Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Final HS Mutahar

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 292

Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | i

EDITOR
Faishal Hilmy Maulida, M.Hum

TIM PENYUSUN
Dr. Tri Wahyuning, M.A
Agus Hermanto, S.Pd., M.Hum
Syefri Luwis, M.Hum

Inventarisasi Sumber Arsip

Husein
Mutahar
PENGABDIAN DAN KARYANYA

DIREKTORAT SEJARAH
DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
INVENTARISASI SUMBER ARSIP
HUSEIN MUTAHAR: PENGABDIAN DAN KARYANYA

EDITOR
Faishal Hilmy Maulida

TIM PENYUSUN
Tri Wahyuning
Agus Hermanto
Syefri Luwis

PENGARAH
Direktur Sejarah | Triana Wulandari

PENANGGUNG JAWAB
Saptari Novia Stri

SEKRETARIAT DAN PRODUKSI


Budi Karyawan Sedjati, Ratih Widdyastuti, Dede Sunarya, M. Imam Firdaus,
Dirga Fawakih, Isti Sri Ulfiarti, M Hafiz Wahfiuddin, Zakiyah Egar Imani,
Yunia Sarah, Ryano Septian Bruning, Nur Wahyudi

DESAIN SAMPUL & TATA LETAK


Wahid Hisbullah

ILUSTRATOR COVER
Kendra Hanif Paramita

PENERBIT
Direktorat Sejarah
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

ALAMAT REDAKSI
Direktorat Sejarah, Gedung E Lantai 9, Kompleks Kemdikbud,
Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, 10270

Cetakan Tahun 2019


ISBN: 978-623-7092-52-0
SAMBUTAN
DIREKTUR SEJARAH

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

B erbicara mengenai sumber sejarah baik kedudukan, fungsi, dan


perannya dalam historiografi, menjadi penting untuk diketengahkan.
Tidak ada sejarah tanpa sumber, itulah pernyataan yang sering terdengar
dalam memperkuat argumentasi posisi sumber yang perlu mendapat
tempat utama. Atas dasar itu, Direktorat Sejarah memiliki tanggungjawab
dalam menginventarisir, memastikan keberadaan sumber, dan
mensosialisasikannya agar memudahkan akses bagi semua pihak untuk
memanfaatkannya bagi kepentingan ilmu. Disadari pula bahwa dengan
sumber dan data sejarah, suatu peristiwa dapat diungkap. Walaupun
peritiwa yang diungkap tidak hanya merupakan kumpulan fakta,
namun akan diperoleh juga suatu pemahaman utuh yang dihasilkan dari
pengungkapan fakta sejarah yang terjadi. Cita-cita untuk memberikan
pemahaman utuh inilah yang mendasari semangat dari penulisan buku.
Inventarisasi sumber sejarah kali ini berfokus pada ketokohan
Husein Mutahar. Bukan saja seorang pencipta lagu, lebih dari itu Husein
Mutahar adalah pejuang kemerdekaan, penyelamat bendera pusaka,
pendiri Paskibraka, tokoh pandu dan pramuka, birokrat, dan diplomat.
Kami menyambut baik keinginan Kak Nurman Atmasulistya, seorang
adik binaan dalam kepanduan sekaligus kawan Husein Mutahar dalam
rangka memenuhi amanah untuk menghimpun seluruh karya cipta lagu.
Rencana yang sudah sekian lama digagas Husein Mutahar, terhitung sejak
2003 tersebut baru terwujud pada tahun 2019 ini.

v
vi | Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya

Buku ini sedianya dikemas dalam bentuk himpunan arsip


karya lagu Husein Mutahar, akan tetapi dalam perkembangannya,
mempertimbangkan peran besar Mutahar dalam perjalanan sejarah
bangsa Indonesia selama hidupnya, dihadirkan pula riwayat Husein
Mutahar dalam berbagai kiprah. Begitupun pembaca akan disuguhkan
arsip otentik baik surat maupun karya lagu Mutahar, pemikiran akan
lagu-lagu, dan dokumentasi foto sang tokoh dalam berbagai momen.
Husein Mutahar merupakan figur yang amat dirasakan kehadirannya
bagi pendidikan generasi muda khususnya dalam kepanduan dan
pramuka, baik dalam peran maupun karya-karya lagu yang diciptakan.
Nasionalisme, semangat perjuangan, persatuan, dan pemuda menjadi
tema-tema yang mengiringi lagu-lagu ciptaan Mutahar.
Semoga buku “Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar:
Pengabdian dan Karyanya” ini dapat menambah khazanah pengetahuan
dan bacaan ilmu sejarah, membuka wawasan kesejarahan yang baru,
dan memantik pemikiran kritis dalam historiografi yang berguna bagi
mahasiswa, pengkaji, peneliti, dan peminat dalam bidang kajian sejarah
serta masyarakat dan bangsa pada umumnya. Tak ada gading yang tak
retak, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca, demi kesempurnaan buku ini. Kepada semua pihak
yang telah membantu sampai terbitnya buku ini, tak lupa pula kami
ucapkan terima kasih yang tak terhingga.

November 2019
Direktur Sejarah
Triana Wulandari
SEKAPUR SIRIH

N yanyian dan lagu-lagu karya cipta Husein Mutahar cukup


banyak dan bernilai tinggi, mengandung berbagai karakter yang
membangkitkan kecintaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, alam raya,
tanah air, dan membangun semangat persaudaraan dan lain sebagainya.
Menyadari akan karya mulia tersebut, saya yang senantiasa mendapat
kepercayaan untuk menulis karya cipta beliau ke dalam tulisan musik,
berprakarsa mengajukan gagasan untuk menghimpun karya cipta beliau
dalam satu buku khusus. Upaya tersebut tidak saja untuk melestarikan
atau paling tidak menyelamatkan karya beliau, akan tetapi juga untuk
menempatkan pada proporsi yang semestinya dengan tepat dan benar
akan nyanyian sesuai dengan yang dimaksud oleh sang pencipta lagu.
Selain itu juga memiliki tujuan untuk mengantisipasi penyalahgunaan
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dalam kelanjutannya, pada pertengahan tahun 2003, gagasan
tersebut diajukan kepada Kak Mutahar yang sekaligus mendapat
kesepakatan dari beliau. Atas kesepakatan tersebut saya memproses
penghimpunan materi dengan segala kendalanya. Dokumen asli karya
yang ada pada Kak Mutahar diserahkan kepada saya untuk memulai
proses kerja. Saya berusaha mengidentifikasi seluruh karya beliau yang
ada, walaupun masih banyak kekurangan disana sini. Daftar lagu-
lagu yang saya identifikasi tersebut berulang kali diajukan kepada Kak
Mutahar untuk mendapatkan koreksi dan persetujuan. Setelah mendapat
persetujauan atas judul nyanyian, segera kami menulis nyanyian dengan
segala perbaikan dan penyempurnaan sesuai arahan dan masukan beliau.

vii
viii | Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya

Sampai suatu ketika terjadi hal yang di luar dugaan, pekerjaan


penghimpunan lagu itu terhenti setelah menerima kenyataan bahwa
Kak Mutahar tercinta tutup usia di pertengahan 2004. Keadaan duka
ini menyelimuti perasaan saya yang sangat mendalam. Beberapa bulan
kemudian saudara Sanyoto, anak angkat almarhum menyerahkan
dokumen dari bermacam ciptaan yang masih tersisa dari peninggalan
Kak Mutahar kepada saya. Dokumen tersebut kemudian saya pilih
sebagai bahan pelengkap buku yang sedianya akan dicetak. Di tengah
kelesuan itu, seorang Pembina Pramuka Jakarta Barat, saudara Henry
Rahman, telah membangkitkan semangat agar upaya penerbitan itu terus
dilakukan. Bersama adik-adik binaannya yang masih memiliki asa, saudara
Henry menertibkan dokumen yang demikian banyaknya itu. Namun,
materi yang sudah terkumpul itu nasibnya menjadi terkatung-katung
selama15 tahun, teronggok di sudut rumah tanpa terjamah dengan segala
pesimisme akan terwujud impian.
Seiring waktu berjalan, penantian itu mendapat jawaban, secercah
harapan datang meski lamban. Pada bulan Juli 2018, datang seorang
pegawai Direktorat Sejarah, Kemdikbud, Saudari Sitti Utami Haryanti
yang sedang menyelesaikan studi S2 Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia
dalam pengerjaan tugas akhir belajar mengenai pramuka. Darinya, jalan
mulai terbuka, lambat laun saya pun diperkenalkan dengan saudara Agus
Hermanto, seorang kepala seksi di Direktorat Sejarah Kemdikbud yang
memang mengurus pengumpulan sumber sejarah. Atas prakarsa saudara
Agus dan persetujuan Direktur Sejarah, Dra. Triana Wulandari, M.Si.,
cita-cita yang sempat terputus itu mulai mendapat titik terang karena
melihatnya atas dasar pertimbangan bahwa karya Mutahar sebagai aset
yang perlu diselamatkan.
Satu tahun lebih saudara Agus dan saya bekerja teknis untuk
mengidentifikasi, memilah dan menyeleksi, dan mengklasifikasi sumber-
sumber yang dianggap primer untuk kemudian ditata sedemikian rupa
agar menjadi himpunan yang lengkap (komprehensif ). Walaupun
tidak semua karya lengkap sebagai sumber primer, ada pula beberapa
kekurangan itu diisi dengan salinan karya Mutahar dari sumber sekunder
(buku-buku lagu milik Mutahar). Bersama tim penyusun, Ibu Tri
Wahyuning, Saudara Agus, dan Saudara Syefri Luwis, seluruh himpunan
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | ix

arsip didigitalisasi sampai wacanapun berkembang untuk melengkapi


himpunan karya Mutahar dengan narasi sejarah tentang sosok dan kiprah
Mutahar itu sendiri.
Untuk itu saya panjatkan puji syukur yang sedalam-dalamnya kepada
Allah SWT dan saya sampaikan penghargaan serta terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada Direktorat Jenderal Kebudayaan khususnya
kepada Direktur Sejarah, Kemdikbud, Ibu Triana Wulandari yang telah
memberi peluang menerbitkan himpunan karya tersebut. Tidak lupa
pula ucapan terima kasih kepada tim penyusun dan Saudari Ami yang
dengan gigih dan tanpa kenal lelah mewujudkan penyelesaian buku.
Terima kasih pula saya sampaikan kepada istri saya tercinta dan teman-
teman di lingkungan pandu yang telah memberikan dukungan moral
dalam penerbitan buku ini. Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat bagi
pengkayaan catatan sejarah dan masa depan bangsa, khususnya generasi
penerus bangsa. Aamiin ya rabbal’alamin.

November 2019
Nurman Atmasulistya
x | Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya
DAFTAR ISI

Sambutan Direktur Sejarah------------------------------------------------- v


Sekapur Sirih ------------------------------------------------------------------ vii
Daftar Isi ------------------------------------------------------------------------ xi

PENDAHULUAN ------------------------------------------------------ 1
HS. MUTAHAR DALAM LINTASAN SEJARAH:
RIWAYAT SANG PANDU SEJATI --------------------------------- 5
A. Jejak Langkah Husein Mutahar -------------------------------------- 5
B. Penyelamat Bendera Pusaka ------------------------------------------ 8
C. Bapak Pengerek Bendera Pusaka ------------------------------------- 14
D. Pengabdian di Jalur Non Formal ------------------------------------ 17
E. Sepenggal Pengalaman: Di Antara Tokoh Bangsa --------------- 22
1. Husein Mutahar dan Sukarno ----------------------------------- 22
2. Husein Mutahar dan Suharto ------------------------------------ 24
F. Dari Kepanduan hingga Pramuka: Hs. Mutahar
dan Nurman Atmasulistya -------------------------------------------- 30
G. Akhir Hayat Sang Maestro -------------------------------------------- 40

MENGENAL LAGU-LAGU KARYA


HUSEIN MUTAHAR ------------------------------------------------- 47
A. Gambaran Umum ------------------------------------------------------ 47

xi
xii | Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya

B. Himpunan Nyanyian Karya Cipta Husein Mutahar


Bagi Nusa dan Bangsa -------------------------------------------------- 54

HUSEIN MUTAHAR DALAM KENANGAN ----------------- 235


PENUTUP --------------------------------------------------------------- 263
DAFTAR PUSTAKA --------------------------------------------------- 265
LAMPIRAN -------------------------------------------------------------- 267
PENDAHULUAN

S umber sejarah menjadi bagian dari mata rantai yang tidak dapat
dipisahkan dan menentukan bagi terciptanya suatu penulisan
(historiografi). Dalam ilmu sejarah, keberadaan sumber sejarah merupakan
hal yang sangat penting dalam merekontruksi kembali peristiwa masa
lampau beserta perubahan-perubahannya. Bagi seorang sejarawan
penemuan sumber sejarah adalah suatu hal yang fundamental karena
tanpa sumber, tidak ada sejarah. Peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan
adanya kaitan, lebih-lebih jika ikatan itu bersifat sebab akibat, maka
muncul makna sejarah yaitu sebagai kisah. Informasi yang diperoleh dari
data atau sumber sejarah tersebut akan menjawab pertanyaan-pertanyaan
elementer tentang keterangan sekitar apa yang terjadi, siapa pelakunya, di
mana peristiwa itu terjadi, dan kapan peristiwa itu terjadi.
Untuk memperkuat gambaran menyeluruh dan detail tentang
sejarah sebagai kisah, dibutuhkan sumber-sumber yang valid dan
faktual (kredibel) sehingga penelitian tersebut dapat dibuktikan
dan dipertanggungjawabkan kebenarannya. Oleh karena suatu hasil
penelitian yang tidak menggunakan sumber-sumber yang valid dan
kredibel itu maka penelitian tersebut masih diragukan, kering fakta, dan
kurang bermakna. Kebutuhan akan sumber harus terpenuhi agar sebuah
karya dikatakan ilmiah.
Ada beberapa sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan dalam
melakukan penelitian sejarah. Sumber sejarah memiliki beberapa bentuk,
selain dari sumber tertulis, sumber lisan, sumber audiovisual, juga ada

1
2 | Pendahuluan

yang berupa sumber artefak (kebendaan). Sumber tertulis dalam hal ini
dapat berupa prasasti, dokumen arsip, piagam, manuskrip, buku, dan
sebagainya. Selain itu juga terdapat sumber lisan yang merupakan rekaman
akan ingatan masa lalu yang dituturkan oleh informan didasarkan atas
pengalaman langsung.
Pada kenyataannya, sumber sejarah seperti dokumen tertulis tidak
dapat bertahan ratusan tahun tanpa pemeliharaan yang cermat dan
perawatan yang khusus. Untuk itu, perlu langkah-langkah penyelamatan.
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam usaha penyelamatan di
antaranya kegiatan konservasi dan preservasi yang dalam prakteknya
bukanlah kegiatan yang sederhana. Kegiatan pelestarian (preservasi)
dirancang untuk meminimalisir kerusakan fisik akibat proses kimiawi
terhadap dokumen dan mencegah hilangnya konten informasi. Tujuan
dari program preservasi arsip adalah untuk memastikan bahwa dokumen
arsip akan disimpan dengan tepat sehingga siap untuk digunakan.
Saat ini, dengan berorientasi pada penyelamatan substansi dan
isi, dengan teknologi yang semakin canggih, digitalisasi merupakan
langkah strategis. Upaya digitalisasi sebenarnya sudah dimulai, tapi baru
dilakukan terhadap sedikit sumber (arsip). Di sisi lain, dalam historiografi
sejarah Indonesia, sumber-sumber sejarah ini masih banyak yang belum
diungkap oleh peneliti sejarah. Ada beberapa faktor sumber sejarah
perlu mendapatkan perhatian. Salah satunya sumber itu masih menjadi
catatan yang terpisah dan tersebar di berbagai tempat, berpindah tangan,
belum diketahui, dan sulit untuk diakses oleh orang yang membutuhkan.
Keterbatasan akan informasi keberadaan sumber tersebut menghambat
perkembangan kajian dan penulisan sejarah lebih lanjut.
Untuk itu, keberadaan sumber sejarah dan kondisi fisiknya perlu
diinventarisasi. Inventarisasi itu sendiri bertujuan agar memudahkan
peneliti, penulis, dan peminat sejarah serta masyarakat untuk menemukan
dan memanfaatkan sumber tersebut. Terlebih lagi jika sumber tersebut
merupakan sumber primer yang mencakup semua rekaman sejarah
sezaman yang memungkinkan peneliti sejarah merekonstruksi gambaran
sejarah sebagaimana yang sesungguhnya terjadi yang dibuat oleh tangan
pertama atau oleh pelaku sejarah pada masa peristiwa itu terjadi. Dengan
menghadirkan sejarah yang objektif, masyarakat luas semakin mengetahui,
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 3

memahami, dan meningkat kesadarannya akan sejarah perjalanan bangsa


dan memperjelas posisi dimana setiap orang yang bergelut dengan sejarah,
dapat berperan untuk menjaga keutuhan kehidupan bernegara.
Husein Mutahar (1916-2004) atau yang lebih dikenal dengan Hs.
Mutahar, semasa hidupnya lebih dikenal sebagai komposer dan tokoh
yang mengesankan dalam sejarah musik di Indonesia. Akan tetapi,
kontribusinya lebih dari apa yang dibayangkan atau diketahui banyak
orang. Ia adalah tokoh pandu, pejuang kemerdekaan, seorang birokrat,
dan diplomat, yang juga berkontribusi dalam berdirinya gerakan pramuka.
Dalam bermusik, sepanjang hidupnya Mutahar telah berkreasi dan
menciptakan banyak karya lagu yang terkategorisasi dalam beragam
tema. Perannya dalam pembentukan dan penguatan karakter tampak
dari lirik dan syair lagu-lagu yang diciptakannya. Bahkan beberapa
lagu menandakan suara batin sang pencipta akan gejolak kondisi sosial
bangsa Indonesia, baik yang terjadi pra kemerdekaan dan masa awal-awal
perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang berkait dengan konteks
sejarah dimana lagu-lagu yang tercipta itu mencerminkan perjalanan
bangsa hingga kini. Jika ditelusuri lebih dalam, rupanya produktifitas
karya Mutahar mengenai lagu juga bersentuhan pada wilayah lainnya.
Ada puluhan lagu yang diciptakannya terklasifikasi berdasarkan sifat
dan tema serta dalam beberapa periodisasi waktu yang cukup panjang.
Reputasinya semakin diperkuat oleh fakta bahwa ia memberikan banyak
kontribusi hasil karya lagu untuk gerakan kepanduan dan pramuka.
Bakatnya yang paling mengesankan adalah kemampuannya yang luar
biasa untuk mengimprovisasi kata-kata dan syair sebagai sebuah lagu
yang penuh makna.
Prestasinya yang paling terkenal selama masa hidupnya adalah
penciptaan apa yang kemudian dikenal sebagai lagu nasional berjudul
‘Syukur’. Karya musik yang membangkitkan cerita, lukisan, atau gambaran
sosial masyarakat terjajah yang mengangankan kemerdekaan di kemudian
hari. Karya ini terlahir sebagai lagu perjuangan yang justru terlahir
hampir satu tahun sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya
di tahun 1945. Merepresentasikan keyakinannya akan hari merdeka.
Inventarisasi sumber arsip Husein Mutahar bermula ketika adanya
4 | Pendahuluan

