Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien
Kendati demikian, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan dengan semangat berapi-api.
Kebetulan saat upacara penguburan suaminya, ia bertemu dengan Teuku Umar yang
kemudian menjadi suami sekaligus rekan perjuangan.
Akibatnya, kondisi fisik dan kesehatan Cut Nyak Dien menurun, namun pertempuran tetap ia
lakukan. Melihat kondisi seperti itu, panglima perangnya, Pang Laot Ali, menawarkan
menyerahkan diri ke Belanda. Tapi Cut Nyak Dien malah marah dan menegaskan untuk terus
bertempur.
Akhirnya Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dan untuk menghindari pengaruhnya terhadap
masyarakat Aceh, ia diasingkan ke Pulau Jawa, tepatnya ke Sumedang, Jawa Barat. Di
tempat pengasingannya, Cut Nyak Dien yang sudah renta dan mengalami gangguan
penglihatan, mengajar agama. Ia tetap merahasiakan jati diri sampai akhir hayatnya.
Ia wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Sumedang. Makamnya baru diketahui
secara pasti pada tahun 1960 kala Pemda Aceh sengaja melakukan penelusuran. Perjuangan
Cut Nyak Dien membuat seorang penulis Belanda, Ny Szekly Lulof, kagum dan
menggelarinya "Ratu Aceh".
RADEN DEWI SARTIKA
Sejak kecil Dewi sudah menunjukkan bakat sebagai pendidik. Di waktu senggangnya, ia sering
bermain "sekolah-sekolahan" dengan anak-anak pegawai kepatihan sementara ia sendiri menjadi
gurunya. Ia mengajar baca-tulis dan bahasa Belanda dengan menggunakan papan bilik kandang
kereta, arang, dan pecahan genting yang dijadikannya alat bantu belajar. Dan ia pun kemudian bercita-
cita mendirikan sekolah untuk memajukan anak-anak gadis, baik anak menak maupun anak somah.
Keinginannya mendirikan sekolah diwijudkannya ketika ia sudah kembali ke Bandung. Atas bantuan
Bupati Bandung R.A.A. Martanagara dan didukung C. den Hamer, inspektur sekolah, ia membuka
Sakola Isteri pada 16 Januari 1904. Pada 1910 kemudian diganti menjadi Sakola Kautamaan Isteri
sedangkan pada 1914 diganti menjadi Sakola Raden Dewi. Di sekolah khusus wanita ini, murid-
muridnya mendapat pelajaran keterampilan wanita selain pelajaran umum. Disini juga diajarkan
pelajaran agama Islam, yang tidak diajarkan di sekolah-sekolah bergaya Barat.
Sekolah ini makin berkembang dengan jumlah murid yang semakin banyak. Dibuka pula cabang-
cabangnya di berbagai kota di Jawa Barat seperti Bogor, Serang, Ciamis, bahkan di Sumatra Barat.
Maka pemerintah Hindia Belanda memberi tanda penghargaan bintang mas (gouden ster) sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya.
Raden Dewi Sartika menikah pada 1906 dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seorang guru di
Sekolah Karang Pamulang Bandung dalam usia 22 tahun. Pada zaman itu, perempuan lain di usia
tersebut biasanya sudah memiliki beberapa anak.
Pada masa pendudukan Jepang, Raden Dewi dicurigai sebagai NICA hingga ia harus menyingkir ke
Garut dan akhirnya ke Cineam. Di Cineam, Tasikmalaya, Dewi Sartika wafat pada 11 September
1947 dengan meninggalkan enam orang anak.
JENDERAL SUDIRMAN
Jendral Sudirman merupakan salah satu pahlawan yang ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia
dengan mengusir tentara Belanda yang masih belum rela Indonesia merdeka. Ia dikenal sebagai
jendral yang melakukan perlawanan secara gerilya. Dengn menggunakan tandu, Jendral Sudirman
yang saat itu sakit, keluar masuk hutan dan menyerang tentara Belanda hingga akhirnya mereka
gentar dan angkat kaki dari Indonesia.
Nama Soedirman
Panggilan Akrab Pak Dirman
Dikenal Sebagai Pahlawan Nasional
Tempat Lahir Desa Bodas Karanjati, Purbalingga, Jawa Tengah
Tanggal lahir Senin, 24 Januari 1916
Warga Negara Indonesia
Pendidikan Sekolah Taman Siswa
HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo (tidak tamat)
Pendidikan Militer PETA, Bpgor
Karir Guru di His Muhammadiyah, Cilacap
Komandan Batalyon, Kroya
Panglima Divisi V Banyumas, dengan pangkat Kolonel
Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal
Penghargaan Jendral Besar Anumerta Bintang Lima (1997)
Jenderal Besar Anumerta Bintang Sakti
Jenderal Besar Anumerta Bintang Gerilya
Jenderal Besar Anumerta Bintang Mahaputra Adipurna
Jenderal Besar Anumerta Mahaputra Pratama
Jenderal Besar Anumerta Bintang Republik Indonesia Adipradana
Pahlawan Nasional Indonesia
Jendral Sudirman adalah salah satu dari sekian banyak Pahlawan Revolusi
Nasional Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia merupakan
Panglima dan Jendral RI yang pertama dan termuda. Pada usia yang masih
terbilang muda, yakni 31 tahun, Jendral Sudirman sudah menjadi seorang jendral.
Tidak hanya itu, ia juga dikenal sebagai pejuang yang gigih dan teguh dalam
memegang prinsip. Walaupun pada kenyataanya ia sedang menderita penyakit
paru-paru parah (TBC), Jendral Sudirman tetap berjuang dan bergerilya bersama
para prajuritnya untuk melawan tentara Belanda pada saat Agresi Militer II.
Jendral Sudirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa yang tersohor akan
pendidikan nasionalisme besutan Ki Hajar Dewantara itu. Setelah tamat dari Taman Siswa, ia
kemudian melanjutkan pendidikannya ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo namun tidak
sampai tamat. Selama menempuh pendidikan di sana, Jendral Sudirman aktif dalam kegiatan
organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Ia kemudian mengabdikan dirinya menjadi guru HIS
Muhammadiyah, Cilacap dan pemandu di organisasi Pramuka Hizbul Wathan tersebut.
SULTAN HASANUDDIN
Untuk menghormati jasanya dibidang pendidikan, pada tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai
Hari Pendidikan Nasional. Selain itu, ia juga diberi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
Selain di dunia pendidikan, dia juga merintis penerbitan majalah Hindia Poetra. Dan
berjuang melalui tulisannya yang amat tajam menentang pemerintah kolonial.
Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang melawan
Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri. Perang ini merupakan
peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi
peperangan melawan penjajahan.
Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan seorang ulama yang memiliki
cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan mencerdaskan rakyat nusantara dalam
wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar
Malin basa.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh
beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan
Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih
dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.