Digital - 20282727-T Yanti Cahyati PDF
Digital - 20282727-T Yanti Cahyati PDF
Digital - 20282727-T Yanti Cahyati PDF
TESIS
YANTI CAHYATI
0906505060
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Ilmu Keperawatan
YANTI CAHYATI
0906505060
Puji syukur kepada Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya, akhirnya peneliti
dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ”Perbandingan Latihan ROM
Unilateral dan Latihan ROM Bilateral terhadap Kekuatan Otot Pasien Hemiparese
Akibat Stroke Iskemik di RSUD Kota Tasikmalaya dan RSUD Kab. Ciamis.”
Pada kesempatan ini, peneliti menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dra. Elly Nurrachmah, DNSc, RN, selaku Pembimbing 1 yang dengan
penuh keikhlasan, kesabaran dan keteladanannya telah memberikan
bimbingan, arahan dan dukungan dalam proses penyusunan tesis ini.
2. Drs. Sutanto Priyo Hastono, M.Kes, selaku pembimbing 2 yang dengan
penuh keikhlasan, kesabaran dan keteladanannya telah memberikan
bimbingan, arahan dan dukungan dalam proses penyusunan tesis ini.
3. Dewi Irawati, MA, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
4. Astuti Yuni Nursasi, SKp,MN selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
5. Seluruh staf akademik dan non akademik Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia yang telah menyediakan fasilitas dan dukungan demi
kelancaran penyusunan tesis ini.
6. Direktur Poltekkes Tasikmalaya dan jajaranya yang telah memberikan izin
dan dukungan selama proses pendidikan di FIK UI ini.
7. Direktur RSUD Kota Tasikmalaya dan RSUD Kab. Ciamis yang memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
8. Kedua orang tua tercinta, adik-adikku, suamiku Rahmat Hidayat dan anakku
tercinta Naufal Aldian P, terima kasih atas semua dukungan dan doanya yang
tidak pernah henti.
iv
Semoga Allah SWT senantiasa menambah ilmu dan melimpahkan kasih sayang-
Nya bagi hamba-hambanya yang senantiasa memberikan ilmu yang bermanfaat
bagi orang lain. Amin.
HALAMAN JUDUL……………………………………….............................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………….........................…...........…... iii
KATA PENGANTAR………………………………………….........................…....….. iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………………………………………….. vi
ABSTRAK………………………………………………………………………………. vii
ABSTRACT……………………………………………………………………………... viii
DAFTAR ISI………………………………………………………............................….. ix
DAFTAR TABEL………………………………………..............................………........ xi
DAFTAR SKEMA……………………………………………………............................. xii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………..........................…… xii
1. PENDAHULUAN …………………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang……………………....………….......................…………............. 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………...........................…………………... 9
1.3 Tujuan …………………………………...........................………………............ 10
1.4 Manfaat Penelitian………………………………...........................…………….. 10
ix
5. HASIL PENELITIAN……………………………………………………………… 61
5.1 Analisis Univariat………………………………………………………………... 62
5.2 Uji Normalitas dan Uji Kesetaraan….…………….…………………………….. 64
5.3 Analisis Bivariat….………………………………………………………............ 67
5.4 Analisis Multivariat………………………………………………………............ 70
6. PEMBAHASAN…………………………………………………………………… 72
6.1 Interpretasi dan Diskusi Hasil Penelitian……………………………………….. 72
6.2 Keterbatasan Penelitian…………………………………………………………. 91
6.3 Implikasi Hasil Penelitian dalam Keperawatan………………………………… 91
DAFTAR REFERENSI
LAMPIRAN
xi
xii
xiii
vii
Hemiparese is a common problem that can caused disability. ROM exercise is still
considered effective to prevent disability. This study is aimed to identify the
comparison between unilateral ROM exercise and bilateral ROM Exercise on
hemiparese patient's muscle strength caused by ischemic stroke in RSUD Kota
Tasikmalaya and RSUD Kab. Ciamis. This study used Quasi Experiment pre and
post test research designs. Number of samples were 30 respondents who were
divided into intervention group I and group II. Evaluation research was done on
the first day and seventh day for the two groups. Sampling technique used is a
consecutive sampling. Study results showed an increased in muscle strength (p =
0.001) in both the intervention groups and there are significant differences
between the two intervention groups (p = 0018). This results suggested that
bilateral ROM exercises increase muscle strength compare to unilateral ROM
exercises. This study recommended the need for further research and the use of
these exercises programmed in dealing with stroke patients with hemiparese.
viii
Dikenal dua jenis stroke yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke
iskemik terjadi akibat sumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah atau
yang lain. Sekitar 85% dari kasus stroke adalah stroke iskemik. Stroke hemoragik
terjadi akibat pecahnya pembuluh darah otak yang menyebabkan darah masuk ke
parenkim otak atau selaput otak (National Stroke Association, 2009). Menurut
Lewis (2007) kejadian stroke hemoragik kurang lebih sekitar 15% dari seluruh
kejadian stroke. Walaupun secara umum ada kesamaan diantara kedua jenis stroke
tersebut, namun terdapat perbedaan dalam penyebab, patofisiologi, manajemen
medik dan perawatan (Smeltzer & Bare, 2008). Secara umum stroke hemoragik
menunjukan gambaran klinis yang lebih berat dibandingkan dengan stroke
iskemik, oleh karena itu peneliti mengkhususkan penelitian ini pada pasien stroke
iskemik.
1 Universitas Indonesia
2006 adalah sebanyak 137.119 orang yang terdiri dari 54.524 laki-laki dan 82.595
perempuan.
Diperkirakan prevalensi stroke pada tahun 2006 adalah 6,4 juta yang terdiri dari
2,5 juta laki-laki dan 3,9 juta perempuan. Sekitar 795.000 orang mengalami stroke
baru, 610.000 orang diantaranya mengalami serangan pertama dan stroke
serangan berulang sekitar 185.000 orang. Berdasarkan estimasi diperkirakan
setiap 40 detik akan muncul satu kasus stroke baru di Amerika (American Heart
Association, 2010).
Jawa Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia, merupakan salah satu
provinsi yang mempunyai prevalensi stroke diatas prevalensi nasional, selain
Universitas Indonesia
Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Gorontalo, dan Papua Barat. Prevalensi stroke di Jawa Barat adalah 9,3 per 1000
penduduk (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2008).
RSUD Kota Tasikmalaya dan RSUD Kab. Ciamis merupakan salah satu rumah
sakit pemerintah yang berada di Jawa Barat. Kasus stroke di RSUD Kota
Tasikmalaya dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat dan menempati
urutan pertama diantara seluruh kasus sistem persyarafan yang ada di RSUD Kota
Tasikmalaya. Ruang V merupakan salah satu ruangan khusus di RSUD Kota
Tasikmalaya yang merawat kasus-kasus sistem peryarafan. Selama tahun 2010 di
temukan sebanyak 754 orang pasien stroke yang di rawat di Ruang V RSUD Kota
Tasikmalaya dari 1021 kasus sistem persyarafan lainnya, atau sebanyak 73,45%.
Dari 754 kasus stroke yang di rawat di Ruang V, sebagian besar merupakan kasus
stroke non hemoragik, yaitu sebanyak 573 kasus atau 75,98%. Sedangkan sisanya
sebanyak 181 kasus (24,02%) merupakan kasus stroke hemoragik (Rekam Medis
RSUD Kota Tasikmalaya, 2010). Sementara itu kasus stroke di RSUD Kab.
Ciamis pun selalu menempati urutan pertama dari seluruh kasus system
persyarafan yang ada.
Universitas Indonesia
Penyakit stroke memberikan dampak pada berbagai sistem tubuh. Menurut Lewis
(2007), pada umumnya stroke dapat menyebabkan lima tipe kecacatan/disability,
yaitu : 1) paralisis atau masalah mengontrol gerakan, 2) gangguan sensorik
termasuk nyeri, 3) masalah dalam menggunakan atau mengerti bahasa, 4) masalah
dalam berfikir dan memori, dan 5) gangguan emosional. Selain dampak tersebut
di atas stroke juga merupakan kejadian yang dapat merubah kehidupan, bukan
hanya mengenai seseorang yang dapat menjadi cacat tetapi juga seluruh keluarga
dan orang terdekat lainnya.
Unsur patofisiologi yang utama pada stroke adalah terdapatnya defisit motorik
berupa hemiparese atau hemiplegia yang dapat mengakibatkan kondisi imobilitas.
Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot yang dapat
mengakibatkan ketidakmampuan pada otot ekstremitas secara umum, penurunan
fleksibilitas dan kekakuan sendi yang dapat mengakibatkan kontraktur sehingga
pada akhirnya pasien akan mengalami keterbatasan/disability terutama dalam
melakukan activities of daily living (ADL) (Lewis, 2007).
Setelah serangan stroke, tonus otot yang normal menghilang. Tanpa latihan yang
baik, klien akan melakukan kompensasi gerakan dengan menggunakan bagian
tubuhnya yang sehat sehingga seumur hidupnya klien akan menggunakan bagian
tubuh yang sehat dan membiarkan anggota tubuhnya yang sakit. Hemiparese
pasca stroke diketahui merupakan salah satu penyebab klien stroke mengalami
kecacatan (disability). Derajat disability yang dialami oleh klien stroke tergantung
dari beratnya hemiparese yang dialami klien. Menurut Kwakkel, et al. (2003), 30-
60% dari klien yang mengalami hemiparese, akan mengalami kehilangan penuh
Universitas Indonesia
pada fungsi tangan dalam waktu 6 bulan pasca stroke (M. E. Stoykov & Corcos,
2009).
Disfungsi pada ekstremitas atas yang dialami oleh klien stroke merupakan
gangguan fungsional yang paling umum terjadi, yaitu sebanyak 88% dari
penderita stroke (Zeferino & Aycock, 2010). Kelemahan otot (hemiparese) pada
ekstremitas atas merupakan penyebab klien stroke mengalami gangguan
fungsional tersebut, diketahui bahwa ekstremitas atas memiliki peranan yang
besar dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari setiap orang. Menurut Senesac
(2006), penggunaan ekstremitas atas sangat penting karena memberikan penilaian
yang subjektif tentang tingkat kesejahteraan seseorang, sehingga gangguan
motorik pada lengan dianggap mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
Latihan Range Of Motion (ROM) merupakan salah satu bentuk latihan dalam
proses rehabilitasi yang dinilai masih cukup efektif untuk mencegah terjadinya
kecacatan pada pasien dengan stroke. Latihan ROM merupakan sekumpulan
gerakan yang dilakukan pada bagian sendi yang bertujuan untuk meningkatkan
fleksibilitas dan kekuatan otot (Potter & Perry, 2006). ROM dapat diterapkan
dengan aman sebagai salah satu terapi pada berbagai kondisi pasien dan
memberikan dampak positif baik secara fisik maupun psikologis (Tseng, et al.,
2007). Latihan ringan seperti latihan ROM memiliki beberapa keuntungan antara
lain lebih mudah dipelajari dan diingat oleh pasien, mudah diterapkan dan
merupakan intervensi keperawatan dengan biaya yang murah yang dapat
diterapkan oleh penderita stroke di rumah.
Hasil penelitian oleh Astrid (2008) didapatkan hasil bahwa kekuatan otot
meningkat dan kemampuan fungsional meningkat secara signifikan setelah
diberikan latihan. Hal ini berarti latihan ROM berpengaruh terhadap peningkatan
kekuatan otot dan kemampuan fungsional pasien stroke dengan hemiparese.
Selain itu Utomo (2008) juga menyimpulkan hal yang sama, bahwa latihan ROM
dapat meningkatkan kekuatan otot klien.
Universitas Indonesia
Secara teori tidak disebutkan secara spesifik mengenai dosis dan intensitas latihan
ROM tersebut. Menurut Perry & Potter, 2006 ; Kozier, et al., 2008), latihan ROM
minimal dilakukan 2 kali dalam sehari sedangkan menurut Smeltzer & Bare
(2008) latihan ROM dapat dilakukan 4-5 kali/hari. Selain kedua referensi tadi,
beberapa penelitian menunjukan frekuensi yang bervariasi dalam melakukan
latihan ROM. Tseng, et al. (2007) dalam penelitiannya tentang penerapan latihan
ROM pada pasien stroke menyebutkan bahwa dosis latihan yang dipergunakan
yaitu 2 kali sehari, 6 hari dalam seminggu selama 4 minggu dengan intensitas
masing-masing 5 gerakan untuk tiap sendi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa responden penelitian yang melakukan latihan tersebut mengalami
perbaikan pada fungsi aktivitas, persepsi nyeri, rentang gerakan sendi dan gejala
depresi.
Sementara itu Astrid (2008) menerapkan latihan ROM pada pasien stroke dengan
frekuensi 4 kali sehari selama 7 hari, latihan ini memberikan kemajuan yang
signifikan bagi kekuatan otot klien. Begitupun dengan Yulinda (2009) dalam
penelitiannya ia melakukan terapi latihan (salah satunya latihan ROM) selama 4
minggu latihan dan didapatkan peningkatan kekuatan otot dan kemampuan
fungsional klien. Sementara itu Puspitawati (2010) melakukan perbandingan
antara latihan ROM 2 kali sehari dengan ROM 1 kali sehari, dari hasil penelitian
didapatkan bahwa latihan ROM 2 kali sehari lebih efektif meningkatkan kekuatan
otot dibandingkan dengan ROM 1 kali sehari.
Berdasarkan hal di atas, ternyata sudah banyak sekali penelitian yang berkaitan
dengan latihan ROM. Namun selama ini latihan ROM yang dilakukan oleh para
peneliti diatas merupakan latihan ROM unilateral, yaitu latihan ROM yang lebih
difokuskan pada ekstremitas yang mengalami hemiparese, sementara untuk
ekstermitas yang sehat tidak dilaksanakan secara terprogram. Latihan ROM dapat
dilakukan dengan pendekatan bilateral yang disebut Neurodevelopmental
Approach (NDA). Prinsipnya, metode latihan ini diarahkan pada kedua sisi tubuh,
baik sisi yang sakit maupun sisi yang sehat. Pola NDA terbukti memberikan hasil
yang lebih baik daripada pola tradisional. Keunggulan pola NDA didukung kuat
Universitas Indonesia
Hasil penelitian (Stoykov & Corcos, 2009) menunjukkan bahwa latihan bilateral
pada tangan untuk klien dengan stroke moderat memberikan hasil sebagai berikut
: 1) bilateral training memberikan hasil yang lebih efektif pada kemampuan
fungsional tangan klien stroke dibandingkan dengan unilateral training jika diukur
dengan Motor Assesment scale, 2) Jika diukur dengan Reaching Performance
Scale dan Motor Status Scale, bilateral dan unilateral trainning memberikan hasil
yang sama bagi perbaikan kerusakan motorik klien pasca stroke, 3) baik unilateral
maupun bilateral traning dapat meningkatkan kekuatan otot dan ROM pada
bagian ekstremitas atas klien stroke (M. Stoykov, 2008). Menurut penelitian
tersebut terlihat bahwa baik latihan unilateral maupun latihan bilateral sama-sama
dapat meningkatkan kekuatan otot pasien, tetapi dalam hal kemampuan fungsional
latihan bilateral memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan latihan
unilateral.
