Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah MAKRIFAT KEPADA ALLAH SWT

Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

MAKRIFAT KEPADA ALLAH SWT


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Tauhid
Dosen Pengampu : Dr. Nur Khoiri, M.Ag

Disusun Oleh :
KELOMPOK : 3
KELAS : PB 1C
1. Ani Oktavia (1908086072)
2. Zidna Delia Maulida (1908086093)

PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
TAHUN 2019
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL1
DAFTAR ISI2
BAB I PENDAHULUAN3
A. Latar Belakang3
B. Rumusan Masalah5
C. Tujuan5
D. Manfaat5
E. Sistematika Penulisan5
BAB II DESKRIPSI TEORI7
A. Pengertian Makrifat7
B. Cara Bermakrifat kepada Allah SWT8
C. Sifat-Sifat Allah SWT10
BAB III PEMBAHASAN24
A. Pemaparan Jurnal24
B. Tanggapan Mengenai Jurnal29
BAB IV PENUTUP30
A. Kesimpulan30
B. Saran34
DAFTAR PUSTAKA35

2
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Makrifatullah berarti mengenal Allah atas segala sifat sifat, af‟āl,
dan taqrīr-Nya dengan baik melalui penyucian jiwa. Sehingga
keberadaan-Nya dirasakan oleh hamba yang memiliki kekuatan īmān,
islām, dan ihsānnya. Integrasi dari ketiga aspek ini menjadikan manusia
mempunyai kesadaran spiritual untuk selalu beribadah kepada-Nya dan
menjaga dengan baik hubungan antara manusia, alam, dan Allah SWT itu
sendiri. Apa yang diucapkan, diperbuatnya, dan apa yang dipikirkan selalu
tercermin sifat-sifat Allah SWT. Kitab Ihyā‟Ulūm al-Dīn, makrifatullah
menurut al-Ghazali adalah pengenalan terhadap Allah SWT atas segala
sesuatu tentang-Nya seperti memperhatikan sifat-sifat-Nya, perbuatan-
perbuatan-Nya, ketetapan-Nya yang tersembunyi atau rahasia. Alat untuk
mencapai makrifatullah menurut al-Ghazali adalah hati. Akal sebagai
sarana untuk ber-tafakkur atas segala sesuatu yang berhubungan dengan
Allah SWT. Ketika manusia ber-tafakkur tentang kekuasaan-Nya dan
af‟āl-Nya maka saat itu juga akan mengetahui rahasia yang dimiliki-Nya
bahwa manusia diciptakan untuk selalu beribadah dan taat kepada-Nya.1
Makrifatullah adalah kenikmatan tertinggi yang dicapai oleh kaum
sufi. Dengan makrifatullah manusia lebih berhati-hati dalam menjalani
kehidupan sehingga benar-benar merasakan bahwa Allah SWT sedang
mengawasinya. Sehingga tugas manusia menjadi seorang pemimpin di
bumi dapat dijalani dengan baik layaknya seorang pemimpin umat yang
menyebarkan rahmat kepada alam semesta. Untuk mengubah perilaku
yang tidak bertanggung jawab pada pemimpin ataupun manusia zaman ini
berdasarkan kasus-kasus di atas, perlulah menggali kesadaran spiritual
yang lebih dalam yaitu dengan pengenalan (ma’rifat) terhadap Allah SWT
supaya terciptanya kehidupan modern yang berbasis īmān, islām, dan
ihsān. Agar terjalin kedamaian bagi semua manusia, bukan pertikaian
1
Al-Ghazali, Ihyā’ Ulūmuddīn, Juz IV, (Beirut: Dār al-Fikr, 1971), hal. 301-302

3
ataupun perdebatan pemikiran. Dengan teori yang dimiliki al-Ghazali
dalam pencapaiannya menuju makrifatullah, maka konsep ini dapat
menjadi teori dasar untuk perubahan moral manusia modern. Karena
didalam teori al-Ghazali untuk mencapai makrifatullah melalui 3 tahapan
yaitu takhally (menyucikan diri dari kemaksiatan dan dosa), taḥally
(menghias diri dengan prilaku yang terpuji), dan tajally (lenyapnya sifat
keduniawian dan tercerminnya sifat ketuhanan dalam diri).
Makrifat kepada Allah mengandung makna mengenal Allah.
Seorang hamba yang telah mengenal Allah akan merasakan kehadiran
Allah setiap gerak langkah kaki, tangan, kedipan mata, pendengaran, serta
akal dan pikirannya. Dia akan merasakan betapa lemahnya di hadapan
Sang Khalik Yang Maha Sempurna dan yang memiliki sifat Rahman-
Rahim. Sehingga dalam segala aktivitasnya, selalu mengharapkan
pertolongan Allah Yang Maha Sempurna. Seperti dicontohkan Rasulullah
SAW setiap kali menghadapi pertanyaan para sahabat, tidak memberikan
penjelasan yang belum Allah turunkan petunjuknya. Beliau SAW selalu
memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk. Demikian kesempurnaan
akhlak dan makrifat Rasulullah kepada Allah.
Makrifat kepada Allah diperlukan dalam beribadah dan beramal
sehingga ia akan sampai pada tingkatan hamba yang haqqul yakin karena
meyakini Allah itu ada dan tidak terpisahkan dalam kehidupan dunia dan
akhirat. Ini merupakan  hal utama sebelum melaksanakan ibadah.
Sedangkan, jika seorang hamba berada pada ilmul yaqqin ketika seorang
hamba mengetahui Allah itu merupakan kewajiban dan tingkatan ainul
yaqqin. Ketika dia mengenal Allah, menurut ilmu Allah sendiri.
Setiap manusia dilahirkan beranugrahkan akal pikiran yang dimana
kegunaan dan fungsinya untuk mencari ilmu pengetahuan yang tidak lain
tentang ber-Makrifat kepada Allah dengan pikiran serta pemahaman yang
dimilikinya. Kita tidak akan berhenti dan tidak ada henti-hentinya dalam
mencari ilmu pengetahuan, kita selalu haus akan pengetahuan. Terkadang
kita sendiri mengaku beragama Islam tapi kurang pengetahuan akan
kebesaran Allah SWT. Oleh karena itu ber-Ma’rifat kepada Allah SWT

4
sangatlah perlu agar kita bisa tetap berada dijalan-Nya dan senantiasa
dekat dengan-Nya. Jadi, makalah ini dibuat dengan tujuan menjelaskan
apa itu Makrifat kepada Allah SWT.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Makrifat kepada Allah SWT?
2. Apa yang dimaksud dengan Makrifat kepada Allah SWT dengan
memahami nama-nama dan sifat-sifat Nya?
3. Apa saja sifat-sifat Allah SWT?
C. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian Makrifat kepada Allah SWT
2. Mahasiswa dapat menjelaskan Makrifat kepada Allah SWT dengan
memahami nama-nama dan sifat-sifat Nya
3. Mahasiswa dapat menyebutkan dan menjelaskan sifat-sifat Allah SWT
D. MANFAAT
1. Mahasiswa dapat meningkatkan akhlak al-karimah sebagai seorang
muslim dengan mengetahui sifat-sifat Allah SWT.
2. Mahasiswa dapat mengimplementasikan nilai-nilai akhlak al-karimah
setelah mempelajari makrifat kepada Allah SWT.
3. Mahasiswa memiliki konsep pemikiran yang komprehensif berbasis
akhlak al-karimah dalam menangani berbagai masalah masyarakat di
era moderen, sehingga terwujudnya masyarakat yang maju adil dan
makmur dengan dengan adanya sifat-sifat Allah SWT
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang
keterkaitan antara bab satu dengan yang lain, serta untuk mempermudah
proses penyampaian materi ini, maka akan dipaparkan sistematika
penulisan makalah sebagai berikut:
Bab pertama, bab ini merupakan pendahuluan yang akan
mengantarkan pada bab-bab berikutnya dan secara substansial perlu
dipaparkan mengenai isi dari bab ini diantaranya latar belakang masalah
(apa yang menjadi perhatian khusus dalam materi ini), rumusan masalah
yang akan dibahas (beberapa pokok masalah yang menyangkut tentang

5
penelitian ini), tujuan dan manfaat penelitian yang dapat diambil dari
penelitian ini (harapan akhir seorang peneliti dalam penelitian ini atau
pencapaiannya), dan sistematika penulisan secara rinci (urutan-urutan
pembahasan yang ada dalam penelitian ini).
Bab kedua, bab ini merupakan deskripsi teori yang berisi gambaran
secara teori mengenai Makrifat kepada Allah SWT
Bab ketiga, bab ini merupakan bagian yang berisi pembahasan
mengenai jurnal yang berjudul Konsep Ma’rifatullah Menurut Al-Ghazali
(Suatu Kajian Tentang Implementasi Nilai-Nilai Akhlak Al-Karimah),
serta respon yang menguraikan teori dari jurnal tersebut.
Bab keempat, bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan
yang merupakan jawaban singkat atas apa yang dipermasalahkan pada
rumusan masalah. Pada bab ini juga dituliskan saran untuk peneliti
selanjutnya, saran disampaikan agar para peneliti selanjutnya yang tertarik
tentang pembahasan makrifat kepada Allah SWT ini, bisa mengetahui
dimana posisi yang menjadi fokus kajian pada penelitiannya.
Daftar pustaka, merupakan tinjauan pustaka/ keaslian penelitian
terdahulu atau sebelumnya (mengumpulkan beberapa penelitian-penelitian
sebelumnya atau sumber yang menyangkut dengan materi ini agar tidak
terjadi plagiat dalam pembahasan).

6
BAB II
DESKRIPSI TEORI
A. Pengertian Makrifat
Makrifat kepada Allah mengandung makna mengenal Allah.
Seorang hamba yang telah mengenal Allah akan merasakan kehadiran
Allah setiap gerak langkah kaki, tangan, kedipan mata, pendengaran, serta
akal dan pikirannya. Dia akan merasakan betapa lemahnya di hadapan
Sang Khalik Yang Maha Sempurna dan yang memiliki sifat Rahman-
Rahim
Makrifat kepada Allah adalah tujuan yang dijangkau oleh seorang
hamba, dan cita-cita yang diharapkan. Apabila seorang hamba menghadap
Allah karena telah dibukakan baginya pintu ma’rifat, maka ia akan
mendapatkan ketenangan dalam ma’rifat itu’ karena didalamnya akan
dijumpai kenikmatan rohani yang berlimpah-limpah dan selalu ada hasrat
ingin melakukan amal ibadah karena keutamaan yang diberikan Allah
kepadanya.
Dengan makrifat seorang hamba akan merasa dekat dengan Allah
karena seorang hamba dapat melihat Allah dengan mata hati sanubari.
Hamba Allah yang dekat kepada Allah, ia akan mampu mengenal Allah
dengan baik dan beriman penuh dengan dengan sifat-sifat Allah.
Dalam beribadah seorang hamba yang ma’ariifat benar-benar sanggup
menghadap Allah dengan hati yang tulus. Dengan mata hatinya yang
bersinar ia mendekati Allah untuk mendapatkan rahmat dan kasih sayang-
Nya.
Ma’rifat bagi seorang hamba diperlukan dalam beribadah dan
beramal, sebab dengan adanya ma’rifat seorang hamba akan mencapai
tingkat hamba yang haqqul yaqin. Karena mengetahui adanya Allah adalah
menjadi kewajiban iman seorang hamba dalam hal ini seorang hamba baru
mencapai tingkatan ilmul yaqin. Ketika seorang hamba mengenal Allah
dengan baik menurut ilmu Allah, maka ia telah berada dalam tingkatan
ainul yaqin. Dan ketika pengenalan seorang hamba dan Allah menjadi

7
bagian dari hidup yang tidak dapat dipisahkan dalam tingkat ma’rifat,
maka ia telah berada dalam tingkatan haqqul yaqin.
Seorang yang ma’rifat kepada Allah memiliki tiga tahap yang
harus dilakukan dari waktu ke waktu dalam menyempurnakan iman dan
ibadahnya kepada Allah yaitu :
1. Kedudukan ma’rifat tidak boleh bertentangan dengan akidah dan
syariat, yang bersumber kepada Al quran dan sunah Rasulullah SWA.
2. Hamba yang berma’rifat kepada Allah tidak berati dia mengurangi
ibadah dan amalnya, justru makin tinggi ma’rifat seorang hamba maka
makin banyak dan semakin sempurna amal ibadahnya.
3. Ma’rifat kepada Allah hendaklah berdasarkan amal saleh dan iman.
Sebab yang dituju seorang yang ma’rifat hanya ridha Allah SWT
sebagai anugrah yang sangat berharga.2
B. Cara Bermakrifat kepada Allah SWT
Untuk bermakrifat kepada Allah swt. mempunyai dua cara, yaitu:
1. Memikirkan dan memperhatikan segala sesuatu yang diciptakan oleh
Allah.
Ma’rifatullah dapat dilakukan dengan bertafakur. Sesungguhnya
tiap organ tubuh mempunyai tugas, sedangkan tugas akal adalah
merenungkan, memperhatikan dan memikirkan. Jika potensi ini tidak
difungsikan maka hilanglah kerja akal dan tidak berfungsi pula
tugasnya. Islam menghendaki agar akal bangkit melepaskan diri dari
belenggunya dan bangun dari tidurnya.
Tidak memfungsikan akal dapat menurunkan derajat manusia ke
tingkatan yang lebih rendah dari derajat binatang. Taqlid (mengikuti
orang lain tanpa mengetahui alasan dan tujuannya) menjadi
penghalang bagi kemerdekaan akal dan pengekang akal untuk berpikir.
Oleh karena itu Allah memuji orang-orang yang bersikap objektif
terhadap berbagai fakta dan dapat membedakan antara yang satu
dengan yang lain, sesudah diteliti, diperiksa, dan dicermati lalu mereka
mengambil yang terbaik dan meninggalkan yang lain. Allah mencela
2
Syekh Ahmad bin Muhammad Ataillah. 2010. Mutu Manikam dari Kitab Al Hikam. Surabaya: Tim
CM Grafika hal.29-31

8
orang-orang yang bertaqlid yang tidak mau berpikir kecuali mengikuti
pikiran orang lain. Ketika Islam mengajak manusia untuk berpikir,
sesungguhnya apa yang dikehendakinya adalah berpikir dalam batas
kemampuan dan jangkauan akal.
Diantara tujuan paling mulia yang dikehendaki Islam dari
upayanya membangkitkan akal dan memfungsikannya untuk merenung
dan memikirkan sesuatu adalah memberi petunjuk kepada manusia
agar memahami dan kemudian membimbingnya dengan lembut
kepada hakikat yang besar yakni mengenal Allah SWT. Sesungguhnya
ma’rifatullah itu hanyalah hasil kerja akal pikiran yang cerdas dan
memperoleh ilham, dan buah pemikiran yang mendalam dan
cemerlang.
Menggunakan akal fikiran untuk berma'rifat kepada Allah SWT
begitu banyak disinggung dalam Al-Quran. Beberapa contoh ayat yang
menjelaskan hal ini:

ِ ْ‫ت َواأْل َر‬


….‫ض‬ ِ ‫قُ ِل ا ْنظُرُوا َما َذا فِي ال َّس َما َوا‬
Katakanlah: Periksalah olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan
bumi...(Q.S. Yunus: 101)
َ‫ون‬eeeee‫ض‬
ُ ‫ْر‬ ِ ْ‫ت َواأْل َر‬
ِ ‫ا ُمع‬eeeeeَ‫ا َوهُ ْم َع ْنه‬eeeeeَ‫رُّ ونَ َعلَ ْيه‬eeeee‫ض يَ ُم‬ َّ ‫ ٍة فِي‬eeeeeَ‫أَي ِّْن ِم ْن آَي‬eeeee‫َو َك‬
ِ ‫ َما َوا‬eeeee‫الس‬
"Alangkah Banyaknya ayat (tanda kekuasaan Allah) di langit dan bumi
yang mereka lalui, tetapi mereka itu semua membelakanginya saja
(tidak memperhatikannya)." (Q.S. Yusuf: 105).
2. Mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
Sarana lain yang dipergunakan Islam untuk mengenalkan manusia
kepada Allah dengan menjelaskan nama-nama Allah yang baik (al-
Asma’ al-Husna) dan sifat-sifat-Nya yang luhur.
Jumhur ulama bersepakat bahwa nama-nama Allah yang baik
(Asmaul Husna) itu ada 99 nama. Hal ini berlandaskan pada hadis
riwayat Bukhari, muslim dan Tirmidzi yang menjelaskan hadis dari
Abu Hurairah Rasulullah saw bersabda yang artinya: 
“Allah itu mempunyai sembilan puluh  sembilan nama. Barangsiapa
yang menghafalnya (mengingatnya dan menghadirkan dalam kalbu),

9
ia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu Maha Ganjil dan cinta
kepada hal yang ganjil".
Nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan perantara yang
digunakan Allah Ta'ala agar Makhluknya dapat berma'rifat kepadaNya.
…‫قُ ِل ا ْدعُوا هَّللا َ أَ ِو ا ْدعُوا الرَّحْ َمنَ أَيًّا َما تَ ْدعُوا فَلَهُ اأْل َ ْس َما ُء ْال ُح ْسنَى‬
Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Rahman, mana saja nama
Tuhan yang kamu seru, Dia adalah mempunyai nama-nama yang
baik..." (Q.S. Al-Isra': 110)
“Dan bagi Allah-lah nama-nama yang terbaik, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut Asmaul-Husna itu.” (Al-A’raaf : 180)
C. Sifat-sifat Allah SWT
Sifat-sifat yang dimiliki Allah yang diantaranya disebut
sifat salbiyah dan di antaranya ada yang disebut sifat tsubutiyah.
Sifat salbiyah adalah sifat yang meniadakan  segala sesuatu yang tidak
layak bagi kesempurnaan Allah.
Sifat salbiyah tersebut adalah Al-Awwal dan Al-Akhir. Allah adalah
dzat yang maha dahulu, artinya bahwa tiada permulaan bagi wujud-Nya
dan bahwa wujud Allah tanpa didahului dengan tahap tiada. Allah
adalah dzat yang Maha Akhir. Artinya bahwa Allah itu dzatnya tiada
akhir, kekal tanpa batas, dan tanpa berkesudahan. Dia itu Azali (Maha
dahulu) dan abadi, tidak didahului oleh siapapun.3
“Dialah yang Awwal dan yang Akhir, yang Dhahir dan yang Bathin
dan Dia mengetahui segala sesuatu.”(Al-Hadiid : 3)
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”(Al-Qashash :88)
Perlu diketahui tidaklah benar seseorang yang berkata: “Allah telah
menciptakan makhluk-makhluk, lantas siapa yang menciptakan Allah?”
Hal ini disebabkan pertanyaannya keliru. Pencipta itu bukan makhluk.
Sebab andaikata Dia makhluk niscaya memerlukan pencipta.
Bagaimana mungkin seseorang bisa mengetahui dzat Tuhan, sedangkan
mengetahui hakikat dirinya pun tidak tahu.

3
Mustafa, Ahmad.. Akhlak Tasawuf. (Bandung: Pustaka Setia 2008) hal. 90

10
“Orang akan selalu bertanya, sehingga ditanyakan juga hal yang
berikut: “Allah telah menciptakan makhluk lalu siapa yang menciptakan
Allah?” Maka barang siapa menjumpai pertanyaan seperti itu hendaklah
ia berkata: Aku beriman kepada Allah (Yang Maha Pencipta).” (HR.
Imam Muslim)
Allah yang Maha Suci tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Nya dan Allah SWT tidak sama dengan apapun. “Tidak ada sesuatupun
yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (Asy-Syuura : 11)
Manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan lemah, sedangkan
Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa. Manusia diciptakan dalam keadaan
memerlukan pertolongan orang lain, sedangkan Allah Maha Kaya dan
Maha Terpuji. Manusia beranak dan diperanakkan, sedangkan Allah tidak
beranak dan tidak diperanakkan. Manusia pelupa, sedangkan Allah tidak
pernah keliru dan tidak pula lupa. Manusia serba berkekurangan
sedangkan Allah Maha Sempurna secara mutlak. 4
“Katakanlah,Dialah Allah yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nyasegala sesuatu, yang tiada beranak dan tiada
diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” (Al-
Ikhlas : 1-4)
Allah Maha Esa di dalam Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-
perbuatan-Nya. Keesaan  Dzat, maksudnya adalah bahwasanya Allah itu
tiada sekutu bagi-Nya di dalam kerajaan-Nya.
“Maha Suci Allah, Dialah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan” (Az-
Zumar : 4)
Adapun sifat Allah berikutnya adalah sifat-sifat yang tsubutiyah.
Allah itu Maha Kuasa, tidak lemah sedikitpun untuk mengerjakan sesuatu.
Allah itu Maha Berkehendak (Iradah), yakni Allah menentukan sesuatu
yang mungkin ada dengan sebagian apa yang pantas berlaku untuknya.
Allah bebas berkehendak menjadikannya tinggi atau pendek, baik atau
buruk, berilmu atau bodoh, dll. Allah itu Maha Mengetahui (Ilmu), yakni

4
Ibid hal.92

11
mengetahui segala sesuatu, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang
ada, baik yang terjadi di masa lampau atau yang sedang terjadi atau yang
akan terjadi. Allah itu Dzat yang Maha Hidup (Hayat). Andaikata Dia
tidak hidup maka sifat-sifat tersebut tidak akan ada pada-Nya. Allah
itu Maha Berbicara (Kalam), yakni tidak dengan huruf dan tidak pula
dengan suara. Allah telah menetapkan sifat ini kepada diri-Nya sendiri.
Allah itu Maha Mendengar, yakni dapat mendengar segala sesuatu
sehingga Dia benar-benar, dapat mendengar langkah-langkah semut hitam
yang berjalan di atas batu licin diwaktu malam yang gelap gulita.
Sebagaimana Dia mampu mendegar segala sesuatu, Dia-pun Maha
Melihat, yakni melihat segala sesuatu dengan penglihatan menyeluruh
mencakup segala yang ada. Penglihatan Allah tidaklah menggunakan mata
seperti cara melihat makhluknya.5
Adapun sifat-sifat af’al (perbuatan) adalah seperti mencipta dan
memberi rezeki. Sesungguhnya kita wajib berjalan mengikuti petunjuk
sifat-sifat Allah itu, menggunakannya sebagai cahaya penerang jalan,
menjadikan sebagai contoh tauladan teritinggi, dan mencapai puncak
ketinggian jiwa dan peningkatan ruhani yang sempurna.
Allah“Rabbul-‘Alamin” merupakan teladan tertinggi yang wajib
diteladani oleh orang beriman, Allah “Maha Pemurah” mengaruniakan
nikmat pada makhluk-makhluk-Nya, dan menampakkan cinta-Nya kepada
mereka, sekalipun mereka tidak mengerjakan suatu amal yang
menyebabkan mereka berhak menerima hal itu. Allah “Maha Pengasih”
memberikan balasan kepada manusia atas amal perbuatanya. Allah “Yang
menguasai hari pembalasan” menghitung amal perbuatan manusia, lalu
memberikan balasan kepada orang yang berbuat buruk dengan balasan
setimpal, bukan karena senang menyiksa, melainkan dengan semangat
toleransi (bersedia memberi maaf). Sebagaimana seorang pemimpin yang
penyayang wajib bersikap seperti itu terhadap yang dipimpinnya. 6. Apa
saja pelajaran yang dapat diambil dari sifat-sifat ini juga berlaku untuk

5
Hilal, Ibrahim.. Tasawuf Antara Agama dan Filsafat. (Bandung: Pustaka Hidayah 2002) hal. 102
6
Ibid hal. 103

12
sifat-sifat yang lain. Dari sifat Allah ini dapat diambil pelajaran untuk
dijadikan tauladan. Demikian pula halnya dari sifat yang lain.
Imam Tirmizi memberikan tambahan dalam riwayatnya sebagai
berikut, “Sembilan puluh sembilan nama Allah Taala yaitu:
1. Allah: Lafal yang Maha Mulia yang merupakan nama dari zat Ilahi yang
Maha Suci serta wajib adanya yang berhak memiliki semua macam pujian
dan sanjungan.
2. Arrahmaan: Maha Pengasih, pemberi kenikmatan yang agung-agung,
pengasih di dunia.
3. Arrahiim: Maha Penyayang, pemberi kenikmatan yang pelik-pelik,
penyayang di akhirat.
4. Almalik: Maha Merajai, mengatur kerajaan-Nya sesuai dengan
kehendak-Nya sendiri.
5. Alqudduus: Maha Suci, tersuci dari segala cela dan kekurangan.
6. Assalaam: Maha Penyelamat, pemberi keamanan dan kesentosaan pada
seluruh makhluk-Nya.
7. Almukmin: Maha Pemelihara keamanan, yakni siapa yang bersalah dari
makhluk-Nya itu benar-benar akan diberi siksa, sedang kepada yang taat
akan benar-benar dipenuhi janji-Nya dengan pahala yang baik.
8. Almuhaimin: Maha Penjaga, memerintah dan melindungi segala
sesuatu.
9. Al’aziiz: Maha Mulia, kuasa dan mampu untuk berbuat sekehendak-
Nya.
10. Aljabbaar: Maha Perkasa, mencukupi segala kebutuhan,
melangsungkan segala perintah-Nya serta memperbaiki keadaan seluruh
hamba-Nya.
11. Almutakabbir: Maha Megah, menyendiri dengan sifat keagungan dan
kemegahan-Nya.
12. Alkhaalik: Maha Pencipta, mengadakan seluruh makhluk tanpa asal,
juga yang menakdirkan adanya semua itu.
13. Albaari’: Maha Pembuat, mengadakan sesuatu yang bernyawa yang
ada asal mulanya.

13
14. Almushawwir: Maha Pembentuk, memberikan gambaran atau bentuk
pada sesuatu yang berbeda dengan lainnya.
15. Alghaffaar: Maha Pengampun, banyak pemberian maaf-Nya dan
menutupi dosa-dosa dan kesalahan.
16. Alqahhaar: Maha Pemaksa, menggenggam segala sesuatu dalam
kekuasaan-Nya serta memaksa segala makhluk menurut kehendak-Nya.
17. Alwahhaab: Maha Pemberi, banyak kenikmatan dan selalu memberi
karunia.
18. Arrazzaaq: Maha Pemberi rezeki, membuat berbagai rezeki serta
membuat pula sebab-sebab diperolehnya.
19. Alfattaah: Maha Membukakan, yakni membuka gudang penyimpanan
rahmat-Nya untuk seluruh hamba-Nya.
20. Al’aliim: Maha Mengetahui, yakni mengetahui segala yang maujud ini
dan tidak ada satu benda pun yang tertutup oleh penglihatan-Nya.
21. Alqaabidl: Maha Pencabut, mengambil nyawa atau mempersempit
rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
22. Albaasith: Maha Meluaskan, memudahkan terkumpulnya rezeki bagi
siapa yang diinginkan oleh-Nya.
23. Alkhaafidl: Maha Menjatuhkan, yakni terhadap orang yang selayaknya
dijatuhkan karena akibat kelakuannya sendiri dengan memberinya
kehinaan, kerendahan dan siksaan.
24. Arraafi’: Maha Mengangkat, yakni terhadap orang yang selayaknya
diangkat kedudukannya karena usahanya yang giat yaitu yang termasuk
golongan kaum yang bertakwa.
25. Almu’iz: Maha Pemberi kemuliaan, yakni kepada orang yang
berpegang teguh pada agama-Nya dengan memberinya pertolongan dan
kemenangan.
26. Almudzil: Maha Pemberi kehinaan, yakni kepada musuh-musuh-Nya
dan musuh umat Islam seluruhnya.
27. Assamii’: Maha Mendengar.
28. Albashiir: Maha Melihat.

14
29. Alhakam: Maha Menetapkan hukum, sebagai hakim yang memutuskan
yang tidak seorang pun dapat menolak keputusan-Nya, juga tidak seorang
pun yang kuasa merintangi kelangsungan hukum-Nya itu.
30. Al’adl: Maha Adil, serta sangat sempurna dalam keadilan-Nya itu.
31. Allathiif: Maha Halus, yakni mengetahui segala sesuatu yang samar-
samar, pelik-pelik dan kecil-kecil.
32. Alkhabiir: Maha Waspada.
33. Alhaliim: Maha Penghiba, penyantun yang tidak tergesa-gesa
melakukan kemarahan dan tidak pula gegabah memberikan siksaan.
34. Al’azhiim: Maha Agung, yakni mencapai puncak tertinggi dari
keagungan karena bersifat dengan segala macam sifat kebesaran dan
kesempurnaan.
35. Alghafuur: Maha Pengampun, banyak pengampunan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya.
36. Asysyakuur: Maha Pembalas yakni memberikan balasan yang banyak
sekali atas amalan yang kecil dan tidak berarti.
37. Al’aliy: Maha Tinggi, yakni mencapai tingkat yang setinggi-tingginya
yang tidak mungkin digambarkan oleh akal pikiran siapa pun dan tidak
dapat dipahami oleh otak yang bagaimana pun pandainya.
38. Alkabiir: Maha Besar, yang kebesaran-Nya tidak dapat diikuti oleh
pancaindera atau pun akal manusia.
39. Alhafiiz: Maha Pemelihara yakni menjaga segala sesuatu jangan
sampai rusak dan goncang. Juga menjaga segala amal perbuatan hamba-
hamba-Nya, sehingga tidak akan disia-siakan sedikit pun untuk
memberikan balasan-Nya.
40. Almuqiit: Maha Pemberi kecukupan, baik yang berupa makanan tubuh
atau pun makanan rohani.
41. Alhasiib: Maha Penjamin, yakni memberikan jaminan kecukupan
kepada seluruh hamba-Nya. Juga dapat diartikan Maha Menghisab amalan
hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.
42. Aljaliil: Maha Luhur, yang memiliki sifat-sifat keluhuran karena
kesempurnaan sifat-sifat-Nya.

15
43. Alkariim: Maha Pemurah, mulia hati dan memberi siapa pun tanpa
diminta atau sebagai penggantian dari sesuatu pemberian.
44. Arraqiib: Maha Peneliti, yang mengamat-amati gerak-gerik segala
sesuatu dan mengawasinya.
45. Almujiib: Maha Mengabulkan, yang memenuhi permohonan siapa saja
yang berdoa pada-Nya.
46. Alwaasi’: Maha Luas, yakni bahwa rahmat-Nya itu merata kepada
segala yang maujud dan luas pula ilmu-Nya terhadap segala sesuatu.
47. Alhakiim: Maha Bijaksana yakni memiliki kebijaksanaan yang
tertinggi kesempurnaan ilmu-Nya serta kerapian-Nya dalam membuat
segala sesuatu.
48. Alwaduud: Maha Pencinta, yang menginginkan segala kebaikan untuk
seluruh hamba-Nya dan pula berbuat baik pada mereka itu dalam segala
hal-ihwal dan keadaan.
49. Almajiid: Maha Mulia, yakni yang mencapai tingkat teratas dalam hal
kemuliaan dan keutamaan.
50. Albaa’its: Maha Membangkitkan, yakni membangkitkan para rasul,
membangkitkan semangat dan kemauan, juga membangkitkan orang-
orang yang telah mati dari masing-masing kuburnya nanti setelah tibanya
hari kiamat.
51. Asysyahiid: Maha Menyaksikan atau Maha Mengetahui keadaan
semua makhluk.
52. Alhaq: Maha Haq, Maha Benar yang kekal dan tidak akan berubah
sedikit pun.
53. Alwakiil: Maha Memelihara penyerahan, yakni memelihara semua
urusan hamba-hamba-Nya dan apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka
itu.
54. Alqawiy: Maha Kuat, yaitu yang memiliki kekuasaan yang
sesempurna-sempurna.
55. Almatiin: Maha Kokoh atau Perkasa, yakni memiliki keperkasaan yang
sudah sampai dipuncaknya.

16
56. Alwaliy: Maha Melindungi, yakni melindungi serta menertibkan
semua kepentingan makhluk-Nya karena kecintaan-Nya yang sangat pada
mereka itu dan pemberian pertolongan-Nya yang tidak terbatas pada
keperluan mereka.
57. Alhamiid: Maha Terpuji, yang memang sudah selayaknya untuk
memperoleh pujian dan sanjungan.
58. Almuhshi: Maha Penghitung, yang tidak satu pun tertutup dari
pandangan-Nya dan semua amalan itu pun diperhitungkan sebagaimana
wajarnya.
59. Almubdi’: Maha Memulai, yang melahirkan sesuatu yang asalnya
tidak ada dan belum maujud.
60. Almu’iid: Maha Mengulangi, yakni menumbuhkan kembali setelah
lenyapnya atau setelah rusaknya.
61. Almuhyii: Maha Menghidupkan, yakni memberikan daya kehidupan
pada setiap sesuatu yang berhak hidup.
62. Almumiit: Yang Mematikan, yakni mengambil kehidupan (ruh) dari
apa-apa yang hidup, lalu disebut mati.
63. Alhay: Maha Hidup, kekal pula hidup-Nya itu.
64. Alqayyuum: Maha Berdiri sendiri, baik Dzat-Nya, sifat-Nya,
perbuatan-Nya. Juga membuat berdiri apa-apa yang selain Dia. Dengan-
Nya pula berdiri langit dan bumi ini.
65. Alwaajid: Maha kaya, dapat menemukan apa saja yang diinginkan
oleh-Nya, maka tidak membutuhkan pada suatu apa pun karena sifat kaya-
Nya yang mutlak.
66. Almaajid: Maha Mulia
67. Alwaahid: Maha Esa.
68. Ashshamad: Maha Dibutuhkan, yakni selalu menjadi tujuan dan
harapan orang di waktu ada hajat keperluannya.
69. Alqaadir: Maha Kuasa.
70. Almuqtadir: Maha Menentukan.

17
71. Almuqaddim: Maha Mendahulukan, yakni mendahulukan sebagian
benda dari yang lainnya dalam perwujudannya, atau dalam kemuliaan,
selisih waktu atau tempatnya.
72. Almu’akhkhir: Maha Mengakhirkan atau Membelakangkan.
73. Alawwal: Maha Pertama, Dahulu sekali dari semua yang maujud.
74. Alaakhir: Maha Penghabisan, Kekal terus setelah habisnya segala
sesuatu yang maujud.
75. Azhzhaahir: Maha Nyata, yakni menyatakan dan menampakkan
wujud-Nya itu dengan bukti-bukti dan tanda-tanda ciptaan-Nya.
76. Albaathin: Maha Tersembunyi, tidak dapat dimaklumi zat-Nya
sehingga tidak seorang pun dapat mengenal zat-Nya itu.
77. Alwaalii: Maha Menguasai, menggenggam segala sesuatu dalam
kekuasaan-Nya dan menjadi milik-Nya.
78. Almuta’aalii: Maha Suci, terpelihara dari segala kekurangan dan
kerendahan.
79. Albar: Maha Dermawan, banyak kebaikan-Nya dan besar kenikmatan
yang dilimpahkan-Nya.
80. Attawwaab: Maha Penerima tobat, memberikan pertolongan kepada
orang-orang yang bermaksiat untuk melakukan tobat lalu Allah akan
menerimanya.
81. Almuntaqim: Maha Penyiksa, kepada orang yang berhak untuk
memperoleh siksa-Nya.
82. Al’afuw: Maha Pemaaf, pelebur kesalahan orang yang suka kembali
untuk meminta maaf pada-Nya.
83. Arra-uuf: Maha Pengasih, banyak rahmat dan kasih sayang-Nya.
84. Maalikulmulk: Maha Menguasai kerajaan, maka segala perkara yang
berlaku di alam semesta, langit, bumi dan sekitarnya serta yang dibaliknya
alam semesta itu semuanya sesuai dengan kehendak dan iradat-Nya.
85. Dzuljalaali wal ikraam: Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan.
Juga zat yang mempunyai keutamaan dan kesempurnaan, pemberi karunia
dan kenikmatan yang amat banyak dan melimpah ruah.

18
86. Almuqsith: Maha Mengadili, yakni memberikan kemenangan pada
orang-orang yang teraniaya dari tindakan orang-orang yang menganiaya
dengan keadilan-Nya.
87. Aljaami’: Maha Mengumpulkan, yakni mengumpulkan berbagai
hakikat yang telah bercerai-berai dan juga mengumpulkan seluruh umat
manusia pada hari pembalasan.
88. Alghaniy: Maha Kaya, maka tidak membutuhkan apa pun dari yang
selain zat-Nya sendiri, tetapi yang selain-Nya itu amat membutuhkan
kepada-Nya.
89. Almughnii: Maha Pemberi kekayaan yakni memberikan kelebihan
yang berupa kekayaan yang berlimpah-limpah kepada siapa saja yang
dikehendaki dari golongan hamba-hamba-Nya.
90. Almaani’: Maha Membela atau Maha Menolak, yaitu membela hamba-
hamba-Nya yang saleh dan menolak sebab-sebab yang menyebabkan
kerusakan.
91. Adldlaar: Maha Pemberi bahaya, yakni dengan menurunkan siksa-
siksa-Nya kepada musuh-musuh-Nya.
92. Annaafi’: Maha Pemberi kemanfaatan, yakni merata kebaikan yang
dikaruniakan-Nya itu kepada semua hamba dan negeri.
93. Annuur: Maha Bercahaya yakni menonjolkan zat-Nya sendiri dan
menampakkan untuk yang selain-Nya dengan menunjukkan tanda-tanda
kekuasaan-Nya.
94. Alhaadi: Maha Pemberi petunjuk, yaitu memberikan jalan yang benar
kepada segala sesuatu agar langsung adanya dan terjaga kehidupannya.
95. Albadii’: Maha Pencipta yang baru, sehingga tidak ada contoh dan
yang menyamai sebelum keluarnya ciptaan-Nya itu.
96. Albaaqii: Maha Kekal, yakni kekal hidup-Nya untuk selama-lamanya.
97. Alwaarits: Maha Pewaris, yakni kekal setelah musnahnya seluruh
makhluk.
98. Arrasyiid: Maha Cendekiawan, yaitu memberi penerangan dan
tuntunan pada seluruh hamba-Nya dan yang segala peraturan-Nya itu

19
berjalan menurut ketentuan yang digariskan oleh kebijaksanaan dan
kecendikiawanan-Nya.
99. Ashshabuur: Maha Penyabar yang tidak tergesa-gesa memberikan
siksaan dan tidak pula cepat-cepat melaksanakan sesuatu sebelum
waktunya.
Dalam kitab Addinul Islami disebutkan sebagai berikut: “Nama-
nama Allah yang baik-baik (asmaul husna) yang tercantum dalam Alquran
yaitu:
1. Nama-nama yang berhubungan dengan zat Allah Taala, yakni:
a. Alwaahid (Maha Esa)
b. Alahad (Maha Esa)
c. Alhaq (Maha Benar)
d. Alqudduus (Maha Suci)
e. Ashshamad (Maha dibutuhkan)
f. Alghaniy (Maha Kaya)
g. Alawwal (Maha Pertama)
h. Alaakhir (Maha Penghabisan).
i. Alqayyuum (Maha Berdiri Sendiri).
2. Nama-nama yang berhubungan dengan penciptaan, yakni:
a. Alkhaalik (Maha Menciptakan)
b. Albaari’ (Maha Pembuat)
c. Almushawwir (Maha Pembentuk)
d. Albadii’ (Maha Pencipta yang baru)
3. Nama-nama yang berhubungan dengan sifat kecintaan dan kerahmatan,
yakni:
a. Arra-uuf (Maha Pengasih)
b. Alwaduud (Maha Pencinta)
C. Allathiif (Maha Halus)
d. Alhaliim (Maha Penghiba)
e. Al’afuw (Maha Pemaaf)
f. Asysyakuur (Maha Pembalas, Pemberi karunia)
g. Almukmin (Maha Pemelihara keamanan)

20
h. Albaar (Maha Dermawan)
i. Rafi’ud darajat (Maha Tinggi derajat-Nya)
j. Arrazzaaq (Maha Pemberi rezeki)
k. Alwahhaab (Maha Pemberi)
l. Alwaasi’ (Maha luas)
4. Nama-nama yang berhubungan dengan keagungan serta kemuliaan
Allah Taala yakni:
a. Al’azhiim (Maha Agung)
b. Al’aziiz (Maha Mulia)
C. Al’aliy (Maha Tinggi)
d. Almuta’aalii (Maha Suci)
e. Alqawiy (Maha Kuat)
f. Alqahhaar (Maha Pemaksa)
g. Aljabbaar (Maha Perkasa)
h. Almutakabbir (Maha Megah)
i. Alkabiir (Maha Besar)
j. Alkariim (Maha Pemurah)
k. Alhamiid (Maha Terpuji)
l. Almajiid (Maha Mulia)
m. Almatiin (Maha Kuat)
n. Azhzhaahir (Maha Nyata)
o. Zuljalaali wal ikraam (Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan)
5. Nama-nama yang berhubungan dengan ilmu Allah Taala, yakni:
a. Al’aliim (Maha Mengetahui)
b. Alhakiim (Maha Bijaksana)
C. Assamii’ (Maha Mendengar)
d. Alkhabiir (Maha Waspada)
e. Albashiir (Maha Melihat)
f. Asysyahid (Maha Menyaksikan)
g. Arraqiib (Maha Meneliti)
h. Albaathin (Maha Tersembunyi)
i. Almuhaimin (Maha Menjaga)

21
6. Nama-nama yang berhubungan dengan kekuasaan Allah serta caranya
mengatur segala sesuatu, yakni:
a. Alqaadir (Maha Kuasa)
b. Alwakiil (Maha Memelihara penyerahan)
C. Alwaliy (Maha Melindungi)
d. Alhaafizh (Maha Pemelihara)
e. Almalik (Maha Merajai)
f. Almaalik (Maha Memiliki)
g. Alfattaah (Maha Pembuka)
h. Alhasiib (Maha Penjamin)
i. Almuntaqim (Maha Penyiksa)
j. Almuqiit (Maha Pemberi kecukupan)
7. Ada pula nama-nama yang tidak disebutkan dalam nas Alquran tetapi
merupakan sifat-sifat yang erat kaitannya dengan sifat atau perbuatan
Allah Taala yang tercantum dalam Alquran, yakni:
a. Alqaabidl (Maha Pencabut)
b. Albaasith (Maha Meluaskan)
C. Arraafi` (Maha Mengangkat)
d. Almu’iz (Maha Pemberi kemuliaan)
e. Almudzil (Maha Pemberi kehinaan)
f. Almujiib (Maha Mengabulkan)
g. Albaa’its (Maha Membangkitkan)
h. Almuhshii (Maha Penghitung)
i. Almubdi’ (Maha Memulai)
j. Almu’iid(Maha Mengulangi)
k. Almuhyii (Maha Menghidupkan)
l. Almumiit (Maha Mematikan)
m. Maalikulmulk (Maha Menguasai kerajaan)
n. Aljaami’ (Maha Mengumpulkan)
o. Almughnii (Maha Pemberi kekayaan)
p. Almu’thii (Maha Pemberi)
q. Almaani’ (Maha Membela, Maha Menolak)

22
r. Alhaadii (Maha Pemberi Petunjuk)
s. Albaaqii (Maha Kekal)
t. Alwaarits (Maha Pewaris).
8. Ada pula nama-nama Allah Taala yang diambil dari makna atau
pengertian nama-nama yang terdapat dalam Alquran, yakni:
a. Annuur (Maha Bercahaya)
b. Ashshabuur (Maha Penyabar)
c. Arrasyiid (Maha Cendekiawan)
d. Almuqsith (Maha Mengadili)
e Alwaalii (Maha Menguasai)
f. Aljaliil (Maha Luhur)
g. Al’adl (Maha Adil)
h. Alkhaafidl (Maha Menjatuhkan)
i. Alwaajid (Maha Kaya)
j. Almuqaddim (Maha Mendahulukan)
k. Almu-akhkhir (Maha Mengakhirkan)
l. Adldlaar (Maha Pemberi bahaya)
m. Annaafi’ (Maha Pemberi kemanfaatan)
Dengan nama-nama di atas dirangkaikan pula sifat-sifat:
a. Takallum (Berfirman) dan
b. Iradat (Berkehendak)

23
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pemaparan Jurnal
Judul Jurnal :Konsep Ma’rifatullah Menurut Al-Ghazali (Suatu Kajian
Tentang Implementasi Nilai-Nilai Akhlak Al-Karimah)
Oleh :Murni
Mahasiswi S3 Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Darussalam-
Banda Aceh
Email: murni166@yahoo.co.id
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep ma’rifatullah al-
Ghazali suatu kajian tentang implementasi nilai-nilai akhlak al-karimah.
(1) ma’rifatullah sebagai landasan utama pendidikan akhlak al-karimah.
(2) Metode integrasi ma’rifatullah dalam pembinaan akhlak al-karimah
peserta didik.(3) fungsi ma’rifatullah dalam pembinaan akhlak al-
karimah.(4). tujuan pengembangan ma’rifatullah dalam peningkatan
akhlak al-karimah. Dengan menggunakan metode penelitian kajian
kepustakaan. Penelitian ini berhasil ditemukan empat hal yaitu: (1)
Landasan ma’rifatullah dalam meningkatkan akhlak al-karimah yaitu
dengan mengenal Allah SWT sebagai kewajiban bagi setiap manusia,
demikian disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, karena dengan
mengenal Tuhannya manusia akan mengenal dirinya sendiri. (2) Metode
integrasi ma’rifatullah dalam membina akhlak al-karimah melalui metode
pembinaan, pembiasaan, dan keteladanan. (3) Fungsi ma’rifatullah dalam
pembinaan akhlak al-karimah adalah akan mengantarkan manusia
kepada kebahagiaan, keselamatan, ketentraman dan ketenangan jiwa
raga, serta kelezatan dan kenikmatan beribadah kepada Allah swt.
(4)Tujuan pengembangan ma’rifatullah dalam meningkatkan akhlak al-
karimah sebagai pengarah yang akan meluruskan orientasi hidup seorang
muslim.

24
Kata Kunci: Konsep, Ma’rifatullah, al-Ghazali, Nilai-nilai akhlak al-
Karimah
Ma’rifatullah menurut konsep al-Ghazali adalah berupaya untuk
mengenal Tuhan sedekat-dekatnya yang diawali dengan pensucian jiwa
dan zikir kepada Allah secara terus-menerus, sehingga pada akhirnya akan
mampu melihat Tuhan dengan hati nuraninya.7
Menurut al-Ghazali ma’rifatullah merupakan sumber dan puncak
kelezatan beribadah yang dilakukan oleh seorang manusia di dunia ini.
Lebih jauh lagi Ia memberi pandangan yang luas tentang kebahagiaan dan
kelezatan bagi manusia untuk mencapai ma’rifatullah. Mengenal dan
mencintai Sang Pencipta dengan sepenuhnya. Dengan demikian manusia
akan memperoleh kesenangan yang luar biasa dari yang lainnya. Ma’rifat
kepada Allah adalah merupakan sifat yang sangat mulia. Permasalahan
yang timbul saat ini bagi sebagian manusia adalah kekosongan iman dan
moral seiring dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagian tugas-tugas manusia sudah
diambil alih oleh ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut serta berbagai
kebutuhan hidup manusia sudah dapat dipenuhi oleh bantuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka timbullah perasaan tidak lagi
membutuhkan kepada Tuhan, serta ragu-ragu kepada Tuhan.8
Permasalahan yang timbul saat ini bagi sebagian manusia adalah
kekosongan iman dan moral seiring dengan adanya perkembangan dan
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagian tugas-
tugas manusia sudah diambil alih oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut serta berbagai kebutuhan hidup manusia sudah dapat dipenuhi
oleh bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka timbullah perasaan
tidak lagi membutuhkan kepada Tuhan, serta ragu-ragu kepada Tuhan.9
Manusia sekarang ini sudah terjadinya krisis spritualitas. Diakui oleh
Seyyed Hossein Nasr. Menurut Nasr, manusia sudah mengalami proses
sekularisasi kesadaran, sehingga telah kehilangan kendali diri (self
7
Hussein Bahreis. Ajaran-ajaran Akhlak Al-Ghazali,(Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hal. 104.
8
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tar-bawiy), Cet, IV, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2010), hal. 58.
9
Ibid hal. 58.

25
control), sehingga manusia dihinggapi berbagai penyakit rohaniah.
Manusia lupa tentang siapa dirinya. Nasr melanjutkan, manusia sekarang
ini hidup dipinggir lingkaran eksistensinya di mana Ia hanya mampu
memperoleh pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif bersifat
dangkal dan secara kuantitatif berubah-ubah.10
Dampak terjadinya perubahan dan perkembangan sosial yang
begitu pesat sebagai akibat dari pengaruh budaya dan globalisasi,
setidaknya telah membawa dampak pada perubahan nilai dan perilaku
masyarakat itu sendiri, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Untuk itu
diperlukan sebuah konsep pemikiran yang komprehensif berbasis akhlak
al-karimah dalam menangani berbagai masalah masyarakat di era
moderen, sehingga terwujudnya masyarakat yang maju adil dan makmur.
Implikasi ma’rifah ialah datangnya pengetahuan ilham, yaitu
pengetahuan yang diberikan Allah secara langsung kepada hamba-
hambanya yang dipilihnya, baik mengenai urusan dunia maupun akhirat.
Menurut Abdul Qadir al-Jailani, Ma’rifat adalah tidak dapat dibeli atau
dicapai melalui usaha manusia. Ma’rifat adalah anugerah dari Allah swt. 11
Setelah seseorang berada pada tingkatan ma’rifat, maka akan mengenal
rahasia-rahasia Allah. Allah memperkenalkan rahasia-rahasia-Nya kepada
mereka hanya apabila hati mereka hidup dan sadar melalui zikrullah. Dan
hati memiliki bakat, hasrat, dan keinginan untuk menerima rahasia
Ketuhanan.
Menurut Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba ma’rifat dalam
pandangan sufi adalah mengetahui bagaimana hakikat Allah yang
sebenarnya. Para sufi membagi ilmu mereka kepada empat bagian yaitu;
ilmu syari’at, ilmu thariqat, ilmu hakikat, dan ilmu ma’rifat.12 Tujuan
terakhir dari sufi ahli tharikat adalah ilmu ma’rifat yakni ilmu mengetahui
hakikat Allah karena demikian zat Allah dan sifat-sifat-Nya dijadikan

10
Sehat Ihsan Shadiqin, Dialog Tasawuf Dan Psikologi Studi Komparatif Modern Hamka Dan
Spritual Quotient Danah Zohar, (Program Pasca Sarjana IAIN AR-Raniry Banda Aceh, 2004),
Hal. 88.
11
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi, Cet, VIII, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004), hal. 102.
12
Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba, Ilmu Tharikat dan Hakikat, (Banda Aceh, 1975), hal. 47-48.

26
sebagai maudhu’ ilmu tasawuf yaitu ilmu latihan untuk mencapai hakikat
guna untuk mencapai ma’rifat (mengetahui hakikat Allah SWT).
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, ma’rifat ilmu rohani, adalah agar
engkau palingkan mukamu dari makhluk agar engkau dapat memuaskan
perhatianmu hanya kepada Allah saja, karena ma’rifah itu adalah
mengenal Allah dengan sebaik-baiknya.13 Maka dari itu, bagi Rabi’ah al-
Adawiyah mahabbah dan ma’rifah selalu berdampingan. Menurutnya
dengan mahabbah dan ma’rifah ilmu yang tertinggi maka manusia akan
mendapatkan keindahan Tuhan dengan kebenaran yang sebenarnya dan
harapan akan kebersamaan dengan Sang kekasih Tercinta di akhirat kelak.
Ma’rifatullah menurut konsep al-Ghazali adalah berupaya untuk
mengenal Tuhan sedekat-dekatnya yang diawali dengan pensucian jiwa
dan zikir kepada Allah secara terus-menerus, sehingga pada akhirnya akan
mampu melihat Tuhan dengan hati nuraninya.14 Ma’rifah yang paling lezat
adalah yang paling mulia daripadanya. Kadar kemuliaannya, menurut
kadar kemuliaan ilmu yang telah diketahuinya. Jikalau dalam ilmu yang
diketahui itu lebih agung, lebih sempurna, lebih mulia dan lebih besar,
maka mengetahuinya itu akan menjadi ilmu yang paling lezat, paling
mulia dan yang paling baik. Dengan ini, maka jelaslah bahwa ilmu itu
lezat. Ilmu yang paling lezat adalah ilmu yang menyangkut tentang Allah
SWT. Dengan sifat-sifat-Nya af’al-Nya dan cara pengaturan-Nya dan
kerajaan-Nya dari besarnya Arasy sampai kepada sempadan bumi. Maka
seyogialah diketahui bahwa kelezatan ma’rifah itu lebih kuat dari
kelezatan-kelezatan yang lain. Ya’ni kelezatan-kelezatan nafsu syahwat,
marah dan kelezatan dan panca indera yang lainnya.
Mengenal Allah SWT adalah kewajiban bagi setiap manusia,
demikian disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, karena dengan
mengenal Tuhannya manusia akan mengenal dirinya. Menurut al-Ghazali
seseorang tidak akan mampu mencapai derajat ma’rifatullah sebelum ia
mengenal diri sendiri. Dengan demikian kemampuan manusia mencapai

13
Rabi’ah al-Adawiyah, Mahabbah (Cinta), Terj. Asfari MS & Otto Sukatn CR, Cet,V, (Yogyakarta:
Yayasan Bintang Budaya, 1999), hal. 106.
14
Ibid hal. 104.

27
derajat ma’rifatullah tergantung pada kemampuannya mengenal diri
sendiri. Juga sebaliknya manusia yang mengenal dirinya akan mengenal
Tuhannya, di permukaan bumi fana ini, begitu ajaran
Islam.
Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan,
ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman.15 Dan dapat pula
berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih
tinggi daripada ilmu yang didapati oleh orang-orang pada umumnya16
Ma’rifah adalah pengetahuan bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi
lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini
didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui
hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal
dari yang satu.17
Dalam pengertian bahasa ma’rifah berarti mengetahui sesuatu apa
adanya, atau ilmu yang tidak lagi menerima keraguan. 18 Dalam pandangan
al-Ghazali, sebagaimana ditulis oleh al-Taftazani, ma’rifat adalah
mengenal Allah; tidak ada yang wujud selain Allah dan perbuatan Allah.
Menurut al-Ghazali, Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu.
Alam semesta adalah ayat (bukti) kekuasaan dan kebesarannya.19Ma’rifat
adalah ilmu yang tanpa keraguan ketika obyek ilmu itu adalah Allah dan
sifatnya.20 Dalam ungkapan lain, ma’rifat menurut al-Ghazali adalah
tauhidnya para shiddiqin yang tidak melihat selain keesaan Allah dalam
seluruh apa yang tampak, dan menghilangkan hak-hak atas diri mereka.21
Ma’rifat adalah kondisi (hal) yang bermuara dari upaya-upaya mujahadat
dan menghapus sifat-sifat yang jelek, pemutusan semua hubungan dengan

15
IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983), hal. 122.
16
Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi, Jld. II, (Beirut: Dar al-Kitab, 1997), hal. 72
17
Ibid hal. 72.
18
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, Raudlat al-Thalibin wa
‘Umdat al-Salikin, Dalam Majmu’at Rasail alImam Al-Ghazali, Kitab ini selanjutnya akan disebut
al-Ghazali, Dar al-Kitab al-Ilmiyah,(Beirut, 1986), hal. 36.
19
Abu al-Wafa al-Ghanimi, al-Taftazani, hal.169.
20
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal, hal. 36.
21
Usman Isa Syahin, Nadzriyyah al-Ma’rifat inda al-Ghazali, Tulisan dalam menyambut haflah
dzikra mi’awiyah al-Ghazali.

28
makhluk, serta penghadapan inti/hakikat cita-cita kepada Allah yang
dilakukan oleh seseorang.22
B. Tanggapan Mengenai Jurnal
Berdasarkan pendapat kita terhadap jurnal tentang Konsep
Ma’rifatullah Menurut Al-Ghazali (Suatu Kajian Tentang Implementasi
Nilai-Nilai Aklhlak al-Karimah) adalah sebagai berikut:
1. Dilihat dari abstrak jurnal yang dipaparkan sangat jelas, sehingga
dengan membacanya saja pembaca dapat mengetahui isi jurnal
tersebut.
2. Pembuatan jurnal ini sudah sesuai dengan realita yang terjadi di
kehidupan saat ini, sehingga kami dapat mengetahui dan bisa
menerapkan nilai-nilai akhlak dalam kehidupan sehari-hari.
3. Di dalam jurnal juga sudah dijelaskan mengenai pengertian makrifat
dari seorang tokoh yakni Al-Ghazali, jadi kita mudah memahami dan
memiliki gambaran terkait konsep makrifat.

22
Ibid hal. 164.

29
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pengertian Makrifat
Makrifat kepada Allah mengandung makna mengenal Allah.
Seorang hamba yang telah mengenal Allah akan merasakan kehadiran
Allah setiap gerak langkah kaki, tangan, kedipan mata, pendengaran, serta
akal dan pikirannya. Dia akan merasakan betapa lemahnya di hadapan
Sang Khalik Yang Maha Sempurna dan yang memiliki sifat Rahman-
Rahim
Makrifat kepada Allah adalah tujuan yang dijangkau oleh seorang
hamba, dan cita-cita yang diharapkan. Apabila seorang hamba menghadap
Allah karena telah dibukakan baginya pintu ma’rifat, maka ia akan
mendapatkan ketenangan dalam ma’rifat itu’ karena didalamnya akan
dijumpai kenikmatan rohani yang berlimpah-limpah dan selalu ada hasrat
ingin melakukan amal ibadah karena keutamaan yang diberikan Allah
kepadanya.
Seorang yang ma’rifat kepada Allah memiliki tiga tahap yang
harus dilakukan dari waktu ke waktu dalam menyempurnakan iman dan
ibadahnya kepada Allah yaitu :
a. Kedudukan ma’rifat tidak boleh bertentangan dengan akidah dan
syariat, yang bersumber kepada Al quran dan sunah Rasulullah
SWA.
b. Hamba yang berma’rifat kepada Allah tidak berati dia mengurangi
ibadah dan amalnya, justru makin tinggi ma’rifat seorang hamba
maka makin banyak dan semakin sempurna amal ibadahnya.
c. Ma’rifat kepada Allah hendaklah berdasarkan amal saleh dan iman.
Sebab yang dituju seorang yang ma’rifat hanya ridha Allah SWT
sebagai anugrah yang sangat berharga
2. Cara Bermakrifat kepada Allah SWT
Untuk bermakrifat kepada Allah swt. mempunyai dua cara, yaitu:

30
a. Memikirkan dan memperhatikan segala sesuatu yang diciptakan
oleh Allah.
Diantara tujuan paling mulia yang dikehendaki Islam dari
upayanya membangkitkan akal dan memfungsikannya untuk
merenung dan memikirkan sesuatu adalah memberi petunjuk
kepada manusia agar memahami dan kemudian membimbingnya
dengan lembut kepada hakikat yang besar yakni mengenal Allah
SWT. Sesungguhnya ma’rifatullah itu hanyalah hasil kerja akal
pikiran yang cerdas dan memperoleh ilham, dan buah pemikiran
yang mendalam dan cemerlang.
Menggunakan akal fikiran untuk berma'rifat kepada Allah
SWT begitu banyak disinggung dalam Al-Quran. Beberapa contoh
ayat yang menjelaskan hal ini:

ِ ْ‫ت َواأْل َر‬


….‫ض‬ ِ ‫قُ ِل ا ْنظُرُوا َما َذا فِي ال َّس َما َوا‬
Katakanlah: Periksalah olehmu semua apa-apa yang ada di langit
dan bumi...(Q.S. Yunus: 101)
َ‫ون‬eeee‫ض‬
ُ ‫ْر‬ ِ ْ‫ت َواأْل َر‬
ِ ‫ا ُمع‬eeeeَ‫ا َوهُ ْم َع ْنه‬eeeeَ‫رُّ ونَ َعلَ ْيه‬eeee‫ض يَ ُم‬ َّ ‫ ٍة فِي‬eeeeَ‫أَي ِّْن ِم ْن آَي‬eeee‫َو َك‬
ِ ‫ َما َوا‬eeee‫الس‬
"Alangkah Banyaknya ayat (tanda kekuasaan Allah) di langit dan
bumi yang mereka lalui, tetapi mereka itu semua
membelakanginya saja (tidak memperhatikannya)." (Q.S. Yusuf:
105).
b. Mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
Sarana lain yang dipergunakan Islam untuk mengenalkan
manusia kepada Allah dengan menjelaskan nama-nama Allah yang
baik (al-Asma’ al-Husna) dan sifat-sifat-Nya yang luhur.
Jumhur ulama bersepakat bahwa nama-nama Allah yang baik
(Asmaul Husna) itu ada 99 nama. Hal ini berlandaskan pada hadis
riwayat Bukhari, muslim dan Tirmidzi yang menjelaskan hadis dari
Abu Hurairah Rasulullah saw bersabda yang artinya: 
“Allah itu mempunyai sembilan puluh sembilan nama.
Barangsiapa yang menghafalnya (mengingatnya dan

31
menghadirkan dalam kalbu), ia masuk surga. Sesungguhnya Allah
itu Maha Ganjil dan cinta kepada hal yang ganjil".
3. Sifat-sifat Allah SWT
Sifat-sifat yang dimiliki Allah yang diantaranya disebut
sifat salsabiyah dan di antaranya ada yang disebut sifat tsubutiyah.
Sifat salsabiyah adalah sifat yang meniadakan  segala sesuatu yang
tidak layak bagi kesempurnaan Allah.
Sifat salsabiyah tersebut adalah Al-Awwal dan Al-Akhir. Allah
adalah dzat yang maha dahulu, artinya bahwa tiada permulaan bagi
wujud-Nya dan bahwa wujud Allah tanpa didahului dengan tahap tiada.
Allah adalah dzat yang Maha Akhir. Artinya bahwa Allah itu dzatnya
tiada akhir, kekal tanpa batas, dan tanpa berkesudahan. Dia itu Azali
(Maha dahulu) dan abadi, tidak didahului oleh siapapun.23
“Dialah yang Awwal dan yang Akhir, yang Dhahir dan yang Bathin
dan Dia mengetahui segala sesuatu.”(Al-Hadiid : 3)
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”(Al-Qashash :88)
Adapun sifat Allah berikutnya adalah sifat-sifat yang tsubutiyah.
Allah itu Maha Kuasa, tidak lemah sedikitpun untuk mengerjakan
sesuatu. Allah itu Maha Berkehendak (Iradah), yakni Allah menentukan
sesuatu yang mungkin ada dengan sebagian apa yang pantas berlaku
untuknya. Allah bebas berkehendak menjadikannya tinggi atau pendek,
baik atau buruk, berilmu atau bodoh, dll. Allah itu Maha Mengetahui
(Ilmu), yakni mengetahui segala sesuatu, dan ilmu-Nya meliputi segala
sesuatu yang ada, baik yang terjadi di masa lampau atau yang sedang
terjadi atau yang akan terjadi. Allah itu Dzat yang Maha Hidup (Hayat).
Andaikata Dia tidak hidup maka sifat-sifat tersebut tidak akan ada
pada-Nya. Allah itu Maha Berbicara (Kalam), yakni tidak dengan huruf
dan tidak pula dengan suara. Allah telah menetapkan sifat ini kepada
diri-Nya sendiri. Allah itu Maha Mendengar, yakni dapat mendengar
segala sesuatu sehingga Dia benar-benar, dapat mendengar langkah-
langkah semut hitam yang berjalan di atas batu licin diwaktu malam

23
Mustafa, Ahmad.. Akhlak Tasawuf. (Bandung: Pustaka Setia 2008) hal. 90

32
yang gelap gulita. Sebagaimana Dia mampu mendegar segala sesuatu,
Dia-pun Maha Melihat, yakni melihat segala sesuatu dengan
penglihatan menyeluruh mencakup segala yang ada. Penglihatan Allah
tidaklah menggunakan mata seperti cara melihat makhluknya.24
Adapun sifat-sifat af’al (perbuatan) adalah seperti mencipta dan
memberi rezeki. Sesungguhnya kita wajib berjalan mengikuti petunjuk
sifat-sifat Allah itu, menggunakannya sebagai cahaya penerang jalan,
menjadikan sebagai contoh tauladan teritinggi, dan mencapai puncak
ketinggian jiwa dan peningkatan ruhani yang sempurna.
Allah“Rabbul-‘Alamin” merupakan teladan tertinggi yang wajib
diteladani oleh orang beriman, Allah “Maha Pemurah” mengaruniakan
nikmat pada makhluk-makhluk-Nya, dan menampakkan cinta-Nya
kepada mereka, sekalipun mereka tidak mengerjakan suatu amal yang
menyebabkan mereka berhak menerima hal itu. Allah “Maha
Pengasih” memberikan balasan kepada manusia atas amal perbuatanya.
Allah “Yang menguasai hari pembalasan” menghitung amal perbuatan
manusia, lalu memberikan balasan kepada orang yang berbuat buruk
dengan balasan setimpal, bukan karena senang menyiksa, melainkan
dengan semangat toleransi (bersedia memberi maaf). Sebagaimana
seorang pemimpin yang penyayang wajib bersikap seperti itu terhadap
yang dipimpinnya.25. Apa saja pelajaran yang dapat diambil dari sifat-
sifat ini juga berlaku untuk sifat-sifat yang lain. Dari sifat Allah ini
dapat diambil pelajaran untuk dijadikan tauladan. Demikian pula halnya
dari sifat yang lain
B.

24
Hilal, Ibrahim.. Tasawuf Antara Agama dan Filsafat. (Bandung: Pustaka Hidayah 2002) hal. 102
25
Ibid hal. 103

33
C. SARAN
Dalam pembuatan makalah, kami sebagai pemateri sangat
membutuhkan saran dari dosen pembimbing yang sekiranya dapat
membantu pemateri dalam penulisan makalah, jika dalam penulisan
makalah terdapat kesalahan dan kekurangan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata. 2010. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tar-bawiy),


Cet, IV, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, Raudlat al-
Thalibin wa ‘Umdat al-Salikin, Dalam Majmu’at Rasail alImam Al-
Ghazali, Kitab ini selanjutnya akan disebut al-Ghazali, Dar al-Kitab al-
Ilmiyah, Beirut. 1986.
Al-Ghazali, Ihyā’ Ulūmuddīn, Juz IV, Dār al-Fikr, Beirut. 1971.
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf Antara Agama dan Filsafat. Bandung: Pustaka
Hidayah
Hussein Bahreis. 1981. Ajaran-ajaran Akhlak Al-Ghazali. Surabaya: Al-Ikhlas.
IAIN Sumatera Utara. 1983. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara
Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi, Jld. II, Dar al-Kitab, Beirut. 1997
Mustafa, Ahmad. 2008. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Rabi’ah al-Adawiyah. 1999. Mahabbah (Cinta). Terj. Asfari MS & Otto Sukatn
CR, Cet,V. Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya
Sehat Ihsan Shadiqin. 2004.Dialog Tasawuf Dan Psikologi Studi Komparatif
Modern Hamka Dan Spritual Quotient Danah Zohar. Program Pasca
Sarjana IAIN AR-Raniry. Banda Aceh
Syekh Abdul Qadir al-Jailani. 2004. Rahasia Sufi. Cet, VIII. Yogyakarta: Pustaka
Sufi
Syekh Ahmad bin Muhammad Ataillah. 2010. Mutu Manikam dari Kitab Al
Hikam. Surabaya: Tim CM Grafika
Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba. 1975. Ilmu Tharikat dan Hakikat. Banda Aceh.
Usman Isa Syahin, Nadzriyyah al-Ma’rifat inda al-Ghazali, Tulisan dalam
menyambut haflah dzikra mi’awiyah al-Ghazali.
Zainal Abidin Ahmad. 1975. Riwayat Hidup Imam al-Ghazali. Jakarta: Bulan
Bintang, .

35

Anda mungkin juga menyukai