Sistem Waris Bilateral Pasca Hazairin: Mempertegas Ide Kesetaraan Gender Dalam Sistem Kewarisan Bilateral
Sistem Waris Bilateral Pasca Hazairin: Mempertegas Ide Kesetaraan Gender Dalam Sistem Kewarisan Bilateral
Sistem Waris Bilateral Pasca Hazairin: Mempertegas Ide Kesetaraan Gender Dalam Sistem Kewarisan Bilateral
KEWARISAN BILATERAL
Sistem Waris Bilateral Pasca Hazairin
Reni Nur Aniroh
Universitas Sains Al-Qur’an
e-mail: reninur@unsiq.ac.id
Abstract
This article examines the development of the idea of bilateral inheritance coined by Hazairin which insists
on the existence of men and women heirs. Hazairin argued that the nature of Islamic law of inheritance is
bilateral. Hazairin’s concept of bilateral inheritance has been echoed by some Muslim scholars in Indonesia.
This article tries to explain the development of bilateral inheritance in Indonesia by elucidating some concepts
of Islamic inheritance law proposed by some Muslim scholars in Indonesia. Munawir Sadzali with his
Reaktualisasi Ajaran Islam has tried to make the concept down to the earth by formulating quantitative
equality between men and women shares. Harahap has come with the idea of one portion as the minimum
share and the double as the maximum share of the estate of the heirs. Sarmadi proposed joint property
and obligatory will as a tool of controling equality among the heirs. From the perspective of the history of
law, the concept of bilateral inheritance has developed in line with the development of Indonesian context.
The concept did not only consider the textual meaning of the text and Indonesian context, but also the
development of family structure among the society, gender equality, and equality as the main purpose of
Islamic inheritance law mentioned in the Qur’anic verses.
Artikel ini membahas tentang perkembangan konsep waris bilateral yang digagas oleh Hazairin yang fokus
pada keberadaan ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Hazairin berpendapat sistem waris bilateral
ini menjadi watak dasar hukum waris Islam. Pasca Hazairin, konsep waris bilateral ini telah diusung
kembali oleh beberapa sarjana Muslim Indonesia. Tulisan ini menjelaskan tentang perkembangan sistem
waris bilateral di Indonesia dengan menelisik beberapa pemikiran hukum waris Islam yang disuarakan
oleh beberapa sarjana Muslim Indonesia. Munawir Sadzali dengan ide tentang Reaktualisasi Ajaran
Islam menawarkan adanya persamaan secara kuantitatif antara ahli waris laki-laki dan perempuan. Yahya
Harahap menawarkan konsep satu bagian sebagai batas minimal dan dua bagian sebagai batas maksimal
yang dapat diterima oleh ahli waris. Sedangkan Sarmadi menawarkan konsep harta bersama dan wasiat
wajibah sebagai bagian alat kontrol pembagian waris di Indonesia. Dari perspektif sejarah hukum, ide
tentang hukum waris bilateral telah berkembang sesuai dengan konteks Indonesia. Konsep waris bilateral
tidak hanya mempertimbangkan makna ayat dan konteks Indonesia, tetapi juga perkembangan struktur
dan hubungan kekerabatan, keadilan gender, dan keadilan sebagai tujuan utama kewarisan hukum Islam
seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat waris.
Kata kunci: Kewarisan Bilateral, Kesetaraan, Keindonesiaan
Pembaruan semacam ini agaknya ini ialah isu mengenai kesetaraan dalam
tidak semudah dan selurus yang diharapkan kewarisan antara laki-laki dan perempuan, baik
terutama dalam hukum kewarisan Islam. dari sisi garis keturunannya ataupun formula
Ia merupakan wilayah hukum yang paling 2:1 di antara mereka. Kewarisan Sunni dengan
alot dari pembaruan dan terlalu banyak corak kearaban ini telah dipaksakan berlaku
persoalan di dalamnya. 2 Terkait hal ini, apa adanya di Indonesia, di mana keduanya
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa tentu memiliki karakteristik kebudayaan yang
kewarisan termasuk ranah hukum yang berbeda. Hukum kewarisan yang berlaku di
mengandung terlalu banyak permasalahan Indonesia, pada mulanya, beraneka ragam
atau halangan seperti adanya komplikasi- sesuai dengan corak kekerabatan masing-
komplikasi kultural, teologi/keagamaan dan masing adat, seperti kekeluargaan patrilineal,
sosiologi.3 Walaupun beberapa pemikir telah matrilineal, dan parental/bilateral. Namun
menuangkan gagasannya untuk pembaruan dalam perkembangannya karena terjadi
dalam wilayah hukum ini, namun nuansa kontak yang intensif antar sistem hukum adat,
masa lalu masih terasa kuat melekat dalam adanya inkulturasi dan akulturasi, praktik
kajian-kajian secara umum di masyarakat. pembagian waris pun cenderung menuju
Bahkan menurut Ratno Lukito, pembahasan ke arah keseimbangan (bilateral).6 Dalam
kewarisan di dunia akademik/perguruan hal ini konsep kesetaraan antara bagian
tinggi dan berbagai lembaga kajian lainnya laki-laki dan perempuan dianggap sebagai
pun masih terpola dengan pola pemikiran ciri khas/karakteristik hukum nasional. 7
lama.4 Para ahli hukum Islam dan hakim Sehingga lazim jika penerapan kewarisan
pun masih ada yang berpegang kuat kepada Sunni Arabian di Indonesia kemudian
doktrin Sunni klasik yang notabenenya lebih memunculkan berbagai problem di dalamnya.
condong kepada corak patrilineal Arabian.5 Meskipun secara ide, masyarakat Indonesia
Salah satu isu sensitif terkait persoalan telah menerima pembagian ala Sunni, namun
2
Ahmad Bunyan Wahib, ‘Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim’, Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu
Syari’ah dan Hukum, vol. 48, no. 1 (2014), pp. 29–54.
3
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Bina Cipta, 1976), p.
12.
4
Ratno Lukito, ‘The Enigma of National Law in Indonesia: The Supreme Court’s Decisions on Gender-Neutral
Inheritance’, The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, vol. 38, no. 52 (2006), p. 29.
5
Euis Nurlaelawati, ‘Menuju Kesetaraan dalam Aturan Kewarisan Islam Indonesia: Kedudukan Anak
Perempuan vs Saudara Kandung’, in Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012), pp. 225–6; Dalam
sistem kekeluargaan patrilineal, hanya keturunan dari garis laki-laki yang dapat menjadi penerus untuk
ayahnya. Sedangkan keturunan dari garis perempuan dimasukkan kepada keluarga lain, yakni mengikuti
garis keturunan suaminya. Sehingga “pemutusan” garis keturunan dari perempuan itu ditujukan untuk
mencegah terjadinya pemindahan harta keluarga ke keluarga lain. Peran perempuan dalam melahirkan
anak hanya dianggap sebagai wadah tempat berkembangnya sperma suaminya. Sehingga berkembang
kepercayaan bahwa anak dari anak laki-laki merupakan bagian tak terpisahkan dari keluarganya, sedangkan
anak dari anak perempuannya bukanlah anaknya, tetapi anak dari suami anak perempuannya dan termasuk
keluarga dari suami tersebut. Lihat Murtaz̤á Muṭahharī, The Rights of Women in Islam (Tehran: World
Organization for Islamic Services, 1998), pp. 247–8; Adapun dalam sistem matrilineal berlaku kebalikannya,
yakni garis keturunan diambil dari garis perempuan, yakni seorang ibu dan anak-anaknya baik laki-laki
ataupun perempuan kemudian diteruskan oleh anak-anak dari putri-putrinya. Lihat Hazairin, Hendak Ke
Mana Hukum Islam? (Djakarta: Tintamas, 1980), p. 6; Ayah bukanlah milik keluarga istrinya, tetapi ia dianggap
sebagai orang luar dan masih dimiliki oleh ibunya sendiri dan sebagainya. Sukiati Sukiati, ‘Hazairin’s Legal
Thought and His Contribution towards the Indonesian Legal System’, Journal of Indonesian Islam, vol. 6, no.
1 (2012), p. 101; Namun menurut Bishin dan Cherif, struktur patriakhi merupakan hambatan terbesar dari
pembagian yang setara dalam kewarisan. Benjamin G. Bishin and Feryal M. Cherif, ‘Women, Property Rights,
and Islam’, Comparative Politics, vol. 49, no. 4 (2017), p. 516.
6
Tim Penyusunan Kompendium Bidang Hukum Waris, Indonesia, and Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Laporan Akhir Tim Penyusunan Kompendium Bidang Hukum Waris (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman RI, 2011), pp. 123–30.
7
Ratno Lukito, ‘The Enigma of National Law in Indonesia: The Supreme Court’s Decisions on Gender-Neutral
Inheritance’, The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, vol. 38, no. 52 (2006), pp. 147–67.
dalam realitasnya mereka mengelak dengan peneliti sebelumnya tidak disinggung secara
melakukan ḥīlah hibah atau cara lainnya agar memadai. Memang Cammack telah membahas
secara literal tidak kelihatan menyimpang perkembangan kewarisan bilateralnya
dari sistem tersebut.8 Hazairin, namun tidak menyinggung sama
Hazairin, pada tahun 50-an, tampil sekali pemikiran Sarmadi dengan gagasan
dengan sistem kewarisan bilateralnya dengan bilateral transformatifnya.11 Adapun sebagian
maksud agar masyarakat muslim Indonesia peneliti hanya membahas kewarisan bilateral
dapat mengamalkan ajaran Al-Quran tanpa Hazairin dengan mengikuti apa adanya,
harus mengikuti adat istiadat Arab yang membandingkan dengan pemikir lain,
belum tentu sesuai dengan adat istiadat membandingkan dengan sistem kewarisan
Indonesia.9 Di sisi lain, untuk mengamalkan lain atau memberikan kritikan terhadap
ajaran Islam, masyarakat Indonesia tidak gagasan bilateral Hazairin semata tanpa
perlu membuang adat dan budayanya yang menyebutkan perkembangan selanjutnya
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. 10 dari gagasan itu atau gagasan yang masih
Kewarisan bilateral Hazairin ini bertumpu berada dalam lingkup tradisi (bilateral)
kepada kesetaraan dalam garis keturunan yang sama.12 Dengan pendekatan sejarah,
yang tidak hanya mengunggulkan salah satu tulisan ini hendak mengisi celah tersebut
dari garis keturunan laki-laki atau perempuan sehingga dapat menunjukkan bahwa tradisi
saja, tetapi sistemnya dirancang untuk kewarisan bilateral tidak hanya berhenti
mempertemukan antara keduanya. Gagasan sampai Hazairin dan telah berkembang tidak
pembaruan Hazairin ini yang sekaligus hanya bertumpu pada penafsiran ayat dan
merupakan perombakan terhadap kewarisan konteks lokal masyarakat Indonesia, juga
Sunni, kemudian memicu pemikiran- telah mempertimbangkan konteks keadilan
pemikiran baru yang senada dengan tradisi gender dan relasi dalam keluarga. Dari sini,
bilateralnya yang bertumpu pada kesetaraan, dapat dikatakan bahwa sistem kewarisan
keadilan, dan keindonesiaan. bilateral nampak lebih membumi dan dapat
Menarik untuk dikaji, bahwa memberikan solusi atas persoalan yang ada.
perkembangan kewarisan dalam tradisi
bilateral sebagaimana Hazairin ataupun yang B. Hazairin: Pencetus Ide Kewarisan
melanjutkan gagasan Hazairin, oleh peneliti- Bilateral
8
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1997), pp. 268–9.
9
Ini dapat dilihat dari diterbitkannya buku beliau “Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadith,
di mana cetakan pertamanya ialah pada 1958. Pada dasarnya keyakinan Hazairin sudah muncul dan mulai
menebal sejak tahun 1950 bahwa Al-Qur’an itu mendukung masyarakat yang bilateral. Sementara ide beliau
mulai diperkenalkan di muka umum mulai akhir tahun 1957. Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral
Menurut al-Qur’an dan Hadits (Djakarta: Tintamas, 1982), p. 1.
10
Al Yasa Abubakar, Rekonstruksi Fikih Kewarisan: Reposisi Hak-hak Perempuan (Banda Aceh: LKAS, 2012), p. 287.
11
Mark Cammack, ‘Inching toward Equality: Recent Developments in Indonesian Inheritance Law’, Indonesian
Law and Administration Review, vol. 5, no. 1 (1999), pp. 19–50; Mark Cammack, ‘Islamic Inheritance Law in
Indonesia : the Influence of Hazairin’s Theory of Bilateral Inheritance.’, Australian Journal of Asian Law, vol. 4,
no. 3 (2002), pp. 295–315.
12
Penelitian Abdul Ghofur Anshori memfokuskan pada nilai-nilai filosofis khusus pada kewarisan bilateral
Hazairin. Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin
(Yogyakarta: UII Press, 2005); Abu Bakar hanya berhenti pada kewarisan bilateral Hazairin. Abu Bakar,
‘Pemikiran Hukum Kewarisan Bilateral: Studi Pemikiran Hazairin’, Al-Banjari : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Keislaman, vol. 6, no. 1 (2007), pp. 21–38; Sugiri Permana melakukan perbandingan antara kewarisan
Hazairin dan Munawir Sjadzali. Sugiri Permana, ‘Implications of Hazairin and Munawir Sjadzali Thoughts
In Establishment of Islamic Inheritance In Indonesia’, Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah, vol. 18, no. 2 (2018), pp.
375–94; Wahyuni Retnowulandari hanya menyebut kewarisan bilateral Hazairin. Wahyuni Retnowulandari,
‘Woman Inheritance, Pluralism and Gender in Indonesia’, Jurnal Hukum, vol. XVIII, no. 1 (2008).
Al-Aḥwāl, Vol. 13, No. 2, Tahun 2020 M/1441 H 121
Mempertegas Ide Kesetaraan Gender Dalam Sistem Kewarisan Bilateral
13
Hazairin lahir pada 28 November 1906 di Bukittinggi Sumatera Barat, ia hidup dalam keluarga yang merupakan
penyatuan dari dua budaya yang berbeda. Ibunya adalah keturunan Minang yang berkekeluargaan
matrilineal. Sementara sang ayah adalah keturunan Bengkulu yang menganut kekeluargaan bilateral.
Namun kedua masyarakat tersebut (Minang dan Bengkulu) sama-sama memegang teguh ajaran Islam. Di
samping itu, ayah Hazairin adalah seorang guru, dan kakeknya adalah seorang muballig terkenal di masa
itu. Dari merekalah Hazairin mendapatkan dasar ilmu agama dan bahasa Arab. Anshori, 51. Kemudian
dalam perjalanan akademisnya, Hazairin banyak bersentuhan dengan berbagai adat dan budaya, baik secara
keilmuan ataupun realitas sehingga ia mampu melihat dan merasakan secara teoritis dan empiris mengenai
pluralitas adat dan budaya. Hingga pada akhirnya, dalam hukum kewarisan yang menjadi perhatian
utamanya, Hazairin tampil dengan menawarkan konsep hukum kewarisan Islam lintas adat yang disebut
kewarisan bilateral. Menurutnya tawaran ini merupakan jalan tengah dari adat yang berbeda-beda. Dari
latar belakang keluarganya, pendidikannya, serta situasi dan kondisi di mana ia hidup turut mempengaruhi
munculnya ide “Kewarisan Bilateral”nya. Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, pp. 61–2.
14
Sugiri Permana, ‘Kesetaraan Gender dalam Ijtihad Hukum Waris di Indonesia’, Asy-Syari’ah, vol. 20, no. 2
(2018), p. 126.
15
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, p. 1.
16
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional. (Jakarta: Tintamas, 1982), p. 5.
17
Khoiruddin Nasution, ‘Islam Membangun Masyarakat Bilateral dan Implikasinya terhadap Hukum Keluarga
Islam Indonesia’, Al-Mawarid, vol. XVII (2007), pp. 85–100.
18
Menurut Al-Yasa’ Abubakar penyebutan Hazairin mengenai kewarisan bercorak patrilineal di Arab
tidak memiliki dasar, karena dalam catatan sejarahnya kewarisan Arab didasarkan atas tanggung jawab
kekabilahan (peperangan) dan bukan karena hubungan darah. Al Yasa Abubakar, ‘Ahli Waris Sepertalian
Darah Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab’, DIsertasi Doktoral
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1989).
19
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarta: : Bina Aksara, 1981), pp. 135–137.
20
Ibid., pp. 154–155.
