Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Peranan Zakat Dalam Pengentasan Kemiskinan

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

PERANAN ZAKAT DALAM

PENGENTASAN KEMISKINAN

Oleh: Ahmad Atabik

Abstract
This article describes the role of zakat in poverty alleviation.
Zakat than as an obligation for Muslims, through zakat, the Quran makes
a responsibility for Muslims to mutual help among others. Therefore, in our
obligations zakat is the element of moral, educational, social and economic
(Rozalindah, 2014: 248): In the field of morality, charity scrape out the greed
and avarice of the rich, purify the souls of those who perform the prayer of the
nature miser, purify and develop property object. Education in the obligation
of zakat can be gleaned from curiosity to give, berinfak and give up some of
its property as evidence of compassion for fellow human beings. In the social
field, the charity, the poor group can play a role in his life, acted upon its
obligations to God, for helping zakat and sadaqah given by people who are able.
With the zakat Similarly, people who are not able to feel that they are part of
the community members, not the wasted and underestimated. In the economic
field, zakat can play a role in preventing the accumulation of wealth in a few
hands only, and obliges the rich to redistribute wealth to the group of the
family fortune and destitute. So, zakat also serve as a potential source of funds
for poverty reduction. Zakat can also serve as working capital for the poor to
be able to open up employment opportunities, so they can earn and be able to
meet their daily needs harinya.ipetik of curiosity giving, berinfak and give up
some of its property as evidence of compassion for fellow human beings. In the
social field, the charity, the poor group can play a role in his life, acted upon its
obligations to God, for helping zakat and sadaqah given by people who are able.

Keywords: Zakat, Poverty, alleviation

A. Pendahuluan
Zakat merupakan kewajiban yang perintahkan Allah
kepada kaum muslimin. Zakat juga merupakan sebuah ibadah
yang tercakup adalam rukun Islam ketiga. Zakat dalam istilah
fikih berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah
untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Dari segi
pelaksanaannya zakat merupakan kewajiban sosial bagi para
aghniya (hartawan) setelah kekayaannnya memenuhi batas
Ahmad Atabik

minimal (nishab) dan rentang waktu setahun (haul). Di antara


hikmah disyariatkannya zakat adalah untuk mewujudkan
pemerataan keadilan dalam ekonomi. Sebagai salah stu aset
lembagaekonomi Islam, zakat merupakan sumber dana
potensial strategis bagi upaya membangun kesejahteraan umat.
Oleh karena itu al-Quran memberi rambu agar zakat yang
dihimpun disalurkan kepada mustahiq (orang-orang yang benar-
benar berhak menerima zakat) (Rofiq, 2012: 259).
Islam menjadikan instrument zakat untuk memastikan
keseimbangan pendapatan di masyarakat. Ini berarti, tidak
semua orang mampu bergelut dalam kancah ekonomi, karena
sebagian mereka ada yang tidak mampu baik fakir maupun
miskin. Pengeluaran dari zakat adalah pengeluaran minimal
untuk membuat distribusi pendapatan menjadi lebih merata.
Dengan zakat, orang fakir dan miskin dapat berperan dalam
kehidupannya, melaksanakan kewajiban kepada Allah. Dengan
zakat, orang yang tidak berpunya juga merasa bahwa mereka
merupakan bagian dari masyarakat. Orang miskin juga merasa
dihargai karena ada empati dari orang yang berpunya.
Dalam bidang ekonomi, zakat bisa berperan dalam
pencegahan terhadap penumpukan kekayaan pada segelintir
orang saja dan mewajibkan orang kaya untuk mendistribusikan
harta kekayaannnya kepada sekelompok orang fakir dan miskin.
Maka, zakat juga berperan sebagai sumber dana yang potensial
untuk mengentaskan kemiskinan. Zakat juga bisa berfungsi
sebagai modal kerja bagi orang miskin untuk dapat membuka
lapangan pekerjaan, sehingga bisa berpenghasilan dan dapat
memenuhi kebutuhan sehari-harinya (Rozalindah, 2014: 248).

B. Pengertian Zakat
Menurut bahasa (etimologi), kata zakat berasal dari bahasa
Arab zaka-yazku-zakaan-zakaatan, mempunyai arti an-numuw wa
az-ziyadah berkembang, bertambah, berkah, tumbuh, bersih dan
baik (az-Zuhaili, 2005B: 729). Dalam mujam al-Wasith dijelaskan
bahwa zakat secara bahasa adalah berkah, suci, baik, tumbuh,
dan bersihnya sesuatu (Arifin, 2011: 4). Sedangkan zakat dalam
pengertian berkah ialah sisa harta yang sudah dikeluarkan
zakatnya seca kualitatif kan mendapat berkah dan akan
berkembang meskipun secara kuantitatif jumlahlah menyusut.

340 Jurnal Zakat dan Wakaf


Peranan Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan

Dalam al-Quran Allah berfirman:

)103 : (
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
(QS. At-Taubah: 103).
Shadaqah dinamakan pula zakat, karena pada hakikatnya
shadaqah merupakan penyebab berkembang dan diberkahinya
harta seseorang yang menunaikan shadaqah. Namun pengertian
ini kemudian ditegaskan, apabila merujuk pada zakat maka
dinamakan shadaqah wajib, sementara untuk selain zakat
dinamakan dengan shadaqah atau sedekah (El-Madani, 2013:
13). Makna lain dari zakat secara bahasa bermakna pujian,
misalnya dalam firman Allah (Ridho, 2007: 15):


Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci (QS. 53: 32).
Kata zakat adakalanya bermakna baik (shalah). Pernyataan
rajul zakyy berarti orang bertambah kebaikannya. Harta yang
dikeuarkan, menurut syara dinamakan dengan zakat, karena
harta itu bertambah dan memelihara dari kebinasaan. Allah swt.
berfirman:


