Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Modul A Labtek 2

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 31

Laporan Praktikum

Laboratorium Teknik Material II


Modul A Proses Pembentukan Logam (Metal Forming)

oleh:

Nama : M. Putra Perdana Makmur


NIM : 13715033
Kelompok :4
Anggota (NIM) : Faisal Tahir Rambe (13714011)
Cahyo Widiantoro (13715019)
M. Putra Perdana M. (13715033)
Aysha Rasheeda (13715050)
Dwiki Panji Kresna (13715053)
Yuswana Azizi (13715060)

Tanggal Praktikum : 7 November 2017


Tanggal Penyerahan Laporan : 13 November 2017
Nama Asisten (NIM) : Adhi Setyo Nurgroho (13713025)

Laboratorium Metalurgi dan Teknik Material


Program Studi Teknik Material
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara
Institut Teknologi Bandung
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam berbagai proses permesinan, tentunya memiliki tahapan-tahapan
dalam pembentukan bahan baku. Bentuk awal dari suatu batangan logam adalah
ingot yang diperoleh dari hasil pengolahan biji logam. Biji logam kemudian
dipanaskan pada temperatur yang tinggi dan mencair. Setalah mencair, logam cair
dituangkan pada suatu cetakan dengan bentuk tertentu sehingga dapat diperoleh
bahan setengah jadi. Untuk memperoleh bahan yang sesuai dengan bentuk dan
pengaplikasian yang kita inginkan, maka bahan tersebut akan mengalami proses-
proses lebih lanjut. Salah satu proses tersebut adalah pengerolan. Pengerolan perlu
dilakukan agar produk tersebut bisa menjadi bahan jadi yang dapat diaplikasikan
di berbagai macam bidang industri.

1.2 Tujuan Praktikum


1. Menentukan nilai K dan n (Koefisien strain hardening).
2. Menentukan nilai kekerasan terhadap masing-masing persen (%) reduksi
pelat tembaga.
3.
BAB II
TEORI DASAR

2.1 Pengertian Pengerolan (Rolling)


Rolling dalam bahasa Indonesia disebut pencanaian adalah proses reduksi
atau pengurangan luas penampang atau proses pembentukan logam melalui
deformasi dengan melewatkan suatu benda kerja pada satu pasang roll yang
berputar dengan arah yang berlawanan. Skema dari proses pengerolan
digambarkan seperti di bawah ini.[2]

Gambar 2.1 (Proses Pengerolan)

2.2 Perbedaan Hot Rolling dan Cold Rolling


1. Hot Rolling
Hot Rolling adalah proses pengerolan yang dilakukan pada
temperature yang lebih tinggi daripada temperatur rekristalisasi. Pada
proses Hot rolling, deformasi tidak menyebabkan terjadinya penguatan
logam (strain hardening). Tegangan alir bahan akan semakin kecil dengan
semakin tingginya temperatur operasi.
Energi deformasi yang dibutuhkan menjadi lebih kecil pada
temperatur yang lebih tinggi. Dengan demikian, deformasi dapat dilakukan
pada benda kerja yang berukuran relatif besar dengan total deformasi yang
besar.[2] Berikut adalah gambar dari hot rolling

Gambar 2.2 (Hot Rolling)

2. Cold Rolling
Cold Rolling adalah proses pengerolan yang dilakukan pada
temperatur kamar atau di bawah temperatur rekristalisasi. Cold rolling
umumnya dilakukan setelah proses hot rolling. Cold rolling menyebabkan
terjadinya mekanisme penguatan pada benda kerja (strain hardening) yang
diikuti dengan turunya keuletan. Benda kerja menjadi lebih kuat, lebih
keras, dan lebih getas. Pada proses pengerolan dingin, tegangan alir benda
kerja menjadi semakin meningkat.
Sebagian besar dari produk hasil pengerolan dingin melibatkan
proses lanjutan yaitu proses perlakuan panas agar dapat diaplikasikan
sesuai dengan spesifikasinya. Proses perlakuan panas yang biasa
diterapkan pada produk hasil pengerolan dingin adalah proses Annil.
Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan sifat-sifat produk
yang sesuai dengan aplikasinya.[2] Berikut adalah gambar dari cold rolling.

