Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Pemberontakan Petani Banten 1888

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

2.

1 Pemberontakan Petani Banten 1888

2.1.1 Latar Belakang Pemberontakan Petani Banten 1888


2.1.2 Proses Terjadinya Pemberontakan Petani Banten 1888
2.1.3 Akhir Pemberontakan Petani Banten 1888
2.1.4 Dampak Pemberontakan Petani Banten 1888
Pemberontakan telah memaksa pemerintah kolonial meninjau kembali
pembaruan-pembaruan kebijakan yang telah diadakan. Diantara kebijakan yang
dirubah tersebut antara lain:
a. Pengaturan-pengaturan administratif.
Pengaturan yang paling mendesak adalah mengenai pengangkatanseorang
asisten residen di afdeling Anyer untuk mengisi lowongan yang disebabkan oleh
kematian Gubbels. Menurut van Vleuten, orang yang paling cocok untuk jabatan
itu adalah van Hasselt, yang saat itu masih menjabat sebagai asisten residen di
Sumedang. Van Hasselt pernah bertugas di Banten sebagai asisten residen Caringin
selama kuranglebih tujuh tahun, dan telah berpengalaman dalam hal bekerja sama
dengan pejabat-pejabat Banten, baik tinggi maupun rendah. Ia kelihatannya akan
mampu untuk memulihkan hubungan baik antara pejabat-pejabat eropa dan pribumi
di Caringin.
Langkah berikutnya adalah membebaskan Raden Penna dari tugasnya.
Kedudukannya sebagai Patih Afdeling Anyer tidak dapat dipertahankan lagi setelah
adanya peristiwa pemberontakan itu, dan dengan cara apapun ia harus dipindahkan
dari sana.Seperti halnya bupati Serang R.A.P. Gondokusumo yang juga dianggap
bertanggung jawab atas pecahnya pemberontakan itu. Tidak lama setelah
pemberontakan, terdengar desas-desus ia mengundurkan diri.
2. Penempatan Detasemen-detasemen tentara.
Hasrat melakukan pembalasan yang berkobar, seringkali dilampiaskan
terhadap haji yang pertama ditemui oleh Belanda. Oleh karena sudah tidak merasa
aman lagi, sementara orang Belanda mempersenjatai diri dan yang lainnya banyak
yang pindah ke kota.
Tidaklah mengherankan bahwa di dalam suasana seperti kekuatan militer
dianggap penting. Pada akhir tahun masih terdapat detasemen-detasemen tentara di
tempat-tempat dimana telah dikerahkan kontingen-kontingen pemberontak dalam
jumlah yang besar selama pemberontakan, seperti Cilegon, Bojonegoro, dan
Balagendung. Detasemen-detasemen itu masing-masing berkekuatan 17 orang dan
hanya akan ditarik setelah hukuman yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung
terhadap kaum pemberontak dilaksanakan.
3. Masalah Kedudukan Kepala Desa.
Masalah yang dihadapi adalah bagaimana mengkonsolidasi kedudukan
kepala desa, yang ditempat-tempat lainnya di Pulau Jawa merupakan “palladium”,
ketentraman dan ketertiban. Oleh karena itu langkah-langkah harus diambil untuk
memperkuat kedudukan kepala desa dan membuatnya lebih menarik.
Sering kali terjadi, ada kepala desa yang minta berhenti sementara banyak
kepala Desa lainnya dengan tidak sabar lagi menantikan saatnya mereka dibebaskan
dari jabatan mereka. Semua itu disebabkan karena beban dan resiko yang melekat
pada jabatan mereka tidak mendapat imbalan secukupnya.
Ia menyarankan agar kepala desa diberi imbalan dalam bentuk pembebasan
dari sewa tanah sampai sejumlah 25 Gulden, anggota-anggota pamong lainnya agar
dibebaskan dari sewa tanah sampai sejumlah 15 Gulden. Oleh karena ada
kerabatan-kerabatan terhadap usul residen itu, Direktur departemen dalam Negeri
menganjurkan agar kepala desa dan anggota-anggota pamong desa lainnya diberi
tanah jabatan.
4. Masalah Pajak.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk membuat satu system perpajakan
yang dapat dilaksanakan dan, terutama setelah pemberontakan, perhatian pihak
berwajib ditujukan terhadap persoalan itu. Seperti telah disebutkan diatas,
Komisaris pemerintah di dalam laporannya menganggap pemungutan sewa tanah
secara komunal sebagai salah satu sumber ketidak puasan dikalangan penduduk.
Dan mengusulkan agar orang kembali kepada pemungutan secara perseorangan.
Akan tetapi residen Banten berpendapat bahwa pemerintah tak mungkin kembali
kepada system pemungutan sewa tanah secara perseorangan tahun itu dan kiaranya
tidak menguntungkan untuk mengambil langkah itu dalam masa depan yang dekat.
Ia berpendapat bahwa untuk sementara waktu akan cukup kiranya untuk
meluruskan pemungutan sewa tanah itu, terutama di afdeling-afdeling Anyer dan
Serang, dimana sering kali dicatat adanya ketidak puasan dikalangan pembayar
pajak.
Komite-komite itu juga harus memastikan apakah penduduk diperlakukan
secara adil oleh pamong desa pada saat pembagian beban pajak itu. Dalam waktu
yang bersamaan, hendaknya dikumpulkan data-data mengenai harga padi,
produktivitas lahan, dan dengan sendirinya ukuran yang tepat dari lahan-lahan itu.
Selain ketiga faktor itu, keadaan tanaman lahan yang bersangkutan juga harus
diperhitungkan dalam menetapkan besarnya pajak.
Residen mengemukakan usul-usul balasan sebagai berikut : untuk
mengatasi keberatan-keberatan terhadap pembagian beban pajak menurut system
“repartitie” hendaknya dilakukan pengukuran dan pembuatan gambar peta
mengenai lahan-lahan yang juga menunjukan batas-batas setiap lahan, sementara
taksiran mengenai beban pajak yang harus dipikul oleh setiap lahan oleh
pemerintahan pusat.
5. Masalah Pencacaran Kembali
Oleh karena telah disuarakan keluhan-keluhan mengenai pencacaran
kembali, kita juga harus mencurahkan perhatian kepada langkah-langkah untuk
perbaikan kesehatan rakyat tanpa menimbulkan ketakutan dengan jalan mengatasi
prasangka-prasangka mereka.
Umum mengetahui bahwa rakyat Banten sangat lambat mengerti bahwa
vaksinasi merupakan suatu keharusan untuk memerangi penyakit dan memajukan
kesejahteraan rakyat. Seperti diketahui, protes-protes yang menentang vaksinasi
terhadap wanita dan gadis melibatkan manifestasi rakyat yang sangat keras. Oleh
karena ada tentangan dari penduduk maka pencacaran dilakukan disaksikan oleh
pejabat pamong praja yang pengaruhnya diperlukan agar kampanye itu bisa efektif.
Menurut laporan Kepala Dinas Kesehatan umum, dalam tahun 1889 pencacaran
dapat dilaksanakan di Banten tanpa campur tangan atau keluhan dari rakyat.
6. Masalah-masalah urusan Agama.
Setelah terjadinya peristiwa berdarah di Cilegon, orang dicekam oleh
perasaan ngeri dan kampanye yang menghendaki agar kaum pemberontak ditumpas
tanpa ampun menapat sambutan hangat dan dukungan yang luas di sebagian besar
masyarakat Belanda, kampanye itu menuntut agar orang dilarang mengenakan
pakaian haji, agar peserta-peserta dalam pemberontakan dihukum keras dan agar
guru-guru agama diawasi secara ketat.
Akan tetapi sebagai tanggapan atas rekomendasi yang lantang itu,
pemerintah pusat menolak setiap tindakan yang melibatkan pengejaran terhadap
kaum haji hanya karena mereka melakukan kewajiban-kewajiban agama mereka.
Sesudah Snouck Hurgronje bertindak sebagai penasihat, pemerintah mulai dengan
tindakan pembaruan dalam urusan agama, dan dijadikan pegangan adalah
pandangan Snouck hurgronje.
Kemudian asisten residen anyar mengeluarkan larangan untuk mengadakan
arak-arakan dan hiburan musik dalam pesta-pesta dan peneyelenggaraan dzikir
tidak boleh mengganggu lingkungan. Van Vleuten berpendapat bahwa sekolah-
sekolah agama telah menimbulkan keresahan. Kemudian diadakan pembatasan-
pembatasan terhadap praktek-praktek yang mereka anggap tidak baik dan
merendahkan yang dikaitkan dengan pendidikan agama. Dianjurkan agar tidak saja
guru-guru agama diklasifikasikan dalam berbagai kategori, melainkan juga agar
diadakan ujian untuk menentukan apakah seseorang memenuhi syarat untuk
bertindak sebagai guru agama.
Holle, penasehat kehormatan mengenai urusan pribumi mengemukakan
pandangannya mengenai apa yang harus dilakukan dalam rangka apa yang ia
namakan “kebijakan jalan tengah”. Menurut pendapatnya, tindakan –tindakan keras
yang diambil di Banten telah menimbulkan dendam kesumat di kalangan penduduk.
Cara yang paling aman adalah mengambil langkah-langkah preventif dan
memebrikan reaksi terhadap inovasi-inovasi tanpa ribut-ribut. Pemerintah
hendaknya jangan melakukan sesuatau yang menimbulkan kesan paksaan atau
pengejaran.
Setelah peristiwa pemberontakan di Cilegon pemerintah memutuskan untuk
mengangkat sebagai penasehat mengenai soal-soal Arab dan Pribumi dan untuk
menantikan kedatangannya sebelum diambil langkah-langkah yang menentukan di
bidang agama. Snouck Hurgronje menganggap tidak ada gunanya untuk membuang
sekian banyaknya orang yang dicurigai sebagai pemberontak, yang tidak dapat
dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena tidak ada bukti. Ia memperingatkan
residen jangan bertindak keras tanpa alasan yang cukup dan menyerukan agar
jumlah orang-orang yang dibuang dikurangi sampai sekecil mungkin.
Menurut Snouck Hurgronje, pemerintah dapat menggunakan cara-cara lain
untuk memberantas keburukan fanatisme, dan setiap tindakan harus diambil secara
bijaksana dan tanpa menggunakan kekerasan sehingga tidak akan menimbulkan
kecurigaan di kaum Muslim bahwa pemerintah Belanda memusuhi Islam dan
berusaha menghina penganut-penganutnya.
Menurut Snouck Hurgronje, perintah utama yang terkandung dalam prinsip
untuk bersikap netral tehadap agama adalah bahwa praktek-praktek keagamaan
yang beraneka ragam itu harus dibiarkan, akan tetapi penyalahgunaan agama untuk
tujuan-tujuan politik tidak boleh dibiarkan. Menurut pendapatnya, pemerintah
harus mengambil lebih banyak tindakan administratif untuk memperbaiki
administrasi soal-soal keagamaan.
Snouck Hurgronje beranggapan bahwa pemerintah harus hati-hati sekali
dalam mengangkat penghulu, orang macam bagaimana yang memegang jabatan itu
merupakan soal yang akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang sangat besar
di masa dekat mendatang apabila para penghulu itu diberi tugas untuk mengawasi
pendidikan agama.
Kondisi administrasi
Snouck Hurgronje menyadari bahwa kondisi –kondisi yang buruk,
penyelewengan-penyelewengan administratif serta admininstrasi yang tidak efektif
merupakan lingkaran setan. Menurut pendapatnya kesalahan utama terletak pada
kecenderungan untuk membiarkan pejabat-pejabat Eropa menyelenggarakan
sendiri seluruh administrasi menurut ide-ide mereka. Pejabat pribumi tidak dapat
berbuat lain kecuali melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka dari
atas dan mengambil sikap menurut istilah mereka sendiri “turut angin”.
Snouck Hurgronje berpendapat bahwa keterbatasan cakrawala intelektual
mereka itu untuk sebagian besar disebabkan oleh kenyataan bahwa pemerintah
telah sangat mengabaikan pendidikan modern bagi priyayi Banten. Dalam
hubungan ini, pengiriman anak-anak priyayi Banten ke sekolah Menak di Bandung
yang dinamakan “hoofdenschool”, sekolah tempat anak-anak priyayi dididik untuk
menjadi pamong praja dapat dianggap sebagai satu langkah yang penting untuk
mengisi kekosongan pendidikan modern itu. Namun demikian, baru dalam tahun
1910 sekolah tersebut dibuka di Serang.
Dikarenakan terjadi persengketaan intern diantara anggota-anggota priyayi
Banten, yang tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang melawan hukum atau
tidak terhormat dalam perlombaan yang memperebutkan jabatan-jabatan
adminstratif di daerah itu. Oleh sebab itu, maka sikap membudak, favoritisme,
kecurigaan, dan intrik tumbuh subur, dan ketiadaan kerjasama dikalangan pejabat
pribumi menimbulkan hambatan sehingga adminstrasi tidak dapat bekerja
sebagaimana mestinya.
Kemudian usaha-usaha dilakukan tidak hanya untuk mengurangi hal-hal
yang tidak menyenangkan penduduk, akan tetapi juga memperbaiki taraf hidup di
daerah itu. Satu diantara usaha-usaha itu adalah membangun atau memperbaiki
jembatan-jembatan dan jalan-jalan yang diperlukan mutlak untuk pengangkutan.
Yang paling dipikirkannya rupanya adalah soal memulihkan ketentraman
dan ketertiban, perbaikan kehidupan rakyat di bidang materi baginya merupakan
soal kedua. Namun demikian, sulit untuk memperkirakan perbaikan-perbaikan apa
saja yang terjadi sesudah itu dalam taraf penduduk Banten.
Dampaknya bagi rakyat adalah timbulnya trauma yang mendalam sebagai
akibat dibakarnya desa-desa secara dramatis benar-benar telah menyebabkan
merosotnya moril penduduk setempat. Selama berlangsungnya penumpasan
pemberontakan, rakyat tetap bersikap pasif, meskipun mereka masih menunjukkan
sikap baik yang hati-hati terhadap kaum pemberontak.
DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo, S. 1966. The Peasants’ Revolt of Banten in 1988: Its Conditions,


Course and Sequel – A Case Study of Social Movements in Indonesia. The
Hague: Martinus Nijhoff. Terjemahan oleh Basari, H. 2015. Pemberontakan
Petani Banten 1888. Cetakan Pertama. Depok: Komunitas Bambu.

Anda mungkin juga menyukai