Makalah Dimensionalitas Ilmu
Makalah Dimensionalitas Ilmu
Makalah Dimensionalitas Ilmu
DIMENSIONALITAS ILMU
Disusun oleh:
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq dan
hidayahnya sehingga kami sekelompok dapat menyelesaikan makalah mata kuliah
Filsafat Ilmu yang bab nya berjudul “Dimensionalitas Ilmu”.
Saya mengucapkan terimakasih kepada dosen yang telah membimbing kami
dalam kegiatan belajar mengajar. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman kami yang telah mendukung kami dalam menyusun makalah ini.
Demikian makalah ini kami sekelompok susun, apabila ada kekurangan dalam
peyusunan kata, atau kata yang tidak berkenan di hati, kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………. 2
C. Tujuan ...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
1. Ontologi……………………………………………………………….3
2. Epistimogi …………………………………………………………….7
3. Aksiologi………..................................................................................15
A. Kesimpulan………………………………………………………… 19
B. Saran………………………………………………………………....19
DAFTAR PUSAKA…………………………………………………………20
ii
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial
maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Pada perkembangan selanjutnya,
ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek,
tujuan dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya
(Semiawan, 2005). Pembahasan filsafat ilmu sangat penting karena akan mendorong
manusia untuk lebih kreatif dan inovatif. Filsafat ilmu memberikan spirit bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung
pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun aksiologi.Ilmu
merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan
atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat
penjelasan mengenai hasil pengamatan/penelitiannya. Dengan demikian, ilmu
merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas
dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal. Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu
pengetahuan tidak menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajian hal-
hal normatif. Ilmu pengetahuan hanya membahas segala sisi yang sifatnya positif
semata. Hal-hal yang bekaitan dengan kaedah, norma atau aspek normatif lainnya tidak
dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan. Bagaimana ilmu pengetahuan
diperoleh? Ilmu pengetahuan dihasilkan dari perilaku berfikir manusia yang tersusun
secara akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian.
Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan yang
lainnya. Dengan mengetahui jawaban-jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan
mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam
khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai
1
2
pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni, dan agama serta meletakan mereka
pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita.
B. Rumusan Masalah
Sebagian permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini sudah penulis
susun dalam bentuk pertaanyaan. Adapun permasalahan yang akan dibahas dimakalah
ini antara lain:
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui sesuatu yang terdapat dalam ruang lingkup dari dimensi ilmu
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai ruang lingkup dari dimensi ilmu
3. Untuk mendeskripsikan hubungan antara ontologi, epistimologi dan aksiologi dari
dimensi ilmu.
Bab II
Pembahasan
1. Ontologi
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis yang terkenal
diantaranya Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum
mampu membedakan antara penampakan dengan kenyataan
a. Pengertian Ontologi
Menurut Bahasa : Ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu on / atau
ada, dan logos = logic atau ilmu. Jadi, ontologi bisa diartikan :
“The theory of being qua being’’ (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan), atau
Ilmu tentang yang ada.
Sedangkan menurut istilah yakni Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani / kongkret
maupun rohani / abstrak (Bakhtiar, 2004).
b. Term ontologi
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun1636 M
untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam
perkembangan selanjutnya Christian Wolf (1679 – 1754 M) membagi Metafisika
menjadi 2 yaitu : metafisika umum dan metafisika khusus
3
4
Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Jadi metafisika umum
atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau
paling dalam dari segala sesuatu yang ada.
Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu saja, tidak mungkin dua, baik yang asal berupa materi ataupun rohani.
