Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Tinjauan Yuridis Dalam Penyelesaian Pelanggaran Ham Berat Melalui

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 26

"Dharmasisya” Jurnal Program Magister Hukum FHUI

Volume 1 "Dharmasisya” Jurnal Fakultas Article 38


Hukum Universitas Indonesia

July 2022

TINJAUAN YURIDIS DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN


HAM BERAT MELALUI KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI
DI AFRIKA SELATAN DAN INDONESIA
Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya
Tshana Erfandi
Part of the Administrative Law Commons, Banking and Finance Law Commons, Bankruptcy Law
tshanaerfandi@gmail.com
Commons, Business Organizations Law Commons, Civil Law Commons, Civil Procedure Commons,
Computer Law Commons, Conflict of Laws Commons, Constitutional Law Commons, Construction Law
Commons, Contracts Commons, Courts Commons, Criminal Law Commons, Criminal Procedure
Commons, Family Law Commons, Government Contracts Commons, Health Law and Policy Commons,
Human Rights Law Commons, Insurance Law Commons, International Law Commons, International Trade
Law Commons, Internet Law Commons, Jurisprudence Commons, Law and Economics Commons, Law
and Philosophy Commons, Law and Politics Commons, Law of the Sea Commons, Legal History
Commons, Legislation Commons, Marketing Law Commons, Military, War, and Peace Commons, Oil, Gas,
and Mineral Law Commons, Organizations Law Commons, Other Law Commons, Privacy Law Commons,
Public Law and Legal Theory Commons, Religion Law Commons, Rule of Law Commons, Social Welfare
Law Commons, State and Local Government Law Commons, Supreme Court of the United States
Commons, Taxation-Federal Commons, Taxation-Federal Estate and Gift Commons, Taxation-
Transnational Commons, Tax Law Commons, Torts Commons, Transnational Law Commons,
Transportation Law Commons, Water Law Commons, and the Workers' Compensation Law Commons

Recommended Citation
Erfandi, Tshana (2022) "TINJAUAN YURIDIS DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM BERAT
MELALUI KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI AFRIKA SELATAN DAN INDONESIA," "Dharmasisya”
Jurnal Program Magister Hukum FHUI: Vol. 1, Article 38.
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss4/38

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been
accepted for inclusion in "Dharmasisya” Jurnal Program Magister Hukum FHUI by an authorized editor of UI
Scholars Hub.
TINJAUAN YURIDIS DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM BERAT
MELALUI KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI AFRIKA SELATAN DAN
INDONESIA

Cover Page Footnote


Agung Putri, Berjuang Mengungkap Kebenaran dan “Mengadili” Masa Lampau: Pengalaman Rakyat
Negeri Tertindas dalam buku Pencarian Keadilan di Masa Transisi, (Jakarta: ELSAM, 2002), hlm. 74.
Karlina Supelli, Berdamai Dengan Masa Lampau : Antara Pengampunan dan Penghukuman dalam buku
Pencarian Keadilan Di Masa Transisi, (Jakarta: ELSAM, 2002), hlm. 37. Satya Arinanto, Hak Asasi
Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi HTN- FHUI, 2008), hlm. 26. Tjipta
Lesmana, “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi : Permasalahan dan Prospeknya, dalam IMW Review”,
Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V, No. l, (Juli 2005), hlm. 280. Satya Arinanto, Politik
Hukum 2 , (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), hlm. 586. Ifdal
Kasim, dkk (ed.), Setelah Otoritarianisme Berlalu: Esai-Esai Keadilan di Masa Transisi, ELSAM, Jakarta,
2001, hlm. vi. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008),
hlm. 212. Rozali Abdullah, Perkembangan HAM dan keberadaan Peradilan HAM di Indonesia (Jakarta :
Ghalia Indonesia, 2001), hlm. 10. Samuel Huntington, Third Wave: Democratization in the late Twentieth
Century, (University of Oklahoma Press, 1991), hlm. 114-124. Lihat Laurence Whitehead, “The
Consolidation of Fragile Democracies” in Robert Pastor (ed.), Democracies in the Americas: Stopping the
Pendulum, (New York: Holmes and Meier, 1989), hlm. 84. Lihat Luc Huyse, Justice after Transition: On the
Choices Successor elites Make in Dealing with the Past, (20 Lw & Social Inquery, Winter, 1995), hlm 47
Herry Sucipto dan Hajriyanto Y. Thohari, “Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, dalam
Dignitas”, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. VIII No. 1 (2012), hlm. 76-77. Piet Meiring, “Truth and
Reconciliation: The South African Experience”, dalam William E van Vugt, G Daan Cloete (eds), Race and
Reconciliation in South Africa. Lanham, Boulder, New York, (Oxford: Lexington Books, 2000), hlm v. Teitel,
G. Ruteil. Transisional Justice, Keadilan Transisional, Sebuah tinjauan Komprehensif, alih bahasa, Eddie
Riyadi Terre, cet. Ke-1, (Jakarta, Elsam, 2004), hlm ix-x. Piet Meiring, “Truth and Reconciliation in Post-
Apartheid South Africa”. Makalah dalam National Reconciliation: Learning From South Africa. Jakarta,
(Maret 2001), hlm. 31. Ibid Harold Wolpe, “Capitalism and Cheap Labour Power in South Africa; From
Segregation to Apartheid” artikel dalam William Beinart & Saul Dubow, Segregation and Apartheid in 20th
Century South Africa, (London: Routlegde, 1995), hlm. 60-63. John Lliffe, Industrialisation and Race in
South Africa 1886-1994, Africans: The History of Continent, (New York: Cambridge University Press,
2007), hlm. XII. Robert C. Cottrell, 2005, South Africa, A State of Apartheid, Chelsea House Publisher, USA,
chapter I; The Sharpville Massacre, p;3-5 Kader Asmal, Victims, Survivors and Citizens – Human Rights,
Reparations and Reconciliation: South African Journal on Human Rights 8, No. 4 (1992), hlm. 491-511.
Priscilla B. Hayner, Kebenaran Tak Tebahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran,
Kenyataan dan Harapan, [Unspeakable Truth: Facing the Challenge of Truth Commissions], diterjemahkan
oleh Tim ELSAM, (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 43. Ibid, hlm. 45. Alex Boraine, A Country Unmasked,
Inside South Africa’s Truth and Reconciliation Commission, (Oxford: OUP, 2000), hlm. XVII. Herry Sucipto,
Penanganan Pelanggaran HAM, hlm. 88. Jeremy Sarkin Hughes, Carrots and Sticks: The TRC and the
South African Amnesty Process, (Oxford:Interseptia, 2004),hlm. 219. Piet Meiring, Chronicle of the Truth
Commission. A journey through the past and present – into the future of South Africa, (Vanderbijlprak:
Cape Diem Books,1998), hlm. 34. Rhona KM Smith., dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2008), hlm. 377. Robert O. Weiner, “Trying to Make Ends Meet: Reconciling the Law and
Practice of Human Rights Amnesties”, dalam St. Mary’s Law Journal 26, 1995, hlm. 873-875. Madeleine
Fullard dan Nicky Rousseau, "Truth-Telling, Identities and Power in South Africa and Guatemala", diakses
dari https://www.ictj.org/sites/default/files/ICTJ-Identities-TruthCommissions-
ResearchBrief-2009-English.pdf pada 21 Juni 2020. “The Truth and Reconciliation Commission of South
Africa Report”, Vol 7, The Truth and Reconciliation Official Website, (2002), hlm. 1. Rhona KM Smith, dkk,
Hukum Hak Asasi Manusia, hlm. 381. Dipoyudo Kirdi, Afrika dalam pergolakan 2, (Jakarta : Yayasan
Proklamasi Centre for strategic and internasional studies, 1983), hlm 72-73. Peter Bouckaert, South
Africa; The Negotiated Transition from Apartheid to Nonracial Democracy akses dari
http://www.wilsoncenter.org/subsites/ccpdc/pubs/words/9.pdf, pada 21 Juni 2021. Harold Wolpe;
Capitalism and Cheap Labour Power in South Africa; From Segregation to Apartheid artikel dalam William
Beinart & Saul Dubow, (1995), Segregation and Apartheid in 20th Century South Africa, Routlegde, London,
p. 60‐63. Robert C. Cottrell, 2005, South Africa, A State of Apartheid, Chelsea House Publisher, USA,
chapter I; The Sharpville Massacre, p;3‐5 Report of the Commission of Enquiry into Complaints by Former
African National Congress Prisoners and Detainees, 1992, hlm. 70-71. (Dalam Priscilla B. Hayner, hlm.
60). Reports of the Commission of Enquiry into Certain Allegations of Cruelty and Human Rights Abuse
against ANC Prisoners and Detainees by ANC Members, Johannesburg, 20 Agustus 1993, p-ii. Marissa
Traniello, “Power Sharing, Lesson from South Africa and Rwanda”, International Public Policy Review, Vol.
3 No. 2, (2008), hlm. xxi. Ibid ELSAM, “Pemeriksaan Permulaan Perkara Pelanggaran HAM yang Berat
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000”, Position Paper, (2010), hlm. 3. Julius Pour, Benny: Tragedi Seorang
Loyalis, (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2007), hlm. 183-188. Comunicado Comissão Nacional de
Descolonização, point 6 (29 November 1975); United Nations Department of Political Affairs, Trusteeship
and Decolonization, No 7, August 1976, hlm. 44. Komnas Perempuan, Kumpulan Ringkasan Eksekutif:
Laporan Investigasi Pelanggaran HAM di Timor Timur, Maluku, Tanjung Priok dan Papua 1999 – 2001,
(Jakarta: Komnas Perempuan, 2003), hlm. 7. Wiranto, Selamat Jalan Timor Timur: Pergulatan Menguak
Kebenaran, (Jakarta: Institute for Democracy of Indonesia, 2003), hlm. 83-86. Zacky Anwar Makarim,
et.al., Hari-Hari Terakhir Timor Timur: Sebuah Kesaksian, (Jakarta: PT. Sportif Media Informasindo, 2010),
hlm. xxiii. Idi Subandi Ibrahim (ed), Selamat Jalan Timor Leste, Pergulatan Menguak Kebenaran:
Indonesia, (Jakarta: 2002), hlm. 185. Sriyana, Komisi Nasional HAM : Seri Bahan Bacaan Kursus HAM
untuk Pengacara XI Tahun 2007, (Jakarta: ELSAM, 2007), hlm. 10. Joko Setiyono, “Pertanggungjawaban
Komando (Command Responsibility) dalam Pelanggaran Ham Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan di Indonesia)”, (Disertasi Doktor Universitas Diponegoro, Semarang, 2010), hlm. 142. Pusat
Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI), Tanjung Priok Berdarah, Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan
data dan fakta, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 26. Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di
Indonesia; Melanggengkan Impunity, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), hlm. 137. KontraS (1), Reproduksi
Ketidakadilan Masa Lalu : Catatan Perjalanan Membongkar Kejahatan HAM Tanjung Priok 1984, (Jakarta:
Kontras, 2008), hlm. 1. AM Fatwa, Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok, Pengungkapan Kebenaran
Untuk Rekonsiliasi Nasional, (Jakarta: Dharmapena Publishing, 2005), hlm. 67. KontraS (1), Reproduksi
Ketidakadilan, hlm. 7. Agung Yudhawiranata, Dealing with Past Violation of Human Rights: The Problem
of Indonesia After Transition, (Disertasi LL.M University of Hong Kong, Hong Kong, 2001), hlm. 1 Ibid
Laporan Tahunan HAM 2009, Tahun Ketidakpastian Hukum dan HAM atas nama Demokrasi, (KontraS,
2010), hlm. 25 George Clack, Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hlm. 3.
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Fajar Interpratama
Offset, 2003), hlm. 231. Sufyan, KKR “Gugur” Sebelum Bertempur, dalam Majalah Figur Edisi X, (2007),
hlm. 22. Ibid Wahyudi Djafar, Mengurai Kembali Inisiatif Negara dalam Penyelesaian Masa Lalu, (Jakarta:
ELSAM, 2012), hlm. 189. Candra, Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia sebagai
Penyelesaian Pelanggaran HAM di masa lalu, Skripsi Sarjana, (Jakarta : Unibversitas Indonesia, 2003),
hlm. 107. Edi Herdyanto, “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sebagai Alternatif Lain Dalam Penyelesaian
Pelanggaran H.A.M. Berat Masa Lalu”, Yustisia Edisi Nomor 69 (Sept. - Desember 2006), hlm. 7. Ibid, hlm.
9. Karlina Leksono dan Supelli, “Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi”, Jurnal Demokrasi dan HAM,
Vol 1 No. 3, (Jakarta : ID H-THC, 2001), hlm. 9. Ibid, hlm. 12. Muhammad Mihradi, “Menelaah Kebijakan
Penegakan Hak Asasi Manusia: Analisis Sosio Yuridis”, Jurnal Keadilan, Vol.2 No.2 (2002), hlm.21. Tim
Universitas Indonesia, Pendapat Universitas Indonesia Terhadap Rancangan Undang- Undang Republik
Indonesia Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, (makalah disampaikan dalam Rapat Dengar
Pendapat Umum dengan Pansus Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, 4 Desember 2003), hlm. 1. Lihat
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 Tentang
Pemantapan Persatuan Dan Kesatuan Nasional, BAB V angka 3. Rozali Abdullah, Perkembangan HAM
dan Keberadaan Peradilan Ham di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 10. Lihat dalam
Progress Report ELSAM (2), Penundaan Pembentukan KKR : Pengingkaran atas Platform Nasional dalam
Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Jakarta, 10 September 2006, hlm. 1- 2 Indonesia, Undang-
Undang Pengadilan HAM, Nomor 26, LN No. 208 Tahun 2000, TLN No. 4026, Pasal 47. Azyumardi Azra,
Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 47 Ibid
Indonesia, Undang-Undang Pengadilan HAM, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 43 dan Pasal 47. Indonesia,
Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, UU No. 21, LN No. 135 tahun 2001, TLN No. 4151,
bagian HAM, pasal 45 menentukan bahwa untuk memajukan memajukan, melindungi, dan menghormati
HAM di Provinsi Papua, Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional HAM, Pengadilan HAM, dan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal 46 dinyatakan bahwa tujuan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah dalam
rangka pemantapan persatuan dan kesatuan nasional. Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Mnusia dalam
Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002 (Jakarta:
Prenada Media, 2005), hlm. 7. Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi
Manusia di Indonesia, (Cet, 1; Bandung : PT. Alumni, 2001), hlm. 11. Ibid Moh. Mahfud MD, Hukum dan
Pilar-Pilar Demokarasi, (Cet, 1; Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 114. Briefing Paper, Making Human
Rights A Constitutional Rights, A Critique of Constitutional Court's Decision on the Judicial Review of the
Truth and Reconciliation Commission Act and Its Implication for Settling Past Human Rights Abuses,
ELSAM, 2007. Lihat Permohonan Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 tentang Uji Materiil UU No. 27 Tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tanggal 25 April 2006, hlm. 7. Ibid Darman Prist,
Sosialisasi dan Diseminasi penegakan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 23
Mark Freeman, Truth Commissions and Procedural Fairness, (New York: Cambridge University Press,
2006), hlm 89. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 006/PUU IV/2006,
Bagian Pertimbangan, hlm. 124. Ifdhal Kasim (2), “Penyelesaian Non-Prosekutorial Dan Rekonsiliatif
Terhadap Pelanggaran HAM Yang Berat”, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 16 (April 2009), hlm. 226-227. Javaid
Rehman, Internasional Human Right Law (Great Britain: Pearson Education Limited,2003), hlm. 68-69.
Fadli Andi Natsif, Perspektof Keadilan Transisional Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat,
diakses di https://core.ac.uk/download/pdf/234750616.pdf pada 22 Juni 2020. Laporan Tahunan HAM
2009, Tahun Ketidakpastian Hukum dan HAM atas nama Demokrasi, (KontraS, 2010), hlm. 24 Yohanes de
Masenus Arus, The Right to Know the Truth: Mencari Dasar Kerja Pengungkapan Kebenaran, (Cimacan:
2000), hlm. 4 Suzannah Linton (1), Putting thins into perspective: The Realities of Accountability in East
Timor, Indonesia, and Cambodia: 3 Maryland Seriesin Contemporary Asian Studies, (2005), hlm. 182.
(Lihat Indriaswaty D Saptaningrum (1), ibid.). Ifdhal Kasim (2), “Penyelesaian Non-Prosekutorial Dan
Rekonsiliatif Terhadap Pelanggaran HAM Yang Berat”, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 16 (April 2009), hlm. 36

This article is available in "Dharmasisya” Jurnal Program Magister Hukum FHUI: https://scholarhub.ui.ac.id/
dharmasisya/vol1/iss4/38
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

TINJAUAN YURIDIS DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM BERAT


MELALUI KOMISIKEBENARAN DAN REKONSILIASI DI AFRIKA SELATAN
DAN INDONESIA

Tshana Erfandi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Korespodensi: tshanaerfandi@gmail.com

Abstrak
Di beberapa negara saat ini berkembang satu cara menyelesaikan pelanggaran masa lampau dengan membentuk
sebuah komisi khusus. Komisi tersebut bekerja di luar pengadilan, parlemen maupun eksekutif.. Di Indonesia
sendiri Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan ketetapan mengenai pembentukan Komisi
Kebenaran Dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) pada tahun 2000. Ketetapan tersebut mempunyai maksud dan
tujuan untuk secara umum yaitu pemantapan persatuan dan kesatuan nasional mengindentifikasi permasalahan
yang ada, menentukan kondisi yang harus diciptakan dalam rangka menuju kepada rekonsiliasi nasional dan
menetapkan arah kebijakan sebagai panduan untuk melaksanakan pemantapan persatuan dan sebagai bangsa.
Sedangkan di Afrika Selatan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Promosi
Persatuan dan Rekonsiliasi Nasional, No. 34 tahun 1995. Mandat komisi adalah untuk memberikan kesaksian,
mencatat, dan dalam beberapa kasus memberikan amnesti kepada para pelaku kejahatan yang berkaitan dengan
pelanggaran hak asasi manusia, serta menawarkan reparasi dan rehabilitasi kepada para korban.
Kata kunci: HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Indonesia, Afrika Selatan

Abstract
Several countries are currently developing a solution to the problem by establishing a particular commission. The commission works
outside the courts, parliament and executive. In Indonesia, In Indonesia. The People's Consultative Assembly set a stipulation
regarding the establishment of the National Center for Truth and Reconciliation: (NCTR) in 2000. This stipulation has the intent
and purpose for national unity to identify existing problems, determine the conditions that must be made in order to achieve national
reconciliation and establish policy direction as a guide to carry out the consolidation of unity of a nation. Whereas in South Africa,
the National Center for Truth and Reconciliation: (NCTR) was established under the National Unity and Reconciliation
Promotion Act, No. 34 of 1995. Themandate of the commission is to prove, record, and in some cases grant amnesty to perpetrators
of crimes related to human rights, as well as to offer reparations and rehabilitation to victims.
Keywords: Human Rights, National Center for Truth and Reconciliation:, Indonesia, South Africa

I. PENDAHULUAN
Di beberapa negara saat ini berkembang satu cara menyelesaikan pelanggaran masa
lampau dengan membentuk sebuah komisi khusus. Komisi tersebut bekerja di luar pengadilan,
parlemen maupun eksekutif. Pertama, hal yang dilakukan oleh komisi tersebut adalah
menyelidiki ulang fakta-fakta pelanggaran HAM. Sebuah pengakuan secara terbuka atas tindak
kejahatan kemanusiaan oleh negara serta penyelesaiannya merupakan garis demarkasi yang
memilah otoritarianisme-demokrasi, dan berdasarkan pengakuan dan laporan penyelidikan
tersebut dibuatlah sejumlah tindakan.1 Tranformasi dari masa lampau yang penuh dengan
ketidakadilan dan berbagai pelanggaran HAM menuju pemerintahan demokratis yang ditandai
dengan penghormatan terhadap martabat manusia tidak dapat berlangsung utuh tanpa upaya
sungguh-sungguh untuk menyingkap latar belakang putusan politik serta tindakan pelaku dan
upaya menegakkan keadilan bagi korban.2
Lebih dari 20 bangsa dalam tempo 25 tahun terakhir ini telah mencoba untuk
menginstitusionalkan pencarian terhadap “kebenaran dan rekonsiliasi”, dan hal ini telah
memunculkan suatu disiplin akademis yang dinamakan “keadilan transisional” Menurut

1Agung Putri, Berjuang Mengungkap Kebenaran dan “Mengadili” Masa Lampau: Pengalaman Rakyat Negeri
Tertindas dalam buku Pencarian Keadilan di Masa Transisi, (Jakarta: ELSAM, 2002), hlm. 74.
2 Karlina Supelli, Berdamai Dengan Masa Lampau : Antara Pengampunan dan Penghukuman dalam buku

Pencarian Keadilan Di Masa Transisi, (Jakarta: ELSAM, 2002), hlm. 37.

2173
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

pengamatan Daan Bronkhorst, dalam konteks keadilan dalam masa transisi ini terdapat
beberapa kata yang menarik untuk didiskusikan. Kata-kata yang dipilih Bronkhorst ini juga
merupakan bagian dari parameter-parameter untuk menganalisis masalah-masalah yang
berkaitan dengan keadilan transisional ini.3
Pemerintahan-pemerintahan transisi berusaha menjawab masalah ini dengan mencoba
mendamaikan kecenderungan menghukum di satu sisi dengan kecenderungan memberi maaf
atau amnesti di sisi yang lain. Sehingga dapat dikatakan, kemampuan pemerintahan-
pemerintahan transisi itu terbatas pada usaha memberikan keadilan transisional, yang tidak
sepenuhnya memuaskan4 Kondisi-kondisi politik membatasi suatu Pemerintah yang
mengganti kediktatoran perihal jenis kebijakan yang diikutinya ketika berhadapan dengan
pelanggaran-pelanggaran HAM.5
Kesadaran pentingnya mengusut, mengungkap kebenaran dan meminta
pertanggungjawaban rezim masa lalu yang melakukan kejahatan kemanusian, secara teoritis,
diyakini banyak aktivis pro demokrasi merupakan jalan menuju demokrasi. Tidak mungkin
sebuah bangsa dapat hidup bersatu padu dalam damai di atas sejarah penuh luka dan
kekerasan. Proses transisi menuju demokrasi harus berjalan di atas proses sejarah yang jujur,
adil dan bertanggung jawab. Pemerintahan yang baru harus menemukan jalan keluar untuk
meneruskan detak nadi kehidupan, menciptakan ulang ruang nasional yang damai dan layak
dihuni, membangun semangat dan upaya rekonsiliasi dengan para musuh masa lampau, dan
mengurung kekejaman masa lampau dalam sangkar masa lampaunya sendiri.6
Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa komisi kebenaran didasari oleh
pentingnya melakukan catatan yang akurat atas pengalaman masa lalu (historical record of past
abuses) yang berguna untuk mencegah terjadinya peristiwa yang sama terulang.7 Fungsi penting
lainnya adalah, dengan adanya proses ini mendorong adanya pengakuan resmi atas
pelanggaran HAM yang terjadi, dan negara secara publik mengakui kesalahan atas terjadinya
pelanggaran HAM di masa lalu. Selain itu, catatan tentang pelanggaran HAM yang terjadi akan
mampu merekomendasikan berbagai langkah-langkah penting untuk adanya akuntabilitas,
pemulihan kepada korban, dan rekomendasi perbaikan institusi dan adanya kebijakan untuk
memastikan pelanggaran serupa tidak terulang.8
Rezim baru atau demokrasi baru membutuhkan legitimasi sebagai dasar stabilitas
politik. Pengadilan dinilai banyak praktisi hukum sebagai hal yang penting untuk menunjukkan
supremasi nilai-nilai dan norma-norma demokrasi agar kepercayaan rakyat dapat diraih.9
Kegagalan mengadili, sebaliknya dapat menyebabkan sinisme dan ketidakpercayaan rakyat
terhadap sistem politik. Sejumlah analis percaya bahwa pengadilan dapat meningkatkan
konsolidasi demokrasi jangka panjang. Salah satu argumennya yaitu bahwa jika tidak ada
kejahatan yang diselidiki dan diadili, maka tidak akan tumbuh rasa percaya maupun norma
demokrasi dalam masyarakat, dan karena itutidak akan ada konsolidasi demokrasi yang

3 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi HTN- FHUI,

2008), hlm. 26.


4 Tjipta Lesmana, “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi : Permasalahan dan Prospeknya, dalam IMW

Review”, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V, No. l, (Juli 2005), hlm. 280.
5 Satya Arinanto, Politik Hukum 2 , (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2001), hlm. 586.


6 Ifdal Kasim, dkk (ed.), Setelah Otoritarianisme Berlalu: Esai-Esai Keadilan di Masa Transisi, ELSAM,

Jakarta, 2001, hlm. vi.


7 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 212.
8 Rozali Abdullah, Perkembangan HAM dan keberadaan Peradilan HAM di Indonesia (Jakarta : Ghalia

Indonesia, 2001), hlm. 10.


9 Samuel Huntington, Third Wave: Democratization in the late Twentieth Century, (University of Oklahoma

Press, 1991), hlm. 114-124.

2174
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

sesungguhnya.10
Mengikuti Luc Huyse (1995), truth is both retribution and deterrence, kebenaran selalu
bermakna sebagai dera penghukum dan penggentar. Selain itu, dalam spektrum retribusi-
rekonsiliasi, responsibilitas atau sikap ideal yang kita ambil adalah selective punishment, model
yang mengedepankan penagihan tanggung jawab formal atau legal secara selektif. Oleh karena
itu, tipe transisi kita adalah replacement (penggantian) yang diinisiasi rakyat sendiri, yang
cocok dengan model selektif ini.11
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun permasalahan yang akan penulis bahas
adalah:
1. Bagaimana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi penyelesaian pelanggaran HAM berat
dilihat dari sejarah dan kasus di Afrika Selatan?
2. Bagaimana mekanisme dan pengaturan mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di
Indonesia dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat?

II. PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Pelanggaran Ham Berat di Afrika Selatan
Dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat dimasa lalu, terdapat empat pola yang
lazimnya dapat dipilih. Sebagai sebuah spektrum, keempat opsi itu bergerak dari:12
1. Never to forget, never to forgive (tidak melupakan dan tidak memaafkan, yang berarti
”adili dan hukum”);
2. Never to forget but to forgive (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan, yang
berarti ”adili dan kemudian ampuni”);
3. To forget but never to forgive (melupakan tetapi tidak pernah memaafkan, yang artinya
tidak ada pengadilan tetapi akan dikutuk selamanya);
4. To forget and to forgive (melupakan dan memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan dan
dilupakan begitu saja).
Setelah runtuhnya pemerintahan fasis di bawah Hitler, Jerman dengan bantuan negara-
negara sekutu dan menerapkan pola pertama13 yaitu Never to forget, never to forgive (tidak
melupakan dan tidak memaafkan, yang berarti ”adili dan hukum”), sebaliknya Spanyol,
memilih pola keempat yaitu To forget and to forgive (melupakan dan memaafkan, yang
artinya tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu saja) segera setelah jatuhnya diktaktor
Franco di era 1970-an. Sementara itu, Korea Selatan, menerapkan pola kedua yaitu pada kasus
kedua mantan presidennya.14
Afrika Selatan memilih pola kedua dengan penekanan lebih pada pendekatan
disclosure melalui Truth and Reconcilliation Commission (KKR) daripada pengadilan,
sedangkan pola ”to forget but never to forgive” pada dasarnya dapat ditemukan pada cara
masyarakat Eropa melihat Inquisition yang dilakukan pada penganut ajaran Protestan di
Eropa selama abad pertengahan.15
10 Lihat Laurence Whitehead, “The Consolidation of Fragile Democracies” in Robert Pastor (ed.),

Democracies in the Americas: Stopping the Pendulum, (New York: Holmes and Meier, 1989), hlm. 84.
11 Lihat Luc Huyse, Justice after Transition: On the Choices Successor elites Make in Dealing with the Past, (20 Lw

& Social Inquery, Winter, 1995), hlm 47


12 Herry Sucipto dan Hajriyanto Y. Thohari, “Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, dalam

Dignitas”, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. VIII No. 1 (2012), hlm. 76-77.
13 Piet Meiring, “Truth and Reconciliation: The South African Experience”, dalam William E van Vugt,

G Daan Cloete (eds), Race and Reconciliation in South Africa. Lanham, Boulder, New York, (Oxford: Lexington
Books, 2000), hlm v.
14 Teitel, G. Ruteil. Transisional Justice, Keadilan Transisional, Sebuah tinjauan Komprehensif, alih bahasa,

Eddie Riyadi Terre, cet. Ke-1, (Jakarta, Elsam, 2004), hlm ix-x.
15 Piet Meiring, “Truth and Reconciliation in Post-Apartheid South Africa”. Makalah dalam National

2175
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

1. Apartheid di Afrika selatan


Apartheid adalah sebuah kata dalam bahasa Afrika yang berarti “pemisahan”,
merupakan suatu sistem sosial yang diterapkan oleh pemerintahan minoritas kulit putih di
negara Afrika Selatan yang didasarkan atas diskriminasi rasial terhadap rakyat bukankulit putih.
Sejarah penerapan politik apartheid diawali dengan politik segregasionist yang
diterapkan dalam kebijakan buruh terutama di bidang pertambangan yang pada waktu itu
menjadi salah satu industri besar di Afrika Selatan.16 Kebangkitan sistem produksi sekunder
memunculkan industri yang membutuhkan buruh murah dalam jumlah banyak. Politik
segregasi di munculkan sebagai strategi dari kelas pengusaha kulit putih untuk memperoleh
buruh murah sehingga dapat menekan biaya industri yang baru berkembang pada waktu
itu.1718 Perekonomian Afrika Selatan selama 1946-1973, mengalami kenaikan yang tidak
signifikan. Perekonomian tetap ditopang dari hasil pengolahan industri kimia dan
plastik,sedangkan penambangan emas di OFS, mengalami kenaikan harga pada 1970-an.
Pertanian yang dijalankan oleh orang kulit putih mengalami modernisasi (dengan
menggunakan mesin).Sedangkan populasi penduduk Afrika Selatan selama 1960-1985,
mengalami pertumbuhanyang cepat. Orang kulit hitam Afrika jumlahnya meningkat dari 39-
59% dari totalpenduduk,sedangkan penduduk kulit putih bertambah dua kali lipat pada kurun
waktu yang sama.Pada masa apartheid sektor pertanian afrika selatan hanya digunakan untuk
memenuhi kebutuhansehari-hari,lalu pada masa apartheid juga pertambangan yang dikuasai
oleh ras kulit putihmenjadikan para ras kulit hitam menjadi miskin.18
Penanda formal politik pemisahan berdasarkan ras yang melegitimasi dominasi kulit
putih sebagai kelas dominan di Afrika Selatan dimulai sejak tahun 1948 pasca kemenangan
National Party. Pada tahun 1960an terjadi tragedi Sharpville yang memakan korban 69 orang
dan ratusan orang lain terluka akibat tindakan represif pasukan pemerintah yang mengarahkan
tembakan langsung ke arah para demonstran. Sebagai kelanjutan dari peristiwa tersebut
pemerintah melarang aktivitas ANC dan Pan Africa Congress (PAC) yang merupakan
representasi perjuangan emansipasi hak-hak politik kulit hitam di Afrika Selatan.19
Kemenangan African National Congress dan naiknya Nelson Mandela ke tampuk
kursi presiden bukan merupakan titik kulminasi demokrasi Afrika Selatan. Proses
demokratisasi Afrika Selatan justru ditentukan oleh upaya-upaya rekonsiliasi pasca apartheid
sebagai bentuk perwujudan nyata demokrasi. Afrika Selatan menempuh berbagai jalan
rekonsiliasi baik rekonsiliasi politik yang berbasis pada perubahan peran negara yang lebih adil
dan demokratis serta rekonsiliasi sosial pada tataran akar rumput hingga hubungan sosial
masyarakat bahkan antar individu tidak lagi diadasarkan pada trauma diskriminasi dan konflik
politik di masa lalu.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan

2. Sejarah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan


Pemikiran mengenai komisi kebenaran sudah diusulkan sejak tahun 1992, namun baru

Reconciliation: Learning From South Africa. Jakarta, (Maret 2001), hlm. 31.
16 Ibid
17 Harold Wolpe, “Capitalism and Cheap Labour Power in South Africa; From Segregation to

Apartheid” artikel dalam William Beinart & Saul Dubow, Segregation and Apartheid in 20th Century South Africa,
(London: Routlegde, 1995), hlm. 60-63.
18 John Lliffe, Industrialisation and Race in South Africa 1886-1994, Africans: The History of Continent, (New

York: Cambridge University Press, 2007), hlm. XII.


19 Robert C. Cottrell, 2005, South Africa, A State of Apartheid, Chelsea House Publisher, USA, chapter

I; The Sharpville Massacre, p;3-5

2176
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

setelah Nelson Mandela dipilih sebagai presiden pada tahun 1994 pembicaraan serius
mengenai bentuk komisi kebenaran nasional dilakukan.20 Isu yang paling menjadi masalah
selama negosiasi dalam penyusunan konstitusi sementara pada akhir tahun 1993 adalah soal
apakah diberikan amnesti atau tidak bagi para pelanggar, sebagaimana diinginkan militer dan
pemerintah.21
Pada saat-saat terakhir, disepakati bagian penutup konstitusi yang menyatakan bahwa
amnesti akan diberikan terhadap tindakan, kelalaian dan pelanggaran yang berkaitan dengan
tujuan politik dan terjadi dalam lingkup konflik di masa lalu.Kemudian amnesti ini dikaitkan
dengan proses penemuan kebenaran. Setelah mendapat cukup masukan dari masyarakat,
termasuk dua konferensi internasional untuk meneliti kebijakan keadilan transisional di negara-
negara lain, parlemen Afrika Selatan mengesahkan Undang-Undang Promosi Persatuan dan
RekonsiliasiNasional pada pertengahan tahun 1995.22
Komisi ini dirancang untuk bekerja dalam tiga komite yang saling terkait yaitu Komite
Pelanggaran Hak Asasi bertanggung-jawab untuk mengumpulkan pernyataan dari para korban
dan saksi dan mencatat sejauh mana terjadinya pelanggaran hak asasi, Komite Amnesti
memproses dan memutuskan aplikasi individual untuk amnesti, dan Komite Pemulihan dan
Rehabilitasi merancang danmengajukan saran untuk program pemulihan.2324

3. Pencapaian Komisi Kebenaran di Afrika Selatan


KKR dibentuk berdasarkan Undang-Undang Promosi Persatuan dan Rekonsiliasi
Nasional, No. 34 tahun 1995, dan berpusat di Cape Town. Sidang dimulai pada tahun 1996.24
Mandat komisi adalah untuk memberikan kesaksian, mencatat, dan dalam beberapa kasus
memberikan amnesti kepada para pelaku kejahatan yang berkaitan dengan pelanggaran hak
asasi manusia, serta menawarkan reparasi dan rehabilitasi kepada para korban. Sebuah daftar
rekonsiliasi juga dibuat sehingga orang Afrika Selatan biasa yang ingin menyatakan penyesalan
ataskegagalan masa lalu juga bisa mengungkapkan penyesalan mereka.25
Terobosan terpenting dan kekuatannya yang paling kontroversial dari KKR di Afrika
Selatan adalah pemberian amnesti individual bagi kejahatan bermotif politik yang dilakukan
antara tahun 1960 hingga bulan April 1994. Afrika Selatan melahirkan aturan pemberian
amnesti dari hasil negosiasi politik yang rumit antara kekuatan politik Apartheid dengan anti-
Apartheid.26 Kekuatan politik Apartheid bersedia memuluskan perjalanan transisi ke
demokrasi jika mereka diberi garansi tidak diajukan ke pengadilan. Mandela berhasil
mengawinkan pemberian amnesti dengan proses penemuan kebenaran dan pemberian
kompensasi pada korban. Di Afrika Selatan, pemberian amnesti berdasar kemauan pelaku
(secara individual) dan mengakui perbuatannya secara jujur.27
Komisi Afrika Selatan memiliki kekurangan karena meninggalkan sistem pengadilan

20 Kader Asmal, Victims, Survivors and Citizens – Human Rights, Reparations and Reconciliation: South African
Journal on Human Rights 8, No. 4 (1992), hlm. 491-511.
21 Priscilla B. Hayner, Kebenaran Tak Tebahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan

dan Harapan, [Unspeakable Truth: Facing the Challenge of Truth Commissions], diterjemahkan olehTim ELSAM, (Jakarta:
ELSAM, 2005), hlm. 43.
22 Ibid, hlm. 45.
23 Alex Boraine, A Country Unmasked, Inside South Africa’s Truth and Reconciliation Commission, (Oxford:

OUP, 2000), hlm. XVII.


24 Herry Sucipto, Penanganan Pelanggaran HAM, hlm. 88.
25 Jeremy Sarkin Hughes, Carrots and Sticks: The TRC and the South African Amnesty Process,

(Oxford:Interseptia, 2004),hlm. 219.


26 Piet Meiring, Chronicle of the Truth Commission. A journey through the past and present – into the future of South

Africa, (Vanderbijlprak: Cape Diem Books,1998), hlm. 34.


27 Rhona KM Smith., dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), hlm. 377.

2177
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

regular di pinggiran, ketika ia harusnya berperan sebagai protagonist dalam membangun


kredibilitas sistem legal. Hal penting lainnya adalah bahwa lingkup politik harus digunakan
untuk mendukung kedaulatan hukum, bahkan sekalipun negara mengampuni yang salah.28
Sidang yang pertama dari 1003 yang diadakan secara internasional untuk mengadakan audiensi
publik, dipandang oleh banyak orang sebagai komponen penting dari transisi menuju
demokrasi penuh dan bebas di Afrika Selatan. Meskipun ada beberapa kekurangan, umumnya
(meskipun tidak secara universal) dianggap berhasil.29 Komisi menemukan lebih banyak bahwa
19.050 orang telah menjadi korban pelanggaran berat hak asasi manusia. 2.975 korban
tambahan diidentifikasi melalui aplikasi amnesti. Dalam melaporkan angka-angka ini, Komisi
menyatakan penyesalannya bahwa ada sangat sedikit tumpang tindih korban antara mereka
yang mencari restitusi dan mereka yang mencari amnesti.30
KKR Afrika Selatan menjadi tempat pengungkapan penyesalan para pelaku kejahatan
yang menjadi wahana pengobatan (healing) para koban. Kritik tentu saja ada, terutama karena
KKR Afrika Selatan tidak dapat memenuhi keadilan prosedural dan formal sebagaimana bila
jalur legal yang ditempuh, namun tidak dapat dipungkiri, Afrika Selatan telah menjadi kiblat
utama bagi upayapenyelesaian pelanggaran HAM.31

4. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam Kasus Kamp ANC


Sebuah kasus menarik dalam berbagai model komisi kebenaran, komisi pelanggaran
hak asasi, Komite Amnesti memproses dan memutuskan aplikasi individual untuk amnesti,
dan Komite Pemulihan dan Rehabilitasi merancang dan kebenaran ANC merupakan satu-
satunya contoh komisi kebenaran yang dibentuk oleh kelompok perlawanan bersenjata untuk
menyelidiki dan mengumumkan pelanggarannya sendiri. Sebagaimana dengan komisi
kebenaran bentukan pemerintah, ANC tidak membentuk komisi ini semata-mata karena
inisiatifnya sendiri. Telah terdapat banyak keluhan mengenai pelanggaran dalam kamp-kamp
tahanan ANC.32
Tugas Komisi Penyelidikan ini sebagaimana ditentukan oleh ANC memerintahkan
mereka untuk “melakukan penyelidikan yang lengkap dan mendalam” terhadap keluhan
mantan tahanan, dan memberikan saran untuk tindakan yang sebaiknya diambil ANC sebagai
hasil temuan komisi itu. Dua dari tiga anggota komisi itu adalah anggota ANC, namun yang
ketiga (sekaligus penulis laporan) tidak berafiliasi dengan ANC. Setelah tujuh bulan, komisi
menyerahkan kepada Mandela sebuah laporan setebal 74 halaman yang lugas, mencatat
“kebrutalan mengejutkan” di kamp-kamp ANC yang sudah terjadi.33
Laporan itu mencatat bahwa penyiksaan dan pelanggaran lain secara teratur dilakukan
terhadap para tahanan. Meskipun tidak menyebutkan nama mereka yang bertanggung-jawab,
laporan tersebut menyarankan bahwa “perhatian segera diberikan untuk melakukan
identifikasi dan menyikapi mereka yang bertanggungjawab terhadap pelanggaran kepada para
tahanan”. Laporan tersebut juga menyerukan agar ANC bertanggung-jawab untuk
28 Robert O. Weiner, “Trying to Make Ends Meet: Reconciling the Law and Practice of Human Rights

Amnesties”, dalam St. Mary’s Law Journal 26, 1995, hlm. 873-875.
29 Madeleine Fullard dan Nicky Rousseau, "Truth-Telling, Identities and Power in South Africa and

Guatemala", diakses dari https://www.ictj.org/sites/default/files/ICTJ-Identities-TruthCommissions-


ResearchBrief-2009-English.pdf pada 21 Juni 2020.
30 “The Truth and Reconciliation Commission of South Africa Report”, Vol 7, The Truth and

Reconciliation Official Website, (2002), hlm. 1.


31 Rhona KM Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, hlm. 381.
32 Dipoyudo Kirdi, Afrika dalam pergolakan 2, (Jakarta : Yayasan Proklamasi Centre for strategic and

internasional studies, 1983), hlm 72-73.


33 Peter Bouckaert, South Africa; The Negotiated Transition from Apartheid to Nonracial

Democracy akses dari http://www.wilsoncenter.org/subsites/ccpdc/pubs/words/9.pdf, pada 21 Juni 2021.

2178
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

“membersihkan dirinya sendiri”. Komisi juga menyarankan agar laporan tersebut diterbitkan
dan dibentuk sebuah badan independen untuk menyelidiki lebih lanjut penghilangan dan
kejadian lain yang berada di luar lingkup kerja komisi ini.34 Laporan tersebut segera diumumkan
ke masyarakat dan pers, meskipun kemudian ANC mulai mempertanyakan akurasi laporan
tersebut dan menolak untuk mendistribusikannya lebih lanjut.Laporan ini mendapatkan
perhatian internasional yang cukup dan memaksa ANC untuk memberikan jawaban terbuka
terhadap tuduhan tersebut, dimana Nelson Mandela mengambil alih tanggung jawab kolektif
sebagai pimpinan ANC untuk “pelanggaran dan kesalahan prosedural yang serius” yang sudah
terjadi, namun menekankan bahwa tidak perlu menyalahkan individu atau menuntut tanggung
jawab individual.35
Pada Kongres Nasional Afrika II, segera setelah komisi ANC yang pertama
menyelesaikan kerjanya pada tahun 1992, presiden ANC, Nelson Mandela, membentuk
sebuah komisi penyelidikan lagi untuk menyikapi tuduhan pelanggaran di kamp-kamp tahanan
ANC. Komisi pertama dikritik karena bias (dua dari tiga anggotanya adalah anggota ANC) dan
tidak memberikan cukup kesempatan bagi para tertuduh untuk membela diri. Bahkan, komisi
pertama tersebut menyarankan agar “dipertimbangkan pembentukan sebuah badan
independen yang dianggap imparsial, dan mampu mendokumentasikan kasus-kasus
pelanggaran dan menjalankan saran-saran yang ada dalam laporan komisi ini".36
Sebuah komisi yang baru yaitu Komisi Penyelidikan terhadap Tuduhan Kekejaman
dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Tahanan ANC oleh Anggota ANC diketuai
oleh tiga orang, satu dari Amerika Serikat, Zimbabwe dan Afrika Selatan, yang dianggap
independen. Komisi ini sangat berbeda dengan komisi ANC yang pertama. Ia berjalan mirip
pengadilan formal, dengan pengacara untuk mewakili para korban dan sebuah tim pembela
untuk mewakili para tertuduh, yaitu mereka yang dituduh melakukan pelanggaran. Komisi ini
melaksanakan dengar-kesaksian publik selama lima minggu pada musim panas tahun
1993, dengan sekitar 50 orang saksi, termasuk 11 tertuduh pelanggar hak asasi manusia. Para
tertuduh diberi kesempatan untuk mengkonfrontasi dan bertanya kepada para korban, dan
didampingi oleh pengacara yang mereka tunjuk sendiri. Hal ini memperkuat pandangannya
bahwa untuk tidak mencampur-adukkan fungsi peradilan dengan pencari kebenaran. Namun,
laporan komisi ini diterima secara positif dan diiserahkan pada bulan Agustus 1993, yang
kesimpulannya ternyata serupa dengan laporan komisi pertama, yaitu menunjukkan
pelanggaran berat di kamp-kamp tahanan ANC selama beberapa tahun.37
Format laporan ini juga agak berbeda dengan laporan pertama. Setelah secara singkat
menggambarkan peristiwa yang terjadi, jenis dan jumlah pelanggaran, dan sebab struktural
serta pola-pola pelanggaran, laporan ini berkonsentrasi pada deskripsi masing-masing kasus
yang ia tangani, dan ditutup dengan daftar individu yang melanggar hak masing-masing korban
dan hak-hak apa saja yang dilanggar.38 ANC merespon laporan ini dengan pernyataan panjang
yang memuji komisi itu untuk kerjanya, menerima kesimpulannya secara garis besar (walaupun

34 Harold Wolpe; Capitalism and Cheap Labour Power in South Africa; From Segregation to Apartheid
artikel dalam William Beinart & Saul Dubow, (1995), Segregation and Apartheid in 20th Century South Africa,
Routlegde, London, p. 60‐63.
35 Robert C. Cottrell, 2005, South Africa, A State of Apartheid, Chelsea House Publisher, USA, chapter

I; The Sharpville Massacre, p;3‐5


36 Report of the Commission of Enquiry into Complaints by Former African National Congress Prisoners and Detainees,

1992, hlm. 70-71. (Dalam Priscilla B. Hayner, hlm. 60).


37 Reports of the Commission of Enquiry into Certain Allegations of Cruelty and Human Rights Abuse against ANC

Prisoners and Detainees by ANC Members, Johannesburg, 20 Agustus 1993, p-ii.


38 Marissa Traniello, “Power Sharing, Lesson from South Africa and Rwanda”, International Public

Policy Review, Vol. 3 No. 2, (2008), hlm. xxi.

2179
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

membantah adanya kebijakan pelanggaran secara sistematis), dan menyerukan pembentukan


komisi kebenaran untuk meneliti pelanggaran oleh kedua pihak yang bertikai di Afrika Selatan
sejak tahun 1948, dan hanya delapan bulan kemudian, ANC memenangkan pemilihan
presiden demokratis pertama di negara itu dan mengkonkretkan seruan mereka untuk komisi
kebenaran tersebut.39

B. Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Di Indonesia


1. Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
Periode transisi demokrasi, dari rezim otoriter ke demokratis, seharusnya diisi oleh
pemerintahan baru dengan beragam langkah dan tindakan, dalam rangka menyelesaikan kasus-
kasus kejahatan HAM, yang terjadi ketika pemerintahan otoriter berkuasa. Proses ini penting
dilakukan, guna meminimalisir ganjalan sejarah, yang bisa menjadi hambatan dalam perjalanan
bangsa ke depan.4041 Berikut ini beberapa contoh kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu
yang sudah diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc, maupun kasus yang belum
terselesaikan hingga saat ini.

2. Kasus Timor Timur 1999


Sejak pertengahan tahun 1974 Indonesia mulai menjalin kontak dengan pendukung
integrasi Timor Timur. Setelah konflik bersenjata antara UDT dengan Fretilin dimulai,
kontak-kontak ini berlanjut menjadi operasi-operasi gabungan diTimor Timur bersama
anggota Apodeti dan UDT.41 Waktu antara bulan Agustus sampai September 1975 merupakan
periode konflik horizontal di Timor Timur. Sejak Oktober 1975, ciri-ciri konflik vertikal mulai
semakin menguat dengan semakin terlibatnya militer Indonesia bersama kelompok-kelompok
pro-integrasi Timor dan mengukuhkan kehadirannya di Timor Timur. Perkembangan konflik
di Timor Timur juga dicirikan oleh dimensi horizontal maupun vertikal. Fretilin
memproklamasikan deklarasi kemerdekaan sepihak tanggal 28 November 1975. Deklarasi ini
tidak diakui oleh pemerintah Portugal. Dua hari kemudian, empat partai politik, UDT,
Apodeti, KOTA dan Trabalhista memproklamasikan keinginan mereka untuk
mengintegrasikan Timor Timur ke dalam Indonesia, dikenal sebagai Deklarasi Balibo. Portugal
tidak mengakui kedua deklarasi karena masih menganggap dirinya sebagai “penguasa
administratif,” dan tetap berpendapat bahwa persoalan Timor Portugis harus diselesaikan
melalui sebuah referendum yang melibatkan semua partai politik.42
Berbagai tindak kekerasan di Timor Timur menguat setelah militer Indonesia
memasuki wilayah Timor Timur pada 1975. Sejak September 1975, pasukan Indonesia mulai
menyusup ke Timor Timur melewati perbatasan dari Timor Barat yang dikuasai Indonesia.4344
Pada 6 Juni 1998, Gubernur Timor Timur Abilio Soares mengemukakan adanya proposal
tentang Daerah Otonomi Khusus (DOK) Timor Timur. Oleh karena gejolak yang sering
terjadi di wilayah Timor Timur itu, maka pemerintah RI mengumumkan tawaran Opsi I
berupa otonomi khusus pada 9 Juni 1998 menjelang pembicaraan bantuan pemulihan
ekonomi dengan IMF dan mengeluarkan opsi II pada 27 Januari 1999 yang menyangkut masa

39 Ibid
40 ELSAM, “Pemeriksaan Permulaan Perkara Pelanggaran HAM yang Berat Berdasarkan UU No. 26
Tahun 2000”, Position Paper, (2010), hlm. 3.
41 Julius Pour, Benny: Tragedi Seorang Loyalis, (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2007), hlm. 183-188.
42 Comunicado Comissão Nacional de Descolonização, point 6 (29 November 1975); United Nations

Department of Political Affairs, Trusteeship and Decolonization, No 7, August 1976, hlm. 44.
43 Komnas Perempuan, Kumpulan Ringkasan Eksekutif: Laporan Investigasi Pelanggaran HAM di Timor

Timur, Maluku, Tanjung Priok dan Papua 1999 – 2001, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2003), hlm. 7.

2180
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

depan Timor Timur, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus.44 Tawaran Opsi I ini
mendapat sambutan dengan demonstrasi menuntut referendum dan kemerdekaan Timor
Timur di depan kantor Departemen Luar Negeri Jakarta oleh para pemuda dan mahasiswa
Timor Timur pada 12 Juni 1998.45
Jajak pendapat yang menawarkan kedua opsi tersebut pun diselenggarakan serentak di
Timor Leste pada tanggal 30 Agustus 1999. Pada tanggal 4 September 1999 hasil jajak
pendapat tersebut diumumkan: 94.388 (21,5%) memilih usul otonomi khusus dan 344.580
(78,5%) merdeka. Semenjak itulah Timor Leste resmilepas dari kedaulatan Indonesia.46
Sejak 1974 hingga jajak pendapat tahun 1999 telah tercatat ada beberapa pelanggaran
HAM yang terkategorikan sebagai pelanggaran HAM berat dalam aspek kejahatan terhadap
kemanusiaan. Selama kurun waktu kurang lebih 24 tahun itu ada sekitar 200.000 sampai
250.000 orang, atau sekitar sepertiga jumlah penduduk Timor Timur tewas akibat perang,
akibat kelaparan dan penyakit, juga akibat teror brutal yang dilancarkan tentara Indonesia.
Tahun 1999, milisi Indonesia membunuh sekitar 1.500 orang.
Maliana tanggal 8 September 1999, Kabupaten Bobonaro. Seluruh rangkaian kejahatan
terhadap kemanusiaan tersebut merupakan tanggung jawab tiga kelompok pelaku, yakni :47
1. Para pelaku yang secara langsung berada di lapangan yakni para milisi, aparat militer dan
kepolisian;
2. Mereka yang melaksanakan pengendalian operasi termasuk, tetapi tidak terbatas pada
aparat birokrasi sipil terutama para bupati, gubernur dan pimpinan militer serta kepolisian
lokal;
3. Pemegang tanggung jawab kebijakan keamanan nasional, termasuk tetapi tidak
terbatas pada, para pejabat tinggi militer baik secara aktif maupun pasif telah terlibat
dalam kejahatan tersebut;
4. Keterlibatan aparat sipil dan militer termasuk kepolisian bekerja-sama dengan kelompok
milisi pro-integrasi dalam kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut merupakan
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang sehingga mengakibatkan keterlibatan baik
institusi militer maupun instansi sipil.48

3. Kasus Tanjung Priok (12 September 1984)


Kasus ini bermula dari kedatangan anggota Babinsa Koja Selatan pada 7 September
1984 yang bernama Hermanu ke dalam musholla As’saadah di gang IV Koja, Tanjung Priok.
Dia meminta kepada para remaja musholla untuk mencopot pamflet yang menempel di salah
satu sudut dinding mushollah tersebut karena berisi hasutan dan bersidat SARA.4950 Karena
permintaan itu ditolak, keesokan harinya Hermanu datang kembali, kemudian menghapus
poster itu dengan koran yang dicelup air got. Melihat itu massa berkerumun, tetapi Hermanu
sudah pergi. Maka, beredarlahdesas desus “ada sersan masuk musala tanpa melepas sepatu dan

44 Wiranto, Selamat Jalan Timor Timur: Pergulatan Menguak Kebenaran, (Jakarta: Institute for Democracy

of Indonesia, 2003), hlm. 83-86.


45 Zacky Anwar Makarim, et.al., Hari-Hari Terakhir Timor Timur: Sebuah Kesaksian, (Jakarta: PT. Sportif

Media Informasindo, 2010), hlm. xxiii.


46 Idi Subandi Ibrahim (ed), Selamat Jalan Timor Leste, Pergulatan Menguak Kebenaran: Indonesia, (Jakarta:

2002), hlm. 185.


47 Sriyana, Komisi Nasional HAM : Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007,

(Jakarta: ELSAM, 2007), hlm. 10.


48 Joko Setiyono, “Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) dalam Pelanggaran Ham

Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia)”, (Disertasi Doktor Universitas Diponegoro,
Semarang, 2010), hlm. 142.
49 Pusat Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI), Tanjung Priok Berdarah, Tanggung Jawab Siapa?

Kumpulan data dan fakta, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 26.

2181
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

mengotorinya”. Massa rupanya termakan isu itu, lalu membakar sepeda motor Hermanu
yang lari meninggalkan lokasi.50 Kasus yang terjadi pada 1984 ini dipicu oleh penahanan
Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M. Nur di Markas Komando
Distrik Militer(Makodim).51 Mereka ditangkap oleh Polres Jakarta Utara, kemudian ditahan di
Kodim Jakarta Utara. Pengurus Musholla kemudian meminta bantuan Amir Biki, seorang
tokoh, untuk membebaskan empat pemuda yang ditahanKodim itu.
Menurut LB Moerdani, gerombolan massa yang mengikuti pengajian berjumlah sekira
1500 orang, membawa parang, clurit, linggis dan bensin. Mereka tidak mau berdialog dengan
15 orang petugas yang menjaga kantor polisi di jalan Yos Sudarso, bahkan memaki-maki
petugas, dan mendesak terus maju dengan mngayun-ayunkan clurit dan berusaha merebut
senjata petugas keamanan. Dalam jarak yang membahayakan petugas memberikan tembakan
peringatan ke udara. Namun karena tidak di hiraukan, tembakan diarahkan ke tanah dan kaki
massa, sehingga menimbulkan korban. Karena massa menyerang lagi dan petugas dalam
keadaan kritis, maka tembakan mematikan diarahkan kepada penyerang.52
Menurut laporan Komnas HAM, penembakan dilakukan oleh Artileri Pertahanan
Udara TNI AU. Akibatnya, 79 orang jadi korban, 24 di antaranya meninggal serta sisanya
mengalami luka-luka. Temuan ini diperoleh dari penyelidikan tim yang dibentuk oleh Komnas
HAM.53

4. Tragedi ’65 (Pembunuhan Massal 1965)


Pembunuhan para Jenderal dalam peristiwa 30 September 1965 baru awal dari
kejadian mengerikan yang akan terjadi bertahun-tahun kemudian. Orde Baru menuding PKI
bertanggung jawab atas kudeta yang gagal itu dan menghukum mereka dengan cara keji. Warga
yang dianggap sebagai komunis dihabisi tanpa pengadilan, sebagai bagian dari operasi
pembersihan PKI. 500 ribu hingga 3 juta orang tewas, menurut perkiraan Komnas HAM.
Ribuan lainnya diasingkan, dan jutaan orang lain harus hidup dengan stigma PKI.54
Pihak yang layak dimintai pertanggung jawaban versi Komnas HAM adalah Komando
Operasi Pemulihan Keamanan semua pejabat dalam struktur Kopkamtib 1965-1968 dan
1970-1978 serta semua panglima militer daerah saat itu. Pelanggaran HAM berat ini tak ada
dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah selama Orde Baru.55
Dalam perkembangannya, sejak Maret 2008 Komnas HAM melakukan penyelidikan
pro justicia terhadap dugaan pelanggaran HAM berat kasus 1965. TimAd hoc ini juga
menindaklanjuti hasil kajian Komnas periode sebelumnya mengenai tahanan 65-66 di Pulau
Buru. Korban berharap, pemeriksaan ini bisa menjadi langkah awal bagi upaya pengakuan
Negara atas peristiwa yang memundurkan peradaban kemanusaiaan di tahun 1965-1966.
Ribuan atau bahkan jutaan korban yang menderita atas peristiwa tersebut berharap adanya
rekomendasi pertanggungjawaban para pelaku kejahatan, sekaligus melahirkan rekomendasi
yangbisa memulihkan hak-hak keperdataan mereka.56
50 Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia; Melanggengkan Impunity, (Jakarta: Penerbit Erlangga,

2012), hlm. 137.


51 KontraS (1), Reproduksi Ketidakadilan Masa Lalu : Catatan Perjalanan Membongkar Kejahatan HAM

Tanjung Priok 1984, (Jakarta: Kontras, 2008), hlm. 1.


52 AM Fatwa, Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok, Pengungkapan Kebenaran Untuk Rekonsiliasi Nasional,

(Jakarta: Dharmapena Publishing, 2005), hlm. 67.


53 KontraS (1), Reproduksi Ketidakadilan, hlm. 7.
54 Agung Yudhawiranata, Dealing with Past Violation of Human Rights: The Problem of Indonesia After

Transition, (Disertasi LL.M University of Hong Kong, Hong Kong, 2001), hlm. 1
55 Ibid
56 Laporan Tahunan HAM 2009, Tahun Ketidakpastian Hukum dan HAM atas nama Demokrasi,

(KontraS, 2010), hlm. 25

2182
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

C. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia


Sejarah pembentukan komisi kebenaran di Indonesia pada mulanya diawali dengan
kebutuhan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Bagi setiap masyarakat memiliki
pengertian mengenai keadilan, kejujuran, martabat, dan rasa hormat. Namun hak-hak asasi
manusia hanyalah merupakan salah satu jalur untuk untuk melaksanakan konsep tertentu
mengenai keadilan.57 Setiap individu (warga negara) mempunyai hak asasi baik yang bersifat non
derogable rights (hak yang dalam keadaan darurat perang pun harus dilindungi) maupun yang
derogable rights (hak yang dalam keadaan normal harus dilindungi). Hak-hak inilah yang harus
dijamin realitasinya oleh negara.58
Indonesia sebagai negara hukum - sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 -
berkewajiban untuk melakukan berbagai upaya aktif untuk menjamin dan melindungi HAM di
wilayahnya, termasuk juga membentuk lembaga seperti sebuah komisi kebenaran untuk
menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi pada waktu-waktu yang lampau, selain
membentuk Pengadilan HAM yang juga bertugas untuk mengadili pelanggaran HAM.59
Pembentukan komisi kebenaran di Indonesia pada mulanya diawali dengan kebutuhan untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Berbagai gagasan dan mekanisme untuk
menuntaskan kasus-kasus masa lalu ini kemudian mendapatkan tempat dalam perbincangan
mengenai arah reformasi Indonesia ke depan.60
Dikeluarkannya ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM menjadi itikad
pertama bangsa ini setelah tumbangnya pemerintah otoritarian,tentang pentingnya
penghormatan terhadap HAM.6162 Dalam kerangka penghormatan inilah, setiap terjadi kasus
pelanggaran HAM, haruslah diikuti dengan proses pertanggungjawaban yang akuntabel,
termasuk terhadap kasus yang terjadi di masa lalu. Dalam rangka menjalankan mandat
ketetapan MPR inilah kemudian lahir UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang salah satu
bagiannya secara khusus mengatur kelembagaan dan mandat Komnas HAM.62 Mengenai
upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, beberapa inisiatif sebenarnya sudah dilakukan
oleh negara. Sebagai awalan, pemerintahan Habibie pada 1998, telah membentuk Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF), untuk melakukan penyelidikan atas peristiwa kerusuhan 13-
15 Mei 1998. Dalam laporannya, TGPF menyimpulkan adanya tindakan kejahatan HAM
dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998.63
Presiden Habibie juga mengeluarkan Keputusan Presidan (Keppres) No. 88 Tahun
1999 tentang Pembentukan Komisi Indepeden Pengusutan Tindak Kekekarasn di Aceh.
Komisi ini dibentuk untuk melakukan penyelidikan atas dugaan telah terjadinya pelanggaran
HAM selama penerapan daerah operasi militer (DOM), dan pembunuhan Teungku Bantaqiah.
Selain itu, dalam upaya melakukan pengungkapan kembali kekerasan dan pelanggaran
HAM di masa lalu kian mendapatkan ruang setelah keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM. UU ini memberikan mandat kepada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dan

57 George Clack, Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hlm. 3.
58 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2003), hlm. 231.
59 Sufyan, KKR “Gugur” Sebelum Bertempur, dalam Majalah Figur Edisi X, (2007), hlm. 22.
60 Ibid
61 Wahyudi Djafar, Mengurai Kembali Inisiatif Negara dalam Penyelesaian Masa Lalu, (Jakarta: ELSAM,

2012), hlm. 189.


62 Candra, Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia sebagai Penyelesaian

Pelanggaran HAM di masa lalu, Skripsi Sarjana, (Jakarta : Unibversitas Indonesia, 2003), hlm. 107.
63 Edi Herdyanto, “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sebagai Alternatif Lain Dalam Penyelesaian

Pelanggaran H.A.M. Berat Masa Lalu”, Yustisia Edisi Nomor 69 (Sept. - Desember 2006), hlm. 7.

2183
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

pemeriksaan terhadap suatu peristiwa yang di dalamnya patut diduga telah terjadi pelanggaran
HAM.64
Secara umum, penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, bisa
mengacu kepada 3 instrumen hukum nasional, yaitu TAP MPR No. V/2000, UU
Pengadilan HAM dan UU KKR. Ketiga instrumen hukum tersebut menceriminkan tingginya
semangat perbaikan dan pemenuhan serta perlindungan bagi HAM.
1. Berdasarkan TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional
Gagasan pembentukan komisi kebenaran sebagai bagian dalam proses
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu terakomodasi dalam kebijakan negara yang
disuarakan oleh berbagai kalangan yakni tokoh politik, lembaga swadaya masyarakat dan
juga Komnas HAM yang mendorong adanya Komisi Rekonsiliasi Nasional pada Tahun
1998.65 Gagasan pembentukan komisi rekonsiliasi ini kemudian ditindak lanjuti dengan
adanya kesepakatan antara Komnas HAM dengan pihak pemerintah untuk membentuk
Tim Informal Rekonsiliasi Nasional.66
Proses institusionalisasi gagasan ini diwujudkan dengan mendorong masuknya
agenda penyelesaian masa lalu dalam agenda reformasi nasional. Agenda ini akhirnya
terwujud dalam Ketetapan MPR No. V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional. Gagasan pembentukan komisi kebenaran ini mendapatkan basis
legalnya ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan ketetapan
mengenai pembentukan Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) Tahun
2000.67
Ketetapan tersebut mempunyai maksud dan tujuan untuk secara umum yaitu
pemantapan persatuan dan kesatuan nasional mengindentifikasi permasalahan yang ada,
menentukan kondisi yang harus diciptakan dalam rangka menuju kepada rekonsiliasi
nasional dan menetapkan arah kebijakan sebagai panduan untuk melaksanakan
pemantapan persatuan dan sebagai bangsa. Ketetapan tersebut mempunyai maksud dan
tujuan untuk kesatuan nasional. Kesadaran dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk
memantapkan persatuan dan kesatuan nasional harus diwujudkan dalam langkah- langkah
nyata, berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional, serta
merumuskan etika berbangsa dan visi Indonesia masa depan.68 Hal ini semakin diperjelas
dalam BAB V Tap MPR RI No. V/MPR/2000 angka ketiga yang menyebutkan:69
“Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga
ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang- undang.
Komisi ini bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan
penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau, sesuai dengan
ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku, dan melaksanakan rekonsiliasi
dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah- langkah setelah

64 Ibid, hlm. 9.
65 Karlina Leksono dan Supelli, “Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi”, Jurnal Demokrasi dan
HAM, Vol 1 No. 3, (Jakarta : ID H-THC, 2001), hlm. 9.
66 Ibid, hlm. 12.
67 Muhammad Mihradi, “Menelaah Kebijakan Penegakan Hak Asasi Manusia: Analisis Sosio Yuridis”,

Jurnal Keadilan, Vol.2 No.2 (2002), hlm.21.


68 Tim Universitas Indonesia, Pendapat Universitas Indonesia Terhadap Rancangan Undang- Undang Republik

Indonesia Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, (makalah disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum
dengan Pansus Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, 4 Desember 2003), hlm. 1.
69 Lihat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 Tentang

Pemantapan Persatuan Dan Kesatuan Nasional, BAB V angka 3.

2184
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf,


pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain
yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan sepenuhnya
memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.”
Berdasarkan ketentuan dalam Tap MPR yang menempatkan KKR sebagai satu
mekanisme pertanggungjawaban dan pengungkapan kebenaran atas terjadinya berbagai
bentuk pelanggaran HAM di masa lalu, artinya jika pelanggaran HAM itu tidak diselesaikan
akan membahayakan persatuan nasional Indonesia sebagai bangsa.70 Dengan posisi seperti
itu, KKR tidak ditujukan untuk membela atau memvonis suatu kelompok melainkan
untuk menyelamatkan persatuan nasional Indonesia sebagai bangsa. Dapat dikatakan juga,
KKR adalah instrumen nasional untuk memperteguh bangsa dalam menuju demokrasi
dan penghargaan terhadap HAM.71
2. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Landasan hukum selanjutnya tentang mandat untuk pembentukan komisi
kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) juga terdapat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM sebagai sebuah mekanisme alternatif penyelesaian pelanggaran HAM
masa lalu. Begitu juga Pasal 47 UU ini menyatakan bahwa:72
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelumberlakunya
Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibentuk dengan undang-undang.
Khusus untuk peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, sesuai dengan
ketentuan di dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hasil penyelidikan
Komnas HAM selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan dengan
langkah penyidikan dan penuntutan. Selain itu, hasil penyelidikan juga wajib diserahkan
ke DPR untuk dilakukan penelaahan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya
rekomendasi DPR tentang langkah- langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk
menuntaskan kasus tersebut, khususnya perlu tidaknya pembentukan pengadilan ad hoc
HAM.73
3. Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Landasan hukum tentang KKR dalam perundang-undangan Indonesia cukup kuat
karena pembentukan UU tersebut dilandasi oleh Ketetapan MPR No. V Tahun 2000
tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Ketetapan ini merekomendasikan
untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-
yudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan
penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau dan melaksanakan
rekonsiliasi. Maksud dan tujuan dari Ketetapan MPR ini adalah untuk mengidentifikasi
permasalahan, menciptakan kondisi untuk rekonsiliasi dan menetapkan arah kebijakan
untuk memantapkan persatuan nasional.74

70 Rozali Abdullah, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan Ham di Indonesia, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), hlm. 10.
71 Lihat dalam Progress Report ELSAM (2), Penundaan Pembentukan KKR : Pengingkaran atas Platform Nasional

dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Jakarta, 10 September 2006, hlm. 1- 2
72 Indonesia, Undang-Undang Pengadilan HAM, Nomor 26, LN No. 208 Tahun 2000, TLN No. 4026,

Pasal 47.
73 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media,

2003), hlm. 47
74 Ibid

2185
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

Kesadaran dan komitmen untuk memantapkan persatuan ini diwujudkan dengan


langkah nyata untuk membentuk KKR Nasional dan merumuskan etika berbangsa dan
visi Indonesia masa depan. Ketentuan yang menujukkan bahwa KKR adalah mekanisme
yang mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat dan mempertegas bahwa
dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu ada dua jalan yakni
melalui pengadilan HAM (Ad Hoc) danmekanisme KKR.75
Pada Tahun 2001, UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua menegaskan perlunya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.76
KKR Papua mempunyai tugas melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan
persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi yang mencakup
pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf,
perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat
dan dengan memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat untuk menegakkan persatuan
dan kesatuan bangsa.77
KKR dalam UU KKR ini merupakan KKR Nasional karena berkedudukan di
ibukota negara dan mempunyai wilayah yurisdiksi seluruh wilayah Indonesia. 78
Pembentukan KKR berdasarkan UU ini dilandasi oleh pertimbangan bahwa pelanggaran
HAM yang berat, yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan
kebenaran, menegakkan keadilan, dan membentuk budaya menghargai HAM sehingga
dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional. Pengungkapan kebenaran juga demi
kepentingan para korbanI dan/atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk
mendapatkan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi.79
Dari sisi tujuan dan ide, pembentukan KKR ini bukan semata-mata menjadikan
KKR sebagai lembaga untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pada masa lalu
secara individual tetapi dimaksudkan untuk tujuan yang lebih besar untuk kepentingan
bangsa ke depan. Artinya, KKR yang hendak dibangun adalah sebuah mekanisme yang
mampu memberikan suatu pemahaman atas apa yang terjadi dimasa lalu, menentukan
siapa korban dan siapa pelaku, dan melakukan langkah- langkah untuk menghadapi masa
lalu baik dari sisi hukum maupun politik, memberikan reparasi kepada korban dan
menjadi katalisator untuk proses rekonsiliasi.80

D. Analisis Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006 dalam Pengujian UU No. 27 Tahun


2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Pada Tahun 2006, Mahkamah Konstitusi membuat suatu putusan yang cukup

75 Indonesia, Undang-Undang Pengadilan HAM, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 43 dan Pasal 47.
76 Indonesia, Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, UU No. 21, LN No. 135 tahun 2001,
TLN No. 4151, bagian HAM, pasal 45 menentukan bahwa untuk memajukan memajukan, melindungi, dan
menghormati HAM di Provinsi Papua, Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional HAM, Pengadilan
HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal 46 dinyatakan bahwa tujuan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah dalam rangka
pemantapan persatuan dan kesatuan nasional.
77 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Mnusia dalam Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945 sampai dengan

Amandemen UUD 1945 Tahun 2002 (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 7.
78 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Cet, 1; Bandung

: PT. Alumni, 2001), hlm. 11.


79 Ibid
80 Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokarasi, (Cet, 1; Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm.

114.

2186
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

mengejutkan banyak pihak yaitu membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR, karena
dianggap bertentangan dengan konstitusi, hukum HAM internasional dan hukum humaniter
internasional. MK kemudian merekomendasikan untuk membentuk UU KKR baru sesuai
dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, serta mendorong
negara untuk melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik.81
Dalam perkara pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR ini, permohonan
untuk menguji disampaikan oleh Advokat dan Pembela Umum dari Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), dan
Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Yayasan
Pengabdian Hukum Indonesia (YAPHI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan dan
Kebenaran.82
Yang menjadi pokok perkara dalam permohonan ini adalah Pengujian terhadap
beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, yaitu:83
1. Pasal 1 Angka 9 : Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada
pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
2. Pasal 27 : Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat
diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.
3. Pasal 44 : Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh
Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM ad hoc.
Ketentuan pasal diatas menurut para pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28-D ayat (1), serta Pasal 28-I ayat (2) dan (5) menyangkut prinsip kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di hadapan hukum.84 Dalam penjelasannya, pemohon menyampaikan
bahwa Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tidak memberikan jaminan-jaminan tersebut,
malah sebaliknya menegasikanprinsip-prinsip yang seharusnya dimiliki oleh suatu KKR.85
Bahwa pengingkaran terhadap prinsip-prinsip Komisi Kebenaran itu juga telah
melanggar UUD 1945 yang telah memberikan jaminan atas penghormatan, pemenuhan, dan
perlindungan HAM.
Mahkamah, Pasal 1 Angka 9 tersebut hanya merupakan pengertian atau definisi yang
termuat dalam ketentuan umum, dan bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan
berkait dengan pasal-pasal yang lain, sehingga permohonan Pemohon berkenaan dengan
ketentuan tersebut dikesampingkan dan akan dipertimbangkan lebih lanjut bersamaan dengan
Pasal - Pasal yang terkait dengan amnesti.86

E. Bentuk ideal penyelesaian pelanggaran HAM berat oleh KKR di Indonesia


Sebuah Komisi Kebenaran tidak dapat dan tidak boleh menggantikan fungsi
81 Briefing Paper, Making Human Rights A Constitutional Rights, A Critique of Constitutional Court's Decision

on the Judicial Review of the Truth and Reconciliation Commission Act and Its Implication for Settling Past Human Rights
Abuses, ELSAM, 2007.
82 Lihat Permohonan Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 tentang Uji Materiil UU No. 27 Tahun 2004

tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tanggal 25 April 2006, hlm. 7.


83 Ibid
84 Darman Prist, Sosialisasi dan Diseminasi penegakan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2001), hlm. 23
85 Mark Freeman, Truth Commissions and Procedural Fairness, (New York: Cambridge University Press,

2006), hlm 89.


86 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 006/PUU IV/2006, Bagian

Pertimbangan, hlm. 124.

2187
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

pengadilan, karena mereka bukan badan peradilan, mereka bukan persidangan hukum, dan
mereka tidak memiliki kekuasaan untuk mengirim seseorang ke penjara atau memvonis
seseorang karena suatu kejahatan tertentu. Komisi Kebenaran tidak memberikan standar
prosedural yang sama dengan pengadilan, namun bisa menjalankan banyak fungsi yang serupa,
yaitu:87
1. Memberikan mandat dan otoritas untuk penyelidikan resmi tentang pelanggaran yang
terjadi;
2. Memungkinkan katarsis secara terbuka tentang kejahatan dan penderitaan yang dialami,
secara resmi;
3. Memberikan forum bagi para korban dan kerabatnya untuk menceritakan kisah
mereka, dan menjadikannya sebagai bagian dari catatan resmi dan dengan demikian
pengakuan dari masyarakat tentang penderitaan mereka; dan
Dalam beberapa kasus, memberikan dasar formal untuk kompensasi para korban,dan
penghukuman pelaku.
1. KKR dapat melakukan beberapa hal penting yang secara umum tidak dapat dicapai
melalui proses penuntutan persidangan di pengadilan pidana, misalnya sebuah KKR dapat
menangani kasus dalam jumlah relatif lebih besar dibandingkan pengadilan pidana. Dalam
suatu situasi di mana terjadi pelanggaran HAM berat yang meluas dan sistematis di bawah
rezim sebelumnya, Komisi Kebenaran dapat menyelidiki semua kasus-kasus atau sejumlah
besar kasus yang ada secara komprehensif dan tidak dibatasi kepada penanganan sejumlah
kasus kecil saja.88
2. Jika melihat pengalaman beberapa negara sebelumnya, Indonesia membutuhkan sebuah
KKR guna menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang tidak dapat diselesaikan maupun
yang telah diselesaikan namun korban merasa tidak mendapatkan keadilan dari
keseluruhan proses di Pengadilan HAM.89 Kasus Tanjung Priok misalnya, berbagai upaya
terobosan hukum telah lahir dan menjadi preseden yang konstruktif. Tetapi juga
mengingatkan kembali bahwa seluruh proses tersebut, masih banyak kelemahan dari
berlakunya sistem dan mekanisme hukum nasional.90
3. KKR juga dimaksudkan untuk memulihkan kembali suatu suasana masyarakat dimana
korban dan pelaku dapat berjumpa kembali dan menggariskan sejarah masa depan yang
baru. Dengan demikian inti KKR adalah untuk memperbaiki, membantu siapa saja dan
pihak mana saja untuk mengolah dan menyembuhkan pengalaman yang pahit masa
lampau sehingga tidak menjadi suatu beban berat bagimasa depan.91

Sebuah ciri standar dari Komisi Kebenaran adalah menganalisis dan menyusun laporan
tidak hanya tentang pelanggaran individual, namun juga konteks luas terjadinya pelanggaran
dan elemen struktural pemerintah, pasukan keamanan dan masyarakat yang memungkinkan
terjadinya pelanggaran tersebut yang tidak bisa didapatkan dari peradilan pidana.92
87 Ifdhal Kasim (2), “Penyelesaian Non-Prosekutorial Dan Rekonsiliatif Terhadap Pelanggaran HAM

Yang Berat”, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 16 (April 2009), hlm. 226-227.
88 Javaid Rehman, Internasional Human Right Law (Great Britain: Pearson Education Limited,2003),

hlm. 68-69.
89 Fadli Andi Natsif, Perspektof Keadilan Transisional Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Berat, diakses di https://core.ac.uk/download/pdf/234750616.pdf pada 22 Juni 2020.


90 Laporan Tahunan HAM 2009, Tahun Ketidakpastian Hukum dan HAM atas nama Demokrasi,

(KontraS, 2010), hlm. 24


91 Yohanes de Masenus Arus, The Right to Know the Truth: Mencari Dasar Kerja Pengungkapan Kebenaran,

(Cimacan: 2000), hlm. 4


92 Suzannah Linton (1), Putting thins into perspective: The Realities of Accountability in East Timor, Indonesia, and

Cambodia: 3 Maryland Seriesin Contemporary Asian Studies, (2005), hlm. 182. (Lihat Indriaswaty D Saptaningrum (1),

2188
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

Beberapa konsep penting yang harus termuat dalam sebuah KKR, yaitu, konsep
kebenaran, rekonsiliasi, komisi kebenaran dan rekonsiliasi, pelanggaran hak asasi yang berat,
korban, kompensasi, restitusi, dan amnesti Kebenaran didefenisikan sebagai suatu peristiwa
yang dapat diungkapan berkenaan dengan pelanggaran HAM yang berat baik mengenai
korban, tempat, maupun waktu. Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan
kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui KKR dalam rangka menyelesaikan
pelanggaran HAM yangberat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.93

III. KESIMPULAN
Afrika Selatan dalam menyelesaikan permasalahannya terkait dengan pelanggaran
HAM berat memilih penekanan lebih pada pendekatan disclossure melalui Truth and
Reconcilliation Commission (KKR) daripada pengadilan. KKR di Afrika Selatan relatif berhasil
karena mampu memenuhi kepentingan korban dan keluarga besarnya, serta publik secara luas.
Dan tidak kalah pentingnya adalah prosesnya berlangsung di hadapan komisi yang memiliki
kredibilitas tinggi dan legitimasi moral. Afrika Selatan menempuh berbagai jalan rekonsiliasi
baik rekonsiliasi politik yang berbasis pada perubahan peran negara yang lebih adil dan
demokratis serta rekonsiliasi sosial pada tataran akar rumput hingga hubungan sosial
masyarakat bahkan antar individu tidak lagi diadasarkan pada trauma diskriminasi dan konflik
politik di masa lalu.
Pada saat munculnya era Reformasi di Indonesia dapat dikatakan bahwa pemajuan dan
penegakan HAM dijadikan sesuatu yang penting dan merupakan suatu bagian yang
bekesinambungan dengan proses demokratisasi di Indonesia. Pelanggaran HAM berat
merupakan salah satu persoalan serius di dalam pemerintahan Indonesia dimana pemerintah
telah berupaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat melalui instrument
hukum yaitu Undang- undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang
Nomor26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM meskipun belum dapat berfungsi dan berjalan
secara maksimal di dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di
Indonesi. Pembentukan UU KKR yang sejalan dengan Undang Undang Dasar dan Instrumen
HAM universal sangat penting untuk dilakukan demi menyelesaikan segala pelanggaran HAM
berat yang terjadi di masa lalu.

DAFTAR PUSTAKA

Artikel
Lesmana, Tjipta. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi : Permasalahan dan Prospeknya. dalam
“IMW Review. Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol. V. No. l”. Juli
2005.
Leksono, Karlina dan Supelli. “Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi”. Jurnal Demokrasi
dan HAM, Vol 1 No. 3. Jakarta : ID H-THC, 2001.
Mihradi, Muhammad. “Menelaah Kebijakan Penegakan Hak Asasi Manusia: Analisis Sosio
Yuridis”, Jurnal Keadilan, Vol.2 No. 2. 2002.
Sucipto, Herry dan Hajriyanto Y. Thohari, “Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu,
dalam Dignitas”, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. VIII No. 1 2012.

ibid.).
93 Ifdhal Kasim (2), “Penyelesaian Non-Prosekutorial Dan Rekonsiliatif Terhadap Pelanggaran HAM

Yang Berat”, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 16 (April 2009), hlm. 36

2189
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

Syaamsuddin, Otto. Komisi Kebenaran Aceh. Banda Aceh: Bandar Publishing. 2017.
Wagiyah, Emerita. Sekilas Tentang Politik Apartheid di Afrika Selatan. 1995.
Arena Almamater Volume X-35
Weiner, Robert O., Trying to Make Ends Meet: Reconciling the Law and Practice of Human
Rights Amnesties, dalam St. Mary’s Law Journal 26, 1995.

Buku
Abdullah, Rozali. Perkembangan HAM dan keberadaan Peradilan HAM di Indonesia.
Jakarta : Ghalia Indonesia, 2001.
Abidin, Zainal, Progress Report: Pembentukan KKR, Jakarta: ELSAM, 2005. Arinanto,
Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat
Studi HTN-FHUI, 2008.
----------------- Politik Hukum 2. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2001.
Arus, Yohanes de Masenus. The Right to Know the Truth (Mencari Dasar Kerja
Pengungkapan Kebenaran). Cimacan, 2000.
Asmal, Kader. Victims. Survivors and Citizens – Human Rights. Reparations and
Reconciliation: South African Journal on Human Rights 8. No. 4 1992.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press,2005.
Azra, Azyumardi. Demokrasi. Hak Asasi Manusia. Dan Masyarakat Madani. Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2003.
Boraine, Alex. A Country Unmasked, Inside South Africa’s Truth and Reconciliation
Commission. Oxford: OUP, 2000.
Brownlie, Ian. Dokumen-Dokumen Mengenai Hak Asasi Manusia. Jakarta: UI Press,1993.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Candra. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia sebagai Penyelesaian
Pelanggaran HAM di masa lalu, Skripsi Sarjana. Jakarta : Universitas Indonesia,
2003.
Clack, George. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.
Conde, H. Victor. A Handbook of International Human Rights Terminology. 1999. Cottrell,
Robert C.. 2005. South Africa. A State of Apartheid. Chelsea House Publisher.
USA. chapter I; The Sharpville Massacre.
Djafar, Wahyudi, Mengurai Kembali Inisiatif Negara dalam Penyelesaian Masa Lalu, Jakarta:
ELSAM, 2012.
El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Mnusia dalam Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945 sampai
dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta: Prenada Media,2005.
ELSAM, “Pemeriksaan Permulaan Perkara Pelanggaran HAM yang Berat Berdasarkan UU
No. 26 Tahun 2000”. Position Paper, Jakarta 2000.
ELSAM, “Pemeriksaan Permulaan Perkara Pelanggaran HAM yang Berat Berdasarkan UU
No. 26 Tahun 2000”. Position Paper, Jakarta 2000.
Fatwa, AM.Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok. Pengungkapan Kebenaran Untuk
Rekonsiliasi Nasional. Jakarta: Dharmapena Publishing, 2005.
Freeman, Mark. Truth Commissions and Procedural Fairness. New York: Cambridge
University Press. 2006.
Hayner, Priscilla B., Lima Belas Komisi Kebenaran – dari tahun 1974 hingga 1994 : Suatu Studi
Perbandingan, [Fifteen Truth Commissions – 1974 to 1994 : A Comparative
Study] dalam Human Rights Quarterly, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah
ELSAM. Jakarta: ELSAM, 1994.
Hayner, Priscilla B., In Pursuit of Justice and Reconciliation: Contributions of Truth Telling,

2190
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

Presented at the Conference onComparative Peace Processes in Latin America.


Washington D.C. : 1997.
Herdyanto, Edi. “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sebagai Alternatif Lain Dalam
Penyelesaian Pelanggaran H.A.M. Berat Masa Lalu”. Yustisia Edisi Nomor 69.
Sept. - Desember 2006.
Hiriej, Eddy O.S.. Pengadilan Atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM. Jakarta:
Erlangga, 2010.
Hughes, Jeremy Sarkin. Carrots and Sticks: The TRC and the South African Amnesty Process.
Oxford:Interseptia. 2004.
Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century.
Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
Huyse, Luc. Justice after Transition: On the Choices Successor elites Make in Dealing with
the Past. 20 Lw & Social Inquery. Winter. 1995.
Ibrahim, Idi Subandi (ed). Selamat Jalan Timor Leste. Pergulatan Menguat Kebenaran:
Indonesia. Jakarta. 2002.
Kasim, Ifdal dkk. Setelah Otoritarianisme Berlalu: Esai-Esai Keadilan di Masa Transisi.
Jakarta: ELSAM, 2001.
Kasim, Ifdal. Pencarian Keadilan di Masa Transisi. Jakarta: ELSAM, 2003.
Kirdi, Dipoyudo. Afrika dalam pergolakan 2. Jakarta : Yayasan Proklamasi Centre for
strategic and internasional studies, 1983.
Komnas Perempuan. Kumpulan Ringkasan Eksekutif: Laporan Investigasi Pelanggaran
HAM di Timor Timur. Maluku Tanjung Priok dan Papua 1999– 2001. Jakarta:
Komnas Perempuan. 2003.
KontraS. Reproduksi Ketidakadilan Masa Lalu : Catatan Perjalanan Membongkar Kejahatan
HAM Tanjung Priok 1984, (Jakarta: KontraS, 2008).
Linton. Suzannah, Unravelling The First Three Trials at Jakarta’s Ad Hoc Court for Human
Rights Violations in East Timor (Mengungkap Tiga Persidangan Pertama di
Pengadilan Ad Hoc HAM Jakarta terhadap Kasus Pelanggaran HAM di Timor
Timur). Jakarta: ELSAM, 2004.
Lliffe, John. Industrialisation and Race in South Africa. 1886-1994” .2007. Africans: The
History of Continent.New York: Cambridge University Press.XII
Pusat Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI). Tanjung Priok Berdarah. Tanggung Jawab
Siapa? Kumpulan data dan fakta. (Jakarta: Gema Insani Press. 1998.
Mahfud MD, Moh. Hukum dan Pilar-Pilar Demokarasi. Cet, 1. Yogyakarta: Gama Media.
1999.
Makarinm, Zacky Anwar. et.al.. Hari-Hari Terakhir Timor Timur: Sebuah Kesaksian Jakarta:
PT. Sportif Media Informasindo.
Mamudji , Sri, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Manan, Bagir. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Cet, 1. Bandung: PT. Alumni, 2001.
Marzuki, Suparman.Pengadilan HAM di Indonesia; Melanggengkan Impunity. Jakarta:
Penerbit Erlangga. 2012.
Meiring, Piet. Chronicle of the Truth Commission. A journey through the past and present into
the future of South Africa. Vanderbijlprak: Cape Diem Books, 1998.
Nickel, James W.. Making Sense of Human Right. Philosophical Reflection on The Universal
Declaration of Human Rights. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka. 1996.
Pour, Julius dan Benny. Tragedi Seorang Loyalis. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. 2007. Prist,
Darman. Sosialisasi dan Diseminasi penegakan Hak Asasi Manusia. Bandung: Citra

2191
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

Aditya Bakti, 2001.


Putri, Agung. Berjuang Mengungkap Kebenaran dan “Mengadili” Masa Lampau: Pengalaman
Rakyat Negeri Tertindas dalam buku Pencarian Keadilan di Masa Transisi. Jakarta:
ELSAM. 2002.
Rehman, Javaid. Internasional Human Right Law. Great Britain: Pearson Education Limited,
2003.
Report of the Commission of Enquiry into Complaints by Former African National Congress
Prisoners and Detainees, 1992.
Reports of the Commission of Enquiry into Certain Allegations of Cruelty and Human Rights
Abuse against ANC Prisoners and Detainees by ANC Members,. Johannesburg,
20 Agustus 1993.
Ruteil, Teitel G.Transisional Justice, Keadilan Transisional, Sebuah tinjauan Komprehensif,
alih bahasa, Eddie Riyadi Terre, cet. Ke-1. Jakarta, Elsam, 2004.
Setiyono, Joko. Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) dalam Pelanggaran
Ham Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia).
Disertasi Doktor Universitas Diponegoro, Semarang, 2010.
Smith, Rhona KM., dkk. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Jakarta :Rajawali Pers, 2001.
Sriyana. Komisi Nasional HAM : Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI
Tahun 2007. Jakarta: ELSAM. 2007.
Supelli, Karlina. Berdamai Dengan Masa Lampau : Antara Pengampunan dan Penghukuman
dalam buku Pencarian Keadilan Di Masa Transisi. Jakarta: ELSAM. 2002.
Whitehead, Laurence, The Consolidation of Fragile Democracies in Robert Pastor (ed.),
Democracies in the Americas: Stopping the Pendulum. New York: Holmes and
Meier, 1989.
Wiranto. Selamat Jalan Timor Timur: Pergulatan Menguak Kebenaran. Jakarta: Institute for
Democracy of Indonesia. 2003.
Wolpe, Harold. Capitalism and Cheap Labour Power in South Africa; From Segregation to
Apartheid artikel dalam William Beinart & Saul Dubow. (1995). Segregation and
Apartheid in 20th Century South Africa. Routlegde.London.
Yudhawiranata, Agung. Dealing with Past Violation of Human Rights: The Problem
ofIndonesia After Transition, (Disertasi LL.M University of Hong Kong, Hong
Kong, 2010.

Internet
Bouckaert, Peter. South Africa; The Negotiated Transition from Apartheid to Nonracial
Democracy akses dari
http://www.wilsoncenter.org/subsites/ccpdc/pubs/words/9.pdf, pada 21 Juni
2021.
Natsif, Fadli Andi. Perspektof Keadilan Transisional Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Berat. diakses di https://core.ac.uk/download/pdf/234750616.pdf
pada 21 Juni 2021.

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia.
Undang-Undang HAM, UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999,
TLN No. 3886.
Indonesia, Undang-Undang Pengadilan HAM, UU No. 26 Tahun 2000, LN No. 208 Tahun

2192
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

2000, TLN No. 4026.


Indonesia, Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, UU No. 21 Tahun 2001,
LN No. 135 Tahun 2001, TLN No. 4151.
Indonesia, Undang-Undang KKR, UU No. 27 Tahun 2004, LN No. 114 Tahun 2004,
TLN No. 4429.
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Aceh, UU No. 11 Tahun 2006, LN No. 62 Tahun
2006, TLN No. 463

2193
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456

2194
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)

You might also like