Artinya: dan tunaikanlah zakat.. (QS. Al-Baqarah: 43).
Sementara zakat menurut istilah syara zakat adalah
rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat, ia merupakan
bentuk kewajiban yang terpenting kepada umat Islam dalam
rangka berempati kepada sesama. Zakat juga diartikan sebagai
hitungan tertentu dari harta dan sejenisnya di mana syara
mewajibkan mengeluarkannya kepada para fakir, dan sejenisnya
dengan syarat-syarat khusus (Mustafa, tt.: 395). Para ulama lain
memberi penjelasan bahwa zakat merupakan hak yang wajib

ZISWAF, Vol. 2, No. 2, Desember 2015 341


Ahmad Atabik

dikeluarkan dari harta. Sementara dalam mazhab Syafii, zakat


ialah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai
dengan cara khusus, dan diberikan kepada delapan (8) golongan
yang berhak menerima zakat. Hal ini termaktub dalam firman-
Nya:






Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-
orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-
orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang
sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al-
Taubah: 60).
Dari segi dikeluarkannya zakat, az-Zuhaili (az-Zuhayli,
2005B: 84-85) menjelaskan bahwa pengeluaran zakat khusus pada
waktu tertentu, dalam artian bahwa sempurnanya kepemilikan
itu selama setahun (hawl), baik harta berupa binatang ternak,
uang, maupun barang dagangan, begitu juga terhadap biji-
bijan (hasil sawah atau ladang), dipetiknya buah-buahan,
digalinya barang tambang, penghasilan dan profesi (menurut
sebagian ulama), yang semuanya wajib dizakati. Maka dapat
disimpulkan secara syara, zakat adalah penunaian hak yang
wajib yang terdapat dalam harta. Zakat juga dimaksudkan
sebagai bagian harta tertentu dan yang diwajibkan oleh Allah
untuk diberikan kepada orang-orang fakir, miskin dan golongan
lain yang disebut di atas.

C. Dalil dan Hikmah Zakat


1. Dalil-dalil Zakat
Sebagai rukun Islam yang ketiga, pembahasan tentang
zakat banyak sekali disinggung dalam al-Quran maupun dalam
hadis Nabi, dalam berbagai permasalahannya (El-Madani, 2013:
14-15:

342 Jurnal Zakat dan Wakaf


Peranan Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan

Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta


orang-orang yang ruku (QS. Al-Baqarah: 43).
Ayat ini membicarakan tentang zakat sebagai sebuah
perintah dan disandikan dengan kewajiban shalat.

)103 : (
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
(QS. At-Taubah: 103).
Ayat ini memberi pengertian bahwa zakat diambil dari
orang yang mampu untuk membersihkan dan menyucikan
harta mereka.




Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS.
al-Bayyinah: 5).
Sedangkan hadis-hadis yang membicarakan tentang
zakat adalah:

:
: ( :

. )(
Artinya: Dari Abi Abdrurrahman Abdullah bin Umar
bin al-Khattab, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
Islam didirikan di atas lima dasar; 1) bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Allah, Muhammad adalah utusan Allah; 2) mendirikan
shalat; 3) menunaikan zakat; 4) melaksanakan haji dan 5) berpuasa di

ZISWAF, Vol. 2, No. 2, Desember 2015 343


Ahmad Atabik

bulan ramadhan (HR. Al-Bukhari dan Muslim).


Hadis lain, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Ra.:
Sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda kepada Muaz
bin Jabal ketika beliau mengutus ke Yaman untuk mengajak
penduduknya memeluk agama Islam, dan menyampaikan
hukum-hukum Islam: Jika mereka mentaatimu, maka beritahukan
kepada mereka bahwasanya Allah Swt. Mewajibkan zakat kepada
mereka. Zakat itu diambil dari orang-orang kaya di antara mereka
untuk diberikan kepada orang-orang yang fakir di antara mereka (HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
2. Hikmah Zakat
Zakat selain sebagai kewajiban bagi umat Islam, melalui
zakat, al-Quran menjadikan suatu tanggungjawab bagi umat
Islam untuk tolong-menolong antar sesama. Oleh sebab itu,
dalam kawajiban zakat terkandung unsur moral, pendidikan,
sosial dan ekonomi (Rozalinda, 2014: 248):
1) Dalam bidang moral, zakat mengikis habis ketamakan
dan keserakahan orang kaya, menyucikan jiwa orang
yang menunaikannya dari sifat kikir, menyucikan dan
mengembangkan harta bendanya.
2) Pendidikan dalam kewajiban zakat bisa dipetik dari rasa
ingin memberi, berinfak dan menyerahkan sebagian
harta miliknya sebagai bukti rasa kasih sayang kepada
sesama manusia.
3) Dalam bidang sosial, dengan zakat, sekelompok
fakir miskin dapat berperan dalam kehidupannya,
malaksanakan kewajibannya kepada Allah, atas
uluran zakat dan shadaqah yang diberikan oleh kaum
yang mampu. Dengan zakat pula, orang yang tidak
mampu merasakan bahwa mereka bagian dari anggota
masyarakat, bukan kaum yang disia-siakan dan
diremehkan.
4) Dalam bidang ekonomi, zakat bisa berperan dalam
pencegahan terhadap penumpukan kekayaan pada
segelintir orang saja dan mewajibkan orang kaya
untuk mendistribusikan harta kekayaannnya kepada
sekelompok orang fakir dan miskin. Maka, zakat
juga berperan sebagai sumber dana yang potensial
untuk mengentaskan kemiskinan. Zakat juga bisa

344 Jurnal Zakat dan Wakaf


Peranan Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan

berfungsi sebagai modal kerja bagi orang miskin untuk


dapat membuka lapangan pekerjaan, sehingga bisa
berpenghasilan dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-
harinya.
Sementara menurut El-Madani (2013: 17) hikmah
diwajibakannya zakat adalah sebagai berikut:
1) Zakat dapat membiasakan seseorang yang
menunaikannya untuk memiliki sifat kedermawanan,
sekaligus menghilangkan sifat pelit dan kikir.
2) Zakat dapat menguatkan benih persaudaraan, serta
menambah rasa kasih sayang antara sesama muslim,
baik yang kaya maupun yang tidak mampu (fakir dan
miskin).
3) Zakat merupakan salah satu upaya dalam mengatasi
kemiskinan pada masyarakat muslim.
4) Zakat dapat mengurangi angka pengangguran dan
penyebab-penyebabnya. Dengan alasan, hasil zakat
dapat dipergunakan untuk menciptkan lapangan
pekerjaan yang baru bagi para pengangguran.
5) Zakat dapat mensucikan jiwa dan hati dari rasa dendam,
serta menghilangkan rasa iri dan dengki antara orang
yang kaya dengan orang yang miskin.
6) Zakat juga mampu menumbuh kembangkan
perekonomian umat Islam untuk menuju kemakmuran
masyarakatnya.

