Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Syariat, Tarekat, Hakekat, Ma'Rifat

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 20

1.

Syariat
a. Pengertian

Syariat jika ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata



yang berarti membuat peraturan atau undang-undang. Iyad Hilal


dalam bukunya Studi Tentang Ushul Fiqih[4] memberi definisi bahwa
Menurut pengertian bahasa, istilah syariat berarti sebuah sumber air yang
tidak pernah kering, dimana manusia dapat memuaskan dahaganya. Dengan
demikian pengertian bahasa ini-syariat atau hukum Islam ini dijadikan
sebagai pedoman sumber pedoman.[5]
Dalam dunia tasawuf syariat adalah syarat mutlak bagi salik (penempuh
jalan ruhani) menuju Allah. Tanpa adanya syariat maka batallah apa yang
diusahakannya. Berkaitan dengan ini pemakalah mengambil pandangan
Sirhindi mengenai syariat sebagai landasan tasawuf yang diambil dari
buku Sufism and Shariah yang ditulis oleh Muhammad Abdul Haq Ansari.
Sirhindi menggunakan dua makna berkaitan dengan istilah syariat,
yaitu makna umum yang biasa digunakan oleh para ulama yang berkaitan
dengan penyembahan dan ibadah-ibadah, moral dan kemasyarakatan,
ekonomi dan kepemerintahan yang sudah dijelakan oleh para ulama. Makna
kedua, adalah pemaknaan yang lebih luas, yaitu, apapun yang telah Allah
perintahkan baik secara langsung (wahyu) maupun melalui nabi-Nya itulah
yang disebut syariat.
Syariat bukan hanya tentang shalat, zakat, puasa dan haji semata. Tapi
lebih dari itu, syariat adalah aturan kehidupan yang mengantarkan manusia
menuju realitas sejati. Syariat merupakan titik tolak keberangkatan dalam
perjalanan ruhani manusia. Maka bagi orang yang ingin menempuh jalan
sufi, mau tidak mau ia harus memperkuat syariatnya terlebih dahulu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat merupakan ilmu tentang
perintah dan larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan

Rasul melalui jalan wahyu (wahyu tasyri), baik yang langsung dari Allah
maupun yang menggunakan perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu
yang diterima oleh para nabi semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga nabi
kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah ilmu laduni.

b. Hubungan antara Syariat dengan tasawuf


Diantara problemantika mengenai tasawuf adalah anggapan bahwa
kaum sufi menyepelekan keharusan menaati kewajiban kewajiban syariat.
Barangkali tak ada anggapan tasawuf yang lebih salah dari ini. Tak ada
satupun tokoh tasawuf sepanjang sejarah yang pernah menyatakan atau
menunjukan sikap meremehkan syariat. [1]
aktifitas syariat harus digerakkan, dimotivasi, didasarkan dan dijiwai
oleh hati nurani yang ikhlas lillahi taala untuk memperoleh ridla Allah dan
kemaslahatan umat yang menjadi tujuan syariat. Setelah itu, memperkokoh
dan mentahqiqkan tauhid makrifatullah sebagaimana yang tercantum dalam
al-Quran, yang artinya:
dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya
mereka menyembahku.(Q.S. adz-Dzariyat:51-56) tasawuf adalah jiwa yang
memberi power kepada syariat, sedangkan syariat adalah power itu.[2]
Syariat dilaksankan oleh anggota dzahir manusia yang mengadakan
dan membuka hubungan dengan Allah SWT., sedangkan powernya melalui
rohani batin yang datang langsung dari Allah SWT. Ibarat listrik, kabel adalah
syariat-syariat lahirnya, sedangkan setrum adalah power melewati kabel
1 Bagir Haidar, Buku Saku Tasawuf,hlm.139

2 Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), hlm. 162-178.