kemudian diganti dengan istilah Mazhab akan digunakan ketika tidak bertentangan
Indonesia). Hazairin berharap Indonesia dengan Al-Qur’an.23 Khusus terkait hadis-
dapat melahirkan mujtahid-mujtahid hadis kewarisan,24 menurut Hazairin, hadis-
yang dapat mengkompromikan Al-Qur’an hadis tersebut tidak ada yang memenuhi
dengan keilmuan yang berkembang pada syarat sehingga tidak dapat digunakan untuk
zamannya, sehingga Islam dapat mengatasi menafsirkan Al-Qur’an.25
problem yang ada. Syaratnya umat Islam Langkah selanjutnya jika persoalan
harus dapat melepaskan diri dari taqlid tidak disebut secara tersurat dalam Al-Qur’an
dan harus berupaya memproduksi hukum dan hadis, maka Hazairin menggunakan
langsung dari sumbernya, yakni Al-Qur’an metode qiyās induktif dan qiyās deduktif. Qiyās
dan Hadis.21 Adapun ketika suatu persoalan induktif ini digunakan untuk menyelesaikan
tidak ditemukan penyelesainnya secara kasus yang menyerupai atau memiliki
literal dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka kesamaan dalam fungsinya dengan kasus
diselesaikan melalui ijtihad (ketetapan) ulu yang sudah ada dalam naṣ. Adapun qiyās
al-amri dengan cara syūrā (musyawarah). Ini deduktif diterapkan kepada kasus baru
dilakukan dengan menghadirkan para pakar sehingga menciptakan garis-garis hukum
dalam hukum Islam. Jadi ijtihad ini tidak baru sesuai tempat dan waktunya dengan
dilakukan secara individual tetapi dilakukan berpedoman pada prinsip-prinsip umum yang
secara kolektif. terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Sesuai pemetaan oleh Agus Moh Qiyās induktif bisa dilakukan oleh seorang
Najib, Hazairin berpegang pada tiga metode hakim, seorang mufti, menteri, presiden,
penetapan hukum, yaitu tafsir autentik, seorang pelaksana hukum administratif dan
qiyās induktif, dan qiyās deduktif.22 Tafsir ulul amri yang lainnya. Di mana kekeliruan
autentik dalam pandangan Hazairin ialah terhadapnya dapat dikoreksi oleh ulul amri
menafsirkan sebuah ayat harus dengan yang lebih tinggi atau ulul amri lain yang
mengelompokkan dan membandingkan sederajat. Sedangkan qiyās deduktif dilakukan
dengan semua ayat yang ada keterkaitannya, dalam musyawarah ulul amri (badan legislatif)
walaupun keterkaitannya itu sedikit. Dalam yang berwenang, meskipun dengan ketetapan
pandangan mayoritas, cara ini disebut musyawarah itu, bagian detailnya kemudian
dengan tafsir mauḍū’i (tematik). Hazirin diserahkan kepada seseorang atau badan yang
menegaskan bahwa dalam sebuah penafsiran berkuasa atau ahli dalam bidangnya.26 Dalam
tidak boleh, sebuah ayat tertentu itu hanya uṣūl fiqh, qiyās induktif ala Hazairin di atas
ditafsirkan secara parsial. Kemudian hadis adalah al-qiyās al-uṣūli, yaitu menganalogikan
21
Ibid., p. 153; Mengenai sumber hukum ini, Hazairin menempatkan ketetapan Allah (Al-Qur’an) sebagai
sumber hukum yang pertama. Al-Qur’an sendiri diyakini oleh Hazairin, bahwa di dalamnya ayat-ayat-
Nya mengandung satu kesatuan utuh yang saling berhubungan dan tidak mungkin bertentangan. Sehingga
dalam hal ini, Hazairin menolak adanya naskh dalam Al-Qur’an. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, pp.
62–4 Kemudian ketetapan Rasul (Hadis) ditempatkannya pada posisi kedua setelah Al-Qur’an. Keberadaan
Hadis ini sebagai supplemen (bayān) dari Al-Qur’an, maka ia tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an.
Adapun Sunnah itu dipahami oleh Hazairin sebagai penafsiran Rasul, yang terbuka kemungkinan dalam
ketiadaan wahyu atau menunggu turunnya wahyu, Rasul dapat menetapkan suatu keputusan sementara
yang harus diikuti dalam masa itu hingga wahyu turun. Jika ternyata tidak sesuai dengan wahyu yang turun
kemudian itu, maka ia akan dihapus oleh ketentuan wahyu.
22
Agus Moh Najib, ‘Metodologi Ijtihad Mazhab Indonesia: Menelusuri Pemikiran Ushul Fikih Hazairin’, Asy-
Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, vol. 50, no. 1 (2016), p. 11.
23
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, pp. 63–4.
24
Lihat juga sebagaimana yang dipaparkan oleh Maizuddin bahwa dari beberapa hadis kewarisan yang ia
teliti ada yang berstatus ṣaḥīḥ, ḥasan, dan ḍaif dalam kategori mungkar. Maizuddin Maizuddin, ‘Kualitas
dan Karakteristik Hadis-Hadis Bayan Tafsir Al Quran dalam Fikih Kewarisan’, Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu
Ushuluddin, vol. 17, no. 2 (2015), p. 177.
25
Hadis Jabir mengenai kasus Sa’ad dan hadis Ibn Mas’ud dipahami terjadi sebelum turunnya Q.S. an-Nisa
ayat 176 dan dari sisi matannya bertentangan dengan ayat tersebut, sehingga hadis ini tidak dapat diterima.
Hadis Ibn ‘Abbas ditolak karena menurut Hazairin, ini termasuk kasus khusus, sedangkan fatwa Zaid ibn
Sabit tidak diterima karena merupakan ijtihad pribadi Zaid.
26
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, pp. 65–6; Najib, ‘Metodologi Ijtihad Mazhab Indonesia’, pp. 12–3.
Al-Aḥwāl, Vol. 13, No. 2, Tahun 2020 M/1441 H 123
Mempertegas Ide Kesetaraan Gender Dalam Sistem Kewarisan Bilateral
hukum dari persoalan yang tidak disebutkan karena ditarik oleh laki-laki, namun dalam
dalam Al-Qur’an dan hadis kepada persoalan konsep żawū al-qarābat, perempuan dan
yang ada dalam kedua sumber tersebut laki-laki mendapatkan bagiannya karena
disebabkan ada kesamaan dalam ‘illatnya. diri mereka sendiri, masing-masing punya
Sedangkan qiyās deduktif dalam ilmu uṣūl kedudukan yang sama dan mandiri.
fiqh disebut dengan qiyās al-maṣlaḥah, di Sedangkan żawū al-arḥām adalah mereka
mana yang menjadi landasan analoginya yang tidak termasuk żawū al-farāid dan
yaitu maslahah yang merupakan prinsip ‘aṣabah. Mereka hanya akan mendapat
umum yang terkandung dalam Al-Qur’an warisan jika tidak ada żawū al-farāid dan
dan Sunnah.27 ‘aṣabah. Namun menurut asy-Syafi’i, żawū
Kembali kepada konsep bilateral yang al-arḥām tidak dapat mewarisi, sehingga
menurut keyakinan Hazairin merupakan harta warisan akan disalurkan ke baitul
model yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. mal. Sementara, mawāli adalah mereka yang
Argumen ini berawal dari pemetaan Hazairin mewarisi karena menggantikan kedudukan
terhadap model perkawinan dalam Al- orang tua mereka yang lebih dulu wafat.
Qur’an yang menghilangkan larangan Mereka ialah mawāli dari mendiang anak (laki-
perkawinan exogami (perkawinan antar orang laki atau perempuan), mawāli bagi mendiang
di luar suku/clan/marga) dan endogami ibu dan ayah, dan mawāli untuk mendiang
(perkawinan dalam satu suku/clan/marga) saudara laki-laki dan perempuan.
yang berlaku pada sistem kekeluargaan Kemudian Hazairin merinci lagi para
matrilineal dan patrilineal. Demikian pula ahli waris dalam kelompok-kelompok
mengenai kewarisan, Al-Qur’an memberikan keutamaan, yaitu keutamaan pertama, kedua,
aturan bahwa ahli waris terdiri dari laki-laki ketiga, dan keempat. Kelompok keutamaan
dan perempuan.28 Oleh karenanya Hazairin pertama terdiri dari anak-anak laki-laki
berkeyakinan bahwa hanya masyarakat dan perempuan beserta mawālinya, orang
model bilateral lah yang dikehendaki oleh tua (ayah dan ibu), dan suami atau istri.
Al-Qur’an. Kelompok keutamaan kedua terdiri dari
saudara laki-laki dan perempuan, ibu dan
C. Beberapa Ketentuan dalam Kewarisan ayah. Kelompok keutamaan ketiga terdiri dari
Bilateral Hazairin ibu, ayah, suami atau istri. Dan keutamaan
Jika ulama Sunni mengklasifikasikan keempat terdiri dari suami atau istri, mawāli
ahli waris dalam golongan żawū al-farāid, ibu dan mawāli ayah. Kelompok keutamaan
‘aṣabah, dan żawū al-arḥām, maka Hazairin pertama akan menutup kelompok keutamaan
membagi ahli waris dalam kelompok żawū kedua dan seterusnya.29 Dari pola ini anak
al-farāid, żawū al-qarābat, dan mawāli. Żawū perempuan termasuk ke dalam kelompok
al-farāid yang dipahami oleh ulama Sunni keutamaan pertama, di mana posisi mereka
sama dengan apa yang dipahami Hazairin. setara dengan anak laki-laki. Ibu masuk ke
Mereka adalah ahli waris yang memiliki dalam kelompok keutamaan pertama, kedua
bagian tertentu, yaitu setengah, sepertiga, dan ketiga di mana ia setara dengan ayah.
seperempat, seperenam, seperdelapan, Istri masuk ke semua kelompok keutamaan
dua pertiga. ‘Aṣabah adalah mereka yang sedangkan saudara/i masuk ke kelompok
dekat kekerabatannya dengan pewaris, keutamaan kedua.
namun mereka tidak mendapat bagian Anak perempuan bisa masuk ke dalam
pasti, dan mereka mewarisi sisa bagian tiga klasifikasi golongan ahli waris, yakni
setelah żawū al-farāid menerima bagiannya. sebagai żawāt al-farāid, żawāt al-qarābat, dan
Hazairin menyebutnya dengan żawū al- mawālī. Sebagai żawāt al-farāid karena mereka
qarābat. Perbedaannya, dalam konsep ‘aṣabah, mempunyai bagian yang pasti yaitu setengah
perempuan hanya dapat menerima bagian jika ia sendirian dan dua pertiga jika mereka
27
Najib, ‘Metodologi Ijtihad Mazhab Indonesia’, pp. 13–4.