D. Sejarah dan Perkembangan Zakat


a. Pada Masa Nabi
Ditilik dari sejarahnya, zakat mulai disyariatkan kepada
umat Islam pada abad ke-9 Hijriyah, sedangkan shadaqah fitrah
pada thun ke-2 Hijriyah. Namun, para pakar hadis berpendapat
bahwa zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke-9 Hijriyah
ketika Maunala Abul Hasan berkata, zakat diwajibkan setelah
hijrah dan dalam kurun lima waktu sebelumnya. Sebelum zakat
diwajibkan, yang ada adalah kesukarelaan untuk mengeluarkan
barang yang dimiliki dan belum ada aturan khusus dan
ketentuan hukumnya (Sudarsono, 2004: 234).
Sementara pendapat juga menyatakan bahwa zakat
telah disyariatkan sejak Nabi Saw. masih berada di Makkah,

ZISWAF, Vol. 2, No. 2, Desember 2015 345


Ahmad Atabik

bersamaan dengan perintah mendirikan shalat. Sebab, ayat


tentang perintah membayar zakat senantiasa beriringan dengan
perintah mendirikan shalat. Di dalam al-Quran terdapat tidak
kurang dari 82 ayat yang berisi perintah menunaikan zakat
bersamaan dengan perintah mendirikan shalat, baik perintah
tersebut ada yang menggunakan lafal shadaqah maupun zakat.
Dari sekian ayat itu di antaranya adalah ayat-ayat makkiyyah.
Ini ditandai dengan perhatian Islam terhadap penanggulangan
dan problem kemiskinan dan orang-orang miskin dapat dilihat
dari kenyataan bahwa Islam semenjak awal munculnya telah
memperhatikan masalah sosial penanggulangan kemiskinan
tersebut (al Arif, 2010: 182).
Jika ditelisik, ayat-ayat yang diturunkan di sebelum
Hijrah Nabi tentang zakat dan shadaqah hasnya bersifat anjuran
mengenai shadaqah, lafal yang digunakan pun lebih banyak
menggunakan lafal shadaqah daripada zakat. Beberapa ayat
bahkan disandikan dengan himbauan agar tidak mengambil
riba, meskipun larangan itu masih belum bersifat larangan
yang mengharamkan (al Arif, 2010: 183). Hal ini misalnya dapat
diperhatikan dalam ayat Makkiyah tentang zakat, sebagaimana
firman-Nya:



Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) (QS.
Ar-Rum: 39).
Ayat lain yang misalnya, menyatakan bahwa orang-
orang yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat merupakan
orang-orang yang berbuat kebajikan, firman-Nya:


, ,


346 Jurnal Zakat dan Wakaf


Peranan Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan

Artinya: Inilah ayat-ayat Al-Quran yang mengandung


hikmat, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat
kebaikan, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan
zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat (QS. Luqman:
2-4).
Pada periode Madinah, kaum muslimin secara kualitatif
menjadi kekuatan masyarakat yang mandiri. Mereka mendirikan
Negara sendiri, meski bukan sebagai sebuah Negara. Rasulullah
sebagai kepala Negara atas petunjuk Allah menetapkan hukum
atas segala sesuatu termasuk berkaitan dengan zakat. Ayat-ayat
Madaniyah yang membicarakan tentang zakat mulai terlihat
unsure kewajibannya, merupakan bagian dari mekanisme untuk
merekatkan dan menyejahterakan umat Islam. Maka pada tahun
ke-2 Hijriyah turunlah ayat dengan aturan yang lebih khusus,
yakni pengetapan kelompok siapa saja yang berhak menerima
zakat (mustahiq), selain fakir dan miskin. Karena pada ma situ
zakat telah diarahkan sebagai suatu instrument fiscal yang
berfungsi sebagai suatu instrument fiscal yang berfungsi sebagai
instrument pemerataan atas ketimpangan dan ketidak merataan
distribusi pendapatan yang terjadi dimasyarakat (al Arif,
2010: 184-185). Mengenai hal ini, Allah dalam surat al-Baqarah
berfirman:





Artinya: Jika kamu menampakkan sedekah(mu) maka itu
adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu
berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik
bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-
kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-
Baqarah: 271).
Ada beberapa pakar lain yang berpendapat bahwa
peraturan mengenai pengeluaran zakat secara sistematis
muncul pada tahun ke-9 hijrah ketika dasar Islam telah menjadi
kokoh, wilayah negera berekspansi dengan cepat dan orang-
orang telah berbondong-bondong masuk Islam. Peraturan zakat
meliputi sistem pengumpulan, barang-barang yang dikenai
zakat, batas zakat dan tingkat persentase zakat untuk barang,

ZISWAF, Vol. 2, No. 2, Desember 2015 347


Ahmad Atabik

kemudian pendistribusiannya kepada orang-orang yang berhak


menerimanya (Sudarsono, 2004: 234).
Agar mekanisme pemungutan dan penyaluran zakat
dapat tersistem dengan baik, Nabi mengangkat petugas khusus
yang dikenal sebagai amil. Amil yang dianggal Nabi ini ada
dua macam; 1) amil yang berdomisili di dalam kota madinah, ia
tidak memperoleh gaji tetap hanya kadang-kadang memperoleh
honor sebagai balas jatas atas pekerjaan yang dilakukannya. Di
antara sahabat yang pernah berkiprah sebagai amil ini adalah
Umar bin al-Khattab. 2) amil yang tinggal di luar kota Madinah,
status mereka adalah sebagai wali kementrian pusat (pemerintah
daerah) yang merangkap menjadi amil. Di antara sahabat yang
pernah menduduki jabatan ini adalah Muadz bin Jabal, yang
juga sekaligus menjadi gubernur di Yaman (al Arif, 2010: 186-
187).
b. Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pasca wafatnya Nabi, terjadi pembangkangan suku-
suku Arab terhadap kebijakan pembayaran zakat, terutama di
daerah Yaman. Abu Bakar dengan tegas memerangi mereka.
Mereka dinilai oleh Abu Bakar sebagai orang yang murtad.
Tekat bulat Abu Bakar ini berdasarkan hadis Nabi Saya diutus
memerangi manusia sampai ia mengucapkan kalimat lailaha
illlah. Abu Bakar berargumen zakat adalah harus ditunaikan
dalam kekayaan, zakat sejajar dengan shalat. Negara diberikan
kekuasaan untuk memungut secara paksa zakat dari masyarakat
yang akan dipergunakan kembali sebagai dana pembangunan
Negara (Rozalinda, 2014: 275).
Setelah terjadi banyak pembangkangan pada masa Abu
Bakar, pada masa Umar bin Khattab situasi jazirah Arab relative
lebih stabil dan tenteram. Semua kabilah menyambut seruan
zakat secara sukarela. Pada saat itu, khalifah Umar melantik
amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat dari orang-
orang dan kemudian didistribusikan kepada golongan yang
tidak mampu dan golongan yang berhak menerimannya. Sisa
zakat kemudian dimasukkak ke kas Negara (baitul maal) (al
Arif, 2010: 189).
Pada periode Utsman bin Affan, pengelolaan zakat
pada dasarnya melanjutkan kebijakan yang telah diterapkan
oleh Umar bin Khattab. Pada masa Utsman umat Islam dalam

348 Jurnal Zakat dan Wakaf


Peranan Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan

keadaan makmur. Harta zakat pada masa ini mencapai rekor


tertinggi dibanding pada masa-masa sebelumnya. Utsman
kemudian melantik Zaid bin Tsabit untuk mengelola dana zakat.
Suatu ketika Utsman memerintahkan Zaid untuk membagi-
bagikan harta pada kelompok yang berhak menerimannya,
namun masih tersisa seribu dirham. Lalu Khalifah Utsman
menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk
pembangunan dan kemakmuran masjid Nabawi di Madinah (al
Arif, 2010: 191).
Pada masa khalifah Ali, kebijakan pengelolaan zakat
mengikuti pada masa sebelumnya. Dalam pengelolaan zakat Ali
terkenal hati-hati dalam mengelola dan mendayagunakan dana
hasil zakat. Seluruh harta yang terdapat di baitul mal selalu
dibagi-bagikan untuk kepentingan umat Islam. Ia tidak pernah
mengambil harta tersebut untuk kepentingan pribadi dan
keluargannya. Khalifah Ali melakukan kebijakan seperti yang
diterapkan Rasulullah dan Abu Bakar, yaitu mendistribusikan
harta zakat langsung habis pada yang berhak, dan meninggalkan
system cadangan devisa yang telah dikembangkan pada masa
Umar bin Khattab. Meski banyak terjadi gonjang-ganjing politik
pada masa itu, Ali tetap sangat memperhatikan kaum fakir dan
miskin dan sangat berempati kepada mereka. Karena beliau
memandang pentingnya zakat sebagai pemecah permasalahan
sosial yang terjadi di masyarakat (al Arif, 2010: 192).

E. Reinterpretasi Distribusi Zakat


Secara jelas Allah mengatur secara jelas kepada
siapa zakat itu didistribusikan. Allah sendirilah yang telah
menetapkan delapan (8) golongan yang berhak mendapatkan
zakat. Sebagaimana firman-Nya dalam surat at-Taubah ayat: 60:






Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-
orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang
sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan

ZISWAF, Vol. 2, No. 2, Desember 2015 349


Ahmad Atabik

Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. At-
Taubah: 60).
Ayat ini secara jelas menyatakan terdapat 8 golongan
yang berhak menerima zakat: 1). Fuqara (Orang-orang fakir),
yaitu kelompok orang yang sangat menderita dalam hidupnya,
ia tidak memiliki harta dan kemampuan untuk memenuhi hajat
hidupnya. 2). Masakin (Orang-orang miskin) adalah orang yang
tidak mampu kehidupannya dan serta kekuranga. Ia mempunya
pekerjaan, namun tetap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-harinya. 3). Amilin (Pengelola zakat) merupakan orang
yang di mandati tugas untuk mengumpulkan, mengelola dan
mendistribusikan zakat. 4). Muallaf yaitu orang non Islam
yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5). Riqab
(budak), yaitu mencakup juga untuk melepaskan muslim yang
ditawan oleh orang-orang kafir (tawanan perang). 6). Gharimin
(Orang yang dililit hutang), yaitu orang yang berhutang
karena untuk kepentingan yang bukan masiat dan tidak
sanggup membayarnya. Sementara bagi orang yang berhutang
untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya
itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7).
Sabilillah (orang yang berperang di jalan Allah), ialah orang
yang mempunyai keperluan mempertahankan Islam dan kaum
muslimin. Terdapat beberapa penafsiran, bahwa sabilillah pada
masa sekarang orang-orang yang berjuang untuk kepentingan
penyebarluasan agama Allah seperti para ulama dan kyai, tamir
masjid dan lain sebagainya. 8). Ibnu Sabil, yaitu orang yang
sedang menempuh perjalanan yang bukan untuk masiat, dan ia
mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Adapula beberapa ulama yang memberikan penjelasan
lebih detail mengenai delapan golongan tersebut, berikut
uraiannya:
a) Orang-orang fakir (fuqara).
Kata fuqara merupakan bentuk jama dari kata faqir, yaitu orang
yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, namun ia juga tidak
mampu memenuhi kebutuhan kesehariannya serta kebutuhan
orang yang menjadi tanggungannya yang meliputi makanan,
pakaian, tempat tinggal dan lainnya. Maksud sebuah pekerjaan
yaitu pekerjaan yang sesuai dengan kondisi kehormatannya.
Maka terdapat sebuah pendapat yang menyatakan, apabila

350 Jurnal Zakat dan Wakaf


Peranan Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan

ia mampu bekerja dengan pekerjaan yang layak, namun ia


lebih memilih menyibukkan diri menuntut ilmu aga, maka ia
diperbolehkan menerima zakat (El-Madani, 2013: 157).
Zuhri (2012: 100) memaparkan pendapat lain menyatakan
fakir ialah oran gyang mengadukan akan kefakirannya,
yang berarti memelurkan bantuk untuk melapangkan mata
pencahariannya. Menurut ath-Thabari, yang penting adalah
pendapat Ibnu Abbas, Jabr dan lainnya yang menyatakan
fakir adalah orang yang sangat memerlukan bantuan
perekonomiannya, etapi mereka menjaga diri untuk tidak
meminta-minta. Dalam surat al-Baqarah Allah berfirman:







Artinya: (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang
tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari
minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka
tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah
Maha Mengatahui (QS. Al-Baqarah: 273).
b) Masakin (orang-orang miskin)
Masakin adalah bentuk plural dari miskin, yaitu kelompok
orang yang tidak berkecukupan kehidupannya. Namun,
masakin merupakan golongan orang yang mendapatkan
pekerjaan dengan suatu pekerjaan yang layak, akan tetapi
mereka tidak dapat mencukupi kebutuhannya yang meliputi
makan, pakaian, tempat tinggal, dan keperluan-keperluan
lainnya, serta keperluan orang-orang yang nafkahnya menjadi
tanggungjawabnya (El-Madani, 2013: 161).
Fakir dan miskin memang sekelompok orang yang
tidak mampun, namun yang membedakan keduanya adalah
fakir tidak mempunyai pekerjaan yang bisa menghidupinya,
sementara orang miskin adalah mereka yang mempunyai
pekerjaan, namun hasil dari pekerjaannya tidak mencukupi
untuk kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya. At-Taubari

ZISWAF, Vol. 2, No. 2, Desember 2015 351


Ahmad Atabik

sebagaimana disinggung oleh Zuhri (2012: 101-102) mencoba


menyimpul sembilan (9) kategori fakir dan miskin, serta
menjelaskan perbedaan antara keduanya:
1. Orang miskin ialah orang yang mempunyai sebagian
harta untuk memenuhi kebutuhannya, sementara fakir
ialah orang yang tidak mempunyai sesuatu untuk
memenuhi kehidupannya.
2. Fakir dan miskin adalah sekelompok manusia yang sama
tidak mampu, tidak ada perbedaan keduanya dalam
tingkat kepemilikannya, meskipun mereka berbeda
dalam simbolnya.
3. Kata miskin secara lahiriyah memang bukan
dimaksudkan untuk menyebut kata fakir. Kedua memang
kelompok yang berbeda, namun kelompok miskin lebih
membutuhkan uluran tangan daripada miskin.
4. Kelompok orang yang miskin adalah orang-orang yang
memerlukan bantuan, tetapi tetap menjaga diri dari
meminta-minta, sementara fakir adalah mereka yang
meminta minta.
5. Orang miskin ialah orang yang mempunyai tempat
tinggal meskipun sangat sederhana, sementara orang
fakir tidak mempunyai tempat tinggal dan sejenisnya.
6. Kategori fuqara merupakan sekelompok orang yang ikut
berhijrah, tetapi masakin adalah sebagian orang arab
yang tidak ikut berhijrah.
7. Sekelompok orang miskin ialah orang-orang yang
mampu membeli makanan meskipun kebutuhan yang
lain tidak tercukupi, sementara orang fakir adalah
mereka yang tidak mempunyai apa-apa termasuk untuk
membeli kebutuhan kesehariannya.
8. Orang-orang miskin menjauhkan diri dari meminta-
minta, namun orang-orang fakir adalah mereka yang
tidak sungkan-sungkan untuk meminta-minta di tempat
manapun mereka.
9. Dahulu, fakir adalah orang-orang miskin yang tidak
punya, sementara miskin adalah bagian orang-orang ahli
kitab yang tidak punya.
c) Amilin (para pengelola zakat).
Zakat merupakan kewajiban seluruh umat Islam, bisa

352 Jurnal Zakat dan Wakaf


Peranan Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan

disalurkan langsung kepada fakir, miskin dan kelompok-


kelompok yang berhak menerimanya. Adakalanya seseorang
menyalurkan kepada sebuah panitia yang pengelola zakat
yang dibentuk orang pemerintah, yayasan, masjid dan lainnya.
Pengelola inilah yang disebut dengan istilah amil.
Ath-Thabari dalam karya tafsirnya menjelaskan
bahwa amil adalah para petugas khusus yang diangkat untuk
mengambil zakat dari orang yang berkewajiban membayar
zakat dan menyalurkan kepada yang berhak menerimanya.
Mereka diberi bagian zakat sebagai imbalan dari tugasnya, baik
ia adalah seorang yang serba kecukupan (kaya) maupun seorang
yang miskin (serba kekurangan) dalam hidupnya. Sementara
al-Qurthubi memberi penjelasan bahwa amil adalah mereka
yang bertugas, memungut dan mendistribusikan zakat, mereka
diangkat oleh imam/kepala Negara untuk mengumpulkan
zakat dengan status wakalah (Zuhri, 2012: 101-102).
Lebih lanjut Zuhri menjelaskan bahwa Frasa amilina
alaiha dalam yang yang menjelaskan tentang kelompok yang
berhak menerima zakat, merupakan petugas khusus untuk zakat,
mereka juga merupakan sifat yang memberikan makna tertentu.
Jadi, seorang amil mendapatkan zakat, karena pekerjaannya
dan atas nama pekerjaannya itu ia secara resmi diangkat pihak
tertentu, serta berhak menerima dan mengelola zakat untuk
kebutuhan umat.
d) Wal Muallafati qulubuhum (golongan muallaf)
Umumnya para ulama berpendapat bahwa muallaf
adalah orang yang semua non Islam kemudian masuk dalam
agama Islam. Namun, sementara ulama juga menjelaskan bahwa
makna muallaf tidak hanya orang yang sekedar masuk Islam.
Rozalinda (2014: 263) menjelaskan muallaf adalah mereka yang
diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat
bertambah terhadap Islam. Rozalinda menambahkan bahwa
golongan muallaf ini terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu;
1) kelompok yang diharapkan keislamannya, baik kumpulan
orang maupun secara individu. 2) kelompok yang dikuatirkan
kelakuan jahatnya, mereka diberi zakat dengan harapan dapat
mencegah kejahatannya. 3) kelompok yang baru masuk Islam.
Mereka diberi zakat supaya hatinya tersentuh dan mantap
dengan keyakinan Islamnya. 4) para pemimpin dan tokoh

