Tinjauan Yuridis Dalam Penyelesaian Pelanggaran Ham Berat Melalui
Tinjauan Yuridis Dalam Penyelesaian Pelanggaran Ham Berat Melalui
Tinjauan Yuridis Dalam Penyelesaian Pelanggaran Ham Berat Melalui
July 2022
Recommended Citation
Erfandi, Tshana (2022) "TINJAUAN YURIDIS DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM BERAT
MELALUI KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI AFRIKA SELATAN DAN INDONESIA," "Dharmasisya”
Jurnal Program Magister Hukum FHUI: Vol. 1, Article 38.
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol1/iss4/38
This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been
accepted for inclusion in "Dharmasisya” Jurnal Program Magister Hukum FHUI by an authorized editor of UI
Scholars Hub.
TINJAUAN YURIDIS DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM BERAT
MELALUI KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI AFRIKA SELATAN DAN
INDONESIA
This article is available in "Dharmasisya” Jurnal Program Magister Hukum FHUI: https://scholarhub.ui.ac.id/
dharmasisya/vol1/iss4/38
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
Tshana Erfandi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Korespodensi: tshanaerfandi@gmail.com
Abstrak
Di beberapa negara saat ini berkembang satu cara menyelesaikan pelanggaran masa lampau dengan membentuk
sebuah komisi khusus. Komisi tersebut bekerja di luar pengadilan, parlemen maupun eksekutif.. Di Indonesia
sendiri Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan ketetapan mengenai pembentukan Komisi
Kebenaran Dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) pada tahun 2000. Ketetapan tersebut mempunyai maksud dan
tujuan untuk secara umum yaitu pemantapan persatuan dan kesatuan nasional mengindentifikasi permasalahan
yang ada, menentukan kondisi yang harus diciptakan dalam rangka menuju kepada rekonsiliasi nasional dan
menetapkan arah kebijakan sebagai panduan untuk melaksanakan pemantapan persatuan dan sebagai bangsa.
Sedangkan di Afrika Selatan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Promosi
Persatuan dan Rekonsiliasi Nasional, No. 34 tahun 1995. Mandat komisi adalah untuk memberikan kesaksian,
mencatat, dan dalam beberapa kasus memberikan amnesti kepada para pelaku kejahatan yang berkaitan dengan
pelanggaran hak asasi manusia, serta menawarkan reparasi dan rehabilitasi kepada para korban.
Kata kunci: HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Indonesia, Afrika Selatan
Abstract
Several countries are currently developing a solution to the problem by establishing a particular commission. The commission works
outside the courts, parliament and executive. In Indonesia, In Indonesia. The People's Consultative Assembly set a stipulation
regarding the establishment of the National Center for Truth and Reconciliation: (NCTR) in 2000. This stipulation has the intent
and purpose for national unity to identify existing problems, determine the conditions that must be made in order to achieve national
reconciliation and establish policy direction as a guide to carry out the consolidation of unity of a nation. Whereas in South Africa,
the National Center for Truth and Reconciliation: (NCTR) was established under the National Unity and Reconciliation
Promotion Act, No. 34 of 1995. Themandate of the commission is to prove, record, and in some cases grant amnesty to perpetrators
of crimes related to human rights, as well as to offer reparations and rehabilitation to victims.
Keywords: Human Rights, National Center for Truth and Reconciliation:, Indonesia, South Africa
I. PENDAHULUAN
Di beberapa negara saat ini berkembang satu cara menyelesaikan pelanggaran masa
lampau dengan membentuk sebuah komisi khusus. Komisi tersebut bekerja di luar pengadilan,
parlemen maupun eksekutif. Pertama, hal yang dilakukan oleh komisi tersebut adalah
menyelidiki ulang fakta-fakta pelanggaran HAM. Sebuah pengakuan secara terbuka atas tindak
kejahatan kemanusiaan oleh negara serta penyelesaiannya merupakan garis demarkasi yang
memilah otoritarianisme-demokrasi, dan berdasarkan pengakuan dan laporan penyelidikan
tersebut dibuatlah sejumlah tindakan.1 Tranformasi dari masa lampau yang penuh dengan
ketidakadilan dan berbagai pelanggaran HAM menuju pemerintahan demokratis yang ditandai
dengan penghormatan terhadap martabat manusia tidak dapat berlangsung utuh tanpa upaya
sungguh-sungguh untuk menyingkap latar belakang putusan politik serta tindakan pelaku dan
upaya menegakkan keadilan bagi korban.2
Lebih dari 20 bangsa dalam tempo 25 tahun terakhir ini telah mencoba untuk
menginstitusionalkan pencarian terhadap “kebenaran dan rekonsiliasi”, dan hal ini telah
memunculkan suatu disiplin akademis yang dinamakan “keadilan transisional” Menurut
1Agung Putri, Berjuang Mengungkap Kebenaran dan “Mengadili” Masa Lampau: Pengalaman Rakyat Negeri
Tertindas dalam buku Pencarian Keadilan di Masa Transisi, (Jakarta: ELSAM, 2002), hlm. 74.