yang bersumber dari central dynamo. Power itu adalah wasilah dari Allah
SWT. melalui Arwahul Muqaddasah Rasulullah SAW. terus bersambung,
berantai melalui ahli silsilah, sejak dari Nabi Muhammad SAW., kemudian Abu
Bakar ash-Shiddiq sampai Syekh Mursyid terakhir.
Para ahli silsilah atau Syekh Mursid itu, bukan perantara, tetapi wasilah
carrier, hamilul wasilah, pembawa wasilah. Orang sufi bukanlah manusia
akhirat saja, tetapi juga manusia dunia. Dia harus memenuhi fitrahnya.
Terutama untuk tercapainya tujuan syariat Islam, yaitu agama, jiwa,
akal,harta dan keturunan.
Imam Malik RA, berkata: barang siapa bersyariat saja tanpa
bertasawuf, niscaya dia berkelakuan fasik. Dan barang siapa bertasawuf
tanpa bersyariat, niscaya dia berkelakuan zindik. Dan barangsiapa yang
melakukan kedua - duanya, maka sesungguhnya dia adalah golongan Islam
yang hakiki.
Imam Ali ad-Daqqaq mengatakan: perlu diketahui bahwa sesungguhnya
syariat itu adalah hakikat. Bahwa sesungguhnya syariat itu wajib
hukumnya, karena ia adalah perintah Allah SWT. Demikian juga hakikat
adalah syariat untuk mengenal Allah. Hakikat itu wajib hukumnya, karena ia
adalah perintah Allah.(al-Qusyayri: 412)
Dengan demikian, integrasi tasawuf dan syariat menjadi syarat
mutlak bagi kesempurnaan seorang muslim. Syariat merupakan elaborasi
dari kelima pilar Islam, sedangkan tasawuf berpangkal pada ajaran ihsan,
an-tabudallaaha ka-annaka tarah, fa-in-lam takun tarah, fa-innahu yarak.
Implikasinya, jika dalam syariat diwajibkan thaharah sebelum melaksanakan
ibadah, maka untuk mampu menembus penglihatan Tuhan, tasawuf
mewajibkan penyucian diri melalui pintu taubat.
Kehadiran tasawuf mampu memicu ats-Tsaurah ar-Ruhiyyah dan menjadi
spirit bagi pelakunya. Sebaliknya, syariat ibarat jalan yang akan dilalui oleh

sufi dalam berevolusi. Apabila terlalu banyak hambatan dan lubangannya,


jangan harap akan sampai pada terminal akhir
c. Dimensi syariat dalam etos kerja
Bekerja merupakan menifestasi kekuatan iman karena dorongan firman
Allah, Katakanlah,Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan
keadaanmu,sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan
mengetahui.(az-zumar ayat 39)
Ayat diatas menjelaskan bahwa adanya perintah (amar) dan karenannya
mempunyai nilai hukumwajib untuk dilaksanakan, dan merasakannya
sebagai bentuk pengabdian yang luhur (ibadah).
Islam menetapkan budaya kerja bukan sekedar jargon, moto, atau
sekedar pernyataan, tetapi menempatkannya sebagai Tema Sentral dari
tindakan inovatif dan kreatif dalam pembangunan umat. Untuk mewujudkan
suatu pribadi dan masyarakat yang tangguh hanya mungkin apabila
penghayatan terhadap esensi bekerja dengan segala kemuliannya dikaji dan
dikaji sebagai para tokoh dan menjadi sebagai salah satu kebiasaan dan
budaya yang khas didalam rumah tangga seorang muslim.
Apabila umat islam mencampakan penghargaan dan semangat untuk
berkreaksi, jadilah dia hanya sebagi objek yang rapuh dan akan menjadi
santapan siapun yang mempunyai etos kerja tinggi,sekalipun dia itu orang
kafir. Nabi pernah bersabda bahwa kelak akan datang suatu zaman dimana
umat islam bagaikan sebuah hidangan yang diperebutkan orang orang yang
lapar. Bukan karna jumlahnya yang sedikit tapi kualitasnya bagaikan buih
yang terombang ambing tidak mempunyai bobot. Hidup tanpa arah,
bergerak kreatif semata mata menunggu angin bertiup.
Dengan kata lain, seorang muslim itu haruslah menjadi manusia yang
memiliki semangat untuk menjadi manusia yang diperhitungkan, mampu
memberikan pengaruh kepada alam sekitarnya (rahmatan lil-alamin),