Sementara itu Gwin & Winston (2004) dalam penelitianya terhadap pasien-pasien
post stroke (1-6 bulan post stroke) menyimpulkan bahwa latihan bilateral belum
memberikan efek yang signifikan terhadap kemampuan motorik ekstremitas atas
klien stroke, mekanisme neurofisiologis yang dihubungkan dengan terapi aktivasi
bilateral masih belum jelas. Begitu juga pendapat dari (Desrosiers, Bourbonnais,
Corriveau, Gosselin, & Bravo, 2005) yang menyatakan bahwa latihan bilateral
dan unilateral yang dilakukan pada klien stroke fase subakut tidak mengurangi
kecacatan atau memperbaiki fungsional klien stroke lebih dari terapi biasa.
Namun demikian para peneliti lain sepakat bahwa latihan bilateral merupakan
latihan yang efektif bagi penderita stroke (Whitall et al.,2000; Cauraugh & Kim,
2002; Cauraugh & Kim, 2003; Luft et al., 2004; McCombe Waller & Whitall,
2004; Stinear & Byblow, 2004; Cauraugh et al., 2005; Hesse et al., 2005;
McCombe Waller & Whitall, 2005). Para peneliti tersebut percaya bahwa latihan
Universitas Indonesia
bilateral merupakan pendekatan yang baik dalam rehabilitasi pasien stroke yang
didasarkan pada konsep otak dan koordinasi bimanual dari otak. Latihan Bilateral
menguntungkan karena selama proses latihan kedua belahan otak akan aktif
secara bersamaan sehingga memberikan efek yang positif terhadap hemiparese
yang dialami oleh klien. Latihan bilateral merupakan suatu tekhnik yang
melengkapi latihan unilateral (Waller & Whitall, 2008).
Universitas Indonesia
sebagai alternatif tindakan yang bisa memberikan keuntungan yang lebih baik
bagi kemampuan motorik pasien stroke.
Salah satu intervensi yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah hemiparese
pada ekstremitas atas pasien stroke adalah dengan melakukan latihan ROM baik
aktif maupun pasif. Selama ini latihan ROM lebih terfokus pada bagian tubuh
yang mengalami parese (latihan ROM unilateral), sedangkan untuk sisi tubuh
yang sehat tidak dilakukan latihan ROM secara terprogram. Terdapat satu
pendekatan lain yang bisa diterapkan pada latihan ROM yang diprediksi dapat
meningkatkan kekuatan otot pasien yaitu latihan yang ditujukan pada kedua sisi
tubuh (latihan bilateral). Latihan bilateral pada tangan yang dilakukan pada klien
post stroke yang mengalami keterbatasan dalam menggunakan ekstremitas atas
masih menimbulkan kesepakatan yang berbeda-beda. Beberapa peneliti meyakini
bahwa bilateral training memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan
unilateral training, namun ada juga yang masih menganggapnya belum
memberikan efek yang signifikan bagi kemajuan motorik klien.
Universitas Indonesia
ROM unilateral dan latihan ROM bilateral terhadap kekuatan otot ekstremitas atas
pasien hemiparese akibat stroke iskemik di RSUD Kota Tasikmalaya dan RSUD
Kab. Ciamis?”
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbandingan latihan ROM
unilateral dan latihan ROM bilateral terhadap kekuatan otot ekstremitas atas
pasien hemiparese akibat stroke iskemik.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada bab ini akan dibahas landasan teori berupa konsep, teori dan hasil penelitian
terkait, yang meliputi : konsep dasar stroke, latihan ROM termasuk didalamnya
konsep latihan bilateral serta kerangka teori.
2.1.2 Klasifikasi
Sistem klasifikasi lama biasanya membagi stroke menjadi tiga kategori
berdasarkan penyebabnya, yaitu trombotik, embolik dan hemoragik. Kategori ini
sering didiagnosis berdasarkan riwayat perkembangan dan evolusi gejala.
Perbedaan antara trombus dan embolus sebagai penyebab suatu stroke iskemik
masih belum tegas sehingga keduanya digolongkan ke dalam kelompok yang
sama yaitu stroke iskemik. Sehingga dengan demikian munculah dua kategori
besar dari stroke yaitu stroke iskemik-infark dan stroke perdarahan (Price &
Wilson, 2006; Lewis, 2007; Smeltzer & Bare, 2008).
12 Universitas Indonesia
Stroke non haemoragik atau stroke iskemik, yaitu suatu gangguan fungsional otak
akibat gangguan aliran darah ke otak karena adanya bekuan darah yang telah
menyumbat aliran darah (Yastroki, 2007). Stroke iskemik terjadi karena adanya
sumbatan sebagian atau seluruhnya pada arteri yang memperdarahi otak. Beratnya
stroke tergantung dari kecepatan serangan stroke, ukuran lesi dan adanya sirkulasi
kolateral. Pasien dengan stroke iskemik umumnya tidak mengalami penurunan
tingkat kesadaran pada 24 jam pertama, kecuali disebabkan oleh stroke batang
otak atau kondisi lain seperti kejang, peningkatan tekanan intrakranial, atau
perdarahan.
Faktor resiko yang diketahui secara pasti pada kasus stroke iskemik, meliputi : 1)
faktor resiko yang terkait dengan gaya hidup : usia (usia lanjut), penyalahgunaan
obat atau alkohol, merokok, faktor genetic dan jenis kelamin (pria); 2) faktor
resiko yang terkait dengan patofisiologi : hipertensi, penyakit jantung, carotid
bruit, DM, peningkatan fibrinogen, peningkatan hematokrit, penyakit sickle cell,
emboli pada retina dan riwayat TIA (Transcient Iskemik Attack) (Rasional, 2001).
Universitas Indonesia
Pada stroke iskemik terjadi gangguan sirkulasi dari pembuluh darah otak akibat
obstruksi dari aliran pembuluh darah. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan
darah (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh darah otak atau
pembuluh darah organ distal. Pada trombus vascular distal, bekuan dapat terlepas
atau mungkin terbentuk dalam suatu organ seperti jantung dan kemudian dibawa
melalui system arteri ke otak sebagai suatu embolus (Price dan Wilson, 2006).
Trombosis terjadi karena adanya kelainan pada dinding arteri yang menyebabkan
penyempitan dari lumen arteri, sehingga diameternya menjadi kecil yang pada
suatu saat dapat terjadi penyumbatan. Usia yang paling sering terserang penyakit
ini berkisar antara usia 60 sampai 69 tahun, awitan gejala penyakit biasanya
cenderung terjadi bila penderita sedang tidur atau pada saat bangun tidur.
Intensitas maksimal baru disadari sesudah 48 jam, kemudian perkembangan
umumnya berlangsung secara bertahap.
Selain adanya trombus, stroke iskemik juga bisa disebabkan karena adanya
emboli. Emboli merupakan benda asing dalam aliran darah sehingga dapat
menyebabkan penyumbatan pembuluh arteri, apabila terjadi pada arteri yang
menuju ke otak maka otak akan mengalami penurunan suplai darah sehingga otak
hypoxia dan akhirnya iskemik. Penyebab terjadinya emboli ada dua, yaitu faktor
Universitas Indonesia
dari jantung (artrial fibrilasi, infark miokard, kelainan katup, endocarditis) dan
faktor non kardial (pleque artheromatosus di arteri karotis komunis, emboli dari
paru, emboli udara pada tindakan abortus). Gejala-gejala dapat timbul setiap saat
dan berkembang secara progresif cepat.
Saat embolus menetap dan menyumbat arteri serebral, mengakibatkan infark dan
edema pada area yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan. Emboli
bisa berasal dari trombus yang rapuh atau kristal kolesterol dalam arteri karotis
dan arteri vertebralis yang sklerotik, atau adanya kelainan jantung (kelainan katup
jantung, atrial fiblrilasi, dll). Bila emboli ini terlepas dapat mengikuti aliran darah
dan menimbulkan emboli arteri intra kranial yang selanjutnya bisa menyebabkan
iskemik otak.
Penurunan aliran darah serebral pada tahap awal akan menyebabkan munculnya
area penumbra, yaitu daerah yang mendapat aliran darah yang rendah, daerah ini
terdapat di sekitar area infark. Daerah penumbra adalah jaringan otak iskemik
yang dapat diselamatkan dengan intervensi tepat waktu. Daerah penumbra bisa
direvitalisasi dengan pemberian aktivator jaringan plasminogen (t-PA), dan
masuknya kalsium dapat dibatasi dengan menggunakan calcium channel blockers.
Masuknya kalsium, dilepaskanya glutamat secara terus menerus akan menambah
Universitas Indonesia
Pada iskemik otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat
perbedaan tingkat iskemik, yang terdiri dari tiga area berbeda, yaitu :
2.1.3.1 Area iskemik, terlihat sangat pucat karena aliran darah yang rendah.
Tampak degenerasi neuron, peleburan pembuluh darah tanpa adanya aliran darah.
Kadar asam laktat tinggi dengan tekanan oksigen yang rendah. Daerah ini akan
mengalami nekrosis.
2.1.3.2 Iskemik penumbra, disekitar iskemik core. Aliran darah daerah ini juga
rendah tetapi masih lebih tinggi dari pada iskemik core. Sel-sel neuron tidak
sampai mati, tetapi fungsi sel terhenti. Terdapat kerusakan neuron dalam berbagai
tingkat, edema jaringan dan jaringan berwarna pucat. Daerah ini masih mungkin
diselamatkan dengan resusitasi dan manajemen yang tepat.
2.1.3.3 Luxury perfusion, tampak merah dan edema di sekeliling penumbra.
Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, tekanan karbondioksida dan
tekanan oksigen tinggi, serta sirkulasi kolateral maksimal, CBF (Cerebral Blood
Flow) sangat meninggi.
2.1.4 Manifestasi
Manifestasi dan komplikasi dari stroke sangat bervariasi tergantung dari arteri
yang terlibat dan area otak yang terkena. Menurut Lemone and Burke (2004),
Lewis (2007) dan Smeltzer and Bare (2008), manifestasi klinis stroke dibedakan
sebagai berikut :
2.1.4.1 Kehilangan Fungsi Motorik
Pergerakan tubuh dihasilkan melalui kerjasama yang komplek antara otak, tulang
belakang dan syaraf perifer. Motor area pada kortek serebri, basal ganglia dan
serebelum mengawali setiap gerakan volunter dengan mengirimkan pesan ke
kortek spinal. Kondisi stroke menghambat komponen system syaraf pusat dalam
mekanisme penghantaran impuls sehingga menghasilkan efek kelemahan ringan
sampai berat pada sisi kontralateral yang menyebabkan keterbatasan dalam
pergerakan (Lemone and Burke, 2004).
Universitas Indonesia
Stroke adalah penyakit neuron motor atas yang mengakibatkan hilangnya kontrol
volunter terhadap pergerakan motorik. Karena motor neuron atas menyilang,
maka akan terjadi gangguan pada kontrol motorik volunteer pada satu sisi tubuh
yang menunjukkan adanya kerusakan pada bagian atas motor neuron di sisi yang
berlawanan dari otak. Hemiplegia (kelumpuhan satu sisi tubuh) merupakan
kelainan yang paling sering terjadi akibat adanya lesi pada sisi yang berlawanan
dari otak. Hemiparesis atau kelemahan dari satu sisi tubuh, merupakan tanda
lainya yang bisa ditemukan pada pasien stroke. Pada tahap awal, gejala klinis
yang muncul mungkin hanya penurunan tonus otot atau kehilangan refleks tendon
dalam. Ketika refleks tendon dalam muncul kembali (biasanya sampai dengan 48
jam), maka tonus otot akan meningkat dari ekstremitas pada sisi yang terkena
(Smeltzer and Bare, 2008).
Menurut Lemone and Burke (2004) gangguan motorik yang terjadi pada klien
stroke bisa berupa :
a. Hemiparesis, yaitu kelemahan pada satu sisi tubuh baik kanan atau kiri.
b. Flaccidity, yaitu hilangnya tonus otot (hypotonia)
c. Spasticity, yaitu meningkatnya tonus otot (hipertonia), biasanya disertai
dengan kelemahan.
2.1.4.2 Gangguan Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gangguan yang sering dialami oleh klien stroke,
baik eliminasi urine maupun feses. Stroke dapat menyebabkan hilangnya
sebagian sensasi pada bladder, yang menghasilkan frekuensi berkemih yang
sering, urgency dan inkontinen. Kontrol eliminasi akan mengalami perubahan
sebagai akibat dari defisit kognitif. Perubahan eliminasi bowel juga sering dialami
oleh klien stroke, hal ini merupakan penyebab dari perubahan tingkat kesadaran,
immobilisasi atau dehidrasi (Lemone and Burke, 2004).
2.1.4.3 Gangguan Persepsi dan Sensori
Persepsi adalah kemampuan untuk menafsirkan sensasi. Stroke dapat
mengakibatkan disfungsi visual-persepsi, gangguan dalam hubungan visual-
spasial dan kehilangan sensori. Disfungsi Visual persepsi disebabkan karena
adanya gangguan pada sensorik primer jalur antara mata dan korteks visual.
Universitas Indonesia
Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau
mungkin lebih berat, dengan kehilangan propiosepsi (kemampuan untuk
merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan auditorius.
2.1.4.4 Gangguan komunikasi
Fungsi otak yang lain yang terganggu akibat stroke adalah fungsi bahasa dan
komunikasi. Pada kebanyakan kasus, stroke bisa menyebabkan afasia. Menurut
Smeltzer and Bare (2008), gangguan bahasa dan komunikasi yang sering dialami
klien stroke adalah :
a. Dysarthria (kesulitan dalam berbicara), hal ini disebabkan karena paralisis
pada otot-otot yang memproduksi suara. Gejala yang ditunjukkan adalah bicara
yang sulit dimengerti.
b. Dysphasia atau aphasia (kehilangan kemampuan bicara), bisa berupa aphasia
motorik, aphasia sensorik atau aphasia global.
c. Apraxia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya), yang mungkin terlihat ketika pasien mengambil sebuah garpu
dan upaya menyisir rambutnya.
2.1.4.5 Gangguan kognitif dan perilaku
Perubahan tingkat kesadaran dapat terjadi dalam rentang yang berbeda, mulai dari
confuse sampai dengan koma. Hal ini disebabkan karena kerusakan jaringan yang
terjadi akibat adanya iskemik atau hemoragik. Perubahan tingkah laku termasuk
emosi yang labil, kehilangan kontrol diri dan menurunnya toleransi terhadap
stress. Perubahan intelektual yang terjadi bisa berupa kehilangan memori,
penurunan perhatian, penilaian, dan ketidakmampuan dalam berfikir abstrak
(Lemone & Burke, 2004).
Universitas Indonesia
Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori,
atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini
ditunjukan dengan lapang perhatian yang terbatas, kesulitan dalam pemahaman,
lupa dan kurang motivasi, yang menyebabkan pasien ini menghadapi masalah
frustasi dalam program rehabilitasi mereka (Smeltzer and Bare, 2008).
2.1.5 Komplikasi
Menurut Smeltzer & Bare (2008), komplikasi yang bisa terjadi pada pasien stroke
adalah hipoksia serebral, penurunan aliran darah serebral dan embolisme serebral.
2.1.5.1 Hipoksia serebral
Fungsi otak tergantung pada ketersediaan oksigen ke jaringan, pemberian oksigen
mempertahankan hemoglobin serta hematokrit akan membantu mempertahankan
oksigenasi jaringan.
2.1.5.2 Penurunan aliran darah serebral
Bergantung pada tekanan darah, curah jantung dan integritas pembuluh darah
serebral. Hidrasi adekuat harus menjamin penurunan viskositas darah dan
memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrim perlu
dihindari untuk mencegah perubahan aliran darah serebral dan potensi meluasnya
area cedera.
2.1.5.3 Embolisme serebral
Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau
dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran
darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat
mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan menghentikan trombus lokal,
selain itu disritmia dapat menyebabkan embolus cerebral dan harus diperbaiki.
Stroke Centre (2003) menjelaskan bahwa komplikasi yang terjadi selama pasien
stroke di rawat di rumah sakit adalah sebagai berikut :
2.1.5.1 Transformasi perdarahan
Merupakan reperfusi darah ke dalam jaringan iskemik setelah kejadian emboli.
Dapat terjadi dalam 1 – 2 hari setelah infark. Pasien dapat mengalami penurunan
Universitas Indonesia
2.1.6 Penatalaksanaan
Menurut Black & Hawks (2009) manajemen medik pada pasien stroke adalah
sebagai berikut :
2.1.6.1 Identifikasi stroke secara dini
Faktor utama dalam intervensi dan tindakan awal pada pasien stroke adalah
ketepatan dalam mengidentifikasi manifestasi klinis yang bervariasi berdasarkan
lokasi dan ukuran infark. Pengkajian awal dan riwayat yang lengkap dari pasien
merupakan data penting yang harus di dapatkan pada klien untuk memberikan
intervensi yang tepat.
2.1.6.2 Mempertahankan oksigenasi serebral
Tindakan utama yang dilakukan adalah mempertahankan kepatenan jalan nafas
dengan cara memiringkan kepala pasien untuk mencegah terjadinya aspirasi dari
air liur pasien yang keluar tanpa bisa dikontrol. Elevasi kepala dilakukan, hindari
posisi hiperekstensi, dan pertahankan pemberian oksigen yang adekuat.
Universitas Indonesia
Manajemen pasien stroke fase akut menurut Smeltzer & Bare (2008) adalah
sebagai berikut :
a. Tempatkan pasien pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala
tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral berkurang
b. Intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik perlu untuk pasien dengan stroke
masif, karena henti pernafasan biasanya merupakan faktor yang mengancam
kehidupan pada situasi ini.
c. Pasien dipantau untuk adanya komplikasi pulmonal (aspirasi, atelektasis,
pneumonia) yang mungkin berkaitan dengan kehilangan reflex jalan nafas,
imobilitas, atau hipoventilasi.
d. Periksa jantung terhadap adanya abnormalitas dalam ukuran dan irama serta
tanda gagal jantung kongesif.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Menurut Black & Hawks (2009), saat melakukan pengkajian pada klien stroke
perawat perlu mengkaji seluruh sistem tubuh. Selain pengkajian status neurologis
seperti tersebut di atas, perawat perlu mengkaji tekanan darah, suara jantung,
irama jantung, denyut jantung, suhu tubuh, status nutrisi, kemampuan menelan,
eliminasi urine dan alvi, dan kebutuhan komunikasi. Selain itu perlu juga
dilakukan pengkajian tentang status psikososial klien dan keluarganya.
2.1.7.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan utama pada pasien stroke diantaranya adalah perubahan
perfusi jaringan serebral, tidak efektifnya bersihan jalan nafas, kerusakan
mobilitas fisik, kerusakan komunikasi verbal, kerusakan menelan, risiko tinggi
kerusakan integritas kulit, dan defisit perawatan diri (Lewis, 2007).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Menurut Clark (2009), lingkup kerja perawat spesialis adalah sebagai berikut :
a. Memberikan health education bagi pasien yang baru didiagnosa suatu penyakit
tertentu
b. Berperan sebagai konsultan bagi pasien dalam mempertimbangkan suatu
tindakan medis tertentu.
c. Melakukan penilaian gaya hidup yang rinci bagi mereka yang akan memulai
perawatan
d. Memberikan masukan tentang efek samping pengobatan dan bagaimana
mengelola efek samping tersebut
e. Melakukan kunjungan di rumah pasien , di klinik spesialis atau di bangsal
rumah sakit
f. Menyesuaikan dosis obat, dalam batas yang ditetapkan
g. Mengamati, mengevaluasi dan merekam perubahan gejala dan menilai tanda-
tanda de-stabilisasi
h. Berpartisipasi dalam penelitian keperawatan
i. Mendidik dan mendorong pasien untuk menilai kondisinya dan memahami
sepenuhnya rencana perawatan yang diusulkan
Universitas Indonesia
Menurut PPNI (2010), kompetensi perawat spesialis dalam pemberian asuhan dan
manajemen asuhan keperawatan termasuk asuhan keperawatan pada pasien stroke
adalah sebagai berikut :
a. Menerapkan keterampilan berfikir kritis dan pendekatan sistem untuk
menyelesaikan masalah serta pembuatan keputusan keperawatan dalam
konteks pemberian asuhan keperawatan spesialis.
b. Mengumpulkan data objektif dan subjektif yang akurat dan relevan yang
dibutuhkan untuk praktek di area khusus melalui pengkajian kesehatan dan
keperawatan yang sistematik, mengajukan permintaan pemeriksaan dan
prosedur diagnostik yang diperbolehkan dalam lingkup praktek spesialis dan
peraturan perundangan
c. Mengorganisasikan, mensintesis, menganalisis, menerjemahkan data dari
berbagai sumber untuk menegakkan diagnosa keperawatan dan menetapkan
rencana asuhan.
Universitas Indonesia
Fase rehabilitasi dapat dimulai sesegera mungkin pada pasien yang mengalami
stroke, namun proses ini ditekankan selama fase konvalesen dan memerlukan
upaya tim koordinasi. Sasaran utama program rehabilitasi adalah perbaikan
mobilitas, menghindari nyeri bahu, pencapaian perawatan diri, mendapatkan
kontrol kandung kemih, perbaikan proses fikir, pencapaian beberapa bentuk
komunikasi, pemeliharaan integritas kulit, perbaikan fungsi keluarga dan tidak
adanya komplikasi (Smeltzer & Bare, 2008).
Universitas Indonesia
(ROM) merupakan salah satu bentuk latihan yang efektif sebagai program
rehabilitasi pada pasien stroke. Latihan ini dapat dilakukan 4 sampai 5 kali dalam
sehari (Smeltzer & Bare, 2008), sedangkan menurut Perry & Poter (2006) latihan
ROM bisa dilakukan minimal 2X/hari. Terapi latihan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kemandirian pasien, mengurangi tingkat ketergantungan pada
keluarga, dan meningkatkan harga diri dan mekanisme koping pasien.
Ekstremitas yang sakit dilatih secara pasif dan diberikan rentang gerak penuh
empat atau lima kali sehari, untuk mempertahankan mobilitas sendi,
mengembalikan kontrol motorik, mencegah terjadinya kontraktur pada
ekstremitas yang mengalami parese, mencegah bertambah buruknya system
neurovascular dan meningkatkan sirkulasi. Pengulangan aktivitas membentuk
jaras baru SSP dan dapat membentuk pola-pola baru pada gerakan. Pertama kali
ektremitas biasanya flasid, jika terjadi keketatan pada beberapa daerah, latihan
rentang gerak harus dilakukan lebih sering (Smeltzer & Bare, 2008).
Gerakan fleksi dan ekstensi pada jari tangan dan siku serta gerakan hiperekstensi
pada pinggul merupakan rentang gerak pada potongan sagital. Pada potongan
frontal gerakannya adalah abduksi dan adduksi pada lengan dan tungkai, eversi
Universitas Indonesia
dan inverse pada kaki. Sedangkan pada potongan transversal gerakannya adalah
pronasi dan supinasi pada tangan, rotasi internal dan eksternal pada lutut dan
dorsofleksi dan plantar fleksi pada kaki (Potter & Perry, 2006).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
keluar ke cairan sinovial akan ditarik kembali dengan membawa nutrisi dari cairan
(Ulliya, et al., 2007).
2.2.2 Tujuan
Menurut Tseng, et al. (2007), Rhoad & Meeker (2009), Smith, N. (2009) dan
Smeltzer & Bare (2008), tujuan latihan ROM adalah sebagai berikut :
a. Mempertahankan fleksibilitas dan mobilitas sendi
b. Mengembalikan kontrol motorik
c. Meningkatkan/mempertahankan integritas ROM sendi dan jaringan lunak
d. Membantu sirkulasi dan nutrisi sinovial
e. Menurunkan pembentukan kontraktur terutama pada ekstremitas yang
mengalami paralisis.
f. Memaksimalkan fungsi ADL
g. mengurangi atau menghambat nyeri
h. Mencegah bertambah buruknya system neuromuscular
i. Mengurangi gejala depresi dan kecemasan
j. Meningkatkan harga diri
k. Meningkatkan citra tubuh dan memberikan kesenangan
2.2.3 Jenis
Dikenal 3 jenis latihan ROM, yaitu latihan ROM aktif, Aktif dengan penampingan
dan latihan ROM pasif :
2.2.3.1 Latihan aktif.
Gerak aktif adalah gerak yang dihasilkan oleh kontraksi otot sendiri. Latihan yang
dilakukan oleh klien sendiri. Hal ini dapat meningkatkan kemandirian dan
kepercayaan diri klien.
2.2.3.2 Latihan aktif dengan pendampingan (active-assisted).
Latihan tetap dilakukan oleh klien secara mandiri dengan didampingi oleh
perawat. Peran perawat dalam hal ini adalah memberikan dukungan dan atau
bantuan untuk mencapai gerakan ROM yang diinginkan.
Universitas Indonesia
Latihan pasif dapat dilakukan sedini mungkin pada pasien stroke walaupun pasien
belum sadar. Latihan pasif pada ekstremitas atas dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Gerakan menekuk dan meluruskan sendi
b. Gerakan menekuk dan meluruskan siku
c. Gerakan memutar pergelangan
d. Gerakan menekuk dan meluruskan pergelangan tangan
e. Gerakan memutar jari
f. Gerakan menekuk dan meluruskan jari tangan
Universitas Indonesia
d. Pilih waktu di saat pasien nyaman dan bebas dari rasa nyeri untuk
meningkatkan kolaborasi pasien
e. Posisikan pasien dalam posisi tubuh lurus yang normal
f. Gerakan latihan harus dilakukan secara lembut, perlahan dan berirama
g. Latihan diterapkan pada sendi secara proporsional untuk menghindari peserta
latihan mengalami ketegangan dan injuri otot serta kelelahan
h. Posisi yang diberikan memungkinkan gerakan sendi secara leluasa
i. Tekankan pada peserta latihan bahwa gerakan sendi yang adekuat adalah
gerakan sampai dengan mengalami tahanan bukan nyeri.
j. Tidak melakukan latihan pada sendi yang mengalami nyeri
k. Amati respons non verbal peserta latihan
l. Latihan harus segera dihentikan dan berikan kesempatan pada peserta latihan
untuk beristirahat apabila terjadi spasme otot yang dimanifestasikan dengan
kontraksi otot yang tiba-tiba dan terus menerus
Dosis dan intensitas latihan ROM yang dianjurkan menunjukkan hasil cukup
bervariasi. Secara teori tidak disebutkan secara spesifik mengenai dosis dan
intensitas latihan ROM tersebut, namun dari berbagai literature dan hasil
penelitian tentang manfaat latihan ROM dapat dijadikan sebagai rujukan dalam
menerapkan latihan ROM sebagai salah satu intervensi. Smeltzer & bare (2008)
menyebutkan bahwa latihan ROM dapat dilakukan 4 sampai 5 kali sehari, dengan
waktu 10 menit untuk setiap latihan, sedangkan Perry & Poter (2006)
menganjurkan untuk melakukan latihan ROM minimal 2 kali/hari. Tseng, et al.
(2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dosis latihan yang dipergunakan
yaitu 2 kali sehari, 6 hari dalam seminggu selama 4 minggu dengan intensitas
masing-masing 5 gerakan untuk tiap sendi. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa responden penelitian yang melakukan latihan tersebut
mengalami perbaikan pada fungsi aktivitas, persepsi nyeri, rentang gerakan sendi
dan gejala depresi.
Pada penelitian yang dilakukan Bandy, Irion and Bringgler (1999), latihan untuk
meningkatkan ROM dapat dilakukan 5 hari dalam setiap minggu
Universitas Indonesia
Alasan utama adanya latihan bilateral didasarkan bahwa banyak sekali aktivitas
yang dilakukan sehari-hari yang memerlukan kedua tangan. Sebagai contoh,
kedua lengan dan tangan digunakan untuk melakukan keterampilan dasar dalam
perawatan diri seperti mandi, berpakaian, makan, toilet. Selain itu banyak juga
fungsi mobilitas lainnya seperti membawa benda-benda, bangun dari tempat tidur
atau kursi, termasuk mengendarai kendaraan. Aktivitas seperti menggunakan
keyboard, belanja dan memasak juga sangat bergantung penggunaan kedua
lengan. Selain itu, pada orang yang lebih tua, yang sudah mengalami penurunan
Universitas Indonesia
Pada saat seseorang terkena stroke dan mengalami defisit motorik akibat parese
pada ekstremitas atas, maka pasien akan mengalami hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari terutama aktivitas-aktvitas yang dilakukan dengan
menggunakan kedua tangan. Untuk aktivitas-aktivitas sehari-hari yang bisa
digunakan hanya dengan satu tangan, mungkin masih bisa dikompensasi oleh
tangan yang sehat, tetapi penggunaan tangan yang sehat secara terus menerus
akan menambah buruk kemampuan motorik pada tangan yang mengalami parese.
Selama ini terapi yang sering dilakukan adalah bagaimana mengoptimalkan
tangan yang mengalami parese agar mampu melakukan aktivitas sesuai
kemampuannya. Latihan terus menerus dilakukan, namun keterbatasan ini akan
menyebabkan pasien terus menerus melakukan kompensasi aktivitas dengan
tangan yang sehat.
Dalam konsep istilah tangan dominan dan non dominan, ketika pasien mengalami
permasalahan parese pada tangan non dominan, hal ini tidak begitu menyulitkan
pasien, karena aktivitas harian pasien masih bisa dilakukan oleh tangan dominan
yang sehat. Oleh karena itu pada akhirnya klien tidak lagi mempedulikan tangan
yang mengalami parese karena semua aktivitasnya bisa dilakukan oleh tangan
dominan yang sehat. Hal ini tentu saja akan memperburuk kondisi parese yang
dialami oleh tangan non dominan. Namun kondisi sebaliknya terjadi jika yang
mengalami parese adalah tangan yang dominan. Pada saat tangan dominan pasien
mengalami parese, maka klien akan berusaha untuk melatih tangan parese tersebut
agar kembali dapat melakukan keterampilan yang sebelumnya bisa dilakukan oleh
tangan tersebut, namun jika kondisi ini tidak berhasil pasien akan melakukan
kompensasi dengan menggunakan tangan yang sehat (Waller & Whitall, 2008).
Latihan unilateral yang selama ini dilakukan pada pasien stroke, hanya melatih
sebagian dari fungsi tangan saja. Latihan bilateral diketahui lebih efektif
dibandingkan dengan latihan unilateral, karena latihan unilateral tidak bisa
Universitas Indonesia
Selain itu ada satu hipotesis yang berkaitan dengan mekanisme inhibisi
interhemisper antara hemisper dominan dan non dominan. Selama latihan
unilateral akan terjadi inhibisi pada gerakan lengan kontra lateral. Pada inidividu
normal mekanisme ini terjadi karena adanya aktivitas pada lengan dominan yang
dapat menghambat kemampuan motorik pada sisi kontralateral. Pada latihan
bilateral mekanisme ini dapat dihambat, sehingga kedua hemisper tetap aktif dan
kekuatan motorik ke dua tangan dapat tetap baik (Waller & Whitall, 2005).
Universitas Indonesia
Dalam berbagai penelitian stroke, data fMRI telah menunjukkan bahwa, segera
setelah stroke, sejumlah aktivasi saraf digeser ke korteks contralesional. Hal ini
juga dikenal sebagai hemispheric asymmetry. Penemuan baru-baru ini
menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas di korteks ipsilesional, segera setelah
kejadian stroke, merupakan indikator prognostik positif pemulihan fungsi tangan
pada pasien stroke. Penelitian tentang peran hemisper contralesional dalam
pemulihan pasca-stroke memberikan hasil yang bervariasi dan masih
menimbulkan beberapa perdebatan. Hemisper contralesional ikut berperan dalam
meningkatkan fungsi motor, terutama setelah latihan bilateral (Stoykov, 2008).
Adapun prosedur latihan ROM pasif pada ektremitas atas yang mengalami parese
adalah sebagai berikut : (Kozier, et al., 2004)
2.2.6.1 Latihan bahu
Satu tangan perawat menopang dan memegang siku, tangan yang lainnya
memegang pergelangan tangan. Luruskan siku pasien, angkat siku dari posisi di
samping tubuh pasien ke arah depan sampai ke posisi di atas kepala, turunkan dan
kembalikan ke posisi semula dengan siku tetap lurus.
Universitas Indonesia
Latihan ROM aktif dilakukan sama dengan ROM pasif hanya pasien
melakukannya sendiri tanpa bantuan perawat. Adapun prosedur latihan ROM aktif
pada ektremitas atas adalah sebagai berikut : (Kozier, et al., 2004)
2.2.6.1 Latihan bahu
Luruskan siku, angkat siku dari posisi di samping tubuh pasien ke arah depan
sampai ke posisi di atas kepala, turunkan dan kembalikan ke posisi semula dengan
siku tetap lurus.
2.2.6.2 Latihan siku
Lakukan gerakan menekuk dan meluruskan siku.
2.2.6.3 Latihan lengan
Gerakkan tangan ke arah luar (telentang) dan ke arah dalam (telungkup).
Universitas Indonesia
Kekuatan otot merupakan salah satu hasil evaluasi dari latihan ROM, hal ini
disebabkan karena kekuatan otot merupakan hal yang paling dominan yang
mengalami penurunan fungsi pada ekstremitas pasien stroke dibandingkan dengan
gerakan otot. Kekuatan otot dapat dievaluasi dengan cara meminta pasien untuk
menggerakkan otot secara aktif melawan gravitasi dan melawan tahanan yang
diberikan pemeriksa.
Universitas Indonesia
dan ekstensi jari-jari, adduksi dan abduksi jari tangan (Orlando Health, 2009).
Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan secara lengkap untuk setiap kelompok
otot pada ekstremitas atas yaitu otot sternokleidomastoid, trapesius, deltoid, bisep,
trisep, pergelangan dan jari-jari tangan (Black & Hawks, 2009; Kozier,et al,,
2008). Selain itu bisa juga dilakukan pemeriksaan cepat dengan melakukan tes
kekuatan otot pada bagian distal dan proksimal ekstremitas saja (Smeltzer &
Bare, 2008) atau pada tiga bagian otot besar yaitu bisep, trisep dan kemampuan
menggenggam (Orlando Health, 2009).
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan selama ini adalah pemeriksaan pada
empat bagian besar otot seperti yang tercantum dalam Black& Hawk (2009) dan
Kozier, et al. (2008) dilakukan sebagai berikut :
2.2.7.1 Otot bisep
Klien melakukan ekstensi maksimal pada lengan lalu fleksikan lengan dan
perawat mencoba menahan/mendorong lengan untuk tetap ekstensi, anjurkan klien
untuk menahananya.
2.2.7.2 Otot Trisep
Klien melakukan fleksi pada lengan lalu ekstensikan lengan dan perawat mencoba
menahan/mendorong lengan untuk tetap fleksi.
2.2.7.3 Otot pergelangan tangan dan jari-jari tangan
Kien melebarkan jari-jari tangannya, perawat melakukan tahanan agar jari-jari
tangan klien tetap rapat (adduksi), anjurkan klien untuk menahanya.
2.2.7.4 Kekuatan menggenggam
Klien untuk menggenggam telunjuk dan jari tengan perawat, lalu perawat
menariknya dari genggaman tersebut, anjurkan klien untuk menahan tarikan
tersebut.
Universitas Indonesia
yang diperiksa tersebut (Orlando Health, 2009). Dalam Kozier, et al. (2008);
Smeltzer & Bare (2008); Black & Hawks (2009), kekuatan otot dinyatakan
dengan menggunakan angka 0-5 yaitu :
0 = Paralisis total; tidak ada kekuatan sama sekali;
1 = Tidak ada gerakan, tetapi terdapat kontraksi otot saat dilakukan
palpasi atau kadang terlihat.
2 = Terdapat gerakan, tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya
berat (gravitasi).
3 = Terdapat gerakan normal, tetapi hanya dapat melawan gaya berat
(gravitasi).
4 = Terdapat gerakan, dapat melawan gaya berat (gravitasi), dan dapat
melawan tahanan ringan yang diberikan
5 = kekuatan utuh, terdapat gerakan penuh, dapat melawan gaya berat
(gravitasi) dan dapat melawan tahanan penuh dari pemeriksa.
Pada klien stroke latihan ROM dapat meningkatkan kekuatan otot, kekuatan otot
yang baik dapat meningkatkan status fungsional pasien stroke. Diketahui ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbaikan fungsi motorik pada pasien,
stroke diantaranya usia, jenis kelamin, sisi hemiparese, frekuensi serangan, dan
admission time.
Studi yang dilakukan oleh Ones,et.all. (2009), tentang evaluasi faktor-faktor yang
mempengaruhi perbaikan fungsi motorik pasien stroke, diantaranya adalah usia
Universitas Indonesia
dan jenis kelamin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hayes, et al., (2003)
pemulihan fungsional pasca stroke pada wanita terjadi lebih lambat dibandingkan
pada laki-laki. Wanita akan mengalami ketergantungan dalam ADL (kemampuan
berjalan dan lebih lama dibandingkan dengan pria. Frekuensi serangan pun
diketahui memiliki pengaruh yang kuat terhadap pemulihan pasien stroke. Pasien
dengan stroke ulang memiliki tingkat mortalitas dan kecacatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan stroke pertama, karena pada saat terjadi stroke ulang,
jaringan otak masih belum pulih akibat serangan pertama sehingga akan
berdampak lebih berat (Bethesda Stroke Centre, 2007)
Keterbatasan yang dialami oleh klien stroke yang mengalami hemiparese lengan
kiri dan lengan kanan akan berbeda. Menurut McCombe Waller & Whitall (2005),
dalam penelitiannya disimpulkan bahwa terdapat perbedaan fungsi motorik dasar
antara klien yang mengalami lesi di hemisfer dominan dan non dominan. Dari
hasil penelitian didapatkan bahwa didapatkan keuntungan yang lebih jelas bagi
fungsi motorik klien selama latihan pada klien-klien yang mengalami lesi pada
hemisfer dominan (parese pada tangan non dominan) dibandingkan dengan
hemisfer nondominan (parese pada tangan dominan). Oleh karena itu pendekatan
saat melakukan latihan pada klien dengan hemiparese perlu lebih spesifik
berdasarkan sisi hemiparese yang dialami oleh klien (McCombe Waller &
Whitall, 2005).
Universitas Indonesia
Hemiparese
Latihan ROM
Unilateral Bilateral
Peningkatan kekuatan
otot
Sumber : Black & Hawks (2009), Smeltzer & Bare (2008), Price & Wilson
(2007), Stoykov (2008), Whaller & Witall (2005).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada bab ini diuraikan mengenai kerangka konsep penelitian, hipotesis penelitian
dan definisi operasional. Kerangka konsep merupakan kerangka yang
menghubungkan beberapa konsep yang akan diteliti, digunakan sebagai kerangka
fikir dalam penelitian dan merupakan pengembangan dari beberapa teori yang
telah dibahas. Hipotesis adalah pernyataan sebagai jawaban sementara atas
pertanyaan penelitian, yang harus diuji validitasnya secara empiris (Sastroasmoro
& Ismael, 2010).
Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu kekuatan otot klien yang diukur
dengan menggunakan tes kekuatan otot. Kekuatan otot awal yang diambil dalam
penelitian ini adalah 1-3. Kekuatan otot 0 tidak diambil karena merupakan kondisi
paralisis yang berbeda dengan hemiparese, sedangkan kekuatan otot 4, merupakan
kondisi yang sudah memungkinkan untuk latihan aktif padahal latihan yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah latihan pasif. Kekuatan otot 5 merupakan
kekuatan otot optimal yang hanya memerlukan pemeliharaan saja agar tetap
optimal.
44 Universitas Indonesia
2007 ; Smeltzer & bare, 2008 ; Waller & Whitall, 2005). Keterkaitan beberapa
variabel penelitian dipaparkan sebagai kerangka konsep penelitian ini seperti
terlihat pada bagan 3.1.
Skema 3.1
Kerangka Konsep
Latihan
ROM Unilateral
Kekuatan Otot
Latihan
ROM Bilateral
Usia
Jenis kelamin
Frekuensi serangan
Sisi hemiparese
Admision time
Potensial Confounding
3.2 Hipotesis
Berdasarkan tujuan penelitian dan rumusan masalah penelitian, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah :
a. Terdapat perbedaan kekuatan otot sebelum dan sesudah dilakukan latihan
ROM Unilateral
Universitas Indonesia
Variabel Dependent
Kekuatan Hasil tes kekuatan • Cara ukur : 0 = Paralisis Ordinal
otot otot pada Observasi total; tidak
ekstremitas atas • Alat ukur : ada kekuatan
(kelompok otot panduan nilai sama sekali
bisep, trisep, jari kekuatan otot
tangan dan
pergelangan
tangan serta
Universitas Indonesia
1 2 3 4 5
kekuatan 1= Tidak ada Ordinal
menggenggam) gerakan,
dengan terdapat
menggunakan kontraksi
skala 0 – 5 otot saat
dilakukan
palpasi atau
kadang
terlihat
2= Terdapat
gerakan,
tetapi
gerakan ini
tidak
mampu
melawan
gaya berat
(gravitasi).
3= Terdapat
gerakan
normal,
tetapi hanya
dapat
melawan
gaya berat
(gravitasi)
4= Terdapat
gerakan,
dapat
melawan
Gaya berat
(gravitasi),
dan dapat
melawan
tahanan
ringan yang
diberikan
Universitas Indonesia
1 2 3 4 5
5= Kekuatan
utuh, terdapat
gerakan
penuh, dapat
melawan
tahanan
penuh dari
pemeriksa.
Variabel Confounding
Usia Usia responden Kuesioner Usia dalam tahun Interval
berdasarkan
ulang tahun
yang terakhir
Universitas Indonesia
Chang, J. J., Tung, W. L., Wu, W. L., & Su, F. C. (2006). Effect of bilateral reaching on
affected arm motor control in stroke -- with and without loading on unaffected
arm. Disability & Rehabilitation, 28(24), 1507-1516.
Desrosiers, J., Bourbonnais, D., Corriveau, H., Gosselin, S., & Bravo, G. (2005).
Effectiveness of unilateral and symmetrical bilateral task training for arm during
the subacute phase after stroke: a randomized controlled trial. Clinical
Rehabilitation, 19(6), 581-593.
Gwyn, N. L., & Winston, D. B. (2004). Neurophysiological and behavioural adaptations to
a bilateral training intervention in individuals following stroke. Clinical
Rehabilitation, 18(1), 48.
Lynch, D., Ferraro, M., Krol, J., Trudell, C. M., Christos, P., & Volpe, B. T. (2005).
Continuous passive motion improves shoulder joint integrity following stroke.
Clinical Rehabilitation, 19(6), 594-599.
Stoykov, M. (2008). Bilateral training for upper extremity hemiparesis in stroke.
Unpublished 3316563, University of Illinois at Chicago, Health Sciences Center,
United States -- Illinois.
Stoykov, M. E., & Corcos, D. M. (2009). A review of bilateral training for upper extremity
hemiparesis. Occupational Therapy International, 16(3-4), 190-203.
Waller, S. M., & Whitall, J. (2008). Bilateral arm training: Why and who benefits?
NeuroRehabilitation, 23(1), 29-41.