Gambar 2.3 (Cold Rolling)


Berikut ini beberapa perbedaan antara Hot rolling dan Cold rolling dapat
disajikan dalam tabel di bawah ini

Tabel 2.1 Perbedaan Hot rolling dan Cold rolling


Parameter Hot Rolling Cold Rolling
Temperatur T >Trekristalisasi T < Trekristalisasi
Fenomena yang Terjadi Logam mengalami Logam mengalami strain
rekristalisasi hardening
Toleransi Dimensi Tidak dapat dicapai Dapat dicapai
Permukaan Hasil Proses Kasar akibat adanya Halus karena tidak terjadi
oksidasi pada logam oksidasi pada logam
Bentuk Butir (Grain) Equiaxial Grain Elongated Grain

2.3 Asumsi-Asumsi yang Digunakaan pada Pengerolan Dingin


1. Busur kontak berbentuk bulat, roll tidak terdeformasi elastis.
2. Koefisien gesek konstan di semua titik kontak.
3. Tidak ada kecepatan lateral.
4. Deformasi bersifat homogen.
5. Kecepatan periferal dan roll konstan.
6. Deformasi elastis dari pelat dapat diabaikan jika dibandingkan dengan
deformasi plastis.
2
7. Energi distorsi σ1- σ3 = σ
√3 0

2.4 Parameter yang Berpengaruh dalam Proses Pengerolan


Berikut adalah parameter yang berpengaruh dalam proses pengerolan[1] :
1. Diameter Roll
Diameter roll berpengaruh terhadap proses pengerolan karena semakin
besar diameter roll maka semakin besar gaya yang dihasilkan.
Begitupun sebaliknya.

2. Tegangan alir material (Ketahanan logam yang di rolling terhadap


deformasi)
Tegangan alir material pada Hot Rolling lebih kecil dibandingkan
dengan Cold Rolling. Hal tersebut karena benda kerja lebih mudah
dideformasi saat Hot Rolling dibandingkan Cold Rolling akibat
temperatur yang tinggi.

3. Koefisien gesek Pengerolan


Makin besar koefisien geseknya, maka energi yang diperlukan saat
pengerolan akan semakin besar. Begitupun sebaliknya.

4. Adanya Tidaknya Front Tension dan Back Tension


Front tensioan dan back tension adalah tegangan yang dapat terjadi
berdasarkan arahnya yaitu dari depan dan belakang. Tegangan tersebut
akan menjamin spesimen tetap flat dan mengontrol ketebalan spesimen.
Front Tension dan Back Tension akan menurunkan energi yang
dibutuhkan pada proses pengerolan yang diatur oleh kecepatan recoiler
dan uncoiler.

2.5 Gaya-Gaya dan Energi yang Bekerja pada Proses Pengerolan


Gaya-gaya yang bekerja pada saat proses pengerolan adalah gaya
tangensial dan gaya radial. Selain gaya-gaya tersebut dibutuhkan 3 macam
energi yang bekerja saat pengerolan yaitu useful (homogenous) work yang
digunakan untuk mereduksi penampang, friction work yang digunakan
untuk mengatasi gaya gesek antara roll dan benda kerja dan redundant
work yang digunakan untuk mengubah arah aliran material.

2.6 Cacat pada Produk Hasil Pengerolan


Cacat yang bisa kita dapatkan setelah proses pengerolan antara lain :
1. Roll Flattening
Roll flattening terjadi akibat dari roll tidak mampu menahan reaksi yang
diakibatkan oleh benda kerja terhadap rolling load yang diberikan oleh
roll sehingga roll yang semula berbentuk bundar akan mengalami
pemipihan. Fenomena ini akan menghasilkan produk dengan permukaan
yang bergelombang.
2. Roll Bonding
Roll Bonding terjadi akibat dari roll tidak mampu untuk menahan reaksi
yang diakibatkan oleh benda kerja terhadap rolling load yang diberikan
oleh roll sehingga roll mengalami pelengkungan pada arah longitudinal.
Dengan fenomena roll bonding, maka produk yang dihasilkan akan
memiliki ketebalan pada bagian tengah yang lebih tinggi dibandingkan
bagian sisi.
3. Alligatoring
Alligatoring merupakan fenomena kompleks dan biasanya disebabkan
oleh perubahan bentuk yang tidak seragam pada billet selama proses
rolling. Alligatoring juga bisa disebabkan oleh kualitas material tuang
(bahan baku) yang buruk. Cacat ini bentuknya menyerupai buaya yang
sedang membuka mulutnya. Oleh karena itu cacat ini diberi istilah
alligatoring.[3]
4. Sobek di bagian Tepi
Sobek atau retak pada bagian tepi terjadi karena sifat ductile dari
material yang digunakan buruk. Untuk mengantisipasi hal ini biasanya
tepian yang sobek dipotong terlebih dahulu. Sobek pada bagian tepi plat
juga bisa terjadi karena desain dari rol yang kurang tepat. Selisih antara
diameter bagian tengah rol dengan diameter bagian tepi rol yang terlalu
besar menyebabkan terjadinya sobekan atau retakan di bagian tepi plat.[3]
5. Warping
Warping disebabkan karena diameter bagian tengah roll kurang besar.
Bagian tengah roll pada flat rolling harus memiliki diameter yang lebih
besar daripada bagian tepi roll. Sehingga apabila selisih diameter bagian
tengah rol dengan diameter bagian tepi roll tidak cukup besar, maka bisa
terjadi warping.[3]

Berikut gambar-gambar cacat yang terjadi pada saat pengerolan


Gambar 2.4 (Cacat Pengerolan)
BAB III
PROSEDUR PERCOBAAN

3.1 Prosedur Percobaan

Siapkan pelat tembaga dengan


panjang 100 mm

Ukur tebal awal pelat

Siapkan mesin uji roll dan catat


kecepatan dalam rpm

Tentukan besarnya reduksi

Lakukan proses pengerolan Trekristalisasi

Ukur gaya dan daya pengerolan

Lakukan pengujian kekerasan


setelah proses pengerolan

Ulangi percobaan untuk proses


reduksi berikutnya
BAB IV
DATA PERCOBAAN

4.1 Data Percobaan


4.1.1 Data Percobaan Uji Tarik
Jenis Spesimen : Tembaga
Tebal Spesimen : 5 mm
Lebar Spesimen : 12,81 mm
Luas Penampang Spesimen : 64,05 mm2
Kekuatan Luluh : 24,75 Kg/mm2
Kekuatan Tarik : 25,63 Kg/mm2
Elongasi : 7,14%

Data yang diperoleh dari teknisi adalah beban, gaya, dan perubahan panjang.

Tabel 4.1 Data Beban Skala, Gaya, dan Perubahan Panjang

Beban (kg) P (N) Δl (mm)


0 0 0
21,42 214,2 0,25
228,57 2285,7 0,5
528,57 5285,7 1
828,57 8285,7 1,5
1300 13000 2
1614 16140 2,5
1642,85 16428,5 3
1642,85 16428,5 4
1642,85 16428,5 5
1642,85 16428,5 6
1600 16000 7
1542,85 15428,5 8
1400 14000 9
1071,42 10714,2 10
928,57 9285,7 10,25
Gambar 4.1 Kurva Load terhadap Voltase percobaan

Gambar 4.2 Kurva Load terhadap Perubahan Panjang percobaan

4.1.2 Data Percobaan Pengerolan


Diameter rol : 80 mm
μ (koefisien gesek rol) : 0,1
ω (kecepatan putar rol) : 4 rad/s
Bola Uji Keras : 1/8 inci
Beban : 100 kg

Tabel 4.2 Data Pengukuran Dimensi dan Kekerasan Spesimen Sebelum Dirol
Perhitungan Panjang (mm) Lebar (mm) Tebal (mm) Kekerasan (HRE)
1 99,34 15,8 10,4 80,5
2 99,34 16,2 10,3 82,5
3 99,34 16,2 10,1 81,5
Rata-rata 99,34 16,06 10,26 81,5

Tabel 4.3 Data Pengukuran Tebal Spesimen, Tegangan Pengerolan, serta


Kekerasan Saat Dirol
Reduksi Tahapan Tebal Akhir (mm) Tegangan (V) Kekerasan (HRE)
1 9,40 1,54
2 8,76 1,89
3 8,10 1,89
25% 4 7,48 2,03 87 86 86
5 6,90 2,12
6 6,20 2,29
7 5,68 2,09
50% 8 5,04 2,19 90 92 92
9 4,40 2,43
10 3,76 2,47
11 3,16 2,62
75% 12 2,50 2,86 92 92 92

4.1.3 Mikrostruktur Proses Pengerolan

Gambar 4.3
Gambar 4.4 Mikrostruktur Cu reduksi 25%

Gambar 4.5 Mikrostruktur Cu reduksi 50%

Gambar 4.6 Mikrostruktur Cu reduksi 75%


4.2 Pengolahan Data
4.2.1 Kurva Stress-Strain
Engineering stress dan engineering strain dari spesimen dapat dihitung
menggunakan data beban dan perubahan panjang dengan rumus:

F
σ eng=
Ao

∆L
∈=
lo

Nilai gage length awal dari spesimen dapat dihitung menggunakan persen
elongasi dengan rumus:

∆L
% ∈= x 100 %
lo

10,25 mm
7,14 %= x 100 %
lo

10,25 mm
lo= x 100 %
7,14 %

lo=143,5574 mm

Untuk mendapatkan kurva true stress–true strain, nilai engineering stress


dan engineering strain harus diubah menjadi true stress dan true strain
melalui rumus:
σ T =σ (e +1)
ε T =ln (e +1)
Pengolahan data true stress dan true strain cukup menggunakan data uji
tarik dari titik luluh hingga sesaat sebelum terjadi necking.

Tabel 4.4 Pengolahan data Tegangan dan Regangan pada Uji Tarik

P (N) Δl (mm) σeng (N/mm2) E (mm/mm) 1+e σtrue (N/mm2) ε (mm/mm)


0 0 0 0 1 - -
214,2 0,25 3,344262295 0,0017415 1,001741 - -
2285,7 0,5 35,68618267 0,0034829 1,003483 - -
5285,7 1 82,52459016 0,0069659 1,006966 - -
8285,7 1,5 129,3629977 0,0104488 1,010449 - -
13000 2 202,9664325 0,0139317 1,013932 - -
16140 2,5 251,9906323 0,0174146 1,017415 256,378957 0,017264737
16428,
3 256,4949258 0,0208976 1,020898 261,8550442 0,020682202
5
16428,
4 256,4949258 0,0278634 1,027863 263,6417503 0,027482293
5
16428,
5 256,4949258 0,0348293 1,034829 265,4284564 0,034236455
5
16428,
6 256,4949258 0,0417951 1,041795 267,2151625 0,040945304
5
16000 7 249,80484 0,048761 1,048761 - -
15428,
8 240,8821233 0,0557268 1,055727 - -
5
14000 9 218,579235 0,0626927 1,062693 - -
10714,
10 167,2786885 0,0696585 1,069659 - -
2
9285,7 10,25 144,9758002 0,0714 1,0714 - -

Dari data pada Tabel 4.4, engineering stress dan engineering strain dapat diolah
menjadi grafik engineering stress dan engineering strain.

Kurva Engineering Stress - Engineering Strain


300

250

200
σ (MPa)

150

100

50

0
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08

e (mm/mm)

Gambar 4.7 Kurva Engineering Stress - Engineering Strain


Dari kurva engineering stress–engineering strain, diperoleh yield strength dan
ultimate tensile strength.

Yield Strength yang didapat sebebsar 251,991 MPa dan Ultimate Tensile Strength
sebesar 256,495 MPa.

Dari data pada Tabel 4.4, true stress dan true strain dapat diolah menjadi grafik
true stress dan true strain.

Kurva True Stress - True Strain


270
268
266
264
σT (MPa)

262
260
258
256
254
252
250
0.02 0.02 0.03 0.03 0.04 0.04 0.05

ε (mm/mm)
Gambar 4.8 Kurva True Stress - True Strain

Nilai True Stress dan True Strain diolah menjadi kurva stress flow yang
ditentukan dengan data dari setelah titik luluh hingga sesaat sebelum necking
dengan kondisi deformasi plastis yang seragam. Flow stress dapat dirumuskan
sebagai berikut:

σ =K ε n
4.2.2 Kurva Log True Stress – Log True Strain
Untuk mendapatkan koefisien strain hardening dan koefisien kekuatan,
dibutuhkan kurva log dari true stress dan true strain pada daerah plastis.
Persamaan flow stress akan dilogaritmakan menjadi:

logσ =nlogε+ logK


Tabel 4.5 Data Pengolahan Log True Stress-Log True Strain
σtrue (N/mm2) ε (mm/mm) logσtue log ε
256,378957 0,017264737 2,4088824 -1,76284
261,8550442 0,020682202 2,4180609 -1,6844032
263,6417503 0,027482293 2,4210142 -1,560947
265,4284564 0,034236455 2,4239475 -1,4655112
267,2151625 0,040945304 2,4268611 -1,3877959

 LogσT - LogεT
2.43
f(x) = 0.04 x + 2.49 2.43
R² = 0.9
2.42

2.42
 LogσT

2.41

2.41

2.4

2.4
-1.8 -1.75 -1.7 -1.65 -1.6 -1.55 -1.5 -1.45 -1.4 -1.35

LogεT

Gambar 4.9 Kurva Log True Stress - Log True Strain

Dari kurva, nilai n dan K dapat dicari dengan metode regresi yaitu:
y= mx+c

logσT = nlogεT+logK

y = 0,0427x + 2,4869

m= 0,0427

n = m = 0,0427

c = 2,4869

logK = c = 2,4869

K = 306,832 MPa

Didapat nilai K sebesar 306,832 MPa dan nilai n (koefisien strain hardening) dari
spesimen sebesar 0,0427.

4.2.3 Kurva Kekerasan – Persen Reduksi

Tabel 4.6 Data Pengolahan Kekerasan dan Persen Reduksi

% Reduksi H1 (HRc) H2 (HRc) H3 (HRC) HM (HRC)


0 80,5 82,5 81,5 81,5
25 87 86 86 86,33
50 90 92 92 91,33
75 92 92 92 92

Dari Tabel 4.6, kurva perubahan kekerasan terhadap persen reduksi dapat
ditentukan.
Kekerasan - Reduksi
94
92
90
Kekerasan (HRE)

88
86
84
82
80
78
76
0 10 20 30 40 50 60 70 80

Reduksi (%)

Gambar 4.10 Kurva Kekerasan – Reduksi

4.2.4 Kurva Pengerolan Pelat


Untuk menentukan besar gaya pengeloran, dibutuhkan nilai tebal spesimen
sebelum dirol (ho), tebal spesimen setelah di rol (hf), rata-rata tebal
spesimen (hmean), dan perubahan ketebalan (Δh).

Tabel 4.6 Data Ketebalan untuk Setiap Tahap Pengerolan

Reduksi Tahap ho (mm) hf (mm) hmean (mm) Δh (mm)


1 10,26 9,40 9,83 0,86
2 9,40 8,76 9,08 0,64
25
3 8,76 8,10 8,43 0,66
4 8,10 7,48 7,79 0,62
1 7,48 6,90 7,19 0,58
2 6,90 6,20 6,55 0,7
50
3 6,20 5,68 5,94 0,52
4 5,68 5,04 5,36 0,64
75 1 5,04 4,40 4,72 0,64
2 4,40 3,76 4,08 0,64
3 3,76 3,16 3,46 0,6
4 3,16 2,50 2,83 0,66

Dari nilai ketebalan spesimen tiap persen reduksi, regangan yang terjadi pada
material selama proses pengerolan berupa ε0, εf , ε i, dan ε m dapat dicari dengan
rumus:

h0 awal
ε 0=ln
h0 i
h 0 awal
ε f =ln
hfi
h0
ε i=ln
hfi
ε0 + εf
ε m=
2

Tabel 4.7 Data Regangan untuk Setiap Tahap Pengerolan

Reduks
Tahap ho (mm) hf (mm) ε0 εf εi εm
i
1 10,26 9,40 0 0,087543 0,087543 0,087543
2 9,40 8,76 0,08754315 0,158057 0,070514 0,114285
0,15805693
25 3 8,76 8,10 0,236389 0,078332 0,15736
5
0,23638877
4 8,10 7,48 0,31602 0,079631 0,197826
8
0,31602004
1 7,48 6,90 0,396731 0,080711 0,238721
8
0,39673142
2 6,90 6,20 0,503704 0,106972 0,305338
8
50
0,50370354
3 6,20 5,68 0,591302 0,087598 0,33945
8
0,59130160
4 5,68 5,04 0,710847 0,119545 0,415196
7
75 1 5,04 4,40 0,71084675 0,846648 0,135802 0,491225
8
0,84664829
2 4,40 3,76 1,003834 0,157186 0,58051
9
1,00383388
3 3,76 3,16 1,177681 0,173847 0,675764
2
1,17768081
4 3,16 2,50 1,411962 0,234281 0,823122
2

Dari data pada Tabel 4.6, Δh dan h́ dapat diolah menjadi panjang proyeksi busur
rol yang bersentuhan dengan benda kerja (Lp) dan nilai Q dengan rumus:

LP =√ Rx ∆ h

Dengan R adalah jari-jari rol sebesar 40 mm.

Lp
Q=μ
h´m

Dengan μ adalah koefisien gesek rol dengan benda kerja sebesar 0,1.

Dari data pada Tabel 4.7 dan data Lp serta Q, tegangan alir rata-rata teoritis (σ 0T )
dan gaya yang dibutuhkan oleh rol secara teoritis (PT) dapat dihitung dengan
rumus:

εf
1
σ 0T = k ε n dε
ε f −ε 0 ∫
ε0

1
σ 0T = k (ε f n+1−ε 0n+1 )
ε f −ε 0
Dengan nilai K dan n yang didapat pada pengolahan uji tarik sebesar:
K = 306,832 MPa
n = 0,0427
2 1 Q
PT =
√3
σ 0 b LP
Q (
( e −1 ) )
Dengan b adalah tebal pelat.
Tabel 4.8 Data Lp, Q, Tegangan dan Gaya Teoritis untuk Setiap Tahap
Pengerolan

Reduksi Tahap Lp (mm) Q σ 0T (MPa) PT (N)


1 6,819943 0,069379 276,524 23135,71
2 7,905694 0,087067 292,3601 26211,92
25
3 7,784989 0,092349 298,4255 24619,26
4 8,032193 0,103109 302,7875 23961,21
1 8,304548 0,115501 306,1172 23275,38
2 7,559289 0,115409 309,1851 19738,75
50
3 8,77058 0,147653 311,7952 21096,76
4 7,905694 0,147494 314,1061 17549,13
1 7,905694 0,167494 316,5187 15853,22
2 7,905694 0,193767 318,8578 14132,35
75
3 8,164966 0,235982 321,1083 12838,46
4 7,784989 0,275088 323,4643 10576,55

Gaya pengerolan teoritis kemudian akan dibandingkan dengan gaya


pengerolan yang terukur. Gaya pengerolan yang terukur dapat ditentukan
dengan mengkonversi nilai voltase menjadi nilai gaya menggunakan kurva
Load-Voltase pada Gambar 4.1.

Tabel 4.9 Data Konversi Nilai Voltase ke Gaya

Reduksi Tahapan Voltase (V) Pterukur (N)


1 1,54 4250
2 1,89 5650
3 1,89 5650
25% 4 2,03 6200
5 2,12 6650
6 2,29 7500
7 2,09 6600
50% 8 2,19 7250
9 2,43 8300
10 2,47 8500
Beban 11
Terukur vs Beban
2,62Teorits 9100
75%
30000 12 2,86 9800
25000
20000
Gaya (N)

15000 P Teoritis
P Terukur
10000
5000
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

Regangan
Gambar 4.11 Kurva Beban Terukur vs Beban Teoritis
BAB V
ANALISIS DATA

Pada percobaan kali ini, kami menyiapkan spesimen tembaga dengan


panjang sekitar 99,34 mm. Selain itu, spesimen juga diukur ketebalan dan
lebarnya. Sebelum dilakukan proses pengerolan, spesimen dikikir dulu untuk
dilakukan pengujian kekerasan awal spesimen sebelum pengerolan. Lalu kita
mendapatkan nilai kekerasan rata-ratanya sebesar 81,5 HRE. Setelah itu, spesimen
kita reduksi dengan 3 kali reduksi. Yaitu 25% reduksi, lalu 50% reduksi dan 75%
reduksi. Masing-masing reduksi akan di hitung nilai kekerasannya.
Setelah proses pengerolan selesai, maka didapatkan nilai kekerasan pelat
tembaga pada reduksi 25% sebesar 86,33 HRE, reduksi 50% sebesar 91,33 HRE
dan reduksi 75% sebesar 92 HRE. Sehingga didapatkan hubungan antara persen
reduksi dengan nilai kekerasan yang berbanding lurus. Artinya, semakin besar
persen reduksi yang diberikan kepada benda kerja, maka akan semakin besar pula
nilai kekerasan dari permukaan benda kerja tersebut. Kurvanya dapat dilihat pada
bab pengolahan data. Hal ini dapat terjadi karena pada saat pengerolan, terjadi
peristiwa strain hardening. Peristiwa strain hardening akan terus terjadi selama
proses pengerolan dan penambahan persen reduksi pada benda kerja. Strain
hardening ini terjadi akibat adanya penumpukan dislokasi akibat deformasi
plastis. Strain hardening yang terjadi menyebabkan material akan semakin kuat
dan keras namun cenderung bersifat lebih getas.
Adapun fenomena yang terjadi pada saat pengerolan ini adalah strain
hardening karena proses pengerolan yang kita lakukan termasuk kepada jenis
pengerolan cold rolling karena dilakukan pada temperatur kamar atau dibawah
temperatur rekristalisasi.

Bentuk butir yang dihasilkan pada cold rolling ini adalah elongated grain.
Hal ini terjadi karena pada proses cold rolling butir tidak mengalami tahap seperti
annealing dimana butir memiliki waktu untuk bertumbuh (grain growth) sehingga
butir tidak dapat berbentuk equiaxial grain. Akibatnya,struktur butir yang
dihasilkan adalah elongated grain seperti yang terlihat pada gambar mikrostruktur
spesimen di bab pengolahan data.

Adapun cacat yang dapat diamati dari spesimen setelah mengalami proses
pengerolan adalah Alligatoring, roll bending dan side crack. Alligatoring dapat
disebabkan karena kualitas material yang dirolling kurang baik sehingga mudah
terbelah menjadi 2. Lalu roll bending dapat terjadi karena roll mengalami
pelengkungan permukaan sehingga benda kerja ada yang menerima gaya tarik dan
gaya tekan yang mengakibatkna permukaannya menekuk atau mengalami
bending, penyebab hal ini terjadi bisa juga karena kekerasan benda kerja lebih
keras dibandingkan dengan kekerasan pengerolan. Selain itu, setelah pengerolan,
dapat dilihat bahwa bagian pinggir dari benda kerja terlihat adanya retakan-
retakan kecil (side crack). Hal ini bisa terjadi karena deformasi plastis di arah
lebar (lateral) besarnya tidak seragam di sepanjang benda kerja.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan di atas adalah :
1. Nilai n (koefisien strain hardening) yang didapatkan adalah 0,0427 dan K
sebesar 306,832 MPa.
2. Nilai kekerasan pada 0% reduksi adalah 81,5 HRE, 25% reduksi adalah 86,33
HRE, 50% reduksi adalah 91,33 HRE dan 75% reduksi adalah 92 HRE.

6.2 Saran
Saran saya pada praktikum ini adalah sebaiknya praktikan diberikan
kesempatan untuk melakukan uji tarik juga kepada spesimen dan melihat
langsung struktur mikro dari spesimen di bawah mikroskop setiap peningkatan
peresentase reduksi pada saat pengerolan.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Dieter, G.E. 1988. Mechanical Metallurgy, SI Metric Edition. McGraw Hill.
[2]Https://ardra.biz/sain-teknologi/metalurgi/pembentukan-logam-metal-
forming/proses-canai-panas-canai-dingin-hot-rolling-cold-rolling/ Diakses pada
12 November (21:40)
[3]Http://teknikmesinmanufaktur.blogspot.co.id/2015/10/cacat-pada-plat-dan-
sheet-produk.html Diakses pada 12 November (22:15)
LAMPIRAN A
PERTANYAAN SETELAH PRAKTIKUM
1. Jelaskan mengapa pelat hasil pengerolan sering tidak lurus dan tebalnya
tidak seragam?
2. Menurut perkiraan saudara, adakah pengaruh kecepatan pengerolan
terhadap daya dan gaya pada proses rolling?
3. Jelaskan kegunaan proses Annealing pada tembaga hasil cold work !
Gambarkan struktur mikro spesimen dari tembaga sebelum dan sesudah
cold work serta setelah di anneal!
JAWAB =
1. Pelat hasil pengerolan sering kali tidak lurus dan tebalnya seragam dapat
diakibatkan karena pelat yang dimasukan ke dalam roll tidak tegak lurus
terhadap roll atau bisa juga karena roll yang terpasang tidak sejajar secara
vertikal satu sama lain. Selain itu perbedaan kekerasan di sepanjang
permukaan pelat dapat juga menjadi salah satu faktornya.
2. Iya adanya pengaruh dari kecepatan pengerolan terhadap daya dan gaya
pada proses rolling. Semakin cepat kecepatan pengerolan, maka waktu
akan semakin sedikit untuk pelat dan rol bergesekan sehingga gaya untuk
menekan roll harus lebih besar. Gaya tekan yang besar dibutuhkan
sehingga daya yang besar diperlukan.
3. Tujuan proses annealing pada tembaga hasil cold work untuk
menghilangkan fenoema strain hardening yang terjadi selama proses cold
working berlangsung. Gambar struktur mikro tembaga setelah di Anneal
adalah sebagai berikut
LAMPIRAN B
FOTO FOTO SPESIMEN SETELAH PENGEROLAN DAN UJI KERAS

Gambar 6.1 (Spesimen Reduksi 25%)

Gambar 6.2 (Ketebalan Spesimen Reduksi 25%)


Gambar 6.3 (Spesimen Reduksi 50%)

Gambar 6.4 (Ketebalan Spesimen Reduksi 50%)


Gambar 6.5 (Spesimen Reduksi 75%)

Gambar 6.6 (Ketebalan Spesimen Reduksi 75%)

Anda mungkin juga menyukai