28
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, pp. 11–4.
29
Sarmadi, Transendensi Keadilan, pp. 47–8.
besar dari bagian ayah. Kedudukan saudara tanpa merombak kalkulasi bagian 2:1 dalam
dari semua jalur baik seayah seibu ataupun sistem kewarisan bilateralnya, merupakan
seayah saja atau seibu saja disamakan.30 Ini adaptasi awal menuju kesetaraan agar
merupakan kemajuan dalam pemikiran masyarakat tidak “kaget” dengan perubahan
hukum kewarisan Islam di Indonesia. itu dan sedikit demi sedikit dapat diterima.
Namun dalam beberapa hal, Hazairin masih Hal ini dapat dimaklumi karena pada masa
mempertahankan formula 2:1 antara bagian itu ide kewarisan Sunni sudah mengakar kuat
laki-laki dan perempuan berdasarkan literal dalam masyarakat, sehingga tidaklah mudah
ayat sebagaimana kewarisan Sunni tanpa untuk mengubah cara pandang masyarakat
melakukan interpretasi ulang terhadapnya. dengan ide-ide baru yang walaupun dirasa
Ketika prinsip bagian laki-laki selalu lebih dapat memberi keadilan.32 Apa yang
dua kali dari bagian perempuan diterapkan telah digagas oleh Hazairin dengan kewarisan
secara keseluruhan dalam kasus waris yang bilateralnya itu dianggap sebagai ide yang
ada, maka akan memunculkan berbagai asing sehingga tidak banyak diikuti terutama
problem, walaupun kelihatannya didasarkan oleh para tradisionalis muslim ketika itu,33
pada literal ayat liżżakari miṡlu ḥaẓẓi al- padahal pada beberapa hal yang digagas
unṡayaini. Perempuan, dalam hal ini, dari Hazairin masih selaras dengan kewarisan
sisi kesetaraan hanya dipandang sebelah Sunni. Namun apa yang dilakukan Hazairin
mata. Pada kasus ketika anak perempuan ini tetap merupakan terobosan yang berani
tidak bersama anak laki-laki, perhitungan dan luar biasa.
warisnya dapat mengalami radd atau harta
peninggalan tersisa. Demikian pula ketika ibu, D. Progres Tradisi Bilateral dalam
istri, atau saudara perempuan menjadi satu- Kewarisan di Indonesia
satunya ahli waris. Problem ini memunculkan Hazairin telah memberikan jalan ke
terjadinya perdebatan di antara para ulama,31 arah bilateral yang patut diperhitungkan. Ia
mengenai harta sisa tersebut, mau disalurkan mendasarkan pemikirannya kepada “Mazhab
ke mana, ke ahli waris yang ada? Takut Indonesia” yang searah dengan gagasan
menyalahi aturan tekstualnya. Ataukah ke Hasbi Ash Shiddieqi dengan “Mazhab Fikih
baitul mal? Padahal baitul mal pun tidak Indonesia”nya. Dalam hal ini, pembentukan
pernah disebut dalam ayat kewarisan. Prinsip hukum Islam di Indonesia hendaknya
yang demikian pula kemudian memberikan disesuaikan dengan konteks sosial budaya
stigma buruk kepada perempuan bahwa ia Indonesia. Namun dalam pemikiran hukum
bernilai separuh dari laki-laki dan ironisnya kewarisannya, Hasbi masih mempertahankan
stigma ini merembet ke seluruh aspek sosial kewarisan Sunni tanpa interpretasi baru yang
yang ada. mempertimbangkan konteks keindonesiaan.34
Dapat dikatakan bahwa yang dilakukan Sementara, beberapa pemikir setelah mereka
Hazairin, yakni penetapan ahli waris dari garis seperti Sayuti Thalib dan Anwar Haryono
keturunan laki-laki dan perempuan dengan mengikuti pendapat Hazairin apa adanya
30
Ketentuan ini agaknya mengilhami beberapa putusan Mahkamah Agung RI yang telah menyederhanakan
(menyamakan) makna saudara, baik yang sekandung, seayah saja, ataupun seibu saja. Lihat Sugiri Permana,
‘Pembentukan Hukum Waris Melalui Yurisprudensi’, Majalah Peradilan Agama (2016).
31
Mereka terbagi ke dalam dua pendapat, yakni menerima konsep radd (mayoritas sahabat, tabi’in, para imam
mazhab, ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, ulama Syi’ah Zaidiyah dan Imamiyah) dan kelompok yang
menolak (Zaid ibn Ṡabit, Ibn ‘Abbas dan sebagian kecil para sahabat. Bagi kelompok yang menerima konsep
tersebut, mereka berselisih dalam menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan pengembalian radd
tersebut. Lihat Fatchur Rahman, Ilmu waris [Bandung: Al-Ma’arif, 1994], pp. 424–7.
32
Bandingkan dengan Ahmad Rajafi, ‘Sejarah Pembentukan dan Pembaruan Hukum Keluarga Islam di
Nusantara’, Aqlam: Journal of Islam and Plurality, vol. 2, no. 1 (2018), p. 16.
33
Abubakar, ‘Ahli Waris Sepertalian Darah’, p. 6.
34
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris: Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010); Demikian juga Fatchur Rahman masih mempertahankan kewarisan
Sunni. Rahman, Ilmu waris.
35
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2016).
36
Ibid.; Anwar Harjono, Hukum Islam: Keluasan dan Keadilannya (Jakarta: : Bulan Bintang, 1968).
37
Tim Penyusunan Kompendium Bidang Hukum Waris, Indonesia, and Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Laporan Akhir, pp. 52–7.
38
Satria Effendi M Zein, ‘Munawir Sjadzali: Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia’, in Kontekstualisasi Ajaran
Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Bekerjasama
dengan Paramadina, 1995), pp. 295–6; Mengenai nafkah, dalam mazhab Hanafiyah dan Hanabilah, seorang
laki-laki selain wajib memberikan nafkah kepada istri, anak-anaknya, dan orang tuanya, ia juga dibebani
kewajiban memberi nafkah kepada para kerabat yang masih ada hubungan mahram dan yang termasuk ahli
warisnya. Lihat Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islāmī wa-adillatuh (Dimaskus: Dar al-Fikr, 1997), p. VII: 766-
768.
39
Kondisi seperti ini kemudian diadopsi oleh Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
dengan memasukkan fikih Sunni ke dalamnya sehingga muncul ketentuan, bahwa suami adalah kepala
keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Suami sebagai pencari nafkah dan istri mengurus rumah tangga.
Dalam hal ini tanggung jawab keberlangsungan keluarga diberikan kepada keduanya. Namun ketika kita
jumpai praktiknya di masyarakat, ternyata mereka memiliki pola yang berbeda-beda dalam relasi itu, di
mana tidak selamanya pencari nafkah itu dilakukan oleh suami, tetapi ada yang dilaksnakan bersama-sama,
dan ada juga yang justru istrinya sebagai tulang punggung keluarga. Lihat Reni Nur Aniroh, ‘Hak dan
Kewajiban Suami Istri (Kritik Realitas atas Aturan Hukum Keluarga di Indonesia)’, in Progres Hukum Keluarga
Islam di Indonesia Pasca Reformasi: Dimensi Hukum Nasional - Fiqh Islam - Kearifan Lokal (Yogyakarta: CV. Istana
Agency bekerja sama dengan ADHKI (Asosiasi Dosen Hukum Keluarga Islam Indonesia, 2020), pp. 88–105.
Al-Aḥwāl, Vol. 13, No. 2, Tahun 2020 M/1441 H 127
Mempertegas Ide Kesetaraan Gender Dalam Sistem Kewarisan Bilateral
barang perpantangan, di Madura disebut ghuna Ajaran Islam” yang sejak awal tahun 1985
ghana dan sebagainya.40 Oleh karenanya dalam beliau lontarkan kepada masyarakat.42
kewarisannya pun ketika harus dipaksakan Gagasan reaktualisasi ini mendapatkan
dengan rumusan Sunni Arabian mungkin reaksi pro dan kontra dari masyarakat.
saja dapat mengurangi “rasa keadilan” pada Menurut Sjadzali, reaksi keras yang
masyarakatnya. menentang justru berasal dari kaum
Di Indonesia pada akhir tahun 80-an, modernis, sedangkan para ulama tradisional
formula 2:1 ini kemudian didekonstruksi oleh mendukung gagasan reaktualisasi itu.43 Pola
Munawir Sjadzali,41 menjadi 1:1. Menurutnya, pembagian 1:1 yang ditawarkan Sjadzali ini
walaupun konsep 2:1 ini didukung oleh teks justru oleh kaum tradisionalis akan dianggap
secara tersurat, dan tidak dapat ditafsirkan sebagai pertentangan langsung atas teks suci
lain karena sudah dianggap jelas, konsep yang telah dinilai qaṭ’i.44 Realitas seperti ini
ini masih sangat diragukan keadilannya. dapat ditemui di masyarakat, bahkan Sjadzali
Formula ini jauh berbeda dengan realitas sendiri telah menyuguhkan problem tersebut,
yang ada di Indonesia. Berdasarkan penelitian bahwa secara ide, masyarakat secara umum
dan fakta di lapangan, di masyarakat, para tetap menginginkan rasio 2:1, walaupun
ahli waris tetap meminta fatwa kalkulasi 2:1 dalam praktiknya berbeda. Memang gagasan
tetapi pada praktiknya mereka menghindari Sjadzali ini tidak memberikan pengaruh
kalkulasi tersebut dan memilih pergi ke dalam pembentukan aturan kewarisan dalam
Pengadilan Negeri dengan hasil yang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya ditulis
berbeda. Tidak hanya itu, di masyarakat KHI), jika dilihat dari pasal 176 KHI yang
juga telah membudaya penyimpangan konsep tetap memberikan perbandingan bagian
2:1 secara tidak langsung, yakni melalui antara bagian laki-laki dan bagian perempuan
kebijakan pre-emptive hibah 1:1, sehingga 2:1. Namun dalam pasal 183 KHI terdapat
ketika mereka meninggal, harta mereka sudah ketentuan “pembagian kewarisan secara
habis dibagikan atau jika masih tersisa hanya damai”, di mana hal ini dapat memberi
cukup digunakan untuk hal-hal lain di luar peluang untuk pembagian sama rata sesuai
kewarisan. Masyarakat muslim sendiri tanpa dengan kesepakatan kekeluargaan dan ini
disadari telah mendekonstruksi formula linier dengan tawaran rasio 1:1 Sjadzalian.45
2:1 menjadi 1:1, sehingga fenomena ini, Di sisi lain, menurut Yahya Harahap bahwa
menurut Munawir, penting untuk dipikirkan rasio 2:1 dalam ayat tidaklah mutlak bersifat
dan dicarikan jalan keluarnya agar dapat qaṭ’i, secara normatif laki-laki dan perempuan
diterapkan secara legal dan didukung oleh sebagai ahli waris bersifat mutlak dan universal
penafsiran baru. Pemikiran Munawir ini tetapi rasio pembagian 2:1 bersifat hududiyah
dituangkan dalam gagasan “Reaktualisasi (batasan) yang elastis, yakni bagian setengah
40
M. Anshary M. K, Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-Masalah Krusial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
p. 187.
41
Munawir Sjadzali lahir pada 7 November 1925 di Klaten Jawa Tengah. Beliau pernah menjabat sebagai
Menteri Agama RI pada Kabinet Pembangunan periode 1983-1988. Perjalanan ilmiah dan karir beliau dimulai
dari pendidikan dasar dan menengah di Solo kemudian melanjutkan ke Universitas Exeter, Inggris, dan
Universitas Georgetown, Amerika Serikat. Pernah menjadi guru SD Islam, Gunungpati, Ungaran, Semarang
hingga bekerja di Departemen Luar Negeri di seksi Arab/Timur Tengah, diperbantukan pada Sekretaris
Bersama Konferensi Asia-Afrika , Duta Besar Luar Biasa RI untuk Emirat-Kuwait merangkap Bahrain, Qatar
dan Perserikatan Keamiran Arab, dan sebagainya. Lihat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia and Indonesia)
Yayasan Wakaf Paramadina (Jakarta, Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali,
M.A. (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia : Paramadina, 1995), p. 4, http://catalog.hathitrust.org/
api/volumes/oclc/35742889.html, accessed 1 Jun 2021.
42
Munawir Sadzali, ‘Dari Lembah Kemiskinan’, in Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir
Sjadzali, M.A. (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia bekerjasama dengan Paramadina, 1995), pp. 87–9.
43
Ibid., p. 95.
44
Sarmadi, Transendensi Keadilan, p. 272.
45
Hasbullah Mursyid, ‘Menelusuri Faktor Sosial Yang Mungkin Berpengaruh’, in Kontekstualisasi Ajaran Islam:
70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (Jakarta: Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Bekerjasama dengan
Paramadina, 1995), pp. 206–7.
untuk perempuan dibandingkan dengan pengaturan yang benar, tetapi yang terpenting
bagian laki-laki ialah sebagai batas minimal ialah tujuan pembagian itu, yakni untuk
yang dapat dinaikkan menjadi bagian yang memelihara keturunan agar terhindar dari
setara dengan laki-laki.46 Gagasan mantan kelemahan, kemiskinan, dan ketertinggalan
hakim Mahkamah Agung ini, mendukung dalam seluruh aspek kehidupan.50
gagasan Sjadzali dan ini cukup menjanjikan.47 Sarmadi mengawali langkah konkritnya
Sjadzali telah menawarkan dengan melihat kembali konteks masyarakat
penafsiran sosiologis kultural dalam setting penerima awal turunnya ayat-ayat kewarisan.
keindonesiaan, namun ketika rasio 1:1 ini Sebelum ayat-ayat kewarisan diturunkan,
diterapkan di masyarakat, maka akan timbul masyarakat Jahiliyah dan kelompok muslim
banyak pertanyaan mengenai kepastian awal dalam kewarisannya masih menerapkan
dalam pembagiannya yang belum jelas sistem patrilineal, yakni hanya memberikan
standar cara pemecahannya.48 Apakah berlaku warisan kepada kaum laki-laki dewasa,
hijab mahjub sebagaimana diterapkan dalam sementara kaum perempuan dan anak-
kewarisan model Hazairin, Sunni, atau yang anak kecil tidak mendapatkan warisan.
lain? Apakah rasio 1:1 juga diterapkan kepada Sistem pembagian seperti ini dipengaruhi
semua ahli waris, tidak hanya pada kasus oleh cara pandang mereka yang tidak
anak-anak? Kemungkinan penerapannya benar terhadap perempuan dan anak-
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum anak. Mereka beranggapan bahwa harta
Perdata (BW) di mana sistem paroan terjadi tinggalan itu hanya akan dimanfaatkan
dalam garis manapun. Kemudian bagaimana dengan baik oleh kaum laki-laki dewasa,
penerapan rasio 1:1 ini ketika ahli waris terdiri yakni untuk dapat melindungi keluarga
dari anak-anak bersama cucu dari garis yang atau sukunya dengan memanggul senjata
berbeda atau antara saudara-saudara?. dan dengan keperkasaannya. Sedangkan
Kegelisahan ini ialah yang dirasakan kaum perempuan dan anak-anak, mereka
oleh Sukris Sarmadi,49 sehingga pada tahun dinilai lemah dan tidak dapat memberikan
1996 kemudian ia menawarkan gagasannya kontribusi apapun terhadap jaminan masa
yang merupakan perpaduan antara kewarisan depan keluarga atau sukunya, sehingga
bilateral Hazairin dan gagasan reaktualisasi mereka tidak diberi kesempatan untuk
Sjadzalian, di mana idenya ia tuangkan dalam mendapatkan harta warisan.51
“Kewarisan Bilateral Tansformatif”. Sebelum Pada kondisi yang demikian,
sampai pada ide tersebut, selain mengacu menurut Sarmadi, maka turunnya Al-
pada gagasan Hazairin dan Sjadzali, Sarmadi Qur’an tentu membawa misi penting, yakni
juga menilik dan membandingkan beberapa untuk merombak cara pandang itu dan
sistem kewarisan seperti kewarisan Sunni, memberikan pangaturan yang baru sekaligus
Syi’ah, KUHPdt (BW), dan KHI. Sementara, mengendalikan tujuan dari misi itu. Untuk
menurutnya, adanya aturan mengenai merombak cara pandang yang keliru tentang
kewarisan (khususnya kewarisan Islam) perempuan dan anak-anak kecil, Al-Qur’an
ternyata tidak hanya terfokus kepada sistem memperkenalkan sistem kekeluargaan yang
46
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama: UU no. 7 tahun 1989 (Jakarta: Pustaka
Kartini, 1990), pp. 164–5.
47
Euis Nurlaelawati, Modernization Tradition and Identity: the Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the
Indonesian Religious Courts (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010), pp. 111–2, http://site.ebrary.
com/id/10397469, accessed 1 Jun 2021; Menurut Mochamad Sodik, tantangan terberat umat Islam dalam hal
pembagian kewarisan ialah keluar dari teks, karena teks ini sudah diterima jauh belasan abad lalu dan sudah
mapan dalam pemikiran masyarakat. Mochamad Sodik, ‘Tantangan Terberat Soal Kewarisan adalah Keluar
dari Teks’, Majalah Peradilan Agama, vol. 10, (2016), p. 30.
48
Sarmadi, Transendensi Keadilan, pp. 269–71.
49
Nama lengkapnya Akhmad Sukris Sarmadi, lahir di Banjarmasin, 13 April 1971. Ia seorang Dosen di Fakultas
Syari’ah IAIN Antasari Banjarmasin sekaligus seorang Advokat dan Direktur Hukum pada PT. Balai Lelang
Borneo. Internet website://mandarmaju.com, diakses pada 21 Desember 2020.
50
Sarmadi, Transendensi Keadilan, pp. 279–80.
51
Ibid., pp. 283–4.
Al-Aḥwāl, Vol. 13, No. 2, Tahun 2020 M/1441 H 129
Mempertegas Ide Kesetaraan Gender Dalam Sistem Kewarisan Bilateral
ideal, di mana tugas dan tanggung jawab masyarakat Arab penerima awal. Khusus
kelangsungan keluarga dibebankan kepada mengenai rasio 2:1 antara bagian laki-laki
suami istri bersama secara setara. Ini dapat dengan perempuan, menurutnya, tidak
dilihat pada beberapa ayat yang mengatur dapat lagi dijalankan secara literal mengingat
urusan di sekitar masalah rumah tangga, dalam segala bidang kehidupan modern ini,
perkawinan, talak, rujuk, dan sebagainya. laki-laki dan perempuan telah dipersamakan
Kemudian Al-Qur’an memperkenalkan sistem dari sisi transendental-kemanusiaannya.
kewarisan di mana perempuan dan anak-anak Selain itu, laki-laki dan perempuan secara
kecil mendapatkan harta warisan. Tujuan yuridis formal juga memiliki kedudukan
dari perombakan itu tidak lain bertujuan agar yang setara di hadapan hukum. Dari sini
orang-orang yang ditinggalkan oleh pewaris Sarmadi memahami bahwa perubahan
tidak hidup dalam kondisi kemelaratan dan bagian kewarisan ini tidak hanya terbatas
kemiskinan, serta pengaturan etika belas pada anak-anak saja, tetapi juga terhadap
kasih terhadap anak-anak yatim.52 bagian ahli waris yang lain seperti ayah ibu
Untuk menghindari kemungkinan dan sebagainya. Ia mendasarkan argumennya
penolakan masyarakat terhadap misi suci kepada ijtihad ‘Umar ibn Khaṭṭab ketika
itu, maka Al-Qur’an menggunakan metode memutuskan hukum keluar dari literal
penahapan. Pertama, Al-Qur’an cukup teks. Bahwa tindakan ‘Umar itu tidak dapat
memperkenalkan ide dasar bahwa kaum dinilai sebagai “telah mengubah teks ayat
laki-laki dan kaum perempuan memiliki dan mengingkarinya”. Namun sebaliknya
bagian waris (QS. An-Nisa’: 7). Kedua, agar justru beliau telah mendemonstrasikan watak
ketidakpuasan kaum laki-laki dapat diredam, asli dan sesungguhnya dari ruh ayat yang
diperkenalkanlah rasio 2:1 antara bagian laki- memiliki keadilan universal.55
laki dan perempuan (QS. An-Nisa: 11). Ketiga, Adapun secara rinci, penulis merangkum
merekayasa bagian laki-laki lebih banyak dari beberapa ketentuan pada kewarisan bilateral
bagian perempuan (QS. An-Nisa: 12). Keempat, transformatifnya ialah sebagai berikut:56
merinci bagian perempuan secara tersurat (QS.
An-Nisa: 11, 12, 176). Kelima, memberlakukan 1. Sistem kewarisan bilateral Hazairin
sistem hijab-menghijab antara para ahli diberlakukan dengan beberapa perbedaan
waris. Metode penahapan ini telah berhasil dan pengecualian.
mengubah kehidupan masyarakat awal
dengan dimulainya kehidupan kekeluargaan 2. Penamaan sistem bilateral transformatif
bilateral, tanpa clan keutamaan.53 Dari sini untuk membedakan dengan tesis Hazairin
Sarmadi menggarisbawahi beberapa gagasan sekaligus memberikan pemakanaan progresif
inti misi ayat-ayat kewarisan, yakni bahwa terhadapnya.
semangat hukum kewarisan Islam adalah
bilateral, menghindari kondisi keturunan 3. Konsep radd dan ‘awl diberlakukan untuk
dari kemiskinan dan kemelaratan. Sedangkan setiap ahli waris.
pengutamaan terhadap kaum laki-laki dengan
bagian dua kali lipat dari perempuan tidak 4. Rasio 1:1 antara bagian laki-laki dan
lain merupakan bentuk antisipasi terhadap perempuan berlaku untuk semua ahli waris
reaksi dari kaum laki-laki.54 dari semua jalur.
Langkah selanjutnya, Sarmadi menarik
rangkaian penalaran tersebut ke dalam konteks 5. Sistem aṣabah dan żawū al-arḥām tidak
Indonesia kekinian dan mengandaikan jika berlaku.
Al-Qur’an turun di masa sekarang dengan
setting sosio kultural yang berbeda dengan
52
Ibid., pp. 284–5.
53
Ibid., pp. 285–6.
54
Ibid., p. 287.
55
Ibid., pp. 287–9.
56
Ibid., pp. 289–92.
6. Memberlakukan wasiat wajibah untuk alat hutang dan pelaksanaan wasiat (jika ada),
kontrol mewujudkan citra sosial-moril- dan dilaksanakan sebelum mekanisme
ekonomi para ahli waris, di mana wasiat kewarisan.
ini berlaku untuk semua ahli waris dan jika
dkehendaki berlaku juga untuk anak angkat 14. Dalam perkawinan poligami, pembagian
dan orang tua angkat. Memberikan batas harta bersama dan harta warisan diambil
maksimal dan minimal pada wasiat wajibah, dari budel harta selama perkawinan masing-
yakni maksimal 1/3 dan minimal 1/6 harta. masing berlangsung. Misalnya, bagian 1/8
Untuk dua orang atau lebih dapat diberi 1/3 untuk istri ketika ada anak, tidak dibagi
dan untuk seorang saja diberikan 1/6 dengan bersama istri yang lain, tetapi untuk dirinya
mempertimbangkan kondisi objektif mereka. sendiri yang diambilkan dari budel harta
selama mereka menikah dan anak yang
7. Sistem mawāli Hazairin diberlakukan. dimaksud ialah anak dari istri tersebut,
bukan dari istri yang lain.
8. Sistem żū al-qarābah hanya diberlakukan
untuk mengambil sisa harta terbanyak seperti 15. Sistem hijab menghijab berlaku sebagaimana
anak laki-laki bersama anak perempuan, di Hazairin, kecuali beberapa keterangan baru
mana bagian mereka 1:1. Sistem ini juga sebagai pengecualian.
diberlakukan ketika ahli waris laki-laki
sendirian, termasuk ayah (tanpa ibu), 16. Sistem bilateral transformatif bertumpu
anak laki-laki (tanpa anak perempuan), pada tujuan untuk menghindari kemiskinan
dan saudara laki-laki (tanpa saudara dan kemelaratan keturunan, merefer konteks
perempuan). Adapaun ketika saudara laki- kehidupan ekonomi modern dan memegang
laki bersama saudara perempuan maka sistem bilateral, membangun teladan
bagiannya diqiyaskan dengan bagian anak terbaik atas ayat-ayat kewarisan dan
laki-laki ketika bersama anak perempuan. mengutamakan legal spesifik hukum.
1 1 1 1 2 2 2
D (sdr pr knd) 3 5 x 3 = 15 A+B+C+D+E+F = 9 + 9 + 36 +
1 1 1 2 1 2 1 2 1
E (sdr pr seayh) 5 x 3 = 15 ( 36 + 9 ) + ( 36 + 9 ) + ( 36 + 9 )
=
1 1 1
F (sdr pr seibu) 5 x 3 = 15 8+8+2+(2+4 )+ (2+4 )+ (2+4 )
3 1 2 36
A+B+C+D+E+F = 6 + 6 + 15 + 8+8+2+6+6+6 36
1 1 1 = 36 = 36
+ +
15 15 15
15+5+ 4+2+2+2 30 = 1 (seluruh harta)
= = 30 Dengan cara ini, ayah dan ibu
30
mendapatkan bagian yang setara, demikian
juga para saudara. Dan tiga saudara yang
= 1 (seluruh harta)
memiliki ekonomi lemah mendapatkan bagian
Dengan cara ini, ayah mendapatkan
yang lebih banyak karena ia mendapatkan
tiga kali lipat dari bagian ibu, di mana
tambahan dari wasiat wajibah.
mereka mendapat bagian terbanyak di antara
ahli waris lain. Sementara di sampingnya
3. Kasus III
ada tiga saudara si pewaris yang memiliki
Seseorang wafat dengan meninggalkan
kondisi ekonomi lemah, tetapi mereka hanya
ayah (A), ibu (B), istri (C), anak laki-laki
mendapatkan bagian terkecil di antara ahli
(D), dan dua anak perempuan (E, F). D
waris yang ada.
telah berkeluarga dan hidup dalam kondisi
perekonomiannya yang mapan. sedangkan
Penyelesaian dengan bilateral
E dan F dalam keadaan masih kecil sehingga
Transformatif Sarmadi
sangat membutuhkan biaya untuk pendidikan
1 1 dan pengasuhan.
D, E, F = 3 (wasiat wajibah) @ = 9 Penyelesaian dengan bilateral Hazairin
2 1
Sisa 3 (yang akan diwariskan kepada A (ayah) 6
1
A, B, C, D, E, F) B (ibu) 6
1 2 2 1
A (ayah) 3 x 3 = 9 C (istri) 8
1 2 2 2 13 26
B (ibu) 3x 3= 9 D (ank lk) 4 x 24 = 96
1 2 2 13 1
C (sdr lk knd) (dq) 4 x 9 = 36 E (ank pr kecil)= dq 24 4 x
1 2 2 1 13 13
D (sdr pr knd) x = 9 4 x
3 3 24 = 96
2 2 1 13 13
9 = 36 F (ank pr kecil) 4 x 24 = 96
1 2 2 1 1 1 26
E (sdr pr seayh) 4 x 9 = 36 A+B+C+D+E+F = 6 + 6 + 8 + 96
1 2 2 13 13
F (sdr pr seibu) 4 x 9 = 36 + 96 + 96
=
16+16+12+26+13+13 96
= 96 = 96 12+12+ (9+216 )+13+ (13+72)+ (13+72)
432
= 1 (seluruh harta) 12+12+225+13+85+85
Dengan cara ini, istri mendapatkan = 432
bagian yang paling kecil di antara ahli waris 432
lain. Padahal ia harus mengasuh kedua = 432 = 1 (seluruh harta)
anak perempuannya yang masih kecil, di Dengan cara ini, istri (ibu dari D, E,
mana mereka masih memerlukan biaya
untuk sekolah mereka. Tentu hal ini menjadi 225
F) mendapatkan bagian 432 (52,1%) harta
beban yang sangat berat. Di sisi lain, anak
laki-lakinya yang telah mandiri dan kaya,
mendapatkan bagian yang lebih banyak di tinggalan suaminya, yang terdiri dari harta
bersama dan bagian warisnya. Kedua anak
32 perempannya yang masih kecil mendapatkan
antara ahli waris lainnya dan 96 (33,4 %)
wasiat wajibah ditambah bagian warisnya.
Dengan bagian tersebut kiranya akan dirasa
harta tinggalan suaminya dimiliki oleh orang lebih adil.
tua dari suaminya.
Penyelesaian dengan bilateral F. Kewarisan Bilateral Transformatif:
Transformatif Sarmadi Kesetaraan, Keadilan, dan
1 Keindonesiaan
C (istri) = 2 (harta bersama) Kesetaraan yang merupakan ruh dari
kewarisan bilateral ini dapat penulis jumpai
1 1
E, F = 3 (wasiat wajibah) @ 6 pada gagasan bilateral Hazairin, Sjadzali,
Yahya Harahap, dan Sarmadi. Hazairin,
1 dengan pendekatan yang lebih condong
Sisa 6 (yang akan diwariskan kepada kepada teks, untuk tidak mengatakan tekstualis
murni karena beliau juga menggunakan
A, B, C, D, E, F) khazanah ilmu modern antropologi dalam
interpretasinya, menonjolkan kesetaraan
1 1 1
A (ayah) x = dalam garis keturunan. Sjadzali dan Yahya
6 6 36
Harahap, dengan interpretasi kontekstualnya,
1 1 1 ingin menekankan juga kesetaraan pada level
B (ibu) 6 x 6 = 36 jenis kelamin. Sementara Sarmadi, dengan
1 1 1 tekstual ala Hazairin dan kontekstual ala
C (istri) 8 x 6 = 48 Sjadzali, ingin menonjolkan kesetaraan dari
1 13 13
keduanya yang dipadu dengan pertimbangan
D (ank lk) x = konteks ahli warisnya. Idenya ini sangat
3 144 432
brilian, di mana ia mengawinkan ide bilateral
13 1 Hazairin dan reaktualisasinya Sjadzali.
E (ank pr kecil) = dq 144 3 x
Sarmadi juga menekankan tujuan awal
13 13 diaturnya kewarisan, yakni agar tidak ada
144 = 432 keadilan yang terabaikan di antara semua
1 13 13 ahli waris, baik dari sisi moral, ekonomi, dan
F (ank pr kecil) 3 x 144 = 432 semua bidang kehidupan serta agar tercapai
kemaslahatan.
1 1 1 Rumus keindonesiaan dan kekinian
A+B+C+D+E+F = 36 + 36 + ( 48 +
juga nampak di sini. Sarmadi memasukkan
1 13 13 1 13 1 harta bersama dan wasiat wajibah dalam
2 ) + 432 + ( +
432 6 ) + ( 432 6 )
+ mekanisme pembagian harta peninggalan.
Harta bersama ini merupakan ciri khas melalui jalur radd. Dalam hal ini, penyelesaian
keindonesiaan yang tidak ditemui dalam sisa dari harta peninggalan dengan jalan
literatur/aturan fikih klasik. Sementara radd (mengembalikan ke anak perempuan
wasiat wajibah, menurut Agus Moh. Najib, tersebut, ibu, istri, atau saudara perempuan
merupakan konsep yang sangat relevan ketika tidak ada ahli waris lain), di satu sisi
dengan fikih Indonesia, di mana konsep wasiat dapat menyelesaikan persoalan, sehingga
wajibah ini merupakan upaya dialog antara harta peninggalan bisa dihabiskan, namun di
nilai-nilai syari’ah dengan praktik hukum sisi lain secara teologis dan kesetaraan, hal ini
di masyarakat.57 Tidak hanya itu, Sarmadi dipertanyakan.60
juga meracik konsepnya dengan menilik Sementara mengenai konsep harta yang
kewarisan ala Barat dalam KUHPdt (BW), akan diwariskan, Sarmadi tidak menengok
yakni agaknya pada perluasan ide 1:1 yang kemungkinan adanya harta bawaan atau harta
tidak hanya untuk anak-anak (sebagaimana pribadi yang dimiliki oleh pasangan suami
Sjadzali) tetapi juga untuk ayah ibu, dan para istri yang wafat salah satunya. Sarmadi baru
saudara.58 Sistem kewarisan Barat ini sudah memasukkan harta bersama saja, padahal ada
berlaku lama di Indonesia, yang menurut kemungkinan mereka juga memiliki harta
Yudian sebagaimana yang dikutip oleh Najib, pribadi atau bawaan di luar harta bersama
bahwa semua aturan perundang-undangan yang mungkin diwariskan. Pada kesempatan
yang berlaku di Indonesia merupakan yang lain, Sarmadi menyatakan bahwa
hasil dialektika antara nilai syari’ah dan harta bawaan dan harta bersama, keduanya
‘urf yang sejalan dengan maqāṣid syarī’ah.59 memungkinkan untuk masuk ke dalam objek
Jadi kombinasi yang dilakukan Sarmadi ini harta warisan.61 Sementara dalam KHI Pasal 87
mempertegas rumusan keindonesiaan dan ayat (1) juga disebutkan bahwa harta bawaan
kekinian. suami istri yang diperoleh masing-masing
Namun demikian, kewarisan bilateral sebagai hadiah, warisan, dan sebagainya,
transformatif Sarmadi, sebagaimana dikuasai secara pribadi oleh masing-masing
bilateralnya Hazairin, masih mengadopsi kecuali para pihak menentukan lain. Ini
konsep radd dan ‘awl, yang merupakan menunjukkan bahwasanya harta bawaan
produk kewarisan Sunni yang condong suami istri tidak secara otomatis masuk ke
kepada budaya patrilineal Arabian. Padahal dalam harta bersama, dan hanya terjadi
konsep radd dan ‘awl ini bermasalah dari sisi dengan perjanjian perkawinan. Sehingga
ide kesetaraannya. Ketika perempuan menjadi keberadaan harta bawaan atau harta pribadi
satu-satunya ahli waris ia tidak mendapatkan ini seharusnya juga diperhitungkan sebagai
seluruh harta karena dirinya sendiri tetapi harta yang akan diwariskan.
karena mendapatkannya dari dua jalur, Walau demikian, gagasan Sarmadi
yakni bagiannya sendiri ditambah harta sisa ini patut dipertimbangkan. Ia dapat
(radd), sedangkan laki-laki dalam kondisi mengkomunikasikan antara interpretasi
demikian, mereka langsung dapat menerima tekstual dengan kontekstual-keindonesiaan,
harta warisan karena dirinya sendiri tanpa yang mana keduanya merupakan hal
57
Agus Moh Najib, :Reestablishing Indonesian Madhhab: ‘Urf and the Contribution of Intellectualism:, Al-
Jami’ah: Journal of Islamic Studies, vol. 58, no. 1 (2020), p. 197.
58
Sarmadi mengambil contoh penyelesaian kewarisan dengan cara Sunni, Syi’ah, Hazairin, KHI, dan KUHPdt
(BW) kemudian menilai bahwa yang paling adil secara etika sosial-moril-ekonomi adalah sistem kewarisan
KUHPdt dan paling tidak sistem Hazairin. Lihat Sarmadi, Transendensi Keadilan, p. 283.
59
Agus Moh. Najib, Reestablishing Indonesian Madhhab, p. 200.
60
Secara teologis, ini tentu akan menciderai kenyakinan umat Islam, bahwa Allah adalah Maha Teliti yang
mengetahui berapa jumlah butiran pasir di padang pasir Arabia, lalu bagaimana mungkin pada kasus yang
remeh untuk pembagian waris satu dan beberapa anak perempuan ataupun yang lainnya bisa menimbulkan
problem yang seharusnya tidak perlu muncul. Bahkan pertanyaan ini sudah sejak lima belas abad yang lalu
dilontarkan oleh Ibn ‘Abbās. Lihat Hadis al-Baihaqī nomor 12457 Ahmad bin al-Ḥusain bin ‘Alī bin Mūsā al-
Kharāsānī Abu Bakr al-Baihaqī, Al-Sunan al-Kabir Li al- Baihaqī, ditahqiq oleh Muhammad ‘Abd al-Qādir ‘Aṭā
edition (Beirut: Dār al-Kitab al-‘Alamiyah, 2003), p. 414.
61
Sukris Sarmadi, ‘Harta Bersama’, in Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), pp. 178–9.
Al-Aḥwāl, Vol. 13, No. 2, Tahun 2020 M/1441 H 135
Mempertegas Ide Kesetaraan Gender Dalam Sistem Kewarisan Bilateral
yang tidak dapat dipisahkan. Jika sebuah jenis kelamin. Demikian juga, kondisi sosial
interpretasi hanya mengunggulkan teksnya masyarakat, hukum yang telah hidup di
saja maka hasilnya tidak membumi dan masyarakat, kondisi objektif/legal spesifik
jauh dari realitas, dan sebaliknya jika lebih para ahli waris, dan tujuan diaturnya
mementingkan konteksnya tanpa melihat pembagian harta warisan menjadi sesuatu
teksnya, maka hasilnya kering dari nilai-nilai yang wajib dipertimbangkan di samping
transendensi. Teks dan konteks dalam sebuah teks literal ayatnya. Dengan cara seperti ini,
interpretasi, keduanya perlu mendapatkan mekanisme pembagiannya tidak keluar dari
tempat yang seimbang sehingga hasilnya dapat jalur keadilan dan kesetaraan tetapi tidak
mempertemukan antara nilai transendensi lepas dari naṣ (ayat al-Qur’an maupun hadits)
dengan realitas, yang kemudian diharapkan sebagai rujukan utama hukum Islam.
dapat menyelesaikan problem yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
G. Penutup
Kewarisan bilateral tidak hanya berhenti Abu Bakr al-Baihaqī, Ahmad bin al-Ḥusain
pada Hazairin saja. Tradisi bilateral dalam bin ‘Alī bin Mūsā al-Kharāsānī, Al-
kewarisan ini berkembang dan dilanjutkan Sunan al-Kabir Li al- Baihaqī, ditahqiq oleh
oleh para pemikir setelahnya. Dalam Muhammad ‘Abd al-Qādir ‘Aṭā edition,
kaitannya dengan perkembangan kewarisan Beirut: (Dār al-Kitab al-‘Alamiyah, 2003.
bilateral ini, dapat dikatakan bahwa Hazairin Abubakar, Al Yasa, ‘Ahli Waris Sepertalian
telah memberikan kail awal dibukanya pintu Darah Kajian Perbandingan terhadap
kesetaraan dalam garis keturunan laki-laki Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh
dan perempuan melalui pemahaman terhadap Mazhab’, DIsertasi Doktoral, Yogyakarta:
ayat-ayat waris dalam al-Qur’an. Berbeda IAIN Sunan Kalijaga, 1989.
dengan Hazairin, Munawir Sjadzali hadir ----, Rekonstruksi Fikih Kewarisan: Reposisi Hak-
dengan “Reaktualisasi Ajaran Islam”nya yang hak Perempuan, Banda Aceh: LKAS, 2012.
mendekonstruksi pola kewarisan 2:1 menjadi Aniroh, Reni Nur, ‘Hak dan Kewajiban Suami
1:1. Gagasan ini muncul karena rasio 2:1, Istri (Kritik Realitas atas Aturan Hukum
walaupun sesuai dengan literal ayat, namun Keluarga di Indonesia)’, in Progres Hukum
dinilai tidak dapat mewadahi “rasa keadilan” Keluarga Islam di Indonesia Pasca Reformasi:
dalam konteks keindonesiaan dan kekinian. Dimensi Hukum Nasional - Fiqh Islam -
Namun, gagasan ini kemudian menemui Kearifan Lokal, Yogyakarta: CV. Istana
jalan buntu tanpa ada standar pemecahnya. Agency bekerja sama dengan ADHKI
Selanjutnya, Yahya Harahap muncul dengan (Asosiasi Dosen Hukum Keluarga Islam
ide minimal maksimal bagian perempuan dan Indonesia, 2020, pp. 88–105.
laki-laki yang keduanya dapat didekatkan Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum
hingga rasio 1:1 atau bahkan lebih dari itu Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral
sesuai kondisi objektif para ahli waris, mirip Hazairin, Yogyakarta: UII Press, 2005.
dengan teori ḥudūd Shahrour. Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi,
Dalam perkembangan selanjutnya, ide Fiqh Mawaris: Hukum Pembagian Warisan
waris bilateral yang digagas oleh Hazairin Menurut Syariat Islam, Semarang: Pustaka
dan Reaktualisasi ajaran Islam dari Munawir Rizki Putra, 2010.
Sadzali dikompromikan oleh Sukris Sarmadi. Auda, Jasser, Maqasid Al-Shariah as Philosophy
Rumusan keindonesiaan terlihat dalam of Islamic Law: A Systems Approach, London:
upayanya untuk memasukkan konsep The International Institute of Islamic
harta bersama sebagai objek baru harta Thought, 2008.
peninggalan yang diwariskan, serta wasiat Bakar, Abu, ‘Pemikiran Hukum Kewarisan
wajibah sebagai alat kontrol keadilan secara Bilateral: Studi Pemikiran Hazairin’, Al-
legal spesifik kondisi para ahli warisnya. Banjari : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman,
Jadi dalam perkembangannya, kewarisan vol. 6, no. 1, 2007, pp. 21–38 [https://doi.
bilateral selain memperhitungkan kesetaraan org/10.18592/al-banjari.v6i1.961 ].
dari garis keturunan, juga kesetaraan status Bishin, Benjamin G. and Feryal M.
136 Al-Aḥwāl, Vol. 13, No. 2, Tahun 2020 M/1441 H
Reni Nur Aniroh
----, ‘Kesetaraan Gender dalam Ijtihad Hukum Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan
Waris di Indonesia’, Asy-Syari’ah, vol. Diklat Kementrian Agama RI, 2012.
20, no. 2, 2018, pp. 117–32 [https://doi. Sodik, Mochamad, ‘Tantangan Terberat
org/10.15575/as.v20i2.3210 ]. Soal Kewarisan adalah Keluar dari Teks’,
Rahman, Fatchur, Ilmu waris, Bandung: Al- Majalah Peradilan Agama, vol. 10, Dinamika
Ma’arif. 1994 Hukum Waris di Indonesia, 2016.
Rajafi, Ahmad, ‘SEJARAH PEMBENTUKAN Sukiati, Sukiati, ‘Hazairin’s Legal Thought and
DAN PEMBARUAN HUKUM KELUARGA His Contribution towards the Indonesian
ISLAM DI NUSANTARA’, Aqlam: Journal Legal System’, Journal of Indonesian Islam,
of Islam and Plurality, vol. 2, no. 1, 2018, vol. 6, no. 1, 2012, pp. 93–124 [https://doi.
pp. 1–20 [https://doi.org/10.30984/ajip. org/10.15642/JIIS.2012.6.1.93-124 ].
v2i1.507 ]. Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam di
Retnowulandari, Wahyuni, ‘Woman Indonesia, Rawamangun, Jakarta: Sinar
Inheritance, Pluralism and Gender in Grafika, 2016.
Indonesia’, Jurnal Hukum, vol. XVIII, no. Tim Penyusunan Kompendium Bidang
1, 2008. Hukum Waris, Indonesia, and Badan
Sadzali, Munawir, ‘Dari Lembah Kemiskinan’, Pembinaan Hukum Nasional, Laporan
in Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Akhir Tim Penyusunan Kompendium Bidang
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, M.A., Jakarta: Hukum Waris, Jakarta: Badan Pembinaan
Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Hukum Nasional, Departemen Kehakiman
bekerjasama dengan Paramadina, 1995, RI, 2011.
pp. 87–9. Wahib, Ahmad Bunyan, ‘Reformasi Hukum
Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Waris Di Negara-Negara Muslim’, Asy-
Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta: Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum,
RajaGrafindo Persada, 1997. vol. 48, no. 1, 2014, pp. 29–54 [https://doi.
Sarmadi, Sukris, ‘Harta Bersama’, in org/10.14421/asy-syir'ah.2014.%x ].
Problematika Hukum Kewarisan Islam al-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmī wa-
Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Puslitbang adillatuh, Dimasyq: Dar al-Fikr, 1997.