2 Karlina Supelli, Berdamai Dengan Masa Lampau : Antara Pengampunan dan Penghukuman dalam buku
2173
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
pengamatan Daan Bronkhorst, dalam konteks keadilan dalam masa transisi ini terdapat
beberapa kata yang menarik untuk didiskusikan. Kata-kata yang dipilih Bronkhorst ini juga
merupakan bagian dari parameter-parameter untuk menganalisis masalah-masalah yang
berkaitan dengan keadilan transisional ini.3
Pemerintahan-pemerintahan transisi berusaha menjawab masalah ini dengan mencoba
mendamaikan kecenderungan menghukum di satu sisi dengan kecenderungan memberi maaf
atau amnesti di sisi yang lain. Sehingga dapat dikatakan, kemampuan pemerintahan-
pemerintahan transisi itu terbatas pada usaha memberikan keadilan transisional, yang tidak
sepenuhnya memuaskan4 Kondisi-kondisi politik membatasi suatu Pemerintah yang
mengganti kediktatoran perihal jenis kebijakan yang diikutinya ketika berhadapan dengan
pelanggaran-pelanggaran HAM.5
Kesadaran pentingnya mengusut, mengungkap kebenaran dan meminta
pertanggungjawaban rezim masa lalu yang melakukan kejahatan kemanusian, secara teoritis,
diyakini banyak aktivis pro demokrasi merupakan jalan menuju demokrasi. Tidak mungkin
sebuah bangsa dapat hidup bersatu padu dalam damai di atas sejarah penuh luka dan
kekerasan. Proses transisi menuju demokrasi harus berjalan di atas proses sejarah yang jujur,
adil dan bertanggung jawab. Pemerintahan yang baru harus menemukan jalan keluar untuk
meneruskan detak nadi kehidupan, menciptakan ulang ruang nasional yang damai dan layak
dihuni, membangun semangat dan upaya rekonsiliasi dengan para musuh masa lampau, dan
mengurung kekejaman masa lampau dalam sangkar masa lampaunya sendiri.6
Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa komisi kebenaran didasari oleh
pentingnya melakukan catatan yang akurat atas pengalaman masa lalu (historical record of past
abuses) yang berguna untuk mencegah terjadinya peristiwa yang sama terulang.7 Fungsi penting
lainnya adalah, dengan adanya proses ini mendorong adanya pengakuan resmi atas
pelanggaran HAM yang terjadi, dan negara secara publik mengakui kesalahan atas terjadinya
pelanggaran HAM di masa lalu. Selain itu, catatan tentang pelanggaran HAM yang terjadi akan
mampu merekomendasikan berbagai langkah-langkah penting untuk adanya akuntabilitas,
pemulihan kepada korban, dan rekomendasi perbaikan institusi dan adanya kebijakan untuk
memastikan pelanggaran serupa tidak terulang.8
Rezim baru atau demokrasi baru membutuhkan legitimasi sebagai dasar stabilitas
politik. Pengadilan dinilai banyak praktisi hukum sebagai hal yang penting untuk menunjukkan
supremasi nilai-nilai dan norma-norma demokrasi agar kepercayaan rakyat dapat diraih.9
Kegagalan mengadili, sebaliknya dapat menyebabkan sinisme dan ketidakpercayaan rakyat
terhadap sistem politik. Sejumlah analis percaya bahwa pengadilan dapat meningkatkan
konsolidasi demokrasi jangka panjang. Salah satu argumennya yaitu bahwa jika tidak ada
kejahatan yang diselidiki dan diadili, maka tidak akan tumbuh rasa percaya maupun norma
demokrasi dalam masyarakat, dan karena itutidak akan ada konsolidasi demokrasi yang
3 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi HTN- FHUI,
Review”, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V, No. l, (Juli 2005), hlm. 280.
5 Satya Arinanto, Politik Hukum 2 , (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
2174
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
sesungguhnya.10
Mengikuti Luc Huyse (1995), truth is both retribution and deterrence, kebenaran selalu
bermakna sebagai dera penghukum dan penggentar. Selain itu, dalam spektrum retribusi-
rekonsiliasi, responsibilitas atau sikap ideal yang kita ambil adalah selective punishment, model
yang mengedepankan penagihan tanggung jawab formal atau legal secara selektif. Oleh karena
itu, tipe transisi kita adalah replacement (penggantian) yang diinisiasi rakyat sendiri, yang
cocok dengan model selektif ini.11
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun permasalahan yang akan penulis bahas
adalah:
1. Bagaimana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi penyelesaian pelanggaran HAM berat
dilihat dari sejarah dan kasus di Afrika Selatan?
2. Bagaimana mekanisme dan pengaturan mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di
Indonesia dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat?
II. PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Pelanggaran Ham Berat di Afrika Selatan
Dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat dimasa lalu, terdapat empat pola yang
lazimnya dapat dipilih. Sebagai sebuah spektrum, keempat opsi itu bergerak dari:12
1. Never to forget, never to forgive (tidak melupakan dan tidak memaafkan, yang berarti
”adili dan hukum”);
2. Never to forget but to forgive (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan, yang
berarti ”adili dan kemudian ampuni”);
3. To forget but never to forgive (melupakan tetapi tidak pernah memaafkan, yang artinya
tidak ada pengadilan tetapi akan dikutuk selamanya);
4. To forget and to forgive (melupakan dan memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan dan
dilupakan begitu saja).
