Studi Kasus Perselisihan Hasil Analisa
Studi Kasus Perselisihan Hasil Analisa
Studi Kasus Perselisihan Hasil Analisa
PERSELISIHAN HASIL
ANALISA
STUDI KASUS NTPC VS CIL
Coal Quality Dispute CIL VS NTPC India
NTPC Limited, National Thermal Power Corporation Limited, adalah perusahaan public yang 51%
sahamnya dimiliki oleh Pemerintah India.
Eastern Coalfields Limited (ECL) adalah perusahaan tambang yang sahamnya 100% dimiliki coal india limited (CIL).
ECL has proved reserves of 16.94 billion tonnes – 12.42 billion tonnes in West Bengal and 4.52 billion tonnes in Jharkhand.
Total reserves in the ECL command area, up to a depth of 600 m, was 49.17 billion tonnes
As of 2017, Eastern Coalfields had 14 operating areas with 87 working mines, 60 being underground mines, 19 open cast
and 8 mixed mines. In 2016–17, ECL produced 40.517 million tonnes of coal, of which 32.319 million tonnes were from
open cast mines and 8.127 million tonnes were from underground mines. It was the highest ever production. Offtake of
coal from ECL by the power sector was 40.121 million tonnes in 2016–17
Coal India Limited (CIL) adalah perusahaan public yang 71% sahamnya dimiliki Pemerintah India. Perusahaan
tambang batubara terbesar didunia dengan 272 ribu tenaga kerja
KLASIFIKASI BATUBARA OLEH CCO INDIA
COAL CONTROLLER ORGANIZATION (CCO) ) is the statutory body under Government of India, who regulates
the classification/categorization/grading of coal mined in India.
• With the introduction of the gross calorific value (GCV) system of grading coal in January 2012, supply of
coal to NTPC was billed at the declared GCV. However, from October 2012, NTPC released payments based
on the GCV determined unilaterally, at the receiving end.
• The controversy was kicked off early this year when NTPC started paying ECL at the rate of lowest rank coal
(G-17) for nearly 14.5 million tonne supplies from Rajmahal mines. The decision, NTPC claimed, was based
on sampling results at the plant-end.
• CIL said the withholding of payments by NTPC was against the provisions of the fuel supply agreement
(FSA). The FSA provides for determination of GCV at the loading end, by joint collection, preparation, testing
and analysis of the coal sample supplied.
• According to ECL, Rajmahal mines produces thermal coal of G-10 to G-13 grades.
• With dues piling up, ECL first stopped supplies to NTPC Farakka and Kahalgaon in April, leading to threats of
a black out in Bihar, parts of West Bengal and North East.
• Following an inter-ministerial meetings in April, CIMFR, was invited to sample the fresh supplies. CIL agreed
to settle past dues on the basis of current sampling results.
• According to CIL, the third party sampling results found that in 60 per cent of despatches, the coal quality
fell short by one grade. In nearly 30 per cent cases, ECL supplied the promised grades
https://www.thehindubusinessline.com/companies/Coal-India-NTPC-dispute-likely-to-be-settled-early-next-month/
article20638998.ece
• In subsequent years, the quality of coal supplied has gradually become better for NTPC
Ltd. This is evident from the fact that the quantity of stones and boulders received in coal
supply during 2016-17 was 53 per cent less than what was received during 2015-16.
• CCO, in September 2016, downgraded 19 number of mines. Further, in April 2017, CCO
degraded around 355 mines/dispatch points of the CIL mines
Queensland fraud police have begun examining allegations of the analysis
manipulation that exploded on the $70 billion Australian coal export market this
year, The Australian Financial Review can reveal.
Brisbane-based ALS told investors in April its labs had "manually amended
without justification” between 45 per cent and 50 per cent of coal export
certificates since 2007. All those results were boosted to improve the
commodity’s apparent quality.
