Antibiotik
Antibiotik
Antibiotik
Antibiotik
Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintesis, yang mempunyai
efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya
dalam proses infeksi oleh bakteri (Craig, 1998 dalam Temaja, 2010) Penggunaan antibiotik
khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan
rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman
(Anonim, 2011).
Antibiotik akan mengalami transportasi tergantung pada daya ikatnya terhadap protein
plasma. Bentuk yang tidak terikat dengan protein itulah yang secara farmakologis aktif, yaitu
memiliki kemampuan sebagai antimikroba. Semua jenis antibiotik dengan cara kerja tersebut
dapat bersifat mematikan atau menghambat antibiotik (Corner, 1995 dalam Maratua, 2008).
Antibiotik bersifat mematikan, bila dosisnya tinggi. Sedangkan antibiotik bersifat
menghambat bila dosisnya rendah. Penggunaan antibiotik ini (pada manusia dan hewan)
akan menghantarkan munculnya mikroorganisme resisten, tidak hanya mikroba sebagai target
antibiotik tersebut, tetapi juga mikroorganisme lain yang memiliki habitat yang sama dengan
mikroorganisme target. Hal ini dimungkinkan karena adanya transfer materi genetik
(plasmid atau transposon) diantara genus bakteri yang berbeda yang masih memiliki
hubungan dekat, meliputi bakteri Escherichia coli, Klebsiella, dan Salmonella (Corner, 1995
dalam Maratua, 2008).
2.7.1 Cara Kerja Antibiotik
Antibiotik memiliki cara kerja sebagai bakterisidal (membunuh bakteri secara
langsung)
atau
bakteriostatik
(menghambat
pertumbuhan
bakteri).
Pada
kondisi
bakteriostatis, mekanisme pertahanan tubuh inang seperti fagositosis dan produksi antibodi
biasanya akan merusak mikroorganisme (Corner, 1995 dalam Maratua, 2008)
Ada beberapa cara kerja antibiotik terhadap bakteri sebagai targetnya, yaitu
menghambat sintesis dinding sel, menghambat sintesis protein, merusak membran plasma,
menghambat sintesis asam nukleat, dan menghambat sintesis metabolit esensial. Antibiotik
bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya
saja targetnya adalah bakteri. Antibiotik berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya.
Desifektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman
untuk hidup (Corner, 1995 dalam Maratua, 2008)
2.7.2. Chloramphenicol
Gambar 3. Struktur Molekul Chloramphenicol
Chloramphenicol (CAP) merupakan antibiotik yang diperoleh secara alami dari biakan
bakteri Streptomyces venezuelae atau diproduksi secara sintesis yang aktif terhadap beberapa
jenis bakteri antara lain bakteri aerobik dan aerobik, mycoplasma, organisme chlamydal (SNI
7587.3:2010)
Chloramphenicol is effective against a wide variety of and , including most .
Chloramphenicol efektif terhadap berbagai bakteri Gram-positif dan Gram-negatif, termasuk
sebagian organisme anaerobik, Due to resistance and safety concerns, it is no longer a firstline agent for any indication in developed nations, although it is sometimes used topically
for .karena kekhawatiran resistensi dan keselamatan, maka tidak ada lagi agen lain untuk
setiap indikasi dalam negara-negara maju, meskipun kadang-kadang digunakan secara
tropikal untuk infeksi mata. Nevertheless, the global problem of advancing bacterial
resistance to newer drugs has led to renewed interest in its use. In low-income countries,
chloramphenicol is still widely used because it is inexpensive and readily available. Namun
demikian, masalah global maju resistensi bakteri terhadap obat yang lebih baru telah
menyebabkan minat baru dalam penggunaannya (Saparinto, 2002)
sehingga bakteri tersebut berkembang dengan cepat (BBPMHP, 2002 dalam Syafitrianto,
2009).
Sumber residu chloramphenicol di UPI juga diperkirakan berasal dari bahan-bahan
disinfektan yang digunakan untuk mencuci udang di unit pengolahan. Sumber lainnya adalah
salep yang sering digunakan untuk mengobati bagian tubuh pekerja yang luka. Oleh karena
itu pada saat pengawasan, bahan-bahan desinfektan dan salep dilarang untuk digunakan
kapan saja. Pekerja yang bagian tangannya terluka dilarang menangani produk untuk
menghindari pencemaran. Berdasarkan laporan pengawas mutu, beberapa unit pengolahan
udang pernah menggunakan bahan disinfektan yang diduga mengandung chloramphenicol
(BBPMHP, 2002 dalam Syafitrianto, 2009).
2.7.5. Larangan Penggunaan Antibiotik Chloramphenicol
Jenis antibiotik chloramphenicol dan nitrofurans sebenarnya telah dilarang untuk
digunakan pada budidaya perikanan, karena jenis antibiotik ini membahayakan kesehatan
manusia. Di Indonesia keduanya masih lazim digunakan mulai dari pembenihan sampai
pembesaran udang. Tetapi dengan adanya penolakan bahan pangan yang mengandung dua
jenis antibiotik tersebut dari masyarakat konsumen, kususnya di Uni Eropa dan Amerika
Serikat, maka pemerintah khususnya Departemen Kelautan dan Perikanan sangat serius
melakukan pengawasan terhadap penggunaan bahan antibiotik ini. (BBPMHP, 2002 dalam
Syafitrianto, 2009).
Salah satu tindakan yang terpenting untuk mencegah timbulnya residu antibiotik pada
udang adalah dengan menetapkan peraturan pelarangan penggunaan antibiotik pada budidaya
udang (BBPMHP, 2002 dalam Syafitrianto, 2009).
Keputusan
Menteri
Kesehatan
No.
722/Menkes/Per/IX/88
mengenai
2.
Keputusan
Menteri
Pertanian
No.
806/Kpts/TN.260/12/94
mengenai
klasifikasi obat hewan. Dalam keputusan ini, chloramphenicol dan nitrofuras dikategorikan
sebagai antibiotik yang berbahaya dan dilarang digunakan pada praktek pembudidayaan
perikanan.
3. Keputusan Menteri Kesehatan.
4.
Surat
Edaran
Direktur
Jenderal
Perikanan
Budidaya,
tanggal
19
Oktober 2001 mengenai pelarangan penggunaan antibiotik tertentu pada budidaya udang.
Agar penanggulangan residu antibiotik pada budidaya perikanan lebih efektif, maka
Depertemen Kelautan dan Perikanan membentuk Panitia Nasional tentang pencegahan residu
antibiotik, pada tanggal 12 Oktober 2001. Disamping itu, di tingkat daerah provinsi dan
kabupaten juga membentuk tim daerah yang mempunyai tugas dan tujuan yang sama
(BBPMHP, 2002 dalam Syafitrianto, 2009).
2.7.6. Metode Pengujian Antibiotik Chloramphenicol
Metode uji resmi untuk residu CAP yang umum digunakan dibeberapa Negara adalah
metode chromatography. Selain metode chromatography juga digunakan metoda ELISA
yang dapat digunakan sebagai metode alternatif, meskipun metode ini tidak dianggap sebagai
metoda resmi atau metode konfirmatif. Gas dan Liquid chromatography-MS merupakan alat
uji yang paling canggih, mahal dan mampu mendeteksi residu chloramphenicol atau residu
nitrofuras dalam kadar yang sangat rendah yaitu 0,1 ppb. Jenis alat lain yang lebih
sederhana, dan relatif lebih murah adalah High Performance Liquid Chromatography
(HPLC). Alat atau metode ini mampu juga mendeteksi residu serendah metode LC/GC-MS
(Anonim, 2010).
Berdasarkan hasil kajian atau verifikasi oleh BBPMHP, HPLC dapat digunakan untuk
menguji residu chloramphenicol dengan batas deteksi 0.16 ppb. Negara anggota UE
umumnya menggunakan metode pengujian LC-MS atau GC-MS untuk mengukur kadar
residu chloramphenicol dan nitrofuran pada udang (Anonim, 2010).