Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Tugas - Makalah Hukum Harta Kekayaan Dan Keluarga - Frangga Wijaya - Nim 201891053 - Reguler II

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

1

MAKALAH

“ANALISIS YURIDIS ATAS TUNTUTAN SUAMI TERHADAP HARTA BAWAAN


ISTRI YANG DIPEROLEH SELAMA PERKAWINAN”
Oleh :

Frangga Wijaya

Nim : 201891053

Kelas : Reguler II

Diajukan untuk memenuhi Tugas

Dosen : Clara Kesaulya, SH, MH.


Mata kuliah : Hukum Harta Kekayaan dan Keluarga

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


PROGRAM STUDI DI LUAR KAMPUS UTAMA
UNIVERSITAS PATTIMURA
DI KABUPATEN KEPULAUAN ARU
2

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan Inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah
tentang “Analis Yuridis atas Tuntutan Suami terhadap Harta bawaan Iatri yang diperoleh
selama masa Perkawinan ”. Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.

Untuk itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, Saya menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya.

Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki tugas makalah ini. Akhir kata saya berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Dobo, 12 April 2021

Frangga Wijaya
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 4
A. Latar Belakang.............................................................................................................. 4

B. Rumusan masalah......................................................................................................... 6

C. Tujuan............................................................................................................................ 6

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................... 7
A. Status kepemilikan harta yang diperoleh istri dari orangtuanya selama masa
perkawinan berlangsung yang kemudian terjadi perceraian dimana suami
menuntut hak bersama................................................................................................. 9

B. Bagaimana Perlindungan hukum mantan suami yang menganggap ada hak


bersama pada harta bawaan mantan istri yang diperoleh semasa perkawinan
masih berlangsung ....................................................................................................... 12

BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 14


Kesimpulan........................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 15

BAB I
4

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang pria dan wanita, yang saling
mencintai dan menyayangi dalam suatu rumah tangga. Hal ini sebagaimana diuraikan
dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sudah
menjadi kebutuhan hidup mendasar, bila setiap insan akan menikah sesuai perintah Allah
SWT. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita, akan
menimbulkan akibat lahir maupun batin di antara mereka, terhadap masyarakat dan juga
hubungannya dengan harta kekayaan yang diperoleh di antara mereka baik sebelum dan
selama perkawinan. Ikatan perkawinan menimbulkan adanya harta bersama (gono-gini).
Harta bersama (gono-gini) merupakan harta yang dihasilkan oleh pasangan suami
isteri secara bersama-sama selama perkawinan masih berlangsung. Harta yang tidak
termasuk dalam klasifikasi harta bersama adalah harta yang diperoleh atau dihasilkan
sebelum masa perkawinan yang biasa disebut harta bawaan yaitu harta benda milik
masing-masing suami/isteri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang
diperoleh sebagai warisan atau hadiah, dan harta perolehan yaitu harta benda yang hanya
dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan suami/isteri setelah terjadi ikatan
perkawinan.
Akibat perkawinan terhadap harta benda suami isteri dalam KUHPerdata adalah
harta campuran bulat dalam Pasal 119 KUHPerdata harta benda yang diperoleh
sepanjang perkawinan menjadi harta bersama. Meliputi seluruh harta perkawinan yaitu
harta yang sudah ada pada waktu perkawinan dan harta yang diperoleh sepanjang
perkawinan. Namun, ada pengecualian bahwa harta tersebut bukan harta campuran bulat
yaitu apabila terdapat perjanjian kawin atau ada hibah/warisan, yang ditetapkan oleh
pewaris Pasal 120 KUHPerdata.
Dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 sebagai berikut :
1. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan;
2. Menetapkan bahwa harta bawaan adalah harta yang dibawa masuk ke dalam suatu
perkawinan.
Membahas mengenai harta bersama sangat penting dalam kehidupan rumah tangga.
Masalah ini biasa menyangkut pengurusan, penggunaan dan pembagian harta bersama
jika ternyata hubungan perkawinan, pasangan suami isteri itu “bubar” baik karena
perceraian maupun kematian. Dalam hal terjadinya perceraian, masalah pembagian harta
5

