Kajian Psikolinguistik
Kajian Psikolinguistik
Kajian Psikolinguistik
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikolinguistik
Dosen Pengampu:
Dr. Bambang Sumadyo, M. Pd
Disusun Oleh:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan secara luas dapat diinterpretasikan mulai sejak manusia dilahirkan dan
berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Sehingga pendidikan menepati posisi
sentral dalam pembangunan. Hal ini dikarenakan sasaran pendidikan adalah untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Pengertian psikologi
2. Pengertian linguistik
3. Pengertian psikolinguistik
ISI
Secara etimologi kata psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno psyche dan
logos. Kata psyche berarti “jiwa, roh, dan sukma” sedangkan kata logos berarti “ilmu”.
Jadi, psikologi secara harfiah berarti “ilmu jiwa”, atau ilmu yang objek kajiannya adalah
jiwa.
Menurut Wundt psikologi itu merupakan ilmu tentang kesadaran manusia (the
science of human consciousness). Para ahli psikologi mempelajari proses-proses
elementer dari kesadaran manusia itu. Branca mengemukakan ”General psychology is
the starting place and the core of study of human behavior”. Dari apa yang dikemukan
oleh Branca tersebut dapat disimpulkan bahwa psikologi merupakan ilmu
tentang tingkah laku manusia. Senada dengan yang dikemukakan oleh Branca, menurut
Morgan, dkk Psychology is the science of human and animal behavior, namun
penerapan ilmu itu pada manusia (Bimo Wagito, 2003. Hal.6-7).
Psikologi salah satu cabang ilmu yang dikembangkan oleh filosof. Dimana
lahirnya psikologi hadir karena rasa munculnya pertanyaan tentang kebutuhan hidup
manusia dan rasa penasaran akan-akal pikiran serta tingkah laku manusia
Itu sebabnya ilmu psikologi lebih sering dikaitkan dengan kehidupan organisme
manusia. Kemudian mempelajari lebih banyak tentang perilaku, perasaan, emosi dan
apapun elemen yang dilakukan oleh manusia. Segala sesuatu yang terjadi dan yang
dilakukan oleh manusia dikembangkan dan diteliti.
Bruno (1987) menegaskan bahwa ilmu psikologi terbagi menjadi tiga
bagian yang sebenarnya saling berhubungan. Yaitu terdapat psikologi adalah studi yang
mempelajari ruh. Kedua, psikologi sebagai cabang ilmu yang mempelejari kehidupan
mental dan yang terakhir, psikologi sebagai cabang ilmu yang mempelajari tingkah laku
organisme. Menurut Watson, yang mengartikan bahwa psikologi sebagai ilmu yang
mempelejari kehidupan mental dan sebagai tingkah laku organisme.
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat mempelajari psikologi, selain mengenal konsep
dasar psikologi juga akan mempelajari objek psikologi. Objek psikologi mempelajari
gejala yang nantinya akan menimbulkan perilaku.
Objek psikologi inilah nantinya akan dibagi menjadi beberapa klasifikasi. Pertama,
gejala pengenalan (kognitif), yang akan mempelajari tentang pengamatan, fantasi,
tanggapan, ingatan, kecerdasan, asosiasi dan berfikir. Kedua, gejala perasaat atau yang
disebut dengan afektif. Gejala afektif dibagi menjadi dua macam, yaitu perasaan
jasmaniah dan perasaan rohaniah. Ketiga, gejala kehendak atau psikomotor/konotif pun
juga akan terbagi menjadi beberapa sub seperti motif. Terakhir adalah gejala campuran
yang meliputi sub bab sugesti, perhatian, kecerdasan emosional dan kelelahan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang kejiwaan.
1) Bersifat aksiomatik
Pentingnya interkasi atau komunikasi yang baik harus menjadi perhatian bagi
guru, karena pencapaian sebuah tujuan pembelajaran tentunya sangat bergantung
pada komunikasi. Intinya komunikasi yang efektif, persoalan interaksi dan komunikasi
di dalam kelas bagi seorang guru, sering menemui kendala yang disebabkan komunikasi
yang dilakukan dari atas ke bawah atau top down.
Model komunikasi seperti ini memperlihatkan pola interaksi yang didominasi oleh
guru. Interaksi pembelajaran di kelas bersifat khusus, yakni harus sesuai dengan koridor
edukatif. Untuk itu, guru harus mampu membangun pola interaksi yang efektif, karena di
dalam kelas kemampuan siswa cukup bervariatif. Ada di antara mereka yang kreatif,
statis, apatis, memiliki motivasi dan semangat belajar yang tinggi dan lain-lain. Sejumlah
siswa di dalam kelas tidak semua dapat melakukan interaksi dengan baik. Hal itu
tentu secara psikologi akan mempengaruhi gaya belajar siswa. Siswa yang merasa
tertekan jiwanya yang selalu dalam keadaan takut, tidak percaya diri, mengalami
kegoncangan emosi- emosi yang kuat, atau tidak disukai oleh temannya tentu tidak dapat
belajar efektif (Slameto, 2003:76).
2) Jalannya interaksi harus memiliki prosedur yang jelas, sistemik dan relevan
4) Adanya aktivitas siswa secara fisik dan mental harus menjadi ukuran berjalannya
interaksi pembelajaran.
Pada dasarnya pola interaksi pembelajaran dapat dilihat melalui alur komunikasi
yang terjadi di kelas. Pola interkasi sangat dibatasi oleh bentuk terjadinya proses
pembelajaran dan persyaratan pembatasan mengenai ‘siapa berbicara kepada siapa’.
Pengaturan tertentu seperti itu tentu mempunyai konsekuensi besar dalam proses
pembelajaran. Pola-pola interaksi di kelas akan lahir terutama dalam bentuk diskusi dan
la sesi tanya jawab antara guru dan siswa.
Menurut Yamin (2007:177) terdapat beberapa pola interaksi misalnya ada pola
roda, pola lingkaran, dan pola sentralistik.
Pola interkasi lainnya adalah pola lingkaran. Pola ini merupakan pola interaksi
yang memungkinkan setiap siswa berkomunikasi satu dengan yang lainnya melalui
sejenis sistem pengulangan pesan. Pola interaksi ini terbatas pada beberapa siswa sebagai
pelaku komunikasi di kelas. Artinya, pola ini memiliki kombinasi berbeda, misalnya
siswa A dapat berkomunikasi dengan siswa B dan E, tapi tidak berpeluang
berkomunikasi dengan C dan D. Pada pola ini guru juga berperan sebagai mediator,
mengawasi, dan mengontrol jalannya interaksi pembelajaran. Pola komunikasi seperti
ini menggambarkan pola yang teratur, sistematis, dan tertib.
Pola interaksi lainnya dan paling banyak dilihat terjadi di dalam kelas adalah
pola komunikasi yang sentralistik. Pola seperti itu memperlihatkan dominasi dan
kuasa guru di kelas cukup besar. Guru menjadi pusat interaksi dan tidak terjadi
komunikasi dan interaksi antarsiswa. 4Pola interaksi sentralistik seperti itu, secara
psikolinguistik dapat menciptakan pembelajaran yang unjoyable, tidak menyenangkan
siswa. Interaksi terjadi tidak seimbang dan bersifat top down. Pesan dan perintah terkait
dengan pembelajaran berasal dari guru dan harus dikuti oleh siswa. Guru memiliki
kekuasaan penuh di dalam menjalankan pembelajaran di kelas tanpa memperhatikan
kondisi psikologi siswa. Pola interaksi seperti ini tentu tidak perlu diterapkan di dalam
proses pembelajaran, karena hanya akan memasung kreativitas dan mengkerdilkan
semangat serta motivasi belajar siswa. Untuk dibutuhkan pola interaksi komunikasi yang
equel dan egaliter. Artinya guru harus mampu memposisikan diri sebagai mitra belajar
bagi siswa melalui pola interaksi yang bersahabat, terbuka, familiar, dan harus
demokratis di dalam proses pembelajaran.
Implementasinya, tentu seorang guru dituntut untuk tidak hanya menguasai ilmu
kebahasaan saja, akan tetapi perlu juga memiliki kemampuan dan kepekaan rasa yang
tinggi, sehingga mampu memahami mental peserta didik. Pemahaman atas mental siswa
tentu sangat diperlukan karena, menurut Harley serta Clark dan Clark (dalam
Dardjowidjojo, 2003:7) bahwa psikolinguistik berkaitan studi dan telaah tentang proses
mental dalam pemakaian bahasa yang selalu menitikberatkan pada tiga hal utama
yakni:
1) Komprehensi; proses mental untuk menangkap pernyataan orang lain dan memahami
maksudnya
Setelah tanya jawab dan menjelaskan materi, guru duduk di kursi, diam sejenak. Tak
lama berselang, guru itu mengeluarkan tiga buah novel. Pada sisa waktu 15 menit,
guru memberikan imperasinya;
Siswa : “Maaf bu… sepertinya waktu 15 menit tidak cukup untuk mengerjakan
tugas tersebut, boleh kami kerjakan di rumah?”
Guru : “ Saya yakin waktunya cukup, dimulai saja, banyak berkomentar itu menyia-
nyiakan waktu!”
Komunikasi yang perlu dibangun, misalnya pada ulasan ini akan diuraikan
contoh komunikasi yang seimbang dan diplomatis dalam frame ‘interaksi
pembelajaran bahasa’.
Guru : “Sekarang, buka LKS halaman 90, bacalah hikayat yang ada di situ, lalu
tentukan tema, alur, latar, penokohan, nilai budaya, dan nilai moral, sosial yang
terkandung dalam hikayat tersebut!
Siswa : “Maaf bu…boleh usul, berhubung sisa waktu 20 menit, maka kami
memohon yang dikerjakan saat ini, unsur tema, alur, latar, dan penokohannya dulu.
Ibu tidak perlu khawatir, unsur ekstrinsiknya nanti akan kami tuntaskan di
rumah…boleh, bu?”
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Sebaiknya, di dalam menciptakan iklim komunikatif di dalam pembelajaran
bahasa guru hendaknya memperlakukan siswa sebagai individu yang berbeda-
beda, yang mempunyai karakteristik yang unik, memiliki kemampuan yang berbeda,
minat yang berbeda, memerlukan kebebasan memilih yang sesuai dengan dirinya
dan merupakan pribadi yang aktif. Untuk itulah komunikasi yang harmonis dan
seimbang oleh guru kepada siswanya pada kegiatan pembelajaran bahasa sangat
diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Nuryani dan Dona Aji Kurnia Putra. 2013. PSIKOLINGUISTIK. Tangerang Selatan:
Mazhab Ciputat.