Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Teori Belajar Konstruktivisme

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

KELOMPOK 8

FAQIUDDIN 11150150000009
NAHWANDI 11150150000053

KONSTRUKTIVISME (SEJARAH,
TOKOH, & TEORI)
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Saat ini terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama pada proses
pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan pendekatan ini
lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada
sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Pembelajaran di kelas masih
dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret.

Seorang guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak
demikian, maka seorang pendidik tidak akan berhasilkan menanamkan konsep yang benar,
bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya
untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah
konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah, dan jika
ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut
biar lebih matang.

Maka dari permasalahan tersebut, pemakalah tertarik melakukan penelitian konsep untuk
mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa
mengembangkan keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga
dengan pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena
dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang siswa peroleh
dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini, yaitu:

1. Apakah Pengertian teori belajar kontruktivisme ?


2. Bagaimana Konsep Teori Belajar Konstruktivisme bisa diaplikasikan kedalam
Pembelajaran ?

1
C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui konsep teori belajar kontruktivisme.


2. Untuk mengetahui Bagaimana Konsep Teori Belajar Konstruktivisme bisa
diaplikasikan kedalam Pembelajaran.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari pembahasan ini, adalah diharapkan dapat dijadikan
kontribusi epistemologi untuk para pendidik bahwa siswa itu sebenarnya bukanlah seperti
kertas putih yang kosong di mana guru bisa secara bebas membentuk pengetahuan siswa, tapi
siswa adalah merupakan manusia yang sudah mempunyai pengetahuan yang mereka peroleh
dari pengalaman lingkungan mereka sehari-hari.

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme

Teori belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran Behaviorisme yang
didukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingkah laku pada pelajar.
Pembelajaran dianggap berlaku apabila terdapat perubahan tingkah laku kepada pelajar,
contohnya dari tidak tahu kepada tahu. Hal ini, kemudiannya beralih kepada teori pembelajaran
Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana ide utama pandangan ini adalah
mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui struktur mental dikenal sebagai skema
yang akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima, difahami oleh manusia.
Jika ide tersebut sesuai dengan skema, ide ini akan diterima begitu juga sebaliknya dan
seterusnya lahirlah teori pembelajaran Konstruktivisme yang merupakan pandangan terbaru di
mana pengetahuan akan dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada
mereka. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu
dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme.

Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual
daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan
hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa “pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman
individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain”. Peranan kontribusi siswa
terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi
sangat penting. Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih
menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses
yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar,
hasil belajar, cara belajar dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan
skema berpikir seseorang. sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang
bersifat subyektif.

Jadi, Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu


tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik
yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus
respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang
dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman
demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih
dinamis.

3
Von Glasersfeld mengatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan
yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.
Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan
lingkungannya.

Menurut para penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang
berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk membangun suatu
pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi baru atau pengalaman yang
disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimilikinya melalui
berintekrasi sosial dengan peserta didik lain atau dengan gurunya. Konsep teori belajar
konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam. Belajar merupakan proses
aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan. Proses
pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk membantu atau mendukung proses belajar,
bukan sekedar untuk menyampaikan pengetahuan.

Dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar,
sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam
proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi siswanya,
dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk
mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan
bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja.

Sebagai orang yang beragama, Islam memiliki ajaran yang diakui -minimal oleh pemeluknya-
lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah
diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna, ia dipersiapkan untuk
menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur
cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja,
melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia. Untuk mewariskan
nilai-nilai keagamaan ini, di antaranya adalah melalui proses pendidikan.

Pendidikan (termasuk pendidikan agama Islam) merupakan topik yang selalu aktual untuk
dibicarakan dan diperdebatkan dari zaman ke zaman. Namun demikian perbincangan dan
perdebatan tentang pendidikan tidak pernah selesai, dan tidak akan pernah selesai dibicarakan.
Minimal ada tiga alasan yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan mengapa hal ini
terjadi.

Pertama, fitrah setiap orang menginginkan yang lebih baik, termasuk dalam masalah
pendidikan. Kedua, teori pendidikan -dan teori pada umumnya-selalu ketinggalan oleh
kebutuhan masyarakat. Sebab pada umumnya, teori pendidikan dibuat berdasarkan kebutuhan
masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Karena waktu berubah dan tempat selalu berubah,
kebutuhan masyarakat juga berubah. Bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut pula

4
mengubah sifat manusia. Karena adanya perubahan itu, masyarakat merasa tidak puas dengan
teori pendidikan yang ada.

Ketiga, karena pengaruh pandangan hidup. Pada suatu waktu mungkin seseorang telah puas
dengan keadaan pendidikan di tempatnya karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya.

Suatu ketika ia terpengaruh oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya, berubah pula
pendapatnya tentang pendidikan yang tadinya sudah memuaskannya.

Sebagai agama yang paripurna, Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan. Para peneliti
sudah membuktikan bahwa al-Qur'an sebagai sumber utama agama Islam menaruh perhatian
yang amat besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Hal ini terbukti bahwa wahyu
yang pertama turun adalah perintah untuk membaca yang mana membaca merupakan salah
satu proses utama untuk mendapat ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman:

Artinya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Demikian pula dengan al-Hadis, sumber kedua ajaran Islam, diakui memberikan perhatian
yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan
program wajib belajar kepada umatnya. Nabi SAW bersabda:

Artinya:
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SA W bersabda: "mencari ilmu wajib bagi setiap
muslim ". (HR. Ibnu Majah).

Dari uraian di atas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada
al-Qur'a’n dan al-Hadi’th sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan
pengajaran. Langkah yang ditempuh al-Qur'a’n ini ternyata amat strategis dalam upaya
mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini diakui dengan jelas bahwa pendidikan
merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan
dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.

Arah pendidikan Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang mempunyai
kemampuan kognitif intelektual dan cerdas. Dengan kecerdasannya ia dapat melakukan
sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup bersama. Hidup bersama dalam
artian mengetahui dan menghargai adanya perbedaan serta menghargainya sebagai milik

5
seluruh umat manusia dan bukan dasar untuk memecah belah kehidupan.3 Kemampuan lain
yang dikembangkan dalam pendidikan Islam adalah afeksi dan psikomotor.

Di antara ke tiga ranah tersebut, yang mendapatkan prioritas utama adalah pengembangan
aspek afeksi. Bahkan misi utama beliau adalah menyempurnakan aspek afeksi (akhlak) umat
manusia. Rasulullah SAW bersabda:

Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: "Aku hanya diutus untuk menyempurnakan
akhlak-akhlak mulia".

Pendidikan Islam berfungsi mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara bertahap
(sesuai tuntunan ajaran Islam). Potensi yang dikembangkan meliputi potensi beragama, intelek,
sosial, ekonomi, seni, persamaan, keadilan, pengembangan, harga diri, cinta tanah air dan
sebagainya. Tujuan pengembangannya ada yang bersifat individual, yaitu berkaitan dengan
individu-individu yang menyangkut tingkah laku, aktivitas dan kehidupannya di dunian dan
akhirat.

Ada yang bersifat sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan,
memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diinginkan, dan ada pula yang bersifat
profesional untuk memperoleh ilmu, seni, profesi, dan suatu aktivitas di antara aktivitas-
aktivitas masyarakat.

Ironisnya, di tengah gencarnya usaha perbaikan di dunia pendidikan (termasuk pendidikan


Islam), suatu realita yang tidak dapat dipungkiri dalam dunia global ini adalah adanya
kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan manusia dalam hidup. Kerusakan
moral di kalangan remaja, angka krimilalitas yang tinggi, peyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh para elit politik dan tokoh-tokoh agama.

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama (Islam) yang selama ini diusahakan di berbagai
lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal belum berhasil dengan baik. Masyarakat
kemudian bertanya, "mengapa pendidikan moral-keagamaan belum berhasil", "apa yang salah
di dunia pendidikan kita". Pertanyaan ini sangat wajar sebab masyarakat sudah
mempercayakan pendidikan anak-anaknya di lembaga pendidikan yang ada. Tapi ironisnya
dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut banyak lahir para koruptor, manipulator dan
manusia-manusia yang berperilaku kotor.

Hal ini merupakan bukti empiris kegagalan pendidikan agama Islam di oleh lembaga-lembaga
pendidikan baik formal maupun non-formal. Salah satu penyebabnya adalah strategi dan
pengelolaan pembelajaran yang cenderung tradisional normatif dan dengan metode yang
kurang senada dengan keinginan peserta didik.

6
Pembelajaran pendidikan Agama Islam pada umumnya lebih menekankan pengetahuan
tentang sikap yang terkesan normatif, kaku, dan kurang menarik. Pengajar sering menempatkan
diri sebagai pendakwah dengan memberi petunjuk, perintah, dan aturan yang membuat peserta
didik jenuh dan bosan. Pengajar juga jarang memberikan keteladanan dengan sikap dan
perilaku.

B. Aplikasi Konsep Teori Belajar Konstruktivisme terhadap Pembelajaran

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan


tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa
harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan
kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil
yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Akan tetapi
siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pendidik atau orang lain.
Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa
secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka
untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.

Dalam hal ini, hakikat pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu proses
pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep
baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses
pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong
siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi, dalam
konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk membangun constructive habits of mind.
Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori
belajar yang mencerminkan siswa memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan
teknik belajar apa pun asal tujuan belajar dapat tercapai.

Selain itu, Nickson mengatakan bahwa pembelajaran dalam pandangan konstruktivime adalah
membantu siswa untuk membangun konsep-konsep dalam belajar dengan kemampuannya
sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep itu terbangun kemabli melalui
transformasi informasi untuk menjadi konsep baru. Konstruk sebagai salah satu paradigma
dalam teori belajar telah banyak mempengaruhi proses belajar. Peran guru bukan pemberi
jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk
pengetahuan.

7
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar
konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan
informasi baru yang diterima.

Wheatley mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat
diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi
bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif
dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan
pembelajaran, yaitu:

1. Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki,
2. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,
3. Strategi siswa lebih bernilai,
4. Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temannya.

Bila aplikasi teori konstruktivisme masuk kedalam pembelajaran PAI khususnya di bidang
Fiqh, maka para siswa akan membentuk :

1) Peserta didik akan membangun atau mengkonstruksi pengetahuan tentang fiqh khususnya
masalah shalat, dari hasil yang mereka dapatkan ketika mereka duduk di bangku Madrasah
Ibtidaiyah

2) Pembelajaran tentang ibadah shalat akan menjadi lebih bermakna karena peserta didik sudah
mengerti walaupun masih ada juga yang belum tahu, namun dalam hal ini teori konstruktivisme
yang diaplikasikan kedalam pembelajaran dapat menumbuhkan respons yang positif karena
stimulus yang diberikan juga pengaruhnya lebih besar

3) Strategi pembelajaran hukum fiqh lebih sempurna

4) Peserta didik dapat berinteraksi penuh dengan metode pembelajaran ibadah shalat, karena
ibadah shalat tidak cukup hanya teoritis, tapi juga harus di praktekkan

8
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler mengajukan
beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:

1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa


sendiri, bila terapannya atau aplikasinya dapat membentuk bahasa peserta didik sendiri dalam
hal ibadah ‘amaliyah, contohnya: peserta didik diajarkan untuk berwudhu terlebih dahulu
kemudian baru diajarkan tentang shalat, tentunya pelaksanaan yang demikian membuat peserta
didik dapat memberikan respons positif terhadap gaya bahasa yang dia akan ungkapkan

2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif, contohnya dalam pembelajaran fiqh, peserta didik dapat diberikan
kesempatan atau rehat untuk berpikir karena dari segi pengalaman praktikum mereka juga tahu,
namun disini adalah bahwa selama apa yang peserta didik yakini, dan lakukan adalah benar,
tetapi pada kenyataannya masih banyak juga peserta didik yang belum paham betul tentang
rukun-rukun shalat, sunnat-sunnat dalam shalat dan sebagainya.

3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, dalam hal ini pendidik
atau guru pada bidang studi fiqh dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam
mencoba terhadap gagasan yang baru.

4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,
6. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang
telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Oleh Brooks &
Brooks mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu
berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata
lingkungan agar si siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai
ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda
terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya. Atas dasar ini, maka peran kunci pendidik dalam interaksi
pembelajaran konstruktivisme adalah pengendalian, yang meliputi:

9
1. Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan
dan bertindak; menumbuhkan kemandirian dalam melaksanakan praktek ibadah shalat. Karena
selain merupakan kewajiban shalat juga termasuk membangun kesehatan di dalam tubuh kita

2. Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan


pengetahuan dan ketrampilan siswa. Dalam hal ini peningkatan pengetahuan tentang shalat-
shalat sunnat, seperti Tahajjud, Dhuha dan sebagainya

3. Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai
peluang optimal untuk berlatih.

Ada beberapa ciri-ciri dalam pembelajaran model konstruktivisme, yaitu:

· Mencari tahu dan menghargai titik pandang/pendapat siswa


· Pembelajaran dilakukan atas dasar pengetahuan awal siswa
· Memunculkan masalah yang relevan dengan siswa .
· Menyusun pembelajaran yang menantang dugaan siswa
· Menilai hasil pembelajaran dalam konteks pembelajaran sehari-hari

· Siswa lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses
pengintegrasian pengetahuan baru yang diperoleh dengan pengalaman/pengetahuan lama yang
mereka miliki

· Setiap pandangan sangat dihargai dan diperlukan. Siswa didorong untuk menemukan
berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi

· Proses belajar harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar
melalui kerjasama memungkinkan siswa untuk mengingat pelajaran lebih lama

· Kontrol kecepatan, dan fokus pembelajaran ada pada siswa

· Pendekatan konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dengan apa
yang dialami langsung oleh siswa

Selanjutnya ada empat komponen dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu:

1. Pengetahuan Awal (Prerequisite),


2. Fakta Dan Masalah,
3. Sistematika Berfikir,
4. Kemauan Dan Keberanian.

10
C. Hakikat Pembelajaran Teori Belajar Konstruktivisme terhadap pembelajaran

Dalam belajar sesuatu peserta didik telah mempunyai prakonsep berdasarkan pengalaman yang
telah di perolehnya. Untuk itu, guru perlu mencermati prakonsep ini dalam menanamkan
konsep-konsep baru. Apabila prakonsep ini tidak diperhatikan, kemungkinan akan terjadi
miskonsepsi atau konsep yang salah. Apabila peserta didik mempunyai miskonsepsi yang tidak
dikoreksi atau dibiarkan, maka akan menyulitkan peserta didik untuk belajar sesuatu secara
benar. Oleh karenanya dalam konstruktivisme, pendidik harus lebih pro aktif bukan hanya
teoristis tapi juga praktikum yang terkontrol, kiranya dengan demikian dapat mewujudkan
konsep –konsep kepribadian.

Dalam menerapkan teori kontruktivisme dalam belajar dapat digunakan model pembelajaran
yang melibatkan beberapa tahap, yaitu:

1. Pengenalan
2. Pembelajaran kompetensi
3. Pemulihan
4. Pendalaman
5. Pengayaan

Tahap pengenalan merupakan pemberian hal-hal yang konkrit dan mudah dengan contoh-
contoh sederhana yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini, guru perlu
mencermati melalui penilaian prakonsep atau kompetensi awal yang dimiliki peserta didik
untuk maju ke tahap berikutnya. Tahap pembelajaran kompetensi merupakan tahap di mana
peserta didik mulai beranjak dari mengenali kompetensi baru ke menguasai kompetensi dasar.
Hasil penilaian akan menunjukkan apakah peserta didik perlu diberi tahapan pemulihan, yaitu
tahap di mana peserta didik memulihkan prakonsep menjadi suatu konsep/kompetensi secara
benar.

Bila peserta didik telah menguasai kompetensi secara benar, guru dapat menilai sejauh mana
minat, potensi, dan kebutuhan dalam penguasaan kompetensi dasar. Apabila peserta didik
cukup berminat dan kompetensi dasar telah dikuasai secara tuntas, tahap pemulihan dapat
dilewati dan maju ke tahap berikutnya yaitu tahap pendalaman. Apabila tahap pendalaman
telah dilaksanakan, tedapat otomatisasi berpikir dan bertindak sebagai perwujudan kompetensi.
Selanjutnya, dapat diberikan tahap pengayaan agar peserta didik memperoleh variasi
pengalaman belajar. Berbagai latihan dapat digunakan untuk mendalami atau memperkaya
kompetensi.

Penilaian yang dilakukan menunjukkan apakah suatu kompetensi telah tuntas dikuasai atau
belum. Dari hasil penilaian dapat diketahui jenis-jenis latihan yang perlu diberikan kepada
peserta didik sebagai pemulihan, pendalaman, dan pengayaan.

11
Perlu kami pertegas, bahwa strategi pembelajaran perlu mengikuti kaedah pedagogik, yaitu
pembelajaran diawali dari konkret ke abstrak, dari yang sederhana ke yang kompleks, dan dari
yang mudah ke sulit. Peserta didik perlu belajar secara aktif dengan berbagai cara untuk
mengkontruksi atau membangun pengetahuannya. Suatu rumus, konsep, atau prinsip dalam
mata pelajarn sebaiknya dibangn siswa dalam bimbingan guru. Strategi pembelajaran perlu
mengkondisikan peserta didik untuk menemukan pengetahuan sehingga mereka terbiasa
melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu.

Dalam hal pembelajaran fiqh khususnya tentang praktek ibadah shalat, seluruh peserta didik
dalam hal ini adalah perlu rasanya untuk meningkatkan integrasi dan aktif dalam peribadatan.

12
PENUTUP
Kesimpulan

Studi ini memiliki implikasi teoretis dan praktis tentang pengembangan model belajar
konstruktivisme. Secara teoretik, studi ini berimplikasi bahwa siswa seharusnya dipandang
sebagai individu yang memiliki potensi yang unik untuk berkembang, bukan sebagai tong
kosong yang hanya menunggu untuk diisi oleh orang dewasa (guru). Secara praktis, studi ini
berimplikasi bahwa model belajar konstruktivisme dibutuhkan untuk mengembangkan
kecakapan pribadi-sosial siswa dalam mengembangkan potensi kreatifnya melalui
pembelajaran di sekolah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi


pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang
dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan
menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang
baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan.
Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan
hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan
struktur kognitif dalam dirinya.

Maka dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam
belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa
dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi
siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak
untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru membiarkan anak
mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi
semangat dan arahan saja.

13
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/11999334/TEORI_PEMBELAJARAN_TEORI_PEMBELAJAR
AN_KONSTRUKTIVISME diakses pada 26 april 2017 pukul 10:00

http://muhardin1995.blogspot.com/2015/05/teori-belajar-konstruktivisme.html diakses pada


26 april 2017 pukul 11:30

http://www.kumpulanmakalah.com/2015/12/teori-konstruktivisme.html diakses pada 26 april


2017 13:00

Suparno, Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Jakarta: UIN Press.

Abrar Rangkuti, Ahmad. Teori Pembelajaran Konstruktivisme. Jakarta: Kuningan.

14

Anda mungkin juga menyukai