dorongan seseorang yang menyimpan dokumen arsip milik pribadi sang


maestro tersebut, Nurman Atmasulistya namanya. Sebagai orang yang
dipercaya, Husein Mutahar menyerahkan kumpulan karyanya baik yang
merupakan tulisan tangan, kumpulan buku-buku lagu milik Mutahar,
catatan pribadi, salinan surat menyurat, dan kaset sebelum beliau
meninggal pada tahun 2004. Walaupun memang tetap saja ada informasi
yang kurang tergambarkan khususnya catatan-catatan dokumen arsip
yang sayangnya memberikan sedikit keterangan tentang kehidupan
pribadinya khususnya terkait dengan latar belakang keluarga.
Beberapa dokumen arsip juga mengungkap beberapa gambaran
akan pengaruh yang sangat dramatis dalam sikapnya menghadapi
beberapa persoalan, sebagai contoh dokumen yang mengungkap tentang
latar belakangnya untuk keluar dari keanggotaan Persatuan Komponis
Nasional Indonesia di tahun 1994.
Dia juga menulis karya khusus, seperti karyanya sebagai bentuk
penghormatan kepada Ibu Tien Suharto. Husein Mutahar menciptakan
serangkaian lagu, yang kemudian diberi judul “Senyum Ibuku” dan
“Terima Kasih Ibuku”, pada tahun 1996. Kedekatannya dalam berbagai
aktifitas di Gerakan Pramuka memberikan kesan yang mendalam akan
sosok seorang ibu negera. Pantaslah ia kemudian mempersembahkan
lagu bagi mendiang Ibu Tien Suharto atas jasa-jasa baiknya.
Bagaimanapun, upaya inventarisasi sumber-sumber sejarah baik
karya lagu maupun dokumen lainnya mengenai Husein Mutahar yang
dihimpun dapat membuka peluang bagi siapapun yang berminat untuk
mendalami kajian tentang sejarah perjuangan bangsa, tokoh, dan musik
sekalipun. Memberi warna tersendiri bagi keberagaman informasi
kesejarahan mengenai Mutahar yang selama ini ada dengan segala
keunikannya. Menjadi pemantik akan lahirnya ide dan pemikiran baru
dalam memperkaya khazanah pengetahuan tentang sejarah dari masa
ke masa sekaligus pembelajaran sejati dari orang-orang terdahulu untuk
kehidupan bangsa yang lebih baik. Apa yang tercermin dari keteladanan
seorang Mutahar akan sikap hidupnya, teguh pendiriannya, ketangguhan,
keberanian, jiwa kepemimpinan, dan keikhlasannya dapat menjadi
refleksi bagi tindakan kita pada masa sekarang dan akan datang.
HUSEIN MUTAHAR
DALAM LINTASAN SEJARAH:
RIWAYAT SANG PANDU SEJATI

A. Jejak Langkah Husein Mutahar

H usein Mutahar, tokoh yang sarat dengan karya lagu monumental


lahir pada 5 Agustus 1916, di Semarang. Semasa kecil, ia mengikuti
pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS). Semasa pendidikan di
ELS, ayahnya, Salim Mutahar, mewajibkan Husein Mutahar untuk belajar
mengaji pada Encik Nur. Begitupun setelah lulus dari ELS, ia berguru
pada Kiai Saleh sembari melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi yaitu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Tidak hanya
melalui jalur pendidikan formal, Mutahar kecil juga ikut serta dalam
kegiatan pendidikan di jalur non formal seperti kepanduan.
Pada tahun 1934, setelah lulus dari MULO, ia kemudian memutuskan
untuk meninggalkan Semarang. Ia memilih kota Yogyakarta untuk
melanjutkan sekolah di AMS (Algemeene Middelbare School) jurusan
sastra Timur khusus Bahasa Melayu. Pada tahun yang sama pula, sebagai
seorang pemuda yang mandiri, ketika umurnya masih 18 tahun, Husein
Mutahar berinisiatif mendirikan pandu sendiri yang namanya Pandu
Arjuno. Bahkan sejak 1938, misalnya, ia telah mengikuti serangkaian
kursus kepanduan, baik di dalam maupun di luar negeri. Setelah
menamatkan pendidikan di AMS. Pada tahun 1943, Husein Mutahar
menjadi pegawai Rikuyu Sokyoku (Dinas Kereta Api) Jawa Tengah Utara
di Semarang dan mendirikan Korps Musik Kereta Api. Sejak saat itulah
kecintaan Husein Mutahar terhadap musik dan lagu mulai berkembang.
Memasuki masa kemerdekaan, tepatnya di tahun 1946, Husein

5
6 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

Mutahar diangkat menjadi ajudan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal),


Laksamana III Mohammad Nazir di Semarang, Jawa Tengah. Pada tahun
1947 ketika Presiden Sukarno datang ke Semarang, Husein Mutahar
selaku ajudan Kasal mendampingi presiden selama berada di kota tersebut.
Melihat kinerjanya yang bagus, saat itu Presiden Sukarno tertarik dengan
sosok Mutahar yang telah mendampinginya selama di Semarang. Sampai
akhirnya oleh Presiden Sukarno Mutahar dinaikkan pangkatnya menjadi
Mayor dan ditarik menjadi ajudan presiden atas persetujuan Mohammad
Nazir. Sejak saat itu Husein Mutahar pindah ke Yogyakarta menjadi
ajudan presiden dan dalam perkembangannya, Sukarno sangat dekat
hubungannya daripada dengan ajudan lainnya.
Mutahar kemudian melanjutkan pendidikan di Jurusan Hukum,
Universitas Gadjah Mada. Kecintaannya pada bidang bahasa
mengantarkannya untuk kuliah rangkap di Jurusan Sastra Timur, khusus
Jawa Kuno di kampus yang sama. Mengingat situasi dan kondisi yang
ada pada saat itu, maka pada tahun 1948, Mutahar harus meninggalkan
bangku kuliah dan ikut berjuang bersama para pemuda lainnya. Ia ikut
serta dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang. Ketika terjadi Agresi
Militer II, dan Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta jatuh ke tangan
Belanda, Mutahar kemudian ikut bergerilya di daerah Jawa Barat dan
Jakarta, hingga Pengakuan Kedaulatan di tahun 1949.
Husein Mutahar memiliki kecakapan dalam berbahasa dan
menguasai 8 bahasa selain Bahasa Indonesia diantaranya bahasa Jawa,
Melayu, Arab, Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, dan Spanyol. Karena
kemampuan berbagai Bahasa tersebut beliau ditempatkan menjadi
pegawai di Kementerian Luar Negeri. Setelah pengakuan kedaulatan,
Mutahar diangkat menjadi pegawai pada Departemen Luar Negeri
(1949-1979); ia juga diperbantukan di Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan sebagai Direktur Jenderal Pemuda dan Pramuka (1966-
1968). Perjalanan karir Mutahar selanjutnya ketika ia ditunjuk oleh
Presiden Suharto menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Takhta
Suci Vatikan di Roma (1969-1973). Ia ditugaskan untuk menggantikan
Mohammad Nazir, duta besar sebelumnya. Tugas tersebut dilaksanakan
oleh Husein Mutahar selama empat tahun hingga pada tahun 1973 ia
kembali ke Indonesia. (Wawancara dengan Sukari, 4 Mei 2019)
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 7

Gambar 1. Presiden Suharto melantik Duta Besar untuk Perancis, Letjen Askari; Duta Besar
untuk Jerman Barat, Yusuf Ismail; dan Duta Besar untuk Vatikan, Husein Mutahar tanggal
1 Maret 1969 di Istana Negara. Foto koleksi Perpustakaan Nasional RI

Selama bertugas di Vatikan, Husein Mutahar sempat mendampingi


Presiden Suharto dan Ibu Tien Suharto untuk bertemu dengan Paus
Paulus VI. Kunjungan Presiden Suharto tersebut merupakan bagian dari
kunjungan kenegaraan ke Eropa yang diantaranya ke Vatikan. Menurut
Emil Salim pada 25 November 1972, Presiden Suharto mengadakan
kunjungan kenegaraan resmi ke negara-negara Eropa seperti Swiss,
Prancis, Belgia, Austria, Vatikan, dan Italia. Selama di Vatikan itulah
Suharto bertemu dengan Paus Paulus VI. Undangan ke Vatikan tersebut
merupakan undangan balasan setelah sebelumnya Paus Paulus VI datang
ke Indonesia pada tahun 1970.
Pada kunjungan kenegaraan di Vatikan tersebut, Presiden Suharto
tidak hanya ditemani oleh Ibu Tien Suharto saja, tetapi juga oleh
beberapa pejabat-pejabat tinggi Indonesia. Diketahui bahwa selain Emil
Salim, Adam Malik dan beberapa tokoh lainnya juga datang bersama
Presiden Suharto. Ketika tugas menjadi Duta Besar berakhir, ia kemudian
mendapat kepercayaan untuk menjadi Direktur Protokol Departemen
Luar Negeri merangkap Kepala Protokol Negara (1973-1974). Jabatan
terakhirnya di Departemen Luar Negeri sebagai Inspektur Jenderal
Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri.
Mutahar tidak pernah puas dengan apa yang telah dicapainya.
8 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sebagai sosok yang gemilang,


selain aktif sebagai birokrat dan diplomat, ia juga pernah aktif di dunia
pergerakan terutama kepanduan (1934). Husein Mutahar adalah
seorang pandu sejati, bagaimanapun ia akan tetap menjadi seorang
pandu. Ia bahkan ikut mendirikan organisasi kepanduan di Indonesia,
dan menjadi anggota Kwartir Besar Organisasi Pandu Rakyat Indonesia
(1945-1961). Tokoh yang peran dan kiprahnya tidak bisa dilepaskan dari
terbentuknya gerakan pramuka di tahun 1961, penggagas terbentuknya
Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka), pencipta lagu nasional
seperti Syukur, Himne Satya Darma Pramuka, Hari Merdeka, dan Himne
Universitas Indonesia.
Sepanjang hidupnya, Mutahar mencurahkan banyak waktunya
untuk musik. Lagu-lagu perjuangan yang diciptakannya memberikan
tekanan pada aspek sosial dan politik serta bercerita tentang identitas
dan kesatuan bangsa. Ia merefleksikan kembali fase-fase sulit dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang memakan banyak korban
di medan perang. Lagu-lagu ciptaan Mutahar mudah dicerna dan mudah
dinyanyikan oleh semua lapisan masyarakat. Lagu mars Hari Merdeka,
misalnya digubah dengan karakter con brio (bersemangat dan berapi-
api), sementara judul-judul seperti Gembira, Tepuk Tangan Silang-silang,
Tiba Saat Berpisah, Yo Hayo, dan Riangkan Dia adalah sejumlah lagu
anak-anak yang berkarakter ceria.
Karakter lain yang menonjol dari seorang Mutahar adalah keteladanan
dan nasionalisme. Ia memang tak membutuhkan penghargaan berlebihan,
bila perlu merelakan diri agar orang lain selamat. Begitulah watak mulia
Pramuka yang dibawanya hingga wafat 9 Juni 2004. Mutahar memang
telah tiada, namun karyanya berupa lagu-lagu akan hidup sepanjang masa.

B. Penyelamat Bendera Pusaka


Sang saka Merah Putih, secara resmi dikibarkan untuk pertama kalinya
ketika Proklamasi Kemedekaan Republik Indonesia dicanangkan pada
17 Agustus 1945, di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Bendera Merah
Putih yang dijahit oleh Ibu Negara, Fatmawati itu dikibarkan oleh Latief
Hendraningrat dan Soehoed. Sang saka Merah Putih yang juga dikenal
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 9

sebagai bendera pusaka terus berkibar sepanjang hari di tengah hujan


peluru. Aksi teror yang dilakukan oleh Belanda terus meningkat dalam
upayanya untuk kembali berkuasa di Indonesia, yang mengakibatkan
dipindahkannya Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta.
Pada 4 Januari 1946 Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad
Hatta meninggalkan Jakarta dengan menggunakan kereta api. Hatta
beserta keluarga ketika sampai di Pegangsaan Timur berjalan secara
perlahan untuk menjemput Sukarno menuju Yogyakarta. Sang Saka
Merah Putih tidak lupa dibawa serta dan dimasukkan dalam koper
pribadi Sukarno.
Sejak saat itu, Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke
Yogyakarta. Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-2 Kemerdekaan
Republik Indonesia, Presiden Sukarno memanggil Mayor (L) Husein
Mutahar, salah seorang ajudannya, agar Mutahar mempersiapkan
upacara kenegaraan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1946 di halaman Istana Presiden
Gedung Agung Yogyakarta. Mayor Husein Mutahar berpikir, bahwa
untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa, pengibaran Bendera Pusaka
sebaiknya dilakukan oleh para pemuda Indonesia. Kemudian ia menunjuk
5 orang pemuda yang terdiri atas 3 orang putri dan 2 orang putra sebagai
perwakilan daerah yang berada di Yogyakarta untuk melaksanakan
pengibaran Bendera Pusaka.
Padal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang
kedua. Presiden, Wakil Presiden dan beberapa pejabat tinggi Indonesia
akhirnya ditawan Belanda. Namun, ketika Gedung Agung Yogyakarta,
yang dijadikan istana Presiden, dikepung oleh Belanda, Sukarno sempat
memanggil Husein Mutahar. Dalam pertemuannya dengan Mutahar ada
hal penting yang disampaikan oleh Sukarno seperti yang dituturkan oleh
Cindy Adams:
”...Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan
ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun
juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita
dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu
waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya
kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang
yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau
10 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu


kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri
sebagaimana engkau mengerjakannya…”
Pada saat Sukarno menitipkan sang saka Merah Putih kepada
Mutahar, situasi di sekitar Gedung Agung terus dikepung tentara Belanda
dan dihujani bom. Sejenak Mutahar terdiam. Tanggungjawabnya
terasa sangat berat. Ia memejamkan matanya dan berdoa agar Allah
mengabulkan doanya. Bendera pusaka itu kemudian dipisahkan menjadi
dua. Dalam benak Mutahar jika bendera Pusaka dipisahkan, maka tidak
dapat disebut Bendera, karena hanya berupa dua carik kain, merah dan
putih.
Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, Mutahar mencabut benang
jahitan yang menyatukan kedua bagian merah dan putih bendera itu.
Kemudian oleh Mutahar, kain merah dan putih itu lalu diselipkan di
dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya
dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Ia hanya bisa pasrah, dan
menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dalam pemikiran Mutahar saat itu, bagaimana caranya agar pihak
Belanda tidak menyita kain merah-putih itu. Bagi bangsa Indonesia,
bendera itu adalah sebuah simbol Negara yang harus diselamatkan
dan dipertahankan. Tak lama kemudian, Presiden Sukarno ditangkap
oleh Belanda dan diasingkan ke Prapat (di pinggir danau Toba)
sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka. Sementara wakil presiden
Mohammad Hatta langsung dibawa ke Bangka. Mutahar dan beberapa
staf kepresidenan juga ditangkap dan diangkut dengan pesawat dakota ke
Semarang. Mereka ditahan di sana selama satu bulan.
Sehubungan dengan peristiwa tersebut, Sukari Handoyo Subroto,
seorang kakak pandu yang pernah menjadi adik binaan Husein Mutahar
sejak dekade ’40-an menceritakan kembali apa yang pernah dituturkan
oleh Mutahar kepadanya, ketika Mutahar ditahan di Semarang dan berhasil
melarikan diri. Lebih lanjut Sukari mengatakan bahwa sebenarnya, ketika
Mutahar masih menjadi tahanan kota, teman sekelasnya di AMS, pada
saat itu menjadi sekretaris pemerintah Belanda di Semarang. Ia yang
memberitahukan kepada Mutahar bahwa besok pagi Mutahar akan
diadili. Temannya itu kemudian menyarankan agar pergi ke Jakarta. Tidak
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 11

hanya itu, Mutahar juga diberi sejumlah uang untuk membeli tiket kapal
laut. Malam itu juga ia berangkat ke Jakarta. Keesokan harinya, ketika
Belanda datang ke tempat tahanan Mutahar, mereka hanya menjumpai
kamar tahanan yang kosong. Di Jakarta, untuk beberapa saat, Mutahar
menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang tidak ikut
mengungsi ke Yogyakarta.
Mutahar kemudian mencari tempat tinggal di Jakarta. Ia kemudian
indekos di kediaman R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala
Kepolisian RI yang pertama), di Jalan Pegangsaan Timur 43. Mutahar
selalu mencari informasi dan cara, bagaimanaa bisa segera menyerahkan
bendera pusaka kepada Presiden Sukarno. Pada pertengahan bulan Juni
1949, ia menerima pesan dari Soedjono yang tinggal di Oranje Boulevard
(sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta, yang menyatakan bahwa ada
surat dari Presiden Sukarno. Mutahar segera menemui Soedjono untuk
mengambil surat tersebut, yang isinya ternyata sebuah perintah agar ia
segera menyerahkan bendera pusaka tersebut kepada Soedjono, sehingga
bisa dibawa ke Bangka.
Presiden Sukarno sengaja tidak memerintahkan Mutahar untuk
datang ke Bangka dan menyerahkan bendera pusaka itu langsung
kepadanya. Ia menggunakan Soedjono sebagai perantara untuk menjaga
kerahasiaan perjalanan bendera pusaka dari Jakarta ke Bangka, karena
posisinya dalam pengasingan, Presiden Sukarno hanya boleh dikunjungi
oleh anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan
Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Nations Committee for
Indonesia). Soedjono adalah salah satu anggota dari delegasi itu. Setelah
mengetahui tanggal keberangkatan Soedjono ke Bangka, Mutahar
berupaya menyatukan kembali kedua helai kain merah dan putih dengan
meminjam mesin jahit tangan milik seorang istri dokter, yang ia sendiri
lupa namanya. Bendera pusaka yang tadinya terpisah dijahitnya persis
mengikuti lubang bekas jahitan tangan Ibu Fatmawati. Tetapi sayang,
meski dilakukan dengan hati-hati, tak urung terjadi juga kesalahan jahit
sekitar 2 cm dari ujungnya.
Dengan dibungkus kertas koran agar tidak mencurigakan,
selanjutnya bendera pusaka diberikan Mutahar kepada Soedjono untuk
diserahkan sendiri kepada Presiden Sukarno. Hal ini sesuai dengan
12 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

perjanjian Presiden Sukarno dengan Mutahar sewaktu di Yogyakarta.


Dengan diserahkannya bendera pusaka kepada orang yang diperintahkan
Presiden Sukarno maka selesailah tugas penyelamatan yang dilakukan
Husein Mutahar. Sejak itu, sang ajudan tidak lagi menangani masalah
pengibaran bendera pusaka. Tanggal 6 Juli 1949, Presiden Sukarno dan
Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka
dengan membawa serta bendera pusaka.
Tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka dikibarkan lagi di
halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Naskah pengakuan
kedaulatan lndonesia ditandatangani 27 Desember 1949 dan sehari
setelah itu Soekamo kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan
Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah empat tahun
ditinggalkan, Jakarta pun kembali menjadi ibukota Republik Indonesia.
Hari itu juga, bendera pusaka dibawa kembali ke Jakarta. Untuk pertama
kalinya setelah Proklamasi bendera pusaka kembali dikibarkan di Jakarta
pada peringatan detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1950, dan setelah
acara selesai Presiden Sukarno menyimpan bendera pusaka itu. Sejak
tahun 1950, pengibaran bendera pusaka dilaksanakan di Istana Merdeka,
dan Presiden Sukarno bertindak selaku Inspektur Upacara. Akan tetapi,
fenomena itu hanya berlangsung hingga tahun 1966, karena pada Maret
1967, melalui Sidang Istimewa MPRS, Sukarno digantikan oleh Jenderal
Suharto untuk selanjutnya menjadi pejabat presiden.
Pada 1967, Mutahar mendapat perintah dari Presiden Suharto untuk
mempersiapkan pengibaran bendera pusaka pada 17 Agustus. Sebagai
Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka (Udaka), Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Husein Mutahar memang sedang ingin
mewujudkan gagasannya agar pengibaran bendera pusaka itu bisa
dilakukan oleh wakil-wakil pemuda dari seluruh Indonesia. Mutahar
segera mempersiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan upacara
pengibaran bendera, termasuk memanggil puluhan pemuda dan pramuka
untuk dilatih menjadi Pasukan Pengerek Bendera Pusaka.
Latihan ”uji coba” pasukan pertama itu berlangsung dengan mulus.
Pasukan Pengerek Bendera Pusaka sudah siap beberapa hari sebelum
tanggal 17 Agustus. Mutahar selaku penanggungjawab upacara baru
menyadari kalau bendera pusaka yang akan dikibarkan ternyata tidak
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 13

ditemukan. Orang lain pasti akan berpikir sederhana untuk mengatasi


masalah itu. Bikin saja bendera pengganti, tidak ada orang yang tahu,
kalau yang dikibarkan adalah bendera “Baru”. Akan tetapi tidak demikian
halnya untuk ”seseorang” seperti Suharto. Keberadaan bendera pusaka tak
dapat digantikan dengan apapun. Orang akan menganggap ”tidak sah”
bila tahu awal masa kepemimpinannya dimulai tanpa bendera pusaka.
Akhirnya diperoleh keterangan bahwa bendera pusaka tersebut
masih berada di tangan Sukarno. Kesulitan lain muncul yaitu bagaimana
caranya mengambil bendera itu. Mutahar kemudian dipanggil ke Istana,
dengan tugas mengambil bendera pusaka tersebut dari tangan mantan
Presiden Republik Indonesia yang pertama. Lebih lanjut Mutahar
mengatakan bahwa hanya sedikit orang yang tahu bagaimana menghadapi
Sukarno pada saat-saat seperti itu. Mengenai hal ini Mutahar tahu betul
bagaimana sikap Sukarno. Ia kemudian menyampaikan pemikirannya
kepada Suharto agar mengirimkan keempat Panglima Angkatan untuk
meminta bendera itu.
Sukarno yang sudah ”diistirahatkan” di Bogor menjadi lembut
hatinya ketika didatangi Mutahar dan para pimpinan keempat angkatan.
Awalnya Bung karno nampak ragu-ragu akan tetapi beberapa saat
kemudian ia berkata dengan tenang: ”Baik, tanggal 16 Agustus kalian
datang lagi ke sini, lengkap dengan semua Panglima keempat Angkatan.
Saya akan lakukan acara resmi serah terima bendera pusaka...”
Pada tanggal 16 Agustus malam, keempat pimpinan ABRI dan
Polri, menghadap ke Istana Bogor. Sukarno kemudian mengajak mereka
kembali lagi ke Jakarta, menuju ke Monumen Nasional (Monas). Selama
ini, Sukarno telah menyimpan bendera pusaka dalam ruang bawah tanah
di Monumen Nasional. Kemudian, Bendera sang saka dibawa ke Istana
Merdeka. Sukarno juga tahu, bahwa bendera pusaka adalah sebuah
prasasti yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan miliknya
pribadi.
Namun demikian, meskipun bendera pusaka sudah berhasil dibawa
ke istana, Presiden Suharto belum yakin sepenuhnya, apakah bendera
tersebut memang bendera pusaka yang asli, yang dijahit oleh Ibu Negara,
Fatmawati. Presiden Suharto kemudian memanggil Mutahar ke Istana
14 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

untuk memastikan apakah bendera pusaka itu memang asli. Hanya


Mutahar, satu-satunya orang yang tahu betul bentuk bendera pusaka,
karena dia yang membuka jahitan tangan Ibu Fatmawati. Mutahar pula
yang menyambungkan kembali bagian merah dan putih dengan mesin
jahit, dan ada kesalahan menjahit sekitar 2 cm di ujungnya.
Sejak itu, Suharto menempatkan bendera pusaka di Istana, dalam
sebuah kotak kayu berukir yang di dalamnya diberi potongan kayu
cendana sehingga berbau harum bila dibuka. Bendera pusaka yang sudah
usang itu selalu diperlihatkan kepada para anggota Paskibraka setiap
tanggal 16 Agustus, untuk membangkitkan semangat mereka sebelum
bertugas esok hari.

C. Bapak Pengerek Bendera Pusaka


Pada tahun 1945, Husein Mutahar menjadi Sekretaris Panglima
Angkatan Laut, Laksamana Muda Mohammad Nazir, dengan pangkat
Kapten (Laut). Ketika pemerintah RI hijrah ke Yogyakarta, Mutahar
diajak menemui dan mendampingi Presiden Sukarno. Mutahar
“menyupiri” Panglima Angkatan Laut tersebut. Ketika sang Panglima
tengah berbincang-bincang dengan Sukarno, Presiden RI pertama ini
mengenali Mutahar yang mengantarkan Sukarno kemana-mana saat
melakukan kunjungan ke Semarang, beberapa hari setelah peristiwa Lima
Hari di Semarang. Perjumpaannya kali ini dengan Mutahar, mendorong
Sukarno untuk menjadikannya sebagai salah satu ajudannya. Tanpa
berlama-lama, Sukarno kemudian meminta Mutahar kepada Nazir, untuk
menjadi ajudannya dan permintaannya tersebut disetujui Nazir. Setelah
resmi menjadi ajudan Presiden Sukarno, pada 1946, Mutahar kemudian
dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor (Laut).
Beberapa hari menjelang Ulang Tahun kemerdekaan pertama, Mayor
(Laut) Husein Mutahar, sebagai salah satu ajudan Presiden Sukarno,
ditugaskan untuk mempersiapkan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, 17 Agustus 1946. Acara peringatan akan digelar di halaman
Istana Presiden Gedung Agung, Yogyakarta. Seberkas ilham berkelebat
di benak Mutahar, ketika ia sedang memikirkan untuk menyusun acara
istimewa bagi rakyat Indonesia. Pesatuan dan Kesatuan bangsa wajib
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 15

dilestarikan kepada generasi penerus yang akan menggantikan para


pemimpin saat itu “diperlukan simbol-simbol” gumamnya. Pilihan simbol
jatuh pada pengibaran bendera pusaka, yang seyogyanya dilakukan oleh
para pemuda Indonesia.
Ia kemudian menunjuk lima pemuda, yang terdiri dari tiga putri dan
dua putra. Lima orang pemuda melambangkan Pancasila. Pengibaran
oleh lima pemuda dari berbagai daerah yang ada di Yogyakarta itu tetap
dilaksanakan, hingga peringatan ulang tahun kemerdekaan Indonesia
keempat tahun 1949. Setelah Pengakuan Kedaulatan, ibukota Republik
Indonesia kembali ke Jakarta, dan mulai 17 Agustus 1950, pengibaran
bendera pusaka dilaksanakan di Istana Merdeka, Jakarta. Sejak saat
itu Mutahar tidak lagi menangani upacara pengibaran bendera dalam
rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Regu-regu pengibar
dibentuk dan diatur oleh Rumah Tangga Kepresidenan Rl sampai tahun
1966. Mutahar merasa belum tuntas melaksanakan amanah untuk
melakukan upacara detik-detik Proklamasi, karena para pengibar bendera
yang dirancang itu mewakili para pemuda belum mewakili pemuda dari
seluruh Indonesia, seperti apa yang ada dalam pikiran Mutahar.
Ia pun seakan hilang bersama impiannya. Namun di hari ulang
tahunnya ke- 49, ia dipercaya untuk menjadi Direktur Jenderal Urusan
Pemuda dan Pramuka Departemen Pendidikan & Kebudayaan (P&K).
Saat itulah, ia kembali teringat pada gagasannya di tahun 1946,
membangun pasukan pengibar bendera yang anggotanya terdiri dari
putra-putri terbaik dari seluruh Indonesia.
Perjuangan untuk mendapatkan tempat kerja yang memadai
akhirnya diperoleh, setelah berpindah-pindah tempat kerja dari Stadion
Utama Senayan ke eks gedung Departemen PTIP di Jalan Pegangsaan
Barat, Direktorat Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka dan akhirnya
menempati gedung eks Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Nakertrans) di Jalan Merdeka Timur 14 Jakarta. Mutahar dan jajarannya
kemudian mewujudkan cikal bakal latihan kepemudaan yang kemudian
diberi nama ”Latihan Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila”. Latihan itu
sempat diujicoba sebanyak dua kali, yaitu tahun 1966 dan tahun 1967.
Kurikulum ujicoba ”Pasukan Pengerek Bendera Pusaka” dimasukkan
16 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

dalam latihan itu pada tahun 1967 dengan peserta dari Pramuka Penegak
dari beberapa gugus depan yang ada di DKI Jakarta. Ada kekhasan pada
latihan itu, terutama pada metode pendidikan dan pelatihannya yang
menggunakan pendekatan sistem “Keluarga Bahagia” dan diterapkan
secara nyata dalam konsep “Desa Bahagia”. Di desa itu, para peserta latihan
(warga desa) diajak berperanserta dalam menghayati kehidupan sehari-
hari yang menggambarkan penghayatan dan pengamalan Pancasila.
Ketika terjadi fusi beberapa Direktorat Jenderal di lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Urusan
Pemuda dan Pramuka mengalami beberapa kali pergantian nama, yang
akhirnya menjadi Direktorat Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan
Olahraga (Diklusepora). Salah satu direktorat yang berada di bawahnya
adalah Direktorat Pembinaan Generasi Muda (PGM). Direktorat inilah
yang kemudian meneruskan latihan, yang diselenggarakan oleh Gladian
Sentra Nasional.
Mutahar kemudian menyusun ulang dan mengembangkan formasi
pengibaran bendera dengan membagi pasukan menjadi tiga kelompok,
yakni Kelompok 17 (Pengiring/Pemandu), Kelompok 8 (Pembawa/Inti)
dan Kelompok 45 (Pengawal). Formasi ini merupakan simbol dari tanggal
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Republik Indonesia 17
Agustus 1945, (17-8-45). Mutahar terus memikirkan formasi tersebut
dan mencoba mensimulasikan keberadaan pemuda utusan daerah dalam
gagasannya. Ia menyadari bahwa dalam kenyataannya pada saat itu
belum dimungkinkan untuk mendatangkan mereka ke Jakarta. Akhirnya
diperoleh jalan keluar dengan melibatkan putra-putri daerah yang ada
di Jakarta, yang menjadi anggota Pandu/Pramuka untuk melaksanakan
tugas pengibaran bendera pusaka pada tanggal 17 Agustus.
Mutahar juga merencanakan untuk mengisi personil kelompok 45
(Pengawal) dengan para taruna Akademi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (Akabri) sebagai wakil generasi muda ABRI. Akan tetapi
gagasannya tidak dapat diwujudkan mengingat kegiatan tersebut tidak
berbarengan dengan libur antar semester, di samping juga masalah
transportasi dari Magelang ke Jakarta menjadi kendala.
Ia kemudian mengusulkan untuk menggunakan anggota Pasukan
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 17

Khusus ABRI seperti RPKAD (sekarang Kopassus), Pasukan Gerak


Tjepat (sekarang Paskhas), Marinir, dan Brigade Mobil (Brimob).
Meskipun anggota-anggota itu berada di Jakarta, namun juga tidak
mudah dalam melakukan koordinasi. Akhirnya, Mutahar mengambil
jalan yang paling mudah yaitu dengan merekrut anggota Pasukan
Pengawal Presiden (Paswalpres), atau sekarang Pasukan Pengamanan
Presiden (Paspampres), yang bisa segera dikerahkan, apalagi sehari-hari
mereka memang bertugas di lingkungan Istana.
Pada tanggal 17 Agustus 1968, apa yang tersirat dalam benak Husein
Mutahar akhirnya dapat diwujudkan. Setelah pada 1967 diadakan ujicoba,
maka pada tahun 1968, mulai didatangkan para pemuda utusan daerah
dari seluruh Indonesia untuk berpartisipasi dalam upacara pengibaran
bendera pusaka di acara ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Selama enam tahun, 1967-1972, bendera pusaka dikibarkan oleh para
pemuda utusan daerah dengan sebutan “Pasukan Pengerek Bendera”.
Pada tahun 1973, Drs. Idik Sulaeman, Kepala Dinas Pengembangan
dan Latihan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P&K), yang
juga Pembina Penegak Gerakan Pramuka dan selama ini membantu
Husein Mutahar dalam pembinaan latihan bagi para pengibar bendera.
Idik kemudian melontarkan suatu gagasan baru tentang nama pasukan
pengibar bendera pusaka, yaitu Paskibraka, yang merupakan singkatan
dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Mutahar menyetujui nama
tersebut. Dengan demikan Pasukan Pengerek Bendera Pusaka berubah
namanya menjadi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.

D. Pengabdian di Jalur Non Formal


Nama Mutahar patut dicatat dalam sejarah sebagai orang yang berjasa
dalam gerakan pendidikan kepanduan dan gerakan pramuka. Bersama
Perdana Menteri Djuanda, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dr. Abdul
Azis Saleh, Muljadi Djojomartono, dan Mr. Mohammad Ichsan, ia ikut
“menyelamatkan” Pramuka.
Pada awal 1960-an, Partai Komunis Indonesia berusaha mengubah
arah kepanduan Indonesia menjadi mirip pionir di Uni Soviet. Dalam
Reuni Pandu Rakyat Indonesia 2011 (2011:60) disebutkan bahwa cita-
18 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

cita/konsepsi persatuan 60 organisasi kepanduan di Indonesia yang


disampaikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan dr. Abdul Azis
Saleh, Menteri Pertanian kepada Presiden Sukarno, memberikan dampak
dengan munculnya kebijakan Presiden pada tanggal 9 Maret 1961
membentuk satu panitia untuk menyelenggarakan cita-cita tersebut.
Sejalan dengan realita tersebut, R. Darmanto Djojodibroto
mengulas hal tersebut dalam bukunya yang berjudul Pandu Ibuku. Dalam
ulasannya Darmanto menyatakan bahwa Presiden membentuk Panitia
Dua yang beranggotakan Prof. Dr. Priyono (Menteri Pendidikan Dasar
dan Kebudayaan) dan Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi, dan
Pengembangan Masyarakat Desa) yang keduanya cenderung mengagumi
komunisme. Prof. Dr. Priyono sempat mengusulkan agar kepanduan
dibubarkan dengan peleburan organisasi kepanduan ke dalam apa
yang dinamakan Pramuka. Mengganti dengan suatu gerakan pionir
muda seperti di negara-negara Komunis. Arti harfiah pramuka yang
dimaksudkan Priyono adalah “paling depan”, mencontoh gerakan pemuda
di negara komunis, Kommunisticheskiy Soyuz Molodyozhi (Komsomol),
organisasi pemuda politik yang digambarkan sebagai divisi pemuda dari
Partai Komunis di Uni Soviet.
Azis Saleh yang merupakan Menteri Pertanian dan mantan anggota
Jong Java Padvinderij ( JJP) di Malang dan kemudian di Batavia merasa
keberatan apabila dua orang yang berlatar belakang anti kepanduan ini
ditugaskan menata kepanduan. Ia pun kemudian menghubungi Presiden
Sukarno dan menyatakan bahwa secara pribadi ia tidak setuju dengan
pendapat Prof. Dr. Priyono. Presiden Sukarno kemudian memasukkan Azis
Saleh ke dalam keanggotaan menjadi Panitia Tiga. Agar kedudukannya
lebih kuat, Azis Saleh meminta kepada Presiden Sukarno agar Sri Sultan
Hamengkubuwono IX yang juga anggota pandu dimasukkan ke dalam
kepanitiaan menjadi Panitia Empat. Akhirnya tim yang dibentuk
berjumlah 4 orang terdiri dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Prof. Dr.
Priyono, dr. Abdul Azis Saleh, dan Achmadi.
Panitia empat orang itu belum dapat menyelenggarakan rapat
karena Surat Keputusan tentang pengangkatan/pembentukan panitia
belum ada. Akan tetapi tanpa sepengetahuan Ketua Panitia dan anggota
panitia lainnya, bersama Achmadi, Prof. Dr. Priyono menyusun konsep
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 19

Surat Keputusan Tentang Pembentukan Gerakan Pramuka, yang


secara pribadi langsung disodorkan kepada Presiden Sukarno tanpa
sepengetahuan Panitia Empat lainnya yaitu dr. Azis Saleh dan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Konsep yang diajukan itu seakan-akan hasil karya
Panitia Empat, yang kemudian ditandatangani oleh Presiden sebagai
Keputuan Presiden Nomor 109 Tahun 1961, tanggal 30 Maret 1961.
Pada waktu itu, Sekretaris Negara Mr. Mohammad Ichsan melihat bahwa
isi Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 1961 tidak sesuai dengan
isi pidato Presiden tanggal 9 Maret 1961. Seketika itu Mr. Mohammad
Ichsan menyampaikan perihal tersebut kepada Husein Mutahar dan
berita tentang hal ini diteruskan oleh Mutahar kepada dr. Azis Saleh yang
tengah bertugas di Surabaya.
Informasi yang didapat tersebut menggerakkan Azis Saleh untuk
segera menghadap Presiden yang waktu itu sedang berada di Bandung
dalam rangka memeriksa training centre persiapan Asian Games 1962.
Mengingat acara Presiden yang sangat padat sehingga sulit untuk
mengatur jadwal pertemuan. Namun demikian ajudan Presiden tetap
mencoba mengaturnya, dan ia meminta kepada Azis Saleh agar berdiri
saja di dekat pintu yang akan dilalui Presiden. Presiden akan bertanya
“mengapa, ada apa di situ?”. Dengan cara itu akhirnya ia berhasil
menemui Presiden, maka dijelaskan oleh Azis Saleh bahwa Keputusan
Presiden yang baru ditandatangani adalah bukan hasil kerja panitia tetapi
hasil kerja Priyono sendiri. Setelah mendengar laporan Azis Saleh, maka
Presiden Sukarno menginstruksikan kepada Sekretaris Negara Mr. M
Ichsan agar Surat Keputusan yang sudah ditandatangani ditahan dan
tidak dilembar negarakan. Dan kemudian terbitlah Keputusan Presiden
RI No.112 Tahun 1961 tanggal 5 April 1961, tentang Panitia Pembantu
Pelaksana Pembentukan Gerakan Pramuka dengan susunan keanggotaan
seperti yang disebut oleh Presiden pada tanggal 9 Maret 1961.
Azis Saleh meminta kepada Presiden Sukarno agar dari golongan
agama ada juga yang mewakili yaitu Mulyadi Joyomartono yang juga
menjabat sebagai Menteri Sosial. Kemudian pada tanggal 11 April 1961,
dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 1961 tentang Panitia
Pembentukan Gerakan Pramuka sebagai pengganti Keputusan Presiden
Nomor 112 Tahun 1961 tanggal 5 April 1961. Berdasarkan Keputusan
20 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

Presiden Nomor 121 Tahun 1961 tersebut Panitia Pembentukan


Gerakan Pramuka menjadi Panitia Lima, yang terdiri dari: Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Prof. Dr. Priyono, dr. Abdul Azis Saleh, Achmadi,
dan Mulyadi Joyomartono.
Azis Saleh kemudian menyiapkan konsep Surat Keputusan untuk
menggantinya. Rapat-rapat dilakukan secara maraton di kediamannya
di Jalan Borobudur. Setelah konsep itu selesai, segera dibawa ke Pejabat
Presiden, Ir. H. Djuanda, karena Presiden Sukarno tengah melakukan
lawatan ke luar negeri. Awalnya Djuanda tidak mau menandatangani surat
tersebut, namun setelah diberitahu maksudnya, ia kemudian bersedia
menghubungi Presiden Sukarno melalui telepon. Presiden mengizinkan
Pejabat Presiden menandatangani Surat Keputusan Tentang Gerakan
Pramuka tersebut, dan kemudian diumumkan dalam Berita Negara.
Priyono yang termasuk dalam rombongan muhibah bersama
Presiden Sukarno, tidak mengikuti kegiatan hingga selesai. Ia memilih
untuk pulang ke tanah air dan setibanya di Indonesia, ia memprotes Azis
Saleh, mengenai pendirian Gerakan Pramuka, namun Surat Keputusan
dengan No 238 Tahun 1961 tertanggal 20 Mei 1961 tentang Gerakan
Pramuka yang ditandatangani oleh Ir. H. Djuanda sebagai Pejabat
Sementara Presiden R.I telah diundangkan dalam Berita Negara.
Fenomena tersebut menunjukkan bagaimana upaya PKI untuk
“mendongkel” dan menyelewengkan nilai Pancasila dalam kepanduan.
Bagi Azis Saleh yang sejak kecil telah berkecimpung di dunia kepanduan
melihat gelagat Priyono untuk “membelokkan” arah kepanduan di
Indonesia. Melalui MPR(S), mereka mencoba memberikan arahan
kepada Pemerintah dalam membina pemuda. Pada Ketetapan MPR(S)
No. II/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Semesta
Berencana Tahap Pertama tahun 1961-1969, nampak bagaimana upaya
mereka untuk memasung Kepanduan, seperti tercantum dalam Lampiran
(C) ayat 8: Kepanduan supaya dibebaskan dari sisa-sisa Lord Baden
Powellisme.
Seperti halnya Azis Saleh, Mutahar juga menolak rencana mereka-
mereka yang dipengaruhi oleh paham komunis. Kecintaannya pada
kepanduan telah tumbuh sejak lama. Ketika di jenjang SMA dia sudah
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 21

ikut bergabung dalam Taruma Kembang Padvinderij, yang didirikan oleh


Mangkunegaran, pada 1916. Pada 1934, Mutahar mendirikan Pandu
Arjuno di Semarang (1934-1942), dan pada waktu yang bersamaan
Lord Baden Powell mengadakan Kursus Kepemimpinan Kepanduan
di Semarang dan Jakarta. Dalam kegiatan tersebut, Kak Mut, sapaan di
Kepanduan, adalah satu-satunya pemimpin kepanduan di Indonesia
yang diundang untuk mengikuti kursus tersebut. Sementara pemimpin
kepanduan dari organisasi lain tidak bisa ikut serta karena pihak Belanda/
NIPV melarang organisasi kepanduan yang bernaung di bawah organisasi
perjuangan.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 447
Tahun 1961, Presiden Sukarno pada tanggal 14 Agustus 1961 menetapkan
susunan Anggota-anggota Majelis Pimpinan Nasional Gerakan Pramuka.
Di dalam susunan anggota majelis tersebut, Husein Mutahar berlaku
sebagai anggota majelis. Kemudian di dalam keputusan tersebut, Husein
Mutahar juga ditetapkan sebagai Andalan Nasional Urusan Latihan.
Selanjutnya, pada tahun 1963, melalui Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 156 Tahun 1963, Presiden Sukarno kembali
menetapkan susunan anggota-anggota Kwartir Nasional Gerakan
Pramuka sejumlah 17 orang dengan komposisi Ketua, Wakil Ketua,
dan 15 Andalan Nasional. Dari 17 orang tersebut, dipilihlah 8 andalan
nasional sebagai anggota-anggota Kwartir Nasional Harian Gerakan
Pramuka yang mana Husein Mutahar juga ikut didalamnya sebagai
Andalan Nasional Urusan Latihan.
Keaktifan dan kepercayaan pemerintah terhadap prestasi Husein
Mutahar membawanya kembali menduduki Anggota Kwartir Nasional
Gerakan Pramuka. Kali ini melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 117 Tahun 1967, Presiden Suharto menunjuk
Husein Mutahar sebagai Andalan Koordinator Bidang Pengembangan,
merangkap Andalan Nasional Urusan Pendidikan Latihan. Pada tahun
1969-1973, Husein Mutahar diangkat oleh Presiden Suharto menjabat
sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan.
Semenjak kepergiannya ke Vatikan Husein Mutahar sementara waktu
tidak aktif sebagai anggota pengurus Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
22 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

Gambar 2. Husein Mutahar, Ny. Tien Suharto dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam
acara serah terima jabatan Andalan Nasional Urusan Latihan dari Husein Mutahar
(setelah diangkat menjadi Dubes Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan) kepada Sri Sultan
Hamengkubuwono IX disaksikan oleh Ibu Tien Suharto, pada tanggal 26 Maret 1969 di
Jalan Merdeka Timur No. 6. (Koleksi Hs Mutahar; 39A/110/1982; 20040723)

Baru pada masa bakti 1978-1983, Husein Mutahar aktif kembali di


Gerakan Pramuka sebagai anggota Majelis Pembimbing Nasional melalui
Keputusan Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka Nomor 01
Tahun 1979 tentang Susunan Anggota Majelis Pembimbing Nasional
tanggal 11 Januari 1979. Begitupun masa bakti Majelis Pembimbing
Nasional Gerakan Pramuka tahun 1983-1988 Husein Mutahar kembali
diangkat sebagai anggotanya. Hingga akhir hayatnya ia tetap aktif di jalur
Pramuka sebagai anggota biasa.

E. Sepenggal Pengalaman: Di Antara Tokoh Bangsa


1. Husein Mutahar dan Sukarno
Sebagai mantan ajudan dan staf Presiden Sukarno, Mutahar mempunyai
banyak pengalaman pribadi yang mengesankan. Mengawali kisah yang
pernah dialaminya bersama mendiang presiden pertama tersebut, ia
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 23

menyatakan bahwa Presiden Sukarno tumbuh pada masa-masa sulit dan


penuh perjuangan. Sebagai orang Jawa Timur bicaranya ceplas ceplos
tanpa tedeng aling-aling. Nadanya mungkin terdengar kasar, tetapi
memang itulah Sukarno. Jika sedang marah, kata-katanya meluncur
seperti bombardir. Tapi, secepat itu pula ia minta maaf bila merasa ada
kata-katanya yang menyinggung perasaan.
Suatu hari, ajudan Sukarno datang ke kediaman Mutahar, dan
mengatakan bahwa ia dipanggil untuk menghadap Bapak di istana.
Jawaban Mutahar: ”Baik, saya ganti baju dulu dan nanti menyusul ke
istana.” Sang ajudan tidak bergeming, ”Pesan Bapak, Pak Mutahar harus
ikut bersama saya.” Wah, sepertinya penting sekali, gumam Mutahar
dalam hati. Ia kemudian bergegas berangkat ke istana Bogor, dan sesampai
di istana langsung menuju ke ruang kerjanya.
Sesampainya di ruang kerja, Mutahar melihat muka Presiden Sukarno
kusut dan sepertinya sedang marah besar. ”Mut, kamu tahu kenapa aku
panggil?” Mutahar menjawab dengan santai: ”Lha ya nggak tahu. Wong
Bapak yang manggil saya, mana saya tahu.” ”Aku mau marah!” hardik
Bung Karno. ”Ya marah aja. Mau marah kok nunggu saya,” jawab Mutahar
sekenanya, karena ia kenal betul sifat Bung Karno.
Jawaban Mutahar ternyata membuat Bung Karno benar-benar marah.
Dalam bahasa Belanda Bung Karno mengeluarkan unek-uneknya selama
hampir dua jam, sementara aku tidak tahu sebabnya, kata Mutahar. “Aku
mendengarkan saja, sampai kemarahan itu reda dan akhirnya Sukarno
diam. Mutahar kemudian mengatakan: ”Bung, marahnya sudah selesai
kan? Kalau sudah, aku tak pulang...” BK langsung melotot ke arahku.
Dalam hati, aku berkata, ”Wah, salah omong aku. Bisa-bisa dia marah
lagi...” Tapi ternyata tidak, karena matanya kembali meredup. ”Ya sudah,
pulang sana!” katanya memerintah. ”Kalau begitu saya pamit,” jawabku
sambil keluar dan terus pulang.
Lebih lanjut Mutahar mengatakan bahwa selang beberapa saat
kemudian, ajudannya datang lagi ke rumah. Ia langsung menyambar, ”Ada
apa? Saya dipanggil lagi untuk dimarahi ya?” Sang ajudan cuma mesem-
mesem (senyum-senyum): ”Nggak kok Pak Mut, saya disuruh Bapak
ngantar ini,” katanya sambil menyerahkan tas, yang setelah ku buka
24 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

ternyata isinya berbagai macam kue. Sambil mengucapkan terima kasih


kepada si ajudan, Mutahar tersenyum.
”Dasar wong gendeng (orang gila), bar nesu (habis marah) ngirimi kue,
ya sering-sering aja marah biar giziku terjamin,” kata Mutahar dalam hati.
Pada keesokan harinya, Mutahar kembali bertemu dengan Bung Karno,
yang wajahnya sumringah. Mutahar segera mendekat dan mengatakan:
”Bung, kalau masih mau marah sama saya, silakan. Tapi jangan lupa
kuenya dikirim lagi.” Bung Karno tertawa keras. ”Mut, kamu tahu kenapa
saya marah?” Aku menjawab, ”Ya nggak tahulah. Wong Bapak marahnya
banyak sekali, jadi saya nggak ingat.” Bung Karno menjawab: ”Makanya
aku panggil kamu untuk aku marahi, karena aku tahu kamu pasti tutupi
kupingmu dengan kapas biar nggak dengar omonganku,” kata Bung
Karno sambil ngeloyor pergi.

2. Husein Mutahar dan Suharto


Berbeda dengan Sukarno, Presiden Suharto lahir dan besar di Yogyakarta
dan sekitarnya. Begitu juga selama masa perjuangan, ia banyak berkiprah
di tanah kelahirannya. Maka tak aneh jika sifatnya lembut. Kultur Jawanya
sangat kental, tutur katanya halus dan pandai menyimpan perasaan.
Kalau menegur pasti menggunakan krama halus, dan sebagai orang Jawa
suka memakai bahasa simbol yang lebih sulit untuk dipahami.
Masih terkenang dalam ingatan Sukari, seorang adik binaan Mutahar,
dalam wawancaranya menceritakan bahwa Husein Mutahar pernah
menyampaikan pengalamannya ketika pada tahun 1948, Yogyakarta
diserang oleh Belanda melalui Agresi Militer II. Presiden Sukarno bertemu
Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
menteri-menteri lainnya, dan disitu ada pula Mutahar selaku ajudan.
Dalam keadaan terkepung itu, terjadilah suatu perundingan, apakah
sebaiknya mengambil sikap menyerah atau tetap berperang. Pada
akhirnya Presiden Sukarno memutuskan lebih baik menyerah supaya ada
kesempatan bangsa Indonesia untuk bangkit nantinya. Untuk itu, lalu
siapa yang diminta untuk menyerah? ditunjuklah Mutahar yang waktu
itu menjadi ajudan Presiden Sukarno ditemani oleh Mayor Sugandhi
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 25

untuk kemudian masuk ke kamar Sukarno mengambil kain sprei warna


putih sebagai tanda menyerah. Ketika itu, panglima tentara Belanda
meminta datang utusan dari pihak Republik Indonesia. Tibalah Husein
Mutahar memenuhi permintaan dan berkomunikasi dengan Bahasa
Belanda. Selesai perundingan, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta diasingkan ke Bangka. Sedangkan Husein Mutahar
bersama staf kepresidenan ditangkap dan diangkut ke Semarang dengan
pesawat Dakota.
Mendengar berita tertangkapnya Presiden Sukarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta, Letnan Kolonel Suharto yang bertanggung
jawab pada keamanan wilayah Yogyakarta dan sedang bergerilya,
marah karena Mutahar dianggap menyerahkan kedua tokoh kepada
Belanda. Akibat dari peristiwa tersebut, atas perintah Suharto supaya
mencari Mutahar hidup atau mati. Rupanya kabar kemarahan Suharto
tersebut terdengar oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Saat Sri
Sultan bertemu dengan Suharto dijelaskan bahwa Mutahar bertindak
atas perintah Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta
untuk mengijinkannya menyerah pada Belanda sebab saat itu situasi amat
genting yang bisa mengancam keselamatan tokoh-tokoh bangsa, maka
dari itu tidak ada kesempatan. Mendengar penjelasan Sri Sultan, Suharto
menjadi paham akan situasi yang berkembang. Hingga akhirnya tatkala
Suharto telah menjadi presiden, ia masih mengingat peristiwa itu dan
berkata kepada Mutahar: “dulu saya mengejar-ngejar kak Mutahar kan”.
Kisah lain yang diceritakan Sukari ketika pasca G30 S 1965, Husein
Mutahar sempat dibawa oleh Corp Polisi Militer (CPM) dan ditahan
pada Mei 1966 di rumah tahanan militer, jalan Budi Utomo. Peristiwa
itu masih teringat betul disebabkan saat yang bersamaan Sukari sedang
meminjam mobil Mutahar untuk membawa anaknya yang sedang sakit
panas ke rumah sakit. Mutahar yang bekerja di Departemen Luar Negeri
ditahan dengan tuduhan menyimpan dana revolusi Bung Karno atas
pernyataan Dr. Subandrio selaku Menteri Luar Negeri kala itu. Namun
peristiwa penahanan Mutahar tidak berlangsung lama, Juni 1966 ia
dibebaskan lantaran tidak terbukti menyimpan dana dimaksud.
Rupanya gemblengan dan binaan di kepanduan dari seorang
26 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

Mutahar membawa pengaruh positif kepada kehidupan Sukari. Sukari


sendiri adalah perwira di Angkatan Udara yang juga pernah aktif di dalam
Persatuan Kepanduan Sekolah (PKS) untuk membangun angkatan udara
kedua di olahraga penerbangan dalam rangka mempersiapkan Operasi Tri
Komando Rakyat (Trikora) tanggal 19 Mei 1962 dalam rangka merebut
Papua. Ia menuturkan, yang cukup mengherankan baginya, kisah hidup
Mutahar begitu cepat berubah. Yang terjadi sebaliknya, selepas keluar
dari tahanan, Husein Mutahar pada tahun 1966 diperbantukan pada
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Direktur Jenderal
Urusan Pemuda dan Pramuka. Tentu saja kalau bukan orang luar biasa,
tidak mungkin Suharto dengan serta merta memberikan posisi yang baik
kepada Mutahar.
Pada suatu hari di awal bulan Agustus 1968, Mutahar dipanggil
menghadap ke istana. Berdua saja di ruang kerjanya, dengan sebuah kotak
berukir di atas meja, Pak Harto memulai pembicaraan. ”Pak Mutahar kan
tahu bahwa bendera pusaka sudah cukup tua dan kondisinya semakin
rapuh. Saya ingin menggantinya agar tidak robek pada saat dikibarkan
di hari kemerdekaan nanti. Bagaimana pendapat Bapak?” Aku terdiam
beberapa saat dan mencari jawaban yang tepat. ”Pak Harto,” kataku
dengan hati-hati, ”saya tahu bendera pusaka sudah rapuh. Tapi kalau boleh
saya memberi saran, sebaiknya bendera pusaka tetap dikibarkan sekali lagi
tahun ini. Setelah itu, mau diganti dengan bendera lain terserah Bapak.”
”Mengapa harus tetap dikibarkan?” tanya Pak Harto lagi. ”Karena ini
adalah bendera Merah Putih yang pertama kali dikibarkan saat Proklamasi
Kemerdekaan. Jadi sebaiknya bendera ini dikibarkan juga pada saat
estafet kepemimpinan beralih ke tangan Bapak, selain sebagai ungkapan
rasa hormat dan terima kasih kepada para pejuang kemerdekaaan,” ujarku
menjelaskan. Tahun 1968, memang tahun pertama Pak Harto menjabat
Presiden RI setelah dilantik dalam Sidang Umum MPRS, 27 Maret 1968.
Pak Harto tersenyum dan kemudian berkata, ”Baiklah, pendapat
bapak akan saya pertimbangkan. Namun demikian saya masih mau minta
tolong kepada Pak Mutahar untuk memastikan apakah bendera yang
ada di dalam kotak ini benar-benar bendera pusaka yang asli. Saya tahu
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 27

Pak Mutahar yang menyelamatkan bendera pusaka pada saat perjuangan


dulu, jadi pasti bisa mengenalinya. Mutahar kaget setengah mati, dalam
pikirannya terbersit, bagaimana kalau bendera yang di dalam kotak itu
bukan bendera pusaka, “wah, bisa celaka aku,” gumamnya.
Mutahar berpikir keras, agar bisa meyakinkan Pak Harto tentang
keaslian bendera pusaka tanpa harus memeriksanya sendiri. ”Maaf Pak
Harto. Bukan saya tidak mau memenuhi permintaan Bapak, tetapi biarlah
saya jelaskan secara detail ciri-cirinya, setelah itu silakan Bapak memeriksa
dan memastikan sendiri keaslian bendera pusaka. Jika ciri-cirinya cocok
berarti asli,” ujarku dan setelah itu cepat-cepat mohon pamit. Pak Harto
mendengarkan usulan Mutahar, dan Bendera dalam kotak itu memang
asli Bendera Pusaka. Pada puncak upacara HUT Proklamasi 1968,
bendera pusaka yang asli itu kembali berkibar di Istana Merdeka Jakarta.
Pada tahun 1969, pembuatan bendera duplikat disetujui. Dalam
usulannya, Mutahar meminta agar duplikat bendera pusaka dibuat
dengan tiga syarat, yakni: (1) bahannya dari benang sutera alam, (2) zat
pewarna dan alat tenunnya asli Indonesia, dan (3) kain ditenun tanpa
jahitan antara merah dan putihnya. Namun, gagasan itu tidak semuanya
terpenuhi karena keterbatasan yang ada. Pembuatan duplikat bendera
pusaka itu memang terlaksana, dan dikerjakan oleh Balai Penelitian
Tekstil Bandung, dibantu PT Ratna di Ciawi Bogor. Akan tetapi syarat
yang ditentukan Mutahar tidak terlaksana karena bahan pewama asli
Indonesia tidak memiliki warna merah standar bendera. Sementara
penenunan dengan alat tenun asli bukan mesin akan memakan waktu
terlalu lama. Sementara, bendera duplikat yang akan dibuat jumlahnya
cukup banyak. Bendera duplikat akhirnya dibuat dengan bahan sutera,
namun menggunakan bahan pewarna impor dan ditenun dengan mesin.
Bendera duplikat itu kemudian dibagi-bagikan ke seluruh daerah tingkat
I, tingkat II dan perwakilan Indonesia di luar negeri pada 5 Agustus 1969.
28 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

Gambar 3. Duplikat bendera pusaka diserahkan kepada daerah tingkat I dan II oleh
Presiden Suharto di Jakarta pada 5 Agustus 1969 melalui Pangkowilhan masing-masing
(Bulletin Paskibraka 78, edisi Juni 2007)

Gambar 4. Presiden Suharto menyerahkan duplikat bendera pusaka merah putih dan
duplikat naskah proklamasi kemerdekaan RI di Bina Graha Jakarta, 10 Agustus 1971.
Sumber foto: Perpustakaan Nasional
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 29

Untuk pengibaran pada tanggal 17 Agustus 1969 di Istana Merdeka,


sebelumnya telah dibuat sebuah duplikat bendera pusaka lain dengan
bahan yang tersedia, yakni dari kain bendera (wool) yang berwarna
merah dan putih kekuning-kuningan. Karena lebar kainnya hanya 50 cm,
setiap bagian merah dan putih bendera itu terdiri dari masing-masing
tiga potongan kain memanjang. Seluruh potongan itu disatukan dengan
mesin jahit dan pada salah satu bagian pinggirnya dipasangi sepotong tali
tambat.
Pemasangannya di tali tiang tidak satu persatu (seperti pada duplikat
bendera pusaka hasil karya Balai Penelitian Tekstil), tapi cukup diikatkan
pada kedua ujung tali tambatnya. Ketidaksamaan bentuk tali pengikat
antara duplikat bendera pusaka di Istana Merdeka dengan duplikat
bendera pusaka yang dibagikan ke daerah, seringkali menimbulkan
masalah. Dalam pengibaran bendera pusaka di daerah, terjadi
ketidakpraktisan saat mengikat tali tambat yang jumlahnya banyak. Hal
itu sering membuat waktu yang dibutuhkan untuk mengikat menjadi
sangat lama, belum lagi kemungkinan terjadi kesalahan sehingga bendera
berbelit sewaktu dibentang sebelum dinaikkan.
Pada tahun 1984, setelah dikibarkan di Istana Merdeka setiap tanggal
17 Agustus selama 15 kali, bendera duplikat yang terbuat dari kain wool
itu pun terlihat mulai renta. Mutahar yang menonton upacara pengibaran
bendera oleh Paskibraka melalui pesawat televisi, tiba-tiba dikejutkan
dengan celetukan ’cucunya’. ”Eyang, kok benderanya sudah tua, apa
nggak robek kalau ditiup angin,” kata sang cucu.”Masya Allah. Aku baru
sadar kalau ternyata bendera duplikat itu usianya sudah 15 tahun. Maka,
siang itu juga aku mengetik surat yang kutujukan pada Pak Harto. Isinya
mengingatkan beliau bahwa bendera duplikat yang dikibarkan di Istana
sudah harus ’pensiun’ dan apabila memungkinkan, dibuatkan duplikat
yang baru,” papar Mutahar.
Pak Harto membaca surat itu dan memenuhi permintaan Mutahar.
”Allah Maha Besar karena suratku diperhatikan oleh Pak Harto,”
kenang Mutahar. Maka, pada tahun 1985 bendera duplikat kedua mulai
dikibarkan, sementara bendera duplikat pertama yang terbuat dari kain
wool kini disimpan dalam museum di Taman Mini Indonesia Indah
(TMII). Bendera duplikat kedua untuk seterusnya menjadi bendera yang
30 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

dikibarkan setiap 17 Agustus sampai saat ini.


Mengingat usianya yang juga sudah ’renta’ yakni 22 tahun, ada
baiknya Presiden RI kembali diingatkan untuk memeriksa apakah
bendera duplikat kedua itu masih layak untuk dikibarkan. Bila tidak,
sudah waktunya pula bendera itu diistirahatkan dan ditempatkan di
museum mendampingi duplikat pertama. Sementara untuk pengibaran
di Istana Merdeka, bisa dibuatkan duplikat yang baru dengan bahan yang
lebih baik dan tahan lama.

F. Dari Kepanduan hingga Pramuka: Hs. Mutahar dan Nurman


Atmasulistya
Nurman Atmasulistya, seorang staf Kwartir Nasional Gerakan Pramuka
1961-2000 dengan berbagai jabatan yang pada awalnya sebagai kepala
sekretariat di periode kepengurusan pertama dan jabatan terakhirnya
sebagai mantan kepala Biro Humas pada periode kepemimpinan Jenderal
Rifai Harahap 1998-2004. Bagi Nurman, sosok Husein Mutahar
bukanlah orang asing di dalam kehidupannya. Kedekatan Nurman
dengan Husein Mutahar dimulai sejak kecil pada saat Nurman berusia 14
tahun. Nurman Atmasulistya, lahir pada tanggal 31 Juli 1936 di Madiun,
Jawa Timur. Nurman adalah anak kelima dari enam bersaudara yang
semuanya laki-laki dari seorang ibu yang bernama Ennas dan Ayahnya
bernama Muhammad Yasin Atma. Ibunya berasal dari Garut dan sang
ayah yang berasal dari Bandung, Jawa Barat.
Ayah Nurman adalah seorang mandor di bengkel kereta api. Berbeda
dengan ibunya yang kala itu telah mengenyam pendidikan terakhir
Kweekschool (Sekolah Guru) di Bandung pada zaman Hindia Belanda.
Maka tidak mengherankan Nurman lahir ketika sang ayah bertugas di
Madiun 1935 hingga tahun 1942. Lamanya waktu bermukim keluarga di
Madiun menyebabkan sang ibu mampu menguasai Bahasa Jawa. Namun
rupanya kecakapan berbahasa Jawa ini tidak sama dengan sang ayah
walaupun sudah sekian lama bertugas di kota itu.
Selama tinggal di Madiun, Nurman mengenyam pendidikan
di Taman Kanak-kanak (TK) Mardi Rahayu Madiun. Kemudian ia
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 31

melanjutkan pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) Madiun yang awalnya


bernama Hollandsch Inlandsche School (HIS) berubah menjadi Shikishima
di tahun 1942. Perubahan nama sekolah ini seiring dengan pergeseran
penguasa kolonial dengan masuknya pemerintahan militer Jepang di
Hindia Belanda. Dalam perkembangannya, pendidikan yang ditempuh
Nurman di sekolah Shikishima harus terhenti di kelas 2 bersamaan dengan
perpindahan tugas sang ayah ke Cirebon, tepatnya di Arjawinangun.
Kepindahan tugas sang ayah tersebut menyebabkan seluruh keluarga ikut
bersamanya. Berdasarkan penuturan Nurman, pada masa itu, kondisi
kaum pribumi dalam keadaan menderita dan penuh keprihatinan.
Hingga akhirnya memasuki ke zaman revolusi kemerdekaan di
tahun 1945, ayah Nurman kala itu sudah tidak mau bekerja, akibat
adanya perpecahan di unsur pegawai negeri yang menjadi dua kelompok.
Kelompok yang pertama yaitu kelompok cooperative (ko) yang masih
mau bekerjasama dengan Belanda, dan kelompok kedua yang bernama
kelompok non-cooperative (non-ko) yang mempertahankan diri untuk
tidak lagi bekerjasama dan tunduk pada pemerintah penjajah. Pendirian
ayah Nurman pada kelompok non-cooperative menyebabkan dirinya tidak
mendapatkan penghasilan dari Djawatan Kereta Api (DKA). Untuk
menghidupi kebutuhan sehari-hari selama tidak lagi aktif di DKA, ayah
Nurman usaha kecil-kecilan bersama sang istri. Dalam keadaan tidak
menentu, sang ayah memutuskan untuk kembali bekerja di DKA di
bengkel kereta api Manggarai Jakarta di tahun 1948 dan menempati rumah
kecil (bedeng) tepatnya di perumahan Djawatan Kereta Api Manggarai.
Dalam kondisi demikian, semangat Nurman untuk tumbuh berkembang
dalam berbagai aktivitas terus terjaga terbukti saat ia beranjak memasuki
usia 12 tahun mulai aktif di dalam kepanduan sebagai pemula.
Berbicara mengenai kepanduan, bila melihat ke belakang,
sesungguhnya gerakan kepanduan telah berkembang sejak masa pergerakan
nasional. Sebelum kemerdekaan diproklamirkan pada tahun 1945, telah
muncul berbagai gerakan kepanduan Indonesia baik yang bernapaskan
kebangsaan maupun agama. Dapat disebut kelompok-kelompok pandu
yang ada dalam periodisasi 1925-1942 seperti Hizbul Wathan, Pandu
Anshor, Pandu Indonesia, Pandu Kesultanan, Kepanduan Asas Katolik
Indonesia (KAKI), Tri Darma, Kepanduan Bangsa Indoensia, Sarekat
32 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

Islam Afdeling Pandu (SIAP), dan lainnya. Istilah kepanduan baru


muncul sekitar tahun 1928 ketika K.H Agus Salim, seorang tokoh pandu
SIAP, mengusulkan untuk menggunakan Pandu dan Kepanduan untuk
mengganti nama Padvinder dan Padvinderij.
Ketika Jepang masuk ke Hindia Belanda tahun 1942, pemerintah
militer Jepang melarang organisasi kepanduan dan dibubarkan. Akan
tetapi anggotanya ditarik untuk mengikuti organisasi kepemudaan
bentukan Jepang seperti Seinendan, Keibodan, dan Pembela Tanah Air
(Peta). Keibodan sendiri adalah barisan pembantu polisi yang dibentuk
pada 29 April 1943, bertugas untuk membantu tugas-tugas kepolisian.
Kebijakan pelarangan dari pemerintah militer Jepang terhadap
keberadaan organisasi kepanduan menyebabkan pergerakan kaum muda
terhenti aktivitasnya. (Sitti Utami Haryanti: 2017)
Gerakan kepanduan di Indonesia penuh dinamika, mengingat
dalam perkembangannya, gerakan kepanduan ini telah berulangkali
disatukan dan terpecah. Setelah diproklamasikannya kemerdekaan di
tahun 1945, kelompok-kelompok pandu yang sempat terbentuk selama
masa Hindia Belanda dan sempat berhenti aktivitas di masa pendudukan
Jepang bersepakat untuk membentuk satu wadah organisasi kepanduan
yang terafiliasi ke dalam apa yang disebut Pandu Rakyat Indonesia.
Terbentuknya Pandu Rakyat Indonesia ini sebagai hasil dari Kongres
Kesatuan Kepanduan Indonesia yang diadakan pada tanggal 27-29
Desember 1945 di Surakarta. Pandu rakyat yang dibentuk bersama-sama
sejak tahun 1945, didukung oleh segenap pimpinan dan tokohnya yang
dikuatkan dengan “Janji Ikatan Sakti” yang berbunyi: melebur segenap
perkumpulan kepanduan Indonesia dan dijadikan satu organisasi
kepanduan: Pandu Rakyat Indonesia, tidak akan menghidupkan lagi
kepanduan lama, tanggal 28 Desember diakui sebagai hari Pandu bagi
seluruh Indonesia, mengganti setangan leher yang beraneka warnanya
dengan warna hitam.
Dorongan untuk membentuk wadah Pandu Rakyat Indonesia ini
sejalan dengan munculnya gejolak perlawanan bangsa Indonesia terhadap
kedatangan sekutu dan tentara Belanda. Akan tetapi tahun-tahun sulit
selama masa revolusi 1945-1949 harus dihadapi Pandu Rakyat Indonesia
mengingat suasana revolusi sedang menghebat di seluruh tanah air
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 33

terlebih dengan adanya dua gelombang agresi militer Belanda di tahun


1946 dan 1948. Adanya serbuan militer Belanda tersebut di daerah-
daerah Republik Indonesia, maka hubungan dengan cabang-cabang
Pandu Rakyat Indonesia di daerah-daerah yang telah diduduki Belanda
menjadi terputus. Hal ini memunculkan inisiatif kaum muda Indonesia
mendirikan perkumpulan lain.
Setelah perjuangan bersenjata rakyat Indonesia untuk memper­
tahankan kemerdekaan berakhir dengan ditandai oleh pengakuan
kedaulatan oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun
1949, Pandu Rakyat Indonesia mengadakan Kongres II di Yogyakarta
pada tanggal 20-22 Januari 1950. Kongres ini memutuskan antara
lain penerimaan konsep baru yang mana konsep tersebut memberikan
kesempatan kepada golongan khusus untuk menghidupkan kembali
bekas organisasinya masing-masing. Perpecahan di tubuh Pandu Rakyat
Indonesia ini juga seiring dengan perubahan sistem pemerintah Indonesia
yang menjadi Republik Indonesia Serikat. Keputusan ini menyebabkan
Pandu Rakyat Indonesia bukanlah menjadi satu-satunya organisasi
kepanduan di Indonesia dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri PP
dan K nomor 2344/Kab tertanggal 6 September 1951.
Sepuluh hari berselang, tepatnya tanggal 16 September 1951, disusul
kemudian konferensi di Jakarta yang diadakan oleh wakil-wakil organisasi
kepanduan untuk mendirikan Ikatan Pandu-pandu Indonesia (Ipindo)
sebagai suatu federasi. Maksud dibentuknya federasi tersebut adalah untuk
memelihara agar induk-induk organisasi kepanduan tetap ada, namun
disatukan di dalam sebuah asosiasi. Menjelang 1961, gerakan kepanduan
di Indonesia telah terpecah menjadi lebih dari 100 organisasi kepanduan
yang terhimpun ke dalam tiga federasi, Ikatan Pandu Indonesia (Ipindo),
Persatuan Organisasi Pandu Putri Indonesia (Poppindo), dan Persatuan
Kepanduan Puteri Indonesia (PKPI). Dikarenakan keadaan demikian
melemahkan gerakan kepanduan Indonesia, akhirnya dibentuklah
Persatuan Kepanduan Indonesia (Perkindo) yang merupakan gabungan
dari tiga federasi tersebut.
Suasana zaman waktu itu membawa hasrat yang kuat bagi Nurman
untuk aktif sejak dini di kepanduan. Hubungan keluarga Nurman
dengan Husein Mutahar pun bermula dari kepanduan. Pada tahun 1950,
34 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

Nurman mulai berkenalan dengan Husein Mutahar yang kala itu masih
berusia 34 tahun. Husein Mutahar kerap kali datang ke Manggarai untuk
berdiskusi dengan Endy Radiman Atmasulistya dan Maman Yastaman
Atmasulistya yang tidak lain adalah kakak pertama dan kedua Nurman.
Endy Radiman sudah aktif di Pandu Rakyat Indonesia sejak tahun
1946. Kedekatan Mutahar dengan kedua kakak Nurman menyebabkan
seringnya pertemuan di Manggarai untuk saling bertukar pikiran
mengenai pandu rakyat Indonesia. Di dalam keluarga Nurman sendiri,
6 bersaudara tersebut aktif dalam kepanduan sedari kecil baik sebagai
pemula, perintis, penuntun, bahkan hingga pemimpin pandu. Keaktifan
Nurman dan saudara-saudaranya di dalam kepanduan terus berlangsung
hingga Pandu dibubarkan yang kemudian dibentuk Gerakan Pramuka di
tahun 1961 sebagai gantinya.

Gambar 5. Foto keluarga M Yasin Atma, saat putra-putranya bersiap berangkat latihan
pandu. Foto diambil di halaman rumah DKA Manggarai Selatan, Jakarta sekitar tahun
1952. Berdiri dari kiri ke kanan: Endy Radiman (putra kesatu), Ennas (istri), Maman
Yastaman (putra kedua), M Yasin Atma, dan Kaman (putra ketiga). Jongkok dari kiri ke
kanan: Sulaeman (putra keempat), Usman (putra keenam), dan Nurman (putra kelima)

Sewaktu aktif sebagai pandu pemula, Nurman berada di bawah


asuhan Suwandi di kelompok Jakarta 11 (Angkawijaya) tahun 1948. Saat
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 35

Nurman aktif sebagai pandu perintis tahun 1950, ia selalu ikut dalam
berbagai kegiatan upacara seperti dalam upacara ulang janji tanggal 16
Agustus, menjelang hari kemerdekaan 17 Agustus di Pegangsaan Timur
56 dimana Mutahar selalu menjadi pimpinan upacara. Perkenalannya
dengan Mutahar membawa pengaruh bagi Nurman untuk terus
berkembang, bahkan hingga Mutahar aktif di pandu rakyat yang
pusatnya di pindah ke ibukota Jakarta. Husein Mutahar telah ikut aktif
bergerak sebagai pemimpin pandu dimana Husein Mutahar dipercaya
untuk menjadi anggota Kwartir Besar Organisasi Persatuan dan Kesatuan
Kepanduan Nasional Indonesia “Pandu Rakyat Indonesia”.
Dalam perjalanan Pandu Rakyat Indonesia di Jakarta tahun 1957,
Nurman mendapat kepercayaan sebagai penulis lencana Kwartir Cabang
Jakarta. Pada saat gerakan pramuka dibentuk tahun 1961, Nurman
diminta untuk menjadi pembantu Andalan Nasional Urusan Penerangan
oleh Pak Kasur dan merangkap sebagai pembantu Andalan Nasional
Urusan Sekretariat atas permintaan Kolonel dr. Soedjono.
Dalam organisasi gerakan pramuka, selain kwartir, ada Majelis
Pembimbing yang anggotanya terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan
pimpinan instansi pemerintah. Dalam fungsinya, Kwartir Nasional
menjalankan fungsi organisasi, sedangkan Majelis Pembimbing
melakukan pengawasan dan memberikan bantuan moril dan materiil.
Dalam pengelolaan organisasi gerakan pramuka, pemerintah menunjuk
gedung yang terletak di Jalan Medan Merdeka Timur sebagai pusat
organisasi gerakan pramuka tingkat nasional. Struktur organisasi kwartir
nasional beranggotakan 17 orang dengan komposisi Ketua, Wakil Ketua,
dan 15 Andalan Nasional. Delapan diantara Andalan Nasional tersebut
menjalankan kegiatan sehari-hari sebagai Kwartir Nasional Harian.
Adapun yang terlibat aktif dalam kepengurusan gerakan pramuka pertama
terdiri dari ketua Kwartir Nasional, Sultan Hamengkubuwono IX, dan
anggota kwartir nasional yang pada umumnya adalah para menteri.
Andalan nasional yang berjumlah 17 orang ini merupakan policy
maker selama kepengurusan berlangsung. Husein Mutahar masuk
menjadi bagian dari kepengurusuan Kwartir Nasional gerakan pramuka
ketika disahkan pada 20 Mei 1961. Disinilah letak dan peran Mutahar
mulai terbangun sebagai Andalan Nasional Urusan Latihan untuk
36 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

menggodok materi kepramukaan. Salah satu tokoh terpenting dalam


menyiapkan kurikulum kepramukaan pada umumnya di kemudian hari.
Pada masa awal kepengurusan, keaktifan Nurman di Kwartir
Nasional menyebabkan dirinya untuk mau tidak mau belajar mengenai
arsip dan persuratan. Untuk yang satu ini ia banyak belajar dari Mutahar
mengenai kearsipan yang didapatnya setelah menjadi pegawai negeri di
Departemen Luar Negeri sejak 1949. Keterlibatannya di dalam kwartir
nasional membawa Nurman dekat dengan beberapa tokoh, di antaranya
pak Kasur. Saat itu Nurman juga diminta pak Kasur untuk membantu
siaran, akan tetapi bukan berarti Nurman keluar dari urusan sekretariat.
Hubungan personal ini membawanya semakin dekat dengan
Mutahar. Di kala kesibukannya di Kwarnas, Nurman juga telah memiliki
kesibukan lain sebagai guru SMPN 14 di Jakarta. Pengalaman yang
sangat berkesan bagi Nurman adalah ketika selama tiga tahun ia diajari
tentang pola persuratan, arsip, administrasi negara, dan protokoler oleh
Mutahar. Mutahar sendiri adalah orang yang sangat bijak dan rendah hati.
Berkat perannya di dalam sekretariat pada kepengurusan pertama kwartir
nasional, Nurman mendapatkan tanda penghargaan dari pemerintah
sebagai “perintisan sekertariat kwarnas”. Berkat bimbingan Mutahar pula,
sesudah itu, Nurman di kwarnas bisa membentuk sekertariat bagian arsip,
bagian konsepsi, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, ia semakin
cakap dalam membuat surat-surat keputusan termasuk diantaranya
keputusan presiden selaku ketua Mabinas, keputusan ketua kwartir
nasional dan sebagainya.
Perkawanan dan hubungan sebagai kakak-adik binaan antara
Nurman dengan Mutahar begitu melekat sampai-sampai ketika Nurman
menikah pada usia 34 tahun di tahun 1969, Mutahar dengan ikhlas
dan sukarela banyak membantu Nurman sejak persiapan hingga acara
pernikahan. Semua itu dilakukan Mutahar secara tulus disamping
Mutahar mengetahui bahwa kedua orang tua Nurman telah meninggal
dunia. Diceritakan oleh Nurman bahwa sewaktu ia akan menikah, yang
melamarkan adalah kakak kandungnya, sedangkan prosesi akad dihadiri
Mutahar yang sekaligus menjadi saksi.
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 37

Gambar 6. Husein Mutahar (paling kanan) bertindak sebagai saksi dari pernikahan Nurman
Atmasulistya (sebelah kiri Mutahar memakai jas berdasi) dan Sahcriatati di tahun 1969.
Foto koleksi Nurman Atmasulistya

Gambar 7. Husein Mutahar hadir dan mendampingi prosesi akad nikah pengantin pria
(Nurman Atmasulistya). Foto koleksi Nurman Atmasulistya

Selama di Kwartir Nasional, Husein Mutahar tahu bahwa Nurman


memiliki kecakapan di bidang musik karena latar belakang pendidikan
38 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

Kursus B1 Seni Suara, Jakarta. Kesenangan keduanya dalam bermusik


menyebabkan Mutahar dan Nurman memiliki kecocokan untuk
saling membantu dalam berkarya. Husein Mutahar semakin banyak
mencurahkan waktunya untuk musik dan lagu. Dalam wawancara dengan
Nurman diceritakan:
….beliau itu kalau nyusun lagu selalu telepon: “Man, aku ke rumahmu
nanti, mau ketemu, biasa”. Biasanya kalau ke rumah itu malam hari
jam 9 malam, rumah saya di Kebon Baru, masih kampung, belum
gedung-gedung seperti sekarang ini. Terus beliau bawakan naskah
coret-coretan belum apa-apa. “pokoknya ini saya serahkan kamu,
kembalinya sudah not balok, not angka, dan koreksi, kalo kamu ada
saran melodinya, entah apanya, syairnya, dan sebagainya”. Nah itu
berapa tahun dari saya sudah menikah itu terus gak berhenti-henti…
Kerjasama Mutahar dengan Nurman seperti apa yang digambarkan
Nurman sebagai contoh pada zaman Kak Mashudi sebagai ketua Kwartir
Nasional periode 1978-1993. Ketua Kwarnas waktu itu setiap kali akan
dilaksanakannya Jambore Nasional, memanggil dan meminta kepada
Mutahar untuk membuatkan Himne dan Mars. Atas permintaan Kak
Mashudi tersebut, lagu-lagu itu dibuat dan diciptakan oleh Mutahar,
kemudian menghubungi Nurman dan berkunjung ke rumahnya yang
terletak di Kebon Baru. Mutahar biasanya datang berkunjung pada
malam hari dengan membawa coret-coretan lagu. Sayangnya Nurman
tidak pernah berpikir kalau dokumen asli itu penting di kemudian hari
dan coret-coretan itu Nurman salin. Nurman sering membantu Mutahar
untuk membuat coret-coretan notasi angka kemudian disalin ke notasi
balok karena ia memiliki kemampuan itu. Kerjasama jika lagu akan
dikeluarkan, Mutahar tulis lagu, lalu di tulis ulang dalam bentuk notasi
balok dari notasi angka oleh Nurman. Suatu waktu ada kalanya untuk
kemudian dibuatkan aransemennya oleh Sudharnoto dan untuk nyanyi
vokalnya oleh Pranawengrum Katamsi, dengan paduan suaranya.
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 39

Gambar 8. Tulisan tangan tentang permintaan Husein Mutahar kepada Nurman untuk
membantunya dalam menyempurnakan lagu yang diciptakannya. Lagu tersebut
yang berjudul Senyum Ibuku dan Terima Kasih Ibu adalah 2 lagu persembahan untuk
almarhumah Ibu Tien Suharto yang meninggal 28 April 1996.
40 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

G. Akhir Hayat Sang Maestro


Terlalu banyak kenangan manis yang ditinggalkan Kak Mut, sebutan
yang lazim digunakan dalam tradisi kepanduan dan pramuka. Rasanya
tidak cukup dirangkai dalam tulisan sepanjang apapun. Berusaha untuk
selalu jujur, sabar, bijaksana, ikhlas dan bertanggungjawab adalah nilai-
nilai yang patut diteladani dari seorang Husein Mutahar. Penyandang
Bintang Jasa Mahaputra dan Bintang Gerilya ini akhirnya harus pulang
Ke Timur Abadi, satu kata sandi yang seringkali dikatakan oleh Mutahar
untuk menyebut Hadirat Allah, pada 9 Juni 2004.
Penyelamat Bendera Pusaka, tokoh kepanduan, dan pendiri Gerakan
Pramuka ini di akhir masa hidupnya menghuni sebuah rumah di jalan
Damai Raya Nomor 20 di sebelah Pasar Cipete bersama Sanyoto, anak
angkatnya. Ia memang tak membutuhkan penghargaan berlebihan, bila
perlu merelakan diri agar orang lain selamat. Begitulah watak mulia
Pramuka yang dibawanya hingga wafat, dua bulan menjelang ulang
tahunnya yang ke-88. Ada sebuah foto berwarna berukuran besar di dekat
jenazahnya, dalam balutan seragam Pramuka, lengkap dengan tanda jasa
Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra, serta tanda kemahiran Pramuka
sebagai pembina bertaraf internasional. Menurut penuturan Bondan
Winarno, foto itu baru diambil dua minggu sebelumnya oleh cucunya,
dengan kamera digital pinjaman.
Sebagai penyandang bintang Gerilya, dan Bintang Mahaputra,
Mutahar sebenarnya berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan,
namun ia tidak menghendakinya bahkan ia telah menuliskan wasiat di
hadapan notaris, yang isinya ingin dimakamkan sebagai rakyat biasa
dengan tata cara Islam. Berdasar surat wasiat itu, Indradjit Soebardjo
dan Sangkot Marzuki, dua anak didik Mutahar di kepanduan, langsung
datang ke rumah duka, dan segera memutuskan untuk memakamkan
jenazah mendiang Husein Mutahar di Taman Pemakaman Umum (TPU)
Jeruk Purut tanpa upacara kenegaraan, tradisi kepanduan, ataupun ritus
lainnya.
Tak banyak pula tulisan yang pernah kita baca tentang dirinya, karena
ia memang tidak suka publikasi. Tak banyak gambar atau fotonya yang
dapat kita lihat karena ia tak suka dipotret dan selalu memalingkan muka
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 41

Gambar 9. Jenazah Husein Mutahar diusung oleh anggota Paskibraka dan keluarga,
didahului sebuah foto terakhirnya dengan seragam Pramuka lengkap (Bulletin Paskibraka
’78, hal. 5)

atau pura-pura bicara dengan seseorang bila kamera diarahkan padanya.


Mengenai hal ini ada beberapa alasan kenapa Mutahar tidak mau difoto,
seperti yang dituturkannya kepada Budihardjo Winarno dalam Bulletin
Paskibraka 78. Dalam penuturannya, Mutahar menyatakan bahwa ia
tidak mau dipotret bukan semata-mata soal teknis, tapi juga soal prinsip.
Pertama, jika aku difoto apalagi memakai lampu blitz, maka dalam
beberapa saat pasti mataku mengalami kejutan sinar yang sangat terang.
Aku akan kehilangan keseimbangan dalam beberapa detik, dan rasanya
seperti ada yang hilang, mungkin karena mataku sudah tidak bagus
kondisinya atau sebab lain Mutahar tidak tahu secara pasti.
Kedua, jika aku difoto dan mereka menyimpannya, maka kenangan
itu tidak akan berumur panjang. Kalau orang yang menyimpan fotoku
sudah bosan atau tak memerlukannya, foto itu pasti tidak akan dirawat
atau malah dibuang ke tong sampah. Jadi tidak ada artinya lagi katanya.
”Kamu pasti tahu arti pepatah gajah mati meninggalkan gading,
macan mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan
nama. Begitu juga aku, tutur Mutahar. Jika pada saatnya nanti aku harus
42 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

menghadap Al-Khalik, maka aku ingin meninggalkan nama yang baik


bukan sekadar foto. Misalnya ada orang yang menyanyikan lagu Syukur,
kemudian ditanya siapa pengarangnya, maka akan dijawab lagu Syukur
dikarang oleh Mutahar, bukan ini foto pengarangnya. Jadi yang aku
tinggalkan adalah nama dan itu akan abadi”.
Prosesi pemakaman almarhum Husein Mutahar dilakukan pada hari
Kamis, 10 Juni 2004. Dalam pelaksanaannya, Sukari Handoyo Subroto
bertindak sebagai koordinator acara dan dibantu Nurman Atmasulistya
sebagai pembawa acara hingga pemakaman. Banyak anak didik Mutahar
turut ikut serta dalam prosesi tersebut baik dari para anggota Paskibraka
maupun dari unsur pramuka (Kwarnas). Prosesi pemakaman Husein
Mutahar dilakukan dalam empat tahap. Pada pukul 7 pagi, panitia
yang akan memakamkan almarhum melakukan beberapa persiapan. Di
rumah duka, Jl. Damai Raya Nomor 20, mereka menerima tamu serta
menyiapkan berbagai peralatan untuk pemakaman. Selanjutnya, pada
pukul 09.00 WIB, jenazah Husein Mutahar mulai dimandikan dan
dikafankan. Prosesi ini dipimpin oleh Irin Wagiran, anak angkatnya.
Pada pukul 10.00 WIB, selesai dimandikan dan dikafankan, keluarga
dan para tamu diperkenankan untuk melakukan shalat jenazah untuk
almarhum. Banyaknya jumlah tamu yang datang menyebabkan shalat
jenazah dilakukan secara berkelompok dan bergantian. Siang harinya,
selesai shalat jenazah dan shalat dzuhur untuk para tamu, Indrajit
Soebardjo, memberikan sambutan pelepasan jenazah. Setelah itu, jenazah
Husein Mutahar diberangkatkan dari rumah duka menuju tempat
peristirahatan terakhirnya. Keberangkatan tersebut dilakukan pada
pukul 12.30 WIB. Dari Jl. Damai Raya jenazah Husein Mutahar dibawa
ke Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut. Selepas sholat dzuhur, di
bawah gerimis, keranda yang membawa jasad Mutahar dibawa keluar dan
diangkut dengan mobil jenazah ke TPU Jeruk Purut. Dua bus Kopaja
yang sederhana mengiringi kepergian Mutahar, mengangkut anggota
keluarganya. Dengan diiringi sekitar 50 mobil pelayat lainnya.
Pada pukul 13.00 WIB, jenazah Husein Mutahar tiba di Tempat
Pemakaman Umum Jeruk Purut. Prosesi pemakaman tersebut juga
dibantu oleh para Paskibraka dan para pramuka Kwarnas. Merekalah yang
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 43

mengusung jenazah Husein Mutahar ke dalam liang lahat. Salah seorang


keluarga Husein Mutahar, Sanyoto, kemudian mengumandangkan azan
dan ikamah. Setelah itu, jenazah mulai dikebumikan. Selesai dikebumikan,
salah seorang keluarga almarhum, Umar Mutahar, kemudian melakukan
pembacaan doa. Selesai pembacaan doa, beberapa orang terdekat
almarhum Husein Mutahar seperti, Sukari, Triyono Wibowo mewakili
Departemen Luar Negeri, Parni Hadi mewakili Kwarnas, dan lain-lain
memberikan kata-kata perpisahan. Mereka melepaskan Husein Mutahar
ke tempat peristirahatan terakhirnya. Upacara pemakaman berlangsung
khidmat dan sederhana, seperti yang diinginkannya. Mutahar memang
telah tiada, namun lagu-lagunya akan hidup sepanjang masa.
Di bawah ini adalah beberapa foto prosesi pemakaman Husein
Mutahar dan beberapa karangan bunga dari Presiden Megawati
Soekarnoputri, Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda, tokoh-tokoh
penting Indonesia lainnya, serta lembaga-lembaga di Indonesia yang
begitu menghormati Husein Mutahar.

Gambar 10. Suasana di saat proses pemakaman Husein Mutahar di Tempat Pemakaman
Umum Jeruk Purut. Foto koleksi Nurman Atmasulistya
44 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

Gambar 11. Karangan bunga dari Presiden RI saat itu, Megawati Soekarnoputri. Foto
koleksi Nurman Atmasulistya

Gambar 12. Karangan bunga dari Suami Presiden RI, Muhammad Taufiq Kiemas. Foto
koleksi Nurman Atmasulistya
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 45

Gambar 13. Karangan bunga dari Keluarga Jend. (Purn) TNI Susilo Bambang Yudhoyono
yang kemudian menjadi Presiden RI Keenam. Foto koleksi Nurman Atmasulistya

Gambar 14. Karangan bunga dari Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan istri. Foto
koleksi Nurman Atmasulistya
46 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati

Gambar 15. Karangan bunga dari Keluarga Besar dan Pengurus Pusat Purna Paskibraka
Indonesia. Foto koleksi Nurman Atmasulistya

Gambar 16. Karangan bunga dari Menteri Pemberdayaan Perempuan, Hj. Sri Redjeki
Sumaryoto, SH. Foto koleksi Nurman Atmasulistya
MENGENAL LAGU-LAGU KARYA
HUSEIN MUTAHAR

A. Gambaran Umum

H impunan lagu-lagu/nyanyian karya cipta Husein (Hs.) Mutahar


adalah seluruh karya lagu yang diciptakan selama hidupnya. Banyak
dari lagu-lagu tersebut merupakan arsip (dokumen) pribadi Mutahar
yang diserahkan kepada Nurman Atmasulistya menjelang beliau tutup
usia pada 9 Juni 2004 dalam usia 87 tahun. Tepatnya seperti yang tertera
di dalam surat Mutahar kepada Nurman pada tanggal 12 Februari 2004.
Himpunan dokumen arsip tersebut dikelompokkan menjadi empat tema,
yang merupakan pencerminan dari maksud dan tujuan lagu-lagu dibuat.
Empat kelompok tersebut terdiri atas lagu yang bertemakan Nasional,
Alam, Kepanduan, dan Kepramukaan.
Masih di tahun yang sama, setelah Husein Mutahar meninggal pada
tanggal 9 Juni 2004, anak angkat Mutahar yaitu Sanyoto menyerahkan
sisa arsip (dokumen) pribadi lagu-lagu Mutahar yang masih tersimpan di
rumah yang terletak di jalan Damai Raya kepada Nurman Atmasulistya.
Dari total hasil karya (dokumen arsip Mutahar) yang berhasil diidentifikasi
berdasarkan lampiran dokumen surat Mutahar dapat disebutkan karya
cipta Husein Mutahar dari 4 kelompok tersebut berjumlah 86 lagu.
Akan tetapi dalam perkembangannya, dalam proses pengumpulan data
oleh tim penyusun, dari dokumen yang berada di Nurman Atmasulistya
ditemukan kembali lagu-lagu lainnya di luar 4 tema yang telah disusun
Mutahar bersama Nurman. Lagu-lagu yang ditemukan di luar tema itu
berjumlah 30 lagu. Dengan demikian apabila diperhitungkan jumlah

47
48 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

keseluruhan dari lagu yang terdapat di dalam lampiran surat dan lagu
yang ditemukan kemudian di luar 4 tema berjumlah 116 lagu. Namun,
jumlah tersebut masih dimungkinkan ada lagu-lagu karya Mutahar yang
lain yeng belum sempat ditemukan oleh tim penyusun.
Jumlah 116 lagu tersebut ada diantaranya yang merupakan lagu asing
yang di Indonesiakan syairnya oleh Husein Mutahar. Tidak diketahui
kapan lagu-lagu asing tersebut di Indonesiakan, namun jika melihat dari
judul-judulnya hampir semuanya merupakan lagu berbahasa Belanda
dan Inggris yang mungkin saja di Indonesiakan oleh Husein Mutahar
di masa Hindia Belanda atau sebelum kemerdekaan. Dapat disebutkan
lagu-lagu asing yang di Indonesiakan tersebut antara lain lagu berjudul
Bertemu Lagi, Indah Api Merah, Salam, Yo Hayo, Pulang Ke Lumbung,
Balik Gilwell, Ban Sepeda, Sangat Jauh, Di Tenda Makan, Tetapi Saya
Lupa, Minta Duitnya, Bisul Besar, Bertemu Lagi, Kebakaran, Dayung
Mendayung, Lonceng, Bapak Ja’kub, Selamat Tinggal, dan Perpisahan.
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 49

Berdasarkan lembar lampiran dari surat tersebut, diketahui jumlah


keseluruhan dari lagu-lagu yang terangkum dalam 4 tema dan lagu-lagu
di luar tema berjumlah 116 buah. Hanya saja tidak semua lagu yang
dikumpulkan tim penyusun terdapat dokumennya, ada 6 lagu seperti
lagu Kita di Jalan Pandu, Suasananya, Kami Riang, Ayo Jalan, Jangan
Putus Asa, dan Kami Siaga.
50 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

I. Tema Nasional
1. Syukur
2. Hari Merdeka
3. Dwi Warna
4. Terima Kasih Kepada Pahlawanku
5. Dirgahayu Indonesiaku
6. Himne Pancasila
7. Panggilan Membangun
8. Pengakuan
9. Wahai Pemuda
10. Himne Siswa
11. Mars Siswa
12. Mars Khidmat
13. Pekan Olahraga Asia Tenggara (Sea Games)
14. Mars Kongres Umat Islam Indonesia
15. Do’a Kami
16. Senyum Ibuku
17. Terima Kasih Ibu

II. Tema Alam


1. Bukit Biru
2. Gema
3. Alam Luas
4. Suara Alam Raya
5. Hutan Anugerah Tuhan
6. Paduan Suara Di Rimba Raya
7. Wana Paru-Paru
8. Pending Tangkal

III. Tema Kepanduan


1. Djaja Dan Sentosa
2. Suluh Pandu
3. Kita Di Jalan Pandu
4. Bertemu Lagi
5. Apa Kabar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 51

6. Tak Kan Dapat Kulupakan


7. Gembira
8. Ulang Tahune
9. Api Unggun (I)
10. Mulai Nyanyi
11. Api Unggun (Ii)
12. Suasananya
13. Dendang Layang
14. Tiba Saat Berpisah (Pisah Hanya Dilahirnya)
15. Ke Latihan Pramuka
16. Yo Hayo
17. Riangkan Dia/Kawan
18. Kami Riang
19. Ayo Jalan
20. Sangat Jauh
21. Ke Gladian Pemimpin Regu
22. Lawanlah Sukar
23. Dayung Mendayung
24. Lajulah Laju
25. Indah Api Merah
26. Awaslah Karang Bahaya
27. Ke Pertemuan Penuntun
28. Apa Mungkin Diceraikan
29. Tari Tepuk Tangan Silang-Silang
30. Ke Padang Lomba
31. Hayo Pemula Maju
32. Selamat Jalan
33. Tikus Pes
34. Tetapi Saya Lupa
35. Kebakaran
36. Sang Merah Putih Tetap Tegak
37. Ke Desa Pandu
38. Ke Pitaran
39. Tari Tongkat
52 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

IV. Tema Kepramukaan


1. Himne Satya Darma Pramuka
2. Mars Gerak Pramuka
3. Kami Siaga
4. Himne Penegak Pandega
5. Saka Taruna Bumi
6. Majulah Saka Wanabakti
7. Ke Jambore Nasional III dan Asia Pasifik Community VI
8. Mars Jambore Nasional 1986
9. Hias Tajuk Indonesia / Mars Jambore Nasional 1996
10. Jati Diri / Himne Jambore Nasional 1996
11. Jamaah Bogam Real
12. Himne Raimuna Nasional Tahun 1987
13. Mars Raimuna Nasional Tahun 1987
14. Mars Raimuna Nasional Tahun 1992
15. Mars World Community Development Camp (Comdeca) I
16. Mars Wirakarya Bukit Rawi / Pw 1995 – Ke VIII
17. Himne Wirakarya Bukit Rawi / Pw 1995 – Ke VIII
18. Perti Wana
19. Selamat Datang Bapak Presiden (Suharto)
20. Selamat Datang Bapak Wakil Presiden (Adam Malik)
21. Wirausaha Unggul Indonesia
22. Himne Bakti/Service

Lagu-lagu di Luar Tema


1. Mars Koperasi
2. Himne Persaki
3. Himne Universitas Indonesia
4. Buku Alam
5. Uang
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 53

6. Drama Enam Orang Penjelajah


7. Jantung Sehat I
8. Jantung Sehat II
9. Jantung Sehat III
10. Jantung Sehat IV
11. Asia Pasifik VI/Nasional 81
12. Kereta Api Kita
13. Selamat Datang
14. Salam
15. Adat Pemula
16. Pulang Ke Lumbung
17. Renungan Perkemahan Pemula
18. Penuntun Muda
19. Balik Gilwell
20. Ban Sepeda
21. Di Tenda Makan
22. Ke Ambalan
23. Minta Duitnya
24. Bisul Besar
25. Tarrrik Bung
26. Dimana
27. Lonceng
28. Bapa Ja’kub
29. Selamat Tinggal
30. Perpisahan
54 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

B. Himpunan Nyanyian Karya Cipta Husein Mutahar Bagi Nusa dan


Bangsa

1. Lagu Syukur
Lagu ini diciptakan pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda.
Tepatnya diciptakan pada tanggal 7 September 1944 di Semarang. Lagu
yang harus dinyanyikan secara pelan dan khidmat ini merupakan cerminan
dari keprihatinan akan nasib dan penderitaan rakyat yang terjajah.
Kondisi sosial masyarakat yang sengsara dan sulit untuk memenuhi
kebutuhan pokok memaksa mereka melakukan berbagai cara untuk
dapat bertahan hidup. Namun di dalam kondisi demikian, ada keyakinan
dan secercah harapan bahwa perjuangan rakyat Indonesia untuk merdeka
akan terwujud di kemudian hari dan bebas dari penderitaan. Beliau
membayangkan akan masa depan negeri ini untuk merdeka sehingga
tidak ada lagi penindasan manusia kepada manusia yang lain.
Apabila melihat pada dokumen arsip pribadinya, ada keterangan
seperti disebutkan Husein Mutahar bahwa lagu Syukur yang diciptakan
ini dibuat serba tujuh, yang itu nampak baik dalam lirik dan birama
merujuk pada tanggal saat dia membuat lagu tersebut. Di lain kesempatan,
yang menarik lagi bahwa pada tanggal 10 April 2001 seperti apa yang
terungkap dalam dokumen arsip, Husein Mutahar merubah kata terakhir
(lirik) pada stanza kedua dan ketiga yang semula kata “Tuan” menjadi
“Johan”. Perubahan kata tersebut mengandung arti bahwa kata “Johan”
sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
pahlawan.
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 55
56 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 57
58 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 59
60 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

2. Hari Merdeka
Lagu yang berjudul “Hari Merdeka” diciptakan di Yogyakarta pada tanggal
17 Agustus 1945, menjadi lirik lagu yang wajib dinyanyikan setiap tanggal
17 Agustus dalam peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Makna dari
lagu ini adalah suatu ungkapan rasa syukur terhadap kemerdekaan yang
diraih oleh bangsa Indonesia pada tahun 1945 sebagai hasil jerih payah
perjuangan rakyat untuk membebaskan diri dari penjajahan. Bahwa
kemerdekaan yang diraih berkat perjuangan bangsa Indonesia sendiri
dan bukan atas pemberian dari bangsa lain sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa bagi kita semua. Oleh karena itu, kemerdekaan yang telah diraih
bangsa Indonesia hingga kini patut dipertahankan dengan jiwa dan raga.
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 61
62 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

3. Dwi Warna
Lagu Dwi Warna (dua warna) yang diciptakan pada tahun 1952 adalah
penggambaran dari bendera Merah Putih. Bendera Merah Putih
melambangkan kedaulatan, jati diri bangsa, persatuan, identitas Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tanda kehormatan. Merah yang berarti
berani dan putih yang berarti suci merangkum nilai-nilai kepahlawanan,
patriotisme, dan nasionalisme. Dwi Warna mencerminkan kemandirian
dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 63
64 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 65

4. Terima Kasih Pahlawanku


Lagu yang diciptakan pada tanggal 17 November 1945 ini untuk
mengenang pertempuran pemuda-pemuda Indonesia melawan tentara
Belanda yang berdiam di Hotel Oranye di Surabaya, dimana seorang
pemuda memanjat tiang bendera yang berbendera Belanda Merah Putih
dan Biru yang kemudian sang pemuda tersebut merobek warna biru
sehingga berkibarlah bendera Indonesia Sang Merah Putih.
Peristiwa ini menggerakkan hati Husein Mutahar menciptakan lagu
Terima Kasih Pahlawanku untuk mengenang peristiwa dimaksud.
66 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 67
68 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

5. Dirgahayu Indonesiaku
Lagu Dirgahayu Indonesiaku diciptakan oleh Mutahar pada 23 Maret
1995 untuk memperingati ulang tahun ke-50 kemerdekaan Indonesia
17 Agustus 1995. Lagu ini menjadi lagu resmi dalam peringatan tersebut
sebagai ungkapan yang bermakna panjang umur Indonesiaku.
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 69
70 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 71
72 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 73

6. Himne Pancasila
74 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 75
76 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

7. Panggilan Membangun
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 77

8. Pengakuan
78 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

9. Wahai Pemuda
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 79
80 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

10. Himne Siswa


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 81
82 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

11. Mars Siswa


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 83

12. Mars Khidmat


84 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 85

13. Pekan Olah Raga Asia Tenggara (Sea Games) Himne


86 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 87

14. Mars Kongres Umat Islam Indonesia


88 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 89

15 Doa Kami
90 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 91
92 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 93
94 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 95

16. Senyum Ibuku


96 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 97
98 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 99
100 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

17. Terima Kasih Ibu


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 101
102 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 103
104 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

18 Bukit Biru
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 105

19 Gema
106 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

20. Alam Luas (1952)


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 107
108 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

21. Suara Alam Raya


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 109

22. Hutan Anugerah Tuhan (17 April 1984)


110 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 111
112 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 113

23. Paduan Suara di Rimba Raya


114 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

24. Wana Paru-paru


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 115

25. Pending Tangkal


116 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

26. Djaja dan Sentosa


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 117

27. Suluh Pandu


118 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

28. Bertemu Lagi


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 119

29. Apa Kabar


120 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

30. Tak Kan Dapat Kulupakan


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 121

31. Gembira
122 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

32. Ulang Tahune


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 123

33. Api Unggun (I)


124 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

34. Mulai Nyanyi


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 125

35. Api Unggun (II)


126 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

36. “Yo Hayo”


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 127

37. Dendang Layang


128 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

38. Tiba Saat Berpisah (Pisah Hanya Dilahirnya)


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 129

39. Ke Latihan Pramuka


130 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

40. Riangkan Dia/Kawan


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 131

41. Sangat Jauh


132 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 133

42. Ke Gladian Pemimpin Regu


134 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

43. Lawanlah Sukar


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 135

44. Dayung Mendayung


136 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

45. Lajulah, Laju


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 137
138 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

46. Indah, Api Merah


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 139

47. Awaslah Karang Bahaya


140 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 141

48. Ke Pertemuan Penuntun


142 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

49. Apa Mungkin Diceraikan


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 143

50. Tari Tepuk Tangan Silang-Silang


144 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 145

51. Ke Padang Lomba


146 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

52. Hayo Pemula Maju


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 147

53. Selamat Jalan


148 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

54. Tikus Pes


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 149
150 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

55. Tetapi Saya Lupa


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 151

56. Kebakaran
152 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

57. Sang Merah Putih Tetap Tegak


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 153

58. Ke Desa Pandu


154 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

59. Ke Pitaran
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 155

60. Tari Tongkat


156 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

61. Himne Satya Darma Pramuka


Penciptaan lagu “Himne Pramuka” pada tahun 1964 terlahir sebagai
upayanya untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa, insan-insan
pembela Pancasila tergerak dari kekhawatiran yang dirasakannya sepuluh
tahun sebelumnya akan firasat adanya golongan orang-orang tertentu
yang ingin mendongkel dasar-dasar yang terkandung dalam falsafah
negara Pancasila (Majalah Pramuka: Juli-Agustus 1999, 16). Lagu ini
mulai dikumandangkan pada tahun 1964 dalam kegiatan peringatan
ulang tahun Gerakan Pramuka setiap tanggal 14 Agustus.
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 157

62. Mars Gerak Pramuka


158 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 159

63. Himne Penegak Pandega


160 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 161

64. Saka Taruna Bumi


162 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

65. Majulah Saka Wanabakti


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 163

66. Ke Jambore Nasional III dan Asia Pasifik VI


164 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 165

67. Mars Jambore Nasional 1986


166 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 167

68. Hias Tajuk Indonesia / Mars Jambore Nasional 1996


168 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 169

69. Jati Diri / Himne Jambore Nasional 1996


170 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 171

70. Jamaah Bogem Real


172 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 173

71. Himne Raimuna Nasional Tahun 1987


174 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

72. Mars Raimuna Nasional Tahun 1987


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 175
176 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

73. Mars Raimuna Nasional Tahun 1992


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 177
178 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 179

74. Mars World Community Development Camp (Comdeca) I (1993)


180 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 181

75. Mars Wirakarya Bukit Rawi


182 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 183
184 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 185

76. Himne Wirakarya Bukit Rawi


186 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

77. Perti Wana


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 187

78. Selamat Datang Bapak Presiden (Suharto)


188 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

79. Selamat Datang Bapak Wakil Presiden (Adam Malik)


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 189

80. Wirausaha Unggul Indonesia


190 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

81. Himne Bakti/Service


Lagu “Himne Bakti” diciptakan Mutahar pada tanggal 7 Juli 1993
persembahan untuk sebuah kegiatan pandu internasional, 1st World
Community Development Camp (Comdeca) yang berlangsung sejak 28
Juli – 9 Agustus 1993 di Desa Lebakharjo, Kecamatan Ampelgading
Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di dalam surat pribadi Mutahar kepada
Nurman Atmasulistya diungkapkan bahwa adakalanya sebuah lagu
dapat terlahir begitu saja dan dia katakan sangat kebetulan sepertihalnya
lagu Himne Bakti, padahal biasanya untuk mendapatkan ilham dan
melahirkan sebuah lagu diperlukan waktu yang cukup lama.
Seperti apa yang dipesan di dalam suratnya, lagu ini sebagaimana
lagu Himne harus dinyanyikan secara serius dengan irama Maestoso
Expressivo yang juga dinyanyikan dengan hormat dan diekspresikan,
penggambaran layaknya prosesi raja yang gagah dan agung beserta
pengiring-pengiringnya. Himne Bakti berdinamika musik eksplosif dari
Mezzo-piano (mp) menjadi Pianissimo (pp) yang kemudian tiba-tiba
Fortissimo (ff ) dan seterusnya seperti yang tampak dalam dokumen lagu.
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 191
192 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 193
194 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 195
196 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 197
198 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

82. Mars Koperasi


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 199

83. Himne Persaki


200 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 201
202 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 203

84. Himne Almamater (Himne Universitas Indonesia)


204 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 205

85. Buku Alam


206 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

86. Uang
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 207
208 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

87. Drama Enam Orang Penjelajah


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 209

88. Jantung Sehat I


210 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 211

89. Jantung Sehat II


212 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

90. Jantung Sehat III


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 213

91. Jantung Sehat IV


214 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

92. Asia Pasifik VI/Nasional 81


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 215

93. Kereta Api Kita


216 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

94. Selamat Datang


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 217

95. Salam
218 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

96. Adat Pemula


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 219

97. Pulang Ke Lumbung


220 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

98. Renungan Perkemahan Pemula


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 221

99. Penuntun Muda


222 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

100. Balik Gilwell


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 223

101. Ban Sepeda


224 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

102. Di Tenda Makan


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 225

103. Ke Ambalan
226 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

104. Minta Duitnya


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 227

105. Bisul Besar


228 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

106. Tarrrik Bung


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 229

107. Dimana
230 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

108. Lonceng
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 231

109. Bapa Ja’kub


232 | Mengenal Lagu-Lagu Karya Husein Mutahar

110. Selamat Tinggal


Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 233

111. Perpisahan
HUSEIN MUTAHAR
DALAM KENANGAN

Kursus Pemimpin Pemula tahun 1959 di lapangan Perguruan Tinggi Kedokteran (PTK),
Jakarta. Duduk di baris tengah dari kiri ke kanan: Kak Sukari, Abunda Mastini, Kak Mutahar,
dan Kak Dwi Soedibjo. Foto koleksi Iwan Setiawan Nazir

235
236 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Husein Mutahar
sedang menyematkan
Tali Rimba Pandu
Perintis Jakarta-1
kepada Didid
Tjindarbumi pada
acara latihan Perintis
Jakarta-1, Judistira di
lapangan Perguruan
Tinggi Kedokteran
(PTK), Salemba,
Jakarta. Foto koleksi
Iwan Setiawan Nazir,
tanpa keterangan
waktu

Husein Mutahar
sedang membuka
Desa Pandu,
medio 1954. Foto
koleksi Nurman
Atmasulistya
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 237

Husein Mutahar dan Ipuh Emi Sudibyo sedang membuka Desa Pandu, medio 1954. Foto
koleksi Iwan Setiawan Nazir

Presiden Suharto melantik Duta Besar untuk Perancis, Letjen Askari, Duta Besar Jerman
Barat Yusuf Ismail, dan untuk Vatikan, Husein Mutahar tanggal 1 Maret 1969 di Istana
Negara. Foto koleksi Perpustakaan Nasional RI
238 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Masagung (kiri) dan Husein Mutahar (kanan) yang akan menempati posnya sebagai
Dubes RI untuk Takhta Suci Vatikan sedang menyampaikan amanatnya pada saat Upacara
perpisahan yang diselenggarakan oleh Yayasan Idayu di Kwitang no. 13 Jakarta tanggal 11
Januari 1969. Koleksi Perpustakaan Nasional RI
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 239

Menikmati hidangan dalam rangka upacara perpisahan/pelepasan Husein Mutahar (no. 2


dari kiri) yang akan menuju ke posnya sebagai Dubes RI untuk Takhta Suci Vatikan, upacara
diselenggarakan oleh Yayasan Idayu di Kwitang No. 13 Jakarta pada tanggal 11 Januari
1969. Foto: F. X. Purwanto, Koleksi Perpustakaan Nasional RI