Paham ini kemudian terbagi kedalam 2 aliran :
1). Materialisme
Aliran materialisme ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,
bukan rohani. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu Thales (624-
546 SM). Dia berpendapat bahwa sumber asal adalah air karena pentingnya bagi
kehidupan. Aliran ini sering juga disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati
merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi/alam,
sedangkan jiwa /ruh tidak berdiri sendiri. Tokoh aliran ini adalah Anaximander (585-
525 SM). Dia berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa
udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Dari segi dimensinya paham ini sering
dikaitkan dengan teori Atomisme. Menurutnya semua materi tersusun dari sejumlah
bahan yang disebut unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap tak dapat dirusakkan. Bagian-
bagian yang terkecil dari itulah yang dinamakan atom-atom. Tokoh aliran ini adalah
Demokritos (460-370 SM). Ia berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-
5
atom yang banyak jumlahnya, tak dapat di hitung dan amat halus. Atom-atom
inilah yang merupkan asal kejadian alam.
2). Idealisme
Idealisme diambil dari kata idea, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idelisme
sebagai lawan materialisme, dinamakan juga spiritualisme. Idealisme berarti serbacita,
spiritualisme berarti serba ruh. Aliran idealisme beranggapan bahwa hakikat kenyataan
yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu
sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Tokoh aliran ini diantaranya :
- Plato (428 -348 SM) dengan teori ide-nya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada dialam
mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari setiap sesuatu.
- Pada Filsafat modern padangan ini mula-mula kelihatan pada George Barkeley
(1685-1753 M) yang menyatakan objek-objek fisis adalah ide-ide.
Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari 2 macam hakikat sebagai asal
sumbernya yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak
filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran
(ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
6
Tokoh yang lain : Benedictus De spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm Von
Leibniz (1646-1716 M).
Pluralisme
Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Doktrin
tentang nihilisme sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, tokohnya yaitu Gorgias
(483-360 SM) yang memberikan 3 proposisi tentang realitas yaitu: Pertama, tidak ada
sesuatupun yang eksis, Kedua, bila sesuatu itu ada ia tidak dapat diketahui, Ketiga,
sekalipun realitas itu dapat kita ketahui ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada
orang lain. Tokoh modern aliran ini diantaranya: Ivan Turgeniev (1862 M) dari Rusia
dan Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), ia dilahirkan di Rocken di Prusia dari keluarga
pendeta.
Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik
hakikat materi maupun ruhani. Kata Agnoticisme berasal dari bahasa Greek yaitu
Agnostos yang berarti unknown A artinya not Gno artinya know. Aliran ini dapat kita
temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti: Soren Kierkegaar
7
(1813-1855 M), yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme
dan Martin Heidegger (1889-1976 M) seorang filosof Jerman, serta Jean Paul Sartre
(1905-1980 M), seorang filosof dan sastrawan Prancis yang atheis (Bagus, 1996).
2. Epistimologi
a. Pengertian Epistemologi
Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat
dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu. Epistemologi
juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti
pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang
filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya
(validitasnya) pengetahuan.
8
pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu
dan masalah benarnya ilmu.
Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah
sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan
hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara
radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat (sarwa-
yang-ada).
Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap proses yang
terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh
pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi
mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara
10
yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan
bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama
sekali.
d. Landasan Epistemologi
Lebih jauh lagi Peter R.Senn mengemukakan, “metode merupakan suatu prosedur
atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis”.
Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan
dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah
ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui
sesuatu. Jika metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, maka
metodologilah yang mengkerangkai secara konseptual prosedur tersebut. Implikasinya,
dalam metodologi dapat ditemukan upaya membahas permasalahan-permasalahan
yang berkaitan dengan metode.
f. Hakikat Epsitemologi
Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya
tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi menjadi ilmu dan
filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya
untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini
ditempuh melalui perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.
13
Epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral setiap
pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang mungkin
dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya; apa yang mungkin diketahui
dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui;
dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi dengan demikian bisa
dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap objek-objek pengetahuan. Tidak semua
objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objek-objek tertentu yang
manfaatnya kecil dan madaratnya lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun
memungkinkan untuk diketahui. Ada juga objek yang benar-benar merupakan misteri,
sehingga tidak mungkin bisa diketahui.
Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia. Seseorang
yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat
umum menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan deduktif.
Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejala-gejala yang sama, baruk ditarik
kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya
seseorang selalu mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih jauh, ada yang
hanya berpikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang dan ada pula
seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke belakang, yaitu masa
14
lampau yang telah dilalui. Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi terhadap corak
sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang beraktivitas dengan serba
strategis, sebab jangkauan berpikirnya adalah masa depan. Tetapi terkadang kita
jumpai seseorang dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan
berpikirnya yang amat pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka
tindakannya itu justru merugikan.
g. Pengaruh Epistemologi
semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial.
Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada
tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis
dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka.
Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan
teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan
pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena
alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan
epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam
merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi.
Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata
teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
3. Aksiologi
a. Pengertian Aksiologi
Menurut Kamus Filsafat, Aksiologi Berasal dari bahasa Yunani Axios (layak, pantas)
dan Logos (Ilmu). Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.
Jujun S.Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai suatu
kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam menjelaskan,
meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam. (Cece Rakhmat, 2010)
16
Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa Aksiologi merupakan ilmu yang
mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan.
b. Penilaian Aksiologi
Bagian kedua dari aksiologi adalah esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan.
Bidang ini melahirkan keindahan. Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena
disekelilingnya.
Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz (Bakhtiar Amsal, 2004), nilai itu objektif
ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang muncul dari
filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal,
kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan
validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik. Dengan demikian nilai
subjekif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi
manusia seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif akan selalu mengarah
pada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Selanjutnya nilai itu akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran
yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada
17
objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada (Bakhtiar
Amsal, 2004).
Bagian ketiga dari Aksiologi adalah , sosio-political life, yaitu kehidupan social politik
yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik. Manfaat dari ilmu adalah sudah tidak
terhitung banyaknya manfaat dari ilmu bagi manusia dan makhluk hidup secara
keseluruhan. Mulai dari zamannya Copernicus sampai Mark Elliot Zuckerberg , ilmu
terus berkembang dan memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dengan ilmu
manusia bisa sampai ke bulan, dengan ilmu manusia dapat mengetahui bagian-bagian
tersembunyi dan terkecil dari sel tubuh manusia. Ilmu telah memberikan kontribusi
yang sangat besar bagi peradaban manusia, tapi dengan ilmu juga manusia dapat
menghancurkan peradaban manusia yang lain.
Selanjutnya Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini
mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Dari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada,
kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat,
sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam
usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan
menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya
akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut
disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan
epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya.
Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan
ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi
terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan
model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu
terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan
seterusnya. Pembahasan mengenai epistemologi harus dikatikan dengan ontologi dan
aksiologi. Secara jelas, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari
ontologi dan aksiologi. Dalam membahas dimensi kajian filsafat ilmu didasarkan
model berpikir sistemik, sehingga harus senantiasa dikaitkan.
B. Saran
Demikian beberapa ruang lingkup dari dimensi ilmu. Dengan makalah ini, diharapkan
pembaca bisa memahami apa saja yang terdapat dalam dimensi ilmu, keterkaitanya
antara ontologi, epistimologi dan aksiologi.
19
Daftar Pustaka
M. Arifin. 1991. Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi. Jakarta: Bumi Aksara,
hal. 6.
Amsal, Bakhtiar. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
A.M. Saefuddin, et.al. 1991. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi.
Bandung: Mizan, hal. 35.
20
21
Peter R. Senn, Struktur Ilmu, dikutip dari buku Social Science and its Methods
(Holbrook, 1971), hal, 9-35.
Rakhmat Cece. 2010. Membidik Filsafat Ilmu. Bandung.
http://ambigucariilmu.blogspot.com/2017/10/dimensi-dan-struktur-ilmu.html?m=1v
http://dewisusanti24.blogspot.com/2017/03/filsafat-dimensi-dan-struktur-
ilmu.html?m=1