sehingga dengan cepat dia mampu dikenal, diperhitungkan, karena berhasil


mengaktualisasikan prestasi dirinya secara mengagumkan. Dan mereka
memiliki etos kerja tinggi akan mampu memberi pengaruh positif yang
mendalam bagi orang lain. [3]
2. Thariqah
a. Pengertian
Istilah Tariqat berasal dari kata At-Tariq (jalan) menuju kepada hakikat, atau
dengan kata lain pengamalan syariat, yang disebut Al-Jara atau Al-Amal4.
Secara bahasa, thariqah berasal dari kata bahasa Arab yang berarti melewati
suatu jalan. Dalam istilah sufistik, thariqah yang selanjutnya ditulis dengan
tarekat sebagimana dijelaskan oleh Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh
Mustofa Zahri adalah jalan atau petujuk melakukan ibadah tertentu sesuai
dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. dan dilakukan
oleh para sahabatnya, tabiit, dan tabiin secara turun-temurun hingga
sampai kepada para ulama atau guru-guru tasawuf secara berantai
(membentuk sebuah silsilah atau sanad tarekat) hingga kepada kita
sekarang.
Ada juga yang menjelaskan bahwa tarekat adalah jalan menuju hakekat
sesuatu. Amin Al-Kurdi mendifinisikan bahwa :

Artinya : Thariqah adalah pengamalan syariah dan secara serius
mengamalkan ketentuan-ketentuannya, menjauhkan diri dari sikap
mempermudah yang memang seharusnya tidak diperbolehkan
mempermudahnya.

3 Tasmara toto. Membudayakan etos kerja islam. Hlm.13
4 Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hal. 280.

Artinya : Menjauhi cegahan-cegahan agama secara zhahir dan batin, serta


melaksanakan perintah-perintah Tuhan sekuat tenaga.
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap
kehidupan tasawuf dibeberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan
bahwa istilah Tarekat mempunyai 2 macam pengertian.
a. Tarikat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering
dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan tasawuf untuk
mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut Al-Maqamat dan
Al-Ahwal, pengertian yang seperti ini, menonjol sekitar abad ke-IX dan
ke-X masehi.
b. Tarikat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut
aturan yang telah dibuat oleh seorang Syekh yang menganut suatu
aliran tarikat tertentu. Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh
yang menganut suatu aliran yang mengajarkan ilmu tasawuf menurut
aliran tarikat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan muridmuridnya. Pengertian yang seperti ini, menonjol sesudah abad ke-IX
masehi.5
Dengan demikian, tarekat merupakan hasil konstruksi para ulama
(lazimnya, dan umumnya, adalah kalangan ulama sufi) untuk membuat
metode atau aturan-aturan tertentu yang lebih praktis-aplikatif dalam
melaksanakan bidang syariah (ubudiah) dalam rangka mendidik dan
menciptakan pribadi yang muttaqin.6

5 Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hal 281-282.


6 Muzaiyana, dkk, Akhlak Tasawuf (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2011), hal
276-277.

b. Fungsi Thariqah
Fungsi tarikat sebagai sarana atau jalan yang mengantarkan hamba
menuju hadirat Tuhan. Tarikat dalam pengertian seperti itu mendapatkan
landasannya yang menyakinkan, yaitu terdapat dalam surat Al-Jin (72): 16.