bersama yang lebih dikenal dengan istilah harta gono-gini terkenal sangat rumit. Bahkan
keributan ini selalu berujung pada semakin menghambat jalannya sidang perceraian,
dipengadilan masing-masing pihak saling menganggap bahwa dirinya yang berhak
mendapatkan jatah harta bersama lebih besar dibandingkan pasangannya. Pada dasarnya
ada bermacam-macam sistem hukum harta kekayaan perkawinan, hal ini karena tiap-tiap
sistem hukum mempunyai peraturan-peraturannya sendiri yang mengatur mengenai harta
benda suami isteri. Hal tersebut sebagaimana diatur di dalam Hukum Adat, Hukum
Islam, dan KUH Perdata.
Sementara itu Undang-undang Perkawinan juga mengatur mengenai harta benda
perkawinan, namun ketentuan tersebut belum diatur lebih lanjut dalam peraturan
pelaksanaannya. Dalam hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan dalam praktek
apakah ketentuan harta benda perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan telah dapat diberlakukan. Berdasarkan hukum positif yang berlaku di
Indonesia harta bersama ini diatur dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pengaturan harta bersama ini diakui secara hukum, termasuk dalam hal pengurusan,
penggunaan dan pembagiannya. Meskipun pembagian harta besama diatur jelas di dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), tetapi pada kenyataannya pelaksanaannya
masih belum memadai bahkan harta bersama sering kali dipermasalahkan bagi pihak
yang akan bercerai. Di dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan “Bahwa janda
atau duda yang bercerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin. Untuk menghindari terjadi
permasalahan mengenai harta antara pasangan yang telah bercerai maka telah terlebih
dahulu diadakan perjanjian kawin. Dengan adanya perjanjian kawin, pembagian harta
bersama akan lebih mudah karena dapat dipisahkan mana yang merupakan harta bersama
dan mana merupakan harta bawaan.
1

Dengan demikian, perjanjian perkawinan berfungsi sebagai “pengendali masalah


dikemudian hari”. Secara umum perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan harta

1
Martiman Prodjohamidjodjo, Tanya Jawab Mengenai Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan
(Jakarta : Pradnya Paramita,1991),h.34.
2
C.S.T. Kansil, Asas-asas Hukum Perdata (Jakarta : Pradnya Paramita,2004), h.127.
3
Al Amruzi, Fahmi, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2014
6

kekayaan calon suami isteri. Harta bersama dan perjanjian perkawinan sering luput dari
perhatian masyarakat karena masyarakat sering menganggap bahwa perkawinan adalah
suatu perbuatan suci sehingga tidak sepantasnya membicarakan masalah harta benda.
Masalah harta bersama diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU No 1 tahun
1974, yang secara garis besar menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing- masing suami
dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana status kepemilikan harta yang diperoleh istri dari orangtuanya selama
masa perkawinan berlangsung yang kemudian terjadi perceraian dimana suami
menuntut hak bersama ?
2. Bagaimana perlindungan hukum mantan suami yang menganggap ada hak bersama
pada harta bawaan mantan istri yang diperoleh semasa perkawinan masih berlangsung
?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui status kepemilikan harta yang diperoleh istri dari orangtuanya
selama masa perkawinan berlangsung yang kemudian terjadi perceraian dimana suami
menuntut hak bersama.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum mantan suami yang menganggap ada hak
bersama pada harta bawaan mantan istri yang diperoleh semasa perkawinan masih
berlangsung.

BAB II
PEMBAHASAN
7

Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang


Perkawinan, di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan Warga
Negara Indonesia yakni antara lain :

a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam, berlaku hukum agama Islam yang
telah diresepsi ke dalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang Indonesia asli yang
beragama Islam, jika melaksanakan perkawinan, berlaku ijab Kabul antara mempelai pria
dengan wali mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini telah
merupakan budaya hukum bagi orang Indonesia yang beragama Islam hingga sekarang.
b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat. Misalnya bagi orang Bali
yang beragama Hindu, dimana adat dan agama telah menyatu, maka pelaksanaan
perkawinan dilaksanakan menurut hukum adat yang serangkai upacaranya dengan
upacara agama Hindu Bali yang dianutnya.
c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen, berlaku Huwelijks Ordonnantie
Christen Indonesia (HOCI) S.1993 No.74. Aturan ini sekarang sejauh sudah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi.
d. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina
berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan
sedikit perubahan. Aturan ini sekarang sejauh sudah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi.
e. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan asing
lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka. Jadi bagi keturunan India, Pakistan, Arab
dan lainnya, berlaku hukum adat mereka masing-masing, yang biasanya tidak terlepas
dari agama dan kepercayaan yang dianutnya.
f. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa, dan yang
disamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Termasuk
dalam golongan ini orang Jepang atau lainnya yang menganut asas-asas hukum keluarga
yang sama dengan asas-asas hukum keluarga Belanda.

