Karakteristik Anak Tunadaksa
Karakteristik Anak Tunadaksa
Karakteristik Anak Tunadaksa
b. Karakteristik Khusus
Telaah terhadap karakteristik anak tunadaksa secara khusus subjeknya mereka yang
mengalami kelainan (1) sistem cerebral dan (2) sistem musculus sceletal.
a) Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem
otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak
normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat
kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990)
mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan mental
(tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan di atas normal. Sisanya
berkecerdasan sedikit di bawah rata-rata. Selanjutnya, P. Seibel (1984:138) mengemukakan
bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat kelainan fisik dengan
kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral palsy yang kelainannya berat, tidak berarti
kecerdasannya rendah.
Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan
persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf penghubung dan
jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai dari
stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak
(yang bertugas menerima dan menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan.
Kemampuan kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi
kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak
tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus menerus
melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada simbolisasi
disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat.
Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi prestasi akademiknya.
b) Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa
dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan mereka
malas belajar, bermain dan perilaku salah suai lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak
diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan
pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat
mengakibatkan timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah
diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi. Problem emosi seperti itu,
banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu,
tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya.
c) Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh
adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya
pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak
ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan
motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga
mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami
orang lain dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris,
artinya ketidakmampuan bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia
motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra
pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan.
Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat
dikendalikan, dan susah berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas
gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah;
hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons
rangsangan yang diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit
melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis,
menggambar, dan menari.
SUMBER :
Astati, dkk. (2000). Model Pembelajaran Anak Luar Biasa yang Mengikuti Pendidikan di
Sekolah Umum. Laporan Penelitian. Bandung: Jurusan PLB FIP UPI
Assjari, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunadaksa. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPTA.