Instruction manuals">
Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Analisis Konflik Petani Banten Dengan Pemerintah Kolonial Sebagai Pembelajaran Pertanian Di Indonesia

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS KONFLIK PETANI BANTEN DENGAN PEMERINTAH KOLONIAL SEBAGAI PEMBELAJARAN PERTANIAN DI INDONESIA

Oleh: Muhammad Fahrur Safii 12417144014

ABSTRAK Pemberontakan petani banten pada tahun 1888, terjadi di distrik Anyer di ujung barat laut pulau jawa, peristiwa tersebut berkobar dalam kurun waktu yang singkat, antara 9 juli sampai dengan tanggal 30 juli. Pemberontakan ini terjadi karena para petani dengan keadaannya sudah sangat menderita karena dampak letusan gunung Krakatau yang mengkibatkan ladangnya rusak, namun pemerintah kolonial masih menerapkan pajak yang tinggi bagi para petani, juga para pejabatpejabat dari kesultanan yang mempunyai kepentingan di dalamnya. Hal inilah yang nanti sebagai pembelajaran bagi pembangunan pertanian agar tidak terjadi pemberontakan antara petani dengan pemerintah, juga sebagai pendorong kemajuan untuk kesejahteraan para petani Indonesia sebagai mayoritas penduduk di Negara ini. KEYWORD: PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN, PEMBANGUNAN PERTANIAN INDONESIA PENDAHULUAN Pertanian di Indonesia boleh dikatakan sedikit maju sejak dari zaman colonial, sudah memakai mesin dalam pengolahannya, sudah jarang ditemukan petani yang masih menggunakan kerbau dalam membajak sawah. Namun, kesejahteraan petani sekarang dengan zaman colonial masih bisa dikatakan sama, karena hasil pertanian masih tergolong murah dan dari segi bahan baku untuk bertani masih mahal. Mulai dari bibit unggul, pupuk, tidak stabilnya cuaca, dan masuknya sembako dari luar negeri. Sebagai cerminan pemberontakan petani banten, yang memberontak karena pada saat itu gunung api Krakatau meletus dan menyebabkan ladang ladang pertanian rusak.1 Namun pemerintah colonial menerapkan system sewa tanah yang berakibat lebih menyengsarkan para petani.2 Bagaimana petani apa bila terus menerus tidak diperhatikan? Bukan tidak mungkin sekarang ini bahwa petani tidak akan memberontak, karena masih sama, petani adalah mayoritas penduduk di Indonesia, apabila mereka bergerak secara kolektif, maka akan berkobarlah pemberontakan terhadap pemerintah yang masih memandang remeh para petani dari dulu sampai sekarang.
1

Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984) hlm. 93 Ibid, hlm. 88.

KONFLIK Kata konflik berasal dari kata confligere, conflictum yang berarti saling berbenturan. Arti kata ini menunjuk pada semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang antagonis.3 Secara definitif konflik memiliki pengertian yang berbeda-beda, demikian juga para ahli dalam memberikan definisi konflik tidak ada yang sama, karena sudut pandang mereka yang berbeda. Konflik terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Adanya konflik tidak selalu menjadi hal yang negative, konflik juga bisa menjadi perekat emosi antar satu sama lain karena didalamnya diciptakan musuh bersama, yaitu di dalam satu kelompok mengakui bahwa tujuan mereka sama, maka kelompok tersebut bersatu.

LATAR BELAKANG KONFLIK PETANI BANTEN Di Banten pada saat itu masih ada system feodal, yaitu masih ada kesultanan yang berdiri sejak 1520 oleh pendatang-pendatang dari kerajaan Demak di Jawa Tengah. Sultan atau anggota keluarganya yang membuka tanah menjadikannya sebagai sawah Negara, yang dimana pada saat penggarapannya dibagi menjadi dua kategori: petani-petani mahardika, yakni orang-orang yang diberi status sebagai merdeka oleh karena mereka telah menyatakan tunduk kepada kaum penakluk dan memeluk agama islam, dan kaum abdi yang ditaklukan dengan kekerasan dan dijadikan budak. Bagi sultan, memiliki tanah saja tidak cukup. Tanah tidak menghasilkan kecuali digarap, maka sultan membagikan kepada para petani dengan syarat bahwa mereka menggarap dan membayar upeti kepada sultan sebesar sepersepuluh dari hasilnya.4 Namun dalam kenyataan, tidak hanya dikenakan upeti, namun para petani masih dibebani oleh kewajiban melakukan kerja bakti untuk sultan, dan terlebih satu kenyataan bahwa pemungutan pajak merupakan salah satu hal yang paling utama dalam birokrasi sultan. Khususnya pajak-pajak atas tanah dan atas tenaga kerja jelas merupakan sumber sumber pendapatan kesultanan yang utama. Dalam tahun 1808 Deandels menghapuskan tanah-tanah milik sultan serta wajib kerja bakti yang melekat pada tanah tanah itu, lalu memungut seperlima bagian dari hasil panen sebagai pajak tanah untuk seluruh daerah dataran rendah di Banten. Beberapa tahun kemudian Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu satunya pajak tanah. Pemegang pemegang hak katas tanah menerima ganti rugi atas kehilangan pendapatan dari upeti dan kerja bakti. Akan tetapi ketentuan ketentuan itu telah membuka kesempatan bagi perbuatan sewenang wenang yang serius. Dalam perjalanan waktu, hak ha katas tanah menjadi sumber korupsi dan penyelewengan di kalangan pamongpraja. Jelaslah bahwa sultan dan kerabat kerabatnya paling beruntung di bawah system
3 4

Kartono, K. 1980. Teori Kepribadian. Bandung: Alumni. Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). hlm. 58 dan

58

lama, dan menghendaki kembalinya kebiasaan kebiasaan tradisional, dan oleh sebab itu mereka mempertahankan hak hak mereka meski telah mendapat ganti rugi. Selain itu orang orang yang telah dianugerahi tanah oleh sultan, dengan gigih menentang system baru, oleh karena hal itu juga menyebabkan mereka kehilangan banyak pengaruh politik. Oleh sebab itu, ketentuanketentuan tersebut telah menimbulkan banyak rasa tidak puas dan itulah yang dianggap sebagai sumber kerusuhan di Banten sampai tahun 1830. Sejak semula, pemerintah telah dihalanghalangi untuk memperoleh informasi yang sebenarnya mengenai keadaan tanah tanah kesultanan, sehingga orang orang yang telah dianugerahi tanah itu dapat terus mengutip upetiupeti yang tradisional. Dengan demikian, maka rakyat berfikir bahwa pengutipan ganda adalah suatu yang sah, lalu timbul situasi dimana kesalahan dilimpahkan kepada pemerintah belanda. Pada tahun 1882, dalam rangka penghapusan kewajiban berbagai kerja bakti secara berangsur angsur, sebuah peraturan telah dikeluarkan untuk menghapuskan kerja bakti dan menggantikannya dengan pajak kepala. Menurut peraturan itu, yang wajib membayar pajak itu hanyalah mereka yang diharuskan kerja bakti. Sebagai pelaksana peraturan itu Residen Spaan dari banten memerintahkan agar semua laki-laki sehat yang berusia antara 15-50 tahun untuk dikenakan pajak itu. Hal ini menyebabkan para kepala rumah tangga harus memikul beban yang terlalu berat, oleh karena mereka harus membayar pajak kepala bagi semua anggota laki laki yang masuk dalam peraturan tersebut. Persoalan pajak inilah yang merupakan salah satu factorfaktor yang menimbulkan rasa tidak puas di kalangan rakyat. Suatu wabah penyakit ternak terjadi pada tahun 1879, telah menurunkan jumlah seluruh tenak menjadi sepertiga, sehingga terasa sekali kekurangan akan kerbau dan banyak sekali sawah terpaksa ditelantarkan. Tahun berikutnya muncul wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen penduduk meninggal dunia. Karena terdapat kekurangan tenaga kerja, banyak sawah yang tidak dapat digarap dan malahan ada panen yang tidak dapat dipetik. Akibatnya, satu musim kelaparan gawat tak dapat dielakan lagi. Rakyat belum sempat bangun kembali dari semua penderitaan itu, ketika letusan dasyat Gunung Krakatau dalam tahun 1883 menyebarkan kehancuran hebat didaerah itu. Lebih dari 20.000 orang tewas, banyak desa yang makmur hancur dan sawah sawah yang subur berubah menjadi tanah yang gersang. Lain lagi dari factor fisik, pada akhir abad 19 di Banten merupakan suatu periode kebangkitan kembali di bidang agama, terutama meningkatnya jumlah orang naik haji, pertumbuhan pesat pesantren dan tarekat-tarekat sufi, dan beredarnya secaara luas ramalan ramalan eskatologis. Sebab sebab timbulnya gerakan kebangunan itu untuk sebagian bersifat agama yang lahir dari keprihatinan terhadap kemrosotan iman di kalangan rakyat, dan untuk sebagian bersifat politik yang lahir dari kekhawatiran dan kebencian terhadap ancaman pengaruh pengaruh barat yang terus mendesak. Sebagai akibatnya, maka gerakan kebangunan itu semakin menjadi gerakan anti barat. Pemberontakan pun dimulai, dipimpin oleh Haji Wasid, Haji Tubagus Ismail dan pemimpin pemberontakan terkemuka lainnya. Serangan dilakukan tidak hanya dilakukan kepada

pemerintah colonial, namun semua yang bekerja atau ada sangkut pautnya dengan yang mejadikan rakyat sengsara. Pemberontakan pertama dilakukan pukul 2 dini hari tanggal 9 juli 1988, dengan menyerang rumah Dumas, seorang juru tulis kantor asisten residen. Sementara peristiwa itu berlangsung di bagian tenggara cilegon, sepasukan pemberontak diperintahkan untuk menuju kepatihan. Patih sudah jelas menjadi sasaran bagi kaum pemberontak, karena sikapnya yang sinis terhadap soal soal agama dan mengenai kebijakan yang keras dalam memberlakukan peraturan pemerintah. Pemusatan pemberontakan adalah untuk menyerang asisten Residen Gubels, maka para pemberontak pun memburunya di kediamannya, namun pada saat itu dia tidak berada di tempat sedang dalam perjalanan menemani Residen dalam inspeksi di afdeling anyer. Meski tidak ada semua yang ada di kediaman Gubbels dibunuh, termasuk istri, anak dan para pembantunya. Sebenarnya ada informasi yang sudah sampai pada Gubbels, namun tidak diindahkan karena informasi hanya mengenai perampokan rumah Dumas. Namun beberapa saat kemudian Gubbels mengambil keputusan untuk kembali tanpa menyadari akan bahaya. Saat perjalanan pulang Gubbels bertemu dengan kokinya, kromo. Kromo menasehatinya untuk tidak meneruskan perjalanan karena ada pemberontakan dan anak istrinya sudah terbunuh, namun Gubbels tetap meneruskan dan lebih memilih mati kalau anak istrinya sudah terbunuh. Di dekat Kalentemu ia berjumpa dengan sekelompok pemberontak yang menutup jalan, kusir dokarnya bukannya berhenti namun mencoba menerobos barisan pemberontak. Pada saat itu mulanya pemberontak minggir, namun terus melompat dan menyerang dokar dan Gubbels, salah satu kuda ditusuk perutnya dan Gubbels mendapat tusukan di dada.

PETANI DI INDONESIA Mayoritas dari penduduk Indonesia adalah berprofesi di bidang pertanian, atau pada bidang agrarian. Meski zaman sudah berbeda dengan zaman massa colonial, namun bila ditilik lagi, kehidupan petani tidak jauh beda dengan massa lampau. Dengan peralatan pertanian yang mungkin lebih maju dan munculnya bibit bibit unggul atau ilmu pengetahuan untuk memajukan pertanian di Indonesia. Akan tetapi petani selalu menjadi kaum kelas bawah yang kurang menjadi perhatian pemerintah, mendapat limpahan kebijakan yang kebanyakan tidak memihak kepada kaum kecil, seperti petani Indonesia ini. Harga pupuk tidak setabil dan harga harga dari apa yang diproduksi oleh petani tiap kali dipermainkan oleh tengkulak. Dimana posisi petani kembali menjadi kelas bawah yang tidak bisa apa apa. Juga kondisi harga sembako di dalam negeri, yang kadang naik turun. Saat turun petani merasakan penderitaannya karena harga beras yang ia jual nantinya akan murah, namun saat naik para petani banyak yang gagal panen dan untuk membeli di pasar tidak mampu. Apalagi saat pemerintah mengimpor beras dari luar negeri, sungguh kemunduran bagi pertanian Indonesia dimana sebagian besar adalah petani namun masih saja mengimpor seperti contoh beras.

Pendidikan petani memanglah tidak tinggi, namun apabila kita tilik dari kasus konflik pemberontakan petani banten dengan keadaan pertaniaan Indonesia saat ini sangatlah mungkin terulang lagi pemberontakan yang nanti bisa ditunggangi oleh individu atau kelompok yang mempunya kepentingan, apabila petani masih kurang diperhatikan. Semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, yang dirasakan oleh petani pasti akan menjadi ingatan dan pasti sekarang ini tidak ada seorang petani yang ingin anaknya menjadi petani, seperti orang tuanya. Mereka selalu berharap dan berudaha agar anak mereka menjadi seorang PNS, saat anak mereka besar dan mencoba mendaftarkan anaknya menjadi pegawai negeri, terbentur oleh biaya pelicin yang mereka tak sanggup membayarnya. dan petani pun tak bisa berubah dari statusnya petani menjadi lebih tinggi. Pernah terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh petani tembakau di Jakarta tentang akan adanya RUU yang mau dibahas oleh DPR atau peraturan mengenai tembakau. Bila ditilik tentang kebenarannya siapa dibalik itu, mereka adalah pengusaha rokok besar, bukan dari inisiatif para petani sendiri yang melakukan demonstrasi ke Jakarta. Namun karena sebuah setingan dari pengusaha rokok yang memang mempunya kepentingan di balik itu semua. Para petani tembakau diseluruh daerah dimana pengusaha rokok tersebut membuat kemitraan dengan petani, mengajak dan memberi pengarahan terhadap para petani akan keberangkatannya menuju Jakarta. Petani yang bersedia diri menuju Jakarta, mendapatkan biaya gratis. Namun bagi petani yang memang memiliki lahan cukup luas dan tidak bisa ikut, dikenai biaya untuk uang saku bagi para petani yang berangkat. Di dalam kasus ini, yang di zaman modern, para petani dimobilisasi dan dikerahkan untuk demonstrasi menentang kebijakan, yang padahal dari sebagian mereka belum paham apa yang sebenarnya mereka lakukan.

ANALISIS KONFLIK SEBAGAI PEMBELAJARAN PEMBANGUNAN PERTANIAN Mayoritas dari penduduk Indonesia adalah berprofesi di bidang pertanian, atau pada bidang agrarian. Meski zaman sudah berbeda dengan zaman massa colonial, namun bila ditilik lagi, kehidupan petani tidak jauh beda dengan massa lampau. Dengan peralatan pertanian yang mungkin lebih maju dan munculnya bibit bibit unggul atau ilmu pengetahuan untuk memajukan pertanian di Indonesia. Akan tetapi petani selalu menjadi kaum kelas bawah yang kurang menjadi perhatian pemerintah, mendapat limpahan kebijakan yang kebanyakan tidak memihak kepada kaum kecil. Dan karena pendidikan atau pengetahuannya akan politik, para petani kadang dimobilisasi untuk kepentingan individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan. Perilaku atau budaya seperti inilah yang harus dirubah, bahwa Indonesia sudah tidak menganut system feodalisme dimana yang berkuasa itu adalah raja, yang selalu dimana para rakyatnya melayani. namun sudah berbeda dengan sekarang, bahwa pemerintah itu adalah pelayan bagi rakyat bukan sebaliknya. Budaya seperti inilah yang sampai saat ini masih dipupuk namun harus segera ditumpas sampai akar akarnya.

Petani perlu akan pendidikan, pendidikan mengenai pengolahan lahan secara modern dan lebih efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan bagi mereka. Tidak hanya diberi modal, namun pembelajaran bagaimana caranya menghasilkan bibit unggul tanpa mereka beli dengan harga yang mahal. Namun tidak hanya mengenai pembelajaran tentang mengolah lahan, namun juga harus mencerdaskan para petani tersebut agar tidak mudah diperdaya oleh orang orang yang berkepentingan, dan agar juga petani itu mandiri dengan bekal kecerdasannya sendiri. Segala hal mengenai pertanian dan hasil pertanian harus ada system control yang tegas dan membela petani, mulai dari bahan baku untuk bertani : bibit, pupuk, dan obat-obatan pestisida, sampai hasil pertanian yang dimana harganya tidak dipermainkan oleh tengkulak. Juga dengan kebijakan mengimpor beras bukan sebagai ajang proyek, namun dicermati betul bahwa pertanian Indonesia harus dimaksimalkan agar para petani bisa mengekspor hasil pertaniannya. Apabila semua berjalan sesuai, mayoritas rakyat Indonesia akan sejahtera, dan harga kebutuhan pangan pasti akan lebih murah.

DAFTAR PUSTAKA Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984)
Kartono, K. 1980. Teori Kepribadian. Bandung: Alumni.

Anda mungkin juga menyukai