Studi Kasus Export Thailand
1
Dear Pak Roy
Tanggal kontrak dan tonase Hasil Analisa Hasil Analisa Spesifikasi batubara dalam kontrak
dan alat angkut Sucofindo SGS Thailand
3 Januari 2014 dan Memenuhi syarat 26 Februari 2014 CV 6200 kcal/kg, rejection < 6000 kcal/kg;
9.232,104 MT dan BG kontrak CV 5327 kcal/kg; Ash 14% penalty >14%;
Atlantic 5/TB Atlantic 3 Ash 26,69%; TM TM 10 %, penalty >10% dan rejection>14%
10,44%
15 Januari 2014 dan Memenuhi syarat 12 Maret 2014 CV 6000 kcal/kg, rejection < 5800 kcal/kg;
28.968, 301 MT dan M.V. kontrak CV 4565 kcal/kg; Ash 12% rejection >16%;
Gong Yin 1 Ash 13,53%; TM TM 14 %, dan rejection>18%
25,27%
Penjual PT. DAE KWANG ENERGY (tergugat 1); PT. C A S U R I N (Tergugat 2)
Pembeli FOSHAN SHUNDE BAOJIANG ENERGI EQUIPMENT
Duduk Hasil Analisa batubara di loading port oleh PT carsurin (5800 kkal/kg) berbeda dibandingkan hasil
Perkara analisis oleh SGS China (3551 kcal/kg), selanjutnya pihak pembeli meminta Sucofindo(3643 kcal/kg)
Indonesia untuk melakukan analisis Kembali. Ini terjadi karena ada perubahan dokumen oleh staf
lab carrsurin dari CV 4400 menjadi 5800 kkal/kg.
Keputusan Pembeli dimenangkan walaupun ada pasal arbitrase tetapi karena ada unsur pidana maka dapat
diadili oleh pengadilan Indonesia
PEMBELAAN TERGUGAT 2 (PT. CARSURIN)
PEMBELAAN TERGUGAT 2 (PT. CARSURIN) (CONTINUED)
PEMBELAAN TERGUGAT 2 (PT. CARSURIN) (CONTINUED)
PEMBELAAN TERGUGAT 2 (PT. CARSURIN) (CONTINUED)
PEMBELAAN TERGUGAT 2 (PT. CARSURIN) (CONTINUED)
PEMBELAAN TERGUGAT 2 (PT. CARSURIN) (CONTINUED)
PEMBELAAN TERGUGAT 2 (PT. CARSURIN) (CONTINUED)
PEMBELAAN TERGUGAT 2 (PT. CARSURIN) (CONTINUED)
Penjual Ir. CRISTIONO bin ARIS M dan FERRY SAFARI ASMARA bin MUHAMMAD JUFRI
Pembeli Frank B.E Tarumasely bin M.W.S. Tarumasely; selaku Direktur Utama PT.Mahkotamas
Duduk • Spek batubara dalam kontrak CV 6300 Kcal/Kg tonase 5000 MT
Perkara • Pembeli telah menyetor uang 1.697.250.000
• Pada akhir bulan Desember 2007 dilakukan pemuatan (Loading) batubara sebanyak 5000 MT ke
atas tongkang, tetapi pembeli meminta kepada Surveyor PT. Carsurin (PT.CCI) untuk melakukan
sampling (pengecekan spesifikasi batubara) lagi atas batubara sebanyak 5000 MT tersebut ke
Laboratorium PT. Carsurin (PT.CCI) Banjarbaru ternyata hasil analisa nilai kalori batubara tersebut
rendah 6085 Kcal/ Kg atau tidak sesuai dengan spec kontrak dan pemuatan batubara tidak
dilanjutkan
• Pihak penjual akan mengganti batubara dengan kalori lebih tinggi tetapi belum terlaksana dan
pihak penjual menuntut ini sebagai penggelapan (pasal pidana)
Keputusan Penjual dimenangkan karena tidak masuk unsur pidana
PUTUSAN
Penjual ABDULLAH MUHAMMAD ALKATIRI Bin MUHAMMAD Direktur CV. Rahmat Mulia
Pembeli PT. Green Energy Capital
Duduk CV Rahmat mulia tidakmepunyai IUP tetapi mengirimkan surat pernyataan dukungan dari
Perkara perusahaan pemilik IUP (PT. BGM) yang ternyata palsu
CV Ratmat Mulia Memalsukan COA sehingga sesuai spec batubara kontrak
Keputusan Penjual diputus bersalah dalam pengadilan pidana
PENJUAL MEMALSUKAN COA
• PT. Tambang menganggap ada kesalahan dari Lab Indonesia karena mengirimkan sample ukuran 4.75 mm
• PT. Tambang meminta Lab Indonesia untuk mengirimkan sample ukuran 250 micro meter ke SGS Australia
• PT. Tambang menyampaikan ke perusahaan india bahwa ada kesalahan pengiriman sample dan menyatakan
bahwa PT SGS tidak berhak mengecilkan ukuran sample sendiri atau sample harus disiapkan oleh Lab
Indonesia dan SGS seharusnya hanya analisis saja
• Perusahaan India selanjutnya meminta pendapat tenaga ahli dari Brookes Bell Shanghai yaitu Dr
Nicholas Crouch mengenai perselisihan ini
• PT. Tambang meminta dilain pihak meminta bantuan tenaga ahli tekMIRA Mr. Suprapto
Permasalahan
1. Apakah ukuran sample umpire yang dikirim sudah benar?
2. Mana lab yang benar hasil analisisnya berdasarkan astm?
Moisture
Perusahaan India mempertanyakan hal-hal berikut kepada Dr. Nicholas
1. Apakah pengujian Umpire Sample memang memenuhi standar ASTM (baca Klausul 11 Kontrak)?
yaitu secara khusus, apakah SGS Australia berwenang untuk "menyiapkan" sampel ukuran 250um
dari Gross Sampel untuk keperluan pengujian? Apakah persiapan seperti itu masuk dalam lingkup
"analisis"?
2. Apakah pengecilan ukuran sampel umpire sampai ukuran 250um oleh PT Indo Analisis akan
membahayakan integritas sampel? Dalam hal kepraktisan dan prosedur, apakah SGS (sebagai
laboratorium penguji yang ditunjuk) (dan bukan PT Indo Analisis) memang pihak (yang benar) berhak
mengecilkan ukuran sampel umpire ke ukuran optimal sesuai standard pengujian?
3. Apakah hasil analisi Sampel Umpire oleh SGS berada di luar dan/atau di luar reproducibility limit
standar ASTM, dalam pengertian Klausul 11 Kontrak?
You have asked me to consider and provide an opinion on certain aspects of a dispute which has arisen
around the above-mentioned shipment of steam coal from Kalimantan anchorage, Indonesia carried
onboard SPRING SKY. Specifically, you have asked me to consider and comment upon an ‘Umpire Analysis’
conducted by SGS Australia upon a representative sample of the coal drawn by Lab Indonesia at the time it
was loaded onboard the vessel.
I set-out my opinions on the points you have asked me to consider below:
Anda telah meminta saya untuk mempertimbangkan dan memberikan pendapat tentang aspek-
aspek tertentu dari perselisihan yang timbul seputar pengiriman batubara uap yang disebutkan di
atas dari pelabuhan di kalimantan, Indonesia yang diangkut di atas SPRING SKY. Secara khusus, Anda
telah meminta saya untuk mempertimbangkan dan mengomentari ‘Umpire Analysis’' yang dilakukan
oleh SGS Australia atas sampel representatif dari batubara yang diambil oleh Lab Indonesia pada
saat dimuat di atas kapal.
Saya mengemukakan pendapat saya tentang poin-poin yang Anda minta untuk saya pertimbangkan
di bawah ini:
Question:
1. Whether the testing of the Umpire Sample indeed complied with ASTM standards (read with Clause 11 of the
Contract)? i.e. in particular, were SGS Australia authorized to “prepare” the 250um size sample from the Gross Sample
for the purposes of testing? Would such “preparation” come within the ambit of “analysis”?
Pertanyaan:
1. Apakah pengujian Umpire Sample memang memenuhi standar ASTM (baca Klausul 11 Kontrak)? yaitu secara khusus,
apakah SGS Australia berwenang untuk "menyiapkan" sampel ukuran 250um dari Gross Sample untuk keperluan
pengujian? Apakah preparasi sample seperti itu masuk dalam lingkup "analisis"?
Catatan:
1. divided sample-a sample that has been reduced in quantity.
2. gross sample-a sample representing one lot of coal and composed of a number of increments on which neither
reduction nor division has been performed.
3. laboratory sample-the sample, not less than the permissible weight given in Table 1, delivered to the laboratory for
further preparation and analysis.
Sample Preparation
Answer
1.1. Clause 11 of the Contract states, amongst other things, that Lab Indonesia will sample the cargo and prepare
properly sealed composite samples which will be packed in airtight containers and distributed into 3 (three)
sub-samples. To do this, they should have followed ASTM Standard D2234/D2234M Standard Practice for the
Collection of a Gross Sample of Coal which would have yielded the bulk representative sample of coal. This
bulk sample then needs preparation to reduce the large quantity of sample down to a manageable but truly
representative composite laboratory sample.
Jawab
1.1. Klausul 11 Kontrak antara lain menyatakan bahwa PTXX akan mengambil sampel kargo dan menyiapkan
sampel komposit yang disegel dengan baik yang akan dikemas dalam wadah kedap udara dan
didistribusikan ke dalam 3 (tiga) sub sampel.
Untuk melakukan ini, mereka harus mengikuti Praktik Standar ASTM Standar D2234/D2234M untuk
Pengumpulan Gross sample Batubara yang akan menghasilkan sampel batubara yang representatif. Bulk
sample ini kemudian memerlukan persiapan untuk mengurangi jumlah sampel yang besar menjadi sampel
laboratorium komposit yang dapat dikelola tetapi benar-benar representatif.
Note:
1. A gross sample is defined as a sample representing a quantity, or lot, of coal and is composed of
several increments on which neither reduction nor division has been performed
2. composite sample—a blend of spot samples
ASTM STANDARD D2234/D2234M STANDARD PRACTICE FOR THE
COLLECTION OF A GROSS SAMPLE OF COAL
ASTM STANDARD D2234/D2234M STANDARD PRACTICE FOR THE
COLLECTION OF A GROSS SAMPLE OF COAL
ASTM STANDARD D2234/D2234M STANDARD PRACTICE FOR THE
COLLECTION OF A GROSS SAMPLE OF COAL
1.2. ASTM Standard D2013/2013M – 12 ‘Standard Practice for Preparing Coal Samples for Analysis’
should then have been followed to crush the bulk sample down to a top size of either 4.75mm
(sieve No. 4), 2.36mm (sieve No. 8), 0.85mm (sieve No. 20) or 0.25mm (sieve No. 60) such that at
each stage the material could be mixed thoroughly and divided into duplicate composite
laboratory samples.
1.2. Standar ASTM D2013/2013M – 12 'Praktik Standar untuk Mempersiapkan Sampel Batubara untuk
Analisis' kemudian harus diikuti untuk menghancurkan sampel curah hingga ukuran teratas baik 4,75 mm
(ayakan No. 4), 2,36 mm (ayakan No. 8 ), 0,85mm (ayakan No. 20) atau 0,25mm (ayakan No. 60)
sedemikian rupa sehingga pada setiap tahap, bahan dapat dicampur secara merata dan dibagi menjadi
sampel laboratorium komposit duplikat.
RM= Residual moisture
GA=general analysis
RSD=rotary sample devider
1.3. Further crushing of the sample down to 250μm and retention of 50g of the resulting material is all
that is required for the analysis sample but in terms of my interpretation of this Standard, composite
samples crushed only to 4.75mm can be regarded as Bonafede composite laboratory samples, albeit
samples which are in need of minimal further preparation (crushing and sieving) prior to analysis.
1.3. Penghancuran sampel lebih lanjut hingga 250μm dan menyimpan 50g sample yang dihasilkan
adalah semua yang diperlukan untuk sampel analisis tetapi dalam hal interpretasi saya terhadap
Standar ini, sampel komposit yang dihancurkan hanya hingga 4,75mm dapat dianggap sebagai
sampel laboratorium komposit yang lebih baik, meskipun sampel yang membutuhkan persiapan
minimal lebih lanjut (penghancuran dan pengayakan) sebelum analisis.
1.4. I would add that in fact crushing down to 250μm immediately prior to analysis would be preferred to
immediate crushing during bulk sample preparation to give the analysis sample, especially for:
1.4.1. MC determination since there would be less chance of loss of moisture occurring between
crushing and analysis, and
1.4.2. For gross calorific value, where the sample can react with oxygen leading to a reduction in
gross calorific value – especially for sub-bituminous lignite coals.
1.4. Saya akan menambahkan bahwa penghancuran hingga 250μm segera sebelum analisis akan lebih
disukai daripada penghancuran langsung selama persiapan sampel massal untuk memberikan sampel
analisis, terutama untuk:
1.4.1. Penentuan MC karena akan ada lebih sedikit kemungkinan hilangnya kelembaban yang terjadi
antara penghancuran dan analisis, dan
1.4.2. Untuk nilai kalor bruto, di mana sampel dapat bereaksi dengan oksigen yang menyebabkan
penurunan nilai kalor bruto – terutama untuk batubara lignit sub-bituminus.
1.5. Thus, in the context of sampling, this can be considered as having been completed once the bulk sample
has been crushed to 4.75mm, mixed thoroughly and sub-divided into duplicate composite samples. Prior
to analysis, the sample would require further crushing to 250μm although it should be noted that the
ASTM 5865-13 standard does permit determination of GCV on samples with particle size 2.36mm
1.5. Jadi, dalam konteks pengambilan sampel, ini dapat dianggap telah selesai setelah sampel curah
dihancurkan menjadi 4,75 mm, dicampur secara menyeluruh dan dibagi lagi menjadi sampel komposit
duplikat. Sebelum analisis, sampel akan memerlukan penghancuran lebih lanjut hingga 250μm meskipun
perlu dicatat bahwa standar ASTM 5865-13 mengizinkan penentuan GCV pada sampel dengan ukuran
partikel 2.36mm
1.6. Any competent coal laboratory would be capable of crushing the sample down to the required
250μm size for analysis. The claim that the ASTM Standard wasn’t correctly adhered to because this
was performed by SGS, instead of PTSI as a consequence of PTSI sending a laboratory sample crushed
only to 250mm, is frankly without scientific and technical merit.
1.6. Setiap laboratorium batubara yang kompeten akan mampu menghancurkan sampel hingga ukuran
250μm yang diperlukan untuk analisis. Klaim bahwa Standar ASTM tidak dipatuhi dengan benar karena
dilakukan oleh SGS bukan oleh lab Indonesia dan oleh karenanya PTSI mengirimkan sampel laboratorium
Kembali yaitu sample dengan ukuran 250mm, terus terang tanpa manfaat ilmiah dan teknis.
1.7. To further claim that because SGS Australia had to do the crushing means that the results of
analysis are flawed and SGS Australia have not complied with the procedure under the CPSC and/or
ASTM standards is likewise without technical merit or logical justification. Providing SGS crushed the
4.75mm coal down to the required 250μm sample and then performed analysis upon this material
in accordance with the requisite ASTM Standards, then it cannot be argued that they have breached
the requirements of the ASTM Standards. In this regard it is important to note that any sample
needs to be ‘prepared’ prior to analysis. For example, an umpire sample needs to be divided to allow
for testing of various chemical characteristics.
1.7. Lebih lanjut mengklaim bahwa karena penggerusan batubara dilakukan oleh SGS Australia maka
hasil analisisnya cacat dan SGS Australia tidak memenuhi prosedur di bawah standar CPSC
dan/atau ASTM adalah juga tanpa alasan teknis atau pembenaran logis. Pemberian SGS dengan
batubara ukuran 4,75mm yang sudah digerus menjadi 250μm yang diperlukan dan kemudian
melakukan analisis pada sample ini sesuai dengan Standar ASTM yang disyaratkan, maka tidak
dapat dikatakan mereka telah melanggar persyaratan Standar ASTM. Dalam hal ini, penting untuk
dicatat bahwa setiap sampel perlu 'disiapkan' sebelum analisis. Misalnya, sampel umpire perlu
dibagi untuk memungkinkan pengujian berbagai karakteristik kimia.
2. Whether the reduction of the originally retained umpire sample to 250um size by Lab Indonesia
would have compromised the integrity of the sample? As a matter of practice and procedure,
was SGS (as the appointed testing lab) (and not Lab Indonesia) indeed the (correct) party
entitled to reduce the umpire sample to the optimum size for testing?
2. Apakah pengecilan ukuran sampel umpire sampai ukuran 250um oleh Lab Indonesia akan
membahayakan integritas sampel? Dalam hal kepraktisan dan prosedur, apakah SGS (sebagai
laboratorium penguji yang ditunjuk) (dan bukan Lab Indonesia ) memang pihak (yang benar)
berhak mengecilkan ukuran sampel umpire ke ukuran optimal sesuai standard pengujian?
2.1. Providing the 250μm sample was placed in a laboratory container as described in section 6.5 of ASTM
D2013/D2013M – 12 standard, which means heavy vapour impervious bags, airtight non-corroding
metal cans or screw cap glass jars equipped with a gasket, then the sample’s integrity should not have
been compromised. In addition, there should be minimum unused space in whatever sample
container is used to prevent/reduce moisture loss and reduction in gross calorific value due to
reaction with oxygen in the container.
2.1. Menyediakan sampel 250μm yang ditempatkan dalam suatu wadah yang dijelaskan dalam bagian
6.5 standar ASTM D2013/D2013M–12, yaitu kantong yang memungkinkan batubara tidak menguap,
kaleng logam anti korosi kedap udara atau stoples kaca tutup ulir yang dilengkapi dengan gasket,
maka integritas sampel seharusnya dapat dipercaya. Selain itu, harus ada ruang minimum yang tidak
terpakai dalam wadah sampel apa pun yang digunakan untuk mencegah/mengurangi hilangnya
kelembaban dan pengurangan nilai kalor gross karena reaksi dengan oksigen dalam wadah.
2.2. As SGS have set out in their email response to the allegations that they didn’t comply with the
requirements of ASTM D3302/D3302M – 10 relating to determination of the moisture content of
the sample, the standard allows for moisture content to be determined upon a gross sample of
coal crushed to 4.75mm. In fact, table 1 in ASTM D2013 standard relating to standard practice for
the preparation of coal samples for laboratory analysis states that if moisture content is to be
included in the testing upon the 4.75 or 2.36mm crushed samples, then allow an extra 500g of
sample.
2.2. Seperti yang telah dijelaskan SGS dalam tanggapan email terkait tuduhan bahwa mereka tidak
mematuhi persyaratan ASTM D3302/D3302M–10,
Terkait penentuan kadar air sampel, ASTM memungkinkan kadar air ditentukan berdasarkan gross
sampel ukuran 4,75 mm. Faktanya, tabel 1 dalam standar ASTM D2013 yang berkaitan dengan
praktik standar untuk persiapan sampel batubara untuk analisis laboratorium menyatakan bahwa jika
kadar air akan dimasukkan dalam pengujian pada sampel yang dihancurkan 4,75 atau 2,36mm, maka
tambahkan sampel ekstra 500g .
2.3. As I have set out above in section 1 of this opinion, sampling and preparation of the gross sample
could have been considered complete once a sample with particle size 4.75mm had been prepared.
2.4. All that was then required was to reduce the particle size to 250μm to give the analysis sample and
this was best done as close to the time of analysis as possible and since SGS were conducting the
umpire analysis, I see nothing wrong in them having performed the final stage in sample
preparation.
2.3. Seperti yang telah saya jelaskan di atas dalam bagian 1 pendapat ini, pengambilan sampel dan
preparasi sampel kasar dapat dianggap selesai setelah sampel dengan ukuran partikel 4,75 mm
telah disiapkan.
2.4. Semua yang kemudian diperlukan adalah untuk memperkecil ukuran partikel menjadi 250μm untuk
memberikan sampel analisis dan ini paling baik dilakukan sedekat mungkin dengan waktu analisis
dan karena SGS melakukan analisis umpire sample, saya tidak melihat ada yang salah dengan
mereka melakukan tahap akhir dalam persiapan sampel.
3. Whether the SGS Umpire Sample results fall outside and/or are beyond ASTM
reproducibility limits, within the meaning of Clause 11 of the Contract?
3. Apakah hasil analisi Sampel Umpire oleh SGS berada di luar dan/atau di luar reproducibility limit
standar ASTM, dalam pengertian Klausul 11 Kontrak?
3.1. If the gross calorific values in the test certificates are converted to dry basis, then the two GCV’s
calculated on a dry basis are 6,924.2 Kcal/Kg for Lab Indonesia and 6,846.5 Kcal/Kg for SGS. I
add that I have calculated these in accordance with ASTM D3180, by multiplying the GCV’s for
the ‘as received’ samples (GAR’s) by a factor of 100/(100 - total moisture).
3.1. Jika nilai kalor bruto dalam sertifikat uji dikonversi ke basis kering, maka kedua GCV yang dihitung
atas basis kering adalah 6.924,2 Kkal/Kg untuk Lab Indonesia dan 6.846,5 Kkal/Kg untuk SGS. Sebagai
tambahan penjelasan bahwa saya telah menghitung ini sesuai dengan ASTM D3180, dengan
mengalikan GCV untuk sampel 'seperti yang diterima' (GAR) dengan faktor 100/(100 - kelembaban
total).
3.2. It will be noted that there is a difference of 77.7Kcal/Kg in the two results but that both
values fall within the range in the standard quoted for bituminous coals.
3.2. Perlu dicatat bahwa ada perbedaan 77,7Kkal/Kg di kedua hasil tetapi nilai kalor kedua batubara
tersebut berada dalam kisaran nilai kalor batubara bituminus.
3.3. The limit of reproducibility for a manual adiabatic calorimeter running a 250μm sample is 59.75
Kcal/Kg. For microprocessor-controlled calorimeters, the limits of reproducibility are 61.2 Kcal/Kg for
bituminous coal samples ground to 250μm.
3.3. Batas reproduktifitas untuk pengukuran nilai kalor menggunakan kalorimeter adiabatik manual
dengan sampel 250μm adalah 59,75 Kkal/Kg.
Untuk kalorimeter yang dikendalikan mikroprosesor, batas reproduktifitas adalah 61,2 Kkal/Kg untuk
sample ukuran 250μm.