Setelah runtuhnya pemerintahan fasis di bawah Hitler, Jerman dengan bantuan negara-
negara sekutu dan menerapkan pola pertama13 yaitu Never to forget, never to forgive (tidak
melupakan dan tidak memaafkan, yang berarti ”adili dan hukum”), sebaliknya Spanyol,
memilih pola keempat yaitu To forget and to forgive (melupakan dan memaafkan, yang
artinya tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu saja) segera setelah jatuhnya diktaktor
Franco di era 1970-an. Sementara itu, Korea Selatan, menerapkan pola kedua yaitu pada kasus
kedua mantan presidennya.14
Afrika Selatan memilih pola kedua dengan penekanan lebih pada pendekatan
disclosure melalui Truth and Reconcilliation Commission (KKR) daripada pengadilan,
sedangkan pola ”to forget but never to forgive” pada dasarnya dapat ditemukan pada cara
masyarakat Eropa melihat Inquisition yang dilakukan pada penganut ajaran Protestan di
Eropa selama abad pertengahan.15
10 Lihat Laurence Whitehead, “The Consolidation of Fragile Democracies” in Robert Pastor (ed.),
Democracies in the Americas: Stopping the Pendulum, (New York: Holmes and Meier, 1989), hlm. 84.
11 Lihat Luc Huyse, Justice after Transition: On the Choices Successor elites Make in Dealing with the Past, (20 Lw
Dignitas”, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. VIII No. 1 (2012), hlm. 76-77.
13 Piet Meiring, “Truth and Reconciliation: The South African Experience”, dalam William E van Vugt,
G Daan Cloete (eds), Race and Reconciliation in South Africa. Lanham, Boulder, New York, (Oxford: Lexington
Books, 2000), hlm v.
14 Teitel, G. Ruteil. Transisional Justice, Keadilan Transisional, Sebuah tinjauan Komprehensif, alih bahasa,
Eddie Riyadi Terre, cet. Ke-1, (Jakarta, Elsam, 2004), hlm ix-x.
15 Piet Meiring, “Truth and Reconciliation in Post-Apartheid South Africa”. Makalah dalam National
2175
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
Reconciliation: Learning From South Africa. Jakarta, (Maret 2001), hlm. 31.
16 Ibid
17 Harold Wolpe, “Capitalism and Cheap Labour Power in South Africa; From Segregation to
Apartheid” artikel dalam William Beinart & Saul Dubow, Segregation and Apartheid in 20th Century South Africa,
(London: Routlegde, 1995), hlm. 60-63.
18 John Lliffe, Industrialisation and Race in South Africa 1886-1994, Africans: The History of Continent, (New
2176
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
setelah Nelson Mandela dipilih sebagai presiden pada tahun 1994 pembicaraan serius
mengenai bentuk komisi kebenaran nasional dilakukan.20 Isu yang paling menjadi masalah
selama negosiasi dalam penyusunan konstitusi sementara pada akhir tahun 1993 adalah soal
apakah diberikan amnesti atau tidak bagi para pelanggar, sebagaimana diinginkan militer dan
pemerintah.21
Pada saat-saat terakhir, disepakati bagian penutup konstitusi yang menyatakan bahwa
amnesti akan diberikan terhadap tindakan, kelalaian dan pelanggaran yang berkaitan dengan
tujuan politik dan terjadi dalam lingkup konflik di masa lalu.Kemudian amnesti ini dikaitkan
dengan proses penemuan kebenaran. Setelah mendapat cukup masukan dari masyarakat,
termasuk dua konferensi internasional untuk meneliti kebijakan keadilan transisional di negara-
negara lain, parlemen Afrika Selatan mengesahkan Undang-Undang Promosi Persatuan dan
RekonsiliasiNasional pada pertengahan tahun 1995.22
Komisi ini dirancang untuk bekerja dalam tiga komite yang saling terkait yaitu Komite
Pelanggaran Hak Asasi bertanggung-jawab untuk mengumpulkan pernyataan dari para korban
dan saksi dan mencatat sejauh mana terjadinya pelanggaran hak asasi, Komite Amnesti
memproses dan memutuskan aplikasi individual untuk amnesti, dan Komite Pemulihan dan
Rehabilitasi merancang danmengajukan saran untuk program pemulihan.2324
20 Kader Asmal, Victims, Survivors and Citizens – Human Rights, Reparations and Reconciliation: South African
Journal on Human Rights 8, No. 4 (1992), hlm. 491-511.
21 Priscilla B. Hayner, Kebenaran Tak Tebahasakan: Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan
dan Harapan, [Unspeakable Truth: Facing the Challenge of Truth Commissions], diterjemahkan olehTim ELSAM, (Jakarta:
ELSAM, 2005), hlm. 43.
22 Ibid, hlm. 45.
23 Alex Boraine, A Country Unmasked, Inside South Africa’s Truth and Reconciliation Commission, (Oxford:
2177
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
Amnesties”, dalam St. Mary’s Law Journal 26, 1995, hlm. 873-875.
