Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Hukum Syar'i

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

HUKUM SYAR’I

“Pengertian, Pembagian, dan Macam-Macam”

Disusun oleh :

MUHAMMAD FADHIL : 2110402075

Dosen Pengampu:

SYUKRAWATI, M.A

MAHASISWA JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) KERINCI

2022 M / 1443 H
A. Pengertian Hukum Syar’i.
Ahli ushul fiqh dan ahli fiqh berbeda pandangan dalam mengartikan hukum
syar’i tersebut. Pihak yang pertama, mendefinisikan hukum syar’i sebagai khitab (
titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung tuntutan,
kebolehan, boleh pilih atau wadha’ ( yaitu mengandung ketentuan tentang ada atau
tidaknya suatu hukum ). Sedangkan pihak kedua, mendefinisikan sebagai efek yang
dikehendaki oleh titah Allah tentang perbuatan seperti wajib, haram, dan mubah. Dan
melalui pemahamannya terhadap definisi ini ada ulama yang mengatakan bahwa
hukum syar’I itu merupakan koleksi daya upaya para fuqaha untuk menerapkan syariat
atas kebutuhan masyarakat.

Hukum Syar’i adalah hukum yang berkaitan dengan perintah dan larangan
Allah terhadap manusia. Hukum syar’i tentu bidangnya lebih lengkap dan luas.
Kelengkapan ini timbul karena hukum syar’i tidak dibuat oleh manusia dan tidak
dipengaruhi oleh perbuatan manusia, murni dari Allah. Hukum ini dibuat dan
ditentukan oleh syara’ atau agama. Maka tidak ada suatu apapun dari kehidupan
manusia yang tidak diatur oleh agama Islam.
Hukum Syar’i ialah hukum-hukum Islam yang merupakan perintah dan
larangan Allah dan setiap muslim mukallaf yakni yang sudah akil baligh dan ber’akal
sehat wajib baginya untuk mengetahui hukum-hukum tersebut.
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau
“memutuskan”.Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti”khitab
(kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla
(perintah,larangan,anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan),
takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melkakukan dan tidak
melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat,
atau mani’[penghalang]).
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan sabda
Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang
berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum
yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
Bila dicermati dari definisi diatas, ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau
hadits-hadits hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam :
a. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang
diperintahkan itu sifatnya wajib.
b. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya
haram.
c. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan
untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
d. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan
untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e. Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan,
dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya
mubah.

B. Macam-Macam Hukum Syar’i.

Menurut ulama usul hukum syar’i terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan
hukum wad’i.

1. Hukum Taklifi.

a. Pengertian Hukum Taklifi.

Hukum taklifi adalah firman Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
yang menghendaki tuntutan untuk melakukan atau menjauhi atau untuk membuat pilihan. Di
namakan hukum taklifi karena adanya pembebanan atau tuntutan kepada manusia.

Contohnya, Firman Allah Swt yang menuntut mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan.

َ ‫ُخ ْذ ِم ْن َأ ْم َوالِ ِه ْم‬


َ ‫ص َدقَةً تُطَهِّ ُرهُ ْم َوتُ َز ِّكي ِه ْم بِهَا َو‬
‫صلِّ َعلَ ْي ِه ْم‬

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka." (QS. At-Taubah:103)
b. Macam-macam Hukum Taklifi.

Mayoritas ulama ushul membagi hukum taklifi menjadi 5 :

1) Ijab : Yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang pasti.
2) Nadb : yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan
dengan tuntutan yang tidak pasti atau anjuran untuk melakukan.
3) Tahrim : Yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk tidak melakukan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
4) Karahah : yaitu tuntutan Allah Swt kepada mukallaf untuk tidak melakukan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti atau anjuran untuk menjauhi.
5) Ibahah: yaitu Permintaan Allah Swt kepada mukallaf untuk memilih antara
melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.

Ulama Ḥanafi membagi hukum taklifi menjadi 7 bagian dengan membagi firman
Allah Swt yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti pada dua bagian
ijab dan farḍu dan membagi karahah menjadi dua yaitu karahah at-tanzih dan karahah at-
tahrim.

Dengan pembagian hukum taklifi seperti tersebut di atas, Ulama’ Hanafiyah membagi
hukum taklifi kepada fardu,Ijab, nadb, tahrim, karahah at-tanzih, karahah at-tahrim dan
Ibahah.

Tetapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian
seperti telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan
mukallaf dan efek itu oleh ulama fikih dinamakan al-aḥkām al-khamsah, yaitu:

1) Wajib.

Wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt untuk dilakukan dengan
tuntutan pasti, di mana pelakunya akan mendapat pujian sekaligus pahala dan yang
meninggalkan akan mendapat celaan atau hinaan sekaligus hukuman.

Menurut mayoritas ulama bahwa wajib adalah sinonim dari fardu.

2) Mandub.

Mandub adalah perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt dengan tuntutan tidak
pasti atau dengan kata lain segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan
tidak di kenai siksa apabila meninggalkannya, mandub ini disebut juga sunah atau
mustahab.

3) Muharram (haram).

1
Muharram adalah perbuatan yang di tuntut oleh Allah swt untuk di tinggalkan
dengan tuntutan pasti atau dengan kata lain segala perbuatan yang apabila di lakukan
mendapat siksa dan apabila di tinggalkan mendapat pahala misalnya mencuri, membunuh
dan lain sebagainya.

4) Makruh.

Makrūh adalah perbuatan yang dituntut oleh Allah Swt untuk di tinggalkan
dengan tuntutan tidak pasti atau dengan kata lain perbuatan yang bila ditinggalkan,
mendapat pahala, dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.

Misalnya: memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, salat di
kandang unta dan lain sebagainya.

5) Mubah.

Mubah adalah perbuatan yang dibebaskan oleh Allah Swt untuk dilakukan
ataupun ditinggalkan.

2. Hukum wad’i.

a. Pengertian Hukum wad’i.

Hukum wad’i adalah firman Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, sebagai syarat adanya
yang lain dan sebagai penghalang adanya yang lain.

Contoh :

ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا َأ ْي ِديَهُ َما َج َزا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِمنَ هَّللا ِ ۗ َوهَّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( QS. Al-Maidah : 38).

Ayat ini menetapkan bahwa pencurian menjadi sebab diwajibkanya potong


tangan. b. Macam-macam Hukum Wad’i. Dari pengertian di atas maka hukum wad’i
terbagi menjadi sebab, syarat, dan mani’ namun sebagian ulama memasukan sah,
batal, azimah dan rukhsah sebagai bagian dari hukum wad’i.

1) Sabab.

Menurut bahasa sesuatu yang dapat mengakibatkan sesuatu yang lain. Menurut
istilah adalah khitab Allah Swt yang menjadikan sesuatu sebagai sabab ada dan tidaknya
suatu hukum. Atau adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu
menyebabkan tidak adanya hukum.

2
Contoh : masuknya waktu salat adalah menyebabkan adanya pelaksanaan shalat
dengan tidak adanya masuknya waktu tidak akan ada pelaksanaan shalat.

2) Syarat.

Menurut bahasa sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain. Menurut
istilah adanya sesuatu yang mengakibatkan adanya hukum, dan tidak adanya sesuatu itu
mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula
adanya hukum, atau sesuatu yang padanya tergantung keberadaan sesuatu yang lain dan
berada di luar hakekat sesuatu yang lain itu.

Misal : Wudhu adalah syarat sah shalat, dalam arti adanya shalat tergantung pada
adanya wudhu namun wudhu itu sendiri bukanlah merupakan bagian shalat. jika tidak ada
wudhu maka tidak akan ada sah shalat, namun dengan adanya wudhu tidak mesti ada sah
shalat, karena bisa jadi seseorang berwudhu tetapi tidak melakukan shalat.

3) Mani’ (penghalang).

Menurut bahasa mani’ adalah penghalang. Menurut istilah adalah sesuatu yang di
tetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Mani’ terbagi menjadi 2 :

 Mani’ terhadap hukum yaitu sesuatu yang di tetapkan oleh syariat sebagai penghalang
bagi berlakunya hukum. seperti ḥaiḍ dan nifas adalah mani’atau penghalang wajibnya
shalat meskipun sebabnya ada yaitu masuknya waktu. Membunuh menjadi mani’
adanya hukum yaitu mewarisi meskipun sebabnya ada yaitu kekerabatan.
 Mani’ terhadap sabab yaitu sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sabab, sehingga sabab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum.
Seperti berhutang menjadi mani’ atau penghalang wajibnya zakat karena tidak
terwujudnya sabab yaitu kepemilikan satu nisab.
4) Sah.

Sah adalah suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf dengan memenuhi
syarat dan rukunnya, contoh di dalam ibadah pelaksanaan shalat, zakat, puasa, haji yang
syarat dan rukunya terpenuhi.

Contoh dalam muamalah seperti nikah, jual beli, wakaf dsb apabila di lakukan
sesuai dngan syarat dan rukunya.

5) Batal.

Batal adalah suatu perbuatan yang di lakukan oleh mukallaf yang syarat dan
rukunnya tidak terpenuhi, seperti shalat yang syarat maupun rukunya tidak terpenuhi.

6) Rukhsah.

Rukhsah adalah sesuatu yang dalam kondisi tertentu di syariatkan dalam rangka
memberikan keringanan terhadap mukallaf .

3
7) Azimah.

Azimah adalah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk seluruh mukallaf dan
dalam semua keadaan dan waktu, misalnya : shalat farḍu lima waktu sehari semalam, dan
puasa pada bulan ramadhan.

Anda mungkin juga menyukai