ZISWAF, Vol. 2, No. 2, Desember 2015 353


Ahmad Atabik

masyarakat yang baru masuk Islam dan mempunyai sahabat-


sahabat orang-orang non Islam. 5) para pemimpin dan tokoh
muslim yang berpengaruh di kalangan kaumnya tetapi imannya
masih lemah. 6) kaum muslimin yang tinggal di benteng-benteng
perbatasan musuh. 7) kaum muslimin yang menjadi pengurus
zakat para mani zakat (enggan membayar zakat. Mereka diberi
zakat untuk dapat melunakkan hati mereka.
e) Riqab
Riqab merupakan budak mukatab (hamba yang dijanjikan
akan dimerdekakan tuannya dengan membayar sejumlah
uang) beragama Islam dan tidak mempunyai uang tunai untuk
menebus kemerdekaannya. Hukum yang terkandung dari makna
riqab adalah unsur ekspolitasi yang dilakukan manusi terhadap
manusia lain, baik secara individu maupun kolektif. Oleh karena
itu, termasuk dalam pengertian riqab adalah tawanan perang
dari kalangan orang-orang muslim. Berdasarkan hal tersebut,
zakat diberikan kepada: 1) orang untuk menebus orang-orang
Islam yang ditawan oleh musuh. 2) diberikan untuk membantu
Negara Islam atau negera mayoritas berpenduduk muslim yang
berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan modern,
seperti rakyat Palestina (Rozalinda, 2014: 264).
f) Gharimin
Gharimin merupakan orang yang berhutang dan tidak
mampu untuk melunasinya (Rozalinda, 2014: 264). Sementara
Zuhri (2011: 111) memberikan klasifikasi gharimin menjadi dua
bagian:
1) Orang yang berhutang untuk kepentingan dirinya pada
jalan selain jalan maksiat.
2) Orang yang berhutang untuk kepentingan umum.
Ini berarti bahwa gharimin cukup diberikan bagian
zakat sekedar untuk membayar hutangnya, apabila ia
mempunyai sebagian uang untuk membayar hutangnya,
maka ia hanya diberi sebagian sisa hutangnya. Di satu
sisi, orang kaya yang menghutangkan boleh melakukan
pemotongan terhadap harta yang masih di tangan orang
yang berhutang sebagai bentuk menuaikan zakatnya.
g) Sabilillah
Secara bahasa sabilillah adalah jalan Allah, atau tentara
yang berperang melawan orang-orang kafir. Pengertian semacam

354 Jurnal Zakat dan Wakaf


Peranan Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan

ini adalah pengertian sezaman, tetapi tetap bertahan pada


pengertian harfiah akan segera nampak kurang relevan dengan
kedaaan yang berbeda (Zuhri, 2011: 111). Ada yang berpendapat
sabilillah adalah para pejuang yang dengan suka rela berjihad di
jalan Allah, berdakwah, membela Islam, serta memperjuangkan
kemerdekaan Negara. Mereka tidak mendapat kompensasi
dan gaji atas aktivitasnya itu. Oleh karena itu, mereka berhak
memperoleh zakat untuk keberlangsungan hidup mereka serta
membantu pelaksaan tugas mereka (El Madani, 2013: 172).
h) Ibnu sabil
Secara bahasa sabil berarti jalan atau thariq. Sedangkan
menurut istilah para ulama, ibnu sabil adalah orang yang
menempuh perjalanan (orang yang bepergian). Ibnu sabil yang
berhak menerima zakat adalah: 1) orang yang sedang bepergian
jauh dari kampung halamannya, melintasi negeri orang lain,
maka zakat dapat diberikan kepadanya. 2) orang yang hendak
melakukan perjalanan dari sebuah daerah yang sebelumnya ia
tinggal di sana, baik daerah itu tempat kelahirannya atau bukan
(El Madani, 2013: 172).
Sementara ulama lain memberi pengertian syarat ibnu
sabil yang mendapatkan zakat adalah orang yang bepergian jauh
kemudian ia kehabisan belam dalam perjalanannya. Semua ini
terjadi pada zama di mana orang masih melakukan perjalanan
kaki atau berkendara di atas hewan, menempuh waktu yang
sangat lama. Sementara pada zaman sekarang, orang menempuh
perjalanan ratusan bahkan ribuan kilometer dengan waktu yang
singkat, seharusnya ini menghabiskan bekalnya. Meskipun
demikian, pengertian sempit terseubt masih tetap relevan pada
masa sekarang, namun dibutuhkan reinterpretasi, ibnu sabil
dalam kategori ini bisa dimaksudkan kepada para pengungsi,
baik karena alasan politik, maupun karena lingkungan alam,
seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, kebakaran dan
lain sebagainya (Zuhri, 2011: 116).
F. Peranan Zakat dalam Mengentaskan Kemiskinan
Di Indonesia, umat Islam menyebar diberbagai daerah
baik kota maupun desa. Umat Islam yang tinggal di kota
kebanyakan adalah pegawai dan pengusaha. Sedangkan yang
berada di desa-desa kebanyakan hanya bermata pencaharian
sebagai buruh-buruh pabrik dan petani-petani yang memiliki

ZISWAF, Vol. 2, No. 2, Desember 2015 355


Ahmad Atabik

satu dua petak sawah saja. Kondisi seperti ini di akibatkan


beberapa faktor sebagai berikut (Zuhri, 2011: 88-89):
1) Faktor penduduk yang semakin meningkat, sementara
tanah pertanian tidak meningkat. Pemilik modal semakin
memperparah keadaan, sawah-sawah dipinggir jalan
banya dibeli untuk dijadikan pabrik-pabrik atau lahan
bisnisnya, hal ini mengurangi jumlah sawah dan tegal
yang ada.
2) Belum berlakunya hukum tanah secara Islam. Barang
siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ia kerjakan
dan Tanami. Ia tidak mampu mengerjakan hendaklah ia
berikan untuk dikelola oleh saudara atau tetangganya.
3) Petani-petani miskin kita tidak sanggup menggarap
tanah dengan lahan baru, karena beberapa sebab dari
biaya produksi dan obat-obatan.
4) Program transmigrasi nasional tidak berjalan dengan baik,
sehingga banyak orang yang melakukan transmigrasi
menemui kegagalan.
5) Petani-petani kita sendiri ternyata kurang mendapat
infestasi modal yang leluasa. Bahkan masih ada saja para
petani yang mengurus kredit ke Bank merasa kesulitan
bahkan dipersulit urusannya.
Kondisi-kondisi seperti di atas menggiring kemiskinan-
kemiskinan yang ada di daerah-daerah pedesaan. Kondisi
ini Nampak begitu meluas di Pulau Jawa. Akibatnya adalah
urbanisasi besar-besaran dengan segala macam penyakitnya.
Orang-orang desa berebut mencari nafkah di kota dengan
harapan yang sangat muluk-muluk, yaitu kesuksesan secara
materi. Inilah problematika yang perlu dicari solusinya. Mau
tidak mau, desa harus dibangun kembali, harapan terbesar
dibidang pertanian. Perlu dicimptakan suasana desa yang lebih
ekonomis dan dihidupkan lapangan pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuan masyarakat desanya (Zuhri, 2011: 89-90).
Berangkat dari pandangan di atas, Nampak peranan
syariat diperhadapkan dengan kemiskinan serta keterbelakangan
masyarakat desa. Zakat sebaigai syariat dan system ekonomi
Islam dapat berhadapan langsung dengan kehidupan perdesaan
dan sector-sektor pertanian baik tradisional atau modern. Sistem
zakat dikalangan masyarakat pedesaan dapat dikembangkan

356 Jurnal Zakat dan Wakaf


Peranan Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan

berdasarkan faktor-faktor berikut ini (Zuhri, 2011: 90):


1) Faktor zakat disalurkan untuk menggarap lahan
pertanian kolektif bagi para petani miskin dengan
kelengkapan alat-alatnya. Atau membukan lahan-lahan
pertanian baru, yang masih banyak dan luas yang
terdapat di daerah luar Jawa.
2) Faktor zakat membangun kredit pertanian, yang tidak
mengikat dan berbunga.
3) Faktor zakat mengatur transmigrasi khusu umat Islam
untuk membuka tanah-tanah pertanian baru.
4) Faktor zakat dapat membina desa-desa yang berpenghuni
muslim yang lebih segar dan udara hidup baru.
Cara mengatasi kemiskinan bisa dengan berbagai
langkah dan strategi. Hal yang harus dilakukan sejak awal untuk
mengatasi kemiskinan yang melilit masyarakat kita adalah
dengan cara mewujudkan tatanan ekonomi yang memungkinkan
lahirnya sisterm distribusi yang adil, mendorong lahirnya
kepedulian dari orang yang berpunya (aghniya) terhadap
kaum fakir, miskin, dhuafa dan mustadhafin. Salah satu bentuk
kepedulian aghniya adalah kesediaannya untuk membayar
zakat dan mengeluarkan shadaqah. Zakat merupakan infaq
atau pembelanjaan harta yang bersifat wajib, sedang shadaqah
adalah sunnah. Dalam konteks ekonomi, keduanya merupakan
bentuk distribusi kekayaan di antara sesama manusia. Lebih dari
itu, zakat memiliki fungsi yang sangat strategis dalam konteks
sistem ekonomi, yaitu sebagai salah satu instrument distribusi
kekayaan (Al Arif, 2010: 249).
Dari masa ke masa distribusi zakat mengalami
perubahan, bahkan seiring berjalannya waktu fungsi dan
peranan zakat dalam perekonomian mului menyusut dan bahkan
termarjinalkan serta dianggap sebagai sebuah ritual ibadah
semata, sehingga terjadi disfungsi terhadap fungsi zakat sebagai
suatu jaminan social, bahkan akhirnya zakat hanya bersifat
sebagai kewajiban dan tidak ada rasa empati serta solidaritas
social untuk membantu sesamanya. Hal ini berimplikasi pada
keberlangsungan zakat yang lambat laun berubah menjadi
semacam aktifitas kesementaraan, yang dipungut dalam waktu
bersamaan dengan zakat fitrah. Akibatnya, pendayagunaan
zakat harnya mengambil bentuk konsumtif yang bersifat