Husein Mutahar (kanan berdiri) sedang menyampaikan “salam perpisahannya” selaku


Ketua Dewan Pengawas Yayasan Idayu berkenaan dengan pengangkatannya sebgai Duta
Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan. Upacara perpisahan ini diselenggarakan oleh Yayasan
Idayu di Kwitang No. 13 Jakarta pada tanggal 11 Januari 1969. Foto F.X. Purwanto, Koleksi
Perpustakaan RI
240 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Dari kiri ke kanan: Ny. Sumantri Hardjoprakoso, Ny. Ayu Agung, Husein Mutahar, Ny. Said
Reksohardiprodjo, Ny. Rochmuljati Hamzah, dan Mayjen. Prof. Dr. Sumantri Hardjoprakoso
dalam rangka upacara perpisahan serta pelepasan Husein Mutahar sebagai Duta Besar RI
untuk Takhta Suci Vatikan, diselenggarakan oleh Yayasan Idayu di Kwitang No. 13 Jakarta
pada tanggal 11 Januari 1969. Foto F.X. Purwanto, Koleksi Perpustakaan RI

Ny. Djusnah Asif (kiri) dan Husein Mutahar (kanan) dalam rangka kunjungan perpisahan
ke Idayu di Kwitang Nomor 13 Jakarta pada tanggal 11 Januari 1969 berkenaan dengan
diangkatnya sebagai Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan. Foto F.X. Purwanto, Koleksi
Perpustakaan RI
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 241

Masagung sedang menyampaikan ucapan “selamat” kepada Husein Mutahar (kanan)


berkenaan dengan jabatan barunya sebagai Dubes RI untuk Takhta Suci Vatikan. Upacara
ini diselenggarakan oleh Yayasan Idayu di Kwitang No. 13, Jakarta tanggal 11 Januari 1969.
Tampak hadir a.l yang menghadap lensa dari kiri ke kanan: Moh. Said Reksohadiprodjo,
Adisuria, Arifin Temijang, dan Kwee Siek Liang (kini K. Karman). Foto F.X. Purwanto, Koleksi
Perpustakaan RI

Dari kiri ke kanan: Moh. Said Reksohadiprodjo, Husein Mutahar (Duber RI untuk Takhta
Suci Vatikan) dan Masagung dalam rangka perpisahan/pelepasan Husein Mutahar menuju
posnya. Upacara diselenggarakan oleh Yayasan Idayu di Kwitang No. 13 Jakarta pada
tanggal 11 Januari 1969. Foto F.X. Purwanto, Koleksi Perpustakaan RI
242 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Husein Mutahar di
Yayasan Idayu, Foto
koleksi Perpustakaan
Nasiona

Upacara serah terima jabatan Andalan Nasional Urusan Latihan pada tanggal 26 Maret
1969 di Jalan Merdeka Timur No. 6. Foto koleksi Perpustakaan Nasional RI
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 243

Upacara serah terima jabatan Andalan Nasional Urusan Latihan pada tanggal 26 Maret
1969 di Jalan Merdeka Timur No. 6. Foto koleksi Perpustakaan Nasional RI

Upacara serah terima jabatan Andalan Nasional Urusan Latihan pada tanggal 26 Maret
1969 di Jalan Merdeka Timur No. 6. Foto koleksi Perpustakaan Nasional RI
244 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Upacara serah terima jabatan Andalan Nasional Urusan Latihan pada tanggal 26 Maret
1969 di Jalan Merdeka Timur No. 6. Foto koleksi Perpustakaan Nasional RI

Husein Mutahar selaku Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan menyambut Presiden
Suharto saat tiba di Vatikan pada November 1972. Foto koleksi Sukari
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 245

Ibu Tien Suharto saat disambut


Husein Mutahar selaku Duta
Besar Ri untuk Takhta Suci
Vatikan ketika turun dari pesawat
Lufthansa pada November 1972.
Foto koleksi Sukari

Husein Mutahar dan Presiden


Suharto di rumah kediaman
Kedutaan Besar RI di Vatikan, 25
November 1972 pada kunjungan
kenegaraan Presiden Suharto
atas undangan Paus Paulus VI.
Foto koleksi Sukari
246 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Dari kiri ke kanan: Emil Salim, Adam Malik, dan Husein Mutahar di kediaman Duta Besar
Indonesia di Vatikan dalam kunjungan kenegaraan Presidden Suharto tahun 1972. Foto
koleksi Sukari

Husein Mutahar dan Ibu Tien Suharto di Kedutaan Besar RI di Vatikan tahun 1972. Foto
koleksi Sukari
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 247

Husein Mutahar dan beberapa pejabat negara lain di kediaman Duta Besar Indonesia di
Vatikan. Foto koleksi Sukari tanpa keterangan waktu

Husein Mutahar dan beberapa pejabat negara lain di kediaman Duta Besar Indonesia di
Vatikan. Foto koleksi Sukari tanpa keterangan waktu
248 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Husein Mutahar dan Ibu Tien Suharto pada kunjungan kenegaraan ke Vatikan tahun 1972.
Foto koleksi Sukari

Husein Mutahar dan Ibu Tien Suharto.


Foto koleksi Sukari tanpa keterangan tempat dan waktu
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 249

Husein Mutahar sedang


berbicara dengan salah satu
Uskup di Vatikan. Foto koleksi
Sukari, tanpa keterangan
waktu

Romo Soegijapranata dan


Husein Mutahar di kediaman
Duta Besar Indonesia di
Vatikan. Foto koleksi Sukari
tanpa keterangan waktu
250 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Dari kiri ke kanan: Seorang pastur, Husein Mutahar, dan Romo Soegijapranata di Vatikan.
Foto koleksi Sukari tanpa keterangan tempat dan waktu

Husein Mutahar dan Romo Soegijapranata saat dalam kebersamaan di suatu acara di
Vatikan. Foto koleksi Sukari tanpa keterangan tempat dan waktu
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 251

Husein Mutahar dan dua orang


anak yang berpakaian penari di
kediaman Duta Besar Indonesia di
Vatikan. Foto koleksi Sukari tanpa
keterangan waktu

Husein Mutahar menggunakan


pakaian kerja dan bintang
perhargaan yang dimilikinya,
kemungkinan besar saat bertugas
menjadi Duta Besar Indonesia
untuk Vatikan 1969-1973. Foto
koleksi Iwan Setiawan Nazir
252 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Husein Mutahar beserta beberapa pegawai Kedutaan Besar RI di Takhta Suci Vatikan dalam
rangka peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Foto koleksi Sukari tanpa keterangan
waktu

Husein Mutahar sedang berbicara dengan para tamu di kediaman Duta Besar Indonesia di
Vatikan. Foto koleksi Sukari tanpa keterangan waktu
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 253

Husein Mutahar saat berbicara dengan para tamu di kediaman Duta Besar Indonesia di
Vatikan. Foto koleksi Sukari tanpa keterangan waktu

Husein Mutahar dan para pegawai Kedutaan Besar Republik Indonesia di Takhta Suci
Vatikan saat perayaan Hari Natal kediaman Duta Besar Indonesia di Vatikan. Foto koleksi
Sukari tanpa keterangan waktu
254 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Upacara serah terima jabatan Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri (Deplu) dari
Husein Mutahar kepada Sarwo Edhie Wibowo dengan Inspektur Upacara Menlu Prof.
Mochtar Kusumaatmadja SH. Bertempat di Deplu tanggal 4 Agustus 1978. Sumber:
Perpurnas RI

Upacara serah terima jabatan Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri (Deplu) dari
Husein Mutahar kepada Sarwo Edhie Wibowo dengan Inspektur Upacara Menlu Prof.
Mochtar Kusumaatmadja SH. Bertempat di Deplu tanggal 4 Agustus 1978. Sumber:
Perpurnas RI
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 255

Jumpa pers dengan Kwarnas Gerakan Pramuka yang dihadiri Sekjen PWI Soenardi
Supangat, Dirjen Pers dan Grafika Sukarno SH, Kakwarnas Mashudi H. Koesno Utomo, Prof.
Napitulu, Husein Mutahar, dan H Soedarsono di Press Club Indonesia tanggal 14 Juni 1979.
Sumber: Perpurnas RI

Jumpa pers dengan Kwarnas Gerakan Pramuka yang dihadiri Sekjen PWI Soenardi
Supangat, Dirjen Pers dan Grafika Sukarno SH, Kakwarnas Mashudi H. Koesno Utomo, Prof.
Napitulu, Husein Mutahar, dan H Soedarsono di Press Club Indonesia tanggal 14 Juni 1979.
Sumber: Perpurnas RI
256 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Duduk dari kiri ke kanan: Istri M Sarbini, Husein Mutahar, Mastini Hardjoprakoso MLS, J
Liem Beng Kiat, dan Nurman Atmasulistya dalam persiapan acara penyematan lencana
Pancawarsa Gerakan Pramuka oleh Presiden Suharto saat bertindak sebagai ketua
Mabinas (Majelis Pembimbing Nasional) yang berlangsung di Graha Wisata Pramuka
Cibubur tanggal 19 Juli 1984. Foto koleksi Nurman Atmasulistya

Nurman Atmasulistya bersama Husein Mutahar, Mastini Hardjoprakoso MLS, dan J Liem
Beng Kiat saat penyematan lencana Pancawarsa Gerakan Pramuka oleh Presiden Suharto
yang bertindak sebagai ketua Mabinas (Majelis Pembimbing Nasional) yang berlangsung
di Graha Wisata Pramuka Cibubur tanggal 19 Juli 1984. Foto koleksi Nurman Atmasulistya
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 257

Dalam acara Apel Besar Hari Pramuka tahun 1985, Presiden Suharto menyematkan tanda
penghargaan “Melati” secara simbolis kepada H. Kusno Utomo, Hs. Mutahar, Soeparjo
Rustam, GH. Mantik, Mohammad Noer, ny. D. Bunakim di Cibubur, Jakarta. Sumber Foto:
Patah Tumbuh Hilang Berganti. Kwartir Nasional Gerakan Pramuka 1987, hal. 170

Husein Mutahar memimpin Paduan Suara Reuni Pandu Rakyat Indonesia di TMII dalam
rangka 40 Tahun Pandu Rakyat dihadiri Ibu Tien Suharto tahun 1985. Foto koleksi Sukari
258 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Husein Mutahar sedang


memberikan ceramah di
Wiladatika, Cibubur. Foto koleksi
Nurman Atmasulistya, tanpa
keterangan waktu

Husein Mutahar sedang


memberikan ceramah. Foto
koleksi Nurman Atmasulistya,
tanpa keterangan waktu
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 259

Husein Mutahar sedang bersama para anggota Pramuka. Foto koleksi Nurman Atmasulistya,
tanpa keterangan waktu

Husein Mutahar. Foto koleksi Nurman Atmasulistya, tanpa keterangan tempat dan waktu
260 | Husein Mutahar Dalam Kenangan

Ulang Janji antara Kak Mutahar dan Didid Tjindarbumi pada reuni Jakarta – 1 tahun 1994
di rumah Zaid Alatas, Megamendung. Foto koleksi Iwan Setiawan Nazir

Foto Temu Kangen Anggota Pandu Rakyat Indonesia, Jakarta Periode 1950-1961, 22
Februari 2004. Pada usianya yang sudah senja, ia tetap dikelilingi anak didiknya (adik
binaan) yang begitu menghormatinya. Sumber: Reuni Pandu Rakyat Indonesia 2011, hlm.
107
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 261

Foto Temu Kangen Anggota Pandu Rakyat Indonesia, Jakarta Periode 1950-1961, 22
Februari 2004. Sumber: Reuni Pandu Rakyat Indonesia 2011, hlm. 107

Foto Temu Kangen Anggota Pandu Rakyat Indonesia, Jakarta Periode 1950-1961, 22
Februari 2004. Sumber: Reuni Pandu Rakyat Indonesia 2011, hlm. 107
PENUTUP

L ebih dari setengah hidup Husein Mutahar memang diabdikan untuk


membina gerakan pramuka. Ia menjadi salah satu tokoh yang ikut
mengiringi perjalanan organisasi pendidikan ini sejak awalnya, bahkan
ikut perperan serta sejak masa sebelum Gerakan Pramuka berdiri dan
terlibat langsung dalam proses pendiriannya.
Peran dan kiprah dalam usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan
bangsa Indonesia di masa revolusi juga menjadikan Mutahar sebagai salah
seorang yang mendapatkan beberapa penghargaan, Bintang Mahaputra
IV yang diberikan pada tanggal 17 Agustus 1960 dan Satyalencana Perang
Kemerdekaan I dan II. Penghargaan tersebut diberikan atas jasa dan
perjuangannya dalam melawan penjajah Belanda dan penyelamat Bendera
Pusaka Sang Saka Merah Putih pada persitiwa Agresi Militer Belanda II
di tahun 1948. Rasa nasionalisme yang tebal dalam diri Mutahar diramu
dengan jiwa seni yang mendarah daging mampu melahirkan lagu-lagu yang
beberapa diantaranya menjadi lagu wajib nasional maupun kepramukaan.
Mutahar menjadi orang yang sangat produktif dalam menghasilkan karya
musik. Jika dihitung, Husein Mutahar telah menciptakan lebih dari 100
lagu maupun syair semasa jayanya.
Apa yang telah dilakukan Husein Mutahar semasa hidup dengan
berbagai aktifitas dan kontribusinya bagi bangsa dan negara semuanya
itu dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang berkaitan engan sejarah itu
penting, oleh karena itu diperlukan berbagai cara untuk melestarikannya.
Catatan-catatan sejarah yang berserakan, perlu dihimpun sebagai

263
264 | Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya

bentuk ikhtiar untuk menghidupkan kembali pengalaman dan jasa-


jasa para pendahulu bangsa supaya bisa dimaknai dan menjadi bahan
pembelajaran bagi generasi penerus sehingga tidak hilang arah. Kegiatan
inventarisasi sumber sejarah berupa arsip kali ini juga sangat diperlukan
untuk memudahkan para peneliti dan peminat sejarah dalam penelusuran
sumber. Kemudahan dalam proses penelusuran sumber sejarah akan
menjadi salah satu faktor pendorong tumbuhnya minat masyarakat
dalam memproduksi karya sejarah yang didasari dengan sumber-sumber
kredibel.
Sebagaimana diartikan bahwa sejarah merupakan guru kehidupan
dan guru bukti. Kini sudah saatnya kita menjadi generasi yang melek
sejarah yaitu generasi yang terjaga dan sadar akan pentingnya nilai-nilai
sejarah. Dengan melek sejarah, bukan saja di kemudian hari generasi muda
bangsa sekedar tumbuh menjadi generasi yang cerdas, namun berkarakter
luhur yang berakar pada nilai-nilai keIndonesiaan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
40 Lagu Untuk Pandu, Tanpa Tahun. Dikumpulkan oleh H Mutahar
50 Tahun Gerakan Pramuka, 2011. Jakarta: Kwartir Nasional Gerakan
Nasional
Bertold DH Sinaulan dan Untung Widyanto, 2011. Satu Pramuka Untuk
Satu Indonesia, Jayalah Indonesia, 50 Tahun Gerakan Pramuka.
Jakarta: Kwartir Nasional Gerakan Pramuka
Bondan Winarno, 2002. Berkibarlah Benderaku: Tradisi Pengibaran
Bendera Pusaka. Jakarta: TSA Komunika
Cindy Adams, 2007. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (terj.
Syamsu Hadi), Jakarta: Yayasan Bung Karno
G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin (Ed.), 2003. Jejak Langkah Pak
Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988. Jakarta: PT. Citra Kharisma
Bunda Jakarta
Moch. Muchtar dkk, 2001. Himpunan Lagu Pramuka. Bandung: Kwartir
Daerah Gerakan Pramuka Jawa Barat
Patah Tumbuh Hilang Berganti, 1987. Jakarta: Kwartir Nasional Gerakan
Pramuka
Pedoman Kegiatan Pasukan Bendera Pusaka (Paskibraka), 2015. Jakarta:
Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia
Reuni Pandu Rakyat Indonesia 2011, 2011. Jakarta

265
266 | Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya

Artikel Koran, Buletin, dan Seminar


Bondan Winarno, “In Memoriam Husein Mutahar: Pemakanan
Sederhana Untuk Seorang Luar Biasa”, Kompas, 14 Juni 2004
Paguyuban Paskibraka Nasional, 1978. Bulletin Paskibraka’ 78, edisi Juni
2007
Sitti Utami Haryanti. Peran Gerakan Pramuka Indonesia Dalam
Penguatan Pendidikan Karakter Generasi Muda Indonesia (1961-
2012). Makalah pada Seminar Sejarah Nasional, Peringatan 60
Tahun (1957-2017), Yogyakarta, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Gadjah Mada, 14-16 Desember 2017

Wawancara
Transkrip Wawancara dengan Kak Nurman Atma Sulistya, tanggal 10
Maret 2019 di Jl. D Nomor 19 RT. 006 RW 04, Kebon Baru Utara,
Jakarta Selatan, pukul 16.00 WIB, kelahiran Madiun, 31 Juli 1936
Transkrip Wawancara dengan Kak Nurman Atma Sulistya, tanggal 4
Oktober 2019 di Direktorat Sejarah, Komp. Kemendikbud Jakarta
pukul 13.30 WIB
Transkrip Wawancara dengan Kak Sukari, tanggal 4 Mei 2019 di Jl. Nipah
Gg. 9, Petogogan, Jakarta Selatan, pukul 10.10 WIB, kelahiran
Ambarawa 1 Maret 1929

Internet
https://www.liputan6.com/health/read/3621464/kisah-husein-
mutahar-bapak-paskibraka-yang-selamatkan-bendera-pusaka-dari-
serangan-belanda, diunduh tanggal 17 Oktober 2019, pukul 10.07
WIB
https://www.kompasiana.com/bertysinaulan/5880fc0fad9273c51
6d86130/h-mutahar-bapak-paskibraka-yang-dititipi-merah-putih-
oleh-bung-karno?page=all, diunduh tanggal 17 Oktober 2019,
pukul 14.30 WIB
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 267

https://nasional.kompas.com/read/2019/08/12/16572041/husein-
mutahar-kisah-penyelamatan-bendera-dan-pembentukan-
pramuka?page=all, diunduh tanggal 17 Oktober 2019, pukul 15.05
WIB
https://news.detik.com/berita/d-3000840/mutahar-dan-idik-tokoh-di-
balik-lahirnya-paskibraka, diunduh tanggal 17 Oktober 2019, pukul
15.36 WIB
https://www.tribunnewswiki.com/2019/08/12/husein-mutahar,
diunduh tanggal 17 Oktober 2019, pukul 16.10 WIB
LAMPIRAN-LAMPIRAN

268
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 269
270 | Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 271
272 | Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 273
274 | Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 275
276 | Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya
Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya | 277
278 | Inventarisasi Sumber Arsip Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya

Anda mungkin juga menyukai