Universitas Indonesia
Dalam bab ini diuraikan tentang desain penelitian yang digunakan, populasi dan
sampel, tempat penelitian dilaksanakan, waktu penelitian, etika penelitian, alat
pengumpul data, prosedur pengumpulan data dan rencana analisis data.
Skema 4.1
Desain Penelitian
49
Keterangan :
O1 : Kekuatan otot sebelum intervensi I (Latihan ROM unilateral)
O2 : Kekuatan otot setelah intervensi I (Latihan ROM unilateral)
O3 : Kekuatan otot sebelum intervensi II (Latihan ROM bilateral)
O4 : Kekuatan otot sesudah intervensi II (Latihan ROM bilateral)
X1 : Perbedaan kekuatan otot sebelum dan sesudah intervensi I pada
kelompok intervensi I
X2 : Perbedaan kekuatan otot sebelum dan sesudah intervensi II pada
kelompok intervensi II
X3 : Perbedaan kekuatan otot sebelum dilakukan intervensi antara
kelompok intervensi I dan intervensi II
X4 : Perbedaan peningkatan kekuatan otot sesudah dilakukan
intervensi antara kelompok intervensi I dan intervensi II
4.2.2 Sample
Pemilihan sampel dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai
berikut :
4.2.2.1 Kriteria Inklusi
a. Diagnosa medis stroke iskemik
b. Mengalami hemiparese pada ekstremitas atas kanan atau kiri
c. Memiliki kekuatan otot antara 1-3
d. Pasien baru masuk dan belum mendapat terapi rehabilitasi di ruangan
e. Bersedia menjadi responden.
Universitas Indonesia
Hasil penelitian tentang pengaruh Latihan ROM pada kekuatan otot pasien stroke
yang dilakukan oleh Astrid (2008) memiliki rata-rata kekuatan otot pada
kelompok pertama 2,93 dan rata-rata kekuatan otot pada kelompok kedua 4,20,
sedangkan standar deviasi 1,29. Adapun derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji
95%. Dengan demikian, maka besar sampel untuk penelitian ini adalah sebagai
berikut :
2
(1,292 )[1,96 + 1,64]
n=
(2,93 − 4,20)2
21,57
n= � �
(1,61)
n = 13,39
Universitas Indonesia
Pembagian responden yang memenuhi syarat inklusi dan eksklusi untuk kelompok
intervensi I maupun kelompok intervensi II ditentukan dengan memisahkan
berdasarkan nomor urut ganjil dan genap. Responden dengan nomor ganjil
dikelompokan menjadi kelompok intervensi I sedangkan responden dengan
nomor genap sebagai kelompok Intervensi II.
Universitas Indonesia
Tabel 4.1
Rincian Kegiatan Penelitian
NO KEGIATAN WAKTU
1. Penyusunan proposal Februari - April
2. Seminar proposal minggu ke-2 April
3. Revisi proposal minggu ke-3 April
4. Perizinan minggu ke-4 April
5. Uji interrater minggu ke-4 April
6. Pengumpulan data mingu ke-5 April s/d minggu ke-1 Juni
7. Penyusunan Laporan Minggu ke-2 Juni s/d minggu ke-4 Juni
4.5.5 Privacy
Peneliti menjamin privacy responden dan menjunjung tinggi harga diri responden.
Privacy responden dijaga dengan cara merahasiakan informasi-informasi yang
didapat, hanya untuk kepentingan penelitian. Seluruh data responden yang
didapat dari hasil penelitian disimpan dan dirahasiakan oleh peneliti.
4.5.6 Justice
Prinsip etik justice dilaksanakan dengan cara memperlakukan semua responden
baik pada kelompok intervensi I maupun kelompok intervensi II dengan cara yang
sama. Kelompok responden intervensi I mendapatkan perlakukan yang sama
dengan kelompok intervensi II setelah penelitian selesai dilakukan, tetapi karena
rata-rata pasien pulang hari ke-7 perawatan, maka tidak semua responden
kelompok intervensi I mendapatkan latihan ROM bilateral. Untuk responden
kelompok intervensi I yang pulang pada hari ke-7 setelah penelitian selesai
dilaksanakan peneliti hanya memberikan penjelasan tentang latihan ROM bilateral
untuk dilaksanakan di rumah oleh responden.
Universitas Indonesia
Selain itu peneliti juga menggunakan format evaluasi kekuatan otot untuk
mendapatkan data kekuatan otot sebelum dan sesudah intervensi (Kozier, et.al.,
2008; Orlando Health, 2009). Tes kekuatan otot dilakukan pada empat kelompok
otot yaitu otot bisep, trisep, pergelangan tangan dan jari-jari tangan serta
kemampuan menggenggam. Jika ditemukan variasi dalam hasil tes dari keempat
kelompok tersebut diambil nilai kekuatan otot yang paling kecil (Orlando Health,
2009). Untuk intervensi latihan ROM unilateral dan bilateral, peneliti menyusun
pedoman latihan ROM unilateral dan bilateral yang dimodifikasi dari
Kozier,et.al,2008 ; Irfan, 2010 ; Potter & Perry, 2006)
Uji reliabilitas dilakukan dengan cara uji interrater reliability yaitu uji reliabilitas
untuk menyamakan persepsi antara peneliti dengan asisten peneliti. Alat yang
Universitas Indonesia
digunakan untuk uji interrater adalah uji statistik Kappa (Hastono, 2007). Pada
penelitian ini, digunakan 3 orang asisten peneliti, uji interrater reliability ini
dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antara peneliti dengan ketiga asisten
peneliti tentang pemeriksaan kekuatan otot.
Uji interrater dilakukan antara peneliti dengan ketiga orang asisten peneliti.
Asisten peneliti yang diambil dalam penelitian ini merupakan perawat ruangan
dengan tingkat pendidikan minimal D III keperawatan dengan masa kerja di ruang
penyakit syaraf minimal 5 tahun. Peneliti dan asisten peneliti secara bersamaan
melakukan tes kekuatan otot pada pasien stroke yang mengalami parese. Setelah
itu dilakukan uji statistik Kappa untuk melihat kesesuaian persepsi antara peneliti
dan asisten peneliti. Jika nilai Koefisien Kappa > 0,6 dan p value < 0,05, maka
persepsi peneliti dan asisten peneliti sama, sedangkan jika nilai Koefisien Kappa <
0,6 dan p value > 0,05, maka persepsi peneliti dan asisten peneliti berbeda (Polit
& Back,2008; Hastono, 2007).
Hasil uji reliabilitas yang dilakukan terhadap 3 (tiga) orang asisten peneliti,
dimana 2 orang asisten peneliti berasal dari RSUD Kota Tasikmalaya dan 1 (satu)
orang asisten peneliti berasal dari RSUD Kab. Ciamis. Uji reliabilitas dilakukan
tehadap 17 orang pasien stroke yang mengalami parese. Hasil uji reliabilitas
peneliti dengan asisten peneliti I didapatkan nilai koefisien kappa 0,708 dengan
p value 0,001 sedangkan hasil uji reliabilitas antara peneliti dengan asisten
peneliti 2 didapatkan nilai koefisien kappa 0,925 dengan p value 0,001. Uji
reliabilitas peneliti dengan asisten peneliti 3 didapatkan nilai koefisien kappa
0,704 dengan p value 0,001. Dari hasil uji interrater tersebut, semua nilai
koefisien kappa > 0,6 dengan p value < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa
persepsi antara peneliti dengan ketiga asisten peneliti tersebut sama.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
membuktikan ada tidaknya kontribusi variabel perancu (usia, jenis kelamin, jenis
stroke, sisi hemiparese, frekuensi serangan dan admission time) terhadap latihan
ROM dan terhadap kekuatan otot.
Universitas Indonesia
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian tentang perbandingan latihan ROM
unilateral dan latihan ROM bilateral terhadap kekuatan otot pasien hemiparese
akibat stroke iskemik di RSUD Kota Tasikmalaya dan RSUD Kab. Ciamis.
Berdasarkan data yang diperoleh selama 6 minggu pengumpulan data (minggu
ke-5 April s/d minggu ke-1 Juni 2011), didapatkan sejumlah 30 responden yang
memenuhi kriteria inklusi. Dari 30 orang responden, 15 orang merupakan
kelompok intervensi I yaitu kelompok yang diberikan latihan ROM unilateral dan
15 orang sebagai kelompok intervensi II yaitu kelompok yang mendapatkan
latihan ROM bilateral. Kedua kelompok dilakukan pretest dan posttest kemudian
hasilnya dibandingkan. Analisis statistik data hasil penelitian ditampilkan sebagai
berikut :
Berdasarkan tabel 5.1 terlihat bahwa usia responden kelompok intervensi I dan
kelompok intervensi II cukup berbeda, dari 15 responden pada kelompok
intervensi I rata-rata usianya adalah 60.73 tahun, sedangkan kelompok intervensi
II rata-rata usianya adalah 58.80 tahun. Usia termuda dari seluruh responden
61
Universitas Indonesia
adalah 42 tahun yang terdapat pada kelompok intervensi I, sedangkan usia tertua
adalah 85 tahun juga pada kelompok intervensi I.
Berdasarkan tabel 5.2 di atas dapat diketahui bahwa pada kelompok intervensi I
sebagian besar responden adalah perempuan yaitu sebanyak 9 orang (60%). Hal
ini berbeda dengan kelompok intervensi II yang sebagian besar respondennya
adalah laki-laki yaitu sebanyak 11 orang (73.30%).
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 5.3 di atas dapat diketahui sebagian besar responden pada
kelompok intervensi I mengalami hemiparese pada tangan kiri yaitu sebanyak 11
orang (73.30%), sedangkan 4 orang responden (26.70%) mengalami hemiparese
pada tangan sebelah kanan. Kondisi berbeda ditemukan pada kelompok intervensi
II, dimana sebagian besar responden mengalami hemiparese pada tangan kanan
yaitu sebanyak 9 orang (60%) dan sisanya mengalami hemiparese pada tangan kiri
sebanyak 6 orang (40%).
Tabel 5.4 menunjukkan nilai rata-rata kekuatan otot sebelum dan sesudah latihan
ROM pada kelompok intervensi I. Rata-rata kekuatan otot kelompok intervensi I
sebelum dilakukan latihan ROM adalah sebesar 1. 93. Hasil estimasi interval
Universitas Indonesia
dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata kekuatan otot sebelum
latihan pada kelompok intervensi I adalah diantara 1.40 – 2.47. Rata-rata kekuatan
otot sesudah dilakukan latihan ROM adalah sebesar 3.13. otot kelompok
intervensi I sebelum dilakukan latihan ROM adalah sebesar 1. 93. Hasil estimasi
interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata kekuatan otot
sebelum latihan pada kelompok intervensi I adalah diantara 2.44 – 3.82.
Tabel 5.5 menunjukkan nilai rata-rata kekuatan otot sebelum dan sesudah latihan
ROM pada kelompok intervensi II. Rata-rata kekuatan otot kelompok intervensi II
sebelum dilakukan latihan ROM adalah sebesar 2.07. Hasil estimasi interval dapat
disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata kekuatan otot sebelum latihan
pada kelompok intervensi II adalah diantara 1.58 – 2.56. Rata-rata kekuatan otot
sesudah dilakukan latihan ROM adalah sebesar 4.20. Hasil estimasi interval dapat
disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata kekuatan otot sebelum latihan
pada kelompok intervensi I adalah diantara 3.60 – 4.80.
Universitas Indonesia
Variabel Skewness/SE
Usia 0.81
Kekuatan otot sebelum latihan 0.00
Kekuatan otot setelah latihan - 0.94
Tabel 5.6 diatas menunjukan bahwa variabel usia terdistribusi normal dengan nilai
1.39, kekuatan otot sebelum latihan terdistribusi normal dengan nilai 0.00, begitu
pula variabel kekuatan otot sebelum latihan terdistribusi normal dengan nilai 0.94.
Karena semua data terdistribusi dengan normal, maka analisis bivariat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah uji t dependen dan independen.
Tabel 5.7 dan 5.8 berikut menggambarkan hasil uji kesetaraan antara kelompok
intervensi I dan kelompok intervensi II.
Universitas Indonesia
Tabel 5.7 Uji Kesetaraan Variabel Usia dan Kekuatan Otot Sebelum
Latihan pada Kelompok Intervensi I dan Kelompok Intervensi II
di RSUD Kota Tasikmalaya dan RSUD Kab. Ciamis
April – Juni 2011
(n = 30)
Tabel 5.7 di atas memperlihatkan uji kesetaraan untuk variabel umur dan variabel
kekuatan otot sebelum latihan. Kedua variabel memiliki p value > 0.05, yaitu
umur 0.625, kekuatan otot sebelum latihan 0.695. Dapat disimpulkan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi I dan intervensi II
untuk variabel usia dan kekuatan otot sebelum latihan.
Kelompok Kelompok
Total P
Variabel Intervensi I Intervensi II
Value
n % n % n %
1. Jenis Kelamin :
Laki-Laki 6 40 11 73.30 17 56.67 0.141
Perempuan 9 60 4 26.70 13 43.33
2. Frekuensi serangan :
Pertama 13 86.70 13 86.70 26 86.67 1.000
Kedua atau lebih 2 13.30 2 13.30 4 13.33
3. Sisi hemiparese :
Kanan 4 26.70 9 60 13 56.67 0.141
Kiri 11 73.30 6 40 17 56.67
4. Admission time:
Kurang dari 6 jam 10 66.70 10 66.70 20 66.67 1.000
Lebih dari 6 jam 5 33.30 5 33.30 10 33.33
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 5.8 di atas, hasil uji kesetaraan untuk variabel jenis kelamin
didapatkan p value 0.141, untuk variabel sisi hemiparese didapatkan p value
0.141, p value untuk frekuensi serangan 1.000 dan p value untuk admission time
yaitu 1.000. Berdasarkan hal tersebut, nilai p value untuk keempat variabel
tersebut semuanya > 0.05, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan untuk variabel jenis kelamin, frekuensi serangan, sisi hemiparese dan
admission time antara kelompok intervensi I dan kelompok intervensi II, dengan
kata lain variabel jenis kelamin, frekuensi serangan, sisi hemiparese dan
admission time pada kelompok intervensi I dan kelompok intervensi II adalah
setara.
Tabel 5.9 di atas menunjukkan rata-rata kekuatan otot sebelum intervensi pada
kelompok intervensi I yaitu 1.93 sedangkan rata-rata kekuatan otot sesudah
intervensi yaitu 3.13. Hasil uji statistik didapatkan p value 0.001, maka dapat
disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai kekuatan otot
sebelum dan kekuatan otot sesudah latihan pada kelompok intervensi I.
Universitas Indonesia
Rata-rata kekuatan otot sebelum intervensi pada kelompok intervensi II yaitu 2.07
sedangkan rata-rata kekuatan otot sesudah intervensi yaitu 4.20. Hasil uji statistik
didapatkan p value 0.001, maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang
signifikan antara nilai kekuatan otot sebelum dan kekuatan otot sesudah latihan
pada kelompok intervensi II.
Tabel 5.10 di atas menunjukkan rata-rata kekuatan otot sebelum dilakukan latihan
pada kelompok intervensi I adalah 1.93, sedangkan pada rata-rata kekuatan otot
sebelum dilakukan latihan pada kelompok intervensi II adalah 2.07. Hasil uji
statistik didapatkan p-value 0.695, berarti pada alpa 5% terlihat tidak ada
perbedaan yang siginifikan rata-rata kekuatan otot sebelum latihan pada kedua
kelompok intervensi.
Universitas Indonesia
Tabel 5.11 di atas menunjukkan rata-rata kekuatan otot sesudah dilakukan latihan
pada kelompok intervensi I adalah 3.13, sedangkan rata-rata kekuatan otot
sesudah dilakukan latihan pada kelompok intervensi II adalah 4.20. Hasil uji
statistik didapatkan p-value 0.018, berarti pada alpa 5% terlihat terdapat
perbedaan yang siginifikan rata-rata kekuatan otot sesudah latihan pada kedua
kelompok intervensi.
Mean Mean
Kelompok Perubahan Makna
Sebelum Sesudah
Intervensi I 1.93 3.13 Meningkat 1.20 Kekuatan otot
meningkat
Tabel 5.12 di atas menunjukkan secara jelas bahwa rata-rata kekuatan otot pada
kelompok intevensi I sebelum dilakukan latihan ROM unilateral adalah 1.93 dan
sesudah dilakukan latihan adalah 3.13, artinya terjadi perubahan nilai sebesar
1.20, sehingga dapat disimpulkan kekuatan otot mengalami peningkatan setelah
dilakukan latihan ROM unilateral.
Universitas Indonesia
Source B Sig.
Correction Model 3.622 .040
Usia 0.034 .134
Jenis kelamin -0.387 .456
Frekuensi serangan -0.151 .821
Sisi hemiparese -0.752 .113
Admission time 0.170 .720
Jenis latihan -1.060 .038
Perbedaan rata-rata kekuatan otot sesudah latihan sebelum dan sesudah dikontrol
variabel confounding digambarkan pada tabel 5.14 berikut :
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 5.14 diatas dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang
berarti pada nilai mean kekuatan otot setelah latihan pada kelompok intervensi I
dan kelompok intervensi II sebelum dan sesudah dikontrol variabel confounding,
hal ini berarti peningkatan kekuatan otot yang terjadi setelah intervensi
merupakan hasil dari intervensi yang dilakukan dan bukan merupakan pengaruh
dari variabel confounding yang ada.
Universitas Indonesia
Secara konsep, angka kejadian stroke meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Insiden kasus tertinggi terjadi pada orang dengan usia diatas 65 tahun, namun
demikian 28% kasus stroke terjadi pada usia kurang dari 65 tahun dan stroke
terjadi hampir di setiap kelompok umur (Lemon & Burke, 2004). Stroke jarang
terjadi pada usia kurang dari 50 tahun, tetapi resiko terjadinya stroke meningkat
dua kali lipat setelah usia 50 tahun. Setelah usia 80 tahun insiden meningkat
menjadi 2.5 kasus per 1000 penduduk (Petrina, 2007). Berdasarkan hasil survey
Riskesdas 2007 didapatkan bahwa prevalensi stroke paling tinggi adalah usia > 75
tahun ( 41.7%), usia 64-75 tahun sebanyak 31.9% dan usia 55-64 tahu sebanyak
20.2% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata usia responden adalah 60.73 tahun
untuk kelompok intervensi I dan 58.80 tahun untuk kelompok intervensi II. Hal
ini sejalan dengan konsep bahwa resiko stroke meningkat dua kali lipat setelah
72 Universitas Indonesia
Usia termuda responden adalah 42 tahun, ini tergolong sebagai stroke usia muda.
Menurut Pinzon (2009), definisi umum yang digunakan pada berbagai penelitian
epidemiologi untuk stroke usia muda adalah stroke yang terjadi pada umur kurang
dari 45 tahun. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa faktor risiko
stroke pada usia muda berbeda dengan stroke pada usia lanjut. Pada stroke usia
yang lebih muda stroke lebih sering dijumpai proses inflamasi, gangguan struktur
pembuluh darah, dan emboli jantung. Migren dan kontrasepsi oral hormonal
dianggap pula sebagai faktor risiko stroke yang sering dijumpai pada stroke usia
muda.
Penelitian Lipska, et al., (2007) menunjukkan bahwa stroke usia muda paling
banyak disebabkan oleh sindrom metabolik. Komponen sindrom metabolik yang
dapat teramati dalam penelitiannya adalah : peningkatan trigliserida (> 150
mg/dl), penurunan kolesterol HDL (dibawah 40 mg/ dl), peningkatan tekanan
darah (diatas 130 mmHg untuk sistolik atau diatas 85 mmHg untuk diastolik), dan
peningkatan kadar gula puasa diatas 100 mg/ dl. Pasien akan dinyatakan pula
mengalami salah satu dari komponen sindroma metabolik tersebut, bila sudah
terkonfirmasi menderita penyakit yang termasuk dalam sindroma metabolik, atau
sedang mendapat terapi (misalnya mendapat terapi statin untuk dislipidemia).
Selain itu, hasil penelitian Lipska, et al., (2007) juga menemukan bahwa
komponen sindroma metabolik yang paling teramati pada kasus stroke usia muda
adalah kadar HDL yang rendah (65% kasus) dan peningkatan tekanan darah (50%
Universitas Indonesia
kasus). Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan pada responden penelitian.
Stroke paling muda berusia 42 tahun, merupakan pasien stroke yang dirawat
untuk kedua kalinya. Faktor resiko yang dimiliki oleh responden ini diantaranya
adalah tingginya kadar kholesterol dan trigliserida serta riwayat hipertensi.
Penelitian Hayes, et al., (2003) tentang pengaruh jenis kelamin dan usia terhadap
disability pasien stroke iskemik, didapatkan bahwa hampir setengah dari pasien
stroke usia tua (43%) memiliki defisit neurologis sedang sampai berat, sehingga
pasien mengalami ketergantungan dalam Activity Dailly Living (ADL). Beberapa
penelitian lain mendukung bahwa usia mempengaruhi tingkat pemulihan pasca
stroke. Penelitian yang dilakukan oleh Bagg, Pombo & Hopman (2002) tentang
efek usia terhadap kemampuan fungsional pasca stroke didapatkan hasil bahwa
usia merupakan faktor yang menentukan kemampuan fungsional pasca stroke.
Universitas Indonesia
Selain itu proses rehabilitasi pasien stroke merupakan suatu proses motor learning
yang merupakan satu set proses latihan motorik yang mempengaruhi keadaan
internal system syaraf pusat. Latihan ini dilakukan dengan melibatkan memori
Universitas Indonesia
jangka panjang tentang kemampuan motorik dan dipelajari kembali sehingga lebih
memudahkan pasien untuk memiliki kemampuan motorik yang telah di
pelajarinya dulu (Mudie & Matyas, 2000). Usia tua diketahui memiliki
kemampuan memori jangka panjang kurang baik dibandingkan dengan usia muda,
sehingga hal ini berdampak pada pemulihan kemampuan motorik pasca stroke.
Semua konsep yang dijelaskan diatas tentang pengaruh usia terhadap kemampuan
motorik maupun kemampuan fungsional pasien stroke menunjukan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara usia dengan proses pemulihan pasca
stroke. Hal berbeda didapatkan oleh peneliti, hasil analisis multivariat
menunjukkan bahwa usia tidak berkontribusi terhadap kekuatan otot responden
setelah latihan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena semua responden baik
yang berada pada kelompok intervensi I maupun kelompok intervensi II tidak
mengalami disability sebelum terkena stroke, sehingga pada akhir penelitian
didapatkan hasil yang sama antara kelompok intervensi I dan kelompok intervensi
II yaitu berupa peningkatan kekuatan otot responden.
Selain itu, selama latihan dilakukan semua responden dapat berpartisipasi dengan
baik dalam program latihan ROM, tidak ada responden yang mengalami intoleran
selama latihan dilakukan. Dalam penelitian ini juga latihan dilaksanakan segera
setelah pasien berada dalam kondisi stabil, hampir semua responden dilatih pada
hari kedua pasien masuk ke rumah sakit, hal ini sangat menguntungkan karena
kemampuan motorik dapat lebih cepat mengalami pemulihan. Selain itu program
latihan yang dilaksanakan secara terjadwal dua kali dalam sehari, memberikan
keuntungan yang signifikan dalam melatih kemampuan motorik pasien
hemiparese.
Perbedaan lain yang peneliti dapatkan terkait hasil penelitian ini dengan konsep
pengaruh usia terhadap pemulihan pasien stroke adalah berhubungan dengan
fokus penelitian. Penelitian-penelitian yang peneliti jabarkan diatas adalah
penelitian dengan outcome kemampuan fungsional pasien stroke. Kemampuan
fungsional tersebut diukur salah satunya dengan kemampuan pasien dalam
Universitas Indonesia
melakukan aktivitas sehari-hari. Tentu saja hal ini memerlukan waktu lama dan
dilakukan rata-rata setelah fase akut, latihan juga dilakukan saat pasien sudah
berada di rumah, ini bisa memberikan kondisi yang berbeda-beda antara setiap
responden. Sementara penelitian yang dilakukan oleh peneliti lebih mempersempit
kajian pada kekuatan otot pasien stroke dalam fase akut selama pasien berada di
rumah sakit.
Secara teori serangan stroke lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
wanita (Lewis, 2007). Menurut Petrina (2007) insiden stroke lebih tinggi 19%
pada laki-laki dibandingkan dengan wanita pada semua ras. Begitu pula meurut
American Heart Association (2010), insiden stroke pada laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan wanita pada usia muda tapi tidak pada usia tua. Rasio kasus
stroke laki-laki : wanita = 1.25 pada usia 55 – 64 tahun, 1.50 pada usia 65-74,
1.07 pada usia 75-84 dan 0.76 pada usia 85 tahun ke atas.
Stroke iskemik yang disebabkan oleh thrombus biasanya lebih banyak terjadi pada
laki-laki dengan usia pertengahan sampai tua, masalah terjadi saat tidur atau saat
bangun tidur, tahapannya secara progresif dan perkembangan tanda gejala lambat,
biasanya mengalami perbaikan dalam waktu cepat. Iskemik akibat emboli banyak
terjadi pada laki-laki dengan masalah timbul kurang ada hubungannya dengan
aktivitas dan terjadi secara mendadak atau tiba-tiba, tanda dan gejala terjadi secara
cepat, biasanya beberapa mengalami perbaikan dan dapat kambuh/berulang bila
tanpa dilakukan perawatan yang benar dan cepat terhadap penyakit primer
(Lewis, 2007).
Universitas Indonesia
Jenis kelamin diketahui memiliki hubungan dengan pemulihan pasca stroke. Hal
ini sesuai dengan penelitian tentang perbedaan jenis kelamin dalam tingkat
mortalitas dan outcome pasien stroke di Korea. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa wanita stroke memiliki harapan hidup yang lebih panjang dibandingkan
dengan laki-laki, tetapi memiliki status fungsional pasca stroke yang lebih buruk
dibandingkan dengan laki-laki (Oh, Yu, Roh, & Lee, 2009). Dijelaskan bahwa
buruknya status fungsional pada pasien pasca stroke disebabkan karena wanita
lebih sering mengalami kardioemboli akibat fibrilasi atrium, memiliki usia yang
lebih tua, saat serangan datang ke rumah sakit lebih lambat dan memiliki tingkat
keparahan stroke yang lebih berat (Oh, et al., 2009). Penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Maciej, Adam, Peter, Bogumil, & Anna
(2005).
Penelitian lain tentang perbedaan jenis kelamin pada pasien stroke akut di
Istambul Medical School Stroke Registry menunjukan bahwa jenis kelamin wanita
merupakan faktor penentu buruknya kondisi pasca stroke pada pasien-pasien
stroke tersebut. Oleh karena itu pasien stroke dengan jenis kelamin wanita akan
memunyai kemampuan motorik yang kurang baik dibandingkan dengan laki-laki
(Yesilot, Koyuncu, Çoban, Tuncay, & Bahar, 2011). Dalam penelitian ini Yesilot,
et al. (2011) menjelaskan bahwa tingginya disability post stroke pada wanita
disebabkan karena tingginya insiden kasus hipertensi dan atrial fibrilasi pada
wanita, sehingga didapatkan hasil yang signifikan bahwa jenis kelamin wanita
mengalami pemulihan yang lebih lama dibandingkan dengan laki-laki.
Universitas Indonesia
ke otak dan hal ini bisa menyebabkan semakin luasnya area iskemik yang pada
akhirnya dapat memperberat kondisi stroke.
Secara substansi hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pemulihan
kemampuan motorik pasien stroke berdasarkan jenis kelamin. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena kedua kelompok memiliki kesetaraan dalam
usia, frekuensi serangan serta faktor resiko. Dari segi usia baik kelompok
intervensi I maupun intervensi II tidak memiliki perbedaan yang bermakna,
sebagian besar responden merupakan kasus stroke dengan serangan pertama,
selain itu saat dilakukan pengkajian hampir semua pasien stroke hanya memiliki
faktor resiko hipertensi, tidak ada responden yang memiliki faktor resiko lain
seperti penyakit jantung maupun DM. Hal ini didukung pula oleh hasil analisis
multivariat yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
jenis kelamin dengan kekuatan otot pasien. Kondisi ini disebabkan jenis kelamin
bukan satu-satunya faktor yang menentukan pemulihan motorik pasien stroke.
Hasil yang peneliti dapatkan tersebut di atas, sejalan dengan penelitian Caso, et al.
(2010) yang melakukan studi tentang perbedaan jenis kelamin pada pasien stroke
iskemik. Penelitian dilakukan secara prospektif terhadap 1136 responden untuk
melihat apakah ada perbedaan jenis kelamin dalam hal faktor resiko, pengobatan
serta pemulihan pasca stroke pada pasien dengan stroke iskemik. Hasil penelitian
menunjukkan jenis kelamin wanita bukan merupakan faktor independen untuk
menentukan tingkat pemulihan pasca stroke setelah dikontrol oleh faktor-faktor
counfonding. Usia responden dalam penelitian ini rata-rata
Universitas Indonesia
lebih tua pada kelompok wanita dibandingkan dengan laki-laki, saat masuk ke
rumah sakit, responden wanita memiliki skore NIHSS lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki, dalam hal riwayat DM, responden laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan responden wanita. Inilah yang kemungkinan menyebabkan
tidak ditemukannya outcome yang lebih buruk pada wanita dibandingkan dengan
laki-laki.
Hal ini sejalan pula dengan penelitian Petrea, et al. (2008) yang menyatakan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara tipe stroke, derajat stroke, dan
tingkat keparahan stroke antara laki-laki dan wanita. Dalam studi tersebut
dijelaskan bahwa kalaupun ada perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan
wanita dalam keparahan stroke lebih disebabkan karena disability yang dialami
sebelum mengalami stroke.
Pasien yang terkena stroke memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami serangan
stroke ulang. Serangan stroke ulang berkisar antara 30%‐43% dalam waktu 5
tahun. Setelah serangan otak sepintas, 20% pasien mengalami stroke dalam waktu
90 hari, dan 50% diantaranya mengalami serangan stroke ulang dalam waktu
24‐72 jam. Tekanan darah yang tinggi (tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg) akan meningkatkan risiko terjadinya stroke
Universitas Indonesia
ulang. Stroke ulang memiliki tingkat mortalitas dan kecacatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan stroke pertama, karena pada saat terjadi stroke ulang,
jaringan otak masih belum pulih akibat serangan pertama sehingga akan
berdampak lebih berat (Bethesda Stroke Centre, 2007)
Stroke ulang memiliki tingkat mortalitas dan kecacatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan stroke pertama, karena pada saat terjadi stroke ulang,
jaringan otak masih belum pulih akibat serangan pertama sehingga akan
berdampak lebih berat. Namun demikian dalam penelitian ini frekuensi stroke
tidak mempengaruhi peningkatan kemampuan motorik pasien stroke, hal ini
kemungkinan disebabkan karena sebagian besar responden dalam penelitian ini
adalah pasien stroke dengan serangan pertama yang mendapatkan penanganan
yang lebih cepat di rumah sakit.
Universitas Indonesia
Sekitar 80% pasien stroke akut mengalami hemiparese. Keterbatasan yang dialami
oleh klien stroke yang mengalami hemiparese lengan kiri dan lengan kanan akan
berbeda. Menurut McCombe, Waller & Whitall (2005), dalam penelitiannya
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan fungsi motorik dasar antara klien yang
mengalami lesi di hemisfer dominan dan non dominan. Dari hasil penelitianya
didapatkan bahwa terdapat keuntungan yang lebih jelas bagi fungsi motorik klien
selama latihan pada klien-klien yang mengalami lesi pada hemisfer dominan
(parese pada tangan non dominan) dibandingkan dengan hemisfer nondominan
(parese pada tangan dominan). Oleh karena itu pendekatan saat melakukan latihan
pada klien dengan hemiparese perlu lebih spesifik berdasarkan sisi hemiparese
yang dialami oleh klien.
Parese pada tangan non dominan tidak begitu menyulitkan pasien, karena aktivitas
harian pasien masih bisa dilakukan oleh tangan dominan yang sehat. Oleh karena
itu pada akhirnya klien kurang mempedulikan tangan yang mengalami parese
karena semua aktivitasnya bisa dilakukan oleh tangan dominan yang sehat. Hal ini
tentu saja akan memperburuk kondisi parese yang dialami oleh tangan non
dominan. Namun kondisi sebaliknya terjadi jika yang mengalami parese adalah
tangan yang dominan. Pada saat tangan dominan pasien mengalami parese, maka
klien akan berusaha untuk melatih tangan parese tersebut agar kembali dapat
melakukan keterampilan yang sebelumnya bisa dilakukan oleh tangan tersebut.
Oleh karena itu terdapat perbedaan motivasi antara klien yang mengalami parese
pada tangan dominan dan non dominan. Hal ini dapat mempengaruhi proses
rehabilitasi pada pasien stroke (Waller & Whitall, 2008).
Universitas Indonesia
Hal yang penulis dapatkan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kwon,
Kim & Jang (2007) yang menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pemulihan
fungsi motorik antara pasien yang mengalami lesi pada hemisfer kiri dan hemisfer
kanan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena dalam penelitiannya Kwon, et al.
memilih sampel yang memiliki karakteristik yang sama dalam hal waktu awal
terjadinya parese serta tingkat keparahan yang dialami oleh setiap responden.
Dengan karakteristik yang sama ini, pada akhirnya memberikan outcome yang
sama pula bagi kemajuan motorik pasien stroke dengan hemiparese. Kalau
dianalisis lebih lanjut hal serupa dialami pula oleh peneliti saat melakukan
penelitian, peneliti membuat kriteria yang sama antara kedua kelompok intervensi,
yang dibuktikan oleh hasil uji kesetaraan yang menunjukkan responden dalam
keadaan setara. Sehingga tidak didapatkan perbedaan dalam kemajuan motorik
antara responden yang memiliki parese pada tangan kiri dan tangan kanan.
Universitas Indonesia
gejala, dan 28% dalam waktu dua jam, sedangkan sisanya > 6jam. Pasien-pasien
dengan stroke berat dan mengalami penurunan kesadaran serta tinggal di wilayah
dengan akses yang mudah ke rumah sakit memiliki kecenderungan untuk lebih
cepat melakukan perawatan di rumah sakit.
Waktu 3-6 jam (golden period) merupakan waktu yang penting untuk penanganan
stroke, karena dalam waktu ini terbukti efektif dalam pemulihan fungsi otak dan
memperkecil kerusakan neuron setelah stroke iskemik. Terapi yang terbukti
efektif dalam memulihkan fungsi otak dan memperkecil kerusakan neuron setelah
stroke iskemik salah satunya adalah pemberian terapi aktivator plasminogen
jaringan (TPA) yang diberikan dalam waktu 3 jam (Lemone & Burke, 2004. ;
Price & Wilson, 2006. ; Smeltzer & Bare, 2008). Jika dalam waktu kurang dari 6
jam pasien datang ke rumah sakit dan mendapatkan terapi TPA kemungkinan
daerah disekitar infark yang mengalami iskemik masih dapat dipertahankan.
Penelitian menunjukkan bahwa inisiasi pemberian TPA (3-6 jam) dapat
menurunkan ukuran/derajat stroke dan meningkatkan kemampuan fungsional
dalam 3 bulan (Smeltzer & Bare, 2008).
Penelitian tersebut diatas pada dasarnya hampir sama dengan apa yang peneliti
dapatkan pada pasien stroke. Pasien yang datang diluar golden periode (>6jam)
menunjukan gejala hemiparese yang lebih berat. Dari semua responden dengan
admision time > 6 jam, 70% diantaranya datang dengan kekuatan otot 1, dan 20%
Universitas Indonesia
diantaranya pulang dengan kekuatan otot yang tidak mengalami perubahan setelah
di rawat selama 7 hari. Hal ini tentu saja berpengaruh secara luas terhadap
kemampuan motorik klien selanjutnya. Secara konsep yang membedakan fungsi
motorik antara pasien dengan admision time kurang dari 6 jam dan lebih dari 6
jam adalah berdasarkan konsep penanganan akut pasien stroke yang seharusnya
mendapatkan terapi TPA dalam waktu 3 jam. Dalam penelitian ini pemberian
TPA tidak bisa dijadikan potensial confounding karena tidak semua pasien stroke
iskemik yang menjadi responden mendapatkan terapi TPA. Sebagian besar pasien
stroke iskemik di lokasi penelitian dilaksanakan, tidak mendapatkan TPA
walaupun datang kurang dari 6 jam. Pasien hanya mendapatkan terapi berupa
citicoline dan piracetam. Pemberian Citicoline dapat meningkatkan kerja formatio
reticularis dari batang otak, terutama sistem pengaktifan formatio reticularis
ascendens yang berhubungan dengan kesadaran, mengaktifan sistem piramidal
dan memperbaiki kelumpuhan sistem motoris, menaikkan konsumsi O 2 dari otak
serta memperbaiki metabolism otak.
Universitas Indonesia
untuk melakukan kontraksi. Dengan demikian, semakin banyak serabut otot yang
teraktivasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan oleh otot tersebut.
Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa, baik latihan ROM unilateral
maupun latihan ROM bilateral dapat meningkatkan kekuatan otot pasien dengan
hemiparese. Latihan ROM merupakan salah satu bentuk latihan dalam proses
rehabilitasi yang dinilai masih cukup efektif untuk mencegah terjadinya kecacatan
pada pasien dengan stroke. Secara konsep, latihan ROM dikatakan dapat
mencegah terjadinya penurunan fleksibilitas sendi dan kekakuan sendi (Lewis,
2007).
Universitas Indonesia
Terdapat banyak lagi artikel yang membahas tentang efek latihan ROM dengan
outcome yang bervariasi dan populasi yang beragam pula. Diantaranya Goldsmith
et al. (2002) dan Lynch et al. (2005) menyimpulkan bahwa latihan ROM dapat
meningkatkan fleksibilitas sendi. Dari penelitian-penelitian tersebut menunjukkan
bahwa latihan ROM memberikan manfaat yang baik bagi klien termasuk pada
klien dengan stroke.
Hasil-hasil penelitian tersebut diatas sejalan dengan apa yang peneliti lakukan.
Setelah responden mendapatkan latihan rom baik unilateral maupun bilateral,
didapatkan kenaikan yang signifikan pada kekuatan otot pasien. Latihan ROM
dapat menggerakkan persendian seoptimal dan seluas mungkin sesuai kemampuan
seseorang dan tidak menimbulkan rasa nyeri pada sendi yang digerakkan. Adanya
pergerakan pada persendian akan menyebabkan terjadinya peningkatan aliran
darah ke dalam kapsula sendi. Ketika sendi digerakkan, permukaan kartilago
antara kedua tulang akan saling bergesekan. Kartilago banyak mengandung
proteoglikans yang menempel pada asam hialuronat yang bersifat hidrophilik.
Adanya penekanan pada kartilago akan mendesak air keluar dari matrik kartilago
ke cairan sinovial. Bila tekanan berhenti maka air yang keluar ke cairan sinovial
akan ditarik kembali dengan membawa nutrisi dari cairan (Ulliya, et al., 2007).
Universitas Indonesia
intervensi. Hal ini berarti bahwa latihan ROM bilateral memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan latihan ROM unilateral (P value 0.018).
Secara statistik latihan ROM terbukti meningkatkan kekuatan otot pasien stroke
dengan hemiparese. Bagitu pula dengan penelitian ini, pada kelompok intervensi I
didapatkan kekuatan otot sebelum latihan 1.93 dan kekuatan otot sesudah latihan
3.13, hal ini menunjukkan bahwa kekuatan otot meningkat 1.2. Sama halnya
dengan kelompok intervensi I, kelompok intervensi II pun mengalami
peningkatan yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan otot
pada kelompok intervensi II sebelum latihan adalah 2.07, sedangkan kekuatan otot
sesudah latihan adalah 4.20. Terdapat peningkatan kekuatan otot sebesar 2.13
setelah responden melakukan latihan ROM bilateral. Secara statistik peningkatan
antara kelompok intervensi I dan II cukup bermakna, hasil analisis menunjukkan p
Value 0.018, sehingga disimpulkan bahwa latihan ROM bilateral mampu
meningkatkan kekuatan otot lebih baik dibandingkan latihan ROM unilateral.
Universitas Indonesia
karena kedua hemisper tetap aktif dan kekuatan motorik ke dua tangan dapat tetap
baik (Waller & Whitall, 2005).
Latihan ROM merupakan salah satu bagian dari latihan fungsi tangan secara
keseluruhan. Latihan ROM dengan menggunakan pendekatan bilateral bisa
meningkatan kekuatan otot pasien lebih baik dibandingkan dengan latihan ROM
unilateral. Hal ini tentu saja sejalan dengan konsep latihan fungsional tangan
secara keseluruhan, yaitu bahwa konsep bilateral dapat mengaktivasi kedua sisi
hemisfer otak. Dengan demikian latihan ROM yang dilakukan dengan pendekatan
bilateral dapat memberikan keuntungan yang lebih baik, karena pada saat latihan
ROM bilateral ini dilakukan, terjadi aktivasi pada kedua sisi hemisfer otak yang
dapat membantu pemulihan kekuatan motorik pasien stroke dengan lebih baik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian tentang Bilateral Arm
Trainning yang sudah dilakukan. Hasil penelitian (Stoykov & Corcos, 2009)
menunjukkan bahwa latihan bilateral pada tangan untuk klien dengan stroke
moderat memberikan hasil bahwa bilateral training lebih efektif meningkatkan
kemampuan fungsional tangan klien stroke dibandingkan dengan unilateral
training jika diukur dengan Motor Assesment scale. Salah satu hasil yang didapat
dalam penelitian Stoykov & Corcos (2009) dalam Motor Assesment Scale adalah
meningkatnya kemampuan fungsi ekstremitas atas yang salah satunya adalah
kekuatan otot pasien.
Universitas Indonesia
Selain itu Waller & Whitall (2005), menyimpulkan bahwa latihan bilateral dapat
meningkatkan lengan yang mengalami parese lebih baik dibandingkan dengan
latihan unilateral, hanya saja dalam pelaksanaannya memerlukan pendekatan yang
lebih spsesifik disesuaikan dengan karakteristik dasar dari pasien stroke. Selain itu
dinyatakan pula bahwa latihan bilateral dalam peningkatan kemampuan fungsi
tangan secara keseluruhan dalam pemenuhan ADL dengan lebih baik
dibandingkan dengan latihan unilateral. Pendapat ini sejalan pula dengan
penelitian yang dilakukan oleh Chang, Tung, Wu & Su (2006) yang menyatakan
bahwa latihan bilateral pada tangan dianggap sebagai suatu strategi
penatalaksanaan hemiparese, dan dapat dimasukan dalam tindakan rehabilitasi
stroke yang memberikan dampak yang lebih besar dalam memfasilitasi
pergerakan aktif pada tangan dan meningkatkan kinerja motor kontrol pada tangan
yang mengalami parese.
Namun demikian ada beberapa penelitian yang tidak sejalan dengan apa yang
peneliti dapatkan tentang latihan ROM bilateral. Penelitian-penelitian ini tidak
menunjukan hasil yang baik tentang latihan bilateral. Desrosiers, Bourbonnais,
Corriveae, Gosselin & Bravo (2005), melakukan suatu randomized controlled
trial untuk membuktikan perbandingan efektifitas latihan lengan unilateral dan
bilateral pada pasien stroke dengan fase subakut. Penelitian ini membuktikan
bahwa baik latihan lengan unilateral maupun bilateral tidak mengurangi kecacatan
atau memperbaiki fungsional klien stroke lebih dari terapi biasa. Selain itu Gwin
& Winston (2004) dalam penelitianya terhadap pasien-pasien post stroke (1-6
bulan post stroke) menyimpulkan bahwa latihan bilateral belum memberikan efek
yang signifikan terhadap kemampuan motorik ekstremitas atas klien stroke,
mekanisme neurofisiologis yang dihubungkan dengan aktivasi bilateral masih
belum jelas.
Universitas Indonesia
yang ada pada responden (Gwyn & Winston, 2004). Selain itu dalam
penelitiannya didapatkan hanya sedikit perbedaan yang terjadi antara latihan
bilateral dan latihan unilateral, sehingga saat dilakukan uji statistik tidak
memberikan hasil yang signifikan. Dalam penelitian (Desrosiers, et al., 2005),
ditemukan keterbatasan penelitian yaitu tentang sampel yang bervariasi dalam
kategori tingkat keparahan paresenya, sehingga hal ini ikut mendukung tidak
signifikannya hasil penelitianya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
7.1 Simpulan
a. Penelitian ini telah mengidentifikasi karakteristik responden berupa usia, jenis
kelamin, frekuensi serangan, sisi hemiparese dan admision time. Rata-rata umur
responden kelompok intervensi I adalah 60.73 tahun, sedangkan kelompok
intervensi II 58.80 tahun. Sebagian besar kelompok intervensi I berjenis kelamin
perempuan (60%) sedangkan kelompok intervensi II adalah laki-laki (73.30%).
Baik kelompok intervensi I maupun kelompok intervensi II sebagian besar datang
dengan serangan stroke pertama (86.70%). Kelompok intervensi I sebagian besar
memiliki hemiparese pada tangan kiri (73.30%) sedangkan kelompok intervensi II
sebagian besar mengalami hemiparese pada tangan kanan (60%). Berdasarkan
admission time, sebagian besar responden pada kelompok intervensi I maupun
intervensi II datang ke rumah sakit kurang dari 6 jam (66.70%).
b. Rata-rata nilai kekuatan otot meningkat sesudah diberikan latihan ROM, baik pada
kelompok intervensi I maupun kelompok intervensi II, hal ini menunjukan bahwa
latihan ROM baik unilateral maupun bilateral berpengaruh terhadap peningkatan
kekuatan otot pasien stroke.
c. Terdapat perbedaan peningkatan kekuatan otot antara responden yang melakukan
latihan ROM unilateral dan latihan ROM bilateral, dari hasil penelitian didapatkan
bahwa latihan ROM bilateral meningkatkan kekuatan otot lebih baik dibandingkan
dengan latihan ROM unilateral
d. Tidak terdapat kontribusi faktor perancu : usia, jenis kelamin, sisi hemiparese,
frekuensi serangan, dan admission time pada pengaruh latihan ROM terhadap
kekuatan otot ekstremitas atas pasien hemiparese akibat stroke.
93 Universitas Indonesia
7.2 Saran
7.2.1 Untuk Institusi Pelayanan Keperawatan
Latihan ROM bilateral perlu dilakukan secara terprogram di setiap institusi pelayanan
keperawatan baik oleh perawat maupun bekerja sama dengan keluarga setelah
terlebih dahulu keluarga diajarkan tentang latihan ROM. Selain itu perlu dibuat
prosedur tetap dan jadwal latihan ROM bilateral secara jelas misalnya dengan
frekuensi 2 kali/hari setiap pagi dan sore.
Universitas Indonesia
American Heart association. (2010). Heart deases and stroke statistic: our guide
to current statistics and the suplement to our heart and stroke fact- 2010
update.http://www.americanheart.org. Diakses pada tanggal 14 Maret
2011.
Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Jakarta
: Jurusan Biostatistik dan kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia.
Bagg, S., Pombo, A.P. & Hopman, W. (2002). Effect of age functional outcome
after stroke rehabilitation. American Stroke Association, 33 ; 179-185
Broadley, S.A. & Thompson, P.D., Time to hospital admission for acute stroke.
The Medical Journal of Australia 2003 178 (7): 329-331.
Chang, J. J., Tung, W. L., Wu, W. L., & Su, F. C. (2006). Effect of bilateral
reaching on affected arm motor control in stroke -- with and without
loading on unaffected arm. Disability & Rehabilitation, 28(24), 1507-
1516.
Clark, A. (2009). Specialist nurse: Job description and activities. London South
Bank University. http://ww2.prospects.ac.uk. Diakses pada tanggal 15
Maret 2011.
Desrosiers, J., Bourbonnais, D., Corriveau, H., Gosselin, S., & Bravo, G. (2005).
Effectiveness of unilateral and symmetrical bilateral task training for arm
during the subacute phase after stroke: a randomized controlled trial.
Clinical Rehabilitation, 19(6), 581-593.
Hayes, M.K., Beiser, A., Kase, C.S., Scaramucci, A., D’Agostino,R.B. & Wolf,
P.A. (2003). The influence of gender and age on disability following
ischemic stroke : the Framingham study. 12(3). 119-126
Kozier, B., et al. (2008). Kozier and Erb’s Fundamentals of nursing, concept,
process and practic, eighth edtion. New Jersey : Pearson Education.
Kwon, Y.H., Kim, C.S. & Jang, S.H. (2007). Ipsi-lesional motor deficits in
hemiparetic patient with stroke. Neuro Rehabilitation, 22, 279-286.
Lipska, et al. (2007). Risk factor for acute ischaemic stroke in young adults in
south India. Diakses dari JNNP.com tanggal 8 Juni 2011.
Lynch, D., Ferraro, M., Krol, J., Trudell, C. M., Christos, P., & Volpe, B. T.
(2005). Continuous passive motion improves shoulder joint integrity
following stroke. Clinical Rehabilitation, 19(6), 594-599.
Maciej, N., Adam, K., Peter, A. G. S., Bogumil, K., & Anna, C. (2005). Influence
of Gender on Baseline Features and Clinical Outcomes among 17,370
Patients with Confirmed Ischaemic Stroke in the International Stroke
Trial. Neuroepidemiology, 24(3), 123.
Martini,S. (2002). Gangguan kognitif pasca stroke dan faktor resikonya. Berita
Kedokteran Masyarakat XVIII (4) 2002 hal.195.
McCombe Waller, S., & Whitall, J. (2005). Hand dominance and side of stroke
affect rehabilitation in chronic stroke. Clinical Rehabilitation, 19(5), 544-
551.
Oh, M., Yu, K., Roh, J., & Lee, B. (2009). Gender Differences in the Mortality
and Outcome of Stroke Patients in Korea. Cerebrovascular Diseases,
28(5), 427.
Oneş, K., Yalçinkaya, E. Y., Toklu, B. C., & Cağlar, N. (2009). Effects of age,
gender, and cognitive, functional and motor status on functional outcomes
of stroke rehabilitation. NeuroRehabilitation, 25(4), 241-249.
Polit, D.F., & Beck, C.T. (2008). Essensials of nursing research: methods,
appraisal and utilization (6th Ed). Philadelphia: Lippincott Williams &
Walkins.
Potter, A.P., & Perry, A. (2006). Fundamental of nursing. 4th edition. St.Louis
Missouri: Mosby-Year Book, Inc.
PPNI. (2010). Standar profesi dan kode etik perawat indonesia. Jakarta : PP-
PPNI.
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006) Patofisiologi konsep klinis proses penyakit
Edisi 6. EGC. Jakarta.
Puspawati, E.Y. (2010). Perbedaan efektivitas ROM 2x sehari dan ROM 1x sehari
terhadap peningkatan kekuatan otot dan kecepatan waktu pencapaian
kekuatan otot pasien stroke iskemik di RSUD Kalisat Jember.
http://alumni.unair.ac.id. Diperoleh tanggal 5 Oktober 2010.
Rekam Medis RSUD Kab. Ciamis, (2010). Laporan kasus rawat inap dan rawat
jalan RSUD Kab Tasikmalaya.
Rekam Medis RSUD Kota Tasikmalaya, (2010). Laporan kasus rawat inap dan
rawat jalan RSUD Kota Tasikmalaya.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L. & Cheever, K.H. (2008) Brunner &
Suddarth’s Textbook of medical-surgical nursing. 11th Edition. Philadelphia
: Lippincott William & Wilkins.
Stoykov, M. E., & Corcos, D. M. (2009). A review of bilateral training for upper
extremity hemiparesis. Occupational Therapy International, 16(3-4), 190-
203.
Tseng, C.-N., Chen, C. C.-H., Wu, S.-C., & Lin, L.-C. (2007). Effects of a range-
of-motion exercise programme. Journal of Advanced Nursing, 57(2), 181-
191.
Ulliya,S., Soempeno, B., & Kushartanti, B.W., (2007). Pengaruh latihan range of
motion (rom) terhadap fleksibilitas sendi lutut pada lansia di Panti Wreda
Wening Wardoyo Ungaran. Media Ners Vol 1 No. 2. Oktober hal,440
Waller, S. M., & Whitall, J. (2008). Bilateral arm training: Why and who
benefits? NeuroRehabilitation, 23(1), 29-41.
Woldag, H., Waldmann, G., Heuschkel, G., & Hummelsheim, H. (2003). Is the
repetitive training of complex hand and arm movements beneficial for
motor recovery in stroke patients? Clinical Rehabilitation, 17(7), 723-730.
Yesilot, N., Koyuncu, B., Çoban, O., Tuncay, R., & Bahar, S. (2011). Gender
differences in acute stroke: Istanbul medical school stroke registry.
Neurology India, 59(2), 174.
Yuni, I. (2008). Tesis : Pengaruh penggunaan latihan rentang gerak sendi bawah
secara aktif (active lower range of motion exercise) terhadap tanda dan
gejala neuropati diabetikum pada penderita DM tipe II di Persadia Unit
RSU Dr. Soetomo Surabaya. Depok : Program Studi Pasca Sarjana FIK
UI. Tidak dipublikasikan.
PENJELASAN PENELITIAN
Judul Penelitian :
Perbandingan Latihan ROM Unilateral dan Latihan ROM Bilateral terhadap
Kekuatan Otot Pasien Hemiparese Akibat Stroke Iskemik di RSUD Kota
Tasikmalaya dan RSUD Kab. Ciamis.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan antara latihan rom
unilateral dan latihan rom bilateral terhadap peningkatan kekuatan otot pasien
hemiparese akibat stroke iskemik. Prosedur penelitian yang akan dilakukan adalah
dengan melakukan latihan yang akan dilaksanakan oleh peneliti dengan bantuan
asisten peneliti setiap hari sebanyak 2 kali dalam sehari selama 1 minggu.
SURAT PERNYATAAN
BERSEDIA BERPARTISIPASI SEBAGAI RESPONDEN PENELITIAN
KUESIONER PENELITIAN
PETUNJUK PENGISIAN :
1. Bacalah dengan cermat dan teliti setiap item pertanyaan dalam kuesioner ini
2. Isilah titik-titik yang tersedia sesuai dengan data responden dan kondisi
responden yang sebenarnya.
7. Pekerjaan :
Tidak bekerja Pegawai Swasta
Buruh PNS
Petani TNI/Polri
Wiraswasta/pedagang Lain-lain : ................
B. Jenis Intervensi
Unilateral
Bilateral
Keterangan :
* : coret yg tidak perlu
PEDOMAN
LATIHAN ROM UNILATERAL & BILATERAL
Prosedur Latihan ROM Unilateral (ROM pasif pada ekstremitas yang sakit)
Latihan ini sepenuhnya dilakukan oleh perawat.
1. Latihan bahu
a. Pasien dalam posisi telentang
b. Satu tangan perawat menopang dan memegang siku, tangan yang lainnya
memegang pergelangan tangan.
c. Luruskan siku pasien, angkat siku dari posisi di samping tubuh pasien ke
arah depan sampai ke posisi di atas kepala, anjurkan agar pasien tetap
rileks.
d. Pada saat bahu membentuk sudut 90°, berikan gerakan rotasi eksternal
pada lengan hingga membentuk posisi supinasi lengan bawah.
e. Turunkan dan kembalikan ke posisi semula dengan siku tetap lurus.
f. Hindari penguluran yang berlebihan pada bahu.
g. Lakukan pengulangan sebanyak 10 kali atau sesuai toleransi
2. Latihan siku
a. Pasien dalam posisi telentang
b. Perawat memegang pergelangan tangan pasien dengan satu tangan, tangan
lainnya menahan lengan bagian atas
c. Posisi tangan pasien supinasi, kemudian lakukan gerakan menekuk dan
meluruskan siku.
d. Instruksikan agar pasien tetap rileks
e. Pastikan gerakan yang diberikan berada pada midline yang benar
f. Perhatikan rentang gerak sendi yang dibentuk, apakah berada dalam jarak
yang normal atau terbatas.
g. Lakukan pengulangan sebanyak 10 kali
3. Latihan lengan
a. Pasien dalam posisi telentang
b. Perawat memegang area siku pasien dengan satu tangan, tangan yang lain
menggenggam tangan pasien ke arah luar (telentang) dan ke arah dalam
(telungkup).
c. Instruksikan agar pasien tetap rileks
d. Lakukan pengulangan sebanyak 10 kali
3. Latihan lengan
a. Pasien dalam posisi telentang
b. Perawat memegang area siku pasien dengan satu tangan, tangan yang lain
menggenggam tangan pasien ke arah luar (telentang) dan ke arah dalam
(telungkup).
c. Instruksikan agar pasien tetap rileks
d. Lakukan pengulangan sebanyak 10 kali
4. Latihan pergelangan tangan
a. Pasien dalam posisi telentang
b. Perawat memegang lengan bawah pasien dengan satu tangan, tangan
lainnya memegang pergelangan tangan pasien, serta tekuk pergelangan
tangan pasien ke atas dan ke bawah.
c. Instruksikan agar pasien tetap rileks
d. Lakukan pengulangan sebanyak 10 kali
5. Latihan jari-jari tangan
a. Pasien dalam posisi telentang
b. Perawat memegang pergelangan tangan pasien dengan satu tangan, tangan
lainnya membantu pasien membuat gerakan mengepal/menekuk jari-jari
tangan dan kemudian meluruskan jari-jari tangan pasien.
c. Perawat memegang telapak tangan dan keempat jari pasien dengan satu
tangan, tangan lainnya memutar ibu jari tangan.
d. Tangan perawat membantu melebarkan jari-jari pasien kemudian
merapatkan kembali.
e. Instruksikan agar pasien tetap rileks
f. Lakukan pengulangan sebanyak 10 kali
Riwayat Pendidikan
1982 – 1988 : SDN Cibungbun
1988 – 1991 : SMPN Rajapolah
1991 – 1994 : SMAN 2 Tasikmalaya
1994 – 1997 : AKPER DEPKES TASIKMALAYA
1999 – 2001 : S1 Keperawatan - PSIK FK UNPAD
2009 – sekarang : S2 Keperawatan - FIK UI
Riwayat Pekerjaan
1997 – sekarang Staf Pengajar Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya