Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Laporan PKL Ektum Fix

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 141

LAPORAN EKOLOGI TUMBUHAN

ANALISIS VEGETASI DENGAN METODE MINIMAL AREA,


POLA DISTRIBUSI DAN ASOSIASI, TRANSEK, POINT
CENTRE QUARTER (PCQ), DAN T2 SAMPLING

DI SUSUN OLEH :
SRI RESKI DEWI FORTUNA
200107511009
KELOMPOK 7 (TUJUH)
PENDIDIKAN BIOLOGI ICP

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan lengkap Praktikum Ekologi Tumbuhan dengan judul “Analisis


Vegetasi dengan Metode Minimal Area, Pola Distribusi dan Asosiasi,
Transek, Point Centre Quarter (PCQ), dan T2 Sampling” yang disusun oleh:
nama : Sri Reski Dewi Fortuna
NIM : 200107511009
kelas : Pendidikan Biologi ICP
kelompok : 7 (Tujuh)
telah diperiksa secara seksama oleh Dosen Penanggung Jawab, maka laporan ini
dinyatakan diterima.

Makassar, 25 November 2022

Mengetahui
Dosen Penanggung Jawab

Dr. Ir. Muh. Wiharto, M.Si


NIP: 19660930 199203 1 004

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ Ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. Iii
DAFTAR TABEL........................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 8
C. Tujuan ................................................................................................ 9
D. Manfaat .............................................................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 11
A. Ekologi ................................................................................................. 11
B. Gunung Bawakaraeng........................................................................... 15
C. Ekosistem.............................................................................................. 17
D. Vegetasi ............................................................................................... 20
E. Botani ................................................................................................... 24
BAB III METODE PRAKTIKUM .............................................................. 27
A. Waktu dan Tempat…............................................................................ 27
B. Alat dan Bahan .................................................................................... 27
C. Prosedur Kerja...................................................................................... 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 30
A. Hasil ..................................................................................................... 30
B. Pembahasan .......................................................................................... 71
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 76
A. Kesimpulan .......................................................................................... 76
B. Saran .................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 77

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ekologi berasal dari kata oikos = rumah, dan logos = ilmu. Tumbuhan adalah
organisme hidup eukariota multiseluler dari Kingdom Plantae, yang terdiri atas
tumbuhan berbunga, Lycopodopsida, Gymnospermae, paku-pakuan, lumut, dan
sejumlah alga hijau. Ekologi tumbuhan mengandung dua pengertian, yaitu ekologi
sebagai ilmu dan tumbuhan sebagai objek. Berdasarkan uraian tersebut, maka
secara umum, ekologi tumbuhan diartikan sebagai kajian tentang hubungan timbal
balik antara tumbuhan dan lingkungannya.
Ekologi tumbuhan sebagai salah satu cabang ilmu ekologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari secara spesifik interaksi tumbuhan dengan
lingkungan hidupnya, yang berhubungan dengan berbagai proses dan fenomena
alam. Misalnya, bagaimana tumbuhan untuk hidupnya memerlukan sinar
matahari, air, oksigen, tanah atau lahan sebagai tempat tumbuh atau habitatnya.
Bagaimana peranan energi dan nutrisi untuk proses metabolisme tubuh, tumbuhan
dalam ekosistem sebagai komponen produsen menjadi sumber pakan dan sumber
energi untuk makhluk hidup lainnya yang diperoleh melalui rangkaian rantai dan
jaring – jaring makanan, danproses dekomposisi oleh mikrobiota.
Terdapat tiga jenis interaksi dalam ekosistem antara habitat dan lingkungan
dengan makhluk hidup, yaitu tumbuhan, hewan, dan mikrobiota yang menjadi
dasar struktur dan fungsi ekosistem. Habitat atau lingkungan akan mempengaruhi
dan menentukan keberadaan serta kondisi komunitas biota (masyarakat tumbuhan
dan makhluk hidup lainnya) dalamhal bagaimana tumbuh-tumbuhan, hewan, dan
mikrobiota berperanan dan berfungsi. Pengaruh lingkungan fisik terhadap
makhluk hidup dinamakan aksi, yaitu semua faktor ekologi yang
mempengaruhinya, seperti suhu udara, pH tanah, atau fotoperiodisitas. Sedangkan
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan fisiknya
dinamakan reaksi, misalnya penutupan terhadap sinar matahari atau struktur dan
formasi tanah. Hubungan timbal balik atau interaksi makhluk hidup dalam suatu

1
komunitas akan mempengaruhi habitatnya dengan makhluk hidup lain, misalnya
antara tumbuhan dengan parasit pada daunnya dalam bentuk sifat-sifat herbivora,
kompetisi, atau parasitisme.
Ekologi tumbuhan merupakan suatu penelaahan tentang berbagai aspek
ekologi dari tumbuhan pada tingkat komunitas tumbuhan (vegetasi/flora) secara
keseluruhan atau hanya menelaah populasi tumbuhan (species) secara khusus saja,
baik pada lingkungan darat (terestris) maupun lingkungan perairan
(akuatik).Dalam ekologi tumbuhan, satuan dasar ekologi yang menjadi dasar
penelaahan tentang interaksi tumbuhan dengan berbagai faktor dalam
lingkungannya adalah kajian tentang system ekologi atau ekosistem. Berdasarkan
struktur ekosistem, terdapat tiga hal yang menjadi kunci penelaahan ekologi, yaitu
individu (jenis atau spesies), populasi, dan komunitas tumbuhan.
Dalam ekologi tumbuhan juga dijelaskan bagaimana perkembangan kehidupan
tumbuhan melalui masa reproduksi, perkecambahan, pertumbuhan dan masa
dewasa, tua dan mati. Kelompok atau komunitas tumbuhan tertentu hilang atau
musnah, kemudian akan muncul, tumbuh dan berkembang kembali melalui
serangkaian proses suksesi. Proses kehidupan akan berlangsung terus menerus
secara berkesinambungan mengikuti hukum alam.
Indonesia memiliki vegetasi pada setiap hutan yang beragam dan melimpah
sehingga hutan di Indonesia termasuk kedalam hutan yang sangat kaya akan
vegetasi. Dihutan sendiri terdapat beberapa jenis vegetasi yang pertama yaitu
vegetasi semak, yang kedua yaitu vegetasi pohon, vegetasi anakan pohon serta
vegetasi herba. Dalam lingkungan hidup di bumi ( biosfera ), tumbuhan adalah
masyarakat makhluk hidup yang mempunyai kemampuan menangkap, mengikat,
dan mengubah energi sinar matahari menjadi energi bentuk lain yang dapat
dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan makhluk hidup lainnya. Salah satu cirri
yaitu tumbuhan memiliki butir-butir pigmen hijau daun atau klorofil sehingga
dapatmelakukan fotosintesis.
Secara taksonomi sesuai dengan sistematika makhluk hidup, disiplin ilmu
ekologi dapat dikelompokan menjadi bidang kajian ekologi tumbuhan, ekologi
hewan, atau ekologi mikroba. Sinekologi mempelajari organisme yang

2
merupakan satu kesatuan, sedangkan autokeologi merupakan kajian tentang
individu organisme atau individu spesies, menyangkut riwayat hidup dan
kelakuannya, dalam arti menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Tumbuhan sebagai satu kesatuan makhluk hidup secara individual, merupakan
suatu tingkatan taksonomis yang disebut jenis atau spesies. Spesies tumbuhan
dapat didefinisikan sebagai organisme yang dapat melakukan perkawinan atau
persilangan dengan tumbuhan sesamanya yang dapat menghasilkan turunan yang
fertil. Secara genetis individu tumbuhan satu- persatu merupakan suatu wujud
makhluk hidup yang seragam bersama-sama dengan lingkungannya, individu-
individu tumbuhan tersebut membentuk satuan ekologi.
Penelaahan mengenai ekologi individu pada dasarnya berhubungan erat dengan
hal-hal bagaimana tumbuhan berinteraksi dengan makhluk hidup lain, lingkungan
mikro dan lingkungan makro disekitarnya, yang secara individual akan
menyesuaikan diri terhadap pengaruh berbagai faktor lingkungannya. Penelahan
tentang ekologi individu akan menghasilkan informasi yang berguna untuk
menyusun atau mengungkapkan gambaran yang lengkap tentang kumpulan dari
suatu jenis atau spesies tumbuhan yang sama yang dinamakan populasi tumbuhan.
Setiap vegetasi memiliki ciri yang berbeda yang dapat membuat kita tahu
bagaimana cara membedakan kawan hutan yang memiliki masing-masing
vegetasi tersebut. Masing masing vegetasi tumbuhan akan mendominasi suatu
wilayah tergantung dari kondisi lingkungan dari wilayah tersebut. Karena setiap
jenis tumbuhan atau spesies tumbuhan memiliki kondisi lingkuangan optimum
dalam melakukan aktivitasnya.
Populasi tumbuhan terbentuk dari suatu kelompok individu dari jenis atau
spesies tumbuhan yang sama yang dapat berkembang biak antar jenis. Karena
jenis-jenisnya, kebersamaaannya sebagai satu kumpulan jenis tumbuhan
terpelihara oleh perkembangbiakan antar jenis melalui pertukaran antar gen, maka
jenis tersebut akan merupakan suatu kelompok individu yang mempunyai gen
yang sama pula. Perbedaan kecil yang mungkin terdapat oleh adanya pengaruh
lingkungan atau habitat setempat antar populasi tumbuhan merupakan dasar
seleksi alam yang berlangsung secara evolusi. Kumpulan populasi dari berbagai

3
jenis atau spesies tumbuhan yang menempati suatu wilayah tertentu akan
membentuk suatu komunitas tumbuhan.
Hutan alam tropis yang masih utuh mempunyai jumlah spesies tumbuhan
yang sangat banyak. Hutan-hutan di Kalimantan mempunyai lebih dari 40.000
spesies tumbuhan, dan merupakan hutan yang paling kaya spesiesnya di dunia.
Di antara 40.000 spesies tumbuhan tersebut, terdapat lebih dari 4.000 spesies
tumbuhan yang termasuk golongan pepohonan besar dan penting. Di dalam
setiap hektar hutan tropis seperti tersebut mengandung sedikitnya 320 pohon.
Hutan tidak hanya diperuntukkan bagi manusia semata, flora dan fauna pun
sepantasnya mendapatkan manfaat hutan sebagai habitat atau rumah bagi mereka
semua. Flora dan fauna yang ada berhak untuk hidup dan berkembang di dalam
hutan. Selain itu, hutan juga merupakan sarana pertahanan ekosistem lainnya.
Ekosistem hutan merupakan sumber daya alam yang memberikan beragam
manfaat bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, hutan dapat menghasilkan kayu industri, kayu bakar, dan hasil
hutan non kayu. Selain itu hutan juga dapat bermanfaat sebagai obyek pariwisata.
Berdasarkan variasi sistem ekologi dan tujuan pengelolaannya, hutan dapat dibagi
menjadi beberapa golongan yaitu hutan produksi, hutan suaka alam dan hutan
lindung. Namun dengan meningkatnya jumlah manusia disekitar hutan menjadi
ancaman bagi kelestarian hutan. Peningkatan jumlah manusia akan berbanding
lurus dengan peningkatan kebutuhan sumberdaya seperti makanan, perlindungan,
peralatan, lahan dan lain sebagainya.
Dalam suatu ekosistem individu, populasi, dan komunitastumbuhan
cenderung tidak pernah sepenuhnya dalam keadaanmantap, tetapi terdapat dalam
keseimbangan yang mudah goyah. Melalui berbagai kaidah ekologi yang
berlangsung secara terus menerus maka berbagai proses, seperti proses interaksi,
toleransi, adaptasi, fisiologi, asosiasi dan suksesi, akan terbentuk keseimbangan
dinamis atau homeostatis untuk skala waktu tertentu. Mempelajari dunia tumbuh –
tumbuhan di dalam lingkungannya telah menghasilkan pengetahuan dasar yang
sangat luas tentang berbagai hal, misalnya pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya alam, keseimbangan system ekologi, dan konservasinya. Ekosistem daratan

4
atau disebut juga dengan ekosistem terestrial merupakan gabungan dari 2 (dua)
kata, yaitu ekosistem dan daratan. Sudah banyak dijelaskan pada bab sebelumnya,
bahwa ekosistem dapat diartikan sebagai suatu bentuk hubungan timbal balik
antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya maupun makhluk hidup
dengan lingkungannya.
Dalam hal ini ekologi tumbuhan secara khusus mempunyai peranan yang
penting dalam membantu mengatur lingkungannya agar keseimbangan system
ekologi tidak terganggu, misalnya bagaimana kegiatan manusia berpengaruh
terhadap sumber daya alam, mengontrol erosi tanah, melakukan rehabilitasi,
restorasi, konservasi ekosistem, seperti padang rumput atau hutan dan vegetasinya
serta kehidupan satwa liar dan habitatnya. Ilmu Ekologi dan Lingkungan adalah
Deskripsi dan Analisa Vegetasi. Dimana ilmu deskripsi dan analisa vegetasi
mengkaji luasan petak contoh terkecil yang dapat mewakili keadaan komunitas
vegetasi dengan metode analisis metode kuadran, metode garis dan metode plot.
Mengkaji vegetasi dapat dilihat dari hubungan tumbuhan dengan lingkungan
sesuai dengan habitat tumbuhan tersebut berada.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang
mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik secara langsung maupun
tidak langsung. Lingkungan mempunyai arti penting bagi manusia. Dengan
lingkungan fisik manusia dapat menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan
materialnya. Dengan lingkungan biologi manusia dapat memenuhi kebutuhan
jasmaninya. Lingkungan merupakan tempat berinteraksi antar makhluk hidup
dengan tempat tinggal baik berupa abiotik maupun biotik.
Dalam suatu daerah, lingkungan atau kawasan, misalnya hutan, kolam, danau,
waduk dan lain sebagainya telah terjadinya interaksi antar komponen biotik
(makhluk hidup) dan komponen abiotik (makhluk tak hidup). Di sekeliling kita
banyak sekali komponen lingkungan yang berkomunikasi, berinteraksi, saling
melengkapi antara satu dengan lainnya. Interaksi itu telah terjalin sudah cukup
lama, sehingga terbentuklah sebuah keseimbangan.. Contohnya sebuah tumbuhan
memerlukan tanah, unsur hara, cahaya dan air untuk tumbuh. Lalu tumbuhan ini
kemudian bisa menjadi sumber makanan bagi makhluk hidup lainnya seperti

5
hewan maupun manusia dan demikian seterusnya Peristiwa diatas merupakan
suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk
hidup dengan lingkungan dan biasanya kita kenal dengan ekosistem. Suatu sistem
ini terdiri dari berbagai komponen yang saling melengkapi dan bekerja terus-
menerus dan teratur sebagai satu kesatuan yang utuh.
Ilmu tentang hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungan
hidupnya disebut dengan Ekologi. Oleh karena itu permasalahan lingkungan
merupakan permasalahan Ekologi. Komponen utama dalam ekologi adalah
ekosistem, ekosistem merupakan satuan fungsional dasar dalam ekologi, karea
ekosistem meliputi makhluk hidup dengan lingkungan organisme (komunitas
biotik) dan lingkungan abiotik, masing-masing akan mempengaruhi sifat-sifat
lainnya dan keduanya perlu untuk memelihara kehidupan sehingga terjadi
keseimbangan, keselarasan dan keserasian alam di bumi ini. Dalam hal ini fungsi
utama ekosistem di bumi penekanannya adalah pada hubungan ketergantungan
dan hubungan sebab akibat, yang merupakan serangkaian komponen-komponen
untuk membentuk satuan-satuan fungsional. Kesatuan komponen tersebut memicu
kepada kualitas lingkungan yang seimbang dan selaras pada kesehatan
lingkungan.
Dalam mempelajari ilmu ekologi juga tidak lepas dari geografi karena
menyangkut tentang lingkungan. Dalam hidupnya organisme atau makhluk hidup
menempati tempat atau habitat yang berbeda-beda ada yang hidupnya di darat, di
laut, di pesisir pantai, di pegunungan dan lain sebagainya. Analisa vegetasi adalah
cara mempelajari susunan (komponen jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau
masyarakat tumbuh-tumbuhan. Hutan merupakan komponen habitat terpenting
bagi kehidupan oleh karenanya kondisi masyarakat tumbuhan di dalam hutan baik
komposisi jenis tumbuhan, dominansi spesies, kerapatan maupun keadaan
penutupan tajuknya perlu diukur. Selain itu dalam suatu ekologi hutan satuan
yang akan diselidiki adalah suatu tegakan, yang merupakan asosiasi konkrit.
Organisme-organisme hidup (biotic) dan lingkungan tidak hidupnya (abiotic)
berhubungan erat tak terpisahkan dan saling pengaruh-mempengaruhi satu sama
lain. Satuan yang mencakup semua organisme, yakni “komunitas” di dalam suatu

6
daerah yang saling mempengaruhi dengan lingkungan fisiknya sehingga arus
energi mengarah ke struktur makanan, keanekaragaman biotic, dan daur-daur
bahan yang jelas (yakni pertukaran bahan-bahan antara bagian-bagian yang hidup
dan tidak hidup) di dalam system, merupakan system ekologi atau ekosistem.
Oleh karena ekosistem mencakup organisme dan lingkungan abiotiknya yang
saling berinteraksi, maka ekosistem merupakan satuan dasar fungsional ekologi.
Secara harafiah ekologi merupakan ilmu yang mempelajari organisme dalam
tempat hidupnya atau dengan kata lain mempelajari hubungan timbal-balik antara
organisme dengan lingkungannya. Ekologi hanya bersifat eksploratif dengan tidak
melakukan percobaan, jadi hanya mempelajari apa yang ada dan apa yang terjadi
di alam. Pada saat ini dengan berbagai keperluan dan kepentingan, ekologi
berkembang sebagai ilmu yang tidak hanya mempelajari apa yang ada dan apa
yang terjadi di alam.
Ekologi berkembang menjadi ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi
ekosistem (alam), sehingga dapat menganalisis dan memberi jawaban terhadap
berbagai kejadian alam. Sebagai contoh ekologi diharapkan dapat memberi
jawaban terhadap terjadinya tsunami, banjir, tanah longsor, DBD, pencemaran,
efek rumah kaca, kerusakan hutan, dan lain-lain. Struktur ekosistem terdiri dari
beberapa indikator yang menunjukan keadaan dari system ekologi pada waktu dan
tempat tertentu. Beberapa penyusun struktur ekosistem antara lain adalah densitas
(kerapatan), biomas, materi, energi, dan faktor- faktor fisik-kimia lain yang
mencirikan keadaan system tersebut. Fungsi ekosistem menggambarkan hubungan
sebab akibat yang terjadi dalam system.
Berdasarkan struktur dan fungsi ekosistem, maka seseorang yang belajar
ekologi harus didukung oleh pengetahuan yang komprehensip berbagai ilmu
pengetahuan yang relevan dengan kehidupan seperti: taksonomi, morfologi,
fisiologi, matematika, kimia, fisika, agama dan lain-lain. Belajar ekologi tidak
hanya mempelajari ekosistem tetapi juga otomatis mempelajari organisme pada
tingkatan organisasi yang lebih kecil seperti individu, populasi dan komunitas,
satuan terkecil dari kehidupan adalah sel, menyusul jaringan, organ, organisme
(individu), populasi (satu jenis), komunitas (banyak jenis), dan ekosistem

7
(komunitas dan lingkungan). Selain itu hutan juga dapat bermanfaat sebagai
obyek pariwisata. Berdasarkan variasi sistem ekologi dan tujuan pengelolaannya,
hutan dapat dibagi menjadi beberapa golongan yaitu hutan produksi, hutan suaka
alam dan hutan lindung.
Bidang bahasan ekologi meliputi populasi, komunitas dan ekosistem. Ketiga
tingkat tersebut dalam kajian ekologi berkaitan satu sama lain yang tidak dapat
dipisahkan, mempelajari ekosistem dengan sendirinya akan mempelajari pula
komunitas dan populasinya. Ekosistem tidak tergantung kepada ukuran tetapi
lebih ditentukan oleh kelengkapan komponennya. Oleh karena itu, ukuran
ekosistem bervariasi dari sebesar kultur dalam botol di laboratorium, seluas
danau, sungai sampai biosfir ini. Komponen ekosistem yang lengkap harus
mengandung produsen, konsumen, pengurai, dan komponen tak hidup (abiotik)
Ekosistem hutan merupakan sumber daya alam yang memberikan beragam
manfaat bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, hutan dapat menghasilkan kayu industri, kayu bakar, dan hasil
hutan non kayu.
Mengingat pentingnya gunung Bawakaraeng dan juga vegetasi pohon,
maka perlu dilakukan pemeliharaan keberlanjutan mereka. Perubahan dan
gangguan pada gunung Bawakaraeng juga akan mempengaruhi vegetasi ini.
Vegetasi tumbuhan bawah yang meliputi semak, pancang, dan herba memiliki
peranan penting dalam keragaman vegetasi di hutan hujan tropis. Langkah
pertama yang perlu dilakukan, adalah memahami kondisi ekologisnya vegetasi,
yang meliputi vegetasi di gunung Bawakaraeng.Berdasarkan hal tersebut sehingga
praktikum ini dilaksanakan sebagai salah satu cara untuk mengetahui dan
menganalisis suatu vegetasi dengan menggunakan metode minimal area, pola
distribusi dan asosiasi, transek, point centre quarter (pcq), dan t 2 sampling.

B. Rumusan Masalah
1. Berapakah jumlah spesies herba yang hadir pada plot lokasi pengambilan
data?

8
2. Pola penyebaran distribusi apa yang didapatkan dalam pengambilan data
tumbuhan herba? Serta bagaimana asosiasi atau hubungan ketertarikan antara 2
jenis tumbuhan?
3. Berapakah jumlah indeks nilai penting (INP) pada suatu spesies dan
indeks keanekaragaman jenis, kekayaan jenis, kemerataan dan dominansi?
4. Berapakah nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, serta INP pada suatu
spesies?
5. Berapakah jumlah spesies yang hadir per hektar pada saat pengambilan
data?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui jumlah spesies herba yang hadir pada plot lokasi
pengambilan data.
2. Untuk mengetahui pola penyebaran distribusi tumbuhan herba dan
mengetahui asosiasi atau hubungan ketertarikan antara 2 jenis tumbuhan.
3. Untuk mengetahui berapa indeks nilai penting (INP) suatu spesies pada
lokasi pengambilan data dan juga mengetahui indeks keanekaragaman jenis,
kekayaan jenis, kemerataan dan dominansi.
4. Untuk mengetahui berapa nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan INP
suatu spesies yang terdapat dilokasi pengambilan data.
5. Untuk mengetahui berapa jumlah spesies tumbuhan yang hadir per hektar
pada lokasi pengambilan data.

D. Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui jumlah spesies herba yang hadir pada plot
pengambilan data.
2. Mahasiswa dapat mengetahui pola penyebaran distribusi pada tumbuhan
herba dan mengetahui asosiasi atau hubungan ketertarikan antara 2 jenis
tumbuhan.

9
3. Mahasiswa dapat mengetahui berapa jumlah INP suatu spesies pada lokasi
pengambilan data serta mengetahui indeks keanekaragaman jenis, kekayaan
jenis, kemerataan dan dominansi.
4. Mahasiswa dapat mengetauhi berapa nilai kerapatan, frekuensi, dominansi,
dan INP suatu spesies pada lokasi pengambilan data.
5. Mahasiswa dapat mengetahui berapa jumlah spesies tumbuhan yang hadir
per hektar pada lokasi pengambilan data.

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekologi
Istilah ekologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu oikos dan logos.
Istilah ini mula-mula diperkenalkan oleh Ernst Haeckel pada tahun 1869. Ekologi
berasal dari kata Yunani oikos, yang berarti rumah dan logos, yang berarti ilmu
atau pengetahuan. Jadi, ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal
balik (interaksi) antara organisme dengan alam sekitar atau lingkungannya
(Maknun, 2017).
Ekologi merupakan studi keterkaitan antara organisme dengan lingkungannya,
baik lingkungan abiotik maupun biotik. Lingkungan abiotik tediri dari atmosfer,
cahaya, air, tanah dan unsur mineral. Tetapi perlu diketahui apa yang dimaksud
dengan organisme. Ini penting karena pada hakikatnya organisme dibangun dari
sistem-sistem biologik yang berjenjang sejak dari molekul-molekul biologi yang
paling rendah meningkat ke organelorganel subseluler, sel-sel, jaringan-jaringan,
organ-organ, sistem-sistem organ, organisme-organisme, populasi, komunitas, dan
ekosistem. Interaksi yang terjadi pada setiap jenjang sistem biologik dengan
lingkungannya tidak boleh diabaikan atau disepelakan, karena hasil interaksi
jenjang biologik sebelumnya akan mempengaruhi proses interaksi jenjang
selanjutnya. Berikut ini disajikan Spektrum Biologi yang menggambarkan model
komponen biotik dan abiotik yang dapat membentuk biosistem (Miswar & Irma,
2019).
Habitat (bahasa Latin untuk "it inhabits") atau tempat tinggal makhluk hidup
merupakan unit geografi yang secara efektif mendukung keberlangsungan hidup
dan reproduksi suatu spesies atau individu suatu spesies. Di dalam habitat
tersebut, faktor biotik dan abiotik lainnya berinteraksi secara kompleks untuk
membentuk satu kesatuan yang disebut habitat atas. Organisme lain termasuk individu
lain dari spesies yang sama, atau populasi lain yang mungkin terdiri dari virus, bakteri,
jamur, protozoa, tumbuhan, dan hewan lainnya. Faktor abiotik habitat meliputi

11
organisme/benda mati seperti air, tanah, udara atau faktor fisik dan kimiawi (Darmayani
dkk, 2021).
Menurut Maknun (2017), secara umum asas integratif fungsional yang
meliputi pertumbuhan sifat-sifat dengan naiknya kompleksitas struktur merupakan
suatu hal yang sangat penting dalam ekologi.
1. Berdasarkan Keilmuan :
a. Sinekologi
Sinekologi sering disebut sebagai ekologi komunitas, yaitu kajian
ekologi yang mempelajari komunitas makhluk hidup sebagai suatu
kesatuan yang saling berinteraksi antara berbagai jenis makhluk hidup
dengan lingkungan di sekitarnya,
b. Autekologi
merupakan kajian tentang individu organisme atau individu spesies,
menyangkut riwayat hidup dan kelakuannya dalam arti menyesuaikan
diri dengan lingkungannya.
2. Berdasarkan Taksonomi :
a. Ekologi Manusia
Ekologi Manusia merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal
balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Artinya, terdapat
keterkaitan antara manusia dengan komunitas biologis (alam), maupun
dengan komunitas sosial (masyarakat).
b. Ekologi Tumbuhan
Ekologi tumbuhan merupakan cabang ilmu ekologi yang mempelajari
tumbuhan sebagai objek kajiannya. Kajian utama dalam ekologi
tumbuhan adalah hubungan timbal-balik antara tumbuhan dan
lingkungannya.
c. Ekologi Hewan
Ekologi hewan merupakan cabang ekologi dengan fokus kajian pada
hewan, sehingga didefinisikan sebagai ilmu yang memelajari
hubungan interaksi antara hewan dengan lingkungannya.

12
d. Ekologi Mikroba
Ekologi mikroba adalah Ilmu yang mempelajari tentang timbal balik
antara mikroba dan lingkungan hidupnya.
3. Berdasarkan Keperluan Praktis :
a. Ekologi Air Tawar
Ekologi merupakan ilmu pengetahuan yang menjelaskan interaksi
makhluk hidup dan lingkungannya. Sedangkan perairan tawar
adalah semua badan air di permukaan bumi arah ke darat dari garis
pasang surut terendah baik berair tawar maupun payau.
b. Ekologi Laut
Ekologi laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai
komponen abiotik (fisika – kimia) dan komponen biotik
(organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain, dan saling
berinteraksi membentuk suatu unit fungsional.
c. Ekologi Daratan
Ekologi daratan (terestrial), yaitu mempelajari hubungan timbal
balik antara organisme dengan organisme lainnya serta dengan
semua wilayah daratan tegalan, kebun, ladang, hutan lahan kering,
padang rumput, atau gurun.
Komunitas (community) adalah suatu kelompok populasi dari sejumlah
spesies yang berbeda di suatu wilayah. Komunitas juga didefinisikan sebagai
sekumpulan populasi yang berbeda baik populasi tumbuhan maupun populasi
hewan yang hidup dan berinteraksi pada tempat mereka hidup membentuk suatu
masyarakat atau suatu komunitas. Contoh komunitas, misalnya komunitas sawah
dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacam-macam organisme,
misalnya padi, belalang, burung, ular dan gulma. Komunitas sungai terdiri dari
ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan dekomposer (Darmayani, 2021).
Aktivitas manusia yang berkaitan dengan upaya memanfaatkan hutan sebagai
salah satu faktor penyebab terjadin ya perubahan kondisi komunitas
tumbuhanyang ada didalamnya. Aktivitas manusia dalam hutan yang bersifat
merusak komunitas tumbuhan misalnya penebangan pohon, pencurian hasil hutan,

13
perladangan liar, penggembalaan liar, pembakaran hutan, dan perambahan dalam
kawasan hutan. Akibat dari pemanfaatan hutan yang tidak bertanggung jawab
maka akan terjadi deforestasi hutan secara besar-besaran sehingga fungsi hutan
menurun (Arisandy, 2020).
Peningkatan mutu pendidikan adalah salah satu program pendidikan nasional
dan rencana strategis pendidikan nasional. Peningkatan mutu pendidikan sangat
erat kaitannya dengan pengembangan Sumber Daya Alam (SDA), maka dari itu
upaya peningkatan mutu pendidikan terutama dari aspek sumber daya manusianya
adalah sebuah keniscayaan.Pendidikan berlangsung dalam bentuk mengajar dan
belajar. Mengajar dan belajar dapat diumpamakan sebagai dua sisi mata uang.
Keduanya saling melengkapi sehingga dapat dikatakan dua buah kegiatan dari
satu aspek tunggal atau dua aspek dari proses yang disebut pendidikan (Murti,
2019).
Di alam jarang sekali ditemukan kehidupan yang secara individu terisolasi,
biasanya suatu kehidupan lebih suka mengelompok atau membentuk koloni.
Kumpulan berbagai jenis organisme disebut komunitas biotik yang terdiri atas
komunitas tumbuhan (vegetasi), komunitas hewan dan komunitas jasad renik.
Ketiga macam komunitas itu berhubungan erat dan saling bergantung. Ilmu untuk
menelaah komunitas (masyarakat) ini disebut sinekologi. Di dalam komunitas
percampuran jenis-jenis tidak demikian saja terjadi, melainkan setiap spesies
menempati ruang tertentu sebagai kelompok yang saling mengatur di antara
mereka. Kelompok ini disebut populasi sehingga populasi merupakan kumpulan
individu - individu dari satu macam spesies (Arisandy, 2020).
Karena ada hubungan yang khas antara lingkungan dan organisme, maka
komunitas di suatu lingkungan bersifat spesifik. Dengan demikian pola vegetasi di
permukaan bumi menunjukkan pola diskontinyu. Seringkali suatu komunitas
bergabung atau tumpang tindih dengan komunitas lain. Karena tanggapan setiap
spesies terhadap kondisi fisik, kimia maupun biotik di suatu habitat berlainan
maka perubahan di suatu habitat cenderung mengakibatkan perubahan komposisi
komunitas. Untuk itu perlu dilakukan suatu analisis yang dapat menentukan

14
bagaimana penyebaran suatu jenis vegetasi agar dapat dipelajari dengan mudah
(Darmayani dkk, 2021).
B. Gunung Bawakaraeng
Gunung Bawakaraeng merupakan salah satu gunung tertinggi di Sulawesi
Selatan dengan ketinggian 2.845 m di atas permukaan laut. Hutan Gunung
Bawakaraeng dikenal secara lokal, nasional, maupun internasional sebagai
kawasan ekowisata yang banyak dikunjungi oleh pencinta alam. Gunung ini
terletak di Kawasan Malino Kabupaten Gowa dan masih memiliki vegetasi yang
masih bagus. Masyarakat sekitar memanfaatkan keindahan alam gunung ini
sebagai tempat wisata dan tanah di kaki gunung sebagai lahan lahan
pertanian. Kawasan hutan gunung Bawakaraeng merupakan salah satu hutan
pegunungan tropis di Indonesia yang memiliki keanekaragaman pohon yang
tinggi termasuk tumbuhan Penutup. Jenis-jenis dari suku Araceae dan paku-
pakuan sangat banyak dijumpai. Namun demikian, adanya jalan masuk
menuju puncak yang sering dilalui orang dapat menjadi ancaman bagi
kelestarian dan berkurangnya keragaman vegetasi tumbuhan penutup hutan
Gunung Bawakaraeng (Musyawir dkk, 2021).
Dengan melihat realitas yang terjadi, saat ini kondisi lingkungan sudah
semakin tidak bersahabat lagi dengan manusia, hal tersebut dapat disaksikan
dengan banyaknya gejala alam yang bermunculan dan salah satu kaitannya yakni
karena kurangnya kesadaran akan pentingnya melestarikan lingkungan. Salah satu
contoh lingkungan yang mulai kritis pada hari ini adalah gunung hutan, khususnya
Gunung Bawakaraeng. Kerusakan hutan disebabkan karena semakin maraknya
penebangan pohon secara liar di kawasan kaki Gunung Bawakaraeng, tepatnya di
Lembanna hutan pinus, banyaknya sampah-sampah yang berserakan di sekitar
jalur pendakian Gunung Bawakaraeng akibat ulah para pendaki yang tidak
bertanggung jawab. Selain kurangnya kesadaran akan pentingnya menjaga
Gunung Bawakaraeng, juga karena tidak adanya batasan bagi masyarakat sekitar
ataupun pendatang untuk dapat menikmati indahnya pendakian gunung
Bawakaraeng, salah satu contoh kegiatan pendakian bersama, seperti acara 17
agustus dan kegiatan-kegiatan aktivis alam lainnya yang dihadiri oleh ratusan

15
bahkan ribuan orang secara bersamaan, yang tentunya akan berpotensi menambah
kerusakan Gunung Bawakaraeng (Muhammad & Andi, 2020).
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Salah satu
dari sumber daya alam tersebut adalah hutan, Indonesia merupakan negara yang
memiliki hutan terbesar perikat 3 di dunia. Berdasarkan Direktorat Jendral
Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), hasil pemantauan hutan Indonesia di tahun 2019
menunjukkan bahwa luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 94,1
juta hektare atau 50,1 persen dari total daratan. (Tropis, 2020). Sehingga
pemerintah berkewajiban untuk menguasai, melindungi, dan mengelola kawasan
hutan sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia
Tahun 1945 (Najicha, 2021).
Hutan adalah suatu ekosistem yang kompleks secara struktural yang
mengandung lapisan-lapisan tumbuhan bawah yang berperan dalam proses-proses
ekologis dan seringkali merupakan penyusun kekayaan jenis hutan yang besar.
Vegetasi tumbuhan bawah termasuk tumbuhan treelet di gunung Bawakaraeng
merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem di gunung ini. Pohon dan
semak memiliki banyak manfaat. Dengan tumbuhnya vegetasi di suatu daerah,
tanaman ini dapat melindungi tanah, menjadi makanan bagi hewan liar dan
peliharaan, sumber makanan, obat-obatan, serat, dan bangunan. Hutan yang
merupakan sebuah kawasan yang ditumbuhi oleh pepohonan dan
tumbuhan lebat terdapat dalam kawasan kawasan di wilayah yang luas di
dunia dan berfungsi sebagai penampung karbondioksida, habitat hewan, dan
pelestari tanah (Ahada, 2020).
Hutan yang mengalami gangguan ekosistem akan memengaruhi nilai
keanekaragamannya (Suhendang, 2013). Keseimbangan ekosistem akan menurun
apabila kawasan hutan memiliki nilai keanekaragaman yang rendah, dan terjadi
penurunan fungsi ekologis hutan. Sebaliknya, dengan nilai keanekaragaman yang
tinggi, maka ekosistem hutan tersebut semakin stabil (Syafitri dkk, 2019).
Hutan adalah suatu ekosistem, yang terdiri dari komponen abiotik seperti
udara, air, tanah, dan komponen biotik yang terdiri dari tumbuhan, hewan, dan

16
mikroorganisme. Makhluk tersebut masing-masing berada dalam suatu komunitas
tertentu, dimana mereka saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Komunitas
tumbuhan hutan memiliki dinamika atau perubahan, baik yang disebabkan oleh
adanya aktivitas alam maupun manusia (Arisandy, 2020).
Kearifan lokal merupakan sistem dalam kehidupan masyarakat yang bersifat
dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima oleh komunitasnya yang mencakup
kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi dan lingkungan (Thamrin, 2013).
Kearifan lokal merupakan kepercayaan yang telah berakar dan sulit untuk
dihilangkan dalam suatu kelompok masyarakat yang digunakan untuk bertahan
hidup sesuai dengan kondisi lingkungan (Awaliah dkk, 2020).
Peran kearifan lokal sangat dibutuhkan dalam mengatasi kerusakan yang
terjadi di permukaan bumi, karena memerlukan solusi yang berawal dari
lingkungan sekitar (Sufia et al., 2016). Pemanfaatan lingkungan hutan yang arif
akan memberikan keseimbangan alam yang bermanfaat bagi kesejahteraan
masyarakatnya (Senoaji, 2004). Keberadaan kearifan lokal secara langsung
maupun tidak langsung memiliki peran dalam memelihara dan mencegah
terjadinya kerusakan lingkungan (Lampe, 2006). Geografi budaya mencoba
memperbandingkan distribusi perubahan dari area budaya dan distribusi yang
berasal kenampakan muka bumi (Syarif & Leo, 2019).
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup hadir sebagai solusi dalam
mengatasi kerusakan lingkungan. Secara umum kerusakan lingkungan terjadi
disebabkan karena 2 hal, yaitu: a) kerusakan lingkungan yang terjadi karena
lingkungan yang kian hari kemampuannya semakin berkurang (naturalis); dan b)
kerusakan lingkungan yang terjadi karena ulah tangan manusia. Tindakan lalai
atau keinginan untuk memiliki dan mempergunakan sesuatu secara berlebihan
bahkan semaunya adalah murni sifat hewani yang dimiliki oleh manusia. Hal
demikian terjadi karena kurangnya pengetahuan akan pentingnya lingkungan itu
sendiri (Muhammad & Andi, 2020).

C. Ekosistem
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan. Ekosistem dapat dianggap
17
sebagai suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara semua elemen
lingkungan yang mempengaruhi satu sama lain. Suatu ekosistem dapat terdiri dari
berbagai macam elemen penyusunnya, diantaranya makhluk hidup, air , siklus
energi, tanah, bebatuan, dan mineral. Diantara elemen-elemen ini, terdapat
hubungan yang tidak hanya dapat terjadi pada makhluk hidup dengan
lingkungannya, malainkan juga antar spesies satu dengan spesies yang lainnya
yang menghuni ekosistem tersebut (Mukharomah, 2020).
Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem melibatkan
interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran
energi menutu struktur biotik tertentu ada siklus material antara organisme dan
anorganisme. Matahari sebagai sebagai sumber dari semua energi yang ada
(Mukharomah, 2020).
Menurut Irwan (2017), komponen-komponen ekosistem dapat dibagi
berdasarkan :
1. Dari segi makanan (trophik) memiliki dua komponen yang biasanya
terpisah-pisah dalam waktu dan ruang yaitu :
a. Komponen autotrop (memberi makan sendiri) disini terjadi pengikatan
energi sinar matahari.
b. Komponen heterotrophik (memakan yang lainnya) disini terjadi
pemakaian, pengaturan kembali dan perombakan bahan-bahan yang
kompleks.
2. Dari segi keperluan deskriptif
a. Komponen abiotik, terdiri dari :
1. Senyawa-senyawa inorganik ( C H CO2 H2O dan lainnya)
2. Senyawa-senyawa organik (protein, karbohidrat, lemak dan
seterusnya).
3. Iklim (temperatur, faktor-faktor fisik lainnya)
4. Air
b. Komponen-komponen biomas terdiri dari :

18
1. Produsen, organisme autropik, umumnya tumbuhan hijau yang
mampu menghasilkan atau membentuk makanan dari senyawa-
senyawa an-organik yang sederhana
2. Makro-konsumer atau phagotrof, organisme-organisme
heterotropik, terutama binatang-binatang yang mencernab
organisme-organisme atau bagian organik
3. Mikro-konsumer, saprotrof atau osmotrop, organisme heterotropik
terutama bakteri dan jamur yang merombak senyawa-senyawa
kompleks daripada protoplasma mati.
Ekosistem mampu memelihara dan mengatur diri sendiri seperti halnya
komponen penyusunnya yaitu organisme dan populasi. Dengan demikian,
ekosistem dapat dianggap suatu cibernetik di alam. Namun manusia cenderung
mengganggu sistem pengendalian alamiah ini. Ekosistem merupakan kumpulan
dari bermacam-macam dari alam tersebut, contoh heewan, tumbuhan,
lingkungan, dan yang terakhir manusia. Ekologi merupakan salah satu ilmu dasar
bagi ilmu lingkungan. Berbicara ekologi pasti berbicara mengenai semua
makhluk hidup dan benda-benda mati yang ada di dalamnya termasuk tanah, air,
udara dll. Dimana lingkungan yang ditempati berbagai jenis makhluk hidup
tersebut saling mempengaruhi dan dipengaruhi (Miswar & Irma, 2019).
Selain faktor dari pH tanah yang berpengaruh pada pertumbuhan tumbuhan
paku juga ada Kelembaban tanah yang berperan dalam pertumbuhan tumbuhan
paku. Menurut Sandy (2016), kelembaban adalah salah satu faktor pembatas
dalam pertumbuhan paku. Tanpa adanya kelembaban tanah yang tinggi, umum
nya tumbuhan paku tumbuh tidak sehat. Tingkat kelembaban 3% ialah presentase
terendah yang masih dapat ditoleransi oleh paku untuk pertumbuhan nya.
Kelembaban relatif yang baik bagi pertumbuhan tumbuhan paku (Pteridophyta))
umumnya berkisar antara 6-8% bahkah dapat lebih dari itu. Kelembaban tanah
juga berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara dan laju pertumbuhan.
Umumnya paku-pakuan yang hidup pada hutan tropis basah memerlukan
kelembaban tanah kurang lebih 7%, jika kelembaban tanah tersebut terpenuhi,
maka paku-pakuan dapat tumbuh subur (Pramudita dkk, 2021).

19
Pada tahun 1840, Justus von Liebig, seorang ahli kimia Jerman ini
mempublikasikan buku berjudul Organic chemistry in its applications to
agriculture and physiology. Di dalam buku tersebut, Liebig membahas berbagai
hal terkait fisiologi dan agriculture, dan salah satu yang terpenting adalah apa
yang saat ini kita kenal sebagai hukum minimum Liebig. Dia memberikan
pandangan yang berlaku umum saat itu tentang teori humus. Ia menyatakan
bahwa mineral diperlukan dari tanah dan berbagai gas dari udara (CO2) atau air
(H dan O2). Termasuk dalam bahasan Liebig adalah nitrogen, yang menurut
Liebig diambil dari udara. Untuk yang terakhir, pemikiran Liebig tidak berlaku
pada sebagian besar tumbuhan, kecuali pada tumbuhan penambat nitrogen dari
famili Fabaceae. Sehingga, Liebig berhasil mengungkapkan bahwa nutrien di
tanah yang telah diambil oleh tumbuhan dapat digantikan dengan pemberian
pupuk (Achmmad, 2018).
D. Vegetasi
Istilah vegetasi berasal dari bahasa Inggris yaitu vegetation. istilah untuk
keseluruhan tumbuhan di suatu tempat tertentu, mencakup komunitas baik
perpaduan komunal dari jenis-jenis flora penyusunnya maupun tutupan lahan
(ground cover) yang dibentuknya merupakan istilah dari ekologi. Vegetasi
merupakan bagian hidup yang tersusun dari tumbuhan yang menempati suatu
ekosistem atau dalam area yang lebih sempit, relung ekologis (Subagiyo, 2019).
Komposisi vegetasi merupakan susunan dan jumlah individu yang terdapat
dalam suatu komunitas tumbuhan. Komposisi dan struktur vegeatsi salah satunya
dipengaruhi oleh faktor tempat tumbuh (habitat) yang berupa situasi iklim dan
keadaan tanah. komposisi jenis tumbuhan merupakan daftar floristik dari jenis
tumbuhan yang ada dalam suatu komunitas. Dari penjabaran di atas maka dapat
disimpulkan bahwa komposisi vegetasi adalah jumlah individu yang terdapat di
dalam suatu komunitas, yang biasa disebut dengan daftar floristic (Sari dkk,
2018).
Dalam ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai metode untuk
menganalisis suatu vegetasi yang sangat membantu dalam mendekripsikan suatu
vegetasi sesuai dengan tujuannya. Dalam hal ini suatu metodologi sangat

20
berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan dalam bidang-bidang
pengetahuan lainnya, tetapi tetap harus diperhitungkan berbagai kendala yang ada.
Vegetasi adalah kumpulan dari beberapa jenis tumbuh-tumbuhan yang hidup
secara bersama-sama pada satu tempat dan terjadinya interaksi antar penyusun
komponen, baik antara tumbuh-tumbuhan maupun hewan-hewan yang hidup di
lingkungan tersebut. Adapun vegetasi yang dimaksud disini adalah vegetasi dari
tumbuhan herba. Analisis vegetasi merupakan cara untuk mengetahui seberapa
besar sebaran berbagai spesies dalam suatu area melalui pengamatan langsung.
Analisis vegetasi yang dilakukan dengan menggunakan metode kuandrat (Ufiza &
Hafidz, 2018).
Ilmu vegetasi telah dikembangkan berbagai metode untuk menganalisis suatu
vegetasi yang sangat membantu dalam mendeskripsikan suatu vegetasi sesuai
dengan tujuannya. Pengamatan parameter vegetasi berdasarkan bentuk hidup
pohon, perdu serta herba. Suatu ekosistem alamiah maupun binaan selalu terdiri
dari dua komponen utama yaitu komponen biotik dan abiotik. Vegetasi atau
komunitas tumbuhan merupakan salah satu komponen biotik yang menempati
habitat tertentu seperti hutan, padang ilalang, semak belukar dan lain-lain.
Struktur dan komposisi vegetasi pada suatu wilayah dipengaruhi oleh komponen
ekosistem lainnya yang saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh secara
alamiah pada wilayah tersebut sesungguhnya merupakan pencerminan hasil
interaksi berbagai faktor lingkungan dan dapat mengalami perubahan drastis
karena pengaruh anthropogenik (Sari dkk, 2018).
Tipe vegetasi dibedakan berdasarkan karakter floristik tertentu, misalnya
asosiasi spesies-spesies yang dominan, atau karakter lingkungan seperti jenis
tanah dan iklim. Analisis vegetasi biasa dilakukan oleh ilmuwan ekologi untuk
mempelajari kemelimpahan jenis serta kerapatan tumbuh tumbuhan pada suatu
tempat. Persebaran Tumbuhan ditentukan oleh faktor geologis, geografis (seperti
ketinggian dan garis lintang) dan curah hujan. Semakin tinggi suatu tempat dari
permukaan laut dan letaknya semakin jauh dari garis lintang, di tempat tersebut
suhunya semakin menurun. Setiap kenaikan ketinggian 100 meter dari permukaan
laut dan kenaikan garis lintang maka sebesar 10 suhu daerah tersebut akan turun

21
50 C, dari perbedaan-perbedaan itulah muncul macam-macam vegetasi (Subagiyo,
2019).
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati
terbesar di dunia (megabiodiversity countries) bersama dengan Brazil dan Zaire
(RD Congo). Keanekaragaman hayati tersebut meliputi tumbuhan dan hewan
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Indonesia menempati urutan keempat
dunia untuk keanekaragaman jenis tumbuhan, yaitu memiliki kurang lebih 38.000
jenis. Keanekaragaman jenis tumbuhan tersebut tergambar pada hutan-hutan yang
tersebar di seluruh kawasan Indonesia (Arisandy, 2020).
Keanekaragaman tumbuhan di berbagai tempat di Indonesia memiliki
komposisi vegetasi yang berbeda beda. Perbedaan vegetasi inilah yang nantinya
membentuk ekosistem hutan yang beragam. Pengertian umum vegetasi adalah
sekumpulan kelompok tumbuhan dari berbagai jenis yang saling berinteraksi
dengan sesamanya, atau dengan hewan yang hidup disekitarnya dan memiliki
hubungan yang erat terhadap faktor ligkungan yang mempengaruhi Dengan
demikian berarti vegetasi bukan hanya kumpulan individu suatu tumbuhan tetapi
merupakan suatu kesatuan dimana individu individu yang ada di dalamnya saling
berkaitan dan berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya yang dalam hal
ini di sebut ekosistem. Maka dalam semua faktor penyusun vegetasi sangat
berpengaruh terhadap kualitas vegetasi yang ada, baik itu dari segi tumbuhan,
hewan, maupun kondisi lingkungan yang ada disekitarnya (Pertiwi dkk, 2019).
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempalajari susunan dan komposisi
vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan.
Analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan
komposisi suatu komunitas tumbuhan. Analisis vegetasi yang dihitung yaitu
kerapatan relatif, kerapatan mutlak, frekuensi relatif, frekuensi mutlak, dominansi
relatif, dominansi mutlak dan indeks nilai penting. Vegetasi merupakan kumpulan
tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama
pada suatu tempat. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan,
stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan
data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari

22
penyusun komunitas hutan tersebut, dengan analisis vegetasi dapat diperoleh
informasi yang kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas
tumbuhan. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki
berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies
tetumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin
dicapai dalam analisis komunitas adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan
struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari (Sari dkk, 2018).
Vegetasi tumbuhan terbagi menjadi dua jenis yaitu, vegetasi tumbuhan
yang bernaung dan vegetai tumbuhan terbuka. Untuk menganalisis satatu vegetasi
dibutuhkan atau diperlukan data-data tentang jenis spesies tumbuhan untuk
menentukan indeks nilai penting dari komunitas yang di teliti tersebut. Indeks
nilai penting yang kami teliti dalam penelitian ini adalah frekuensi dan densitas
(kerapatan) dengan menggunakan metode penelitian Quadrat Sampling (sampel
kuadrat). Dalam penelitian ekologi pada umumnya akan mengumpulkan informasi
kuantitatif tentang habitat, komunitas, atau populasi. Namun tentu saja kita tidak
akan mengumpulkan semua informasi dari keseluruhan habitat atau populasi.
Maka dari itu, dalam peneitian ini kita menggunakan metode penelitian kuadrat
sampling (Pertiwi dkk, 2019).
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif
dilakukan untuk mendeskripsikan jenis-jenis tumbuhan (herba, semak/ perdu,
tiang dan pohon). Analisis kuantitatif dilakukan untuk menjelaskan
keanekaragaman dan struktur vegetasi tumbuhan. Vegetasi tumbuhan yang
dilakukan dengan cara mencari Kerapatan, Frekuensi, Dominansi, Indeks Nilai
Penting (INP), dan Indeks Keanekaragaman (Hidayat, 2017).
Kerapatan adalah jumlah individu setiap spesies yang dijumpai dalam petak
contoh. Kerapatan masing-masing spesies tumbuhan dihitung menggunakan
rumus. Frekuensi adalah jumlah kemunculan dari setiap spesies yang dijumpai
dari seluruh petak contoh yang dibuat. Frekuensi spesies dapat dihitung dengan
rumus. Dominansi adalah luas bidang dasar pohon atau luas penutupan tajuk
setiap spesies yang dijumpai dalam plot. Adapun Dominansi dapat diukur dengan
rumus. Indeks nilai penting ini menunjukkan spesies yang mendominasi di lokasi

23
penelitian. Untuk menghitung Indeks Nilai Penting digunakan rumus. Setelah
diperoleh hasil dari INP setiap jenis maka dicari Indeks keanekaragaman dari
setiap spesies tumbuhan. Selain itu, Keanekaragaman suatu komunitas tumbuhan
dapat ditentukan dengan menggunakan teori informasi Shannon-Wienner
(Hidayat, 2017).
E. Botani
Hutan tropis adalah hutan yang terletak di wilayah tropis, yaitu suatu wilayah
yang terletak pada lintang 23,5 derajat LU23,5 derajat LS. Hutan tropis lembab
juga merupakan suatu bioma hutan yang selalu basah sepanjang tahun artinya
hutan tersebut selalu diguyur hujan. Curah hujan yang turun di tempat ini
cenderung tinggi dengan curah hujan yang bisa mencapai 2000 mm per tahun.
Hutan tropis lembab memiliki vegetasi tumbuhan yang berdaun lebar dan pohon
pohon tinggi yang rapat sehingga menciptakan atap hutan atau yang biasa disebut
kanopi (Subagiyo dkk, 2019).
Pada ranah hutan di Indonesia, merupakan jenis hutan tropis sangat kaya flora
dan fauna serta kekayaan alam lainnya, termasuk mineral dan batubara (Najicha,
2021). Indonesia terletak di daerah tropis karena itu hutannya bertipe hutan tropik.
Hutan tropik sangat heterogen, hutan yang bentuknya sangat dipengaruhi faktor
iklim dan edafik yang mempengaruhi pertumbuhan dan menentukan komposisi
jenis berbagai komunitas tumbuhan dan juga menentukan kehadiran suatu
tumbuhan atau komunitas tumbuhan. Menurut Hutasuhut (2018), Di hutan tropis
ada beberapa jenis habitus tumbuhan, yaitu: terna (herba), semak, perdu, liana, dan
epifit.
Hutan tropis lembab mudah ditumbuhi berbagai macam tumbuhan karena
sepanjang tahun hutan ini menerima sinar matahari yang cukup, air yang cukup,
dan curah hujan yang cukup. Pohon-pohon utama di hutan ini mempunyai
ketinggian dari 20-40 m, berdaun lebar dan lebat, dan selalu hijau. Oleh kerenanya
hutan tropis lembab merupakan rumah yang ideal bagi sebagian flora dan fauna.
Di lingkungan hutan tropis lembab akan ditemukan keanekaragaman hayati yang
tinggi dan fauna yang beragam. Binatang-binatang yang menghuni hutan ini
seperti mamalia, reptil, burung, amfibi, dan serangga (Subagiyo dkk, 2019).

24
Herba adalah tumbuhan pendek (0,3-2 meter) tidak mempunyai kayu dan
berbatang basah karena banyak mengandung air. Menurut Syahbuddin (1992),
herba merupakan tumbuhan tidak berkayu yang tersebar dalam bentuk kelompok
individu atau soliter pada berbagai kondisi habitat seperti tanah yang lembab atau
berair, tanah yang kering, batu-batuan dan habitat dengan naungan yang rapat.
Herba merupakan salah satu jenis tumbuhan penyusun hutan yang ukurannya jauh
lebih kecil jika dibandingkan dengan semak ataupun pohon yang batangnya basah
dan tidak berkayu. Herba juga memiliki daya saing yang kuat dan adaptasi yang
tinggi terhadap tumbuhan disekitarnya (seperti semak, perdu, bahkan pohon)
sehingga mampu tumbuh di tempat yang kosong (Hutasuhut, 2018).
Semak adalah lapisan yang tumbuh berumpun dengan batang pendek dengan
tinggi dibawah 1,5 meter. Semak juga merupakan tumbuhan berkayu yang
tingginya lebih dari satu meter, tetapi lebih rendah dari perdu dan hanya dahan-
dahan utamanya saja yang berkayu. Semak memiliki fungsi ekologis yang penting
dalam ekosistem hutan, antara lain sebagai tempat habitat burung, serangga, satwa
liar, dan satwa lainnya. Selain itu semak juga bermanfaat sebagai tanaman pagar
dan bisa juga digunakan untuk obat- obat tradisional (Syahputra dkk, 2022).
Perdu adalah jenis tumbuhan berkayu yang memiliki cabang-cabang yang
sangat banyak dan tidak tidak tergolong tumbuhan semusim (Sutaryo, 2009).
Tinggi tumbuhan perdu hanya mencapai kurang dari 5 meter dan sebagian besar
memiliki percabangan yang banyak di dekat batang utamanya. Karakteristik
vegetasi di lingkungan perkotaan yang mempertimbangkan fungsi ekologis adalah
yang mengandung seluruh strata vegetasi di dalamnya yaitu pohon perdum, dan
tumbuhan bawah. Sehingga, Perdu dapat dikategorikan sebagai penyusun vegetasi
penting di lingkungan perkotaan (Rahmani & Wahyunah, 2018).
Liana adalah salah satu jenis tumbuhan yang merupakan ciri khas dari ekosistem
hutan hujan tropis. Liana merupakan tumbuhan merambat atau tidak dapat tumbuh
tegak mendukung tajuknya, untuk mendukung pertumbuhannya kelompok
tumbuhan ini umumnya memanfaatkan berbagai jenis pohon untuk merambat
dengan memanfaatkan pohon inangnya, beberapa jenis liana dapat mencapai
lapisan tajuk dan menutupi tajuk inangnya. peran negatif liana adalah dapat

25
menyebabkan kerusakan pada pohon yang menjadi inang yang ditumpanginya,
sedangkan peranan positif antara lain mencegah tumbangnya pohon akibat angin
karena pertumbuhannya yang dapat menjalar diantara pohon-pohon penopangnya
dalam hutan, sebagai sumber pakan dan pendukung melintas di pepohonan bagi
primata (Siregar dkk, 2021).
Tumbuhan epifit adalah tumbuhan yang tumbuh dengan cara menumpang
pada tumbuhan lain sebagai tempat hidupnya. Namanya dibentuk dari bahasa
Yunani: epi-, permukaan atau tutup, dan phyton, tumbuhan atau pohon.
Tumbuhan paku epifit meupakan salah satu komponen penyusun ekosistem
hutan yang memiliki fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis
tumbuhan paku epifit antara lain sebagai habitat berbagai jenis serangga,
sedangkan fungsi ekonomisnya adalah sebagai tanaman hias. Tumbuhan paku
epifit hidup menempel pada pohon inang yang banyak dijumpai di hutan dengan
kelembaban yang tinggi (Lestari & Sri, 2019).
Kerusakan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan,
dan tidak hanya di Indonesia, tetapi hampir diseluruh dunia. Kondisi lingkungan
yang buruk bahkan sebagian besar dalam kondisi yang kritis, penurunan kualitas
lingkungan dapat kita jumpai di mana eksploitasi sumber daya alam sudah tidak
mengindahkan kelestarian lingkungan. Meningkatnya jumlah penduduk berserta
kebutuhannya tentu akan berdampak pada kondisi lingkungan baik biotik maupun
abiotic. Perubahan kondisi lingkungan akan mengganggu proses alam sehingga
akan mengganggu fungsi ekologi, yang secara otomatis akan berpengaruh
terhadap kesejahteraan manusia, baik secara nyata maupun secara potensial.
Manusia adalah penyebab utama dari kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Potensi kerusakan lingkungan salah satunya disebabkan oleh ulah manusia,
manusia dengan segala kepentingannya telah berdampak pada massifnya
kerusakan lingkungan (Muhammad & Andi, 2020).

26
BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat


Hari/Tanggal : Jumat-Minggu/21-21 Oktober 2022
Waktu : 08.00-17.00
Tempat : Pos 1 Gunung Bawakaraeng, Desa Lembanna, Kecamatan
Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa.
B. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Handphone
b. Alat Tulis
c. Meteran
d. Patok
e. Gunting
f. Parang
2. Bahan
a. Tumbuhan yang diamati
b. Lahan yang akan diidentifikasi
c. Tali Rapiah
d. Lembar Pengamatan
e. Kode Spesies
C. Prosedur Kerja
1. Menentukan lokasi pengambilan data
2. Mengambil data dengan menggunakan beberapa metode antara lain:
a. Minimal area (herba)
1) Membuat plot sebesar 0.5x0.5 m, lalu mencatat spesies herba yang
hadir pada plot tersebut (berikan kode jika tidak diketahui nama
spesiesnya).
2) Selanjutnya membuat plot 2x lipat dari plot sebelumnya. Kemudian
mencatat spesies baru yang hadir di plot tersebut (spesies yang sudah

27
dicatat sebelumnya tidak perlu dicatat lagi).
3) Apabila sudah tidak ditemukan spesies baru maka tidak perlu
membuat plot baru.
4) Apabila terdapat 2 plot yang hanya memiliki 1 spesies baru maka
cek plot berikutnya. Jika plot berikutnya hanya ditemukan 1 spesies
baru, maka hitung:
5) Namun, jika terdapat 2 plot yang hanya memiliki 1 spesies
kemudian saat di cek plot berikutnya dan ditemukan spesies lebih
dari 1 maka harus membuat plot baru.
b. Pola Distribusi dan Asosiasi
1) Langkah pertama buatlah plot berukuran 1x1 m sebanyak 100 plot.
2) Letakkan plot secara acak pada lokasi yang terdapat banyak spesies
herba.
3) Catat spesies herba yang ditemukan di dalam plot (Berikan kode
jika tidakdiketahui nama spesiesnya).
c. Transek
1) Tarik transek sepanjang 100 m menggunakan tali dan patok.
2) Buat plot ukuran 5x5 m menggunakan tali pada transek 100 m
dengan jarak antar plot 5 m.
3) Catat spesies semak atau anakan pohon yang ditemukan pada plot
pengamatan (jika nama spesies tidak diketahui, berikan kode).
Lalu ukur diameter 1 (D1) dan diameter 2 (D2)
d. Point Center Quarter
1) Tarik transek sepanjang 100 m menggunakan tali.
2) Pada transek diberi titik/point sebanyak 10 titik dengan jarak antar
titik 10 m.
3) Pada titik pertama dibuat garis imajiner (membayangkan sebuah
garis) untuk membentuk 4 kuadran.
4) Pada setiap kuadaran di catat spesies terdekat dari titik yang telah
dibuat sebelumnya (catatan: spesies terdekat yang telah dicatat
sebelumnya tidak boleh catat kembali pada titik kedua apabila

28
spesies tersebut yang terdekat dari titik kedua).
e. T2 Sampling
1) Buat titik secara acak pada lokasi yang terdapat banyak pohon. Titik
yangdibuat sebanyak 16 titik.
2) Pada setiap titik cari spesies pohon yang terdekat dari titik lalu
hitung berapajaraknya.
3) Selanjutnya buat garis imajiner untuk membentuk sudut 90°.
4) Setelah itu cari spesies pohon kedua di luar area garis imajiner
yang terdekatdari spesies pohon pertama lalu hitung jaraknya.
5) Selanjutnya ukur jarak dari titik/point ke spesies terdekat pada setiap
kuadran.
6) Setelah itu ukur keliling lingkar batang pohon dari 130cm diatas
permukaantanah menggunakan meteran.

29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
1. Minimum Area
Tabel 4.1 Minimal area daerah 1

CUMULATIVE
SUBPLOT SIZE
SPESIES TOTAL NUMBER
NUMBER
OF SPECIES
Clinopodium brownei
0.25 Ageratum houstonianum
(0.5 x Arthraxon hispidus
1
0.5) Zoysia japonica

Cyperus rotundus L.
0.5
2 (0.5 x 1) Asarum canadense
Hydrocotyle verticillata
3 1
( 1 x 1) Ageratum conyzoides

4 2 Nepeta cataria
(2 x 1) Alysicarpus bupleurifolius

5 4 Calamagrostis arundinacea
( 2 x 2)

Tabel 4.2 Minimal area daerah 2


CUMULATIVE
SUBPLOT SIZE
SPESIES TOTAL NUMBER
NUMBER
OF SPECIES
Hydrocotyle verticillata
0.25 Cyperus rotundus L.
Asarum canadense
1 (0.5 x 0.5)
Thelypteris kunthii
Dichanthelium clandestinum

30
0.5 Kyllinga monocephala
2 Thelypteris kunthii
(0.5 x 1)

1
3 Rubus idaeus
( 1 x 1)
2
4 Nepeta cataria
(2 x 1)

4
5 Mikania micrantha
( 2 x 2)

Tabel 4.3 Minimal area daerah 3


CUMULATIVE
SUBPLOT SIZE
SPESIES TOTAL NUMBER
NUMBER
OF SPECIES

0.25 Pennisetum purpureum


Zoysia japonica
1 (0.5 x 0.5)
Ageratum houstonianum

0.5
Clinopodium brownei
2 (0.5 x 1)

1
Dichanthelium clandestinum
3
( 1 x 1)

31
Grafik Minimum Area

Gambar 4.1 Daerah 1

Gambar 4.2 Daerah 2

32
Gambar 4.3 Daerah 3

33
2. Metode Pola Distribusi dan Asosiasi
Daerah 1
a. Asosiasi
Tabel 4.4 Asosiasi Ageratina ripari dan Cornus sessilis pada daerah 1
Count of Column
Spesies Labels

Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot1 Grand
Row Labels Plot 1 10 11 15 16 19 2 20 21 22 28 29 3 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 4 40 41 43 44 45 47 48 49 5 6 7 8 9 Total

Ageratina
ripari 2 1 1 3 2 1 5 2 1 5 2 2 3 2 2 3 1 1 3 3 2 3 3 2 2 1 2 1 61

Cornus
sessilis 4 2 2 2 1 2 1 2 3 2 2 3 3 1 3 2 1 2 2 3 1 3 1 1 2 51

Grand
Total 6 3 2 3 1 2 3 2 1 3 8 2 3 5 2 2 5 6 3 5 2 1 2 3 3 1 3 3 3 2 4 6 3 3 3 2 1 112

1
A dan C hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 6
A hadir C tidak 1
hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2
A tidak hadir C
hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
A dan C tidak 1
hadir 3

Tabel 4.5 Asosiasi Ageratina ripari dan Synedrella nodiflora pada daerah
Count of Column Labels
Spesies
Grand
Row Labels Plot 1 Plot 10 Plot 15 Plot 16 Plot 2 Plot 20 Plot 22 Plot 23 Plot 24 Plot 28 Plot 29 Plot 3 Plot 30 Plot 31 Plot 33 Plot 34 Plot 35 Plot 36 Plot 37 Plot 38 Plot 39 Plot 4 Plot 40 Plot 41 Plot 44 Plot 45 Plot 47 Plot 48 Plot 49 Plot 5 Plot 50 Plot 6 Plot 7 Plot 8 Plot19 Total

Ageratina ripari 2 1 1 3 2 1 5 2 1 5 2 2 3 2 2 3 1 1 3 3 2 3 3 2 2 1 2 1 61

Synedrella
nodiflora 1 2 2 1 5 2 3 1 1 3 2 3 3 3 2 3 1 3 41

Grand Total 2 2 1 2 5 3 1 5 2 5 2 1 8 3 2 3 3 2 3 2 3 3 1 4 6 5 2 6 4 2 3 2 1 2 1 102

34
A dan S hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11
A hadir S tidak hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 17
A tidak hadir S hadir 1 1 1 1 1 1 1 7
A dan S tidak hadir 15

Tabel 4.6 Asosiasi Cornus sessilis dan Synedrella nodiflora pada daerah 1
Count of Column
Spesies Labels
Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Grand
Row Labels Plot 1 10 11 15 16 19 2 20 21 22 23 24 28 3 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 43 44 45 48 49 5 50 6 7 Total

Cornus sessilis 4 2 2 2 1 2 1 2 3 2 2 3 3 1 3 2 1 2 2 3 1 3 1 1 2 51
Synedrella
nodiflora 1 2 2 1 5 2 3 1 1 3 2 3 3 3 2 3 1 3 41

Grand Total 4 3 2 2 3 2 2 1 1 2 5 2 3 2 3 1 2 3 3 2 3 5 3 5 2 3 3 3 2 4 4 1 3 1 2 92

C dan S hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 8
C hadir S tidak hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 17
C tidak hadir S hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
C dan S tidak hadir 15

Tabel 4.7 Asosiasi Ageratina ripari dan Cornus sessilis pada daerah 1
A dan C Symbol Observed of Quadral Expected x2 Chi table
A 11 15.68 1.3968367
B 17 12.32 1.7777922
C 7 2.32 9.4406897
D 15 19.68 1.1129268 6.6348966

35
Total 50 50 13.728245
KA (ad)+(bc) akar((a+b)(c+d)(a+c)(b+d)) KA
284 140.3994302 2.0228
X hitung > X tabel
H0 Ditolak

Tabel 4.8 Asosiasi Ageratina ripari dan Synedrella nodiflora pada daerah 1
A dan S Symbol Observed of Quadral Expected x2 Chi table
A 11 15.68 1.396836735
B 17 12.32 1.777792208
C 7 2.32 9.440689655
D 15 19.68 1.112926829 6.6348966
Total 50 50 13.72824543
X hitung > X tabel
H0 Ditolak

Tabel 4.9 Asosiasi Cornus sessilis dan Synedrella nodiflora pada daerah 1
C dan
S Symbol Observed of Quadral Expected x2 Chi table
A 8 12.5 1.62
B 17 12.5 1.62
C 10 5.5 3.681818182
D 15 19.68 1.112926829 6.6348966
Total 50 50.18 8.034745011
KA (ad)+(bc) akar((a+b)(c+d)(a+c)(b+d) KA
290 141.4213562 2.050609665

36
X hitung > X tabel
H0 Ditolak

b. Distribusi
Tabel 4.10 Distribusi Ageratina ripari

Jumlah Individu Jumlah Plot

0 22

1 8

2 11

3 7

4 0

5 2

Harapan chi kuadrat hitung


(e^-m).(m^a/a!).50
a B a^2 Ʃa.b Ʃ^2.b x^2=(pengamatan-harapan)^2/harapan
0 22 22 0 0 0 11.15824327 11.15 10.55807175
1 8 8 1 22 8 16.73736491 16.73 4.55546324
2 11 11 4 22 44 12.55302368 12.55 0.191434263
3 7 0 9 21 63 6.276511842
4 0 16 0 0 2.353691941
5 2 25 10 50 0.706107582 9.336311364 9.336311364 chi tabel 11.34486673
50 55 75 165 49.78494323 24.64128062

37
Ʃx+Ʃa.b 75 75
Ʃx^2=Ʃa^2.b 165 165
rata-rata=x=m Ʃa.b/Ʃb=75/50 1.5 1.5
e= 2.718 2.718
e^-m 0.223164865 0.223164865
faktorial 0 1 1
faktorial 1 1 1
faktorial 2 2 2
faktorial 3 6 6
faktorial 4 24 24
faktorial 5 120 120
n= 50 50
db= 3 3
X^2 tabel pada alpha=99% 11.34 11.34
variansi 1.071428571 1.071428571
variansi/rata-rata 0.714285714 0.714285714
X tabel < X hitung , H0 ditolak
Jika variansi >1 =Distribusi Berkelompok

Tabel 4.11 Distribusi Cornus sessilis


Jumlah Individu Jumlah Plot
0 23
1 7
2 10
3 6
4 4
5 0

38
Harapan chi kuadrat hitung
a b a^2 Ʃa.b Ʃ^2.b (e^-m).(m^a/a!).50 x^2=(pengamatan-harapan)^2/harapan

0 23 23 0 0 0 11.38363113 11.38 11.86506151


1 7 7 1 20 7 16.84777408 16.84 5.749738717
2 10 10 4 20 40 12.46735282 12.46 0.485682183
3 6 0 9 18 54 6.150560724
4 4 16 16 64 2.275707468
5 0 25 0 0 0.67360941 9.099877602 9.099877602 chi tabel= 11.34487
50 55 74 165 49.79863563 27.20036001

Ʃx+Ʃa.b 74 74
Ʃx^2=Ʃa^2.b 165 165
rata-rata=x=m Ʃa.b/Ʃb=74/50 1.48 1.48
e= 2.718 2.718
e^-m 0.227673 0.227673
faktorial 0 1 1
faktorial 1 1 1
faktorial 2 2 2
faktorial 3 6 6
faktorial 4 24 24
faktorial 5 120 120
n= 50 50
db= 3 3
X^2 tabel pada alpha=99% 11.34 11.34
variansi 1.132245 1.132245

39
variansi/rata-rata 0.76503 0.76503
X tabel < X hitung , H0 ditolak
Jika variansi >1 =Distribusi Berkelompok

Tabel 4.12 Distribusi Synedrella nodiflora

Jumlah Individu Jumlah Plot

0 32

1 5

2 5

3 7

4 0

5 1

Harapan chi kuadrat hitung


(e^-m).(m^a/a!).50
a b a^2 Ʃa.b Ʃ^2.b x^2=(pengamatan-harapan)^2/harapan
0 32 32 0 0 0 125.4525521 125.45 69.61261459
1 5 5 1 10 5 115.4163479 115.41 105.626619
2 5 5 4 10 20 53.09152003 53.09 43.56089847
3 7 7 9 21 63 16.28139948 16.28 5.28982801
4 0 16 0 0 3.74472188
5 1 25 5 25 0.689028826 4.433751 4.433750706 chi tabel= 11.34487

40
50 55 46 113 314.6755702 228.5237108

Ʃx+Ʃa.b 75 75
Ʃx^2=Ʃa^2.b 113 113
rata-rata=x=m Ʃa.b/Ʃb=46/50 0.92 0.92
e= 2.718 2.718
e^-m 2.509051041 2.509051
faktorial 0 1 1
faktorial 1 1 1
faktorial 2 2 2
faktorial 3 6 6
faktorial 4 24 24
faktorial 5 120 120
n= 50 50
db= 3 3
X^2 tabel pada alpha=99% 11.34 11.34
variansi 0.010204082 0.010204
variansi/rata-rata 0.011091393 0.011091
X tabel < X hitung , H0 ditolak Jika variansi >1 =Distribusi Berkelompok

Daerah 2
a. Asosiasi
Tabel 4.13 Asosiasi Hoya pandurata dan Pogestemon cablin pada daerah 2
Count of Column
Speseies Labels
Row Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plo Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plo Plo Plo Grand
Labels Plot 1 10 12 13 14 15 17 18 t2 23 25 28 30 32 33 34 35 37 39 41 42 43 46 49 t6 t7 t9 Total
Hoya
pandurata 2 1 1 1 1 1 2 1 3 2 3 2 3 2 3 2 4 3 1 1 1 40
Pogestemon
cablin 1 1 1 1 1 1 1 4 2 2 3 4 3 2 3 3 3 3 1 1 1 42

41
Grand
Total 3 2 1 1 2 1 2 1 2 2 4 3 2 2 5 3 6 6 4 3 5 3 7 6 2 2 2 82

H dan P hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15
H hadir P tidak hadir 1 1 1 1 1 1 6
H tidak hadir P hadir 1 1 1 1 1 1 6
H dan P tidak hadir 23

Tabel 4.14 Asosiasi Hoya pandurata dan Hypolytrum nemorum pada daerah 2
Count of Speseies Column Labels

Row Labels Plot 1 Plot 10 Plot 12 Plot 14 Plot 15 Plot 17 Plot 2 Plot 21 Plot 23 Plot 24 Plot 28 Plot 32 Plot 33 Plot 35 Plot 37 Plot 38 Plot 39 Plot 40 Plot 41 Plot 42 Plot 43 Plot 44 Plot 46 Plot 49 Plot 50 Plot 6 Plot 7 Plot 9 Grand Total

Hoya pandurata 2 1 1 1 1 1 2 1 3 2 3 2 3 2 3 2 4 3 1 1 1 40

Hypolytrum nemorum 4 1 1 1 1 2 2 2 2 4 3 1 1 25

Grand Total 6 1 1 1 2 1 3 1 1 1 5 2 3 2 3 2 2 2 3 2 2 4 4 3 3 2 2 1 65

Hp dan Hn crep hadir 1 1 1 1 3


Hp hadir Hn tidak hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 17
Hp tidak hadir Hn hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
Hp dan Hn tidak hadir 21

Tabel 4.15 Asosiasi Hypolytrum nemorum dan Pogestemon cablin pada daerah 2
Count of
Speseies Column Labels
Pl Plo Plo Plo Plo Plo Plo Pl Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Plo Pl Pl Pl Gran
Row ot t t t t t t ot t t t t t t t t t t t t t t t t t t t ot ot ot d
Labels 1 10 13 14 15 17 18 2 21 23 24 25 28 30 33 34 35 37 38 39 40 42 43 44 46 49 50 6 7 9 Total
Hypolytrum 2
nemorum 4 1 1 1 1 2 2 2 2 4 3 1 1 5
Pogestemon 4
cablin 1 1 1 1 1 1 1 4 2 2 3 4 3 2 3 3 3 3 1 1 1 2
Grand 6
Total 5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 4 2 2 2 3 4 3 2 2 2 3 5 4 3 3 3 2 2 1 7

42
Hn dan P crep hadir 1 1 1 1 1 1 6
Hn hadir P tidak hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14
Hn tidak hadir P hadir 1 1 1 1 1 1 1 7
Hn dan P tidak hadir 22

Tabel 4.16 Asosiasi Hoya pandurata dan Pogestemon cablin pada daerah 2
Hp dan P Symbol Observed of Quadral Expected x2 Chi table
A 15 8.82 4.330204
B 6 12.18 3.135665
C 6 12.18 3.135665
D 23 16.82 2.270654 6.6348966
Total 50 12.87219
KA (ad)+(bc) akar((a+b)(c+d)(a+c)(b+d) KA
381 132.8947 2.866932
X hitung > X tabel
H0 Ditolak

Tabel 4.17 Asosiasi Hoya pandurata dan Hypolytrum nemorum pada daerah 2
Hp dan Hn Symbol Observed of Quadral Expected x2 Chi table
A 3 8 3.125
B 17 12 2.083333
C 9 4 6.25
D 21 26 0.961538 6.6348966
Total 50 12.41987

43
KA (ad)+(bc) akar((a+b)(c+d)(a+c)(b+d) KA
216 150.9967 1.430495
X hitung > X tabel
H0 Ditolak

Tabel 4.18 Asosiasi Hypolytrum nemorum dan Pogestemon cablin pada daerah 2

Hn dan P Symbol Observed of Quadral Expected x2 Chi table

A 6 8 0.5

B 14 12 0.333333

C 7 5 0.8

D 22 26 0.615385 6.6348966

Total 51 2.248718
X hitung > X tabel
H0 Diterima

b. Distribusi
Tabel 4.19 Distribusi Hoya pandurata
Jumlah Individu Jumlah Plot
0 29
1 10
2 3
3 6

44
4 2
5 0

Harapan chi kuadrat hitung


a B a^2 Ʃa.b Ʃ^2.b (e^-m).(m^a/a!).50 x^2=(pengamatan-harapan)^2/harapan
0 29 29 0 0 0 23.38516 23.38 1.350915
1 10 10 1 6 10 17.77272 17.77 3.397462
2 3 0 4 6 12 6.753635
3 6 9 18 54 1.710921
4 2 16 8 32 0.325075
5 0 25 0 0 0.049411 8.839043 8.839043 chi tabel= 11.34487
50 55 38 108 49.99693 13.58742
Ʃx+Ʃa.b 38 38
Ʃx^2=Ʃa^2.b 108 108
rata-rata=x=m Ʃa.b/Ʃb=38/50 0.76 0.76
e= 2.718 2.718
e^-m 0.467703 0.467703
faktorial 0 1 1
faktorial 1 1 1
faktorial 2 2 2
faktorial 3 6 6
faktorial 4 24 24
faktorial 5 120 120
n= 50 50
db= 3 3
X^2 tabel pada alpha=99% 11.34 11.34

45
variansi 1.614694 1.614694
variansi/rata-rata 2.124597 2.124597
X tabel < X hitung , H0 ditolak
Jika variansi >1 =Distribusi Berkelompok

Tabel 4.20 Distribusi Pogestemon cablin

Jumlah Individu Jumlah Plot

0 29

1 9

2 6

3 5

4 1

5 0

Harapan chi kuadrat hitung


a b a^2 Ʃa.b Ʃ^2.b (e^-m).(m^a/a!).50 x^2=(pengamatan-harapan)^2/harapan
0 29 29 0 0 0 21.15999 21.15 2.913593
1 9 9 1 12 9 18.19759 18.19 4.642996
2 6 0 4 12 24 7.824965
3 5 9 15 45 2.243157
4 1 16 4 16 0.482279

46
5 0 25 0 0 0.082952 10.63335 10.63335 chi tabel= 11.34487
50 55 43 94 49.99093 18.18994

Ʃx+Ʃa.b 43 43
Ʃx^2=Ʃa^2.b 94 94
rata-rata=x=m Ʃa.b/Ʃb=43/50 0.86 0.86
e= 2.718 2.718
e^-m 0.4232 0.4232
faktorial 0 1 1
faktorial 1 1 1
faktorial 2 2 2
faktorial 3 6 6
faktorial 4 24 24
faktorial 5 120 120
n= 50 50
db= 3 3
X^2 tabel pada alpha=99% 11.34 11.34
Variansi 1.163673 1.163673
variansi/rata-rata 1.353109 1.353109
X tabel < X hitung , H0 ditolak
Jika variansi >1 =Distribusi Berkelompok
Tabel 4.21 Distribusi Hypolytrum nemorum
Jumlah Individu Jumlah Plot
0 37

47
1 6
2 4
3 1
4 2
5 0

Harapan chi kuadrat hitung

a B a^2 Ʃa.b Ʃ^2.b (e^-m).(m^a/a!).50 x^2=(pengamatan-harapan)^2/harapan

0 37 37 0 0 0 29.13904 29.13 2.126224

1 6 6 1 8 6 15.73508 15.73 6.01862

2 4 0 4 8 16 4.248473

3 1 9 3 9 0.764725

4 2 16 8 32 0.103238

5 0 25 0 0 0.01115 5.127585 5.127585 chi tabel= 11.34487

50 55 27 63 50.00171 13.27243

Ʃx+Ʃa.b 27 27
Ʃx^2=Ʃa^2.b 63 63
rata-rata=x=m Ʃa.b/Ʃb=27/50 0.54 0.54

48
e= 2.718 2.718
e^-m 0.582781 0.582781
faktorial 0 1 1
faktorial 1 1 1
faktorial 2 2 2
faktorial 3 6 6
faktorial 4 24 24
faktorial 5 120 120
n= 50 50
db= 3 3
X^2 tabel pada alpha=99% 11.34 11.34
variansi 0.988163 0.988163
variansi/rata-rata 1.829932 1.829932
X tabel < X hitung , H0 ditolak
Jika variansi >1 =Distribusi Berkelompok

Daerah 3
a. Asosiasi
Tabel 4.22 Asosiasi Hoya pandurata dan Pogestemon cablin pada daerah 3
Count of Column
Spesies Labels
Row Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plo Plot Plot Plot Plot Plo Plot Plot Plot Plot Plot Plo Plot Plo Plo Plo Grand
Labels Plot 1 10 12 13 17 19 21 23 24 28 29 t3 30 31 36 39 t4 40 44 45 46 48 t5 50 t6 t7 t8 Total
Hoya
pandurata 1 3 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 20
Pogestemo
n cablin 2 1 1 2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1 20
Grand
Total 3 1 3 1 2 1 1 2 1 2 1 1 3 1 1 3 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 40

49
Hp dan P crep hadir 1 1 1 3
Hp hadir P tidak hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16
Hp tidak hadir P hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16
Hpan P tidak hadir 10

Tabel 4.23 Asosiasi Hoya pandurata dan Melissa officinalis pada daerah 3
Count of Column
Spesies Labels
Row Plot Plot Plot Plot Plo Plot Plot Plot Plo Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plo Plot Plot Plot Plot Plot Plo Plot Plo Plo Grand
Labels Plot 1 12 13 14 15 t2 21 28 29 t3 30 31 33 35 38 39 t4 40 44 45 46 48 t5 50 t8 t9 Total
Hoya
pandurata 1 3 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 20
Melissa
officinalis 1 1 2 1 1 2 2 1 1 1 2 1 16
Grand
Total 1 3 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 2 2 1 2 1 1 1 1 2 3 1 1 1 1 36

Hp dan M hadir 1 1 1 1 4
Hp hadir M tidak hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11
Hp tidak hadir M hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 8
Hp dan M tidak hadir 14

Tabel 4.24 Asosiasi Melissa officinalis dan Pogestemon cablin pada daerah 3
Count of Column
Spesies Labels
Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Plot Grand
Row Labels Plot 1 10 13 14 15 17 19 2 23 24 3 30 33 35 36 38 39 4 44 48 6 7 9 Total
Melissa
officinalis 1 1 2 1 1 2 2 1 1 1 2 1 16
Pogestemon
cablin 2 1 1 2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1 20

Grand Total 2 1 2 1 2 2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 1 3 1 2 2 1 1 1 36

M dan P hadir 1 1 1 1 4

50
M hadir P tidak hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11
M tidak hadir P hadir 1 1 1 1 1 1 1 1 8
M dan P tidak hadir 14

Tabel 4.25 Asosiasi Hoya pandurata dan Pogestemon cablin pada daerah 3
Hp dan P Symbol Observed of Quadral Expected x2 Chi table
A 3 7.22 2.4665
B 16 11.78 1.5117
C 16 11.78 1.5117
D 10 19.22 4.4229 6.6349
total 50 5.49
X hitung < X tabel
H0 Diterima
Tabel 4.26 Asosiasi Hoya pandurata dan Melissa officinalis pada daerah 3
Hp dan M Symbol Observed of Quadral Expected x2 Chi table
A 4 4.5 0.0556
B 11 10.5 44.024
C 8 7.5 32.033
D 14 27.5 62.627 6.6349
Total 138.74
KA (ad)+(bc) akar((a+b)(c+d)(a+c)(b+d) KA
4928 79.18333158 62.235
X hitung > X tabel
H0 Ditolak

51
Tabel 4.27 Asosiasi Melissa officinalis dan Pogestemon cablin pada daerah 3
M dan P Symbol Observed of Quadral Expected x2 Chi table
A 2 5.12 9.9013
b 14 10.88 56.895
c 10 6.88 41.415
d 14 27.12 62.347 6.6349
Total 170.56
KA (ad)+(bc) akar((a+b)(c+d)(a+c)(b+d) KA
3920 96 40.833

X hitung > X tabel


H0 Ditolak

b. Distribusi
Tabel 4.28 Distribusi Hoya pandurata
Jumlah Individu Jumlah Plot
0 35
1 10
2 5
3 0
4 0
5 0

52
Harapan chi kuadrat hitung
a b a^2 Ʃa.b Ʃ^2.b (e^-m).(m^a/a!).50 x^2=(pengamatan-harapan)^2/harapan
0 35 35 0 0 0 25.58720633 25.58 3.468975762
1 10 10 1 10 10 17.14342824 17.14 2.974305718
2 5 0 4 10 20 5.743048461
3 0 9 0 0 1.282614156
4 0 16 0 0 0.214837871
5 0 25 0 0 0.028788275 7.269288763 7.269288763 chi tabel= 11.34486673
50 55 20 30 49.99992334 13.71257024

Ʃx+Ʃa.b 20 30
Ʃx^2=Ʃa^2.b 30 30
rata-rata=x=m Ʃa.b/Ʃb=20/50 0.67 0.67
e= 2.718 2.718
e^-m 0.511744127 0.511744127
faktorial 0 1 1
faktorial 1 1 1
faktorial 2 2 2
faktorial 3 6 6
faktorial 4 24 24
faktorial 5 120 120
n= 50 50
db= 3 3
X^2 tabel pada alpha=99% 11.34 11.34

53
Variansi 0.244897959 0.244
variansi/rata-rata 0.364179104 0.36
X tabel < X hitung , H0 ditolak
Jika variansi >1 =Distribusi Berkelompok

Tabel 4.29 Pogestemon cablin


Jumlah Individu Jumlah Plot
0 34
1 13
2 2
3 1
4 0
5 0

Harapan chi kuadrat hitung


a b a^2 Ʃa.b Ʃ^2.b (e^-m).(m^a/a!).50 x^2=(pengamatan-harapan)^2/harapan
0 34 34 0 0 0 40.1268552 40.12 0.933559322
1 13 0 1 4 13 8.827908145
2 2 4 4 8 0.971069896
3 1 9 3 9 0.071211792
4 0 16 0 0 0.003916649
5 0 25 0 0 0.000861663 9.874968 9.874968144 chi tabel= 11.34487
50 55 11 30 50.00182335 10.80852747

54
Ʃx+Ʃa.b 11 11
Ʃx^2=Ʃa^2.b 30 30
rata-rata=x=m Ʃa.b/Ʃb=11/50 0.22 0.22
e= 2.718 2.718
e^-m 0.802537104 0.802537
faktorial 0 1 1
faktorial 1 1 1
faktorial 2 2 2
faktorial 3 6 6
faktorial 4 24 24
faktorial 5 120 120
n= 50 50
db= 3 3
X^2 tabel pada alpha=99% 11.34 11.34
variansi 0.562857143 0.56
variansi/rata-rata 2.545454545 2.54
X tabel < X hitung , H0 ditolak
Jika variansi >1 =Distribusi Berkelompok

Tabel 4.30 Distribusi Melissa officinalis


Jumlah Individu Jumlah Plot
0 38
1 8
2 4

55
3 0
4 0
5 0

Harapan chi kuadrat hitung


a b a^2 Ʃa.b Ʃ^2.b (e^-m).(m^a/a!).50 x^2=(pengamatan-harapan)^2/harapan
0 38 38 0 0 0 68.8541037 68.85 13.82313
1 8 8 1 8 8 22.0333132 22.03 8.935129
2 4 4 8 16 3.52533011
3 0 9 0 0 0.37603521
4 0 16 0 0 0.03008282
5 0 25 0 0 0.0019253 3.933373 3.933373 chi tabel= 11.34487
50 55 16 24 94.8207903 26.69163

Ʃx+Ʃa.b 16 16
Ʃx^2=Ʃa^2.b 24 24
rata-rata=x=m Ʃa.b/Ʃb=16/50 0.32 0.32
e= 2.718 2.718
e^-m 1.377082 1.377082
faktorial 0 1 1
faktorial 1 1 1
faktorial 2 2 2
faktorial 3 6 6
faktorial 4 24 24

56
faktorial 5 120 120
n= 50 50
db= 3 3
X^2 tabel pada alpha=99% 11.34 11.34
variansi 0.385306 0.385306
variansi/rata-rata 1.204082
X tabel < X hitung , H0 ditolak
Jika variansi >1 =Distribusi Berkelompok

3. Transek
a. INP
Daerah 1
Tabel 4.31 Nilai INP Daerah 1

Spesies dom dom.rel frek fre.rel den den.rel INP


Vernonia
amygdalina 36199 24.73098 4 16 7 17.94872 58.67969
Elastostema sp. 12005.44 8.202055 5 20 9 23.07692 51.27898
Diplopterys
cabrerana 13514.06 9.232741 4 16 6 15.38462 40.61736
Solanum
pseudocapsicum 19861.81 13.56949 2 8 5 12.82051 34.39001
Plectranthus
ambonicus 26072.49 17.81259 1 4 2 5.128205 26.9408
Solanum
pseudocapsicum 7320.767 5.001512 3 12 3 7.692308 24.69382
Macaranga peltata 20295.13 13.86553 1 4 1 2.564103 20.42963

57
Angiopteris evecta 5561.579 3.799643 1 4 1 2.564103 10.36375
Lantana camara 1337.684 0.913899 1 4 2 5.128205 10.0421
Maclura
cochinchinensis 2074.991 1.417623 1 4 1 2.564103 7.981726
Dryopteris flix-mas 1866.548 1.275216 1 4 1 2.564103 7.839319
Angiopteris evecta 261.5867 0.178715 1 4 1 2.564103 6.742817

Daerah 2
Tabel 4.32 Nilai INP Daerah 2
Spesies dom dom.rel frek fre.rel den den.rel INP
Macaranga peltata 34895.28 20.3256 7 14.58333 10 17.85714 52.76608
Gleichenia linearis 18906.35 11.01246 6 12.5 6 10.71429 34.22675
Lantana camara 30672.7 17.86606 4 8.333333 4 7.142857 33.34225
Mikania micrantha 27591.36 16.07126 3 6.25 6 10.71429 33.03554
Solanum
Pseudocapsicum 17757.39 10.34323 5 10.41667 6 10.71429 31.47418
Sida cordifolia 3218.155 1.874493 4 8.333333 4 7.142857 17.35068
Ageratum conyzoides 3204.617 1.866607 3 6.25 4 7.142857 15.25946
Perilla frutescens 5326.127 3.102332 3 6.25 3 5.357143 14.70947
Phylanthus reticulatus 4457.093 2.596143 3 6.25 3 5.357143 14.20329
Rubus bilforus 3413.287 1.988152 2 4.166667 2 3.571429 9.726248
Plectranthus
ambonicus 8316.118 4.843925 1 2.083333 1 1.785714 8.712973
Acacia pennata 5430.182 3.162942 1 2.083333 1 1.785714 7.031989

Coleus ambonicus 2655.763 1.546914 1 2.083333 1 1.785714 5.415961


Gynura procumbens 2511.627 1.462958 1 2.083333 1 1.785714 5.332006

58
Dryopteris flix-mas 2380.151 1.386377 1 2.083333 1 1.785714 5.255425
Rubus rosifolius 467.5947 0.272362 1 2.083333 1 1.785714 4.14141
Sida rhombifolia 323.6547 0.188521 1 2.083333 1 1.785714 4.057568
Blumea balsamifera 153.938 0.089665 1 2.083333 1 1.785714 3.958713
Daerah 3
Tabel 4.33 Nilai INP Daerah 3
Spesies dom dom.rel frek fre.rel den den.rel INP
Solanum pseudocapsicum 11495.32 24.64425 7 21.21212 10 24.39024 70.24662
Ageratum conyzoides 4125.047 8.843489 5 15.15152 6 14.63415 38.62915
Gleichenia linearis 8283.779 17.7592 3 9.090909 3 7.317073 34.16718
Achyranthes aspera 9455.89 20.27203 1 3.030303 2 4.878049 28.18038
Phyllanthus reticulatus 5124.052 10.98521 2 6.060606 2 4.878049 21.92386
Gynura procumbens 1454.677 3.118612 1 3.030303 3 7.317073 13.46599
Macaranga peltata 793.6154 1.701394 2 6.060606 2 4.878049 12.64005
Psychotria viridis 444.5707 0.953094 2 6.060606 2 4.878049 11.89175
Gynura divaricata 1425.034 3.055062 1 3.030303 2 4.878049 10.96341
Acacia dealbata 1651.082 3.539675 1 3.030303 1 2.439024 9.009002
Tetradenia riparia 847.5408 1.817002 1 3.030303 1 2.439024 7.286329
Rubus niveus 404.7078 0.867634 1 3.030303 1 2.439024 6.336961
Reynotria japonica 361.3637 0.77471 1 3.030303 1 2.439024 6.244038
Eupatorium odoratum 318.8893 0.683651 1 3.030303 1 2.439024 6.152979
Melastoma malaba
Malabathricum 250.2455 0.536489 1 3.030303 1 2.439024 6.005817
Lantana camara 106.5962 0.228526 1 3.030303 1 2.439024 5.697854
Macaranga peltataa 65.7555 0.14097 1 3.030303 1 2.439024 5.610297
Clitoria mariana 36.85285 0.079007 1 3.030303 1 2.439024 5.548334

59
b. Densitas Daerah 1,2 dan 3
Kruskal-Wallis chi-squared = 0.28348, df = 2, p-value = 0.8678

Gambar 4.4 Denstitas

c. Grafik abiotik
Daerah 1

Gambar 4.5 Grafik Abiotik Daerah 1

60
Gambar 4.6 Grafik Abiotik Daerah 1

Gambar 4.7 Grafik Abiotik Daerah 1

61
Gambar 4.8 Grafik Abiotik Daerah 1

Gambar 4.9 Grafik Abiotik Daerah 1

62
Gambar 4.10 Grafik Abiotik Daerah 1

Daerah 3

Gambar 4.11 Grafik Abiotik Daerah 3

63
Gambar 4.12 Grafik Abiotik Daerah 3

Gambar 4.13 Grafik Abiotik Daerah 3

64
Gambar 4.14 Grafik Abiotik Daerah 3

Gambar 4.15 Grafik Abiotik Daerah 3

65
Gambar 4.16 Grafik Abiotik Daerah 3

66
4. PCQ (Point Centered Quarter )
Daerah 1
Tabel 4. 34 Tabel INP Daerah 1
Spesies den niq not BA MBA dom frek frekMut denrel domrel frekrel INP
Acacia mearnsii 1 0.025 0.038038 5811.176 5811.176 221.0465 1 0.1 2.5 2.442625 6.666667 11.60929
Amaranthus
spinosus 33 0.825 1.25526 199508.9 6045.725 7588.955 10 1 82.5 83.86005 66.66667 233.0267
Gaultheria shalom 6 0.15 0.228229 32586.9 5431.15 1239.546 4 0.4 15 13.69733 26.66667 55.36399

Daerah 2
Tabel 4. 35 Tabel INP Daerah 2
Spesies den niq not BA MBA dom frek frekMut denrel domrel frekrel INP
Rubus
sumatranus 2 0.153846 2.603749 0.823826 0.411913 1.072518 2 0.222222 15.38462 4.384259 15.38462 35.15349
Homalanthus
populifolius 3 0.230769 3.905624 9.831306 3.277102 12.79913 3 0.333333 23.07692 52.3205 23.07692 98.47435
Melissa
officinalis 3 0.230769 3.905624 5.790747 1.930249 7.538827 3 0.333333 23.07692 30.81735 23.07692 76.9712
Caprosma
autumanalis 1 0.076923 1.301875 0.070715 0.070715 0.092062 1 0.111111 7.692308 0.376331 7.692308 15.76095
Amaranthus
spinosus 3 0.230769 3.905624 0.410538 0.136846 0.534469 3 0.333333 23.07692 2.184812 23.07692 48.33866
Lantana
camara 1 0.076923 1.301875 1.863411 1.863411 2.425927 1 0.111111 7.692308 9.916747 7.692308 25.30136

67
Daerah 3
Tabel 4. 36 Tabel INP Daerah 3
Spesies den niq not BA MBA dom frek frekMut denrel domrel frekrel INP
Eucalyptus 0.57142 22.3214 38815.2 9703.82 216603. 0.66666 57.1428 60.9693 158.112
globulus 4 9 3 9 3 2 2 7 6 2 40 2
Homalanthu
s 0.14285 5.58035 7015.34 0.33333 14.2857 1.97467 36.2603
populifolia 1 7 7 1257.15 1257.15 6 1 3 1 5 20 9
Pinus 0.28571 11.1607 23591.2 131647. 0.66666 28.5714 37.0560 105.627
merkusi 2 4 1 1 11795.6 4 2 7 3 1 40 4

5. T2 Sampling
Daerah 1
Tabel 4. 37 T2Sampling Daerah Datar
Parameter Nilai
Total X 64.8
JK X 399.94
Rata-rata X 24.99625
Var X 9.166666667
Total Z 64.9
JK Z 349.13
Rata-rata Z 21.820625
Var Z 5.725291667
COV XZ 4.684333333
NT 0.021521635
Reciprocal NT 46.46487048

68
Std Err 80.78315112
Batas Bawah 45.73517624
Batas Atas -79.54162372

Daerah 2
Tabel 4. 38 T2Sampling Daerah Landai
Parameter Nilai
Total X 26
JK X 45.42
Rata-rata X 2.839
Var X 0.211
Total Z
JK Z
Rata-rata Z
Var Z
COV XZ
NT
Reciprocal NT
Std Err
Batas Bawah 607.426

69
Daerah 3
Tabel 4. 39 T2Sampling Daerah Curam
Parameter Nilai
Total X 32.1
JK X 73.73
Rata-rata X 4.608
Var X 0.622
Total Z 34.2
JK Z 76.78
Rata-rata Z 4.799
Var Z 0.245
COV XZ 0.126
NT 0.082
Reciprocal NT 12.129
Std Err 3.544
Batas Bawah 508.05
Batas Atas 2185.548

70
B. Pembahasan
Pada kegiatan ini, kami melakukan sebuah praktikum lapang di
Desa Lembanna, Malino, tepatnya di Pos 1 Gunung Bawakaraeng.
Kegiatan ini bertujuan dalam rangka mengukur pola persebaran
keanekaragaman hayati suatu vegetasi tumbuhan yang ditemukan
disekitar area pegunungan ini, khususnya yang berada di Pos 1. Yang
pertama dilakukan yaitu metode transek yang dibuat sepanjang 100
meter dan setiap plot tersebut dipisahkan menjadi masing-masing 10
plot. Lalu dibagi menjadi sub transek 10x10 meter digunakan untuk
pengidentifikasian tumbuhan jenis pohon, sub transek 5x5 meter
untuk semak dan 2x2 meter untuk herba.
Pada praktikum kali ini kami akan menghitung jumlah vegetasi
dalam suatu wilayah menggunakan berbagai metode. Metode metode
yang kami gunakan yaitu ada lima metode yaitu metode transek, point
center quarter, T² Sampling, Minimal area serta metode Pola distribusi
dan asosiasi. Dimana pada metode transek kami mencari 4 macam
data yaitu INP, H’, E dan R.
Pada metode PCQ terdapat beberapa hal yang akan kami amati
yaitu diameter pohon, basal area, mean total jarak, total nomor pohon,
total basal area, mean basal area, nomor quarter, nomoro pohon 100
m2 dominansi spesies, frekuensi absolut, densitas relative dan
dominansi relatif. perhitungan data vegetasi ini kami lakukan di
Gunung Bawakaraeng. Ketika pengambilan data kami melakukan
pengambilan data dengan kegiatan pendakian untuk mencari wilayah
yang akan kami pasangi transek pada metode transek.

71
1. Metode transek
Pada metode transek kami melakukan kegiatan yang dimana
pertama kami membuka jalur untuk memasang transek sejauh 100 m
transek tersebut akan kita gunakan sebagai tolak ukur dalam membuat
plot-plot pengamatan. Setelah itu kami membagi setiap 10 m transek
sebagai plot pohon, untuk plot semak dan anakan pohon ukurannya 5
m × 5 m dan herba ukuran 2 m × 2 m. kemudian kami melakukan
kegiatan pengukuran. Jumlah transek yang kami pasang yaitu
sebanyak 2 Transek. Adapun dari data abiotik terdapat pengaruh
dalam vegetasi serta jumlah vegetasi plot tersebut.
2. Pohon
Pada metode transek kami mencari 4 macam data yaitu INP, H’, E
dan R. pada hasil yang ditunjukkan oleh data. Berdasarkan data
diagram datas didapatkan hasil Nilai keanekaragaman, kemerataan
dan kekayaan vegetasi pohon di Kawasan Gunung Bawakaraeng dapat
dilihat pada diagram batang diatas, yaitu berturut-turut pada transek 1
yaitu sebesar 0,73546; 0,680056; dan 0,669445 sedangkan untuk
indeks kemerataanya memiliki nilai sebesar 1 dan 0.688247. Hal ini
menunjukkan bahwa kekayaan cukup tinggi dibandingkan
keanekaragaman dan kemerataan dikawasan gunung bawakaraeng.
3. Anakan pohon
Pada anakan pohon kami melakukan kegiattan yanng sama seperti
semak yakni dengan melihat INP, H’, E dan R. Berdasarkan data
diagram datas didapatkan hasil Nilai keanekaragaman, kemerataan
dan kekayaan vegetasi pohon di Kawasan Gunung Bawakaraeng dapat
dilihat pada diagram batang diatas, yaitu berturut-turut pada transek 1

72
yaitu sebesar 0,947753275; 0,88363922; dan 0,862682208;
0,80432308 sedangkan untuk indeks kekayaannya memiliki nilai
sebesar 1,5 dan1,133893419. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan
cukup tinggi dibandingkan keanekaragaman dan kemerataan
dikawasan gunung bawakaraeng.
4. Semak
Berdasarkan data diagram datas didapatkan hasil Nilai
keanekaragaman, kemerataan dan kekayaan vegetasi pohon di
Kawasan Gunung Bawakaraeng dapat dilihat pada diagram batang
diatas, yaitu berturut-turut pada transek 1 yaitu sebesar 0,602767;
0,8141; dan 0,548662; 0,741026 sedangkan untuk indeks
kekayaannya memiliki nilai sebesar 0,688247 dan 0,437595. Hal ini
menunjukkan bahwa keanekaragaman cukup tinggi dibandingkan
kemerataan dan kekayaan dikawasan gunung bawakaraeng.
2. Herba
Berdasarkan data diagram datas didapatkan hasil Nilai
keanekaragaman, kemerataan dan kekayaan vegetasi pohon di
Kawasan Gunung Bawakaraeng dapat dilihat pada diagram batang
diatas, yaitu berturut-turut pada transek 1 yaitu sebesar 1,213034;
1,220263; dan 0,677007; 0,681042 sedangkan untuk indeks
kekayaannya memiliki nilai sebesar 0,654654 dan 0,356663. Hal ini
menunjukkan bahwa kekayaan cukup tinggi dibandingkan
kkeanekaragaman dan kemerataan dikawasan gunung bawakaraeng.
3. Metode point center quarter
Metode Point Centered Quarter juga merupakan salah satu
metode jarak (Distance Method). Metode ini tidak menggunakan

73
petak contoh (plotless) dan umunya digunakan dalam analisis vegetasi
tingkat pohon atau tiang (pole). Namun dapat pula dilengkapi dengan
tingkat pancang (saling atau belta) dan anakan pohon (seedling) jika
ingin mengamati struktur vegetasi pohon. Berdasarkan hasil penelitian
Cottam dan Curtis (1956), metode ini merupakan metode sampling
tanpa petak contoh yang paling efisien karena pelaksanaannya di
lapangan memerlukan waktu yang lebih sedikit, mudah, dan tidak
memerlukan faktor koreksi dalam menduga kerapatan individu
tumbuhan. Tetapi, dalam pelaksanaanya metode ini mempunyai dua
macam keterbatasan, yaitu (1) setiap kuadran harus terdapat paling
sedikit satu individu tumbuhan dan (2) setiap individu (seperti halnya
pada random pair method) tidak boleh terhitung lebih dari satu kali.
Pada metode PCQ terdapat beberapa hal yang akan kami amati
yaitu diameter pohon, basal area, mean total jarak, total nomor pohon,
total basal area, mean basal area, nomor quarter, nomor pohon 100 m2
dominansi spesies, frekuensi absolut, densitas relative dan dominansi
relatif. Yang diaman pada hasil yang didapatkan kita lihat tedapat
banyak data yang ditemukan.
4. T² Sampling
Pada T² Sampling kami melakukan kegiatan yang dimana kita
buat titik secara acak pada lokasi yang terdapat banyak pohon. Titik
yang
dibuat sebanyak 16 titik. Pada setiap titik cari spesies pohon yang
terdekat dari titik lalu hitung berapa
jaraknya.

74
Selanjutnya buat garis imajiner untuk membentuk sudut 90°. Setelah
itu cari spesies pohon kedua di luar area garis imajiner yang terdekat
dari spesies pohon pertama lalu hitung jaraknya.
5. Pola Distribusi dan asosiasi
Metode ini dilakukan untuk mengetahui pola penyebaran
(distribusi) tumbuhan
herba, apakah pola penyebarannya acak atau tidak. Selain itu metode
ini juga dilakukan
untuk mengetahui asosiasi atau hubungan ketertarikan untuk tumbuh
bersama antara 2
jenis tumbuhan, asosiasi dapat berupa positif atau negatif. Asosiasi
positif terjadi
apabila suatu jenis tumbuhan hadir secara bersamaan dengan
tumbuhan lain, asosiasi
negatif terjadi apabila suatu jenis tumbuhan tidak hadir secara
bersamaan.

75
BAB 5
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pada daerah 1 plot 1 terdapat 3 spesies yang hadir dalam plot sedangkan
pada plot 2 terdapat 2 spesies yang hadir dalam plot. Pada daerah 2 plot 1,2,
dan 4 terdapat 3 spesies yang hadir dalam masing-masing plot sedangkan pada
plot 3 dan 6 terdapat 1 spesies yang hadir dalam masing-masing plot serta,
pada plot 5 terdapat 2 spesies yang hadir dalam plot tersebut. Pada daerah 3
plot 1,2,3 dan 4 terdapat masing-masing 2 spesies yang hadir dalam plot serta
pada plot 5 terdapat 1 spesies saja.
2. Pola penyebaran distribusi tumbuhan herba pada pengamatan kami yaitu
pola mengelompok (group). Berdasarkan hasil analisis data, seluruh daerah
tidak memiliki asosiasi atau hubungan baik itu spesies A dan B, spesies A dan,
C, serta spesies B dan C.
3. Hasil pengamatan metode transek pada pengamatan ini, ditemukan ada 20
spesies dengan INP (Indeks Nilai Penting) tertinggi pada sp. dengan kode A1
yaitu 45,012 di daerah 1. Pada daerah 2, didapatkan 9 spesies dengan INP
(Indeks Nilai Penting) tertinggi pada sp. dengan kode R yaitu 149,19 dan pada
daerah 3, didapatkan 10 spesies dengan INP tertinggi pada sp. dengan kode R
juga yaitu 106,4.
4. Berdasarkan hasil analisis data, INP (Indeks Nilai Penting) pada 3 daerah
yaitu 167, 29 spesies Pinus merkusii.
5. Berdasarkan hasil analisis data, daerah 1 memiliki batas bawah 35,9 dan
batas atas 72,4, daerah 2 memiliki batas bawah 9,64 dan batas atas 16,01,
sedangkan daerah 3 memiliki batas bawah 9,64 dan batas atas 16,013.
B. Saran

76
Adapun saran pada praktikum ini, yaitu diharapkan pada saat praktek
lapang berlangsung agar dapat diperhatikan sebaik mungkin agar tidak terjadi
kesalahan-kesalahan kecil. Dan peralatannya lebih dilengkapi.

DAFTAR PUSTAKA

Achmmad, W. M. 2018. Hukum Minimum Liebig - Sebuah Ulasan dan Aplikasi


Dalam Biologi Kontemporer. Jurnal Bumi Lestari, Vol. 18 (1): 28-32.
Ahada, Nazwa. (2020). Menjaga Kelestarian Hutan dan Sikap Cinta Lingkungan
bagi Peserta Didik MI/SD. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 3, No.
1.
Arisandy, Destien Atmi., Merti, Triyanti. (2020). Keanekaragaman Jenis Vegetasi
di Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas. Jurnal Pendidikan Biologi dan
Sains, Vol. 3, No. 1.
Awaliah, Nur Rezki., Hasriyanti., Maddatuang. (2020). Paseng Ri Ade Local
Wisdom and Karampuang Indigenous Community Empowerment in
Forest Conservation Efforts. LA Geografia, Vol. 18, No. 3.
Darmayani, S., Rudy, H., Fransina, S, L., Sandriana, J, N., Masni, V, S.,
Ronnawan, J., Rosi, W., Novita, MZ., Ardli, S., Pelita, O., Gunaria, S.,
Anggi, K, H, H., Muh, S, Y., Abdul, M. (2021). Ekologi, Lingkungan
Hidup dan Pembangunan. Bandung: Penerbit Widina Bhakti Persada.
Hidayat, Muslich. (2017). Analisis Vegetasi dan Keanekaragaman Tumbuhan di
Kawasan Manifestasi Geotermal IE SUUM Kecamatan Masjid Raya
Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Biotik, Vol.5, No. 2 (114-124).
Hutasuhut, Melfa Aisyah. (2018). Keanekaragaman Tumbuhan Herba di Cagar
Alam Sibolangit. Jurnal Ilmu Biologi dan Terapan, Vol. 1, No. 2 (69-77).
Irwan, Zoer’aini Djamal. (2017). Prinsip-Prinsip Ekologi Ekosistem, Lingkungan
dan Pelestariannya. Jakarta: Sinar Grafika Offset
Lestari, Indri., Murningsih., Sri, Utami. (2019). Keanekaragaman Jenis Tumbuhan
Paku Epifit di Hutan Petungkriyono Kabupaten Pekalongan, Jawa Barat.
Journal of Tropical Biology, Vol. 2, No. 2 (14-21).
Maknun, Djohar. (2017). Ekologi: Populasi, Komunitas, Ekosistem. Mewujudkan
Kampus Hijau, Asri, Islami dan Ilmiah. Cirebon: Nurjati Press.
Miswar, Dedy., Irma, Lusi Nugraheni. (2019). Ekologi Pendidikan. Lampung:
Universitas Lampung, Program Pascasarjana, Program Studi Doktor Ilmu
Lingkungan.

77
Muhammad, Rifki., Andi, Tenri Padang. (2020). Pelestarian Gunung
Bawakaraeng Berbasis Penegakan Hukum. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Siyasah Syar’iyyah, Vol. 1, No, 2.
Mukharomah, Ervina. (2021). Konsep Dasar Ekologi Tumbuhan. Palembang:
Bening Media Publishing

Murti, W. 2019. Peningkatan Hasil Belajar Mahasiswa Biologi Melalui


Penggunaan Media Flashcard Pada Mata Kuliah Ekologi Tumbuhan.
Jurnal Al-Ahya. Vol. 1 (1): 135-143.
Musyawir., Andi, Nur Samsi., Ahmad, Hasyim. (2021). Keanekaragaman
Tumbuhan Herba dan Perdu Pada jalur Pendakian Lembah Ramma di
Gunung Bawakaraeng Kabupaten Gowa. Jurnal Inovasi Pendidikan dan
Sains, Vol. 2, No. 1 (1-5).
Najicha, Fatma Ulfatun. (2021). Dampak Kebijakan Alih Fungsi Kawasan Hutan
Lindung Menjadi Areal Pertambangan Berakibat Pada Degradasi Hutan.
Proceeding of Conference on Law and Social Studies. ISBN: 2798-0103.
Pertiwi, Annisa Dian., Nur, Fadillah, Asmi, Safitri., Dita, Arista, Azahro. (2019).
Penyebaran Vegetasi Semak, Herbam dan Pohon Dengan Metode Kuadrat
di Taman Pancasila. Proceeding of BiologyEducation, Vol. 3, No. 1 (185-
191).
Rahmani, Dienny R., Wahyunah. (2018). Seleksi Tumbuhan Perdu Sebagai
Alternatif Penyusun Vegetasi ruang Hijau Permukiman. Jurnal Teknik
Lingkungan, Vol. 4, No. 1 (56-64).
Sari, Dian Novita., Fitra, Wijaya., Aulida, Ayu Mardana., Muslich, Hidayat.
(2018). Analisis Vegetasi Tumbuhan Dengan Metode Transek (Line
Transect) di Kawasan Hutan Deudap Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar.
Jurnal Biotik. ISBN: 978-602-60401-9-0
Siregar, Ainun Mardia., Husnarika, Febriani., Melfa, Aisyah Hutasuhut. (2021).
Analisis Biodoversitas Jenis-Jenis tumbuuhan Liana di Taman Nasional
Batang Gadis Resort & Sopotinjak Kabupaten Mandailing Natal Sumatera
Utara. Jurnal Ilmu Biologi dan Terapan, Vol. 5, No. 2 (83-92).
Subagiyo, Lambang., Herliani., Sudarman., Zeni, Haryanto. (2019). Literasi
Hutan Tropis Lembab dan Lingkungannya. Samarinda: Mulawarman
University Press.
Syafitri, Dwi., Indriyanto., A, Setiawan. (2019). Populasi tumbuhan Penyususn
Hutan Pantai di Pantai Pulau Condong Lampung Selatan. Jurnal Hutan
Tropis, Vol. 7, No. 3
Syahputra, Rika Rahmah., Ulfa, Yulia Rahma., Cut, Ratna Dewi. (2022). Struktur
Komunitas Tumbuhan Semak di Desa Iboih Kecamatan Suka Karya Kota
Sabang. Jurnal Biotik, ISBN: 978-602-70648-3-6.

78
Syarif, E., & Leo, M. N. Z. (2019). Persepsi Masyarakat tentang Tradisi
A’lammang di Desa Lantang, Kecamatan Polombangkeng Selatan,
Kabupaten Takalar. LaGeografia, 18(1), 1– 8.
Ufiza, Sari., Salmiati., Hafidz, Ramadhan. (2018). Analisi Vegetasi Tumbuhan
Dengan Metode Kuadrat Pada Habitus Herba di Kawasan Pegunungan
Deudap Pulo Nasi Aceh. Jurnal Biotik. ISBN: 978-602-60401-9-0.

79
LAMPIRAN
1. Kode R Transek
#-
#- Makassar, Senin Juli 2022

library(data.table)
#-
rm(list=ls(all=TRUE))
#- setwd("Copy link nama folder tempat save")
setwd('D:/ektum ica')
dt01 <- fread('Daerah 3 pkl ica.csv',
header = TRUE,
sep=';',
dec='.')
head(dt01)
str(dt01)
tail(dt01)
dim(dt01)
#-- mengecek nama spesies
unik <- dt01[,.(unique(Spesies))]
unik
#- Fungsi menghitung luas penutupan tajuk
cc <- function(x1,x2,pi)
#-- keterangan:
#-- x1 = Diameter Tajuk Pertama
#-- x2 = Diameter Tajuk kedua
#-- pi = 3.14
#--
{ a= x1+x2;
b= (a/4)^2;
c= b*pi;
return(c)
}
dt1 <-dt01[,luas.tajuk := cc(D1,D2,pi),]
head(dt1)
#- untuk menghitung seluruh jumlah dominansi sp.
dominansi <- dt01[,sum(luas.tajuk), by=Spesies]
dominansi
#-- Ganti Nama
dominansi <- setnames(dominansi,old=c('Spesies','V1'),
new=c('spesies','dom'))
head(dominansi)
dominansi
#- Menghitung Dominansi Relatif
#-
dominansi <-dominansi[, dom.rel := (dom/sum(dom)*100)]
dominansi
#-
#--mengurutkan berdsrkan abjad
dom1 <- dominansi[order(spesies)]
dom1
#-
#- Menghitung Frekuensi kehadiran spesies
fr <- dt01[,length(Spesies),by=.(Plot,Spesies)]
fre <- fr[, .(sum(V1)), by=.(Spesies)]
fre
#- Ganti nama
setnames(fre, old=c('Spesies','V1'),
new=c('spesies', 'frek'))
head(fre)
#- Menghitung frekuens Relatif
#-
fre <-fre[, fre.rel := (frek/sum(frek)*100)]
fre
#-
#- Urutkan
fre1 <- fre[order(spesies)]
fre1
#- Menghitung seluruh jumlah densitas sp.
dens <- dt1[, .N, by=Spesies]
dens
#- Ganti nama
dens <- setnames(dens,old=c('Spesies','N'),
new=c('spesies','den'))
dens
#- Menghitung densitas relatif
#-
dens <-dens[,
den.rel := (den/sum(den)*100)]
dens
#- urutkan
dens1 <- dens[order(spesies)]
dens1
#- gabung data
data <- data.table(dom1,fre1,dens1)
head(data,3)
#- Hilangkan kolum yang tidak perlu berdasarkan indeks
d.gab <- data[, c(4,7) := NULL]
head(d.gab,3)
#- Menghitung indeks nilai penting
inp <- function (xx,yy,zz)
{nil = xx + yy + zz;
return (nil)}
d.gab <-d.gab[, INP := (dom.rel+fre.rel+den.rel)]
jum.INP <-d.gab[,sum(INP)]
jum.INP
#- Tampilkan data
d.gab
#-urutkan
setorder(d.gab,-INP)
d.gab
#- Menyimpan file
#- setwd("Copy link nama folder tempat save")
setwd('D:/ektum ica')
fwrite(d.gab,file='INP Ektum ica daerah 3.csv',
sep=';',
dec='.')
#-- SELESAI

2. Kode R PCQ
#-Makassar 12 November 2022
#-Programmer
#_
library (data.table)
rm(list=ls(all=TRUE))
setwd("D:/PCQ")
getwd()
df01 <-fread("PCQ DATA D2.csv",
header=TRUE,
sep=',',
dec='.')
df01
#- Jumlah Quarter
jq <- df01[,length(QN)]
#- Hitung Mean Distance (D)
DD <- function (x,y){
aa <- sum(x);
bb <-y;
cc <- aa/bb;
return(cc)
}
df02 <- df01[,.(DD(DTC,jq)),]
df02
#-Absolute density
df03 <- 100/(df02[,V1])^2
df03

#-Menghitung seluruh jumlah densitas sp.


df04 <-df01[,.N, by=SPC]
df04
#- Ganti nama
df04 <- setnames(df04,old=c('SPC','N'),
new=c('spesies','den'))
df04
str(df04)
#-
#- Number in Quarter
df05 <- df04[,niq :=(den/jq),]
#-Number of trees in 100 m2
df06 <- df04[,not :=niq*df03,]
#-Urutkan
df06 <- df06[order(spesies)]
df06
str(df06)
#--
#- Menghitung basal area (b.area)
#- Fungsi menghitung Basal Area
ba<-function(x){((0.5*x) ^2)*3.142875}
df07 <-df01[,b.area :=ba(DMT),]
head(df07)

#- untuk menghitung seluruh jumlah dominansi sp.


df08 <- df07[,.(sum(b.area)), by=.(SPC)]
df08

df08 <- setnames(df08,old=c('SPC','V1'),


new=c('spesies','BA'))
#- Urutkan
df08 <-df08[order(spesies)]
str(df0

#-Gabung
df09 <- merge(df06,df08,all=TRUE)
df09
#-Fungsi hitung mean basal area
df09 <- df09 [,MBA :=BA/den,]
#- Hitung Dominansi
df09 <- df09[,dom :=MBA*not,]
df09
#- Menghitung Frekuensi Kehadiran spesies
fr <-df01[,
length('SPC'),
by=. (SPT,
SPC)]
fre <- fr[,
.(sum(V1)),
by=.(SPC)]
fre

#- Hitung banyak Sampling Point


total_point <- df01[,length(SPT)/length(QN)]

tp<- fr[,length(SPT), by=.(SPT)]


totsp <-tp[,sum(V1),]
totsp

#- Ganti nama
fre <-setnames(fre,old=c('SPC','V1'),
new=c('spesies','frek'))
fre <- fre[,frekMut :=frek/totsp,]

#- Urutkan
fre <- fre[order(spesies)]
fre
str(fre)

#- Gabung
df10 <- merge(df09,fre,all=TRUE)

df10 <- df10[,denrel :=(den/sum(den))*100,]


df10
df10 <- df10[,domrel :=(dom/sum(dom))*100,]
df10
df10 <- df10[,frekrel :=(frekMut/sum(frekMut))*100,]
df10

#--
#- Menghitung Indeks Nilai Penting
df10 <-df10[,Inp :=(denrel+domrel+frekrel)]
df10
jum.INP <-df10[,sum(Inp)]

#- Menyimpan data
fwrite(df10, "Point Centre Quarter Ektum wilayah 2.csv")
#- SELESAI

3. Kode R T Sampling
#- Makassar : 16 November 2022
#- T Square Sampling
#- Kelompok 2
#-
library(data.table)
rm(list=ls(all=TRUE))
setwd("D:/T sampling ")
lat00 <- fread('Data T Sampling 1 (1) fix.csv', sep= ',', dec = '.', header =
TRUE)
lat00
str(lat00)
dim(lat00)
#-Hitung total jarak x
totx <- lat00[,sum(jarak.x),]
totx
totx2 <-lat00[,sum(jarak.x^2),]
totx2
ratax <- lat00[,mean(jarak.x),]
ratax
#- Hitung total jarak z
totz <- lat00[,sum(jarak.z),]
totz
totz2 <- lat00[,sum(jarak.z^2),]
totz2
rataz <- lat00[,mean(jarak.z),]
rataz
#-Hitung variansi x
varx <- lat00 [, var(jarak.x),]
varx
#- Hitung variansi z
varz <- lat00 [, var(jarak.z),]
varz
#-Hitung NT (Asumsi mengelompok
nt <- function(xx, yy, zz) {
aa = (length(xx)^2);
bb = sum(yy);
cc = sum(zz);
dd = 2 * ((bb)*(sqrt(2)*cc))
ee = aa/dd;
return(ee)
}
NT <- lat00[, nt(point,jarak.x,jarak.z)]
NT
#- Reciplocal 1/NT
reciplocal <- 1/NT
reciplocal
#- Hitung covariance x dan z
covxz <- lat00[, cov(jarak.x, jarak.z),]
covxz
#- Hitung standar error
al <- 8 * ((rataz^2*varx) + (2*(ratax*rataz*covxz)) + ((ratax^2)*(varz)))
a2 <- sqrt((al)/length(lat00$point))
#- Hasil standar error
a2
#-
#- batas atas
bats <- reciplocal + (a2*(qt(p=0.975,df=length(lat00$point)-1)))
bats
#- batas bawah
bbwh <- reciplocal + (a2*(qt(p=0.975,df=length(lat00$point)-1)))
bbwh
#- Resiprocal batas atas
#- Batas atas jumlah pohon dalam satuan hektar
lat01 <- (1/bats) * 10000
lat01
#- Resiprocal batas bawah
#- Batas bawah jumlah pohon dalam satuan hektar
lat02 <- bbwh <- (1/bbwh) * 10000
lat02
#- Atur dalam table
parameter <- c("Total X", "JK X", "Rata2 X", "VAR X", "Total Z", "JK
Z",
"Rata2 Z", "VAR Z", "COV XZ", "NT", "Reciprocal NT",
"Std Err", "Batas Bawah", "Batas Atas")

nilai <- c(totx, totx2, ratax, varx, totz,totz2,


rataz, varz, covxz, NT, reciplocal, a2, lat01, lat02)
desk <- data.table(parameter, nilai)
desk
options(digits=2)

#- Hilangkan format scentific notation


options(scipen=999)
desk

#- SELESAI
TALLY SHEET
1. Minimal Area (Data Herba)
UKURAN JUMLAH
DAERAH PLOT SPESIES/KODE
PLOT (M2) SPESIES

Clinopodium brownei
Ageratum houstonianum
1 0.5 x 0.5 4
Arthraxon hispidus

Zoysia japonica

Cyperus rotundus L.
0.5 x 1
1 2 Asarum canadense 7
Hydrocotyle verticillata

3 1x1 Ageratum conyzoides 8


Nepeta cataria
4 2x1 10
Alysicarpus bupleurifolius

5 2×2 Calamagrostis arundinacea 11


Hydrocotyle verticillata

Cyperus rotundus L.

Asarum canadense
1 0.5 x 0.5 5
Thelypteris kunthii

Dichanthelium
2 clandestinum

Kyllinga monocephala
2 7
0.5 x 1 Thelypteris kunthii

3 1x1 Rubus idaeus 8

4 2x1 Nepeta cataria 9

5 2x2 Mikania micrantha 10

Pennisetum purpureum
3 1 0.5 x 0.5 3
Zoysia japonica
Ageratum houstonianum

2 0.5 x 1 Clinopodium brownei 4

Dichanthelium
3 1x1 5
clandestinum

2. Pola Distribusi dan Asosiasi (Data Herba)

DAERAH PLOT NAMA SPESIES/KODE

Plot 1 Cornus sessilis

Daerah 1 Plot 1 Cornus sessilis

Plot 1 Cornus sessilis

Plot 1 Cornus sessilis

Plot 1 Ageratina ripari

Plot 1 Ageratina ripari

Plot 2 Ageratina ripari

Plot 2 Ageratina ripari

Plot 2 Ageratina ripari

Plot 2 Synedrella nodiflora

Plot 2 Synedrella nodiflora

Plot 2 Viola odorata

Plot 2 Carex sylvatica

Plot 3 Cornus sessilis

Plot 3 Cornus sessilis

Plot 3 Ageratina ripari

Plot 3 Helicia robusta


Plot 3 Helicia robusta

Plot 4 Ageratina ripari

Plot 4 Ageratina ripari

Plot 4 Ageratina ripari

Plot 4 Hygrophila corymbosa

Plot 5 Cornus sessilis

Plot 5 Ageratina ripari

Plot 5 Ageratina ripari

Plot 5 Helicia robusta

Plot 6 Cornus sessilis

Plot 6 Ageratina ripari

Plot 6 Ageratina ripari

Plot 7 Cornus sessilis

Plot 7 Cornus sessilis

Plot 7 Ageratina ripari

Plot 7 Elatostema lineolatum

Plot 7 Gnetum afrinacum

Plot 8 Ageratina ripari

Plot 8 Ageratina ripari

Plot 8 Apama tomentosa

Plot 8 Apama tomentosa

Plot 9 Helicia robusta

Plot 9 Helicia robusta

Plot 9 Hygrophila corymbosa


Plot 10 Cornus sessilis

Plot 10 Cornus sessilis

Plot 10 Ageratina ripari

Plot 10 Synedrella nodiflora

Plot 11 Cornus sessilis

Plot 11 Cornus sessilis

Plot 12 Viola odorata

Plot 12 Viola odorata

Plot 12 Carex sylvatica

Plot 12 Carex sylvatica

Plot 13 Viola odorata

Plot 13 Helicia robusta

Plot 13 Helicia robusta

Plot 14 Hygrophila corymbosa

Plot 14 Hygrophila corymbosa

Plot 14 Hygrophila corymbosa

Plot 15 Cornus sessilis

Plot 15 Cornus sessilis

Plot 15 Ageratina ripari

Plot 16 Cornus sessilis

Plot 16 Viola odorata

Plot 16 Synedrella nodiflora

Plot 16 Synedrella nodiflora

Plot 17 Viola odorata


Plot 17 Viola odorata

Plot 17 Hygrophila corymbosa

Plot 18 Gnetum afrinacum

Plot 18 Gnetum afrinacum

Plot 18 Gnetum afrinacum

Plot 18 Gnetum afrinacum

Plot 19 Gnetum afrinacum

Plot 19 Cornus sessilis

Plot 19 Cornus sessilis

Plot19 Ageratina ripari

Plot 20 Ageratina ripari

Plot 20 Ageratina ripari

Plot 20 Synedrella nodiflora

Plot 21 Cornus sessilis

Plot 21 Helicia robusta

Plot 21 Helicia robusta

Plot 22 Cornus sessilis

Plot 22 Cornus sessilis

Plot 22 Ageratina ripari

Plot 23 Synedrella nodiflora

Plot 23 Synedrella nodiflora

Plot 23 Synedrella nodiflora

Plot 23 Synedrella nodiflora

Plot 23 Synedrella nodiflora


Plot 23 Carex sylvatica

Plot 23 Carex sylvatica

Plot 24 Synedrella nodiflora

Plot 24 Synedrella nodiflora

Plot 24 Carex sylvatica

Plot 24 Carex sylvatica

Plot 25 Helicia robusta

Plot 25 Helicia robusta

Plot 25 Helicia robusta

Plot 25 Hygrophila corymbosa

Plot 25 Hygrophila corymbosa

Plot 26 Elatostema lineolatum

Plot 26 Elatostema lineolatum

Plot 26 Elatostema lineolatum

Plot 26 Gnetum afrinacum

Plot 26 Gnetum afrinacum

Plot 27 Carex sylvatica

Plot 27 Carex sylvatica

Plot 27 Carex sylvatica

Plot 27 Viola odorata

Plot 27 Viola odorata

Plot 27 Viola odorata

Plot 28 Carex sylvatica

Plot 28 Cornus sessilis


Plot 28 Cornus sessilis

Plot 28 Cornus sessilis

Plot 28 Ageratina ripari

Plot 28 Ageratina ripari

Plot 28 Ageratina ripari

Plot 28 Ageratina ripari

Plot 28 Ageratina ripari

Plot 28 Helicia robusta

Plot 28 Helicia robusta

Plot 29 Helicia robusta

Plot 29 Ageratina ripari

Plot 29 Ageratina ripari

Plot 30 Ageratina ripari

Plot 30 Ageratina ripari

Plot 30 Ageratina ripari

Plot 30 Ageratina ripari

Plot 30 Ageratina ripari

Plot 30 Synedrella nodiflora

Plot 30 Synedrella nodiflora

Plot 30 Synedrella nodiflora

Plot 31 Gnetum afrinacum

Plot 31 Gnetum afrinacum

Plot 31 Ageratina ripari

Plot 31 Ageratina ripari


Plot 31 Synedrella nodiflora

Plot 32 Apama tomentosa

Plot 32 Apama tomentosa

Plot 32 Cornus sessilis

Plot 32 Cornus sessilis

Plot 33 Cornus sessilis

Plot 33 Cornus sessilis

Plot 33 Cornus sessilis

Plot 33 Ageratina ripari

Plot 33 Ageratina ripari

Plot 34 Cornus sessilis

Plot 34 Cornus sessilis

Plot 34 Cornus sessilis

Plot 34 Ageratina ripari

Plot 34 Ageratina ripari

Plot 34 Ageratina ripari

Plot 35 Ageratina ripari

Plot 35 Cornus sessilis

Plot 35 Gnetum afrinacum

Plot 35 Synedrella nodiflora

Plot 35 Apama tomentosa

Plot 35 Ageratina ripari

Plot 36 Cornus sessilis

Plot 36 Cornus sessilis


Plot 36 Cornus sessilis

Plot 36 Ageratina ripari

Plot 36 Ageratina ripari

Plot 37 Cornus sessilis

Plot 37 Cornus sessilis

Plot 37 Synedrella nodiflora

Plot 37 Synedrella nodiflora

Plot 37 Synedrella nodiflora

Plot 38 Synedrella nodiflora

Plot 38 Cornus sessilis

Plot 38 Synedrella nodiflora

Plot 39 Synedrella nodiflora

Plot 39 Synedrella nodiflora

Plot 39 Synedrella nodiflora

Plot 39 Cornus sessilis

Plot 39 Cornus sessilis

Plot 40 Cornus sessilis

Plot 40 Cornus sessilis

Plot 40 Ageratina ripari

Plot 41 Ageratina ripari

Plot 41 Synedrella nodiflora

Plot 41 Synedrella nodiflora

Plot 41 Synedrella nodiflora

Plot 42 Helicia robusta


Plot 42 Helicia robusta

Plot 42 Elatostema lineolatum

Plot 42 Elatostema lineolatum

Plot 42 Elatostema lineolatum

Plot 42 Gnetum afrinacum

Plot 43 Gnetum afrinacum

Plot 43 Gnetum afrinacum

Plot 43 Cornus sessilis

Plot 43 Cornus sessilis

Plot 43 Cornus sessilis

Plot 44 Synedrella nodiflora

Plot 44 Synedrella nodiflora

Plot 44 Synedrella nodiflora

Plot 44 Ageratina ripari

Plot 44 Ageratina ripari

Plot 44 Ageratina ripari

Plot 45 Ageratina ripari

Plot 45 Ageratina ripari

Plot 45 Ageratina ripari

Plot 45 Synedrella nodiflora

Plot 45 Synedrella nodiflora

Plot 45 Hygrophila corymbosa

Plot 46 Hygrophila corymbosa

Plot 46 Hygrophila corymbosa


Plot 46 Helicia robusta

Plot 46 Helicia robusta

Plot 46 Helicia robusta

Plot 47 Gnetum afrinacum

Plot 47 Gnetum afrinacum

Plot 47 Gnetum afrinacum

Plot 47 Gnetum afrinacum

Plot 47 Hygrophila corymbosa

Plot 47 Hygrophila corymbosa

Plot 47 Ageratina ripari

Plot 47 Ageratina ripari

Plot 48 Cornus sessilis

Plot 48 Ageratina ripari

Plot 48 Ageratina ripari

Plot 48 Ageratina ripari

Plot 48 Synedrella nodiflora

Plot 48 Synedrella nodiflora

Plot 48 Synedrella nodiflora

Plot 49 Synedrella nodiflora

Plot 49 Cornus sessilis

Plot 49 Cornus sessilis

Plot 49 Cornus sessilis

Plot 49 Ageratina ripari

Plot 49 Ageratina ripari


Plot 49 Ageratina ripari

Plot 50 Synedrella nodiflora

Plot 50 Synedrella nodiflora

Plot 50 Synedrella nodiflora

Plot 50 Helicia robusta

Plot 50 Helicia robusta

DAERAH PLOT NAMA SPESIES/KODE

Plot 1 Rubus pubescens

Daerah 2 Plot 1 Rubus pubescens

Plot 1 Pogestemon cablin

Plot 1 Hoya pandurata

Plot 1 Hoya pandurata

Plot 1 Hypolytrum nemorum

Plot 1 Hypolytrum nemorum

Plot 1 Hypolytrum nemorum

Plot 1 Hypolytrum nemorum

Plot 2 Hoya pandurata

Plot 2 Hoya pandurata

Plot 2 Hypolytrum nemorum

Plot 2 Rubus niveus

Plot 2 Melissa officinalis

Plot 3 Rubus niveus


Plot 3 Rubus niveus

Plot 3 Melissa officinalis

Plot 3 Melissa officinalis

Plot 3 Andersonglossum virginianum

Plot 4 Melissa officinalis

Plot 4 Melissa officinalis

Plot 4 Desmodium adscendens

Plot 4 Desmodium adscendens

Plot 5 Rubus niveus

Plot 5 Rubus niveus

Plot 5 Rubus niveus

Plot 5 Melissa officinalis

Plot 6 Pogestemon cablin

Plot 6 Hoya pandurata

Plot 6 Hoya kerrii

Plot 6 Hypolytrum nemorum

Plot 6 Coleus ambonicus

Plot 7 Pogestemon cablin

Plot 7 Hoya pandurata

Plot 7 Hypolytrum nemorum

Plot 7 Melissa officinalis

Plot 7 Crassocephalum crepidioides

Plot 8 Ageratina ripari

Plot 8 Carex sylvatica


Plot 8 Melissa officinalis

Plot 8 Melissa officinalis

Plot 8 Clinacanthus nutans

Plot 8 Clinacanthus nutans

Plot 9 Ageratina ripari

Plot 9 Rubus pubescens

Plot 9 Pogestemon cablin

Plot 9 Hoya pandurata

Plot 10 Carex sylvatica

Plot 10 Rubus pubescens

Plot 10 Pogestemon cablin

Plot 10 Hoya pandurata

Plot 11 Carex sylvatica

Plot 11 Coleus ambonicus

Plot 11 Crassocephalum crepidioides

Plot 11 Elsholtzia ciliata

Plot 12 Hoya pandurata

Plot 12 Crassocephalum crepidioides

Plot 12 Elsholtzia ciliata

Plot 13 Pogestemon cablin

Plot 13 Melissa officinalis

Plot 13 Melissa officinalis

Plot 14 Rubus pubescens

Plot 14 Pogestemon cablin


Plot 14 Hoya pandurata

Plot 14 Crassocephalum crepidioides

Plot 15 Hoya pandurata

Plot 15 Hypolytrum nemorum

Plot 15 Melissa officinalis

Plot 15 Coleus ambonicus

Plot 16 Crassocephalum crepidioides

Plot 16 Clinacanthus nutans

Plot 17 Pogestemon cablin

Plot 17 Hoya pandurata

Plot 18 Rubus pubescens

Plot 18 Pogestemon cablin

Plot 18 Melissa officinalis

Plot 19 Coleus ambonicus

Plot 19 Coleus ambonicus

Plot 20 Crassocephalum crepidioides

Plot 20 Elsholtzia ciliata

Plot 21 Ageratina ripari

Plot 21 Hypolytrum nemorum

Plot 21 Melissa officinalis

Plot 22 Melissa officinalis

Plot 22 Melissa officinalis

Plot 23 Pogestemon cablin

Plot 23 Hoya pandurata


Plot 24 Ageratina ripari

Plot 24 Ageratina ripari

Plot 24 Carex sylvatica

Plot 24 Carex sylvatica

Plot 24 Hypolytrum nemorum

Plot 25 Pogestemon cablin

Plot 25 Pogestemon cablin

Plot 25 Pogestemon cablin

Plot 25 Pogestemon cablin

Plot 25 Clinacanthus nutans

Plot 25 Clinacanthus nutans

Plot 25 Clinacanthus nutans

Plot 26 Carex sylvatica

Plot 26 Carex sylvatica

Plot 26 Melissa officinalis

Plot 26 Melissa officinalis

Plot 26 Melissa officinalis

Plot 27 Hoya kerrii

Plot 27 Hoya kerrii

Plot 27 Hoya kerrii

Plot 27 Coleus ambonicus

Plot 27 Coleus ambonicus

Plot 28 Hoya pandurata

Plot 28 Hoya pandurata


Plot 28 Hoya pandurata

Plot 28 Hypolytrum nemorum

Plot 28 Hypolytrum nemorum

Plot 29 Melissa officinalis

Plot 29 Melissa officinalis

Plot 29 Clinacanthus nutans

Plot 29 Clinacanthus nutans

Plot 29 Clinacanthus nutans

Plot 29 Clinacanthus nutans

Plot 30 Carex sylvatica

Plot 30 Carex sylvatica

Plot 30 Rubus pubescens

Plot 30 Rubus pubescens

Plot 30 Pogestemon cablin

Plot 30 Pogestemon cablin

Plot 31 Coleus ambonicus

Plot 31 Coleus ambonicus

Plot 31 Coleus ambonicus

Plot 31 Crassocephalum crepidioides

Plot 31 Crassocephalum crepidioides

Plot 32 Hoya pandurata

Plot 32 Hoya pandurata

Plot 32 Clinacanthus nutans

Plot 32 Clinacanthus nutans


Plot 32 Clinacanthus nutans

Plot 32 Elsholtzia ciliata

Plot 32 Elsholtzia ciliata

Plot 33 Pogestemon cablin

Plot 33 Pogestemon cablin

Plot 33 Hoya pandurata

Plot 33 Hoya pandurata

Plot 33 Hoya pandurata

Plot 33 Melissa officinalis

Plot 33 Melissa officinalis

Plot 34 Pogestemon cablin

Plot 34 Pogestemon cablin

Plot 34 Pogestemon cablin

Plot 34 Andersonglossum virginianum

Plot 34 Andersonglossum virginianum

Plot 34 Andersonglossum virginianum

Plot 34 Andersonglossum virginianum

Plot 35 Pogestemon cablin

Plot 35 Pogestemon cablin

Plot 35 Pogestemon cablin

Plot 35 Pogestemon cablin

Plot 35 Hoya pandurata

Plot 35 Hoya pandurata

Plot 36 Crassocephalum crepidioides


Plot 36 Crassocephalum crepidioides

Plot 36 Andersonglossum virginianum

Plot 36 Andersonglossum virginianum

Plot 36 Andersonglossum virginianum

Plot 37 Hoya pandurata

Plot 37 Hoya pandurata

Plot 37 Hoya pandurata

Plot 37 Pogestemon cablin

Plot 37 Pogestemon cablin

Plot 37 Pogestemon cablin

Plot 37 Andersonglossum virginianum

Plot 37 Andersonglossum virginianum

Plot 38 Hypolytrum nemorum

Plot 38 Hypolytrum nemorum

Plot 38 Crassocephalum crepidioides

Plot 38 Crassocephalum crepidioides

Plot 38 Crassocephalum crepidioides

Plot 39 Pogestemon cablin

Plot 39 Pogestemon cablin

Plot 39 Hoya pandurata

Plot 39 Hoya pandurata

Plot 39 Elsholtzia ciliata

Plot 39 Elsholtzia ciliata

Plot 39 Elsholtzia ciliata


Plot 40 Hypolytrum nemorum

Plot 40 Hypolytrum nemorum

Plot 40 Coleus ambonicus

Plot 40 Coleus ambonicus

Plot 40 Coleus ambonicus

Plot 41 Hoya pandurata

Plot 41 Hoya pandurata

Plot 41 Hoya pandurata

Plot 41 Crassocephalum crepidioides

Plot 41 Crassocephalum crepidioides

Plot 42 Pogestemon cablin

Plot 42 Pogestemon cablin

Plot 42 Pogestemon cablin

Plot 42 Hoya pandurata

Plot 42 Hoya pandurata

Plot 43 Rubus pubescens

Plot 43 Rubus pubescens

Plot 43 Pogestemon cablin

Plot 43 Pogestemon cablin

Plot 43 Pogestemon cablin

Plot 43 Hypolytrum nemorum

Plot 43 Hypolytrum nemorum

Plot 43 Coleus ambonicus

Plot 44 Hypolytrum nemorum


Plot 44 Hypolytrum nemorum

Plot 44 Hypolytrum nemorum

Plot 44 Hypolytrum nemorum

Plot 44 Crassocephalum crepidioides

Plot 44 Crassocephalum crepidioides

Plot 45 Rubus pubescens

Plot 45 Rubus pubescens

Plot 45 Clinacanthus nutans

Plot 45 Clinacanthus nutans

Plot 46 Pogestemon cablin

Plot 46 Pogestemon cablin

Plot 46 Pogestemon cablin

Plot 46 Hoya pandurata

Plot 46 Hoya pandurata

Plot 46 Hoya pandurata

Plot 46 Hoya pandurata

Plot 47 Rubus pubescens

Plot 47 Rubus pubescens

Plot 47 Crassocephalum crepidioides

Plot 47 Crassocephalum crepidioides

Plot 47 Crassocephalum crepidioides

Plot 48 Coleus ambonicus

Plot 48 Coleus ambonicus

Plot 48 Coleus ambonicus


Plot 48 Clinacanthus nutans

Plot 48 Clinacanthus nutans

Plot 48 Clinacanthus nutans

Plot 49 Pogestemon cablin

Plot 49 Pogestemon cablin

Plot 49 Pogestemon cablin

Plot 49 Hoya pandurata

Plot 49 Hoya pandurata

Plot 49 Hoya pandurata

Plot 50 Hypolytrum nemorum

Plot 50 Hypolytrum nemorum

Plot 50 Hypolytrum nemorum

Plot 50 Coleus ambonicus

Plot 50 Coleus ambonicus

Plot 50 Coleus ambonicus

Plot 50 Elsholtzia ciliata

Plot 50 Elsholtzia ciliata

DAERAH PLOT NAMA SPESIES/KODE

Plot 1 Ageratina ripari

Daerah 3 Plot 1 Pogestemon cablin

Plot 1 Pogestemon cablin

Plot 1 Hoya pandurata


Plot 1 Centella asiatica

Plot 1 Stachys floridana

Plot 2 Ageratina ripari

Plot 2 Ageratina ripari

Plot 2 Melissa officinalis

Plot 2 Centella asiatica

Plot 2 Stachys floridana

Plot 2 Spermacoce latifolia

Plot 3 Ageratina ripari

Plot 3 Ageratina ripari

Plot 3 Pogestemon cablin

Plot 3 Melissa officinalis

Plot 3 Pariana bicolor

Plot 4 Ageratina ripari

Plot 4 Ageratina ripari

Plot 4 Pogestemon cablin

Plot 4 Hoya pandurata

Plot 5 Gnetum afrinacum

Plot 5 Hoya pandurata

Plot 5 Stachys floridana

Plot 6 Carex sylvatica

Plot 6 Pogestemon cablin

Plot 6 Stachys floridana

Plot 7 Rubus pubescens


Plot 7 Pogestemon cablin

Plot 8 Rubus pubescens

Plot 8 Coleus ambonicus

Plot 8 Hoya pandurata

Plot 9 Ageratina ripari

Plot 9 Rubus pubescens

Plot 9 Melissa officinalis

Plot 9 Centella asiatica

Plot 9 Spermacoce latifolia

Plot 10 Cornus sessilis

Plot 10 Cornus sessilis

Plot 10 Ageratina ripari

Plot 10 Pogestemon cablin

Plot 11 Rubus niveus

Plot 11 Rubus niveus

Plot 11 Crassocephalum crepidioides

Plot 12 Hoya pandurata

Plot 12 Hoya pandurata

Plot 12 Hoya pandurata

Plot 12 Coleus ambonicus

Plot 12 Coleus ambonicus

Plot 13 Rubus pubescens

Plot 13 Pogestemon cablin

Plot 13 Melissa officinalis


Plot 14 Rubus pubescens

Plot 14 Rubus pubescens

Plot 14 Melissa officinalis

Plot 15 Melissa officinalis

Plot 15 Melissa officinalis

Plot 16 Elatostema lineolatum

Plot 16 Elatostema lineolatum

Plot 16 Rubus pubescens

Plot 17 Pogestemon cablin

Plot 17 Pogestemon cablin

Plot 17 Elsholtzia ciliata

Plot 17 Elsholtzia ciliata

Plot 18 Andersonglossum virginianum

Plot 18 Andersonglossum virginianum

Plot 18 Andersonglossum virginianum

Plot 18 Spermacoce latifolia

Plot 19 Pogestemon cablin

Plot 19 Centella asiatica

Plot 19 Centella asiatica

Plot 20 Coleus ambonicus

Plot 20 Coleus ambonicus

Plot 20 Stachys floridana

Plot 20 Stachys floridana

Plot 21 Hoya pandurata


Plot 21 Hoya kerrii

Plot 22 Rubus pubescens

Plot 22 Rubus pubescens

Plot 22 Centella asiatica

Plot 22 Stachys floridana

Plot 23 Hygrophila corymbosa

Plot 23 Pogestemon cablin

Plot 23 Pogestemon cablin

Plot 24 Rubus pubescens

Plot 24 Rubus pubescens

Plot 24 Pogestemon cablin

Plot 25 Hygrophila corymbosa

Plot 25 Coleus ambonicus

Plot 25 Crassocephalum crepidioides

Plot 26 Clinacanthus nutans

Plot 26 Clinacanthus nutans

Plot 27 Crassocephalum crepidioides

Plot 27 Crassocephalum crepidioides

Plot 28 Hoya pandurata

Plot 28 Hoya pandurata

Plot 28 Elsholtzia ciliata

Plot 29 Rubus pubescens

Plot 29 Rubus pubescens

Plot 29 Hoya pandurata


Plot 30 Pogestemon cablin

Plot 30 Pogestemon cablin

Plot 30 Hoya pandurata

Plot 31 Hoya kerrii

Plot 31 Hoya pandurata

Plot 32 Hypolytrum nemorum

Plot 32 Hypolytrum nemorum

Plot 33 Melissa officinalis

Plot 33 Melissa officinalis

Plot 33 Andersonglossum virginianum

Plot 34 Coleus ambonicus

Plot 34 Coleus ambonicus

Plot 34 Crassocephalum crepidioides

Plot 35 Melissa officinalis

Plot 35 Melissa officinalis

Plot 35 Stachys floridana

Plot 35 Stachys floridana

Plot 36 Pogestemon cablin

Plot 36 Elsholtzia ciliata

Plot 36 Elsholtzia ciliata

Plot 37 Andersonglossum virginianum

Plot 37 Andersonglossum virginianum

Plot 37 Desmodium adscendens

Plot 38 Melissa officinalis


Plot 38 Centella asiatica

Plot 38 Centella asiatica

Plot 38 Stachys floridana

Plot 39 Pogestemon cablin

Plot 39 Pogestemon cablin

Plot 39 Melissa officinalis

Plot 39 Hoya pandurata

Plot 40 Hoya kerrii

Plot 40 Hoya pandurata

Plot 41 Coleus ambonicus

Plot 41 Coleus ambonicus

Plot 41 Desmodium adscendens

Plot 42 Clinacanthus nutans

Plot 42 Clinacanthus nutans

Plot 42 Elsholtzia ciliata

Plot 42 Centella asiatica

Plot 43 Stachys floridana

Plot 43 Stachys floridana

Plot 44 Pogestemon cablin

Plot 44 Melissa officinalis

Plot 44 Andersonglossum virginianum

Plot 45 Hoya kerrii

Plot 45 Hoya kerrii

Plot 45 Hoya pandurata


Plot 46 Rubus pubescens

Plot 46 Hoya pandurata

Plot 46 Hoya pandurata

Plot 46 Hypolytrum nemorum

Plot 47 Coleus ambonicus

Plot 47 Coleus ambonicus

Plot 47 Clinacanthus nutans

Plot 47 Centella asiatica

Plot 48 Hoya pandurata

Plot 48 Melissa officinalis

Plot 48 Melissa officinalis

Plot 49 Andersonglossum virginianum

Plot 49 Coleus ambonicus

Plot 49 Coleus ambonicus

Plot 50 Hoya pandurata

Plot 50 Hypolytrum nemorum

Plot 50 Stachys floridana

3. Metode Transek (Data Semak dan Anakan Pohon)


A. Daerah 1
No Plot Nama Spesies D1 D2
1 1 Lantana camara 30.1 24.5
2 1 Lantana camara 35.2 26.7
3 1 Solanum pseudocapsicum 58.2 46.7
4 1 Solanum pseudocapsicum 19.5 13.1
5 1 Solanum pseudocapsicum 42.5 30.2
6 1 Solanum pseudocapsicum 163.1 96.7
7 2 Solanum pseudocapsicum 87.3 71.4
8 2 Plectranthus ambonicus 187.2 30.1
9 2 Plectranthus ambonicus 187.2 159.3
10 2 Plectranthus ambonicus 67.3 45.5
11 2 Angiopteris evecta 93.2 75.1
12 3 Dryopteris flix-mas 56.3 41.2
13 3 Gleichenia linearis 123.6 120.8
14 3 Gleichenia linearis 54.7 31.2
15 3 Gleichenia linearis 67.2 60.5
15 3 Solanum pseudocapsicum 149.4 172.1
16 4 Macaranga peltata 49.3 42.3
17 4 Solanum pseudocapsicum 80.2 53.1
18 4 Elastostema sp 30.5 11.1
19 4 Elastostema sp 62.5 40.3
20 4 Maclura cochinchinensis 35.1 19.7
21 4 Elastostema sp 21.5 17.7
22 5 Solanum pseudocapsicum 152.4 126.6
23 5 Elastostema sp 20.8 15.7
24 5 Angiopteris evecta 36.3 30.1
25 5 Elastostema sp 35.2 28.8
26 6 Elastostema sp 28.1 11.3
27 6 Diplopterys cabrerana 15.6 10.7
28 6 Elastostema sp 60.3 20.5
29 7 Elastostema sp 15.7 8.9
30 7 Elastostema sp 45.3 25.6
31 7 Diplopterys cabrerana 31.5 28.9
32 8 Diplopterys cabrerana 135.7 90.6
33 8 Diplopterys cabrerana 95.3 70.1
34 8 Solanum pseudocapsicum 50.1 28.5
35 9 Diplopterys cabrerana 30.2 15.3
36 10 Diplopterys cabrerana 27.6 10.5
37 10 Elastostema sp 60.7 15.6
38 10 Elastostema sp 80.7 60.1

B. Daerah 2
No Plot Nama Spesies D1 D2

1 1 Rubus biflorus 30.1 32.2


2 1 Sida rhombifolia 22.1 18.5
3 1 Macaranga peltata 30.1 28.5
4 1 Lantana camara 165.5 120.3
5 1 Gleichenia linearis 63.1 52.5
6 1 Plectranthus ambonicus 145.1 60.7
7 1 Phyllanthus reticulatus 26.5 17.4
8 2 Rubus rosifolius 28.1 20.7
9 2 Macaranga peltata 45.7 30.2
10 2 Gleichenia linearis 90.6 75.1
11 2 Ageratum conyzoides 24.1 15.6
12 3 Rubus biflorus 67.5 48.7
13 3 Macaranga peltata 121.6 91.7
14 3 Coleus amboinicus 67.6 48.7
15 3 Ageratum conyzoides 121.2 91.8
15 3 Macaranga peltata 62.5 32.1
16 4 Gynura procumbens 82.6 30.5
17 4 Macaranga peltata 32.6 13.3
18 4 Ageratum conyzoides 36.7 13.1
19 4 Gleichenia linearis 15.6 8.7
20 5 Solanum pseudocapsicum 38.1 10.8
21 5 Ageratum conyzoides 62.5 29.4
22 5 Gleichenia linearis 38.1 30.6
23 5 Phyllanthus reticulatus 35.7 26.1
24 5 Ageratum conyzoides 60.7 25.1
25 6 Perilla frutescens 32.6 25.6
26 6 Gleichenia linearis 31.3 15.7
27 6 Macaranga peltata 62.6 35.5
28 6 Perilla frutescens 65.1 32.1
29 6 Sida cordifolia 74.5 35.6
30 7 Dryopteris flix-mas 72.1 28.6
31 7 Perilla frutescens 28.1 15.3
32 7 Sida cordifolia 85.3 35.1
33 7 Solanum pseudocapsicum 15.6 12.4
34 7 Blumea balsamifera 90.7 75.6
35 8 Acacia pennata 29.3 13.2
36 8 Macaranga peltata 35.1 13.1
37 8 Sida cordifolia 48.5 35.6
38 9 Solanum pseudocapsicum 20.7 17.6
39 9 Macaranga peltata 67.6 56.7
40 9 Lantana camara 131.2 80.9
41 9 Macaranga peltata 25.6 17.8
42 9 Macaranga peltata 126.3 96.9
43 9 Solanum pseudocapsicum 152.1 83.7
44 9 Lantana camara 74.5 18.5
45 9 Solanum pseudocapsicum 56.7 32.8
46 10 Solanum pseudocapsicum 174.6 73.4
47 10 Macaranga peltata 135.6 80.7
48 10 Gleichenia linearis 74.6 52.1
49 10 Phyllanthus reticulatus 35.6 16.7
50 10 Sida cordifolia 45.3 13.7
51 10 Lantana camara 40.1 28.5
52 10 Gleichenia linearis 15.7 8.6

C. Daerah 3
No Plot Nama Spesies D1 D2
1 1 Gynura procumbens 30.1 26.5
2 1 Gynura procumbens 26.7 19.7
3 1 Gynura procumbens 25.1 20.2
4 1 Lantana camara 13.1 10.2
5 1 Solanum pseudocapsicum 75.1 50.3
6 1 Phyllanthus reticulatus 72.6 59.7
7 2 Gleichenia linearis 62.7 42.8
8 2 Eupatorium odoratum 27.6 12.7
9 2 Acacia dealbata 57.6 34.1
10 2 Solanum pseudocapsicum 61.5 42.7
11 3 Solanum pseudocapsicum 30.6 24.1
12 3 Tetradenia riparia 35.6 30.1
13 3 Macaranga peltata 10.1 8.2
14 4 Ageratum conyzoides 37.1 26.8
15 4 Gleichenia linearis 82.1 34.1
15 4 Solanum pseudocapsicum 74.1 45.3
16 4 Ageratum conyzoides 22.6 17.7
17 5 Solanum pseudocapsicum 25.1 22.7
18 5 Phyllanthus reticulatus 67.8 24.9
19 5 Rubus niveus 27.1 18.3
20 5 Achyranthes aspera 97.5 86.3
21 5 Achyranthes aspera 72.8 47.1
22 6 Ageratum conyzoides 51.3 32.4
23 6 Solanum pseudocapsicum 34.8 18.7
24 6 Reynoutria japonica 33.1 9.8
25 7 Ageratum conyzoides 32.6 24.1
26 7 Clitoria mariana 8.1 5.6
27 7 Gleichenia linearis 84.7 47.8
28 7 Ageratum conyzoides 30.5 13.6
29 7 Macaranga peltata 24.1 21.5
30 8 Solanum pseudocapsicum 54.6 31.7
31 8 Psychotria viridis 14.1 11.2
32 8 Solanum pseudocapsicum 14.7 11.3
33 8 Melastoma malabathricum 23.6 12.1
34 9 Macaranga peltata 31.7 12.6
35 9 Solanum pseudocapsicum 16.7 12.5
36 9 Ageratum conyzoides 35.5 20.5
37 9 Solanum pseudocapsicum 15.6 8.7
38 10 Gynura procumbens 21.7 18.6
39 10 Psychotria viridis 10.5 8.7
40 10 Psychotria viridis 45.5 37.5
4. Metode Point Centre Quarter (PCQ) (Data Pohon)

JUMLAH JARAK KELILING


TITIK/POINT SPESIES/KODE
KUADRAN (m) (cm)

1 1.05 Acacia meamsii 71

2 2 Acacia meamsii 83
1 3 4.03 Acacia meamsii 78

Amaranthus
4 1.77 118
spinosus

Amaranthus
1 1.35 56
spinosus

Amaranthus
2 2 3 83
spinosus

3 3.2 Acacia meamsii 70

4 2 Gaultheria shallom 105

1 1 Gaultheria shallom 70

2 2.1 Gaultheria shallom 50


3
3 1 Gaultheria shallom 40

4 1.5 Acacia meamsii 30

Amaranthus
1 1 20
spinosus

Amaranthus
2 2.5 15
4 spinosus

Amaranthus
3 1 85
spinosus

4 1.5 Acacia meamsii 25


1 3.5 Acacia meamsii 97

2 3 Acacia meamsii 70
5
3 1.2 Gaultheria shallom 50

4 2.1 Gaultheria shallom 150

Amaranthus
1 3 20
spinosus

Amaranthus
6 2 2.3 120
spinosus

3 1 Acacia meamsii 110

4 1 Acacia meamsii 85

1 1 Acacia meamsii 110

2 1 Acacia meamsii 80
7
3 2 Gaultheria shallom 65

4 2.5 Gaultheria shallom 85

1 2.5 Gaultheria shallom 90

2 1.5 Gaultheria shallom 80


8
3 4 Acacia meamsii 96

4 3 Acacia meamsii 110

Amaranthus
1 2.1 79
spinosus

9 2 1 Gaultheria shallom 56

3 2.4 Gaultheria shallom 87

4 1.4 Acacia meamsii 95

1 1 Gaultheria shallom 110


10
2 1,5 Gaultheria shallom 90
Amaranthus
3 2 65
spinosus

Amaranthus
4 1.5 89
spinosus

5. Metode Point Centre Quarter (PCQ) (Data Pohon)

JUMLAH JARAK KELILING


TITIK/POINT SPESIES/KODE
KUADRAN (m) (cm)

1 1 Rubus sumatranus 85

Homalathus
2 2.7 20
1 populifolius

1 3 Melissa officinalis 193

2
2
3

Capromas
1 1.5 40
autumnalis

3 2

Homalathus
1 1 25
4 populifolius

2
3

Homalathus
1 4 30
populifolius

5 2

Homalathus
1 2 20
populifolius

6 2 1.5 Lantana camara 100

1 4 Lantana camara 87

Homalathus
2 1 30
7 populifolius

1 2 Melissa officinalis 150

2 3.5 Lantana camara 78


8
3

1 3 Lantana camara 80

2
9
3

4
Homalathus
1 4 35
populifolius

10 2

6. Metode Point Centre Quarter (PCQ) (Data Pohon)

JUMLAH JARAK KELILING


TITIK/POINT SPESIES/KODE
KUADRAN (m) (cm)

1 1.5 Eucalyptus 200

2
1
3

1 1.7 Eucalyptus 129

Homalathus
2 1 40
2 populifolius

3 1.5 Eucalyptus 160

1 2 Eucalyptus 130

2
3
3

1 3.5 Pinus merkusii 170


4
2
3

Homalathus
1 2 57
populifolius

5 2

1 4 Pinus merkusii 120

2
6
3

1 4 Eucalyptus 139

2
7
3

1 3 Eucalyptus 132

2
8
3

1 3 Pinus merkusii 143

2
9
3

Homalathus
10 1 2 68
populifolius
2

7. T2 Sampling (Data Pohon)


Daerah curam
Tirik Sampel jarak.x jarak.z
1 1,8 2,6

2 1,7 2

3 1 2,1
4 3,9 2,2
5 2,1 2,9
6 1,5 2

7 1,8 3,1

8 3,1 2,4
9 1,5 1,1

10 1,1 1,9

11 2,8 2,5
12 2,7 2,1

13 1,1 1,5

14 1,8 1,9
15 2 2,1
16 2,2 1,8

Daerah Datar
Titik sampel jarak.x jarak.z

1 1,5 1,4
2 1,6 1,8

3 2,5 2,9

4 1,3 1,9
5 2,9 2,1
6 2,1 7,2

7 10,5 5,9

8 2,2 1,5
9 8,8 5,8

10 6,1 7,2

11 1,8 2,2
12 4,8 3,2

13 2,3 6,7

14 8,1 7,7
15 6,7 5,5
16 1,6 1,9

Daerah Landai
Titik sampel jarak.x jarak.z

1 1,6 2,4
2 2,4 2,6

3 1,1 5

4 1,5 1,4
5 1,2 2,5

6 1,8 1,3

7 2,6 2,9
8 1,9 1,2

9 1,2 3,7

10 1,6 2,9
11 1,1 2,7

12 1 1,8
13 2 2,3

14 1,8 2

15 1,5 1,2
16 1,7 2,2
Dokumentasi pengambilan data
Metode Minimal Area
Dokumentasi Metode Pola Distribusi dan Asosiasi
Dokumentasi Metode Transek
Metode PCQ
Dokumentasi Metode T Sampling

You might also like