3.4. In addition, for moisture content the ASTM D3302 standard gives a reproducibility of 0.62% for
bituminous and 0.7 sub-bituminous lignite. The two reported results are 10.1% (SGS) and 9.0
(Sucofindo) both on ‘as received’ basis which gives a difference of 1.1%. This value is greater than
the limits of reproducibility and again under Clause 11, the Umpire Analysis should be final and
binding.
3.4. Selain itu, untuk kadar air, standar ASTM D3302 memberikan reproducibility 0,62% untuk bituminous
dan 0,7 sub-bituminous lignit. Dua hasil yang dilaporkan adalah 10,1% (SGS) dan 9,0 (Sucofindo)
keduanya dalam basis ‘as received’ memberikan perbedaan 1,1%. Nilai ini lebih besar dari batas
reproduktifitas dan sekali lagi tidak sesuai dengan Klausul 11, Analisis sample umpire sifatnya harus
final dan mengikat.
3.4. In addition, for moisture content the ASTM D3302 standard gives a reproducibility of 0.62% for
bituminous and 0.7 sub-bituminous lignite. The two reported results are 10.1% (SGS) and 9.0
(Sucofindo) both on ‘as received’ basis which gives a difference of 1.1%. This value is greater than
the limits of reproducibility and again under Clause 11, the Umpire Analysis should be final and
binding.
3.4. Selain itu, untuk kadar air, standar ASTM D3302 memberikan reproducibility 0,62% untuk bituminous
dan 0,7 sub-bituminous lignit. Dua hasil yang dilaporkan adalah 10,1% (SGS) dan 9,0 (Sucofindo)
keduanya dalam basis ‘as received’ memberikan perbedaan 1,1%. Nilai ini lebih besar dari batas
reproduktifitas dan sekali lagi tidak sesuai dengan Klausul 11, Analisis sample umpire sifatnya harus
final dan mengikat.
KESIMPULAN KONSULTAN PIHAK PEMBELI
PT Indo Reproducibility
Parameter SGS Selisih
Analisis limit
3.5. Overall the difference in value between the two analyses fall outside of the ASTM limits of
reproducibility for GCV and MC and therefore, in accordance with Clause 11, the umpire analysis should
be taken as binding.
3.5. Secara keseluruhan perbedaan nilai antara dua hasil analisis berada di luar batas reproduktifitas
ASTM untuk GCV dan MC dan oleh karena itu, sesuai dengan Klausul 11, analisis umpire harus
dianggap mengikat.
Dengan Asumsi Batubara Bituminous maka hasil analisis PT. Indo analisis
adalah di atas nilai reproducibility limit
sehingga hasil yang dipakai adalah hasil analisis SGS dan Perusahaan
Tambang harus membayar pinalty
ASTM Standard D 5865 Standard Test Method for
Gross Calorific Value of Coal and Coke
59.47 kcal/kg
77.8 kcal/kg
d. Standar ASTM D 2013, Standar penyiapan Sampel Batubara untuk Analisis juga menyatakan (Tabel 1)
bahwa jika Analisa kandungan air diperlukan, tambahkan jumlah subsampel saringan No.4 (4.75mm)
atau No.8 (2.36mm) sebanyak 500g.
e. Selain itu, mengenai sampel analisis kandungan air Standar ASTM D 2234 Praktik Standar untuk
Pengumpulan Gross Sampel Batubara menyatakan bahwa (poin 8.3.1.3. Subsampel Lainnya untuk
Pengujian Kelembaban) untuk pengujian kelembaban, subsampel yang dikumpulkan setelah
penghancuran awal dan pembagian sampel gross dapat digunakan .
f. It was already right that SGS had received and analyzed the Umpire Sample of 4.76.
Thus, we only have to see the different between the results of PTSI and SGS, and then
compare it with the Reproducibility Limits of ASTM.
f. Memang sudah benar SGS menerima dan menganalisa Sample Umpire 4,76mm.
Dengan demikian, kita hanya perlu melihat perbedaan antara hasil PT Indo analisis
dengan SGS, kemudian membandingkannya dengan Batas Reproduksibilitas ASTM.
2. I have different opinion on point 3, i.e. the Reproducibility Limit of Gross Calorific Value for the
two results.
a. It is right that according to ASTM Standard D 5865 Standard Test Method for Gross Calorific
Value of Coal and Coke, Reproducibility Limit of Gross Calorific Value is stated in dry basis. It is
also right that the different between the two results is 77.7kcal/kg.
b. There are two conditions of the Reproducibility Limits concerning the coal sample analyzed, i.e.
using 250+m (No.60) samples (point 15.1.1.1.2)) and using 2.36mm (No.8) samples (point
15.1.1.2.2)); in this case we use 2.36 sample.
2. Saya memiliki pendapat yang berbeda pada poin 3, yaitu reprocibility limit Nilai Kalor Bruto untuk
kedua hasil tersebut.
a. Benar bahwa menurut Standar ASTM D 5865 Metode Uji Standar untuk Nilai Kalor Bruto Batubara
dan Kokas, Batas Reproduksi Nilai Kalor Bruto dinyatakan dalam basis kering. Juga benar bahwa
perbedaan antara kedua hasil tersebut adalah 77,7 kkal/kg.
b. Ada dua kondisi Batas Reproduksibilitas terhadap sampel batubara yang dianalisis, yaitu
menggunakan sampel 250mm (No.60) (poin 15.1.1.1.2)) dan menggunakan sampel 2.36mm (No.8)
(poin 15.1.1.2. 2)); dalam hal ini, kami menggunakan sampel 2.36.
c. The ranges of Limits of Reproducibility for Gross Calorific Value using 2.36mm Coal reduced entirely
to 250mm with manual Adiabatic Calorimeters (Table 4) are 59.75kcal/kg for bituminous coal (7,055
– 8,055kcal/kg) and 77.8kcal/kg for subbituminous-lignite (4,883 – 7,083kcal/kg).
d. The two results i.e. 6,924.2kcal/kg (PTSI) and 6,846.5kcal/kg (SGS) fall in the range of 4,883 –
7,083kcal/kg. In this case, we should use the Reproducibility Limits of 77.8kcal/kg
c. Rentang Batas Reproduksibilitas untuk Nilai Kalor Bruto menggunakan Batubara 2.36mm yang
digerus seluruhnya menjadi 250mm dengan Kalorimeter Adiabatik manual (Tabel 4) adalah
59,75kkal/kg untuk batubara bituminous (7.055 – 8.055kkal/kg) dan 77,8kkal/kg untuk
subbituminus-lignit (4.883 – 7.083kkal/kg).
c. Dua hasil yaitu 6.924.2kcal/kg (PT Indo Analisis) dan 6.846.5kcal/kg (SGS) berada pada kisaran 4.883
– 7.083kcal/kg. Dalam hal ini, kita harus menggunakan Batas Reproduksibilitas 77,8kkal/kg
e. The different of the two results (6,924.2 and 6,846,5kcal/kg) is 77.7kcal/kg and this still
meets the Reproducibility Limits of 77.8kcal/kg. Thus the result of PTSI is final and binding.
e. Selisih dari kedua hasil (6.924.2 dan 6.846.5kkal/kg) adalah 77,7kkal/kg dan ini masih
memenuhi Batas Reproduksibilitas sebesar 77,8kkal/kg. Dengan demikian hasil PTSI bersifat
final dan mengikat.
f. However, concerning the MC determination, in which the different between the two results (9.0
and 10.1%) is 1.1% is outside the Reproducibility Limits, I agree that the result of SGS is final.
g. In my opinion, in this condition, we can use the result of PTSI for Gross Calorific Value
(6,942kcal/kg), while for MC we can use the result of SGS (10.1%).
f. Namun mengenai penentuan MC, dimana selisih antara kedua hasil (9,0 dan 10,1%)
adalah 1,1% berada di luar Batas Reproduksibilitas, saya setuju bahwa hasil SGS bersifat
final.
g. Menurut saya, pada kondisi ini kita bisa menggunakan hasil PTSI untuk Gross Calorific
Value (6,942kcal/kg), sedangkan untuk MC kita bisa menggunakan hasil SGS (10,1%).
Coal Range Reproducibility limit
PT Indo Reproducibility
Parameter SGS Selisih
Analisis limit
Moisture content (ar) 9 10.1 1.1 0.7
Calorivic value (db) 6924.2 6856.5 77.7 77.8
HASIL EVALUASI KONSULTAN PIHAK PEMBELI
PT Indo Reproducibility
Parameter SGS Selisih
Analisis limit
4. Justifikasi hasil umpire (pemilihan lab yang hasil analisanya paling benar)
a. Kontrak (Istilah dalam kontrak: gross sample, laboratory sample, Lot)
b. ASTM (Menentukan peringkat batubara, konversi (ar, adb, db, daf)
5. Studi Kasus
CONTOH PENYELESAIAN SENGKETA