Makalah Field Trip Hirschsprung
Makalah Field Trip Hirschsprung
Makalah Field Trip Hirschsprung
Oleh : Kelompok V
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa dengan segala izin dan karunia dari Nya,
kelompok dapat mengerjakan dan menyelesaikan tugas makalah laporan hasil field trip
mata kuliah Keperawatan Anak Lanjut 2 tentang “Anak Dengan Hirschsprung Disease
Di Ruang Cendana 4 Rsup Dr. Sardjito”. Kelompok menyadari bahwa kelancaran
dalam penyusunan laporan hasil field trip ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan
bimbingan rekan-rekan, sehingga kendala-kendala yang kelompok hadapi dapat teratasi.
Kelompok juga menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung
dan membantu dalam penyusunan laporan hasil field trip ini.
Kelompok menyadari bahwa penyusunan makalah laporan hasil field trip ini masih
jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan demi
perbaikan yang lebih baik. Semoga laporan hasil field trip ini dapat memberi manfaat
untuk memperkaya pengetahuan, serta dapat digunakan dan diaplikasikan dalam bidang
keperawatan baik secara akedmis, praktis maupun dalam bidang penelitian pengembangan
keperawatan. Akhirnya penyusun kelompok berharap semoga Tuhan memberikan imbalan
yang setimpal pada rekan-rekan yang telah memberikan bantuan demi kelancaran
penyusunan laporan hasil field trip ini.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelainan kongenital merupakan suatu kelainan yang dialami anak sejak lahir dan
dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Jumlah penderita kelainan
kongenital di Asia Tenggara mencapai 5%. Di Indonesia kelaianan kongenital masih
cukup tinggi, seperti penyakit hirschsprung yang merupakan penyakit kelaianan
kongenital yang masih menjadi masalah yang cukup serius (Nurhayati, Mardhiyah, &
Adistie, 2017). Hirschsprung disease atau penyakit hirschsprung merupakan suatu
kelaianan kongenital pada colon yang biasanya ditandai dengan adanya penyempitan
dan aganglionosis colon distal dan rektum (Collins et al., 2017).
Prevalensi yang dilaporkan bahwa hirschsprung disease ini mempengaruhi 1 dari
5000 kelahiran hidup, dengan rasio antara pria dan wanita adalah 1 : 4 (Granéli,
Dahlin, Börjesson, Arnbjörnsson, & Stenström, 2017a) (Collins et al., 2017).
Hirschsprung disease ini juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti, faktor
genetik, lingkungan dan interaksi keduanya (Effendi & Indrasanto, 2006; Kosim, et al.,
2012) cit. (Cahyaningsih, 2013). Faktor genetik dari hirschsprung disease
dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu kelainan mutasi gen tunggal, aberasi
kromosom dan multifaktorial (gabungan genetik dan pengaruh lingkungan). Sedangkan
faktor non-genetik atau lingkungan meliputi penggunaan obat-obatan selama hamil
terutama pada trimester pertama (teratogen), paparan bahan kimia, infeksi dan penyakit
dari ibu yang dapat mempengaruhi janin sehingga menyebabkan terjadinya kelaianan
bentuk serta fungsi pada bayi yang baru lahir (Cahyaningsih, 2013).
Hirschsprung disease merupakan penyebab tersering dari obstruksi usus fungsional
pada anak-anak dan berkontribusi secara signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada prempuan
dan sekitar 80% terjadi pada anak dalam beberapa bulan pertama kehidupan, yang
ditandai dengan buang air besar yang sulit, penurunan nafsu makan, serta distensi
abdomen yang progresif (Mabula et al., 2014a). Anak yang mengalami hirschsprung
disease ini khusunya pada bayi akan mengalami keterlambatan pasase mekonium,
dimana normalnya bayi 94% akan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24 jam
pertama kehidupannya (Suryandari, 2017).
Hirschsprung disease merupakan penyakit yang peling sering menyebabkan
obstruksi kolon pada neonatus, dan sebagian besar penyakit ini tidak dikenali hingga
akhir tahun pertama kehiduapan saat anak mengalami konstipasi kronis. Konsistensi
feses yang keluar berukuran kecil dan berbentuk seperti pita (Schwartz, 2005) cit
(Suryandari, 2017). Beberapa macam manifestasi klinis menurut Hockenberry dan
Wilson (2007), yaitu pada bayi baru lahir dapat ditemukan mekonium dalam 24 hingga
48 jam pertama sejak lahir. Sementara pada neonatus, adanya distensi abdomen serta
muntah bernoda empedu. Manifestasi klinis dari hirschprung disease ini tergantug dari
umur ketika gejala muncul, panjang usus yang terkena, dan terjadinya komplikasi
seperti eterokolitis (Cahyaningsih, 2013).
Diagnosis hirschsprung disease dapat ditegakkan dengan melakukan atau melalui
beberapa pemeriksaan, yaitu pemeriksaan fisik, radiologi, dan laboratorium.
Pemeriksaan fisik pada anak dengan hirschsprung ditemukan adanya distensi abdomen
dan feses yang teraba. Sedangkan pada pemeriksaan radiologi dengan barium diperoleh
hasil adanya zona transisi diantara zona dilatasi normal dan segmen aganglionik distal,
sementara pada pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan cara biopsi rectal yang
akan ditemukan tidak adanya sel ganglion. Dan selain dari beberapa pemeriksaan
tersebut, jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan patologi klinis dengan biopsi
usus pada saat operasi, hal ini dilakukan untuk menentukan lokasi usus dimana sel
ganglion dimulai (Ashwill & James, 2007; Browne et al., 2008) cit. (Cahyaningsih,
2013).
B. Tujuan
Berdasarkan uraian diatas, tujuan dilakukan fieldtrip pada anak dengan kasus
Hirschsprung disease adalah :
1. Mengetahui gambaran kasus nyata pada anak dengan Hirschsprung disease di
ruang Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito
2. Menganalisis strategi manajemen asuhan keperawatan yang tepat bagi anak dengan
Hirschsprung disease
3. Menganalisis keakuratan dan pendokumentasian perawat di ruang Cendana 4
RSUP Dr. Sardjito.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Penyakit Hirschsprung adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan tidak
adanya ganglion di kolon distal, mengakibatkan obstruksi fungsional (Wagner,
Shekherdimian, & Lee, 2018). Penyakit Hirschsprung, juga dikenal sebagai megacolon
kongenital atau aganglionosis kolon kongenital, adalah penyakit perkembangan yang
ditandai dengan tidak adanya sel ganglion di submukosa (Meissner's) dan pleksus
myenteric (Aurbach) di usus distal hingga proksimal. Sel ganglion pada segmen usus
mempunyai peran dalam motilitas usus. Tidak adanya sel ini menyebabkan obstruksi
usus fungsional. Penyakit ini merupakan salah satu kondisi bedah yang paling umum
pada kelompok usia anak dengan kejadian sekitar 1 dari 5.000 kelahiran hidup (Mabula
et al., 2014b).
B. Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan oleh kegagalan sel ganglion untuk bermigrasi
cephalocaudally melalui lambang neural selama kehamilan 4 hingga 12 minggu,
menyebabkan tidak adanya sel ganglion di semua atau sebagian dari usus besar
(Teltelbaum DH dan Coran AG 2006, cit Mabula et al., 2014). Segmen aganglionik
biasanya dimulai pada anus dan memanjang secara proksimal. Penyakit segmen
pendek paling umum dan terbatas pada daerah recto-sigmoid dari usus besar. Penyakit
segmen panjang meluas melewati daerah ini dan dapat mempengaruhi seluruh usus
besar. Jarang, usus kecil dan besar yang terlibat.
D. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada anak dengan hisprung yaitu;
1. Pemeriksaan rectum yang dilakukan dengan colok dubur untk mengetahui adanya
atresia ani atau tidak pada anak.
2. Pemeriksaan rektal biopsi dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion,
dan bagian segmen usus yang terkena.
3. Pemeriksaan manometri anorektal, fungsinya untuk mencatat respon refluks
spingter internal dan eksternal.
4. Pemeriksaan radiologis dapat dilakukan dengan barium enema.
Cuda et al., (2018) mengungkapkan bahwa untuk mendiagnostik anak dengan hisprung
melalui pemeriksaan radiologi yaitu dengan melihat diameter colon sigmoid (~10 cm),
adanya tanda dan gejala pada anak seperti konstipasi, distensi, nyeri perut dan / atau
tekanan gas.
E. Patofisiologi
Tiga pleksus saraf menginervasi usus: pleksus submukosa (Meissner), pleksus
myenterik (Auerbach) (antara lapisan otot longitudinal dan melingkar), dan pleksus
mukosa yang lebih kecil. Semua pleksus ini terintegrasi sempurna dan terlibat dalam
semua aspek fungsi usus, termasuk penyerapan, sekresi, motilitas, dan regulasi aliran
darah. Motilitas normal terutama di bawah kendali neuron intrinsik. Dengan tidak
adanya sinyal ekstrinsik, fungsi usus tetap memadai, karena arsitektur refleksif
kompleks sistem saraf enterik. Kompleks system saraf enterik sering disebut sebagai
"otak kedua." Kontraksi otot polos dan relaksasi usus berada di bawah kendali ganglia
enterik. Kebanyakan aktivasi saraf enterik menyebabkan relaksasi otot, dimediasi oleh
oksida nitrat dan neurotransmiter enterik lainnya. Aferen saraf ekstrinsik ke system
saraf enterik mengandung serat kolinergik dan adrenergik. Serabut kolinergik
umumnya menyebabkan kontraksi, sedangkan serat adrenergik terutama menyebabkan
penghambatan.
Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, baik pleksus myenteric dan
submucosal tidak ada. Anus selalu terpengaruh, dan aganglionosis terus proksimal
untuk jarak variabel. Dengan tidak adanya refleks system saraf enterik, kontrol otot
polos usus sangat ekstrinsik. Aktivitas sistem kolinergik dan sistem adrenergik adalah
2-3 kali dari usus normal. Sistem kolinergik (rangsang) dianggap mendominasi sistem
adrenergik (penghambatan), yang menyebabkan peningkatan tonus otot polos. Dengan
hilangnya impuls relaksasi enterik intrinsik, tonus otot yang meningkat tidak dilawan.
Fenomena ini menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik
yang tidak terkoordinasi, dan obstruksi fungsional. Sel ganglion enterik berasal dari
neural crest selama perkembangan embrio. Dalam perkembangan normal, neuroblas
ditemukan di esofagus pada minggu kelima kehamilan, dan mereka bermigrasi ke usus
kecil pada minggu ketujuh dan ke usus besar pada minggu kedua belas.
Salah satu etiologi penyakit Hirschsprung yang mungkin adalah penangkapan
migrasi neuroblas aboral. Alternatifnya, meskipun migrasi sel normal dapat terjadi,
neuroblas dapat mengalami apoptosis, kegagalan proliferasi, atau diferensiasi yang
tidak tepat di dalam segmen usus bagian distal yang terkena. Fibronektin, laminin,
neural cell adhesion molecule (NCAM), dan faktor neurotropik yang ada di stroma
usus diperlukan untuk perkembangan ganglion enterik normal, sedangkan
ketidakhadiran atau disfungsi dapat berperan sebagai penyebab penyakit Hirschsprung
(Wagner et al., 2018).
F. Penatalaksanaan
1. Manajemen pra-operasi
Tindakan yang dapat dilakukan adalah penyisipan tabung lambung,
dimulainya cairan intravena, pencucian rektal, penggunaan antibiotik dan makanan
enteral jika ditolerans. Tindakan ini bertujuan untuk mencegah muntah,
mengurangi distensi abdomen, mencegah perkembangan kolitis sekunder,
mempertahankan nutrisi dan keseimbangan cairan dan elektrolit dan menjaga
neonatus nyaman (The Children Hospital at Westmead, 2017). Pada kasus stabil,
dapat dilakukan penggunaan laksatif dan modifikasi diet.
Perawatan non-operatif terdiri dari pencucian rektum harian dengan saline
hangat dan berlanjut selama prosedur memungkinkan usus untuk mengevakuasi
sepenuhnya. Metode ini biasanya lebih cocok untuk anak-anak yang memiliki
penyakit segmen pendek. Jika metode ini saja gagal menyelesaikan konstipasi,
maka anak akan memerlukan intervensi bedah. Pencucian juga dianggap sebagai
tindakan jangka pendek yang direncanakan sampai operasi dapat dilakukan
(Rogers, 2001).
2. Tindakan Operasi
Tindakan operasi merupakan terapi defenitif yang dilakukan. Operasi dapat
dilakukan bila kondisi umum pasien stabil.
Tindakan Operasi.
Bagi kebanyakan anak yang lahir dengan penyakit Hirschsprung, operasi adalah
pilihan yang biasa dan biasanya dilakukan segera setelah lahir. Pembedahan
biasanya menghasilkan kolostomi sementara. Ini kemudian dibalikkan di kemudian
hari ketika bagian usus yang terkena dampak telah dihilangkan dan bagian yang
tidak terpengaruh telah digabungkan ke rektum di kemudian hari (sering disebut
penutupan ‘pull-through’). Sejumlah kecil anak mungkin memiliki prosedur tahap
pertama yang tidak melibatkan kolostomi sementara yaitu dengan pengangkatan
usus yang terkena dampak dan prosedur 'penarikan' / direkseksi ujungnya
bergabung ke rectum dalam operasi (Langer et al, 1996 cit Rogers, 2001)
3 tahapan bedah yang dapat dilakukan pada anak hisprung yakni kolonstomi (bila
BB bayi > 9 Kg), definitive pull-through and colostomy closure. Operasi pull-
through dilakukan oleh konsultan bedah di bawah anestesi umum. Operasi yang
paling sering dilakukan adalah prosedur Swenson, Soave, dan Duhamel. Dalam
semua prosedur ini, segmen usus proksimal yang dilatasi dan aganglionik direseksi,
dan segmen usus terlihat normal digunakan untuk pull-through.
Tiga prosedur operasi pull-through antara lain: Operasi Swenson, Prosedur
Duhamel dan Penarikan endorektal Soave
a. Operasi Swenson melibatkan mengeluarkan rektum, menarik ganglion kolon
yang sehat melalui anus dan menghubungkannya ke anus (Mabula et al.,
2014b). Operasi Swenson melibatkan sayatan perut untuk mereseksi bagian
aganglionik usus yang diikuti oleh anastomosis end-to-end. Usus ganglion yang
direseksi dibalikkan melalui anus, kemudian dianastomosis di luar anus
(Swenson, 1989 citRogers, 2001).
Tindakan kolostomi dapat dilakukan kembali setelah 3-6 bulan kemudian. Sebelum
tindakan ini dilakukan bayi diberi cairang bening sehari sebelum dilakukan operasi
dan pencucian distal dengan normal saline (Rogers, 2001).
3. Manajemen post operasi
Tindakan yang dapat dilakukan yaitu; pemantauan untuk drainase, cairan infus dan
nasogastric tube, manajemen nyeri, mengecek adanya aspirasi secara teratur,
pemberian makan secara oral dapat dimulai 24-48 jam setelah operasi dan jumlah
yang disedot berkurang, melakukan perawatan kolostomi dan perhatikan kantong
stomanya. Anak dapat dipulangkan jika pemberian makan secara oral mapan dan
tidak ada masalah dengan defikasi (Rogers, 2001).
Tindakan manajemen post operasi yang dilakukan pada rumah sakit anak
berdasarkan guideline yang dibuat oleh Sydney Children's Hospitals Network
(SCHN) meliputi monitoring infeksi, manajemen nyeri, hidrasi, aspirasi pada
gastric tube, pemberian awal makan melalui enteral, observasi adanya distensi
abdomen, respiratory support, tes darah, perawatan rectal tube dan perawatan
stoma (The Children Hospital at Westmead, 2017).
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain; masalah kulit disekitar perianal, diare,
konstipasi, Enterocolitis, keterlambatan dalam mengontrol defikasi (Rogers, 2001).
Potensi komplikasi juga dapat terjadi pada saat setelah operasi. Tingkat insiden
komplikasi pasca operasi yang paling sering termasuk enterocolitis setelah prosedur
Swenson, sembelit setelah perbaikan Duhamel, dan diare dan inkontinensia setelah
prosedur pull-through Soave (Wagner et al., 2018).
Grade HAEC dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu (Gosain, Frykman, & Cowles,
2018) :
1 Grade I (Kemungkinan HAEC)
Manajemen yang dapat dilakukan adalah rawat jalan dan perawatan mencakup
pemberian metranidazol oral, hidrasi oral dengan pedialyte atau larutan kaya
elektrolit. Pada grade ini bisa diberikan irigasi pada anak yang mengalami distensi
abdomen atau konstipasi.
2 Grade II (Tindakan Definitif HAEC)
Manajemen atau penanganannya adalah anak harus di rawat inap dan dikelola
dengan pemberia hidrasi oral, cairan IV, dan dekompresi nasogastric jika ada
distensi abdomen yang signifikan. Kemudian iritasi rektal sangat efektif untuk
menyelesaikan pengeluaran feses. Pemberian obat dapat berupa metronidazole
(oral atau parenteral) dapat digunakn untuk mengobati Clostridium difficile, yang
telah dihubungkan dengan penyebab HAEC. Selain metronidazole, cakupan
antibiotic melalui intravena dapat dikombinasikan dengan ampicillin dan
gentacimin atau piperacilin/tazobactam, atau aztreonam (jika anak alergi
penicillin).
3 Grade III (HAEC berat)
Pada grade ini terutama dengan syok, anak memerlukan perawatan di unit intensif,
istirahat usus, resusitasi cairan intravena, irigasi rektal, dan pemberian antibiotic
spectrum luas (termasuk metronidazole) sangat diperlukan. Dan lakukan segera
intervensi bedah.
H. Asuhan Keperawatan pada anak dengan Hischsprung
1. Pengkajian
Pengkajian daapt dilakukan dengan menganamsesa keluarga / pengasuh mencakup
riwayat dari pengasuh keluarga, terutama mengenai sejarah stooling / defikasi.
Tanyakan tentang timbulnya konstipasi, karakter dan bau tinja, frekuensi buang air
besar, dan adanya kebiasaan makan yang buruk, anoreksia, dan iritabilitas. Selama
pemeriksaan fisik, perhatikan adanya perut buncit dan tanda-tanda gizi buruk. Catat
berat badan dan tanda-tanda vital. Amati anak untuk pencapaian perkembangan
(Hatfield, 2008).
Menurut Wong, D.L (2012) pengkajian fisik harus dilakukan secara rutin.
Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat terutama yang berhubungan dengan
pola defikasi. Kaji status nutrisi dan hidrasi. Monitor bowel elimination pattern.
Ukur lingkar perut dan observasi manifestasi yang ditimbulkan pada penyakit
hisprung.
a. Pantau pola defikasi : Riwayat pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama
setelah lahir, Riwayat tinja seperti pita dan bau busuk
b. Nutrisi dan hidrasi; Lingkar abdomen, pengkajian status nutrisi dan status
hidrasi, Pengkajian status bising usus untuk melihat pola bunyi hiperaktif pada
bagian proksimal karena obstruksi
c. Pengkajian psikososial keluarga
d. Pra Bedah :
1) Kaji status klinik anak ( tanda-tanda vital, asupan & keluaran)
2) Kaji adanya tanda-tanda perforasi usus
3) Kaji adanya tanda-tanda enterokolitis
4) Kaji kemampuan anak & keluarga untuk melakukan aktivitas dan koping
terhadap pembedahan yang akan datang
5) Kaji tingkat nyeri yang dialami anak
e. Pasca bedah
1) Kaji status pasca bedah anak ( TTV, bising usus, distensi abdomen)
2) Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi atau kelebihan cairan
3) Kaji adanya komplikasi
4) Kaji adanya tanda-tanda infeksi
5) Kaji tingkat nyeri yang dialami anak
6) Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan koping terhadap
pengalamannya di rumah sakit dan pembedahan
7) Kaji kemampuan orang tua dalam menatalaksanakan pengobatan dan
perawatan yang berkelanjutan
Wagner et al., (2018) mengungkapkan bahwa pengkajian yang dapat dilakukan
untuk anak dengan hisprung setelah dilakukan post operasi berfokus pada
kebiasaan anak dalam defikasi melalui anamnesa keluarga atau orang tua atau
pengasuh antara lain;
a. Pola Defikasi; teratur atau tidak
b. Berapa lama (waktu) dilakukan dilatasi anal terakhir
c. Adakah konsultasi secara rutin untuk penggunaan alat dilatasi
d. Kapan terakhir dilakukan tindakan dilatasi anal
e. Jenis makanan apa yang dikomsumsi anak setelah operasi
f. Waktu yang tepat untuk dilakukan tindakan lavage colonic; pagi, siang atau
malam
g. Apakah anak diberi cairan secara rutin sebelum dilakukan tindakan lavage
colonic
h. Apakah buang air besar mempengaruhi kehidupan normal pasien?
i. Apakah buang air besar mempengaruhi kehadiran di sekolah dan kegiatan
sosial lainnya untuk pasien?
j. Apakah anak mengalami kecemasan.
Tinjauan tentang riwayat kelahiran, termasuk ketika mekonium pertama kali
lulus dan pemeriksaan fisik bayi, dapat membantu mengarah ke diagnosis.
Pemeriksaan rektal sering menghasilkan aliran meconium atau tinja yang tiba-
tiba. Jika penyakit Hirschsprung dicurigai, investigasi tertentu mungkin perlu
dilakukan (Rogers, 2001).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi karena aganglion pada usus
(penyakit hisprung)
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mengabsorbsi makanan
c. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan persiapan pembedahan,
intake yang kurang, mual dan muntah
d. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan dan adanya insisi
e. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan (agen cedera fisik)
f. Defisiensi pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan
irigasi,pembedahan dan perawatan colostomy
g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan colostomy dan irigasi, penyakit
3. Intervensi keperawatan
a. Intervensi keperawatan pada anak pre operasi
Anak yang mengalami prosedur bedah memerlukan persipan fisik dan
psikologis. Persiapan fisik seperti cek list penerimaan, uji darah, injeksi
praoperative (jika diresepkan). Pada bayi baru lahir yang ususnya masih steril
tidak diperlukan persiapan tambahan namun persipan operasi pull-trough pada
anak yang lebih besar meliputi pengosongan usus dan pemberian enema salin
yang berulang dan pengulangan jumlah flora bakteri usus lewat pemberian
antibiotika.
Pada anak dengan komplikasi enterokolitis. Perawatan bedah darurat dapat
dilakukan dengan pemantauan frekuensi tanda-tanda vital, tekanan darah untuk
mendeteksi adanya syok, pemantauan pemberian cairan dan elektrolit
disamping plasma atau derivate lainnya dan obeservasi adanya perforasi usus
seperti demam, Peningkatan distensi abdomen, vomitus, Peningkatan gejala
nyeri tekan, iritabilitas, dyspnea serta sianosis. Karena distensi abdomen yang
progresif merupakan tanda yang serius maka pengukuran lingkar perut perlu
dilakukan.
Sedangkan intervensi psikologis dapat dilakukan sama seperti anak dengan
hospitalisasi yakni film, buku, permainan dan tur. Intervensi psikologis terdiri
atas persiapan yang sistematis, latihan kejadian akan datang, dan perawatan
penunjang selama stress. Untuk itu sangat penting bagi perawat untuk
mengatasi kecemasan pada anak karena adanya perpisahan dengan orang tua.
Perlu diperhatikan bahwa usia anak menentukan tipe dan taraf persiapan
pendampingan psikologis yang diperlukan bagi anak dan orang tuanya (Wong,
2009).
b. Intervensi keperawatan pada anak post-operasi
Perawatan pasca bedah sama halnya dilakukan denga pembedahan
abdomen yang dilakukan pada anak dan bayi. Bila kolonstomi, perawatan
stoma adalah tugas utama perawat. sehingga untuk mencegah kontaminasi luka
abdomen dan urin pada bayi popoknya harus dipenitikan dibawah kasa
pembalut. Kadang-kadang digunakan kateter foley untuk mengalirkan aliran
urin menjauhi daerah abdomen (Wong, 2009).
Perawatan saat pulang meliputi pemberian edukasi pada orang tua tentang
perawatan kolonstomi. Selain itujuga dapat melibatkan anak khususnya pada
anak usia besar (Wong, 2009). Selain itu intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan pada anak post operasi yang dirawat jalan antara lain; pendidikan
kesehatan untuk pemulihan (ajarkan untuk mengenali tanda HAEC
(Hirschsprung- associated enterocolitis), mengajarkan dan membuat panduan
untuk diet serta pemberian konseling psikologis (H. Wang, Guo, Zhu, Hu, &
Feng, 2015). Tindakan ini mencakup;
1) Pendidikan Rehabilitasi
Orang tua dari pasien anak dilatih untuk mengamati tanda-tanda
HAEC awal, seperti anoreksia, distensi abdomen, peningkatan frekuensi
tinja, dan perubahan tinja dalam warna, bau, dan bentuk amfibi atau amis,
yang menunjukkan tanda yang mengindikasikan kebutuhan untuk segera
dirawat di rumah sakit. . Materi pendidikan kesehatan diberikan kepada
orang tua atau pengasuh, termasuk panduan tertulis, demonstrasi teknik
keperawatan, mendukung operasi keperawatan dalam bentuk video compact
disc, dan sarana untuk berkomunikasi dengan profesional perawatan
kesehatan lokal (asisten perawat dan pekerja sosial). Program pelatihan
keperawatan rehabilitasi dicapai dengan menggunakan platform komunikasi
multilateral antara dokter, orang tua, dan profesional perawatan kesehatan
setempat, memastikan bimbingan pendidikan dan rehabilitasi kesehatan
pasca operasi sepenuhnya dipahami dan dilaksanakan selama seluruh proses
intervensi
2) Panduan untuk diet
Prinsip-prinsipnya termasuk hanya makan porsi kecil setiap kali
makan, meningkatkan frekuensi makan, makan perlahan, dan mengonsumsi
inprotein rendah lemak diethadin dan rendah serat. Bayi diberi susu yang
dihidrolisis dan dicerna. Semua pasien dididik untuk menghindari makanan
tinggi lemak dan pedas dan makan atau minum dalam jumlah berlebihan.
Orang tua dan pengasuh dididik untuk lebih mempersiapkan makanan dan
minuman untuk pasien anak serta untuk memberi makan mereka lebih baik.
3) Konseling Psikologi
Dukungan dan bimbingan psikologis diberikan melalui proses
intervensi untuk membantu orang tua sepenuhnya memahami risiko, tanda-
tanda klinis, dan pencegahan yang efektif dari HAEC; untuk meningkatkan
kemampuan pengasuhan orang tua dengan berbagai keterampilan
keperawatan, pengetahuan kesehatan, dan metode dan keterampilan
merawat HAEC; untuk mempromosikan nutrisi dan instruksi diet yang
lebih baik; dan untuk meredakan kecemasan dan ketakutan orang tua.
Sebagai dukungan emosional, orang tua atau pengasuh.
Menawarkan kesempatan untuk mendiskusikan kesulitan dalam
memahami proses keperawatan dan teknik khusus yang digunakan untuk
mengidentifikasi gejala awal HAEC dan dalam mempraktikkan perawatan
rutin dan perawatan khusus di rumah. Sebagai dukungan sosial, kerja sama
rehabilitasi keperawatan pasca operasi dibangun untuk memanfaatkan
sepenuhnya sumber daya internet, menyediakan jawaban tepat waktu untuk
masalah yang dihadapi oleh orang tua, berbagi pengalaman orang tua dan
pengasuh kesehatan di antara orang tua pasien yang baru didiagnosis, dan
bertukar informasi di antara orang tua, dokter, staf perawat, dan perawatan
kesehatan lainnya dan pekerja sosial, sehingga orang tua dapat memperoleh
berbagai kemampuan dari komunikasi timbal balik, yang akan
meningkatkan kepercayaan diri mereka.
BAB III
A. Hasil Pengkajian
1. Data Rekam Medik Pasien
Nama : An. R
Tempat tanggal lahir : Sugihrejo, 17 Januari 2018
Usia : 10 bulan
Nama Ibu : Ibu M
Pekerjaan Ibu : IRT
Alamat : Sugihrejo RT 03 / RW 01, Sumberagung, Grabag,
Purworejo, Jawa Tengah.
Ruang/Kamar : Cendana 4
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama : Kembung& kesulitan BAB
b. Riwayat penyakit sekarang :
An. R mengalami kembung dan kesuliatn BAB (feses yang keluar sedikit dan
berbentuk kecil) selama 1 minggu. Kemudian ibu membawa An. R ke RS di
Magelang tempat dimana An. R pernah melakukan operasi penggunaan
kolostomi selama 6 bulan dan pembedahan repair pengembalian ke fungsi
normal (melalui anus) setelah dilihat kondisi anak mulai membaik. Setelah
dilakukanpemeriksaan dan diberi pengobatan di RS Magelang, masih belum
ada perubahan terhadap kondisi An. R, sehingga dirujuk ke RSUP DR. Sardjito
pada tanggal 09 Oktober 2018 jam 11.00 WIB. Dari hasi pemeriksaan dokter,
An. A di diagnosa mengalami Obstruksi Parsial, Post Pullthroug.
c. Riwyat kesehatan lalu : Hirschsprung disease
d. Riwayat Kesehatan Keluarga :Tidak ada riwayat masalah kesehatan pada
keluarga.
e. Riwayat Imunisasi : HB 1
3. Riwayat Tumbuh Kembang
a. Personal sosial/kemandirian bergaul
Anak mampu untuk mencoba mendapatkan mainan yang diinginkannya yang
diletakkan diluar jangkauan anak. dimana An. R mencoba mendapatkan mainan
tersebut dengan cara mengulurkan lengan atau badannya. Selain itu juga
pemeriksa mencoba menanyakan ibu dari An. R mengenai apakah An. R dapat
makan (snack) sendiri? Dan ibu mengatakan bahwa An. R mampu
melakukannya.
b. Motorik Halus
Pertanyaan yang diajukan kepada ibu terkait apakah pernah melihat An. R
memindahkan mainan atau kue kering dari satu tangan ke tangan yang lain?
Dan ibu mengatakan bahwa pernah melihatnya dan An. R mampu
melakukannya. Jika An. R diangkat melalui ketiaknya ke posisi berdiri, An. R
mampu menyangga sebagian berat badan dengan kedua kakinya.
c. Bahasa
Pada aspek bahasa, An. R menengok ke belakang seperti mendengar
kedatangan Ibu atau pemeriksa. Ada reaksi terhdap suara yang berlahan atau
bisikan.
d. Motorik Kasar
An. R dapat mempertahankan lehernya secara kaku ketika An. R dalam posisi
terlentang dan kemudian ibu atau pemeriksa memegang kedua tangannya lalu
menarik berlahan-lahan ke posisi duduk. An. R dapat memungut dengan
tangannya enda-benda kecil disekitarnya dengan cara gerakan miring atau
menggapai benda tersbut. Tetapi untuk gerak kasar lain seperti mampu duduk
sendiri selama 60 detik tanpa disangga oleh bantal, kursi atau dinding, An. R
belum mampu melakukannya.
4. Pemeriksaan Fisik :
a. Tanda-tanda Vital : Suhu= 360C; Nadi= 110x/menit; Respirasi : 20x/menit
b. Pemeriksaan fisik (head to toe)
1) Pemeriksaan Kepala : Bentuk dan lingkar kepala normal, konjungtiva tidak
anemis di kedua mata, dan sklera tidak ikterik
2) Pemeriksaan Leher: tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
3) Pemeriksaan Dada: nampak simetris, tidak ada retraksi.
4) Pemeriksaan Jantung : tidak dilakukan pemeriksaan jantung
5) Pemeriksaan Perut : tidak ada distensi, teraba lunak, tympani
6) Pemeriksaan Hati : tidak ada pembesaran hati
7) Pemeriksaan Limpa : tidak ada pembesaran limpa.
8) Pemeriksaan Ekstermitas : akral hangat, nadi kuat, kulit tidak pucat
9) Pemeriksaan Anogenitalia :pada genital tidak ada kelainan, sementara pada
bagian anal nampak terpasang rectal tube.
5. Pengkajian Pola Kesehatan :
a. Pola Persepsi Kesehatan-Pemeliharaan Kesehatan
Ibu paham akan penyakit anak yang dapat ditunjukkan dengan ibu dapat
menggambarkan kndisi penyakit anak (megacolon) dan melakukan
pemeriksaan anaknya di RS. Namun ibu takut untuk memberikan makanan
secara terus menerus dengan alasan kondisi perut yang semakin membesar
karena gangguan pada usus anaknya.Ibu mengatakan anak tidak mempunyai
riwayat alergi.
b. Pola Nutrisi Metabolik
1) Di rumah
Anak diberikan ASI. Selama sakit, menurut ibu, anak mengalami perubahan
berat badan.Anak makan makanan sesuai dengan yang diberikan.Namun
tidak menghabiskan makanannya.
2) Di Rumah Sakit
anak tetap diberikan ASI dan diberikan bubur sesuai dengankecukupan gizi
anak dari bagian Gizi RS. Namun Anak tidak menghabiskan makanannya.
Selain itu, sebelumnya anak sudah diberikan infus
Pemeriksaan Status Nutrisi (Antropometri)
- BB saat ini :7.1 kg, Tinggi badan = 72 cm; IMT = 7.1/0.5184= 13.6959 (z-
score= -2.542, klasifikasi normal).
- Lingkar kepala = 46 cm
- Lingkar perut = 44 cm
- Lingkar lengan Atas =11 cm
c. Pola Eliminasi
1) Di rumah
BAB jarang, namun jika anak BAB konsistensi feses kecil seperti pita.Dan
disertai kembung sehingga perut anak tampak membesar dan mengeras.
2) Di Rumah Sakit
Penggunaan alat bantu untuk BAB (rectal tube), Pola BAB: frekuensi tidak
terhitung, tidak ada keluhan, konsistensinya warnanya kuning, lunak.
d. Pola Aktivitas Dan Latihan
1) Di rumah
Ketergantungan/tidak berpartisipasi,
2) Di Rumah Sakit
Kelemahan, ketergantungan/tidak berpartisipasi
e. Pola Istirahat Tidur
1) Di rumah
Pola tidur anak tidak teratur karena adanya ketidaknyamanan.
2) Di Rumah Sakit
Menurut ibu, anak dapat tidur dengan nyenyak dan sesuai dengan rutinitas
tidur anak.
f. Pola Persepsi Kognitif
1) Di rumah
Fungsi penglihatan, pendengaran, perasaan tidak bermasalah.
2) Di Rumah Sakit
Fungsi penglihatan, pendengaran, perasaan tidak bermasalah
g. Pola Persepsi Dan Konsep Diri
1) Di rumah
Ibu mengatakan anak tampak gelisah dan menangis.
2) Di Rumah Sakit
Saat dilakukan pengkajian anak dapat berespon baik melalui kontak mata,
ekspresi wajah yang awalnya takut menjadi rileks.
Pengetahuan:
Pemberian Makan
dengan Menggunakan
Botol
(Definisi : Tingkat
pemahaman yang
disampaikan tentang
pemberian cairan untuk
bayi dengan
menggunakan botol)
Indikator :
Mengetahui jenis-jenis
botol yang berbeda dan
aman
Mengetahui pentingnya
sanitasi tangan
Mengetahui dengan
baik persiapan susu
formula
Mengetahui metode
untuk membersihkan
botol dan putting
Mengetahui pentingnya
memeriksa tanggal
kadaluwarsa
Mengetahui pentingnya
pengujian suhu cairan
sebelum memberikan
bayi makan
Posisi bayi yang tepat
saat menyusui
Posisi botol yang tepat
saat menyusui
13. Hasil pengkajian penilaian dokumentasi keperawatan menggunakan instrument
D-CATCH
a. Apakah dokumentasi keperawatan yang ada sudah akurat?
(Is an accurate nursing record structure present ?)
Secara umum dokumentasi keperawatan yang ditulis sudah cukup lengkap. Dimana
dapat dilihat dari data terkait informasi pasien yang telah detail ditampilkan,
kemudian juga terdapat lembar pengkajian serta catatan masuk pasien, masalah
keperawatan, dan rencana keperawatan serta laporan perkembangan serta evaluasi
terdokumentasi dengan jelas.
(skor 4 : dokumentasi keperawatan sudah memiliki informasi tentang pasien, ada
format pengkajian, ada diagnosa keperawatan, ada rencana keperawatan).
b. Apakah dokumentasi keperawatan mengenai catatan masuk pasien
ditampilkan?
(Is an accurate nursing report about the admission present?)
Secara kuantitas
Dalam dokumentasi berisi informasi terkait data personal pasien secara detail atau
lengkap mulai dari nama pasien, nama orang tua, alamat, tanggal lahir, alasan
masuk RS serta keadaan kesehatan pasien didokumentasikan dengan lengkap.
(skor 4 : terdapat semua informasi tentang pasien)
Kualitas
Dalam laporan masuk pasien terdapat alasan masuk yang jelas atau relevan serta
juga berisi diagnosa medis yang ditegakkan. Laporan dokumentasi yang ditulis
jelas, bahasa yang digunakan juga benar serta berisi tentang informasi relevan yang
dibutuhkan.
(skor 4 : terdapat alasan masuk, diagnosa medis, dokumentasi dapat dibaca dan
dipahami)
c. Apakah diagnosa keperawatan yang ditegakkan terdiri dari masalah,
penyebab, tanda dan gejala serta intervensi yang akan diberikan?
(Is an accurate nursing diagnosis structured in PES present? (Problem, Etiology,
Sign, and Symptom, and Intervention)
Kuantitas
Untuk diagnosa keperawatan yang ditegakkan dalam dokumentasi tidak disertai
dengan penyebab atau etiologi serta tanda dan gejala. Pada diagnosa keperawatan
yang ditegakkan masing-masing juga dituliskan intervensi yang diberikan.
(skor 2 : tidak lengkap dalam menuliskan dan menegakkan diagnosa keperawatan)
Kualitas
Semua diagnosa yang ditegakkan relevan dengan data yang ada.
(skor 3 : diagnosa yang ditegakkan relevan dan tidak ambigu atau tidak
menimbulkan kontraindikasi satu sama lain)
d. Apakah intervensi keperawatan yang diberikan sudah tepat?
(Are accurate intervention present?)
Kuantitas
Intervensi keperawatan pada diagnosa yang ditegakkan sudah tepat.
(skor 3 :diagnosis yang ditegakkan memiliki dokumentasi tindakan keperawatan)
Kualitas
Pada setiap diagnosa terdapat intervensi yang diberikan (intervensi sesuai dengan
setiap diagnosa yang ditegakkan).
(Skor 3 : dokumentasi tindakan keperawatan yang dituliskan relevan dan tidak
ambigu).
e. Apakah perkembangan dan evaluasi hasil didokumentasikan?
(Are accurate progress &outcome evaluations present?)
Kuantitas
Untuk perkembangan pasien serta evaluasi tindakan keperwatan yang telah
dilakukan terdokumentasikan dengan jelas. (Skor = 4)
Kualitas
Dokumentasi terkait evaluasi hasil tindakan keperawatan dituliskan, dan intervensi
keperawatan lanjutan ada.
(Skor = 4).
f. Apakah dokumentasi keperawatan dapat dibaca jelas?
(Is the record legible)
Dokumentasi keperawatan dapat dibaca dengan jelas.
(Skor = 4)
Berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan kelompok terhadap dokumentasi
keperawatan menggunakan intrumen D-CATCH, dokumentasi keperwatan sebagian
besar sudah baik namun sebaiknya untuk diagnose keperawatan disesuaikan dengan
SNL NNN. Karena dalam penegakkan diagnose yang didokumentasikan perawat tidak
ada etiologi serta symptom atau tanda dan gejalanya.
B. Pembahasan
Dokumentasi keperawatan merupakan tindakan yang harus dilakukan oleh
perawat sebagai bukti otentik pelaksanaan asuhan keperawatan di ruang perawatan.
Proses asuhan keperawatan yang dimaksudkan meliputi : pengkajian keperawatan,
masalah/diagnosa keperawatan, perencanaan/ intervensi keperawatan,
implementasi keperawatan, evaluasi, dan catatan perkembangan. Dalam Wang et
al. 2011 memberikan pengertian tentang dokumentasi keperawatan sebagai catatan
asuhan keperawatan yang direncanakan dan diberikan secara individu kepada
pasien oleh perawat yang berkualitas atau perawat lain di bawah arahan seorang
perawat yang berkualifikasi. Pendokumentasian asuhan keperawatan yang akurat
merupakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh perawat, sehingga dapat
digunakan sebagai jaminan kualitas pelayanan, perencanaan kesehatan, bahan riset
keperawatan, alokasi sumber daya manusia keperawatan dan dapat dijadikan
sebagai bukti hukum. Dengan demikian dokumentasi keperawatan harus memenuhi
unsur keakuratan dan validitas yang memadai (Wang et al., 2011).
Menurut NANDA 2018-2020, Pengkajian meliputi pengumpulan data
obyektif dan subyektif melalui pasien, keluarga atau dari catatan medis/status
pasien. Pengumpulan data oleh perawat juga meliputi data kemampuan pasien atau
keluarga dalam promosi kesehatan dan mencegah resiko masalah kesehatan.
Asesment yang dilakukan harus sedetail mungkin, dan dituliskan di format
pengkajian yang telah disediakan. Pengkajian dapat didasarkan pada salah satu
teori keperawatan misalnya teori yang dikembangkan oleh Roy, Nightingale atau
pengkajian standar yang dikemukakan oleh Gordon.
Menegakkan diagnosa keperawatan harus didasarkan pada pengkajian yang
sistematis yang telah dilakukan sebelumnya. Menurut NANDA-International tahun
2013, diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis tentang respons individu,
keluarga atau masyarakat terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
aktual dan potensial. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan dirumuskan
secara komprehensif, termasuk faktor etiologi dan karakteristik penentu. Nama
diagnosis berisi deskripsi masalah (P = problem/pernyataan masalah), etiologi yang
bersangkutan (E = etiologi), dan tanda yang sesuai (S = sign symptom/tanda
gejala), yang disebut sebagai format PES. Diagnosis keperawatan ini memberikan
dasar untuk pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang
diharapkan.Intervensi keperawatan dianggap sebagai perawatan yang didasarkan
pada penilaian klinis dan pengetahuan yang dilakukan oleh perawat untuk
memperbaiki hasil pada pasien.
Intervensi keperawatan yang biasa dilakukan berpedoman pada Nursing
Intervention Classification (NIC). NIC ini dikembangkan dan dirancang untuk
menyoroti intervensi atau perawatan yang dilakukan perawat di perawatan
kesehatan. Sedangkan Nursing Outcome, digambarkan sebagai perubahan pada
kesehatan pasien sebagai hasil intervensi keperawatan. Perubahan status pasien
mencerminkan gejala, status fungsional, keadaan pengetahuan, perawatan mandiri,
dan mendefinisikan aspek hasil keperawatan yang dianggap sebagai hasil yang
dapat diukur atau dapat diamati dalam jangka waktu tertentu. Hasil ini dapat
digambarkan secara jelas di dalam Nursing Outcome Classification (NOC). Salah
satu ukuran kualitas untuk hasil keperawatan adalah menghubungkannya dengan
diagnosis keperawatan dan intervensi dan mengevaluasinya dalam konteks (Staub,
Needham, Lavin, Achterberg, & Science, 2007).
Studi dokumentasi asuhan keperawatan yang dilakukan oleh kelompok di
ruangan Cendana 4 RSUP Sardjito meliputi dua hal, yaitu evaluasi terhadap
kesesuaian diagnosa dan intervensi keperawatan dengan hasil pengkajian yang
didapatkan dan evaluasi terhadap akurasi diagnosa keperawatan. Evaluasi ini
dilakukan kelompok dengan cara melihat dan membandingkan diagnosa
keperawatan dan intervensi yang ada pada catatan keperawatan pasien dengan
diagnosa keperawatan dan intervensi yang ada dalam teori. Kelompok juga
merumuskan diagnosa keperawatan dan intervensi yang seharusnya diangkat sesuai
dengan data yang diperoleh pada saat pengkajian, dengan mengacu pada rumusan
diagnosa dan intervensi dari NANDA, NIC dan NOC.
Pengkajian yang dilakukann oleh kelompok pada An. R, ditemukan bahwa
anak memiliki riwayat post op kolostomi dan telah dirawat di RSUP sardjito
kurang lebih 2 minggu. Pada saat kelompok melakukan pengkajian kondisi anak
baik. namun anak mengalami keterlambatan pada perkembangan motoric kasar
(duduk), hasil pemeriksaan fisik yang diperoleh TTV anak dalam batas normal, dan
status nutrisinya dalam kategori normal. Pada pemeriksaan terkait pola eliminasi
diperoleh frekuensi BAB anak yang tidak terhitung dan terpasang rectal tube atas
indikasi HAEC. Dimana Tanda dan gejala dari komplikasi HAECH, yaitu seperti
diare, distensi abdomen, muntah dan retensi feses (Schleef & Olenik, 2013).
Sementara dalam penelitian lain disebutkan bahwa manifestasi klasik dari HAEC
adalah distensi abdomen, demam, diare, namun ada spectrum klinis secara luas
dapat ditemukan muntah, pendarahan rectum, anak lesu, tinja yang kendor dan
obstipasi (Gosain et al., 2018).
Kondisi anak membaik karena anak sudah mendapatkan penanganan dari
RS meliputi pemberian nutrisi, zink, antibiotic dan pemasangan rectal tube. Untuk
pemberian antibiotic (cefotaxime dan metronidazole) melalui intravena, sementara
zinc diberikan secara oral. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Gosain et
al., (2018) bahwa untuk meurunkan insidensi dan tingkat keparhan HAEC maka
dapat dilakukan irigasi rectal secara rutin, pemberian metronidazole, dan peberian
probiotik selam 4 minggu.
Pengkajian terkait perkembangan anak, kelompok menemukan anak
mengalami keterlambatan dalam perkembangan motoric kasar, yakni anak belum
bisa duduk secara mandiri. Fracp, Rao, Fracp, Fracp, & Fracp (2014) menyatakan
bahwa anak dengan hirschsprung disease dapat mengalami gangguan
perkembangan berupa gangguan pertumbuhan fisik pada usia 1 tahun,
keterlambatan kognitif dan bahasa.
Selain itu kelompok juga menemukan bahwa pengetahuan ibu terkait
kebutuhan akan nutrisi dan stimulasi perkembangan anak belum optimal. Dari
pengkajian yang dilakukan, ibu mengatakan bahwa lebih sering memberikan ASI,
namun jarang untuk memberikan makanan tambahan karena ibu khawatir akan
kondisi perut anak yang semakin membesar. Selama anak dirawat di RS ibu sudah
memberikan makanan tambahan yang di berikan dari RS dan anak nampak makan
makanan yang diberikan walaupun sedikit tapi sering. Sehingga kelompok
memberikan edukasi terkait pemenuhan nutrisi berupa pemberian makanan
tambahan dan mempertahankan ASI, dan untuk masalsah keterlambatan
perkembangan kelompok memberikan edukasi berupa stimulasi perkembangan
dengan menganjurkan ibu untuk melatih anak duduk dan diganjal dengan bantal
dan dilakukan selama 60 detik secara rutin.
Akurasi penegakkan diagnosa keperawatan dalam pendokumentasian
asuhan keperawatan di ruang Cendana 4, dinilai oleh kelompok sudah sesuai
namun belum menyertakan etiologi dan sign and symptom sehingga yang muncul
adalah masalah keperawatan bukan diagnosa keperawatan. Hal ini dilakukan oleh
perawat ruangan tanpa alasan, menurut klinik instruktur, diagnosa keperawatan
tidak ditegakkan karena dalam pengelolaan pasien dilakukan secara integrasi oleh
semua tenaga medis yakni dokter, perawat, farmasis dan tenaga gizi. Diagnosa
keperawatan tidak dapat dipahami oleh tim lain sehingga yang diangkat hanya
sebatas masalah keperawatan. Akan tetapi intervensi yang dilakukan tetap mengacu
pada NIC dari NANDA. Hal ini dilakukan karena RSUP Sardjito telah terakeditasi
dengan SNARS dan JCI yang salah satu item penilaiannya adalah perawatan pasien
secara integrasi oleh tenaga kesehatan yang terlibat.
Dalam buku Hokenberry, diagnosa yang keperawatan yang dapat
ditegakkan pada pasien anak dengan kasus Megakolon atau Hirsprung adalah :
Inkontinensia defekasi berhubungan dengan pengosongan usus tidak tuntas,
Konstipasi berhubungan dengan obstruksi karena aganglion pada usus,
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mengabsorbsi makanan dan Resiko infeksi berhubungan dengan
prosedur pembedahan dan adanya insisi.
Adapun diagnose keperawatan yang diangkat di RS, mencakup resiko jatuh,
risiko infeksi, kesiapan meningkatkan manajemen kesehatan dan pemenuhan
kebutuhan gizi. Sedangkan yang ditegakkan oleh kelompok setelah melakukan
pengkajian adalah inkontinensia defekasi, risiko jatuh, kesiapan meningkatkan
manajemen kesehatan, dan kesiapan meningkatkan pengetahuan. Kelompok tidak
mengambil risiko infeksi dikarenakan saat melakukan pengkajian infeksi pada anak
sudah diatasi. Risiko infeksi yang ditegakkan di RS karena anak mengalami
komplikasi post op kolostomi berupa HAEC (Hirschsprung-Associated
Enterocolitis). Hal ini sesuai dengan pernyataan oleh Rogers (2001) yang
menyebutkan bahwa salah satu komplikasi dari hirschsprung adalah HAEC.
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan saat itu, kelompok menegakkan
diagnosa inkontinensia defekasi dan resiko jatuh. Kedua diagnosa ini masing-
masing diangkat berdasarkan pengkajian kelompok dan pengkajian oleh perawat
ruangan. Diagnosa inkontinensia defekasi oleh kelompok dan diagnosa resiko jatuh
oleh perawat ruangan. Keduanya ditegakkan berdasarkan kebutuhan pasien anak
selama perawatan di ruangan.
Intervensi keperawatan yang dilakukan oleh perawat di rumah sakit adalah
Pencegahan Jatuh, Kontrol infeksi, Peningkatan keterlibatan keluarga, Diet gizi
seimbang. Sementara intervensi yang diberikan kelompok adalah manajemen
saluran cerna, manajemen lingkungan : keselamatan, pencegahan jatuh,
peningkatan keterlibatan keluarga, pendidikan orang tua : bayi, pengajaran nutrisi
bayi 10-12 bulan, dan manajemen nutrisi. Intervensi yang dilakukan kelompok
disesuaikan dengan diagnose yang ditegakkan berdasarkan hasil pengkajian.
Penggunaan diagnosis keperawatan, intervensi, dan hasil dari NANDA,
NIC, dan NOC (NNN) menghasilkan dokumentasi diagnosis keperawatan yang
lebih komplit, intervensi keperawatan yang lebih spesifik, dan hasil keperawatan
pasien yang lebih sensitive (Staub et al., 2007). Untuk itu perlu adanya formulasi
pendokumentasian keperawatan yang lebih efektif dan efisien yaitu dengan
komputerisasi. Model dokumentasi keperawatan elektronik sangat sesuai untuk
dokumentasi perawatan pasien dalam rencana asuhan keperawatan. Penggunaan
teknologi informasi tersebut diatas memerlukan profesionalisme dalam
pengelolaannya, sehingga memerlukan pelatihan khusus dalam
mendokumentasikan asuhan perawatan pasien sesuai dengan proses keperawatan,
dan dalam menggunakan terminologi tersebut untuk meningkatkan keselamatan
pasien dan memperbaiki dokumentasi (Häyrinen, Lammintakanen, & Saranto,
2010).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penyakit Hirschsprung adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan tidak
adanya ganglion di kolon distal, mengakibatkan obstruksi fungsional (Wagner et al.,
2018). Penyakit Hirschsprung, juga dikenal sebagai megacolon kongenital atau
aganglionosis kolon kongenital, adalah penyakit perkembangan yang ditandai dengan
tidak adanya sel ganglion di submukosa (Meissner's) dan pleksus myenteric (Aurbach)
di usus distal hingga proksimal. Sel ganglion pada segmen usus mempunyai peran
dalam motilitas usus. Tidakadanya sel ini menyebabkan obstruksi usus fungsional.
Penyakit ini merupakan salah satu kondisi bedah yang paling umum pada kelompok
usia anak dengan kejadian sekitar 1 dari 5.000 kelahiran hidup (Mabula et al., 2014b).
Pendokumentasian asuhan keperawatan merupakan bukti otentik tindakan yang
telah dilakukan oleh perawat. Oleh karena itu perlu di evaluasi secara berkala untuk
memastikan akurasi dalam pencatatannya serta menjamin mutu layanan. Proses
keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan
keperawatan, implementasi keperawatan, serta evaluasi harus tercatat secara komplit di
dalam dokumentasi keperawatan. Hasil evaluasi kelompok di ruang Cendana 4 RSUP
Sardjito, didapatkan dokumentasi yang sebagian besar sudah lengkap hanya saja dalam
penegakkan diagnose tidak disertai dengan etiologi dan sign and symptom. Namun hal
ini menyesuaikan dengan format perawatan yang terintegrasi yang ada dalam SNARS
atau JCI.
B. Saran
1. Sebaiknya pada penegakkan diagnose keperawatan di sertai dengan etiologi serta
tanda dan gejala.
2. Perkembangan dan evaluasi hasil terkait pengeluaran feses perlu ditindaklanjuti
oleh pemberi asuhan untuk menilai keberhasilan intervensi yang telah dilakukan
3. RS dapat menggunakan instrument atau tools berupa Bowel Function Score untuk
anak-anak dengan hirschsprung disease.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G.M., Bucher, H.K., & Dochterman, J.M., (2013). Nursig Intervention
Classification (NIC). 6th edition. Mosby Elsevier. USA
Collins, L., Collis, B., Trajanovska, M., Khanal, R., Hutson, J. M., Teague, W. J., & King,
S. K. (2017). Quality of life outcomes in children with Hirschsprung disease. Journal
of Pediatric Surgery, 52(12), 2006–2010.
https://doi.org/10.1016/j.jpedsurg.2017.08.043
Cuda, T., Gunnarsson, R., & de Costa, A. (2018). Symptoms and diagnostic criteria of
acquired Megacolon - a systematic literature review. BMC Gastroenterology, 18(1),
1–9. https://doi.org/10.1186/s12876-018-0753-7
Fracp, K. M., Rao, S., Fracp, D. M., Fracp, J. M., & Fracp, C. M. (2014). Growth and
Developmental Outcomes of Infants with Hirschsprung Disease Presenting in the
Neonatal Period: A Retrospective Study. The Journal of Pediatrics.
https://doi.org/10.1016/j.jpeds.2014.02.062
Gosain, A., Frykman, P. K., & Cowles, R. A. (2018). Guidelines for the Diagnosis and
Management of Hirschsprung- Associated Enterocolitis. Pediatr Surg Int., 33(5),
517–521. https://doi.org/10.1007/s00383-017-4065-8.Guidelines
Granéli, C., Dahlin, E., Börjesson, A., Arnbjörnsson, E., & Stenström, P. (2017a).
Diagnosis, Symptoms, and Outcomes of Hirschsprung’s Disease from the Perspective
of Gender. Surgery Research and Practice, 2017, 1–8.
https://doi.org/10.1155/2017/9274940
Granéli, C., Dahlin, E., Börjesson, A., Arnbjörnsson, E., & Stenström, P. (2017b).
Diagnosis , Symptoms , and Outcomes of Hirschsprung ’ s Disease from the
Perspective of Gender. Surgery Research and Practice, 2017, 1–8.
https://doi.org/10.1155/2017/9274940
Hatfield, N. T. (2008). Broadribb’s Introductory; Pediatric Nursing (SEVENTH).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Häyrinen, K., Lammintakanen, J., & Saranto, K. (2010). Evaluation of electronic nursing
documentation — Nursing process model and standardized terminologies as keys to
visible and transparent nursing, 9, 554–564.
https://doi.org/10.1016/j.ijmedinf.2010.05.002
Mabula, J. B., Kayange, N. M., Manyama, M., Chandika, A. B., Rambau, P. F., & Chalya,
P. L. (2014a). Hirschsprung’s disease in children: a five year experience at a
University teaching hospital in northwestern Tanzania. BMC Research Notes, 1–9.
https://doi.org/10.1186/1756-0500-7-410
Mabula, J. B., Kayange, N. M., Manyama, M., Chandika, A. B., Rambau, P. F., & Chalya,
P. L. (2014b). Hirschsprung’s disease in children: a five year experience at a
University teaching hospital in northwestern Tanzania. Scanning, 7(410), 1–9.
https://doi.org/10.1186/1756-0500-7-410
Nurhayati, D., Mardhiyah, A., & Adistie, F. (2017). The Quality of Life of Toddler Post
Colostomy in Bandung. NurseLine Journal, 2(2), 9.
Staub, M. M., Needham, I., Lavin, M. A., Achterberg, T. Van, & Science, N. (2007).
Improved Quality of Nursing Documentation : Results of a Nursing Diagnoses ,
Interventions , and, 18(1).
Wang, H., Guo, X., Zhu, D., Hu, L., & Feng, J. (2015). Nursing Intervention for
Outpatient Rehabilitation in Pediatric Patients with Hirschsprung Disease after
Colectomy. European Journal of Pediatric Surgery, 25(5), 435–440.
https://doi.org/doi:10.1055/s-0034-1384650
Wang, N., Hailey, D., & Yu, P. (2011). Quality of nursing documentation and approaches
to its evaluation: a mixed-method systematic review. https://doi.org/10.1111/j.1365-
2648.2011.05634.x