Jadi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,


yang secara efektif pelaksanaannya mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan
8

Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, maka seperti yang dikatakan dalam Penjelasan UU
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :
“semua ketentuan-ketentuan yang di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie
Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling opgemeng de
Huwelijken S.19898 No.158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
Perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
dinyatakan tidak berlaku lagi”
Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar masing-masing hukum agamanya
dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, disamping tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (2)).
Karena tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya, maka konsekwensinya tidak ada pula perceraian di luar hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya.
Jadi dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nasional (UU No.1 thn 1974)
maka berlakulah pula masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya sebagai hukum
positip untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan,
termasuk perceraian dan masalah pembagian harta perkawinan, sepanjang tidak bertentangan
atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan.
Beberapa pengaturan hukum harta perkawinan yang ada di Indonesia meskipun
sudah diberlakukan hukum perkawinan nasional yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tetapi masih dimungkinkan untuk diberlakukan kembali oleh pasal 37 Undang-Undang
Perkawinan Nasional, yang mengatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian,
harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.
2

2
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 66
3
H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981), hal. 104 10 Ibid
9

A. Status kepemilikan harta yang diperoleh istri dari orangtuanya selama masa
perkawinan berlangsung yang kemudian terjadi perceraian dimana suami
menuntut hak bersama !

Hak milik adalah hak untuk menggunakan atau mengambil keuntungan dari suatu
benda yang berada dalam kekuasaan tanpa merugikan pihak lain dan dipertahankan
terhadap pihak manapun. Amandemen, Pasal 28 H butir (4) mengatur “Setiap orang
berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara
sewenang-wenang oleh siapapun”.
Dalam UU Pokok Agraria ( UU No.5 Tahun 1960 ) Pasal 20 disebutkan bahwa :
a. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6 (fungsi sosial);
b. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Perkataan “setiap orang” tgerhadap kepemilikan tanah dengan hak milik, adalah
terbatas pada Warga Negara Indonesia saja, karena prinsip nasionalitas dalam Pasal 21
ayat (1) UU Pokok Agraria disebutkan dengan tegas bahwa “Hanya Warga Negara
Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik”.
Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
diatur pula penegasan akan hak kepemilikan bagi setiap orang yaitu :
a. Setiap orang berhak mempunyai hak milik baik sendiri maupun bersama-sama
dengan cara yang tidak melanggar hukum.
b. Tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan
secara melawan hukum.
c. Hak milik mempunyai fungsi sosial.
Perkataan “setiap orang” juga dimaknai dengan persamaan hak perempuan dan laki-laki,
jadi tanpa membedakan gender, perempuan berhak melakukan tindakan untuk
kepemilikan atas tanah, berbeda jauh dengan ketentuan dalam KUH Pedata dimana
perempuan (istri) tidak cakap melakukan tindakan hukum.
Kesetaraan hak dan kedudukan perempuan (sebagai istri) dalam Pasal 51
Undang-Undang Hak Asasi Manusia, diatur ketentuan sebagai berikut :
1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab
yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan
perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya dan hak kepemilikan serta
pengelolaan harta bersama.
10

2) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab
yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-
anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan
mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa
mengurangi hak anak, sesuai denegan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana yang sudah diatur dalam Pasal 35 UU Perkawinan bahwa : “harta
yang diperoleh semasa perkawinan berlangsung menjadi harta bersama dan terhadap
harta bersama itu, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Setiap
harta bersama akan dimiliki secara bersama-sama (kepemilikan bersama). Setiap
kegunaan dan kemanfaatan dari harta bersama itu dinikmati secara bersama-sama pula
oleh pasangan suami istri yang memiliki harta bersama.
Terhadap harta bawaan yang diatur dalam Pasal 36 ayat (2), bahwa : “suami istri
masing-masing mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
hartanya masing-masing”. Ketentuan ini sejalan dengan apa yang ditegaskan dalam Pasal
31 ayat (1) dan ayat (2) yaitu bahwa : “Hak dan kedudukan suami dan istri adalah
seimbang dalam kehidupan berumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.
Jadi siapa saja tanpa adanya pengecualian berhak mempunyai hak milik atas
suatu benda, tetapi terhadap kepemilikan hak atas tanah, hanya warga Negara Indonesia
saja yang dapat memiliki hak milik (hak penuh) atas tanah. Terhadap hak milik
seseorang atas suatu harta bendanya, Pemerintah sebagai aparatur Negara, memberikan
tanda bukti hak kepemilikan setelah melalui proses pendaftaran administrasi_ dalam
bentuk sertifikat. Terhadap hak atas harta yang berupa tanah dan bangunan,
diterbitkanlah sertifikat hak atas tanah kepada pemiliknya apakah itu sebagai hak milik,
hak guna bangunan, atau hak pakai dan lain-lainnya.
Di atas sudah diuraikan sebelumnya Undang-Undang Perkawinan menetapkan
bahwa harta yang diperoleh pasangan suami istri selama dalam masa perkawinan
menjadi harta bersama. Jika dilihat dari masa perolehan harta yaitu dalam masa
perkawinan masih berlangsung, dengan kata lain, harta tersebut ada pada saat ikatan
suami istri belum terputus maka dapat disimpulkan bahwa harta tersebut adalah harta
bersama. Abdul Manan mengatakan bahwa “Harta bersama adalah harta yang diperoleh
selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama
siapa” Dari defenisi harta bersama di atas, muncul pertanyaan apakah setiap harta benda
11

yang diperoleh semasa perkawinan berlangsung termasuk harta bersama. Pada dasarnya
semua harta yang diperoleh semasa ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama
yang dikembangkan dalam proses peradilan. Berdasarkan pengembangan tersebut maka
harta perkawinan yang termasuk yurisdiksi harta bersama adalah sebagai berikut :
a. Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung;
b. Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai dari harta bersama;
c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh dalam ikatan perkawinan;
d. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan.
Dari uraian di atas, harta bawaan istri yang didapat dari orang tua sebelum
menikah, maka dapatlah digolongkan sebagai harta bersama, tetapi jika dilihat dari asal
pembiayaannya yaitu dari orangtua istri, maka harta tersebut bukanlah masuk harta
bersama. Jika suami menuntut hak bersama, maka suami harus dapat membuktikan
bahwa harta tersebut adalah harta bersama yang diperoleh dari hasil jerih payahnya
bersama mantan istrinya selama ikatan perkawinan mereka belum terputus.
Jadi meskipun harta tersebut terdaftar atas nama istrinya, tetapi jika suami mampu
dan berhasil membuktikan di persidangan maka akan menjadi pertimbangan bagi Hakim
dalam memutus perkara apakah harta perkawinan yang disengketakan masuk jurisdiksi
harta bersama atau bukan. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung,
meskipun terdaftar atas nama suami atau istri, dimana sumber dananya terbukti adalah
dari hasil jerih payah bersama suami istri, dimana masing-masing mengakui keberadaan
harta tersebut maka secara hukum, kepemilikan harta tersebut adalah hak bersama dari
suami istri. Suami istri mempunyai hak yang sama dalam pengurusan, penggunaan dan
kepemilikannya. Jika suami atau istri hendak melakukan tindakan atas harta bersama
maka harus mendapat persetujuan dari pihak yang lain, jadi harus berdasarkan
persetujuan bersama-sama.

B. Perlindungan hukum mantan suami yang menganggap ada hak bersama pada
harta bawaan mantan istri yang diperoleh semasa perkawinan masih berlangsung !

3
http://hukum-kompasiana.com/2010/11/06/tentang-harta -bawaan-sebuah-catatan-316877.
4
html. 43 http://kbbi.web.id/hak 44
5
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 H Butir (4)55 45
6
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, Tentang Pokok Hukum Agraria, Pasal 20
12

Secara preventif Pemerintah telah memberikan usaha perlindungan kepada


pasangan suami istri guna mencegah terjadinya sengketa dalam harta perkawinan yaitu
dengan membuka peluang untuk menentukan hukum lain bagi suami istri seputar harta
perkawinan yaitu dengan adanya pembuatan perjanjian kawin yang dibuat oleh suami
istri sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung.
Meskipun Pemerintah telah memberi aturan dalam harta perkawinan namun
dalam UU Perkawinan tersebut, tidak ada penjelasan secara rinci tentang wujud dari
harta bersama dan harta bawaan. Undang-Undang Perkawinan hanya menyebutkan
bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Tentang harta
bawaan, tidak pula ada penjelasan mengenai harta bawaan, apa yang dimaksud dengan
harta bawaan, bentuk-bentuknya dan keterangan waktu bilamana suatu harta benda
masuk kelompok harta bawaan dan juga perihal ketentuan pembagian harta bersama jika
terjadi perceraian tidak juga dijelaskan secara rinci.
Pasal 37 UU Perkawinan hanya menegaskan bahwa bila perkawinan putus karena
perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Undang-Undang
Perkawinan tersebut juga tidak ada mengatur bagaimana menyelesaikan masalah tentang
harta bawaan suami atau istri yang masuk ke dalam perkawinan yang kemudian
bercampur dengan harta bersama. Pasal-pasal yang ketentuannya tidak jelas ini, akan
membawa multitafsir bagi penerapan hukum di lapangan.
Meskipun demikian, Negara harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi
setiap warga negaranya karena pada dasarnya tujuan hukum adalah untuk melindungi
kepentingan-kepentingan manusia. Jika terjadi sengketa perebutan harta benda
perkawinan, maka hukum yang tidak jelas ini diserahkan kepada Hakim dengan
melakukan penafsiran hukum berdasarkan rasa keadilan hukum dari hakim yang
bersangkutan.
4

Hakim berkewajiban mencari sendiri hukumnya atas suatu perkara yang


peraturannya tidak jelas. Meskipun tidaklah mungkin hukum itu dapat memberikan
perlindungan penuh terhadap kepentingan-kepentingan yang satu, serta mengabaikan
4
Retnowulan S dan O.Iskandar, ³Hukum Acara Perdata dan Teori dan Praktek”, (Bandung, CV.Mandar
Maju,2005) Cet.X.hal.59.
13

kepentingan-kepentingan orang yang lain karena perlindungan sepenuhnya dari


kepentingan-kepentingan orang yang satu, berarti pengabaian kepentingan orang yang
lain sebagian atau seluruhnya.
Pada suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki
apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.
Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan
kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan
dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan
apabila berhasil, gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya,
sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak
perlu dibuktikan lagi. Hakim yang memeriksa perkara yang akan menetukan siapa di
antara pihakpihak yang berperkara yang akan diwajibkan untuk memberikan bukti,
apakah itu pihak penggugat atau sebaliknya yaitu pihak tergugat. Dengan perkataan lain
hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian.

BAB III
PENUTUP

5
Deasy Soeikromo,Proses Pembuktian Dan Penggunaan Alat-Alat Bukti Pada Perkara Perdata di Pengadilan,
dimuat dalam https:// repo.unsrat.ac.id
14

Kesimpulan

1. Bahwa Hukum Harta Perkawinan Nasional belum mengatur secara lengkap masalah
harta dalam perkawinan, hanya diatur dalam beberapa pasal saja, yaitu dalam pasal 35,
pasal 36 dan pasal 37 UU Perkawinan dimana meskipun Pemerintah telah memberi
aturan dalam harta perkawinan secara nasional, namun dalam UU Perkawinan tersebut,
tidak ada penjelasan secara rinci tentang harta bersama dan Harta Bawaan.
2. Harta bawaan suami atau istri tidak dapat dituntut untuk dibagi bersama bilamana terjadi
perceraian karena suami atau istri tidak dapat menuntut harta yang bukan haknya, kecuali
suami atau istri dapat membuktikan bahwa dia (suami atau istri) turut serta atau ada andil
dalam proses pembelian atau pembiayaan atas perolehan harta tersebut dengan
mengajukan alat-alat bukti yang lengkap dan akurat bahwa harta yang diperoleh adalah
merupakan harta bersama suami dan istri. Pepatah latin berkata “Nemo dat quod non
habet” yang artinya bahwa tidak seorangpun dapat memberikan apa yang tidak
dipunyainya”, dalam hal ini kepemilikan harta bersama perkawinan, seorang istri atau
suami tidak dapat dipaksakan untuk membagi, mengalihkan atau memberikan hak milik
bersama kepada pasangannya dimana ia sendiri tidak memiliki harta bersama tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Martiman Prodjohamidjodjo, Tanya Jawab Mengenai Undang-Undang Perkawinan dan


Peraturan Pelaksanaan, Jakarta : Pradnya Paramita,1991
15

Al Amruzi, Fahmi, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Yogyakarta : Aswaja Pressindo,

2014,
C.S.T. Kansil, Asas-asas Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita,2004,
H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981,
Retnowulan S dan O.Iskandar, “Hukum Acara Perdata dan Teori dan Praktek”, Bandung,
CV.Mandar Maju,2005,
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, Tentang Pokok Hukum Agraria,
http://hukum-kompasiana.com/2010/11/06/tentang-harta -bawaan-sebuah-catatan-316877.
html. 43 http://kbbi.web.id/hak 44
Deasy Soeikromo, Proses Pembuktian Dan Penggunaan Alat-Alat Bukti Pada Perkara Perdata
di Pengadilan, dimuat dalam https:// repo.unsrat.ac.id

Anda mungkin juga menyukai