Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Sastra Indonesia 1920-1945

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH BAHASA

INDONESIA
SASTRA INDONESIA
MODERN ANGKATAN
1920-1945

DISUSUN OLEH :
Andrew Horas (02)
Claudia Nathasia Jason (07)
Smirna Wirawanty P. (24)
Teddy Piter (26)
Wynne Wijaya (31)

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan kami kesempatan untuk dapat menyelesaikan makalah
tentang sastra Indonesia modern yang terdiri dari angkatan 1920, angkatan
1933 dan juga angkatan 1945.
Sastra Indonesia terdiri ribuan bahkan jutaan karya yang telah dibuat
mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, makalah ini
dibuat dengan harapan generasi muda yang membaca makalah ini mampu
menggunakan pengalaman dari para sastrawan yang hidup terlebih dahulu
untuk mengembangkan sastra Indonesia.
Terakhir, kami mengucapkan beribu maaf apabila terjadi kesalahan
dalam pengetikan dan kami sangat mengharapkan masukan dari pembaca
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini

Makassar, 10 Januari 2015

Penyusun

BAB I
SASTRA INDONESIA MODERN
A. PENGERTIAN
Menurut KBBI, Sastra memiliki arti bahasa atau kata-kata yang
digunakan dalam kitab-kitab dan Sastra Indonesia berarti sastra yang
ditulis menggunakan bahasa Indonesia. Sastra Indonesia modern
adalah karya sastra yang karya sastranya tidak hanya diciptakan dari
orang-orang melayu saja, melainkan sudah berkembang keseluruh
wilayah indonesia, ruang lingkup sastra modern juga lebih luas dari
pada sastra sastra lama, hampir seluruh masyarakat Indonesia bisa
menikmati berbagai karya sastra, berbeda dengan sastra lama yang
sebagian besar dibuat oleh pengarang-pengarang dari melayu dan
ruang lingkup yag sempit.

B. SEJARAH SINGKAT
Perhatian masyarakat sastra Indonesia terhadap masalah
sejarah kebudayaan, termasuk sastra, telah tampak sejak awal
pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an sebagaimana terbaca
dalam Polemik Kebuadayaan suntingan Achdiat K.Mihardja (1977).
Polemik yang berkembang antara tokoh-tokoh S.Takdir Alisjahbana,
Sanusi Pane, Poerbatjaraka, M.Amir, Ki Hadjar Dewantara, Adinegoro
dan lain-lain memang tidak secara khusus memperdebatkan konsep
kesusastraan Indonesia, tetapi telah memperlihatkan kesadaran
mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia.
Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa sebutan Indonesia telah
dipergunakan secara luas dan kabur sehingga tidak secara tegas
menunjukan pada semangat keindonesiaan yang baru sebagai awal
pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Menurut Takdir, semangat

keindonesiaan yang baru seharusnya berkiblat ke barat dengan


menyerap semangat atau jiwa intelektulnya agar wajahnya berbeda
dengan masyarakat kebudayaan pra-Indonesia. Namun, pendapat
yang teoretis itu sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat
dan seni. Yang belum terbentuk adalah natie atau bangsa Indonesia,
tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya sudah ada.
Menurut Sanusi Pane, kebudayaan Barat yang mengutamakan
intelektualitas untuk kehidupan jasmani tidak dengan sendirinya
istimewa karena terbentuk oleh tantangan alam yang keras sehingga
orang harus berpikir dan bekerja keras. Sementara itu, kebudayaan
Timur pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan
rohani, karena kehidupan jasmani telah dimanjakan oleh alam yang
serba memberikan kemudahan. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia
baru dapat dibentuk dengan mempertemukan semangat intelektualitas
Barat dengan semangat Kerohanian Timur.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa sambungan kesejarahan itu
sudah ada dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan
penyelidikan tentang jalannya sejarah sehingga orang dapat menengok
ke belakang sebagai landasan melihat keadaan zaman yang
bersangkutan dan selanjutnya mengatur hari-hari yang akan datang.
Hingga sekarang sejarah sastara Indonesia telah berlangsung
relative panjagn dengan perkembangan yang terbilang pesat dan
dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang lebar. Hal itu dapat
dipandang sebagai tantangan besar ahli sastra Indonesia.akan tetapi,
pada kenyataannya buku-buku sejarah sastra Indonesia masihrelatif
sangat sedikit dibandingkan dengan buku-buku kritik, esai, dan
apresiasi sastra.
C. PERIODISASI SASTRA INDONESIA
Masalah periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit
telah diperlihatkan oleh Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia (1969), Jakob Sumardjo dalam Lintasan Sejarah Sastra
Indonesia 1 (1992), dan Rahmat Joko Pradopo dalam Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan penerapannya (1995).
Secara garis besar Ajib Rosidi (1969: 13) membagi sejarah
sastra Indonesia sebagai berikut:

I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu


1900-1945 yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa period, yaitu
1.
Period awal hingga 1933
2.
Period 1933-1942
3.
Period 1942-1945
II. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi
beberapa period, yaitu
1.
Period 1945-1953
2.
Period 1953-1961
3.
Period 1061-1968
Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (19001933) adalah persoalan adat yang sedang menghadapai akulturasi
sehingga menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi
masing-masing, sedangkan periode 1933-1942 diwarnai pencarian
tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan
pandangan romantic-idealis.
Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa
pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, kegelisahan, dan
peralihan, sedangkan warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah
kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya
warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap
warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Pada
periode 1961-1968 tampak menonjol warna perlawanan dan
perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya
tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan
pengucapan sastra.
Pada kenyataanya telah tercatat lima angkatan yang muncul
dengan rentang waktu 10 15 tahun sehingga dapat disusun
perodisasi sejarah sastra Indonesia modern sebagai berikut:
1.
Sastra Awal (1900 an ),
2.
Sastra Balai Pustaka (1920 1942)
3.
Sastra Pujangga Baru (1930 1942)
4.
Sastra Angkatan 45 (1942 1955)
5.
Sastra Generasi Kisah (1955 1965)
6.
Sastra Generasi Horison (1966)
Dikatakan oleh Jakob bahwa penamaan itu didasarkan pada
nama badan penerbitan yang menyiarkan karya para sastrawan,
seperti Penerbit Balai Pustaka, majalah Pujangga Baru, majalah Kisah,
dan majalah Horison, kecuali angkatan 45 yang menggunakan tahun

revolusi Indonesia. Ada juga penamaan angkatan 66 yang dicetuskan


H.B.Jassin dengan merujuk gerakan politik yang penting di Indonesia
pada sekitar tahun 1966.
Penulisan sejarah sastra Indonesia dapat dilakukan dengan dua
cara atau metode, yaitu (1) menerapkan teori estetika resepsi atau
estetika tanggapan, dan (2) menerapkan teori penyusunan rangkaian
perkembangan sastra dari periode atau angkatan ke angkatan. Di
samping itu, sejarah sastra Indonesia dapat juga dilakukan secara
sinkronis dan diakronis. Yang sinkronis berarti penulisan sejarah sastra
dalam salah satu tingkat perkembangan atau periodenya, sedangkan
yang diakronis berarti penulisan sejarah dalam berbagai tingkat
perkembangan, dari kelahiran hingga perkembangannya yang terakhir.
Kemungkinan lain adalah penulisan sejarah sastra dari sudut
perkembangan jenis-jenis sastra, baik prosa maupun puisi.
Setelah meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari
H.B.Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, dan
Ajip Rosidi, maka tawaran Rachmat Djoko Pradopo mengenai
periodisasi sejarah sastra Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Periode Balai Pustaka
: 1920-1940
2.
Periode Pujangga Baru
: 1930-1945
3.
Periode Angkatan 45
: 1940-1955
4.
Periode Angkatan 50
: 1950-1970
5.
Periode Angkatan 70
: 1965-1984
Dari pendapat para pakar di atas, maka dapat disimpulkan
periodisasi sastra sebagai berikut:
1.
Angkatan balai pustaka,
2.
Angkatan pujangga baru,
3.
Angkatan 45,
4.
Angkatan 50-an.
5.
Angkatan 60-an,
6.
Angkatan kontemporer (70-an--sekarang).

BAB II
PERIODISASI ANGKATAN 1920
ATAU BALAI PUSTAKA
5

A. SEJARAH SINGKAT
Angakatan tahun 1920-an lebih dikenal dengan nama angkatan
balai pustaka. Menurut Sarwadi (1999: 27) Balai Pustaka mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia yaitu dengan
keberadaanya maka sastrawan Indonesia dapat melontarkan apa yang
menjadi beban pikirannya melalui sebuah tulisan yang dapat dinikmati
oleh dirinya sendiri dan juga orang lain (penikmat sastra). Balai Pustaka
mempunyai tujuan untuk memberikan konsumsi berupa bacaan kepada
rakyat yang berisi tentang politik pemerintahan kolonial, sehingga
dengan hal itu Balai Pustaka telah memberikan informasi tentang
ajaran politik kolonial. Berdasarkan penyataan tersebut maka dengan
didirikannya Balai Pustaka telah memberikan manfaat kepada rakyat
Indonesia karena sasrta Indonesia menjadi berkembang.
Dilihat dari perkembangan sastranya, Balai Pustaka yang
memiliki maksud dan tujuan pendiriannya, maka pasti menetapkan
persyaratan-persyaratan didalam menyaring suatu karya sastra.
Dengan adanya persyaratan-persyaratan tersebut maka menimbulkan
berbagai macam pandangan orang terhadap Balai Pustaka. Hal itu
merupakan suatu kelemahan atau permasalahan dari balai Pustaka
yang kurang diperhatikan keberadaannya. Menurut Sarwadi (1999: 29)
permasalahan itu diantanya meliputi:
1. Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun
20an ialah Salah Asuhan karya Abdul Muis. Dalam karya itu
pengarang lerbih realistis didalam menyoroti masalah kawin
paksa. Selain itu berisi juga tentang pertentangan antara
kaum muda dengan kaum tua dalam pernikahan. Yang
menjadi permasalan bagi pengarang ialah akibat-akibat lebih
jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk dalam
tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah
kolonial Belanda.
2. Novel Belenggu karya Armin Pane pernah ditolak oleh Balai
Pustaka karena isinya dianggap tidak bersifat membangun
dan tidak membantu budi pekerti. Kemudian noel itu disadur
oleh Pujangga Baru tahun1938, dan dicetak ulang oleh Balai
Pustaka.

Selain disebut Angkatan BP, angkatan 20-an juga disebut


Angkatan Sitti Nurbaya karena roman yang paling digemari dan laris
oleh masyarakat ini adalah roman Sitti Nurbaya, karya Marah Rusli.

B. CIRI-CIRI
Ciri-ciri umum roman angkatan balai pustaka:
1. Bersifat kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan
yang hanya berlaku di daerah tertentu, khususnya
Sumatra barat,
2. Bersifat romantic-sentimental, karena ternyata banyak
roman yang mematikan tokoh-tokohnya atau mengalami
penderitaan yang luar biasa,
3. Bergaya bahasa seragam, karena dikemas oleh redaksi
balai pustaka, sehingga gaya bahasanya tidak
berkembang,
4. Bertema sosial, karena belum terbuka kesempatan
mempersoalkan masalah polotik, watak, agama, dan
lain-lain,
5. Sebagian besar berbentuk prosa (roman, novel, cerita
pendek dan drama) dan puisi.

C. KARYA SASTRA ANGKATAN BALAI PUSTAKA


Berikut adalah daftar penulis dan berberapa judul karyanya yang
termasuk dalam angkatan balai pustaka, yaitu :
1. Merari Siregar
a. Azab dan Sengsara (1920)
b. Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
c. Cinta dan Hawa Nafsu
2. Marah Roesli
a. Siti Nurbaya (1922)
b. La Hami (1924)
c. Anak dan Kemenakan (1956)
3. Muhammad Yamin
a. Tanah Air (1922)
7

b. Indonesia, Tumpah Darahku (1928)


c. Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
d. Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
4. Nur Sutan Iskandar
a. Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923)
b. Cinta yang Membawa Maut (1926)
c. Salah Pilih (1928)
d. Karena Mentua (1932)
e. Tuba Dibalas dengan Susu (1933)
5. Tulis Sutan Sati
a. Tak Disangka (1923)
b. Sengsara Membawa Nikmat (1928)
c. Tak Membalas Guna (1932)
d. Memutuskan Pertalian (1932)
6. Abdul Muis
a. Salah Asuhan (1928)
b. Pertemuan Djodoh (1933)

BAB III
PERIODISASI ANGKATAN
TAHUN 1933 ATAU ANGKATAN
PUJANGGA BARU

A. SEJARAH SINGKAT
Buku Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B
Jasin adalah sebuah bunga rampai (antologia) dari para pengarang dan
penyair yang oleh penyusunnya digolongkan ke dalam Angkatan
Pujangga Baru Seperti diketahui, oleh para ahli dan parapenyusun
buku-buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia
dibagi-bagimenjadi angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru
biasanya ditempatkan sebagaiangkatan kedua, yaitu setelah angkatan
Balai Pustaka dan mendahului kelahiran angkatan45. Tetapi kita lihat
pembagian sejarah sastra Indonesia dalam angkatan-angkatan ini,
tidaklah disertai dengan alasan-alasan yang bisa kita terima. Tidak
sedikit pula para sastrawan yang menolak atau tidak mau dimasukan
dalam sesuatu angkatan, mereka memilih masuk angkatan yang
disukainya. Misalnya Achdiat K. Mihardja pernah menyatakan bahwa ia
lebih suka digolongkan kepada angkatan Pujangga Baru, padahal para
ahli telah menggolongkannya kepada angkatan 45.
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor
yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada
masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa
nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru
adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Ketika sastra Indonesia dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru,
masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai Masa Angkatan Pujangga
Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada
Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung
lidah para pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh
tiga serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan
Sutan Takdir Alisjahbana.
Dalam manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi
kesusastraan itu, selain melukiskan atau menggambarkan tinggi
rendahnya suatu bangsa, juga mendorong bangsa tersebut ke arah
kemajuan.
Sebenarnya para pujangga baru serta beberapa orang pujangga
Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan
1880 (De Tachtigers).
Hal ini tak mengherankan sebab pada jaman itu banyak para
pemuda Indonesia yang berpendidikan barat, bukan saja mengenal,
bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Di antara para
9

pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem


Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru
kelahiran Sangihe yang beragama Protestan dan merupakan penyair
religius sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos.
Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang
bernafaskan Islam, lebih dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang
kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi Pane lebih banyak
dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai
seorang pengarang mistikus ke-Timuran.
Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja
Penyair Pujangga Baru adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi
agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa Barat itu rupanya jelas
sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi
tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis
kesusastraan modern.
Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya
secara lahir batin. Masih banyak lagi para pujangga baru lainnya
seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro, A. Hasjemi,
Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari
segala penjuru tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk
jiwa serta seninya.
Mereka berlomba-lomba, namun tetap satu dalam cita-cita dan
semangat mereka, yaitu semangat membangun kebudayaan Indonesia
yang baru dan maju. Itulah sebabnya mereka dapat bekerjasama,
misalnya saja dalam memelihara dan memajukan penerbitan majalah
Pujangga Baru.

B. CIRI-CIRI
Karya angkatan Pujangga Baru mempunyai ciri-ciri:
1. Bentuk puisi yang memegang peranan penting adalah
soneta, disamping itu ikatan-ikatan lain seperti quatrain
dan quint pun banyak dipergunakan. Sajak jumlah
suku kata dan syarat-syarat puisi lainnya sudah tidak
mengikat lagi, kadang-kadang para Pujangga Baru
mengubah sajak atau puisi yang pendek-pendek,
cukup beberapa bait saja. Sajak-sajak yang agak

10

panjang hanya ada beberapa buah, misalnya Batu


Belah dan Hang Tuah karya Amir Hamjah.
2. Tema dalam karya prosa (roman) bukan lagi
pertentangan paham kaum muda dengan adat lama
seperti angkatan Siti Nurbaya, melainkan perjuangan
kemerdekaan dan pergerakan kebangsaan, misalnya
pada roman Layar Terkembang karya Sutan Takdir
Alisyahbana
3. Bentuk karya drama pun banyak dihasilkan pada
masa
Pujangga
Baru
dengan tema kesadaran
nasional. Bahannya ada yang diambil dari sejarah
dan ada pula yang semata-mata pantasi pengarang
sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis.

C. KARYA SASTRA ANGKATAN PUJANGGA BARU


Berikut adalah daftar penulis dan berberapa judul karyanya yang
termasuk dalam angkatan pujangga baru, yaitu :
1. Sutan Takdir Alisjahbana
a. Tebaran Mega - kumpulan sajak (1935)
b. Layar Terkembang (1936)
c. Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)
2. Hamka
a. Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)
b. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939)
c. Tuan Direktur (1950)
d. Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
3. Armijn Pane
a. Belenggu (1940)
b. Jiwa Berjiwa
c. Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)
d. Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)
e. Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)
f. Habis Gelap Terbitlah Terang - Terjemahan Surat R.A.
Kartini (1945)
4. Sanusi Pane
11

a.
b.
c.
d.
e.

Pancaran Cinta (1926)


Puspa Mega (1927)
Madah Kelana (1931)
Sandhyakala Ning Majapahit (1933)
Kertajaya (1932)

5. Tengku Amir Hamzah


a. Nyanyi Sunyi (1937)
b. Begawat Gita (1933)
c. Setanggi Timur (1939)

BAB IV
PERIODISASI ANGKATAN
TAHUN 1945
A. SEJARAH SINGKAT
Istilah angkatan 45 adalah sebuah nama bagi angkatan (penyair)
setelah mulai pudarnya eksistensi periode Pujangga Baru. Istilah angkatan 45
sendiri secara lugas baru digunakan pertama kali oleh Rosihan Anwar dalam
majalah Siasat yang diterbitkan pada tanggal 9 Januari 1949 (Teew dalam
Nursasangko, 2008: 1). Pradopo dalam (Nursasangko, 2008: 1) menyebutkan
bila angkatan 45 dimulai dari tahun 1940 dan berakhir tahun 1955. Konsepsi
angkatan 45 tertuang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang yang menjadi
pandangan pokok para pengarang angkatan 45. Waluyo (1987:58)
mengemukakan tiga pokok pikiran yang terkandung dalam Surat
Kepercayaan Gelanggang itu, yaitu:
1. Bahwa para sastrawan merupakan ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia;
2. Ciri keindonesiaan tidak ditandai oleh ujud fisik, tetapi terlebih
oleh ungkapan jiwa, kebudayaan Indonesia terjadi oleh pengaruh

12

dari luar dan perkembangan dari dalam. Jadi tidak usah menyebut
keaslian yang mempersempit ukuran dan nilai.
3. Revolusi adalah penempatan nilai baru atas nilai lama yang
usang.
Angkatan 45 disebut juga angkatan Chairil Anwar karena
perjuangannya sangat besar pada angkatan 45. Dia pula yang dianggap
sebagai pelopor angkatan 45. Angkatan 45 disebut juga angkatan
kemerdekaan sebab dilahirkan pada saat diproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Ada beberapa sebutan untuk angkatan 45:
Angkatan Pembebasan
Angkatan Sesudah Perang
Angkatan Sesudah Pujangga Baru
Angkatan Gelanggang
Angkatan Perang

B. CIRI-CIRI
Karya yang lahir pada angkatan ini sangat berbeda dari
angkatan sebelumnya. Ciri-ciri angkatan 45:
1. Bebas
Tidak terpungkung dengan aturan sastra tertentu dan
tidak terikat dengan adat istiadat.
2. Individualistis
Karya-karya yang lahir merupakan isi perasaan pikiran
serta sikap pribadi penulis atau pengarangnya.
3. Universal
Karya sastra yang berasal dari Indonesia yang membawa
kebudayaannya di tengah kebudayaan dunia.
4. Realistik
Mengungkapkan sesuatu yang telah biasa dilihat atau
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari
5. Futuristik
Banyak karya yang berorientasi ke masa depan.
C. KARYA SASTRA ANGKATAN TAHUN 1945
Contoh karya sastra angkatana tahun 1945 adalah sebagai
berikut.
1. Chairil Anwar
a. Kerikil Tajam (1949)

13

b. Deru Campur Debu (1949)


2. Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar
Tiga Menguak Takdir (1950)
3. Idrus
a. Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
b. Aki (1949)
c. Perempuan dan Kebangsaan
4. Achdiat K. Mihardja
Atheis (1949)
5. Trisno Sumardjo
Katahati dan Perbuatan (1952)
6. Utuy Tatang Sontani
Suling (drama) (1948)
7. Tambera (1949)
Awal dan Mira - drama satu babak (1962)

14

BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas kami menyimpulkan bahwa setiap
angkatan memiliki ciri yang khas dan bentuk yang khas dalam
karyanya. Angkatan balai pustaka sebagian besar bertemakan
romantic-sentimental dimana tokoh utama dalam cerita meninggal atau
mengalami penderitaan yang hebat. Lain halnya, dengan angkatan
pujangga baru yang bertemakan perjuangan kemerdekaan dan
pergerakan kemerdekaan. Begitu pula dengan angkatan 1945 yang
bertemakan nasionalisme dan politik.

B. SARAN
Untuk dapat memaknai dan memahami puisi, hendaknyakita
banyak menggali informasi serta belajar dengan contoh-contoh yang
sudah ada dari penyair-penyair terdahulu.

DAFTAR PUSTAKA :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Indonesia

15

http://jadi-bisa.blogspot.com/2012/03/ciri-ciri-bentukpenyair-dan-karya-pada.html?m=1
http://diasdiari.blogspot.com/2013/04/karakteristik-sastraangkatan-20-balai.html?m=1

16

Anda mungkin juga menyukai