Makalah Organisasi Dan Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia
Makalah Organisasi Dan Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia
Makalah Organisasi Dan Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia
Di Susun Oleh ;
Aziz Abdullah Npm : 192210158
Ahmad Nur Sidiq Npm : 191210014
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF (IAIM ) NU
METRO – LAMPUNG
2020/2021
i
KATA PENGATAR
Segala puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah
makalah ini sebagai tugas kelompok dalam Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam
yang dibimbing oleh Bapak Dr. Jaenulloh, M.Pd Tema yang akan dibahas di
makalah ini sengaja dipilih oleh Dosen Pembimbing kami, untuk kami pelajari
lebih dalam.
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari
sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun,
sehingga kami dapat berusaha lebih baik lagi sesuai kemampuan yang kami miliki
dalam penyusunan tugas di masa yang akan datang. Atas kritik dan saran dari para
10 Desember 2020
PENULIS
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................... 2
1. Muhammadiyah ...................................................................... 2
4. Surau ........................................................................................ 14
iii
6. Madrasah .................................................................................. 15
A. Keseimpulan............................................................................... 19
B. Saran........................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….... 20
iv
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan masalah
C. Tujuan Penulisan
1
2. Menjelaskan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Muhammadiyah
Menurut Hamdan (2009: 78) bahwa visi yang diemban oleh pendidikan
Muhammadiyyah adalah pengembangan wawasan intelektual (berfikir) peserta
2
didik setiap jenis dan jenjang pendidikan yang dikelola oleh organisasi
Muhammadiyyah. Sedangkan misinya ialah menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam melalui dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di semua aspek
kehidupan. Adapun implementasi visi dan misi pendidikan Muhammadiyyah ini
tentunya mendapat penekanan atau prioritas yang berbeda-beda sesuai dengan
jenis dan jenjang pendidikannya.
3
proses pendewasaan manusia yang digagas oleh Muhammadiyyah.
Sebagai institusi pendidikan yang diharapkan menjadi lembaga yang
mencetak kader, sekolah/madrasah/pesantren Muhammadiyyah haruslah
menegaskan diri dalam menghasilkan peserta didik yang
mengejawentahkan nilai-nilai Islam.
b) Kualitas keindonesiaan. Kualitas ini berhubungan dengan rasa kebangsaan
peserta didik. Rasa kebangsaan akan tumbuh bila setiap warga negara
mematuhi hukum, dengan lebih mengedepankan pelaksanaan kewajiban
sebelum menuntut hak.
c) Kualitas keilmuan. Adalah tingkat kemampuan peserta didik menyerap
pengetahuan yang diajarkan. Ia bagian dari kecerdasan yang menjadi
target pencapaian dalam proses mentransfer ilmu pengetahuan.
d) Kualitas kebahasaan. Adalah memiliki keterampilan dasar berbahasa
asing, khususnya bahasa Arab dan Inggris.
e) Kualitas keterampilan. Merupakan kemampuan atau keterampilan
mengoperasionalkan teknologi, khususnya teknologi informasi.(Hamdan,
2009: 86-87)
2. Nahdatul Ulama
4
a. K.H. Hasyim Asy’ari
b. K.H. Bisri Syamsuri
c. K.H. Abdullah Wahab Chasbullah
d. K.H. Abdul Chamid Faqih
e. K.H. Ridwan Abdullah
f. K.H. Abdul Halim
g. K.H. Mas Alwi bin Abdul Aziz
h. K.H. Ma’shum
i. K.H. A Dachlan Achjad
j. K.H. Nachrowi Thahir
k. K.H. R Asnawi
l. Syekh Ghanaim
m. K.H. Abdullah Ubaid
5
4. Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama
Islam.
5. Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-
surau, pondok-pondok, begitu juga dengan hal ihkwalnya anak-anak yatim
dan orang fakir miskin.
6. Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan,
dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara’ agama Islam.
3. Persatuan Islam
Menurut Zuhairini (2004: 188) hal utama yang diperhatikan oleh Persis adalah
bagaimana menyebarkan cita-cita dan pemikirannya. Ini dilakukan dengan
6
mengadakan pertemuan umum, tablig, khutbah-khutbah, kelompok-kelompok
studi, mendirikan sekolah-sekolah, dan menyebarkan atau menerbitkan pamflet-
pamflet, majalah-majalah dan kitab-kitab. Dalam kegiatan ini Persis beruntung
karena mendapatkan dukungan dari dua orang tokoh penting, yaitu Ahmad Hasan,
yang dianggap sebagai guru Persis yang utama pada masa sebelum perang, dan
Muhammad Natsir yang pada waktu itu merupakan seorang anak muda yang
sedang berkembang dan yang tampaknya bertindak sebagai juru bicara dari
organisasi tersebut dalam kalangan terpelajar.
Sebuah kegiatan yang penting lainnya dalam rangka pendidikan Persis ini
adalah membentuk lembaga pendidikan Islam, sebuah proyek yang diprakarsai
oleh M.Natsir dan terdiri dari beberapa buah sekolah seperti Taman Kanak-kanak,
HIS (keduanya pada tahun 1930), sekolah Mulo (1931), dan sebuah sekolah guru
(1931).Disamping pendidikan Islam, Persis juga mendirikan Pesantren di
Bandung pada bulan Mei 1936 untuk membentuk kader-kader yang mempunyai
keinginan untuk menyebarkan agama. Lalu pesantren ini dipindah ke Bangil, Jawa
Timur, ketika Ahmad Hasan pindah kesana dengan membawa 25 dari 40 siswa
dari Bandung. (Zuhairini, 2004: 191).
4. Al-Jam’iat Al-Khairiyah
7
ke Turki untuk melanjutkan studi.Bidang yang kedua ini sering terhambat dan
kekurangan biaya juga karena kemunduran khilafah, dengan pengertian tidak ada
seorang pun dari mereka yang dikirim ke Timur Tengah memainkan peranan
penting setelah mereka kembali ke Indonesia. (Zuhairini, 2004: 159)
Syaikh Ahmad Surkati yang sampai di Jakarta pada bulan Febuari 1912,
seorang alim yang terkenal dalam pengetahuan agamanya, beberapa tahun
kemudian meninggalkan Jam’iat Khair dan mendirikan gerakan agama sendiri
bernama Al-Ishlah Irsyad, dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam
(reformisme). (Zuhairini, 2004: 162)
8
Al-Irsyad sendiri menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan terutama
pada masyarakat Arab, ataupun pada permasalahan yang timbul dikalangan
masyarakat Arab, walaupun orang-orang Indonesia bukan termasuk orang Arab,
ada yang menjadi anggotanya. Lambat laun dengan bekerja sama dengan
organisasi lain, seperti Muhammadiyyah dan Persatuan Islam, organisasi ini
meluaskan perhatian kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup
persoalan Islam umumnya di Indonesia. (Zuhairini, 2004: 163)
6. Perserikatan Ulama
9
sebagai penyebab kerusuhan. Sekitar tahun 1915 organisasi tersebut dilarang
setelah tiga atau empat tahun berdiri. Tetapi kegiatannya terus berlanjut walau
tidak diberi nama resmi, termasuk kegiatan di bidang ekonomi. Sedangkan untuk
bidang pendidikan dilanjutkan oleh sebuah organisasi baru yang disebut Majlisul
Ilmi. Pada tahun 1916 dirasakan perlu oleh kalangan masyarakat setempat,
terutama tokoh-tokoh seperti penghulu dan para pembantunya untuk mendirikan
sebuah lembaga pendidikan yang bersifat modern.Tetapi sistem berkelas dan
sistem koedukasi yang diintrodusir oleh K.H Ahmad Halim dalam lembaga lima
tahunnya tidak disukai. Maka dari itu untuk memperbaikinya, K.H Ahmad Halim
berhubungan dengan Jam’iat Khair dan Al-irsyad di Jakarta.
Pada tahun 1932 (Zuhairini, 2004: 170) dalam suatu kongres Perserikatan
Ulama di Majalegka, K.H Ahmad Halim mengusulkan agar sebuah lembaga
didirikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan saja hanya dengan ilmu
agama dan ilmu umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa
pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, bergantung pada bakat dan
minatnya masing-masing.
Kongres itu pun menerima usul K.H Ahmad Halim.Suatu keluarga yang kaya
dari Ciomas menyediakan sebidang tanahnya, dipasir Ayu. Kira-kira sepuluh
meter dari Majalengka, untuk keperluan pelakasanaan cita-cita tersebut. Lembaga
ini dinamakan Santi Asrama yang dibagi menjadi tiga bagian: tingkat permulaan,
dasar, dan lanjutan. Di samping kurikulum biasa sebagaimana terdapat pada
sekolah-sekolah lain dari Perserikatan Ulama, yaitu dalam agama dan pelajaran
umum, pelajar-pelajar dalam Santi Asrama dilatih pertanian, pekerjaan tangan
(besi dan kayu) menenun dan mengolah berbagai-bagai bahan, seperti membuat
sabun. Mereka harus tinggal di suatu asrama dibawah disiplin yang ketat, terutama
10
tentang pembagian waktu dan tentang sikap pergaulan hidup mereka. Pada bagian
kedua tahun 1930 kira-kira 60 sampai 70 anak-anak muda dilatih di Santi Asrama
terebut sebagai pelajar-pelajar yang diasramakan, sedangkan kira-kira 200 anak-
anak lain yang berasal dari kampung-kampung sekitarnya turut belajar pula.
(Zuhairini, 2004: 170-171).
Dalam kasus di pulau Jawa menurut Nata (2012: 199) lembaga pendidikan
seperti langgar selanjutnya berubah namanya menjadi Taman Pendidikan Anak-
anak (TPA) yang tersebar di seluruh pedesaan atau perkotaan. Melalui TPA ini
11
anak-anak dibimbing untuk mengenal huruf hijaiyah, mengucapkan kata-kata dan
kalimat-kalimat huruf Arab, dan selanjutnya membaca dan menghafal surat dan
ayat-ayat pendek. Selain itu anak-anak juga diberikan pelajaran tentang praktik
shalat, berdoa, akidah, akhlak, dan interaksi sosial.
2. Pondok Pesantren
Masih belum ditemukan tahun yang pasti kapan pesantren pertama kali
didirikan. Tetapi banyak yang mengatakan bahwa pesantren pertama kali muncul
pada zaman walisongo, dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang
yang pertama mendirikan pesantren. (Daulay, 2009: 13)
Menurut Nasir (2010: 80) pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang
memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan
ilmu agama Islam. Kata pondok itu berasal dari kata funduk yang artinya adalah
pondok, penginapan, atau hotel.Sedangkan untuk kata pesantren mengandung arti
pesantrian yang berarti tempat santri.
Pada tahun 1899 berdirilah pondok pesantren Tebuireng di Jombang oleh K.H
Hasyim Asy’ari, madrasahnya yang formal berdiri pada tahun 1919 bernama
Salafiyah yang diasuh oleh K.H Ilyas. Madrasah ini memberikan pengetahuan
agama dan pengetahuan umum. (Zuhairini, 2004: 194)
Menurut Nasir (2010: 80) pondok pesantren ini pada perkembangannya memiliki
lima macam keanekaragaman pranata sesuai dengan spektrum komponen suatu
pesantren, yaitu:
12
Yaitu pondok pesantren yang di dalamnya terdapat sistem pendidikan salaf
(weton dan sorogan), dan bersistem klasikal (madrasah) salaf
13
berkembang seperti madrasah-madrasah seperti di daerah-daerah lain. Lalu
rangkang adalah sebuah tempat tinggal murid yang dibangun di sekitar masjid.
Karena sang murid butuh mondok dan tinggal, maka perlu dibangun tempat
tinggal untuk mereka di sekitar masjid. Dan yang terakhir adalah dayah.Istilah
kata dayah ini sebenarnya berasal dari bahasa Arab zawiyah. Kata zawiyah itu
sendiri merujuk pada sudut satu bangunan dan sering dikaitkan dengan masjid
yang pada akhirnya berlangsung proses pendidikan dalam bentuk halaqah.
Zawiyah ini pada hakikatnya adalah suatu lembaga pendidikan Islam untuk
tingkat menengah.
4. Surau
Di surau itu mereka belajar cara hidup sebagai laki-laki yang kelak harus
bertanggung jawab mencari nafkah. Mereka juga saling tukar-menukar
pengalaman.Di surau itu pula mereka belajar mengenai berpantun, latihan bela
diri yang diajarkan oleh orang yang lebih tua. (Nata, 2012: 198)
Selain dari fungsi budaya itu, maka surau juga mempunyai fungsi pendidikan
dan agama.(Daulay, 2009: 15)
5. Sekolah Dinas
14
diterapkan departemen yang membimbing dan mengurus masalah agama yang
tiada lain diperuntukkan kepada departemen agama. Oleh karena pendidikan
agama telah dimasukkan menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah sejak
berlakunya Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dengan Menteri
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, maka pada tahun 1946 ada tindak lanjut
seperti diberi kewenangannya Departemen Agama untuk mengangkat seorang
guru agama. (Daulay, 2009: 22).
6. Madrasah
Madrasah adalah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau
tempat untuk belajar.Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami
sebagai lembaga pendidikan yang berbasis kegamaan.Adapun sekolah sering
dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan
umum. (Nata, 2012: 199)
Nata (2012: 199) melanjutkan bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan
merupakan fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada negara-negara
Islam, maupun negara-negara lainnya yang didalamnya terdapat komunitas
masyarakat Islam.
15
Abdul Mujib dan Jusuf mudzakir (Nata, 2012: 199) menyatakan bahwa
kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya memiliki
empat latar belakang, yaitu: (1) sebagai manifestasi dan realisasi pembaruan
sistem pendidikan Islam, (2) sebagai usaha menyempurnakan terhadap sistem
pendidikan pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan
lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum,
misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah, (3) adanya
sikap ental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpaku
pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka, (4) sebagai upaya untuk
menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren
dan sistem pendidikan modern dari hasil akuturasi.
Menurut Langgulung (2000: 125) madrasah berasal dari penduduk Nisapur,
tetapi tersiarnya dengan luas disebabkan oleh materi Saljuqi yang bernama Nizam
Al-Mulk yang mendirikan madrasah Nizamiyah yang berasal dari namanya, di
kota Baghdad pada tahun 458 H, lalu menyebar ke berbagai daerah seperti
Balakh, Harran, Asfhan, Basrah, Marw, Amal Tibrisan, dan di Mausil. Bahkan
banyak yang mengatakan bahwa di setiap kota Iran dan Khurasan pasti ada
madrasah.
Dari Irak dan Khurasan lalu menyebar ke negeri Syam yang didirikan pertama
kali di Damaskus pada tahun 491 H. dari situ berpindahlah ide pembentukan
madrasah di Mesir di bawah naungan Salahuddin Al-Ayyubi, yaitu pada tahun
567 H. Kemudian baru muncul di Afrika Utara seabad kemudian. (Langgulung,
2000: 126)
Menurut Gibb dan Kramers yang dikutip oleh Langgulung (2000: 126)
menyatakan bahwa Salahuddin Al-Ayyubi dipandang sebagai pendiri yang
terbesar bagi madrasah-madrasah setelah Nizam Al-Mulk. Ini karena kegiatan
utamanya, sebagai pendiri madrasah-madrasah adalah di negeri-negeri yang
menduduki tempat yang sangat penting bagi dunia Islam seperti Syria, Palestina,
16
dan Mesir. Dan dari negeri-negeri inilah madrasah-madrasah itu tersebar ke
seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia
Menurut Zuhairini (2004: 192) pendidikan Islam mulai besemi dan
berkembang pada awal abad ke-20 Masehi dengan berdirinya madrasah
Islamiyyah yang bersifat formal. Madrasah-madrasah yang bermunculan di
Sumatera antara lain: Madrasah Adabiyah di Padang, Sumatera Barat yang
didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Madrasah ini berubah
menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915 M. pada tahun 1910 M didirikan Madras
School I daerah Batu Sangkar, Sumatra Barat oleh Syeikh M. Taib Umar. Pada
tahun 1918 M Mahmud Yunus mendirikan Diniyah School sebagai lanjutan dari
Madras School.
Menurut Nata (2012: 201) khusus di Indonesia, dinamika pertumbuhan dan
perkembangan madrasah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan dinamika
pertumbuhan dan perkembangan di negara lain. Selain terdapat madrasah diniyah
yang kurikulumnya terdiri dari mata pelajaran agama: Alquran, Hadits, fikih/Usul
Fikih, Akidah-Akhlak, Sejarah Islam, dan Bahasa Arab, juga terdapat madrasah
sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, mulai dari tingkat Ibtidaiyah
hingga Aliyah. Madrasah diniyah dimaksudkan untuk membangun sikap
keberagamaan dan pemahaman terhadap materi agama yang kuat, dan hanya
berlangsung hingga kelas empat. Adapaun madrasah sebagai sekolahumum yang
berciri khas agama dimaksudkan untuk membangun sikap religiusitas bagi para
pelajar yang senantiasa akan menekuni bidang keahlian sesuai dengan pilihannya.
Di antara madrasah tersebut sebagian besar rata-rata lebih dari 80% berstatus
swasta, sedangkan sisanya berstatus madrasah negeri.
Di bawah ini adalah jenjang-jenjang pendidikan yang ada di Indonesia
17
MI (Madrasah I’tibadiyyah) 6 Tahun
MTS (Madrasah tsanawiyyah) 3 Tahun
MA (Madrasah aliyyah) 3 Tahun
PT (Pesantren tinggi ) 1-6 Tahun
(Muchtar, 2005: 136)
Dalam Zuhairini (2004: 197) pada bulan Juni 1957 di Jakarta dibuka Akademi
Dinas Ilmu Agama (ADIA) oleh Departemen Agama berdasarkan Penetapan
Menteri Agama No.1 tahun 1957. Tujuannya untuk mendidik dan mempersiapkan
pegawai negeri, untuk menjadi guru agama pada sekolah lanjutan atas atau
menjadi petugas di bidang pendidikan Departemen Agama. Pada bulan Mei 1960
Departemen Agama menggabungkan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN Al-
Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah. Sampai saat ini sudah ada 14 buah IAIN di
seluruh Indonesia.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
19
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
20