Artinya: Dan bahwasannya: jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas
jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada
mereka air yang segar (rezeki yang banyak).
Sebagaimana ilmu Fiqih itu berada dalam wilayah ijtihad, penjabaran
dari konkritisasi dari syariah, maka tarikat bpun merupakan bidang ilmu
(masuk dalam wilayah ilmu Tasawuf-Mukasyafah) Ihjtihad yangb
mengundang siapa saja dari kalangan ulama yang menekuni dan
mengembangkannya. Tujuannya adalah agar dapat menjalakan syariah
agama lebih disiplin lagi oleh karena posisinya sebagai bidang ilmu ijtihadi,
maka tentu saja tarikat dapat berarti sebagai produk ijtihad, disamping
sebagai ilmu teoritik tentang tehnik dan cara mengamalkan syariah tersebut,
sehingga banyak dijumpai berbagai madzab dan aliran tareqot yang
berkembang di dunia Islam. Pernyataan tersebut tidak berarti Al-Quran
sebagai sumber ajaran pokok Islam bersama dengan Hadits atau Sunnah
Rasulullah tidak lengkap, juga tidak berarti ilmu fiqih masih belum sempurna
untuk menjelaskan Islam kepada umat manusia, akan tetapi memang masih
banyak hal-hal yang dibutuhkan umat agar pelaksanaan syariah agama lebih
dapat dilakukan secara sistematik-prosedural sebagaimana mestinya, bukan
sekedar sesuai dengan akal bagi orang yang memang tidak mampu kecuali
hanya membaca teks agama saja.
Kehadiran guru tareqot menjadi lebih penting lagi ketyika mendidik
orang-orang dalam berbagai level sesuai dengan tingkat kerohaniannya.
Oleh karena itu, seorang guru mursyid butuh ilmu kerohanian (semisal psiko-

spiritual) untuk memahami tingkat spiritual murid-muridnya agar


pelaksanaan agama menjadi tepat bagi mereka. Secara keilmuan tarekat
merupakan bidang kajian atau bahkan bidang praktikal disiplin ilmu kejiwaan
baik untuk perorangan maupun kelompok melalui aturan-aturan tertentu
untuk mencapai tingkat spiritual-kerohanian tertentu (mahqamat) dan
mendapatkan kondisi kerohanian tertentu pula (ahwal). Latihan-latihan
kerohanian, misalnya pelaksanaan dzikir dan olah batin membangun sikap
mental tertentu, tersebut dinamakan dengan suluh sufi yang pelakunya
dinamakan salik. Tarikat dapat identic dengan suluk, dan pelaksanaan tarikat
seperti ini mengacu pada ketercapaian spiritual yang diinginkan, seperti
mukasyafah (tersingkapnya tabir penghalang antara hamba dengan
Tuhannya). Dalam arti ini tarekat juga identic dengan ilmu mukasyafah, atau
ilmu tasawuf. Adapun sisi kedua dari tarekat adalah bahwa tarekat tampil
sebagai sebuah grup (organisasi), karena pada awalnya terdapat seorang
guru yang mengajarkan tehnik atau metode ibadah tertentu berdasarkan
ajaran guru-guru sampai keatas hingga bersumber dari Nabi Muhammad
SAW. yang kemudian diikuti oleh orang-orang yang menginginkan bimbingan
spiritual untuk mancapai taqwa, sehingga akhirnya tarikat mencapai
kelompok manusia yang mengikat janji setia (melalui baiad) dengan
gurunya dan bergaul dengan sesamanya dalam ikatan disiplin tertentu yang
relatif tetap.
Pembuat tarikat pertama kali adalah sufi Iran, Muhammad Ahmad AlMayhimy (W. 430 H). Ia terkenal dengan nama Abu Abi Sya;id. Disana ia
membuat seperangkat aturan peribadatan untuk murid-muridnya yang
terkenal dengan para darwis. Ia membangun sebuah rumah ibadah yang
disebut Khanqah dan juga membuat silsilah tarekot secara pewarisan. Pada
abad ke 5 dan ke 6 hijriyah, tarekat berkembang menuju arah barat.
Munculah tarekat rifaiyyah. Di Irak muncul tarekat Qodiriah. Ada AlAhmadiyah dan Syadziliyyah di Mesir. Dari induk tarekat tersebut

membentuk cabang-cabangnya hingga mencapai ribuan tarekat melalui


tahapan-tahapan yang panjang.
3. Hakikat
a. Pengertian
Dalam Tasawuf hakikat adalah imbangan kata syariat yang identik
dengan aspek kerohanian dalam ajaran Islam. Untuk merintis jalan mencapai
hakikat seseorang harus memulai dengan aspek moral yang dibarengi aspek
ibadah. Bila kedua aspek ini diamalkan dengan penuh kesungguhan dan
keikhlasan akan dapat meningkatkan kondisi mental seseorang dari tingkat
rendah secara bertahap ke tingkat yang lebih tinggi. Pada posisi tertinggi
Tuhan akan menerangi hati sanubarinya dengan nur-Nya, sehingga ia betulbetul dapat dekat dengan Tuhan, mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan
mata hatinya.

Di kalangan Sufi orang yang telah mencapai tingkatan ini disebut ahli
hakikat. Kalau dihubungkan dengan Tuhan, hakikat adalah sifat-sifat Allah
SWT, sedangkan Zat Allah disebut al-Haqq. Sufi yang dikenal dengan faham
hakikat adalah Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj yang pernah menyatakan
Ana al-Haqq.
Pembicaraan mengenai masalah ini tentu tidak bisa dilepaskan dari
konsep Ittihad, Hulul dan Tawhid yang dalam pemahaman selintas dapat
diartikan sebagai penyatuan makhluk dan Khalik. Para ulama Syariat dalam
Islam memandang konsep ini bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu
sebagaimana diketahui al-Hallaj mati dibunuh karena mempunyai faham
Hulul dan seperti di Jawa Syekh Siti Jenar juga mengalami hal serupa. Kaum
Sufi yang mempunyai faham ini kelihatannya merasa takut untuk
membicarakan Ittihad, Hulul dan Tawhid. Karena itulah uraian tentang hal ini
hanya dijumpai dalam karangan-karangan modern dan tulisan-tulisan para
Orientalis.

Ittihad adalah satu tingkatan dalam Tasawuf ketika seorang Sufi telah
merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Saat itulah terjadi penyatuan antara
yang mencintai dan yang dicintai. Dalam kondisi Ittihad seperti inilah satu
sama lain dapat memanggil Ya Ana (wahai aku). Meskipun yang terlihat
hanya satu wujud pada hakekatnya terdapat dua wujud yang berbeda.
Adapun Hulul berarti menempati atau mengambil tempat. Dalam Tasawuf,
Hulul berarti suatu keadaan (hal) yang dicapai seorang Sufi ketika aspek annasut (sifat kemanusiaan) Allah SWT bersatu dengan aspek al-Lahut (sifat
ketuhanan) yang ada pada manusia. Hulul merupakan salah satu bentuk
kebersatuan antara Allah SWT dan manusia. Kondisi ini dapat terjadi apabila
manusia dapat mencapai Fana dengan menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaan yang dimilikinya sehingga yang tersisa hanyalah sifat-sifat
ketuhanannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa sebelum
seorang Sufi dapat bersatu dengan Tuhan ia harus lebih dahulu
menghancurkan dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya,
yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan
Tuhan. Penghancuran diri ini dalam Tasawuf disebut Fana.
Penghancuran diri dalam Fana ini senantiasa diiringi dengan Baqa yang
berarti tetap atau terus hidup. Fana dan Baqa merupakan dua sisi mata
uang atau kembar dua sebagaimana penjelasan Sufi Jika kejahilan
(kebodohan) seseorang hilang yang akan tinggal ialah pengetahuan.
Pada saat seorang Sufi telah mencapai hancurnya perasaan atau
kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia dalam arti tidak disadarinya
maka yang akan tinggal hanyalah wujud rohaninya dan ketika itulah ia dapat
bersatu dengan Tuhan. Dalam kajian Tasawuf, Abu Yazid al-Bustamilah (W.
874 M) yang dipandang sebagai Sufi pertama yang memunculkan faham
Fana dan Baqa.
Faham tersebut tersimpul dalam kata-katanya: Aku tahu pada Tuhan
melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-

Nya, maka akupun hidup. Selanjutnya ia pun mengungkapkan: Ia membuat


aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila padaNya, dan akupun hidup.Aku berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran
dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup.
Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang
yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa
meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, Hakikat tanpa
syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia. Imam
Malik berkata, Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan
menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan
menjadi zindik.Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], ia
benar-benar telah berhakikat.
Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang
disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman kepada manusia, baik
aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam Al-Quran
hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang
merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami Al-Quran
menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para
sahabat menjadikan sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadist.
Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang
memerlukan keahlian untuk menafsirkannya.
Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi
merupakan orang yang paling memahami nabi, mereka paling mengerti akan
ucapan Nabi karena memang hidup sezaman dengan nabi. Penafsiran dari
para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-hukum
oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan
ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan
sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang
ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam itu

kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Quran, Hadist, Ijmak dan Qiyas,
itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.
Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus
dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan
apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga hasilnya akan sama. Sebagai
contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi
melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, Shalatlah
kalian seperti aku shalat. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh
sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh
Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya
sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh
ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi,
dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa
mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT.
Ketika memulai shalat dengan Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharassamaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..
Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan
bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk
orang-orang yang musyrik. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan
chanel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha
Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan.
Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita
hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat
wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat
maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi
dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.
Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya
berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar,
ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang

dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut


dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orangorang mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman
Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia
untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan Tarekat
dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman
agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti
nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, Kejahatan yang terorganisir akan
bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.
Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak
dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan
menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat
hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak
mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang
shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum
sampai ke alam Rabbani.
Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu
disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu
dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian
orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bidah maka
pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk
beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang
didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di
ingat bawah Lalai yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu
tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin
dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir
(mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau
jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah
dalam surat Al Ala, Beruntunglah orang yang telah disucikan

jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan


kemudian menegakkan shalat.
4. Marifah
a. Pengertian
Kata marifat berasal dari kata kerja arafa yang berarti tahu, sehingga
marifah berarti pengetahuan. Sama halnya dengan istilah ilmu yang
berasal dari kata kerja alima yang berarti tahu, sehingga ilmu berarti
pengetahuan. Hanya saja bedanya ialah bahwa ilmu merupakan
pengetahuan lahiriyah sedangkan marifat adalah pengetahuan batiniah.
Dari segi bahasa marifah berasal dari kata arafa, yarifu, irfan, yang
artinya pegetahuan atau pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan
tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih yang tinggi daripada
ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umunya. Marifah adalah
pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi
lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini
didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui
hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal
dari satu. Marifah juga berate pengetahuan, maksudnya pengetahuan
tentang Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
Marifah dapat ditemukan dasarnya dalam hadits dan Al-Quran.
Sebuah hadis dari Aisyah yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad
SAW bersabda :
Sesungguhnya

penopang

(kekuatan)

rumah

tergantung

pada

fondasinya, sedang agama tergantung pada marifahnya kepada Allah,


keyakinan dan akal yng bisa menumdukkan (hawa nafsu). Aisyah bertanya
demi engkau dengan tebusan ibuku, bagaimna akal bisa menundukkan hal
itu ? Rasulullah menjawab, mampu menahan dari perbuatan durhaka kepada
Allah dan selalu mendorong untuk taat kepadanya. (HR.Ad-Dailami).

Selain itu ada ayat Al-Quran menjelaskan bahwa pengangungan kepada


Allah diwujudkan dengan Marifah, Allah SWT berfirman yang artinya :
Dan tiada mereka mengagungkan Allah sebagaiman mestinya. (AlAnam : 91)
Marifat dalam arti harfiah adalah

pengenalan seorang hamba

terhadap Tuhannya, dalam hal ini adalah Allah, karena tujuan utama dari
seorang hamba adalah mengenal Tuhannya dengan baik dan berusaha
mencintai-Nya. Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan
bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual
dan ia menduduki derajat atau level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka
dan merekapun mencintai-Nya." Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam
mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah
itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan
lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah)
Marifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan
dalam

tasawuf.

Dalam

arti

sufistik

ini,

marifah

diartikan

sebagai

pengetahuan mengenai Tuhan melalui sanubari. Selanjutnya dari literatur


yang diberikan tentang marifah sebagai dikatakan Harun Nasution, marifat
berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat
Tuhan . Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan :
1). Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata
kepalanaya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2). Marifat adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang
akan dilihatnya hanya Allah.
3). Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun
hanya Allah.

4). Sekiranya marifah mengambil bentuk materi, semua orang yang


melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta
keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya
keindahan yang gilang gemilang.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa marifat adalah
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari.
Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai oleh marifat ini adalah
mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
b. Alat untuk Marifat

Alat yang digunakan untuk marifat telah ada dalam diri manusia, yaitu
qalbu (hati), namun artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa
Inggris, karena qalbu selain dari alat untuk merasa adalah juga alat untuk
berpikir.

Bedanya

qalbu

dengan

akal

ialah

bahwa

akal

tak

bisa

memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan.Qalbu yang


telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai zikir dan
wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan., yaitu
setelah hati tersebut disinari cahaya Tuhan.
Proses sampainya qalbu pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan
konsep Takhalli, Tahalli, dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari
akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini
dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulai
dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga
tampak jelas cahaya Tuhan. Tajalli merupakan jalan untuk mendapatkan
marifah dan terjadi setelah terjadinya al fana yakni hilangnya sifat-sifat
dan rasa kemanusiaan dan melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang
digunakan untuk mencapai tajalli adalah hati yaitu hati yang telah
mendapatkan cahaya dari Tuhan.
Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui
rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dengan cara demikian ia dapat

mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang yang
sudah mencapai marifah ia memperoleh hubungan langsung dengan
sumber ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang dilimpahi cahaya, ia dapat
diibaratkan

seperti

orang

yang

memiliki

antena

parabola

yang

mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan.


c. Manfaat Marifah
Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Allah. Ketika
melihat fenomena alam, idealnya kita bisa ingat kepada Allah. Puncak ilmu
adalah mengenal Allah (ma'rifatullah). Kita dikatakan sukses dalam belajar
bila dengan belajar itu kita semakin mengenal Allah. Jadi percuma saja
sekolah tinggi, luas pengetahuan, gelar prestisius, bila semua itu tidak
menjadikan kita makin mengenal Allah.
Mengenal Allah adalah aset terbesar.

Mengenal

Allah

akan

membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita


akan merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan
hidup sebenarnya. Bila demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan,
dan bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal Allah, hidup kita akan
sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan
sebagainya.
Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum
yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu,
kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut
kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang
ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah
dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita
harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita
semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah.
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah

selalu

menjaga

kualitas

ibadahnya. Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan


hidup. Antara lain :
1). Hidup selalu berada di jalan yang benar (on the right track).

2).Memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir


dari terjaganya keimanan.
3).Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal
harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa
pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah
gelisah.
4).Seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan
menolong

dan

mengarahkan

kehidupannya.

Sikap

optimis

akan

menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan


harapan. Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila
kita tidak memiliki harapan.
5).Seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem
pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah
SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli
ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat.
6).Selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin
pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini
kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut.
7).Seorang ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila
kata-katanya

bertenaga,

penuh

hikmah,

berwibawa

dan

setiap

keputusan yang diambilnya selalu tepat.


d. Tokoh yang mengembangkan Marifah
Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan
paham marifat ini, yaitu Al-Ghazali dan Dzannun Al-Misri.
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad AlGhazali, lahir pada tahun 1059 M di Ghazaleh, suatu kota kecil yang yang
terletak di Thus, Khurasan. Ia pernah belajar kepada Imam Al-Haramin AlJuwaini,

guru

besar

di

madrasah

An-Nizaimah,

Nisyafur.

Setelah

mempelajari ilmu agama dan lain-lain meliputi teologi, ilmu pengethuan


alam, filsafat, dan lain-lain, akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan

hidupnya. Setelah bertahun-tahun menggembara sebagai sufi, ia kembali


ke Thus pada tahun 1105 M dan meninggal pada tahun 1111 M.
Adapun Dzannun Al-Misri berasal dari Naubah, suatu negeri yang
terletak diantara Sudan dan Mesir. Thaun kelahirannya tidak banyak
diketahui, yang diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu tahin 860 M.
Menurut Hamka beliaulah yang banyak sekali menambahkan jaln menuju
Tuhan, yaitu jalan mencintai Tuhan, menurut garis yang diturunkan dan
takut terpalingkan dari jalan yang benar.
Mengenai bukti bahwa kedua tokoh tersebut membawa paham
marifat dapat diikuti dari pendapat pendapatnya dibawah ini misalnya
Al-Ghazali mengatakan bahwa Marifah yaitu meneliti rahasia-rahasia
ketuhanan dan mengetahui atau mengerti keteraturan dan mengetahui
atau mengerti keteraturan urusan ketuhanan yang mencakup segala yang
ada. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan ma-rifah adalah memandang
keagungan wajah Allah.
5. Hasil Wawancara
Narasumber
Profesi

: Nur Kholis Majid

: Pembina Pondok Pesantren Nurul Huda, Jl. Sencaki No.

64, Surabaya.
Berdasarkan hasil wawancara yang kami lakukan dengan Bapak Nur
Kholis Majid, dapat kami simpulkan bahwa dalam praktik tasawuf terdapat 4
aspek penting yang harus dilaksanakan, yakni :
1. Syariat (amalan dhohiriyah)
2. Thariqah (metode yang ditempuh seseorang untuk lebih dekat dengan
Allah)
3. Hakikat (substansi atas segala sesuatu/apa yang ada dalam hati)
4. Marifah (kenal dengan dirinya)
Sebagaimana telah kami jelaskan di dalam makalah kami mengenai
pengertian dari masing-masing aspek tersebut.

Keempat aspek tersebut saling berkesinambungan dan terkait satu


sama lain sehingga ketika seseorang ingin menjalankan praktik tasawuf
dengan benar, maka harus sesuai dengan tingkatan tersebut dan tidak boleh
mendahului jika satu tingkatan belum terpenuhi. Dalam praktik tasawuf
dalam beberapa hal sering berkaitan dengan hal-hal mistis, misal pada saat
dzikir para Sufi (pelaku tasawuf) percaya dan yakin bahwa Rasulullah SAW
hadir dihadapan mereka. Sufi yang dimaksud disini ialah orang-orang yang
tidak berfokus pada urusan duniawi tetapi bukan berarti tidak membutuhkan
hal-hal yang bersifat duniawi. Praktik tasawuf yang benar adalah dengan
membenahi satu tingkatan, dengan bimbingan dari guru (mursyid) kemudian
ketika mereka telah berada ditingkatan lanjut (diatas syariat) mereka tidak
akan meninggalkan tingkatan dibawahnya. Dan orang yang telah berada
ditingkatan Marifat tidak akan tahu bahwa dirinya telah mencapai tingkatan
tersebut, karena yang menaikkan derajatnya adalah Allah dan yang menilai
adalah masyarakat disekelilingnya secara dhohiriyah sedangkan secara
hakikatnya yg mengetahui adalah sesama wali bukan individu itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Masud. 2012. Akhlak Tasawuf. Sidoarjo : Dwiputra Pustaka Jaya
Mustofa. 1997. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Muzaiyana et al. 2011. Akhlak Tasawuf. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press
Nata, Abuddin.1997. Akhlak tasawuf. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai