Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Hubungan Durabilitas Dan Sustainability Pada Elemen Struktur

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

Hubungan Durabilitas dan Sustainability pada Elemen Struktur

A. Durabilitas
Dalam suatu proses pembuatan beton, yang perlu diperhatikan adalah
kekuatan, keekonomisan, dan durabilitas bahan dari beton tersebut. Durabilitas adalah
daya tahan suatu bahan terhadap beban yang akan diterimanya.
Struktur beton yang diperkuat dengan tulangan baja membentuk sebuah
bagian yang penting dalam infrastruktur saat ini. Kombinasi sifat kuat tekan yang
tinggi pada beton dan kuat tarik pada tulangan baja memberikan sebuah bahan
komposit ideal yang menawarkan aplikasi yang lebih luas cakupannya dibandingkan
dengan bahan-bahan lain pada bidang teknologi struktur sipil. Gedung-gedung,
jembatan, tiang- tiang, tangki dan pipa, dapat dibuat dari bahan beton bertulang.
Secara tradisional, faktor-faktor struktur dan non-struktur yang mempengaruhi
kemampu- layanan sebuah bangunan diperlakukan sebagai isu yang terpisah oleh para
desainer dan dihubungkan dengan lingkup ilmu teknik yang lain. Pada salah satu sisi,
nilai estetik dari sebuah struktur menjadi sebuah fokus selama proses desain. Pada sisi
yang lain, struktur tersebut didesain agar aman dan reliabel saat menerima berbagai
kondisi pembebanan. Tidak hanya beban-beban mekanis saja yang harus diperhatikan,
setiap struktur yang terbuka memiliki sebuah efek yang sangat besar pada tingkat
durabilitasnya. Oleh karena struktur bersentuhan langsung dengan lingkungan, maka
secara otomatis bahan-bahan bangunan juga berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya. Durabilitas bahan-bahan bangunan sangat mempengaruhi kualitas suatu
struktur dan umur bangunan.
Permasalahan yang dihadapi tersebut bukanlah dihadapi oleh negara-negara
maju semata, namun juga dihadapi oleh setiap negara yang mengembangkan
teknologi beton bertulang. Beton bertulang variannya akan sangat tergatung pada
ketersediaan agregat setempat dimana beton tersebut dibuat. Artinya bahwa
permasalahan yang menyangkut beton bertulang akan selalu dihubungkan dengan
ketersediaan bahan-bahan lokal yang sesuai. Terlebih lagi, meski secara garis besar
permasalahan yang menyangkut korosi pada struktur beton bertulang di setiap negara
adalah sama, namun hal ini tidak lepas dari sifat bahan-bahan lokal yang digunakan
pada campuran beton tersebut, metode pencampuran, cara pengecoran dan perawatan
pasca pengecoran.
Uji unjuk kerja agregat terhadap lingkungan yang merusak ini dilakukan
kurang lebih selama 112 hari secara kontinu. Pengujian ini dilakukan di Laboratorium
Hidrolika, Jurusan Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan, Fakultas Teknik,
Universitas Negeri Yogyakarta. Pengujian dilakukan di Laboratorium Hidrolika ini
berbeda dengan rencana pengujian awal yang menggunakan Laboratorium Bahan
Bangunan. Laboratorium Bahan Bangunan digunakan untuk pengujian awal bahan-
bahan yang akan digunakan sedangkan Laboratorium Hidrolika digunakan untuk
eksekusi spesimen yang telah dicetak di Laboratorium Bahan Bangunan. Spesimen uji
yang telah dicetak di laboratorium dan siap untuk diuji diberikan pada gambar di
bawah ini.
Gambar 1cSpesimen Uji
Pengujian korosi terakselerasi menggambarkan serangan dari lingkungan yang
merusak (dalam hal ini adalah lingkungan air laut / air bergaram pada konsistensi
tertentu) pada struktur beton yang dicetak menggunakan bahan-bahan dari quarry
yang sama. Selama pengujian berlangsung, secara periodik perubahan potensial dari
setiap spesimen dibaca dan dicatat. Selain itu, perubahan kesadahan larutan air
bergaram juga dicatat
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : (1)
Terdapat dua pengkondisian uji terhadap balok beton bertulang, yakni (a) balok beton
dikondisikan terhadap beda kuat desak, dan (b) balok beton dikondisikan dengan beda
kadar garam air rendaman. (2) Dari kedua kondisi yang diberikan, perlakuan kondisi
(a) maupun kondisi (b) tidak memberikan pengaruh terhadap kuat lentur balok beton.
(3) Balok beton masih memberikan nilai kuat lentur yang meningkat sejalan dengan
berjalannya waktu dan dengan kenaikan kuat desaknya. (4) Tidak terpengaruhnya
balok beton pada kedua kondisi yang diberikan diduga disebabkan karena proses
pengkondisian yang tidak terjadi dengan sempurna, sehingga proses yang diharapkan
terjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. (5) Proses korosi paksa tidak dapat
berjalan dengan baik karena larutan penghantar tidak dapat masuk/merambat ke
dalam beton. (6) Parameter kuat lentur yang diperoleh belum mencerminkan kondisi
struktur beton yang berada di lingkungan yang merusak.
Selain itu, penelitian karakteristik durabilitas beton agroplolimer kombinasi
dengan meanfaatkan limbah sekam padi, abu ampas dan kapur sebagai bahan
alternatif pengganti semen. Penelitan ini dimotifasi oleh kenaikan harga semen yang
semakin lama semakin tinggi, serta keterbatasan sumber daya alam pada proses
produksi semen Portland. maka penelitan untuk mencari sumber alternatif pengganti
semen perlu digalakkan. Kenaikan harga semen dirasakan sangat berat oleh
masyarakat. Oleh karena itu berdasarkan beberapa literatur jurnal yang pernah
meneliti mengenai penggunaan bahan alternatif pengganti semen telah dilakukan
serangkaian uji coba terhadap pengunaan bahan limbah abu sekam padi (Rice Husk
Ash) dan abu ampas tebu (Bagase Husk Ash) dalam kaitannya mencari bahan
pengganti semen alternatif dengan memanfaatkan limbah yang banyak tersedia .
Bahan pengganti semen alternatif yang telah diteliti pada penelitian ini adalah
berupa material limbah dari hasil penggilingan padi (sekam padi) yang banyak
dihasilkan oleh pabrik penggilingan padi serta ampas tebu yang diperoleh dari hasil
perasan batang tebu yang banyak diproduksi oleh pengusaha kecil air tebu sebagai
limbah dari perasan tebu. Selanjutnya bahan limbah tersebut dikeringkan dan
dibakar sampai mencapi suhu optimum 700 C0 berdasarkan hasil penelitian Bakri
[1] ,selanjutnya dicampur dengan kapur yang telah dihaluskan dengan menggnakan
mesin Los Angeles serta pasir.
Semen alternatif adalah semen yang dibuat dengan bahan dasar kapur yang
dicampur dengan pozzolan. Semen alternatif seperti ini sering disebut sebagai kapur
hidraulik atau hydraulic lime (British geological survey, 2005). Abu sekam padi dan
abu ampas tebu termasuk salah satu jenis pozzolan [2]. penggunaan bahan ampas
tebu serta abu sekam padi sebelum digunakan dalam campuran beton mortar perlu
diperiksa kadar silica adalah sangat penting. guna mengetahui kandungan Silica yang
ada dalam abu sekam padi dan abu ampas tebu. Pemeriksaan dilakukan setelah sekam
padi dan ampas tebu dibakar dengan peralatan furace pada tempratur 700 C0 selama 2
jam, selanjutnya material dibiarkan dingin selama 24 jam. Sebanyak 10 mg abu
ampas tebu dan abu sekam disiapkan dalam plastic guna dilakukan pemeriksaan
dengan peralatan SEM. Hasil pemeriksaan dengan SEM untuk abu sekam yang diuji
mengandung kadar Silica sebesar 42,3 % dan untuk abu ampas tebu mengandung
Silica 53,2 % melebihi kadar silica yang ada pada Portland cement yaitu 32 %.
Hasil penelitian terhadap Karakteristik Durabilitas beton agropolimer dengan
memanfaatkan limbah abu sekam padi, abu ampas tebu dan kapur terlihat bahwa
penambahan abu ampas tebu sebesar 10 % maupun 20 % dari jumlah semen
menghasilkan kuat tekan yang lebih baik dari pada benda uji kontrol.

B. Sustainabilty
Dalam upaya meningkatkan usia masa layan atau service life, riset-riset
terbaru terkait self-healing concrete mulai banyak dilakukan di banyak tempat untuk
mengatasi kelemahan beton terhadap retak khususnya pada daerah basah dan agresif
yang menjadi pintu masuk kerusakan struktur beton bertulang lebih lanjut berupa
spalling concrete akibat korosi pada besi tulangan. Proses crack-healing dilakukan
secara alami oleh agen bakteri yang dimasukan saat pembuatan beton baik melalui
direct mixing yaitu dicampurkan pada air campuran beton, atau melalui media seperti
LWA (light weight aggregates) dan GNP (graphite nano platelets) [5]. Dengan cara
demikian, proses perawatan beton akibat retak dapat dilakukan dengan sendirinya
sehingga dapat signifikan menurunkan biaya perawatan bangunan. Proses perbaikan
retak dengan agen bakteri ini berlangsung tidak cepat, tetapi dapat mencapai beberapa
hari tergantung pada ukuran lebar retak.
Dalam upaya untuk meningkatkan performance, dewasa ini dikenal adanya
ultra-high performance fiber reinforced concrete (UHPFRC) atau beton berkekuatan
tinggi dan berkinerja tinggi. Beton jenis ini diperoleh dengan cara penambahan micro-
silica dan utamanya penambahan fibers, jenis steel fibers adalah yang paling umum
digunakan [7]. Bendable concrete adalah salah satu produk Engineered Cementious
Composite (ECC) yang diperoleh dengan pencampuran serat polyvinil alcohol (PVA)
and bubuk silica pada semen mortar [8]. Produk ini memiliki keistimewaan ketahanan
terhadap beban-beban siklik terus menerus seperti yang sering terjadi pada struktur
lantai jembatan. Apabila beton sudah dibuat dengan kekuatan tekan yang tinggi, misal
sampai dengan 220 MPa untuk kelompok ultra-high strength concrete, maka dimensi
struktur beton bisa dibuat lebih kecil. Namun tentu saja teknologi untuk proses daur-
ulang beton menjadi semakin boros energi seiring dengan tingginya nilai kuat tekan
beton. Hingga saat ini pemanfaatan beton re-cycle oleh industri masih jarang atau
bahkan belum dilakukan sehingga membuat beton belum sepenuhnya sustainable.
Material berikutnya adalah fiber reinforced polymer (FRP). FRP ini diperoleh
dari kombinasi polymer resin dengan serat yang kuat. Diproduksi dalam bentuk
lembaran (sheet atau layer) dan tulangan (rebar) dengan jenis serat yang umumnya
dipergunakan adalah carbon, aramid, kaca, dan basalt. Bila dibandingkan dengan
material konstruksi lainnya, FRP memiliki nilai rasio strenght-to-weight dan stiffness-
to-weight yang lebih baik [9]. Pada bangunan teknik sipil, FRP digunakan untuk
tindakan perbaikan dari elemen struktur yang mengalami kegagalan [10] seperti pada
pilar jembatan Cisomang. Produksi FRP membutuhkan energi yang jauh lebih banyak
dari pada memproduksi baja dalam satuan berat yang sama, yaitu sekitar 3-5 kali [9].
Namun demikian, karena volume FRP yang dimanfaatkan untuk konstruksi adalah
jauh lebih sedikit atau lebih ringan dari pada material baja atau beton, maka
kebutuhan bahan bakar untuk transportasi dan alat- alat berat akan jauh lebih sedikit.
Kendala yang muncul dalam pemanfaatan FRP ini adalah sangat sedikitnya industri
komersial yang dapat melakukan proses daur-ulang (recycling) disebabkan
keterbatasan teknologi dan pertimbangan ekonomi.

Gambar 2 Contoh balok kayu laminasi lem (glulam) pada struktur atap Richmond Olympic
Oval, Vancouver (Sumber: https://flynncompanies.com/portfolio/architectural-
metals/richmond-olympic-oval/)
Material beton dan FRP sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan material
konstruksi yang mengkonsumsi energi banyak baik dalam proses produksi maupun
daur-ulang sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 [11]. Hal ini berbeda dengan
material bangunan yang berasal dari kelompok renewable atau bio-based materials
seperti kayu. Selama proses pertumbuhan pohon kayu ikut membantu proses
pengurangan GHG dengan cara mengikat carbon dioksida, salah satu gas terpenting
dalam GHG, dalam proses fotosintesis dan kemudian menyimpan unsur carbon untuk
pertumbuhan sel kayu. Proses pengikatan carbon dioksida ini oleh pohon berjalan
sangat cepat ketika pohon masih muda dan akan melambat saat pohon menjadi tua;
agar terhindar dari bencana pohon tumbang, maka pohon tua (sumber kayu
konstruksi) seharusnya digantikan dengan pohonmuda. Untuk dapat terus-menerus
meningkatkan laju penyerapan carbon dioksida sebagai upaya untuk memperlambat
laju pemanasan global maka luas area (artificial) hutan perlu ditingkatkan. Hal inilah
yang menjadi salah satu misi dibuatnya carbon Trade antara negara-negara maju
(identik dengan negara industri penghasil emisi GHG dan memiliki luas hutan sedikit)
dengan negara-negara berkembang (identik dengan negara yang masih memiliki area
hutan yang luas). Pada carbon trade tsb, negara-negara maju memberikan dana kepada
negara berkembang sebagai kompensasi dari proses pengurangan emisi GHG berasal
dari negara maju oleh hutan yang dimiliki oleh negara berkembang. Indonesia sebagai
salah satu dari negara potensial penerima dana carbon trade dapat dipastikan akan
memiliki luas area hutan yang tetap atau bahkan bertambah sehingga ketersedian
material kayu akan dapat dipastikan lestari atau sustainable. Namun demikian, laporan
resmi tahun 2015 menyatakan bahwa luas hutan Indonesia telah hilang sampai dengan
40% dalam kurun waktu 1955-2015 dengan laju kerusakan mencapai 0,84 juta hektar
per tahun.

Sumber Referensi
Ali Awaludin, Ph.D, IPM ,Sustainable Building Materials adalah Kebutuhan,
July 2017
Pramudiyanto1, A. Manap2, Pusoko Prapto3 , UJI DURABILITAS BAHAN
PADA ELEMEN BALOK BETON BERTULANG AKIBAT BEBAN STATIK DI
LINGKUNGAN YANG MERUSAK , ABSTRACT INERSIA, Vol. XII No. 2,
Desember 2016

Anda mungkin juga menyukai