29 Madeleine Fullard dan Nicky Rousseau, "Truth-Telling, Identities and Power in South Africa and
2178
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
“membersihkan dirinya sendiri”. Komisi juga menyarankan agar laporan tersebut diterbitkan
dan dibentuk sebuah badan independen untuk menyelidiki lebih lanjut penghilangan dan
kejadian lain yang berada di luar lingkup kerja komisi ini.34 Laporan tersebut segera diumumkan
ke masyarakat dan pers, meskipun kemudian ANC mulai mempertanyakan akurasi laporan
tersebut dan menolak untuk mendistribusikannya lebih lanjut.Laporan ini mendapatkan
perhatian internasional yang cukup dan memaksa ANC untuk memberikan jawaban terbuka
terhadap tuduhan tersebut, dimana Nelson Mandela mengambil alih tanggung jawab kolektif
sebagai pimpinan ANC untuk “pelanggaran dan kesalahan prosedural yang serius” yang sudah
terjadi, namun menekankan bahwa tidak perlu menyalahkan individu atau menuntut tanggung
jawab individual.35
Pada Kongres Nasional Afrika II, segera setelah komisi ANC yang pertama
menyelesaikan kerjanya pada tahun 1992, presiden ANC, Nelson Mandela, membentuk
sebuah komisi penyelidikan lagi untuk menyikapi tuduhan pelanggaran di kamp-kamp tahanan
ANC. Komisi pertama dikritik karena bias (dua dari tiga anggotanya adalah anggota ANC) dan
tidak memberikan cukup kesempatan bagi para tertuduh untuk membela diri. Bahkan, komisi
pertama tersebut menyarankan agar “dipertimbangkan pembentukan sebuah badan
independen yang dianggap imparsial, dan mampu mendokumentasikan kasus-kasus
pelanggaran dan menjalankan saran-saran yang ada dalam laporan komisi ini".36
Sebuah komisi yang baru yaitu Komisi Penyelidikan terhadap Tuduhan Kekejaman
dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Tahanan ANC oleh Anggota ANC diketuai
oleh tiga orang, satu dari Amerika Serikat, Zimbabwe dan Afrika Selatan, yang dianggap
independen. Komisi ini sangat berbeda dengan komisi ANC yang pertama. Ia berjalan mirip
pengadilan formal, dengan pengacara untuk mewakili para korban dan sebuah tim pembela
untuk mewakili para tertuduh, yaitu mereka yang dituduh melakukan pelanggaran. Komisi ini
melaksanakan dengar-kesaksian publik selama lima minggu pada musim panas tahun
1993, dengan sekitar 50 orang saksi, termasuk 11 tertuduh pelanggar hak asasi manusia. Para
tertuduh diberi kesempatan untuk mengkonfrontasi dan bertanya kepada para korban, dan
didampingi oleh pengacara yang mereka tunjuk sendiri. Hal ini memperkuat pandangannya
bahwa untuk tidak mencampur-adukkan fungsi peradilan dengan pencari kebenaran. Namun,
laporan komisi ini diterima secara positif dan diiserahkan pada bulan Agustus 1993, yang
kesimpulannya ternyata serupa dengan laporan komisi pertama, yaitu menunjukkan
pelanggaran berat di kamp-kamp tahanan ANC selama beberapa tahun.37
Format laporan ini juga agak berbeda dengan laporan pertama. Setelah secara singkat
menggambarkan peristiwa yang terjadi, jenis dan jumlah pelanggaran, dan sebab struktural
serta pola-pola pelanggaran, laporan ini berkonsentrasi pada deskripsi masing-masing kasus
yang ia tangani, dan ditutup dengan daftar individu yang melanggar hak masing-masing korban
dan hak-hak apa saja yang dilanggar.38 ANC merespon laporan ini dengan pernyataan panjang
yang memuji komisi itu untuk kerjanya, menerima kesimpulannya secara garis besar (walaupun
34 Harold Wolpe; Capitalism and Cheap Labour Power in South Africa; From Segregation to Apartheid
artikel dalam William Beinart & Saul Dubow, (1995), Segregation and Apartheid in 20th Century South Africa,
Routlegde, London, p. 60‐63.
35 Robert C. Cottrell, 2005, South Africa, A State of Apartheid, Chelsea House Publisher, USA, chapter
2179
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
39 Ibid
40 ELSAM, “Pemeriksaan Permulaan Perkara Pelanggaran HAM yang Berat Berdasarkan UU No. 26
Tahun 2000”, Position Paper, (2010), hlm. 3.
41 Julius Pour, Benny: Tragedi Seorang Loyalis, (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2007), hlm. 183-188.
42 Comunicado Comissão Nacional de Descolonização, point 6 (29 November 1975); United Nations
Department of Political Affairs, Trusteeship and Decolonization, No 7, August 1976, hlm. 44.
43 Komnas Perempuan, Kumpulan Ringkasan Eksekutif: Laporan Investigasi Pelanggaran HAM di Timor
Timur, Maluku, Tanjung Priok dan Papua 1999 – 2001, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2003), hlm. 7.
2180
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
depan Timor Timur, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus.44 Tawaran Opsi I ini
mendapat sambutan dengan demonstrasi menuntut referendum dan kemerdekaan Timor
Timur di depan kantor Departemen Luar Negeri Jakarta oleh para pemuda dan mahasiswa
Timor Timur pada 12 Juni 1998.45
Jajak pendapat yang menawarkan kedua opsi tersebut pun diselenggarakan serentak di
Timor Leste pada tanggal 30 Agustus 1999. Pada tanggal 4 September 1999 hasil jajak
pendapat tersebut diumumkan: 94.388 (21,5%) memilih usul otonomi khusus dan 344.580
(78,5%) merdeka. Semenjak itulah Timor Leste resmilepas dari kedaulatan Indonesia.46
Sejak 1974 hingga jajak pendapat tahun 1999 telah tercatat ada beberapa pelanggaran
HAM yang terkategorikan sebagai pelanggaran HAM berat dalam aspek kejahatan terhadap
kemanusiaan. Selama kurun waktu kurang lebih 24 tahun itu ada sekitar 200.000 sampai
250.000 orang, atau sekitar sepertiga jumlah penduduk Timor Timur tewas akibat perang,
akibat kelaparan dan penyakit, juga akibat teror brutal yang dilancarkan tentara Indonesia.
Tahun 1999, milisi Indonesia membunuh sekitar 1.500 orang.
