Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Utilitarisme & Deontologi

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KODE ETIK PSIKOLOGI


UTILITARISME DAN DEONTOLOGI

Disusun oleh:
Kelompok 9
Amelia Rosada (10518662)
Anne Milleni Syahri (10518917)
Emilia Rohmah Pangestika (12518246)
2PA01

UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS PSIKOLOGI
PTA 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Utilitarisme dan Deontologi”
dalam mata kuliah Kode Etik Psikologi.
Makalah ini dapat terwujud karena bantuan dari berbagai pihak dan kerja sama
yang baik antara anggota kelompok sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terima kasih pula kami sampaikan kepada
dosen pengampu mata kuliah Kode Etik Psikologi, Ibu Aski Marissa yang membimbing
dan membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembuatan makalah
ini.
Namun kami menyadari makalah ini tidak luput dari kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang
berkenan. Berkenaan dengan ini, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini lebih baik dari sebelumnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat sebagai sumber informasi pengetahuan bagi kita semua.

Depok, 11 November 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................................
1.1.Latar Belakang..........................................................................................................
1.2.Rumusan Masalah.....................................................................................................
1.3.Tujuan.......................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................
2.1.Utilitarisme...............................................................................................................
2.2.Deontologi.................................................................................................................
BAB III PENUTUP........................................................................................................
3.1.Simpulan...................................................................................................................
3.2.Saran-saran................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam sejarah filsafat terdapat banyak sistem etika yang berarti sistem-sistem
tersebut akan mengatur bagaimana manusia bertindak dan bertingkah laku serta motivasi
apa yang mendasarinya sesuai yang telah diatur untuk mencapai nilai-nilai kebaikan.
Pemaparan mengenai bagaimana seharusnya kita menjalani suatu kehidupan merupakan
sesuatu yang rumit dan sering diperdebatkan. Karena di satu pihak, sistem-sistem itu
dapat diterima di masyarakat dan yang lainnya tidak. Sehingga sampai saat ini, masih
sulit menetapkan filsafat mana yang paling tepat dan benar yang seharusnya kita anut.
Banyak uraian sistematis yang berbeda-beda tentang hakikat dan peranan etika dalam
hidup manusia.
Dari beberapa banyak aliran sistem filsafat moral yang dihasilkan dari sudut
pandang yang berbeda dari beberapa filsuf, kami hanya akan membahas dua diantaranya,
yaitu sistem filsafat moral utilitarisme dan deontologi. Di antara sistem filsafat moral satu
dengan yang lainnya ada yang saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep
dasar yang kurang lebih sama. Hal itu tidak mendorong untuk saling dipertentangkan,
karena dengan beragamnya paham atau sistem filsafat tersebut, kita dapat menentukan
cara yang sesuai dengan persoalan dan permasalahan yang sedang kita hadapi.
Oleh karena itu, kami akan menjelaskan sistem-sistem filsafat moral dari sudut
pandang utilitarisme dan deontologi melalui pembahasan mengenai pandangan dan
tinjauan kritis.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana pandangan sistem filsafat moral utilitarisme?
2. Bagaimana pandangan Immanuel Kant dalam teori deontologi?
3. Bagaimana pandangan W. D. Ross terhadap teori deontologi Kant?
1.3. Tujuan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
tujuan sebagai berikut.
1. Mengetahui bagaimana pandangan sistem filsafat utilitarisme.
2. Mengetahui bagaimana pandangan Immanuel Kant dalam teori deontology.
3. Mengetahui bagaimana pandangan W. D. Ross ter
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Utilitarisme
Utilitarisme berasal dari kata utilitis yang berarti manfaat, faedah dan
menguntungkan. Paham ini bertujuan untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh
orang lain dan memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin
orang. Utilitarisme merupakan perpaduan antara paham konsekuensialisme dan paham
welfarisme. Konsekuensialisme adalah paham yang menyatakan bahwa yang baik
ditetapkan berdasarkan akibat atau konsekuensi. Welfarisme adalah paham yang
menyatakan bahwa usaha masyarakat atau negara harus ditujukan pada kesejahteraan
rakyat secara menyeluruh. Etika utilitarian ialah penilai baik buruk tindakan manusia
difondasikan pada soal berguna atau tidak berguna (“utile”) bagi kesejahteraan bersama.
Skema utilitarisme ialah “mengusahakan kebaikan sebanyak mungkin bagi komunitas”
(John Stuart Mill).

2.1.1. Utilitarisme Klasik


Aliran ini berasal dari tradisi pemikiran moral di United Kingdom dan
kemudian berpengaruh ke seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. Filsuf
Skotlandia, David Hume (1711-1776), sudah memberi sumbangan penting ke
arah perkembangan aliran ini, tetapi utilitarisme menurut bentuk lebih matang
berasal dari filsuf Inggris Jeremy Bentham (1748-1832), dengan bukunya
Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Utilitarisme
dimaksudnya sebagai dasar etis membaharui hukum Inggris, khususnya hukum
pidana. Ia beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan, umpamanya, dalam sistem
hukum Inggris sudah ketinggalan zaman dan harus diganti. Betham mengusulkan
suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan
yang terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan atau penderitaan yang
diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat. Suatu pelanggaran yang
tidak merugikan orang lain, menurut Bentham sebaiknya tidak dianggap sebagai
tindakan kriminal, seperti misalnya pelanggaran seksual yang dilakukan atas dasar
suka sama suka.
Bentham mulai menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya
ditempatkan di bawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat
(ketidaksenangan dan kesenangan). Menurut kodratnya manusia menghindari
ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai, jika ia memiliki
kesenangan dan bebas dari kesusahan. Dalam hal ini Bentham sebenarnya
melanjutkan begitu saja hedonisme klasik.
Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada
kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat
meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Dalam
hal ini, Bentham meninggalkan hedonisme, individualistis dan egoistis dengan
menekankan bahwa kebahagiaan itu menyangkut seluruh umat manusia. Menurut
Bentham, prinsip kegunaan itu harus diterapkan secara kuantitatif. Karena
kualitas kesenangan selalu sama, satu-satunya aspek yang bisa berbeda adalah
kualitasnya.
Utilitarisme diperluas dan diperkukuh lagi oleh filsuf Inggris, John Stuart
Mill (1806-1873). Dalam bukunya Utilitarianism (1864), ia mengeritik
pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara
kuantitatif. Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan juga, karena
ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Menurut
Mill, kesenangan manusia harus dinilai lebih tinggi mutunya daripada
kesenangan hewan, dan kesenangan orang seperti Sokrates lebih bermutu
daripada kesenangan orang tolol.
Pikiran Mill yang kedua adalah bahwa kebahagiaan yang menjadi norma
etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam satu kejadian, bukan
kebahagiaan satu orang saja. Raja dan seorang bawahan dalam hal ini harus
diperlakukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh ditempatkan di
atas kebahagiaan orang lain, betapapun pentingnya kedudukannya dalam
masyarakat.
2.1.2. Tinjauan Kritis
Salah satu kekuatan utilitarisme adalah bahwa mereka menggunakan
sebuah prinsip jelas dan rasional. Akan tetapi, utilitarisme juga mempunyai
beberapa kelemahan, yaitu:
a. Utilitarisme tidak lagi memuat egoisme etis karena prinsip kegunaan
berbunyi: kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar, tetapi bertolak
dari suatu dasar psikologis bahwa sebagai manusia kita mencari kesenangan
dan menghindari ketidaksenangan. Dasar psikologis itu bersifat semata-mata
individualistis. Karena itu, Bentham tidak konsekuen dengan loncatan ke
jumlah orang terbesar.
b. Prinsip kegunaan bahwa suatu perbuatan adalah baik jika menghasilkan
kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar, tidak selamanya benar.
Misalnya, pada suatu kasus sadisme dimana satu orang dengan cara kejam
disiksa oleh banyak orang yang mempunyai kelainan jiwa sadisme. Kalau
kesenangan para penyiksa melebihi penderitaan korban, maka menurut
prinsip utilitarisme perbuatan itu bisa dinilai baik, sehingga sistem
utilitarisme akan mengesampingkan paham “hak”.
c. Prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apapun bahwa kebahagiaan dibagi
juga dengan adil. Jika dalam suatu masyarakat mayoritas terbesar hidup
makmur dan sejahtera serta hanya ada minoritas kecil yang serba miskin dan
mengalami kekurangan, menurut utilitarisme dari segi etis masyarakat seperti
itu telah diatur dengan baik karena kesenangan melebihi ketidaksenangan.

2.1.3. Utilitarisme Perbuatan dan Utilitarisme Aturan


Suatu percobaan yang menarik untuk mengatasi kritikan berat yang
dikemukan terhadap utilitarisme adalah membedakan antara dua macam
utilitarisme, yaitu utilitarisme perbuatan dan utilitarisme aturan. Hal ini
dikemukakan oleh filsuf Inggris-Amerika Stephen Toulmin, menegaskan bahwa
prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan atas
aturan-aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita.
Filsuf Richard B. Brandt melangkah lebih jauh lagi dengan mengusulkan
agar bukan aturan moral satu demi satu, melainkan sistem aturan moral sebagai
keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan.
Utilitarisme aturan ini merupakan sebuah varian yang menarik dari
utilitarisme. Perlu diakui bahwa dengan demikian kita bisa lolos dari banyak
kesulitan yang melekat pada utilitarisme perbuatan. Utilitarisme aturan ini timbul
jika terjadi konflik antara dua aturan moral.
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. (2013). Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.


Dewantara, A. W. (2017). Filsafat moral: Pergumulan etis keseharian hidup manusia.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wattimena, R. A. A. (2008). Filsafat dan sains: Sebuah pengantar. Jakarta: PT.
Grasindo.
4. hadap teori deontologi Kant.

Anda mungkin juga menyukai