Kajian Prosa Fiksi Indonesia.-1
Kajian Prosa Fiksi Indonesia.-1
Kajian Prosa Fiksi Indonesia.-1
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Kajian Prosa Fiksi Indonesia
disusun oleh:
Kelompok 3
kelas 3A
Ahmad Abdul Karim (1810631080181)
Maura Fricilia Van Yusat (1810631080083)
Amelia Indah Nurfitriani (1810631080018)
Eva Muzdalifah (1810631080178)
Amelia Nurfadilah (1810631080148)
Assalamualaikum Wr. Wb
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT., karena berkat
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya.
Tujuan kami membuat makalah yang berjudul Repersentasi Kemiskinan pada
Cerpen “Warung dan Panajem” Karya: Ahmad Tohari: Kajian Sosiologi Sastra
adalah untuk menambah wawasan dan melengkapi tugas yang telah diberikan.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................................
Daftar Isi..............................................................................................................................
Bab 1 Pendahuluan..............................................................................................................
2.1.1 Sinopsis.......................................................................................................................
2.1.2 Alur.............................................................................................................................
2.1.4 Latar............................................................................................................................
2.1.7 Amanat........................................................................................................................
2.1.8 Tema...........................................................................................................................
3.2 Faktor-faktor penyebab kemiskinan Jum pada cerpen “Warung Panajem” karya
Ahmad Tohari......................................................................................................................
3.3 Dampak kemiskinan tokoh Jum pada cerpen “Warung Panajem” karya Ahmad
Tohari...................................................................................................................................
Bab 4 Simpulan...................................................................................................................
Daftar Pustaka......................................................................................................................
Lampiran..............................................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebuah karya sastra tidak akan terlepas jauh dari penulis. Mulai dari
latar belakang penulis, sosial budaya penulis, pendidikan penulis, atau
bahkan agama yang dianut oleh penulis. Faktor-faktor tersebut berkaitan
dengan sebuah karya sastra yang dihasilkan oleh penulis. Karya sastra
merupakan gambaran dari kejadian sosial yang terjadi di dunia yang diubah
penulis ke dalam bentuk karya sastra. Jika kita berbicara karya sastra kita
tidak akan terlepas dari pelakon sastra atau sastrawan. Menurut Wiyatmi
sastrawan adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan
tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari
lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.
Sastra menurut Wiyatmi adalah lembaga sosial yang menggunakan
bahasa sebagai mediumnya. Karena bahasa itu merupakan ciptaan sosial.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan
sastra, bahasa, akan selalu berkaitan dengan kehidupan sosial.
1.2. Pengarang dan Karyanya
Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa
Tengah, 13 Juni 1948; umur 71 tahun) adalah sastrawan dan budayawan
berkebangsaan Indonesia.
Ahmad Tohari menamatkan SMA di Purwokerto. Karya
monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk, sudah diterbitkan dalam berbagai
bahasa dan diangkat dalam film layar lebar berjudul Sang Penari. Ia pernah
mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun,
Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Sudirman,
Purwokerto (1974-1975), dan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Jenderal Sudirman (1975-1976). Tulisan-tulisannya berisi gagasan
kebudayaan dimuat di berbagai media massa. Ia juga menjadi pembicara di
berbagai diskusi/seminar kebudayaan.
Karya-karya Ahmad Tohari
Kubah (novel, 1980)
Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (adaptasi menjadi film tahun
2011):
Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982)
Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985)
Jantera Bianglala (novel, 1986)
Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986)
Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1989)
Bekisar Merah (novel, 1993)
Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995)
Nyanyian Malam (kumpulan cerpen 2000)
Belantik (novel, 2001)
Orang-orang Proyek (novel, 2002)
Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004)
Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan (novel Bahasa Jawa, 2006;
meraih hadiah sasterarancage 2007).
Jum yang punya hasrat besar punya rumah tembok, televisi, dan sepeda
motor bebek. Dan demi cita-cita itu Jum merasa tak punya jalan kecuali bekerja
keras dan mau menempuh segala upaya agar warungnya maju dan laris.
(Tohari).
Terlihat dari kutipan tersebut bahwa tokoh Jum mempunyai hasrat untuk
memiliki rumah tembok, televisi, dan sepeda motor bebek. Mungkin pada saat itu
merupakan standar orang kaya. Menjadikan faktor-faktor orang-orang tidak
memiliki barang-barang itu diklasifikasikan sebagai orang miskin. Hingga tokoh
Jum dengan segala daya upaya mengusahakan dapat memiliki barang-barang
tersebut.
Meliasanti, Ferina 2018. Apresiasi Prosa Fiksi Indonesia. Karawang: Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Singaperbangsa
Karawang.
Puspaningrum, Dwi. 2017. Wajah Kemiskinan Kalangan Bawah Dalam Kumpulan
Cerpen Mata Yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari: Kajian Sosiologi
Sastra. Yogyakarta: Sastra Indonesia, universitas Negeri Yogyakarta.
Sosiologi, Dosen. 2018. Pengantar [Online] 6 Pengertian Sosiologi Sastra, Ruang
Lingkup, Fungsi, dan Contoh Lengkap.
http://dosensosiologi.com/pengertian-sosiologi-sastra-ruang-lingkup-fungsi-
dan-contoh-lengkap/. Diunduh 21 November 2019.
Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Bandung:
Alfabeta.
Tohari, Ahmad. 2015. Mata yang Enak Dipandang (Kumpulan Cerpen). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Wikipedia. 2019. Pengantar [Online] Ahmad Tohari.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Tohari. Diunduh 21 November 2019.
Wiyatmi, 2005. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher
Wiyatmi. 2013. Sosiologi Sastra. Kanwa Publisher.
Lampiran
WARUNG PENAJEM
Karya: Ahmad Tohari
Bunyi yang kering dan tajam selalu terdengar setiap kali mata cangkul
Kartawi menghujam tanah tegalan yang sudah lama kerontang. Debu tanah kapur
memercik. Pada setiap detik yang sama Kartawi merasa ada sentakan keras terhadap
otot-otot tangan sampai kepunggungnya. Dan petani muda itu terus mengayun
cangkul. Maka suara yang kering-tajam, percikan debu dan sentakan-sentakan otot
terus runtut terjadi di bawah matahari kemarau yang terik. Kaos oblong yang dipakai
Kartawi sudah basah oleh keringat. Kedua kakinya penuh debu hingga kelutut. Dan di
bawah bayangan caping bambu yang dipakainya, wajah Kartawi tampak lebih tua dan
berdebu.
Ketika lajur garapan mencapai batas tanahnya, Kartawi berhenti mengayun
cangkul. Petani itu tegak dan diam. Ia ingin mengembalikan tenaga dengan
memompakan udara dari paru-paru kesegenap otot-ototnya. Kedua matanya menyipit
dan menerawang datar kedepan. Di hadapannya, sejauh mata memandang, adalah
wajah kemarau yang menghampar di atas dataran tanah berkapur. Rumput dan perdu
kehilangan hijaunya. Pepohonan meranggas dan ratusan hektar tanah tegalan itu
kerontang. Lereng bukit kapur jauh di utara menjadi dinding warna kelabu dengan
bercak-bercak putih; bisu dan tandus. Dari kejauhan udara di atas permukaan tanah
tampak berpendar. Sementara di langit yang kosong burung layang-layang
beterbangan dalam kelengangan.
Kedua mata Kartawi masih menerawang ke depan. Dari latar belakang
permukaan bumi yang berpendar itu tiba-tiba Kartawi melihat citra Jum, istrinya.
Entahlah, tiba-tiba Kartawi merasa ada tekanan menusuk dadanya, ada segumpal
sabut kelapa mengganjal kerongkongannya. Otot-ototnya terasa kehilangan tenaga.
Jemari yang menggenggam gagang cangkul mengendur. Kepalanya pun tertunduk.
Kartawi menarik nafas panjang, kemudian berjalan lesu meninggalkan lajur garapan
menuju tempat teduh di bawah pohon johar. Petani muda itu mendadak kehilangan
semangat bekerja.
Kartawi berdiri dalam keteduhan pohon johar yang masih mempertahankan
daun-daun terakhir. Sosok Jum masih tampak jelas dalam rongga matanya, melayani
tetangga yang membeli cabai, bumbu masak, atau ikan asin. Atau segala macam
kebutuhan dapur para petani tetangga. Jum yang segar dan kuat. Jum yang punya
hasrat besar punya rumah tembok, televisi, dan sepeda motor bebek. Dan demi cita-
cita itu Jum merasa tak punya jalan kecuali bekerja keras dan mau menempuh segala
upaya agar warungnya maju dan laris.
Kartawi tahu segalanya tentang Jum sejak istrinya itu masih ingusan. Ketika
bocah, Jum paling betah main warung-warungan. Dalam permainan itu Jum selalu
bertindak sebagai pemilik warung dan semua temannya diminta berperan sebagai
pelanggan. Jum bisa betah sehari suntuk dalam permainan yang sering dilakukan di
bawah pohon nangka di belakang rumahnya itu.
Setelah menjadi isteri Kartawi, maka Jum tidak minta apa-apa kecuali
dibuatkan warung yang sebenarnya. Kartawi menurut karena suami itu memang amat
sayang kepada Jum. Maka Kartawi menjual dua ekor kambing dan menebang
beberapa pohon, satu di antaranya pohon bacang. Mengapa bacang, adalah karena
usul Jum. Kata Jum yang telah tahu ngelmu perwarungan, harus ada kayu dari pohon
buah-buahan dalam bangunan warung. ”Kang, kata orang-orang tua, kayu dari pohon
buah-buahan bisa memancing selera pembeli,” kata Jum dulu kepada suaminya.
Kartawi hanya menjawab dengan senyum dan dua hari kemudian berdiri sebuah
warung kecil di depan rumah pasangan muda itu.
Warung Jum langsung hidup. Jum tampak tekun dan gembira dengan
warungnya. Mungkin Jum berpendapat, hidup baginya tidak bisa berarti lain kecuali
membuka warung. Dengan warung itu Jum terbukti mampu mengembangkan
ekonomi rumah tangga. Pada tahun ketiga, sementara dua anak telah lahir, Jum
berhasil meraih salah satu keinginannya, memiliki rumah tembok. Tahun berikutnya
ia sudah punya televisi hitam putih 14 inci. Kini giliran sepeda motor bebek yang
ingin diraih Jum. Dan Kartawi sepenuhnya berada di belakang cita-cita istrinya itu.
Soalnya sederhana: punya istri yang pergi kulak dagangan naik sepeda motor milik
sendiri adalah prestasi yang sulit disamai oleh sesama petani di kampungnya.
Pokoknya Kartawi merasa jadi lelaki beruntung karena punya istri Jum.
Tetapi mengapa sejak beberapa hari terakhir ini Kartawi mendengar
selentingan para tetangga tentang Jum. Entah dari mana sumbernya para tetangga
mengembangkan cas-cis-cus bahwa Jum pekan lalu tanpa setahu suami pergi
mengunjungi Pak Koyor, orang pandai, dari kampung sebelah. Orang bilang Jum
pergi ke sana demi memperoleh penglaris bagi warungnya. Soal
mencari penglaris Kartawi maklum bahkan setuju. Ya, Kartawi memang percaya,
meraih cita-cita tidak cukup dilakukan dengan usaha nyata. Namun masalahnya cas-
cis-cus para tetangga mengembang lebih jauh; bahwa Jum telah
memberikan penajem kepada Pak Koyor. Kartawi tahu penajem, yaitu syarat yang
harus diberi kepada dukun agar suatu upaya mistik berhasil, bisa berupa uang,
ayam cemani atau bahkan tubuh pasien sendiri. Dan para tetangga bilang, Jum telah
memberikan yang terakhir itu kepada sang dukun.
Masih berdiri di bawah pohon johar, Kartawi kembali merasa dadanya
tertekan keras. Dalam hati Kartawi berharap selentingan para tetangga itu Cuma
omong kosong. Mungkin mereka iri karena melihat warung Jum laris sehingga
mereka sengaja meniupkan cerita macam-macam, pikir Kartawi. Tetapi bagaimana
bila benar Jum telah memberikan tubuhnya sebagai penajem kepada Koyor? Rasa
sakit kembali menusuk dada Kartawi lebih keras. Kartawi merasa dirinya terayun-
ayun dalam ketidakpastian yang sangat menyiksa.
Karena sadar hanya Jum sendiri yang bisa memberinya kejelasan, Kartawi
memutuskan segera pulang meskipun hasil kerja siang itu sama sekali belum
memadai. Berteman bayang-bayangnya sendiri, Kartawi melangkah mengikuti jalan
tikus yang membelah tegalan. Cangkul membujur di atas pundak dan tempat
minuman dalam jinjingannya. Pada sebuah simpang empat kecil, lelaki itu berbelok
ke arah timur. Suara dedaunan kering yang remuk terinjak mengiringi setiap langkah
petani muda itu.
Ketika sampai di rumah, Kartawi melihat Jum sedang melayani beberapa
pembeli. Sebenarnya Kartawi hampir tak tahan menunggu sampai Jum punya peluang
untuk diajak bicara. Namun ternyata suami yang sedang memendam kejengkelan itu
harus bisa menahan diri sampai sore, malah malam hari. Selagi masih ada orang
terjaga, Jum harus siap melayani mereka. Bahkan sesudah warung ditutup pun tak
jarang ada pembeli mengetuk pintu.
Maka pertanyaan tentang benar tidaknya cas-cis-cus para tetangga itu baru
bisa diajukan oleh Kartawi ketika malam sudah larut. Anak-anak pun sudah lama
tertidur. Dan Jum saat itu yang sedang duduk menikmati televisi tampak tak berminat
menanggapi pertanyaan suaminya. Kartawi bangkit dan mematikan TV, lalu duduk
kembali dan mengulang pertanyaannya dengan tekanan lebih berat.
”Ya, Kang, pekan lalu saya memang pergi kepada Pak Koyor,” dengan gaya
tanpa beban. ”Setiyar Kang, supaya warung kita tetap laris. Kamu tahu Kang,
sekarang sudah banyak saingan.”
Kartawi menelan ludah. Ia merasa ada gelombang pasang naik dan menyebar
ke seluruh pembuluh darahnya. Di bawah cahaya lampu listrik 10 watt wajahnya
tampak sangat berat. ”Dan Kamu memberi dia penajem? Iya?” tanya Kartawi.
Suaranya dalam dan makin berat. Tatapan matanya menusuk mata istrinya. Jum
hanya sekejap mengangkat muka, lalu tertunduk. Dan tersenyum ringan. Wajahnya
pun kembali cair. ”Kang, Kamu ini bagaimana? Soal memberi penajem itu kan biasa.
Jadi ...””Jadi betul Kamu...” Tangan Kartawi meraih gelas yang seperti hendak
diremukkannya dalam genggaman. Otot yang mengikat kedua rahangnya
menggumpal. Matanya menyala. Jum menyembunyikan wajah karena mengira
Kartawi akan memukulnya, Tidak, ternyata Kartawi bisa menahan diri meski seluruh
tubuhnya bergetar menahan marah.
”Kang,” ujar Jum setelah suaminya agak kendur. ”Dengarlah, saya mau
bicara.” Jum berhenti dan menelan ludah yang tiba-tiba terasa lebih pekat. ”Yang
saya berikan kepada Pak Koyor bukan begitu-begitu yang sesungguhnya. Saya cuma
main-main, cuma pura-pura, Tidak sepenuh hati. Kang, saya masih eling. Begitu-
begitu yang sebenarnya hanya untuk kamu. Sungguh, Kang.” Kartawi tatap membatu.
Matanya tetap berpijar. Urat rahangnya masih menggumpal. Dalam perasaan yang
terpanggang itu Kartawi melihat wilayah-wilayah pribadi tempat bersemayam harga
diri dan martabat kelelakiannya terinjak-injak. Porak-porak. Jemari kembali
meregang untuk meremas gelas yang masih digenggamnya. Jum malah mencoba
tersenyum. Tetapi Jum terkejut karena tiba-tiba Kartawi berteriak. ”Lalu apa
bedanya begitu-begitu yang main-main dengan begitu-begitu yang sungguhan?” Jum
kembali menelan ludahnya. Dan ketenangannya yang kemudian berhasil
ditampilkannya membuat Kartawi harus tetap pada posisi menahan diri.
”Oalah Kang, bedanya banyak. Karena cuma main-main maka begitu-begitu yang
saya lakukan itu tidak sampai ke hati. Tujuan saya hanya untuk membayar penajem,
agar warung kita laris, tidak lebih. Jadi, Kamu tidak kehilangan apa-apa, Kang.
Semuanya utuh. Kang, jika warung kita bertambah laris, kita juga yang bakal enak-
kepenak, bukan?” Belum satu detik setelah Jum selesai mengucapkan kata-katanya
Kartawi bangkit. Detik berikut terdengar suara gelas hancur terbanting di lantai.
Kartawi ke luar setelah membanting pintu keras-keras. Dan Jum menangis.
Selama tiga hari Kartawi lenyap dari rumah. Para tetangga bilang, Kartawi
begitu tertekan, malu, dan terhina, setelah mendengar pengakuan Jum. Malah ada
yang bilang Kartawi kembali ke rumah orang tuanya dan telah memutuskan hendak
bercerai dari Jum. Namun ada lagi yang bilang Kartawi pergi hanya untuk menghibur
diri dengan cara jajan. Dengan jajan Kartawi berharap dendamnya dapat
terlampiaskan karena kedudukan antara dia dan Jum menjadi satu-satu. Atau
entahlah. Yang pasti Kartawi sendiri setelah jajan beban pikirannya malah semakin
berat. Terasa ada bagian jati dirinya yang lepas.
Pada hari keempat Kartawi pulang. Rindunya pada rumah, kepada anak-anak,
dan kepada Jum tak tertahankan. Bagaimana juga Jum dan anak-anak sudah lama
menjadi bagian hidup Kartawi sendiri. Kemarahan yang amat sangat tak mampu
mengeluarkan Jum dari inti kehidupannya. Namun sampai di halaman Kartawi
termangu. Dipandangnya warung Jum yang laris yang telah mendatangkan banyak
untung. ”Dengan warung ini ekonomi rumah tanggaku bisa sangat meningkat,” pikir
Kartawi. ”Keluargaku bisa hidup wareg, anget, rapet.” Tetapi dada Kartawi kembali
terasa remuk ketika teringat penajem yang telah dibayar oleh Jum. Peningkatan
ekonomi itu ternyata telah menuntut pengorbanan yang luar biasa dan mahal. Kartawi
jadi bimbang dan tergagap di halaman rumah sendiri.