Maliana tanggal 8 September 1999, Kabupaten Bobonaro. Seluruh rangkaian kejahatan
terhadap kemanusiaan tersebut merupakan tanggung jawab tiga kelompok pelaku, yakni :47
1. Para pelaku yang secara langsung berada di lapangan yakni para milisi, aparat militer dan
kepolisian;
2. Mereka yang melaksanakan pengendalian operasi termasuk, tetapi tidak terbatas pada
aparat birokrasi sipil terutama para bupati, gubernur dan pimpinan militer serta kepolisian
lokal;
3. Pemegang tanggung jawab kebijakan keamanan nasional, termasuk tetapi tidak
terbatas pada, para pejabat tinggi militer baik secara aktif maupun pasif telah terlibat
dalam kejahatan tersebut;
4. Keterlibatan aparat sipil dan militer termasuk kepolisian bekerja-sama dengan kelompok
milisi pro-integrasi dalam kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut merupakan
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang sehingga mengakibatkan keterlibatan baik
institusi militer maupun instansi sipil.48
44 Wiranto, Selamat Jalan Timor Timur: Pergulatan Menguak Kebenaran, (Jakarta: Institute for Democracy
Berat (Studi Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia)”, (Disertasi Doktor Universitas Diponegoro,
Semarang, 2010), hlm. 142.
49 Pusat Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI), Tanjung Priok Berdarah, Tanggung Jawab Siapa?
Kumpulan data dan fakta, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 26.
2181
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
mengotorinya”. Massa rupanya termakan isu itu, lalu membakar sepeda motor Hermanu
yang lari meninggalkan lokasi.50 Kasus yang terjadi pada 1984 ini dipicu oleh penahanan
Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M. Nur di Markas Komando
Distrik Militer(Makodim).51 Mereka ditangkap oleh Polres Jakarta Utara, kemudian ditahan di
Kodim Jakarta Utara. Pengurus Musholla kemudian meminta bantuan Amir Biki, seorang
tokoh, untuk membebaskan empat pemuda yang ditahanKodim itu.
Menurut LB Moerdani, gerombolan massa yang mengikuti pengajian berjumlah sekira
1500 orang, membawa parang, clurit, linggis dan bensin. Mereka tidak mau berdialog dengan
15 orang petugas yang menjaga kantor polisi di jalan Yos Sudarso, bahkan memaki-maki
petugas, dan mendesak terus maju dengan mngayun-ayunkan clurit dan berusaha merebut
senjata petugas keamanan. Dalam jarak yang membahayakan petugas memberikan tembakan
peringatan ke udara. Namun karena tidak di hiraukan, tembakan diarahkan ke tanah dan kaki
massa, sehingga menimbulkan korban. Karena massa menyerang lagi dan petugas dalam
keadaan kritis, maka tembakan mematikan diarahkan kepada penyerang.52
Menurut laporan Komnas HAM, penembakan dilakukan oleh Artileri Pertahanan
Udara TNI AU. Akibatnya, 79 orang jadi korban, 24 di antaranya meninggal serta sisanya
mengalami luka-luka. Temuan ini diperoleh dari penyelidikan tim yang dibentuk oleh Komnas
HAM.53
Transition, (Disertasi LL.M University of Hong Kong, Hong Kong, 2001), hlm. 1
55 Ibid
56 Laporan Tahunan HAM 2009, Tahun Ketidakpastian Hukum dan HAM atas nama Demokrasi,
2182
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
57 George Clack, Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hlm. 3.
58 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2003), hlm. 231.
59 Sufyan, KKR “Gugur” Sebelum Bertempur, dalam Majalah Figur Edisi X, (2007), hlm. 22.
60 Ibid
61 Wahyudi Djafar, Mengurai Kembali Inisiatif Negara dalam Penyelesaian Masa Lalu, (Jakarta: ELSAM,
Pelanggaran HAM di masa lalu, Skripsi Sarjana, (Jakarta : Unibversitas Indonesia, 2003), hlm. 107.
63 Edi Herdyanto, “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sebagai Alternatif Lain Dalam Penyelesaian
Pelanggaran H.A.M. Berat Masa Lalu”, Yustisia Edisi Nomor 69 (Sept. - Desember 2006), hlm. 7.
2183
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
pemeriksaan terhadap suatu peristiwa yang di dalamnya patut diduga telah terjadi pelanggaran
HAM.64
Secara umum, penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, bisa
mengacu kepada 3 instrumen hukum nasional, yaitu TAP MPR No. V/2000, UU
Pengadilan HAM dan UU KKR. Ketiga instrumen hukum tersebut menceriminkan tingginya
semangat perbaikan dan pemenuhan serta perlindungan bagi HAM.
1. Berdasarkan TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional
Gagasan pembentukan komisi kebenaran sebagai bagian dalam proses
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu terakomodasi dalam kebijakan negara yang
disuarakan oleh berbagai kalangan yakni tokoh politik, lembaga swadaya masyarakat dan
juga Komnas HAM yang mendorong adanya Komisi Rekonsiliasi Nasional pada Tahun
1998.65 Gagasan pembentukan komisi rekonsiliasi ini kemudian ditindak lanjuti dengan
adanya kesepakatan antara Komnas HAM dengan pihak pemerintah untuk membentuk
Tim Informal Rekonsiliasi Nasional.66
Proses institusionalisasi gagasan ini diwujudkan dengan mendorong masuknya
agenda penyelesaian masa lalu dalam agenda reformasi nasional. Agenda ini akhirnya
terwujud dalam Ketetapan MPR No. V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan
Kesatuan Nasional. Gagasan pembentukan komisi kebenaran ini mendapatkan basis
legalnya ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan ketetapan
mengenai pembentukan Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN) Tahun
2000.67
Ketetapan tersebut mempunyai maksud dan tujuan untuk secara umum yaitu
pemantapan persatuan dan kesatuan nasional mengindentifikasi permasalahan yang ada,
menentukan kondisi yang harus diciptakan dalam rangka menuju kepada rekonsiliasi
nasional dan menetapkan arah kebijakan sebagai panduan untuk melaksanakan
pemantapan persatuan dan sebagai bangsa. Ketetapan tersebut mempunyai maksud dan
tujuan untuk kesatuan nasional. Kesadaran dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk
memantapkan persatuan dan kesatuan nasional harus diwujudkan dalam langkah- langkah
nyata, berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional, serta
merumuskan etika berbangsa dan visi Indonesia masa depan.68 Hal ini semakin diperjelas
dalam BAB V Tap MPR RI No. V/MPR/2000 angka ketiga yang menyebutkan:69
“Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga
ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang- undang.
Komisi ini bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan
penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau, sesuai dengan
ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku, dan melaksanakan rekonsiliasi
dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah- langkah setelah
64 Ibid, hlm. 9.
65 Karlina Leksono dan Supelli, “Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi”, Jurnal Demokrasi dan
HAM, Vol 1 No. 3, (Jakarta : ID H-THC, 2001), hlm. 9.
66 Ibid, hlm. 12.
67 Muhammad Mihradi, “Menelaah Kebijakan Penegakan Hak Asasi Manusia: Analisis Sosio Yuridis”,
Indonesia Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, (makalah disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum
dengan Pansus Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, 4 Desember 2003), hlm. 1.
69 Lihat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 Tentang
2184
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
70 Rozali Abdullah, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan Ham di Indonesia, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), hlm. 10.
71 Lihat dalam Progress Report ELSAM (2), Penundaan Pembentukan KKR : Pengingkaran atas Platform Nasional
dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Jakarta, 10 September 2006, hlm. 1- 2
72 Indonesia, Undang-Undang Pengadilan HAM, Nomor 26, LN No. 208 Tahun 2000, TLN No. 4026,
Pasal 47.
73 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media,
2003), hlm. 47
74 Ibid
2185
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
75 Indonesia, Undang-Undang Pengadilan HAM, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 43 dan Pasal 47.
76 Indonesia, Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, UU No. 21, LN No. 135 tahun 2001,
TLN No. 4151, bagian HAM, pasal 45 menentukan bahwa untuk memajukan memajukan, melindungi, dan
menghormati HAM di Provinsi Papua, Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional HAM, Pengadilan
HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal 46 dinyatakan bahwa tujuan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah dalam rangka
pemantapan persatuan dan kesatuan nasional.
77 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Mnusia dalam Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945 sampai dengan
Amandemen UUD 1945 Tahun 2002 (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 7.
78 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Cet, 1; Bandung
114.
2186
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
mengejutkan banyak pihak yaitu membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR, karena
dianggap bertentangan dengan konstitusi, hukum HAM internasional dan hukum humaniter
internasional. MK kemudian merekomendasikan untuk membentuk UU KKR baru sesuai
dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, serta mendorong
negara untuk melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik.81
Dalam perkara pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR ini, permohonan
untuk menguji disampaikan oleh Advokat dan Pembela Umum dari Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), dan
Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Yayasan
Pengabdian Hukum Indonesia (YAPHI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan dan
Kebenaran.82
Yang menjadi pokok perkara dalam permohonan ini adalah Pengujian terhadap
beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, yaitu:83
1. Pasal 1 Angka 9 : Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada
pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
2. Pasal 27 : Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat
diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.
3. Pasal 44 : Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh
Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM ad hoc.
Ketentuan pasal diatas menurut para pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28-D ayat (1), serta Pasal 28-I ayat (2) dan (5) menyangkut prinsip kepastian hukum dan
perlakuan yang sama di hadapan hukum.84 Dalam penjelasannya, pemohon menyampaikan
bahwa Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tidak memberikan jaminan-jaminan tersebut,
malah sebaliknya menegasikanprinsip-prinsip yang seharusnya dimiliki oleh suatu KKR.85
Bahwa pengingkaran terhadap prinsip-prinsip Komisi Kebenaran itu juga telah
melanggar UUD 1945 yang telah memberikan jaminan atas penghormatan, pemenuhan, dan
perlindungan HAM.
Mahkamah, Pasal 1 Angka 9 tersebut hanya merupakan pengertian atau definisi yang
termuat dalam ketentuan umum, dan bukan merupakan norma yang bersifat mengatur dan
berkait dengan pasal-pasal yang lain, sehingga permohonan Pemohon berkenaan dengan
ketentuan tersebut dikesampingkan dan akan dipertimbangkan lebih lanjut bersamaan dengan
Pasal - Pasal yang terkait dengan amnesti.86
on the Judicial Review of the Truth and Reconciliation Commission Act and Its Implication for Settling Past Human Rights
Abuses, ELSAM, 2007.
82 Lihat Permohonan Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 tentang Uji Materiil UU No. 27 Tahun 2004
2001), hlm. 23
85 Mark Freeman, Truth Commissions and Procedural Fairness, (New York: Cambridge University Press,
2187
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
pengadilan, karena mereka bukan badan peradilan, mereka bukan persidangan hukum, dan
mereka tidak memiliki kekuasaan untuk mengirim seseorang ke penjara atau memvonis
seseorang karena suatu kejahatan tertentu. Komisi Kebenaran tidak memberikan standar
prosedural yang sama dengan pengadilan, namun bisa menjalankan banyak fungsi yang serupa,
yaitu:87
1. Memberikan mandat dan otoritas untuk penyelidikan resmi tentang pelanggaran yang
terjadi;
2. Memungkinkan katarsis secara terbuka tentang kejahatan dan penderitaan yang dialami,
secara resmi;
3. Memberikan forum bagi para korban dan kerabatnya untuk menceritakan kisah
mereka, dan menjadikannya sebagai bagian dari catatan resmi dan dengan demikian
pengakuan dari masyarakat tentang penderitaan mereka; dan
Dalam beberapa kasus, memberikan dasar formal untuk kompensasi para korban,dan
penghukuman pelaku.
1. KKR dapat melakukan beberapa hal penting yang secara umum tidak dapat dicapai
melalui proses penuntutan persidangan di pengadilan pidana, misalnya sebuah KKR dapat
menangani kasus dalam jumlah relatif lebih besar dibandingkan pengadilan pidana. Dalam
suatu situasi di mana terjadi pelanggaran HAM berat yang meluas dan sistematis di bawah
rezim sebelumnya, Komisi Kebenaran dapat menyelidiki semua kasus-kasus atau sejumlah
besar kasus yang ada secara komprehensif dan tidak dibatasi kepada penanganan sejumlah
kasus kecil saja.88
2. Jika melihat pengalaman beberapa negara sebelumnya, Indonesia membutuhkan sebuah
KKR guna menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang tidak dapat diselesaikan maupun
yang telah diselesaikan namun korban merasa tidak mendapatkan keadilan dari
keseluruhan proses di Pengadilan HAM.89 Kasus Tanjung Priok misalnya, berbagai upaya
terobosan hukum telah lahir dan menjadi preseden yang konstruktif. Tetapi juga
mengingatkan kembali bahwa seluruh proses tersebut, masih banyak kelemahan dari
berlakunya sistem dan mekanisme hukum nasional.90
3. KKR juga dimaksudkan untuk memulihkan kembali suatu suasana masyarakat dimana
korban dan pelaku dapat berjumpa kembali dan menggariskan sejarah masa depan yang
baru. Dengan demikian inti KKR adalah untuk memperbaiki, membantu siapa saja dan
pihak mana saja untuk mengolah dan menyembuhkan pengalaman yang pahit masa
lampau sehingga tidak menjadi suatu beban berat bagimasa depan.91
Sebuah ciri standar dari Komisi Kebenaran adalah menganalisis dan menyusun laporan
tidak hanya tentang pelanggaran individual, namun juga konteks luas terjadinya pelanggaran
dan elemen struktural pemerintah, pasukan keamanan dan masyarakat yang memungkinkan
terjadinya pelanggaran tersebut yang tidak bisa didapatkan dari peradilan pidana.92
87 Ifdhal Kasim (2), “Penyelesaian Non-Prosekutorial Dan Rekonsiliatif Terhadap Pelanggaran HAM
Yang Berat”, Jurnal Hukum No. 2 Vol. 16 (April 2009), hlm. 226-227.
88 Javaid Rehman, Internasional Human Right Law (Great Britain: Pearson Education Limited,2003),
hlm. 68-69.
89 Fadli Andi Natsif, Perspektof Keadilan Transisional Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Cambodia: 3 Maryland Seriesin Contemporary Asian Studies, (2005), hlm. 182. (Lihat Indriaswaty D Saptaningrum (1),
2188
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
Beberapa konsep penting yang harus termuat dalam sebuah KKR, yaitu, konsep
kebenaran, rekonsiliasi, komisi kebenaran dan rekonsiliasi, pelanggaran hak asasi yang berat,
korban, kompensasi, restitusi, dan amnesti Kebenaran didefenisikan sebagai suatu peristiwa
yang dapat diungkapan berkenaan dengan pelanggaran HAM yang berat baik mengenai
korban, tempat, maupun waktu. Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan
kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui KKR dalam rangka menyelesaikan
pelanggaran HAM yangberat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.93
III. KESIMPULAN
Afrika Selatan dalam menyelesaikan permasalahannya terkait dengan pelanggaran
HAM berat memilih penekanan lebih pada pendekatan disclossure melalui Truth and
Reconcilliation Commission (KKR) daripada pengadilan. KKR di Afrika Selatan relatif berhasil
karena mampu memenuhi kepentingan korban dan keluarga besarnya, serta publik secara luas.
Dan tidak kalah pentingnya adalah prosesnya berlangsung di hadapan komisi yang memiliki
kredibilitas tinggi dan legitimasi moral. Afrika Selatan menempuh berbagai jalan rekonsiliasi
baik rekonsiliasi politik yang berbasis pada perubahan peran negara yang lebih adil dan
demokratis serta rekonsiliasi sosial pada tataran akar rumput hingga hubungan sosial
masyarakat bahkan antar individu tidak lagi diadasarkan pada trauma diskriminasi dan konflik
politik di masa lalu.
Pada saat munculnya era Reformasi di Indonesia dapat dikatakan bahwa pemajuan dan
penegakan HAM dijadikan sesuatu yang penting dan merupakan suatu bagian yang
bekesinambungan dengan proses demokratisasi di Indonesia. Pelanggaran HAM berat
merupakan salah satu persoalan serius di dalam pemerintahan Indonesia dimana pemerintah
telah berupaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat melalui instrument
hukum yaitu Undang- undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang
Nomor26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM meskipun belum dapat berfungsi dan berjalan
secara maksimal di dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di
Indonesi. Pembentukan UU KKR yang sejalan dengan Undang Undang Dasar dan Instrumen
HAM universal sangat penting untuk dilakukan demi menyelesaikan segala pelanggaran HAM
berat yang terjadi di masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel
Lesmana, Tjipta. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi : Permasalahan dan Prospeknya. dalam
“IMW Review. Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol. V. No. l”. Juli
2005.
Leksono, Karlina dan Supelli. “Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi”. Jurnal Demokrasi
dan HAM, Vol 1 No. 3. Jakarta : ID H-THC, 2001.
Mihradi, Muhammad. “Menelaah Kebijakan Penegakan Hak Asasi Manusia: Analisis Sosio
Yuridis”, Jurnal Keadilan, Vol.2 No. 2. 2002.
Sucipto, Herry dan Hajriyanto Y. Thohari, “Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu,
dalam Dignitas”, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. VIII No. 1 2012.
ibid.).
93 Ifdhal Kasim (2), “Penyelesaian Non-Prosekutorial Dan Rekonsiliatif Terhadap Pelanggaran HAM
2189
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
Syaamsuddin, Otto. Komisi Kebenaran Aceh. Banda Aceh: Bandar Publishing. 2017.
Wagiyah, Emerita. Sekilas Tentang Politik Apartheid di Afrika Selatan. 1995.
Arena Almamater Volume X-35
Weiner, Robert O., Trying to Make Ends Meet: Reconciling the Law and Practice of Human
Rights Amnesties, dalam St. Mary’s Law Journal 26, 1995.
Buku
Abdullah, Rozali. Perkembangan HAM dan keberadaan Peradilan HAM di Indonesia.
Jakarta : Ghalia Indonesia, 2001.
Abidin, Zainal, Progress Report: Pembentukan KKR, Jakarta: ELSAM, 2005. Arinanto,
Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat
Studi HTN-FHUI, 2008.
----------------- Politik Hukum 2. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2001.
Arus, Yohanes de Masenus. The Right to Know the Truth (Mencari Dasar Kerja
Pengungkapan Kebenaran). Cimacan, 2000.
Asmal, Kader. Victims. Survivors and Citizens – Human Rights. Reparations and
Reconciliation: South African Journal on Human Rights 8. No. 4 1992.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press,2005.
Azra, Azyumardi. Demokrasi. Hak Asasi Manusia. Dan Masyarakat Madani. Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2003.
Boraine, Alex. A Country Unmasked, Inside South Africa’s Truth and Reconciliation
Commission. Oxford: OUP, 2000.
Brownlie, Ian. Dokumen-Dokumen Mengenai Hak Asasi Manusia. Jakarta: UI Press,1993.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Candra. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia sebagai Penyelesaian
Pelanggaran HAM di masa lalu, Skripsi Sarjana. Jakarta : Universitas Indonesia,
2003.
Clack, George. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.
Conde, H. Victor. A Handbook of International Human Rights Terminology. 1999. Cottrell,
Robert C.. 2005. South Africa. A State of Apartheid. Chelsea House Publisher.
USA. chapter I; The Sharpville Massacre.
Djafar, Wahyudi, Mengurai Kembali Inisiatif Negara dalam Penyelesaian Masa Lalu, Jakarta:
ELSAM, 2012.
El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Mnusia dalam Konstitusi Indonesia : Dari UUD 1945 sampai
dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta: Prenada Media,2005.
ELSAM, “Pemeriksaan Permulaan Perkara Pelanggaran HAM yang Berat Berdasarkan UU
No. 26 Tahun 2000”. Position Paper, Jakarta 2000.
ELSAM, “Pemeriksaan Permulaan Perkara Pelanggaran HAM yang Berat Berdasarkan UU
No. 26 Tahun 2000”. Position Paper, Jakarta 2000.
Fatwa, AM.Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok. Pengungkapan Kebenaran Untuk
Rekonsiliasi Nasional. Jakarta: Dharmapena Publishing, 2005.
Freeman, Mark. Truth Commissions and Procedural Fairness. New York: Cambridge
University Press. 2006.
Hayner, Priscilla B., Lima Belas Komisi Kebenaran – dari tahun 1974 hingga 1994 : Suatu Studi
Perbandingan, [Fifteen Truth Commissions – 1974 to 1994 : A Comparative
Study] dalam Human Rights Quarterly, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah
ELSAM. Jakarta: ELSAM, 1994.
Hayner, Priscilla B., In Pursuit of Justice and Reconciliation: Contributions of Truth Telling,
2190
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
2191
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
Internet
Bouckaert, Peter. South Africa; The Negotiated Transition from Apartheid to Nonracial
Democracy akses dari
http://www.wilsoncenter.org/subsites/ccpdc/pubs/words/9.pdf, pada 21 Juni
2021.
Natsif, Fadli Andi. Perspektof Keadilan Transisional Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Berat. diakses di https://core.ac.uk/download/pdf/234750616.pdf
pada 21 Juni 2021.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia.
Undang-Undang HAM, UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999,
TLN No. 3886.
Indonesia, Undang-Undang Pengadilan HAM, UU No. 26 Tahun 2000, LN No. 208 Tahun
2192
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
2193
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)
DHARMASISYA
Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 1 Nomor 4 (Desember 2021) 2173-2194
e-ISSN: 2808-9456
2194
DHARMASISYA Vol. I N0. 4 (Desember 2021)