaedah, norma atau aspek normatif lainnya tidak
dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan. Bagaimana ilmu pengetahuan
diperoleh? Ilmu pengetahuan dihasilkan dari perilaku berfikir manusia yang tersusun
secara akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian.

Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan yang
lainnya. Dengan mengetahui jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan
mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam
khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai

1
2

pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni, dan agama serta meletakan mereka
pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita.

B. Rumusan Masalah

Sebagian permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini sudah penulis
susun dalam bentuk pertaanyaan. Adapun permasalahan yang akan dibahas dimakalah
ini antara lain:

1. Apa saja ruang lingkup dari dimensi ilmu?


2. Bagaimana ruang lingkup dari ontologi, epistimologi, dan aksiologi?
3. Bagaimana hubungan dari ontologi, epitimologi dan aksiologi?

C. Tujuan penulisan

1. Untuk mengetahui sesuatu yang terdapat dalam ruang lingkup dari dimensi ilmu
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai ruang lingkup dari dimensi ilmu
3. Untuk mendeskripsikan hubungan antara ontologi, epistimologi dan aksiologi dari

dimensi ilmu.
Bab II

Pembahasan

1. Ontologi

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis yang terkenal
diantaranya Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum
mampu membedakan antara penampakan dengan kenyataan

a. Pengertian Ontologi

Menurut Bahasa : Ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu on / atau
ada, dan logos = logic atau ilmu. Jadi, ontologi bisa diartikan :

“The theory of being qua being’’ (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan), atau
Ilmu tentang yang ada.

Sedangkan menurut istilah yakni Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani / kongkret
maupun rohani / abstrak (Bakhtiar, 2004).

b. Term ontologi

Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun1636 M
untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam
perkembangan selanjutnya Christian Wolf (1679 – 1754 M) membagi Metafisika
menjadi 2 yaitu : metafisika umum dan metafisika khusus

 Metafisika Umum : Ontologi

3
4

Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Jadi metafisika umum
atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau
paling dalam dari segala sesuatu yang ada.

 Metafisika Khusus : Kosmologi, Psikologi, Teologi (Bakker, 1992).

c. Paham–paham dalam Ontologi

Dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok/aliran-


aliran pemikiran antara lain: Monoisme, Dualisme, Pluralisme, Nihilisme, dan
Agnotisisme.

 Monoisme

Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu saja, tidak mungkin dua, baik yang asal berupa materi ataupun rohani.
Paham ini kemudian terbagi kedalam 2 aliran :

1). Materialisme

Aliran materialisme ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,
bukan rohani. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu Thales (624-
546 SM). Dia berpendapat bahwa sumber asal adalah air karena pentingnya bagi
kehidupan. Aliran ini sering juga disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati
merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi/alam,
sedangkan jiwa /ruh tidak berdiri sendiri. Tokoh aliran ini adalah Anaximander (585-
525 SM). Dia berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa
udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Dari segi dimensinya paham ini sering
dikaitkan dengan teori Atomisme. Menurutnya semua materi tersusun dari sejumlah
bahan yang disebut unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap tak dapat dirusakkan. Bagian-
bagian yang terkecil dari itulah yang dinamakan atom-atom. Tokoh aliran ini adalah
Demokritos (460-370 SM). Ia berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-
5

atom yang banyak jumlahnya, tak dapat di hitung dan amat halus. Atom-atom
inilah yang merupkan asal kejadian alam.

2). Idealisme

Idealisme diambil dari kata idea, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idelisme
sebagai lawan materialisme, dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serbacita,
spiritualisme berarti serba ruh. Aliran idealisme beranggapan bahwa hakikat kenyataan
yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu
sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Tokoh aliran ini diantaranya :

- Plato (428 -348 SM) dengan teori ide-nya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada dialam
mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari setiap sesuatu.

- Aristoteles (384-322 SM), memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang


menggambarkan alam ide itu sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda
itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu.

- Pada Filsafat modern padangan ini mula-mula kelihatan pada George Barkeley
(1685-1753 M) yang menyatakan objek-objek fisis adalah ide-ide.

- Kemudian Immanuel Kant (1724-1804 M), Fichte (1762-1814 M), Hegel


(1770-1831 M), dan Schelling (1775-1854 M).

 Dualisme

Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari 2 macam hakikat sebagai asal
sumbernya yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.

Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak
filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran
(ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
6

Tokoh yang lain : Benedictus De spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm Von
Leibniz (1646-1716 M).

 Pluralisme

Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.


Lebih jauh lagi paham ini menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak
unsur. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles
yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu
tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910
M) yang terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The
Meaning of Truth, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.
Apa yang kita anggap benar sebelumnya dapat dikoreksi/diubah oleh pengalaman
berikutnya.

 Nihilisme

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Doktrin
tentang nihilisme sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, tokohnya yaitu Gorgias
(483-360 SM) yang memberikan 3 proposisi tentang realitas yaitu: Pertama, tidak ada
sesuatupun yang eksis, Kedua, bila sesuatu itu ada ia tidak dapat diketahui, Ketiga,
sekalipun realitas itu dapat kita ketahui ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada
orang lain. Tokoh modern aliran ini diantaranya: Ivan Turgeniev (1862 M) dari Rusia
dan Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), ia dilahirkan di Rocken di Prusia dari keluarga
pendeta.

 Agnotisisme

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik
hakikat materi maupun ruhani. Kata Agnoticisme berasal dari bahasa Greek yaitu
Agnostos yang berarti unknown A artinya not Gno artinya know. Aliran ini dapat kita
temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti: Soren Kierkegaar
7

(1813-1855 M), yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme
dan Martin Heidegger (1889-1976 M) seorang filosof Jerman, serta Jean Paul Sartre
(1905-1980 M), seorang filosof dan sastrawan Prancis yang atheis (Bagus, 1996).

2. Epistimologi

Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang


pengetahuan. Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari
filsafat. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana
cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan.

Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi seperti juga lazimnya


keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem--membuktikan betapa sulit
untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki
fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Ketika kita
membicarakan epistemologi, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya,
cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya
didapatkan perbedan yang cukup signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup
epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreativitas
keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi.

a. Pengertian Epistemologi

Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat
dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu. Epistemologi
juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).

Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti
pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang
filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya
(validitasnya) pengetahuan.
8

Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan


mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber
pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai
tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (William
S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan
metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian
ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang
filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan
epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat
diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.

Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas diungkapkan Dagobert


D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas
sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi
Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang
keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”..

b. Ruang Lingkup Epistemologi

M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan


validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat,
unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin
menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah
ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun
ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang
benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua
9

pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu
dan masalah benarnya ilmu.

M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak


terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara
konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak
membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu,
aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-
tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.

Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan


epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan
epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi
ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung
menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode
pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil
pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif
maupun negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian
dari cakupan wilayah epistemologi.

c. Objek Dan Tujuan Epistemologi

Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah
sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan
hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara
radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat (sarwa-
yang-ada).

Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang
terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh
pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi
mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara
10

yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan
bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama
sekali.

Tujuan epistemologi menurut Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi


bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi
untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini
menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun
keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan
epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk
memperoleh pengetahuan.

d. Landasan Epistemologi

Kholil Yasin menyebut pengetahuan dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary


knowledge), sedangkan ilmu pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah
(scientific knowledge). Hal ini sebenarnya hanya sebutan lain. Disamping istilah
pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga bisa disebut pengetahuan sehari-hari, atau
pengalaman sehari-hari. Pada bagian lain, disamping disebut ilmu pengetahuan dan
pengetahuan ilmiah, juga sering disebut ilmu dan sains. Sebutan-sebutan tersebut
hanyalah pengayaan istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga
yang menajamkan perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar
sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan sebagainya.

Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan


menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang
bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai
dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan
logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan
termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua
pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
11

e. Hubungan Epistemologi, Metode dan Metodologi

Lebih jauh lagi Peter R.Senn mengemukakan, “metode merupakan suatu prosedur
atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis”.
Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan
dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah
ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui
sesuatu. Jika metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, maka
metodologilah yang mengkerangkai secara konseptual prosedur tersebut. Implikasinya,
dalam metodologi dapat ditemukan upaya membahas permasalahan-permasalahan
yang berkaitan dengan metode.

Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode, kelemahan dan


kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang
digunakan, sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis metode-metode
yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan metode penelitian tanpa memahami
metode logisnya mengakibatkan seseorang buta terhadap filsafat ilmu yang dianutnya.
Banyak peneliti pemula yang tidak bisa membedakan paradigma penelitian ketika dia
mengadakan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-
benar memahami, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivisme,
sehingga ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham determinsime, sesuatu yang
ditentukan oleh yang lain), sedangkan penelitian kualitatif menggunakan paradigma
naturalisme (fenomenologis). Dengan demikian, metodologi juga menyentuh bahasan
tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu metode. Aspek filosofis
yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah epistemologi.

Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural-teoritis antara


epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut: Dari epistemologi, dilanjutkan
dengan merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik.
Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak
bisa dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi
12

mencakup bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh


metode. Jadi, metode merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi
merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi. Adapun epistemologi
merupakan bagian dari filsafat.

f. Hakikat Epsitemologi

Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-


cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan menetapkan
batas-batasnya. “Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah
masalah-masalah sentral epistemologi, tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-
mata masalah-masalah filsafat. Pandangan yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok
Wina, bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk dalam
kajian psikologi. Sebab epistemologi itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran manusia,
the workings of human mind. Tampaknya Kelompok Wina melihat sepintas terhadap
cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang memang berkaitan dengan pekerjaan pikiran
manusia. Cara pandang demikian akan berimplikasi secara luas dalam menghilangkan
spesifikasi-spesifikasi keilmuan. Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya
pendayagunaan pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan dalam
menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu selalu berhubungan dengan
pekerjaan pikiran manusia, terutama pada saat proses aplikasi metode deduktif yang
penuh penjelasan dari hasil pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini berarti tidak
ada disiplin ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.

Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya
tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi menjadi ilmu dan
filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya
untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini
ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.
13

Perbedaaan padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa dijadikan


pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas C.Hunt yang
menilai, epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi. Sejak semula,
epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit,
sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas
jangkauan metafisika sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan
darinya. Selain itu, pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang
dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya
diandaikan begitu saja, maka minat untuk membicarakan dasar-dasar
pertanggungjawaban terhadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya untuk melebihi
takaran minat kita.

Epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral setiap
pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang mungkin
dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya; apa yang mungkin diketahui
dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui;
dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi dengan demikian bisa
dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap objek-objek pengetahuan. Tidak semua
objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objek-objek tertentu yang
manfaatnya kecil dan madaratnya lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun
memungkinkan untuk diketahui. Ada juga objek yang benar-benar merupakan misteri,
sehingga tidak mungkin bisa diketahui.

Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia. Seseorang
yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat
umum menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan deduktif.
Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejala-gejala yang sama, baruk ditarik
kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya
seseorang selalu mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih jauh, ada yang
hanya berpikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang dan ada pula
seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke belakang, yaitu masa
14

lampau yang telah dilalui. Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi terhadap corak
sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang beraktivitas dengan serba
strategis, sebab jangkauan berpikirnya adalah masa depan. Tetapi terkadang kita
jumpai seseorang dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan
berpikirnya yang amat pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka
tindakannya itu justru merugikan.

Pada bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada hakikatnya


merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir secara empiris. Kedua
cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari gejala alam untuk menemukan
kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia
dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi adalah
usaha untuk menafsir dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan kenyataan
yang lain dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional,
sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal ini juga bisa
dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan deduksi, sedangkan usaha
membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan kedua macaram cara berpikir
tersebut disebut metode ilmiah.

Jika metode ilmiah sebagai hakikat epistemologi, maka menimbulkan pemahaman,


bahwa di satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat dan landasan dari epistemologi yang
sama-sama berupa metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme, atau
deduktif dengan induktif), dan di sisi lain berarti hakikat epistemologi itu bertumpu
pada landasannya, karena lebih mencerminkan esensi dari epistemologi. Dua macam
pemahaman ini merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali,
sehingga selalu membutuhkan kajian-kajian yang dilakukan secara berkesinambungan
dan serius.

g. Pengaruh Epistemologi

Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu


peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur
15

semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial.
Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada
tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis
dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka.
Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan
teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan
pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena
alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan
epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam
merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi.
Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata
teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.

Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi


menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang
canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan
perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-
perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya.

3. Aksiologi

a. Pengertian Aksiologi

Menurut Kamus Filsafat, Aksiologi Berasal dari bahasa Yunani Axios (layak, pantas)
dan Logos (Ilmu). Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.
Jujun S.Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai suatu
kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam menjelaskan,
meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam. (Cece Rakhmat, 2010)
16

Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa Aksiologi merupakan ilmu yang
mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan.

b. Penilaian Aksiologi

Bramel (Jalaluddin dan Abdullah,1997) membagi aksiologi dalam tiga bagian.


Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus
yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia.
Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu
mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Didalam etika, nilai kebaikan dari
tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang
penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat,
alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.

Bagian kedua dari aksiologi adalah esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan.
Bidang ini melahirkan keindahan. Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena
disekelilingnya.

Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz (Bakhtiar Amsal, 2004), nilai itu objektif
ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang muncul dari
filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal,
kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan
validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik. Dengan demikian nilai
subjekif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi
manusia seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif akan selalu mengarah
pada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.

Selanjutnya nilai itu akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran
yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada
17

objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada (Bakhtiar
Amsal, 2004).

Bagian ketiga dari Aksiologi adalah , sosio-political life, yaitu kehidupan social politik
yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik. Manfaat dari ilmu adalah sudah tidak
terhitung banyaknya manfaat dari ilmu bagi manusia dan makhluk hidup secara
keseluruhan. Mulai dari zamannya Copernicus sampai Mark Elliot Zuckerberg , ilmu
terus berkembang dan memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dengan ilmu
manusia bisa sampai ke bulan, dengan ilmu manusia dapat mengetahui bagian-bagian
tersembunyi dan terkecil dari sel tubuh manusia. Ilmu telah memberikan kontribusi
yang sangat besar bagi peradaban manusia, tapi dengan ilmu juga manusia dapat
menghancurkan peradaban manusia yang lain.

Mengutip pendapatnya Francis Bacon dalam Suriasumantri (1999) yang mengatakan


bahwa “Pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu akan merupakan
berkat atau malapetaka bagi umat manusia, semua itu terletak pada system nilai dari
orang yang menggunakan kekuasaan tersebut. Ilmu itu bersifat netral, ilmu tidak
mengenal sifat baik atau buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang harus
mempunyai sikap.

Selanjutnya Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini
mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.

Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun S Sumantri merumuskan kedalam 4


tahapan yaitu:

- Untuk apa ilmu tersebut digunakan?

- Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah


moral?

- Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?


18

- Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi


metode ilmiah dengan norma-norma moral / professional.

Dari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada,
kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat,
sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam
usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan
menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya
akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Bab III

Penutup

A. Kesimpulan

Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut
disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan
epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya.
Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan
ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi
terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan
model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.

Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya


keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem--membuktikan betapa sulit
untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki
fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran.

Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu
terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan
seterusnya. Pembahasan mengenai epistemologi harus dikatikan dengan ontologi dan
aksiologi. Secara jelas, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari
ontologi dan aksiologi. Dalam membahas dimensi kajian filsafat ilmu didasarkan
model berpikir sistemik, sehingga harus senantiasa dikaitkan.

B. Saran
Demikian beberapa ruang lingkup dari dimensi ilmu. Dengan makalah ini, diharapkan
pembaca bisa memahami apa saja yang terdapat dalam dimensi ilmu, keterkaitanya
antara ontologi, epistimologi dan aksiologi.

19
Daftar Pustaka
M. Arifin. 1991. Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi. Jakarta: Bumi Aksara,
hal. 6.
Amsal, Bakhtiar. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
A.M. Saefuddin, et.al. 1991. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi.
Bandung: Mizan, hal. 35.

Asy’ari, H. M dkk. 1992.Filsafat. Yogyakarta: RSFI.


Abdullah , Muhammad Husein, 1990. Ad-Dirosah fi al-fikry-al Islamy. Aman: Dar
al-Bayariq haal. 74.
Abdullah, Amin. 2005. Desain Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN
SunanKalijaga dari Pendekatan Pola Dikotonomis-Akademik ke Arah Integratif-
Interdisciplinary dalam Zainal Abidin Bagir, et.al,Integrasi Ilmu dan Agama
Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan.
Amin Abdullah. 2006.Pendekatan Integratif- Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Azra, Azyumardi. 1993. Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi. Ulumul
Qur”an, no. 4, vol. IV.
Bagus Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bakhtiar , Amsal. 2006. Filsafat Ilmu. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.


Bakker, Anton.1992. Ontologi Metafisika Umum. Yogyakarta: Pustaka Kanisius
.Hadi, P. Hardono. 1994. Epistemologi: Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.

Honer, Stanley M. dan Hunt, Thomas C. 1987. Metode dalam Mencari


Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia,
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Jujun S. Suriasumantri. 2005 Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta :
Sinar Harapan.

Maritain, Jacques. 1959. The Degrees of Knowledge. New York: Scribner


Pengetahuan:Rasionalisme, Empirisme, dan Metode Keilmuan, dalam Jujun
S.Suryasumantri [penerjemah].

20
21

Peter R. Senn, Struktur Ilmu, dikutip dari buku Social Science and its Methods
(Holbrook, 1971), hal, 9-35.
Rakhmat Cece. 2010. Membidik Filsafat Ilmu. Bandung.
http://ambigucariilmu.blogspot.com/2017/10/dimensi-dan-struktur-ilmu.html?m=1v
http://dewisusanti24.blogspot.com/2017/03/filsafat-dimensi-dan-struktur-
ilmu.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai