Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Sebutkan Dan Jelaskan Penyebab Putusnya Perkawinan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

 Sebutkan dan jelaskan penyebab putusnya perkawinan.

Putusnya perkawinan diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Pada dasarnya, suatu perkawinan dilakukan adalah bertujuan untuk selama-lamanya. Tetapi ada
sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan.
Putusnya perkawinan serta akibatnya di atur dalam Bab VIII, pasal 38 sampai dengan pasal
41 undang-undang perkawinan, serta diatur juga dalam bab v peraturan pemerintah no. 9 tahun
1975 tentang tata cara perceraian, pasal 14 sampai dengan pasal 36. Menurut Pasal 38 Undang-
Undang Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :
1. Kematian.
2. Perceraian, dan
3. Atas Keputusan Pengadilan.1
Sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai putusnya perkawinan
diatur dalam Pasal 199, 200-206b, 207-232a dan 233-249. Pasal 199 menerangkan putusnya
perkawinan disebabkan:

a. Karena meninggal dunia,

b. Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami isteri selama sepuluh tahun diikuti
dengan perkawinan baru sesudah itu suami atau isterinya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dalam bagian ke lima bab delapan belas,

c. Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan pendaftaran
putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan
bagian kedua bab ini,

d. Karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.2

1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian


Kematian merupakan suatu peristiwa alam yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia.
Kematian ini tentu mengakibatkan akibat hukum. Kematian dalam hal perkawinan merupakan
suatu peristiwa meninggalnya salah satu pihak atau kedua pihak yang menjadi subjek hukum

2
dalam perkawinan.

Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya


kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta
benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih kepada keluarga yang ditinggalkan
dengan cara diwariskan.

Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak mewaris dari ahli
waris. Masalah kewarisan merupakan aspek yang sangat penting dalam ajaran agama islam,
banyak mempengaruhi kehidupan seseorang dengan orang lain, seperti yang terjadi dalam
budaya jahiliyah, hukum waris yang dipedomani tidak memenuhi unsur keadilan, hasilnya juga
banyak membawa bencana dan persengketaan dengan para penerima waris.
Kewarisan adalah ilmu yang berhubungan dengan harta milik, jika dalam pembagiannya
tidak transparan dan hanya berdasarkan kekuatan hukum yang tidak jelas, maka dikhawatirkan
kemudian hari akan menimbulkan sengketa di antara ahli waris.
Sementara harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu merupakan sisa atau hasil bersih, setelah harta yang
ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan, seperti biaya perawatan jenazah, hutang-
hutang dan penunaian wasiat.
Penambahan kalimat “setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai
kepentingan” menunjukkan adanya penyempitan definisi, yang dipergunakan untuk
membedakan harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan bersifat lebih umum
sedangkan harta warisan lebih khusus karena harta warisan juga dapat disebut dengan harta
benda jika tidak dipotong dengan dengan tiga kepentingan seperti biaya perawatan jenazah,
hutang-hutang dan penunaian wasiat.
Dalam hal hidupnya waris, para ahli waris yang benar-benar hiduplah di saat kematian
muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaitan dengan bayi yang masih berada
dalam kandungan akan dibahas secara khusus.

Tidak ada penghalang kewarisan, dalam hal ini ahli waris tidak mempunyai halangan
sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan-ketentuan tentang penghalang kewarisan yang telah
ditentukan..
2. Putusnya Perkawinan karena Perceraian

Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga sering kali tidak dilaksanakan,


sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram serta hilang rasa kasih sayang
dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain, yang akibat lebih jauh adalah terjadinya
perceraian.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan batasan


mengenai istilah perceraian. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang
Perkawinan ditentukan bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri
itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.

Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan terdapat beberapa hal
yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian, yaitu:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun beturut-turut.tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat selama perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

e. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang


membahayakan terhadap pihak lain;

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.3

Kepada mereka yang mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta perceraian sebagai
bukti berakhirnya perkawinan mereka. Akta perceraian ditandatangani oleh panitera kepala.

3
Pasal 221 KUH Perdata yang menentukan setiap salinan putusan perceraian yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada instansi berwenang guna dicatatkan
oleh Pejabat Pencatat pada buku register perceraian. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk
memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan
bahwa perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak
pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.

Selanjutnya dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan disebutkan beberapa hal


akibat hukum putusnya perkawinan yang dikarenakan oleh perceraian :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban
tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Pasal di atas memberikan pengertian bahwa :

a) Mantan suami atau isteri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak , Pengadilan memberikan keputusan.
b) Mantan suami bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilamana dalam kenyataan suami tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa isteri ikut memikul biaya tersebut;
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/ atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri.
Kemudian dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
beberapa alasan yang mengakibatkan terjadinya perceraian, yaitu:

a. zinah,

b. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat

c. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman
yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.

d. melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri
atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau
dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.

Perceraian dapat terjadi karena talak dan gugatan perceraian. Mengenai Talak telah
diatur dalam Pasal 117-122 KHI yang menentukan talak adalah ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang petitumnya memohon untuk diizinkan
menjatuhkan talak terhadap istrinya. Cerai talak yang diajukan oleh suami yang telah, riddah
(keluar dari agama Islam), produk putusannya bukan memberikan izin kepada suami untuk
mengikrarkan talak, akan tetapi talak dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama
memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat. Gugatan hadhanah, nafkah anak, nafkah
istri, mut'ah, nafkah iddah dan harta bersama suami istri, dapat diajukan bersama-sama dengan
cerai gugat. Selama proses pemeriksaan cerai gugat sebelum sidang pembuktian, suami dapat
mengajukan rekonvensi mengenai penguasaan anak dan harta bersama.

Dalam perkara cerai gugat, istri dalam gugatannya dapat mengajukan gugatan provisi,
begitu pula suami yang mengajukan rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi tentang
hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Pemeriksaan dan penyelesaian cerai gugat yang diajukan istri atas dasar alasan suami
zina, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku pada gugat cerai biasa, yaitu dilakukan
pembuktian dengan saksi atau sumpah pemutus, atau atas dasar putusan Pidana yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap bahwa suaminya melakukan tindak pidana zina.
Akhirnya Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan
sidang pengadilan.

Dalam hal perkawinan putus karena perceraian, maka harta diatur menurut hukumnya
masing-masing. Penjelasan pasal tersebut menerangkan bahwa yang dimaksud dengan
“hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum positif yang
lain.

3. Putusnya Perkawinan karena Putusan Pengadilan

Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dapat terjadi, karena adanya seseorang
yang meninggalkan tempat kediamana bersama, sehingga perlu diambil langkah-langkah
terhadap perkawinan orang tersebut, untuk kepentingan keluarga yang ditinggalkan. Perceraian
membawa akibat yang luas bagi perkawinan, bagi suami-isteri, harta kekayaan perkawinan
maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.

Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan juga bisa terjadi karena adanya
permohonan dari salah satu pihak suami atas istri atau para anggota keluarga yang tidak setuju
dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai. Atas permohonan ini
pengadilan memperbolehkan perkawinan yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan
dengan syara’ atau perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam
Undang-Undang perkawinan maupun menurut hukum agama.

Putusnya Perkawinan atas Putusan Pengadilan dapat terjadi apabila dilakukan di depan
Pengadilan Agama, baik itu karena suami yang menjatuhkan cerai (talak), ataupun karena isteri
yang menggugat cerai atau memohon hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam agama
Islam, perkawinan yang putus karena perceraian dianggap sah apabila diucapkan seketika oleh
suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi
segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum perceraian itu.

Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah
pihak. Perceraian bagi pemeluk agama Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan
Pengadilan Agama (Undang-undang N0. & tahun 1989 tentang Peradilan Agama), sedangkan
bagi pemeluk agama non Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan
Negeri.

Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun
kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur-tangan dari Pemerintah,
namun demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga
demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga Pengadilan.

Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan


sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang beragama Islam.
Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa perceraian itu harus dilakukan
di depan sidang Pengadilan namun karena ketentuuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan
bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan
ini.

Akibat perceraian baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Ketika suatu saat ada perselisihan
mengenai hak penguasaan atas anak, maka Pengadilan akan memberikan keputusannya. Dan
harus diterima oleh para pihak. Dalam hal ini kekuasaan orang tua menurut Undang-undang No.
1 tahun 1974 bersifat tungga. Artinya, walaupun telah terjadi perceraian, kekuasaan orang tua
atas anak yang masih di bawah umur tetap berjalan, tidak berubah menjadi perwalian seperti
pengaturan dalam KUH Perdata (pasal 298, 299).4

Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat


atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat
mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan dapat:

 Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami,


 Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak,

4
 Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang
menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak isteri (pasal 24
PP No. 9 tahun 1975)
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, pengadilan dapat menentukan bawhwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya


penghidupan dan / atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya (pasal 41)

Perwalian tidak timbul setelah terjadinya perceraian, pewalian menurut Undang-undang


Perkawinan ialah bagi anak yang belum mencapai usia genap 18 tahun atau belum
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Mereka yang di
bawah kekuasaan orang tua adalah anak sah yang belum genap berumur 18 tahun.

Anda mungkin juga menyukai