ZISWAF, Vol. 2, No. 2, Desember 2015 357


Ahmad Atabik

peringanan beban sesaat yang diberikan setahun sekali, dan tidak


ada upaya untuk membebaskan mereka agar menjadi mandiri.
Sehingga beban kehidupan orang-orang fakir dan miskin hanya
akan hilang untuk sementara waktu saja dan selanjutnya akan
kembali menjadi fakir dan miskin lagi (Al Arif, 2010: 250).
Oleh karena itu, zakat sangat tepat dalam memperbaiki
pola konsumsi, produksi dan distribusi dalam rangka
mensejahterakan umat. Sebab, salah satu kejahatan terbesar
dari kapitalisme adalah penguasaan dan kepemilikan sumber
daya produksi oleh segelintir manusia yang diuntungkan secara
ekonomi, sehingga hal ini berimplikasi pada pengabaian mereka
terhadap orang yang kurang mampu serta beruntung secara
ekonomi. Dengan demikian, zakat disalurkan akan mampu
meningkatkan produksi, hal ini dilakukan untuk memenuhi
tingginya permintaan terhadap barang. Dalam rangka
mengoptimalkan pengaruh zakat, maka harusnya digunakan
dua pendekatan yaitu pendekatan parsial dan pendekatan
struktural (Al Arif, 2010: 251).
Al-Qardhawi (2005: 30) memberikan penjelasan bahwa
peran zakat dalam pengentasan kemiskinan adalah suatu
keniscayaan, meskipun strategi dalam pelaksanaan banyak
mengalami kendala. Lebih dari itu, menurut al-Qardhawi,
peranan zakat tidak hanya terbatas pada pengentasan
kemiskinan, namun bertujuan pula mengatasi permasalahan-
permasalahan kemasyarakatan lainnya. Maka, peranan yang
sangat menonjol dari zakat adalah membantu masyarakat
muslim lainnya dan menyatukan hati agar senantiasa berpegang
teguh terhadap Islam dan juga membantu segala permasalahan
yang ada di dalamnya. Apabila seluruh orang kaya diberbagai
Negara Islam mau mengeluarkan zakatnya secara proporsional
dan didistribusikan secara adil dan meratas niscaya kemiskinan
akan menjadi sirna.

G. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Zakat merupakan rukun Islam ketiga setelah syahadat
dan shalat, ia merupakan bentuk kewajiban yang
terpenting kepada umat Islam dalam rangka berempati
kepada sesama. Zakat juga diartikan sebagai hitungan

358 Jurnal Zakat dan Wakaf


Peranan Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan

tertentu dari harta dan sejenisnya di mana syara


mewajibkan mengeluarkannya kepada para fakir, dan
sejenisnya dengan syarat-syarat khusus (Mustafa, tt.:
395).
2. Zakat selain sebagai kewajiban bagi umat Islam, melalui
zakat, al-Quran menjadikan suatu tanggungjawab bagi
umat Islam untuk tolong-menolong antar sesama. Oleh
sebab itu, dalam kawajiban zakat terkandung unsur
moral, pendidikan, sosial dan ekonomi (Rozalindah,
2014: 248):
3. Dalam bidang moral, zakat mengikis habis ketamakan
dan keserakahan orang kaya, menyucikan jiwa orang
yang menunaikannya dari sifat kikir, menyucikan dan
mengembangkan harta bendanya. Pendidikan dalam
kewajiban zakat bisa dipetik dari rasa ingin memberi,
berinfak dan menyerahkan sebagian harta miliknya
sebagai bukti rasa kasih sayang kepada sesama manusia.
4. Dalam bidang sosial, dengan zakat, sekelompok
fakir miskin dapat berperan dalam kehidupannya,
malaksanakan kewajibannya kepada Allah, atas
uluran zakat dan shadaqah yang diberikan oleh kaum
yang mampu. Dengan zakat pula, orang yang tidak
mampu merasakan bahwa mereka bagian dari anggota
masyarakat, bukan kaum yang disia-siakan dan
diremehkan.
5. Dalam bidang ekonomi, zakat bisa berperan dalam
pencegahan terhadap penumpukan kekayaan pada
segelintir orang saja dan mewajibkan orang kaya
untuk mendistribusikan harta kekayaannnya kepada
sekelompok orang fakir dan miskin. Maka, zakat
juga berperan sebagai sumber dana yang potensial
untuk mengentaskan kemiskinan. Zakat juga bisa
berfungsi sebagai modal kerja bagi orang miskin untuk
dapat membuka lapangan pekerjaan, sehingga bisa
berpenghasilan dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-
harinya.
6. Peranan Zakat dalam pengentasan kemiskinan adalah
adanya kepedulian para aghniya untuk membayar zakat
dan mengeluarkan shadaqah. Zakat merupakan infaq

ZISWAF, Vol. 2, No. 2, Desember 2015 359


Ahmad Atabik

atau pembelanjaan harta yang bersifat wajib, sedang


shadaqah adalah sunnah. Dalam konteks ekonomi,
keduanya merupakan bentuk distribusi kekayaan di
antara sesama manusia. Apabila seluruh orang kaya
diberbagai Negara Islam mau mengeluarkan zakatnya
secara proporsional dan didistribusikan secara adil dan
meratas niscaya kemiskinan akan menjadi sirna.

360 Jurnal Zakat dan Wakaf


Peranan Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan

Daftar Pustaka

Al Arif, M. Nur Rianto, Teori Makroekonomi Islam: Konsep, Teori


dan Analisis, Bandung, Alfabeta, 2010.

Al-Qardhawi, Yusuf, Spektrum Zakat: Dalam Membangun


Ekonomi Kerakyatan, terj. Sari Nurulita, Jakarta:
Zikrul Media Intelektual, 2005.

Al-Zuhayly, Wahbah, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab, terj. Agus


Efendi dan Bahruddin Fannany, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000.

Arifin, Gus, Dalil-Dalil dan Keutamaan Zakat, Infak dan Sedekah,


Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011.

Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang: Pustaka Rizki Putra,


1999. Cet. Kedua.

El-Madani, Fiqh Zakat Lengkap, Jogjakarta: Diva Press, 2013.

Hasan, Muhammad, Manajemen Zakat: Model Pengelolaan Zakat


yang Efektif, Yogyakarta: Penerbit Idea Press, 2011.

Mustafa, Ibrahim, al-Mujam al-Wasith, Kairo: Dar al-Dawah, tth.


Ridlo, Muhammad Taufiq, Zakat Profesi dan Perusahaan, Jakarta:
Institut Manajemen Zakat, 2007.

Rofiq, Ahmad, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, Cet. Kedua.

Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas


Ekonomi, Jakarta: Rajagrafindo, 2014.

Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi


dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, 2003.

Zuhri, Saifuddin, Zakat di Era Reformasi (Tata Kelola Baru),


Semarang: Bima Sejati, 2011.

ZISWAF, Vol. 2, No. 2, Desember 2015 361

You might also like