Burn Out 1
Burn Out 1
Burn Out 1
2, Page: 119-130
Open Access | Url: http://ijec.ejournal.id/index.php/counseling/article/view/93
INDONESIAN JOURNAL OF
EDUCATIONAL COUNSELING
ISSN 2541-2779 (print) || ISSN 2541-2787 (online)
UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN
http://ijec.ejournal.id
A rti cl e Hi sto r y A BS T RA C T
Received: 17.04.2019 SELF-EFFICACY AND ACADEMIC BURNOUT FOR WORKING STUDENTS.
Received in revised form: Academic burnout refers to stress, burden or other psychological factors
16.06.2019
because the learning process is followed by students so that it shows the state
Accepted: 02.07.2019
Available online: 22.07.2019 of emotional fatigue, tendency to depersonalization, and feeling of low personal
achievement. There are individual factors that can affect burnout; one of the
individual factors that can influence academic burnout is academic self-efficacy.
This study aims to determine the relationship between academic self-efficacy
and academic burnout in working students. Based on the results of research
and discussion, it can be concluded that there is a negative relationship between
academic self-efficacy and academic burnout on students who work. This
means that the higher academic self-efficacy, the lower academic burnout in
working students, conversely the lower of Academic self-efficacy, the higher
academic burnout in working students.
KEYWORDS:1Academic Burnout, Academic Self-efficacy.
DOI: 10.30653/001.201932.93 This is an open access article distributed under the terms of the Creative Commons
Attribution 4.0 International License, which permits unrestricted use, distribution, and
reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.
© 2019 Septriyan Orpina, Sowanya Ardi Prahara.
PENDAHULUAN
1
Corresponding author’s address: Program Studi Psikologi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta; Jl. Ringroad Utara, Condong Catur, Sleman,
Yogyakarta; Email: septriyanorpina@yahoo.co.id
dalam jangka pendek (shortterm contracts) dan kerja paruh waktu (parttime jobs) (Van der
Meer & Wielers, 2001). Mahasiswa yang bekerja adalah individu yang menuntut ilmu
pada jenjang perguruan tinggi dan berstatus aktif yang juga menjalankan usaha atau
sedang berusaha mengerjakan suatu tugas yang diakhiri buah karya yang dapat
dinikmati oleh orang yang bersangkutan (Dudija (2012).
Data dari National Center for Education Statistics (NCES) menyebutkan bahwa pada
tahun 2007 sebanyak 40% mahasiswa bekerja lebih dari 20 jam per minggu (Planty et al.,
dalam Dadgar, 2012). Mahasiswa yang bekerja harus dapat membagi waktu dan tanggung
jawab terhadap komitmen dari kedua aktivitas tersebut. Hal inilah yang membuat
mahasiswa menghabiskan sebagian waktu, energi serta tenaga, ataupun pikirannya
untuk bekerja(Mardelina & Muhson, 2017). Kondisi tersebut membuat mahasiswa
kesulitan dalam mengatur atau membagi waktu antara bekerja dan kuliah, sehingga
aktivitas mahasiswa bertambah dan cenderung mengabaikan tugasnya sebagai seorang
mahasiswa untuk belajar serta mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen.Maka
mahasiswa tersebut harus dapat membagi waktu dan konsentrasi serta bertanggung
jawab terhadap komitmen dari kedua aktivitas tersebut. Hal ini membuat mahasiswa
menghabiskan banyak waktu, energi serta tenaga untuk bekerja (Mardelina & Muhson,
2017).
Aktivitas kuliah sambil bekerja menuntut mahasiswa untuk dapat menyeimbangkan
antara aktivitas dalam bekerja dan kuliah yang dijalankan secara bersamaan. Apabila
mahasiswa tidak dapat mengatur aktivitas akademik dan kerja dengan baik, maka akan
ada salah satu aktivitas yang dikorbankan (Octavia & Nugraha, 2013). Menurut Rice dan
Dolgin (dalam Octavia & Nugraha, 2013), ada dua pandangan mengenai kuliah sambil
bekerja. Pandangan pertama, kuliah sambil bekerja akan menjadi hal yang buruk apabila
memberikan jarak antara mahasiswa dengan kegiatan penting lainnya, seperti aktivitas
perkuliahan dan waktu dengan keluarga. Pandangan kedua, kuliah sambil bekerja adalah
hal yang baik apabila dijalankan dalam dosis yang kecil, karena terlalu banyak bekerja
akan sangat beresiko bagi peran individu tersebut sebagai mahasiswa. Misalnya dalam
sebuah permasalahan yang disampaikan oleh Kaho (2015) bahwa mahasiswa yang
bekerja ternyata memiliki risiko lebih besar untuk memiliki masalah mental dalam
dirinya. Adapun permasalahan lain yang dapat memberikan dampak buruk apabila
mahasiswaterlalu sibuk bekerja, dimana kuliah sambil bekerja dapat menjadi salah satu
faktor penghambat lulus kuliah (Priyatna, 2012).
Berdasarkan permasalahan di atas dapat diketahui bahwa kuliah sambil bekerja
dapat memberikan permasalahan bagi yang menjalaninya. Arlinkasari dan Akmal (2017)
mengatakan bahwa apabila mahasiswa tidak mampu menangani permasalahan di
perkuliahan dan pekerjaan secara efisien maka akan membuat mahasiswa rentan
terhadap berbagai permasalahan yang dapat memberikan dampak buruk. Salah satu
permasalahannya yaitu burnout.Burnout dalam bidang akademik disebut academic burnout
(Schaufeli, Martínez, Pinto, Salanova, & Barker, 2002).
Academic burnout mengacu pada stres, beban atau faktor psikologis lainnya karena
proses pembelajaran yang diikuti mahasiswa sehingga menunjukkan keadaan kelelahan
emosional, kecenderungan untuk depersonalisasi, dan perasaan prestasi pribadi yang
rendah (Yang, 2004). Hal ini sejalan dengan Rad, Shomoossi, Rakhshani, dan Sabzevari
(2017) yang mendefinisikan academic burnout sebagai kurangnya minat seseorang dalam
memenuhi tugas, rendahnya motivasi, dan kelelahan karena persyaratan pendidikan,
120
Septriyan Orpina, Sowanya Ardi Prahara
sehingga munculnya perasaan yang tidak diinginkan dan perasaan tidak efisien. Dimensi
dari academic burnout ada tiga, yaitu kelelahan emosional, disebabkan oleh tuntutan
emosional dan psikologis yang berlebih dan biasanya berdampingan dengan perasaan
frustasi dan ketegangan (Yang, 2004). Keengganan untuk studi atau sinisme, mengacu
kepada ketidakpekaan atau sikap sinis terhadap pekerjaan yang sedang dihadapi. Sinisme
juga dapat didefinisikan sebagai sikap apatis atau ketidakpedulian mahasiswa terhadap
pekerjaan kuliah, tugas, dan tanggung jawab.Dan mengurangnya keinginan untuk
berprestasi, berkurangnya keinginan untuk berprestasi terjadi ketika seseorang
menampilkan kecenderungan untuk mengevaluasi diri sendiri negatif, sebuah penurunan
perasaan kompetensi kerja, dan peningkatan perasaan inefficacy.
Tingkat academic burnout pada mahasiswa pun beragam. Berdasarkan data yang
dipaparkan oleh Rad et al. (2017) bahwa di China terdapat 86,6% mahasiswa mengalami
stres akademik parah hingga menyebabkan academic burnout, sementara di Iran,
mahasiswa kedokteran yang mengalami academic burnout sebanyak 76,8% dan stres berat
sebanyak 71,7% yang disebabkan karena kekhawatiran tentang masa depan, khawatir
melukai pasien, ketidakmampuan dalam melakukan teknis medis dan harapan yang
tinggi dari keluarga. Di Eropa, sebanyak 1.702 mahasiswa keperawatan mengalami
academic burnout, dimana mahasiswa merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas
mahasiswa dan memiliki kecenderungan untuk berhenti bekerja. Mahasiswa Ilmu
Manajerial di Serbia yang mengalami academic burnout sebanyak 54,4%. Pada tahun 2009
data academic burnout yang terkait dengan studi di kalangan mahasiswa Finlandia yang
dikumpulkan melalui survei Nasional dari 9 universitas di Finlandia, ditemukan bahwa
45% dari semua responden memiliki risiko mengalami peningkatan academic burnout,
sementara sebanyak 19% responden lainnya memiliki risiko yang jelas untuk mengalami
peningkatan academic burnout.
Hal ini diperkuat dengan wawancara yang dilakukan peneliti pada 26-27 Maret 2018
kepada 10 mahasiswa yang bekerja. Hasil wawancara menunjukkan bahwa mahasiswa
memiliki perasaan lelah secara fisik maupun mental terhadap rutinitasnya yang padat
seperti harus berangkat kuliah setelah seharian bekerja, mahasiswa merasa tidak dapat
mengontrol perasaan emosionalnya, sehingga merasa kurang peduli terhadap orang lain
dan dapat meluapkan emosinya kepada orang lain, mahasiswa mengatakan ingin
meninggalkan aktivitas kuliah yang dijalaninya karena mahasiswa merasa berat dengan
aktivitasnya yang berlebih sehingga ingin memilih salah satu dari rutinitasnya,
mahasiswa tersebut juga mengatakan bahwa terkadang perkuliahan menambah beban
pekerjaannya, kemudian mahasiswa menyatakan bahwa mahasiswa merasa terbebani
oleh tugas-tugas yang diberikan oleh dosen dan terkadang merasa tidak mampu
menyelesaikan tugas-tugasnya sehingga tidak mengumpulkan tugas yang diberikan oleh
dosen.
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa sebanyak enam dari
10 orang mahasiswa memiliki masalah academic burnout. Hal tersebut ditunjukkan dengan
perilaku dari dimensi kelelahan emosional, yaitu keenam mahasiswa tersebut memiliki
perasaan lelah secara fisik maupun mental terhadap rutinitasnya yang padat seperti harus
berangkat kuliah setelah seharian bekerja, bahkan keenam mahasiswa tersebut merasa
tidak dapat mengontrol perasaan emosionalnya sehingga merasa kurang peduli terhadap
orang lain dan dapat meluapkan emosinya kepada orang lain. Pada dimensi keengganan
untuk studi atau sinisme, keenam mahasiswa tersebut mengatakan ingin meninggalkan
121
INDONESIAN JOURNAL OF EDUCATIONAL COUNSELING 2019, 3(2), 119-130
aktivitas kuliah yang dijalaninya karena mahasiswa merasa berat dengan aktivitasnya
yang berlebih sehingga ingin memilih salah satu dari rutinitasnya, dan keenam
mahasiswa tersebut juga mengatakan bahwa terkadang perkuliahan menambah beban
pekerjaannya. Kemudian pada dimensi mengurangnya keinginan untuk berprestasi,
keenam mahasiswa tersebut menyatakan bahwa mahasiswa merasa terbebani oleh tugas-
tugas yang diberikan oleh dosen dan terkadang merasa tidak mampu menyelesaikan
tugas-tugasnya sehingga tidak mengumpulkan tugas yang diberikan oleh dosen.
Terlepas dari prioritas mahasiswa yaitu kuliah atau kerja, mahasiswa yang bekerja
tetap harus mempertahankan prestasi akademis, menyelesaikan pendidikannya, dan
memperoleh manfaat dari pendidikan yang dijalaninya (Orszag, Orszag, & Whitmore,
2001). Maka mahasiswa tersebut harus dapat membagi waktu dan konsentrasi serta
bertanggung jawab terhadap komitmen dari kedua aktivitas tersebut.
Cordes dan Dougherty (dalam Law, 2007) menyatakan bahwa burnout pada individu
berhubungan dengan kemunduran hubungan interpersonal, dan pengembangan
perilaku negatif yang dapat merusak individu yang bersangkutan. Mahasiswa yang
mengalami academic burnout akan melewatkan kelas (ketidakhadiran), tidak mengerjakan
tugas dengan baik, dan mendapat hasil ujian yang buruk hingga akhirnya berpotensi
untuk dikeluarkan dari perguruan tinggi (Arlinkasari & Akmal, 2017).
Pada beberapa penelitian, academic burnout memiliki berbagai dampak. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Rad et al. (2017) menunjukkan adanya hubungan negatif
yang signifikan antara academic burnoutdengan psychological capital pada mahasiswa
jurusan kesehatan di Iran. Semakin tinggi academic burnout maka semakin rendah
psychological capital, dan sebaliknya. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ugwu,
Onyishi, dan Tyoyima (2013) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
academic burnout dengan academic engagement pada mahasiswa di Universitas Nigeria.
Semakin tinggi academic burnout maka semakin buruk mahasiswa menangani berbagai
masalah akademiknya, dan sebaliknya. Berdasarkan kedua penelitian di atas, dapat
diketahui bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat academic burnouttinggi, rentan
memiliki psychological capital dan academic engagement yang rendah.
Burnout terdiri dari dua faktor (Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001), yaitu: 1) Faktor
situasional, pada faktor ini terdapat karakteristik pekerjaan (keanekaragaman
keterampilan, identitas tugas, arti tugas, otonomi dan umpan balik), karakteristik jabatan,
dan karakteristik organisasi; dan 2) Faktor individual, faktor ini meliputi karakteristik
demografik (jenis kelamin, latar belakang etnis, usia, status perkawinan, latar belakang
pendidikan), karakeristik kepribadian (konsep diri rendah, kebutuhan diri yang terlalu
besar, kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi, locus of control eksternal,
introvert, keyakinan akan kemampuan diri) dan sikap kerja.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, terdapat faktor individual yang dapat
mempengaruhi burnout. Salah satu faktor individual yang dapat menyebabkan burnout
adalah keyakinan dalam kemampuan diri. Keyakinan dalam kemampuan diri oleh
Bandura disebut sebagai self-efficacy atau efikasi diri (Rustika, 2016). Self-efficacy pada
dasarnya bersifat spesifik, dalam penelitian ini self-efficacy yang dimaksud adalah academic
self-efficacy. Peneliti memilih faktor academic self-efficacy untuk dijadikan sebagai variabel
bebas dalam penelitian ini karena mahasiswa dengan self-efficacy yang tinggi memiliki
fleksibilitas dalam mencari solusi terkait masalah perkuliahan yang mahasiswa hadapi,
122
Septriyan Orpina, Sowanya Ardi Prahara
menetapkan aspirasi yang lebih tinggi pada pencapaian akademiknya, dan memiliki
performa yang lebih baik dibanding mahasiswa dengan self-efficacy rendah (Chemers, Hu,
& Garcia, 2001).
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti tanggal 27 Maret 2018 kepada 10
mahasiswa yang bekerja menunjukkan bahwa mereka memiliki kecenderungan
keyakinan yang kurang memadai dalam menyelesaikan tugas-tugas di perkuliahan
ataupun pekerjaannya, mahasiswa yang bekerja juga mengaku bahwa mahasiswa kurang
memiliki performa yang baik saat mengikuti perkuliahan karena sudah lelah bekerja
seharian, dan para mahasiswa mengaku bahwa apabila ada permasalahan akademik
mahasiswa merasa tidak yakin dapat menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan
permasalahannya. Berdasarkan hasil wawancara terdapat enam dari 10 orang mahasiswa
yang bekerja memiliki academic self-efficacy yang kurang memadai. Hal tersebut
ditunjukkan dengan dimensi interaction at school, mahasiswa mengaku kadang-kadang
tidak berani berpartisipasi dalam diskusi di kelas, merasa kehilangan kepercayaan diri,
dan merasa dirinya tidak mampu untuk dapat bergaul di lingkungan kampus dengan
baik.Pada dimensi academic performance out of class, mahasiswa mengaku merasa sulit
untuk menyelesaikan tugas tepat waktu, merasa kesulitan dalam mengatasi
permasalahan yang ada di luar perkuliahan, dan mahasiswa tidak mampu
mengembangkan potensi dirinya dengan baik.Pada dimensi academic performance in class,
mahasiswa mengaku mengalami kesulitan dalam mengatur kedua aktivitasnya yaitu
kuliah dan bekerja, merasa mudah menyerah, dan beberapa dari mahasiswa mengaku
sering menghindari permasalahan karena merasa mampu untuk menyelesaikannya.
Kemudian pada dimensi managing work, family, and school, mahasiswa mengaku kesulitan
dalam membagi waktu kerja, kuliah, dan keluarga karena disibukkan dengan beberapa
aktivitasnya dan mahasiswa kadang-kadang merasa tidak memiliki performa yang penuh
saat beraktivitas.
Academic self-efficacy mengacu pada keyakinan mahasiswa terhadap kemampuan
mahasiswa dalam melaksanakan tugas–tugas akademik seperti mempersiapkan diri
untuk ujian dan menyusun makalah (Zajacova, Lynch, & Espenshade, 2005). Terdapat
empat dimensi dari academic self-efficacy (Zajacova et al., 2005), yaitu: 1) Interaction at school.
Dimensi ini merupakan keyakinan tentang kemampuan diri untuk berinteraksi dengan
orang-orang yang terlibat di perguruan tinggi; 2) Academic performance out of class.
Keyakinan mahasiswa dalam menampilkan kemampuan dirinya selama di luar
perkuliahan; 3) Academic performance in class. Keyakinan mahasiswa dalam menampilkan
kemampuan dirinya ketika mengikuti perkuliahan; dan 4) Managing work, family, and
school. Keyakinan mahasiswa dalam mengatur pekerjaan, keluarga, dan perkuliahan
secara efektif.
Academic burnout mengacu pada stres, beban atau faktor psikologis lainnya, karena
proses pembelajaran yang diikuti mahasiswa, sehingga menunjukkan keadaan kelelahan
emosional, kecenderungan untuk depersonalisasi, dan perasaan prestasi pribadi yang
rendah (Yang, 2004). Academic burnout berkorelasi dengan sejumlah variabel psikologis,
salah satunya adalah academic self-efficacy. Rahmati (dalam Arlinkasari & Akmal, 2017)
menyebut bahwa mahasiswa yang tidak memiliki academic self-efficacy yang memadai
menjadi rentan terhadap academic burnout dan kurang memiliki kemampuan untuk
beradaptasi. Ugwu et al. (2013) menyarankan agar mahasiswa memiliki self-efficacy yang
memadai, sehingga terlindung dari potensi academic burnout.
123
INDONESIAN JOURNAL OF EDUCATIONAL COUNSELING 2019, 3(2), 119-130
Mahasiswa dengan academic self-efficacy yang baik dapat menghasilkan dan mampu
menguji berbagai alternatif tindakan ketika mahasiswa tidak mencapai keberhasilan pada
awalnya. Mahasiswa dengan tingkat academic self-efficacy yang tinggi ketika menghadapi
masalah akademik tidak akan mudah menyerah dan mencoba untuk menemukan solusi
yang tepat untuk memecahkan masalah mahasiswa (Charkhabi et al. dalam Arlinkasari
& Akmal, 2017). Sebaliknya mahasiswa dengan academic self-efficacy yang rendah
cenderung menilai masalah lebih sulit daripada yang sebenarnya, lebih rentan terhadap
stres, depresi dan memiliki kemampuan pemecahan masalah yang kurang baik. Hal
tersebut menunjukkan bahwa academic self-efficacy ikut berperan dalam menurunkan
academic burnout pada mahasiswa (Rahmati dalam Arlinkasari & Akmal, 2017).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengajukan sebuah rumusan permasalahan apakah
ada hubungan antara academic self-efficacy dengan academic burnout pada mahasiswa yang
bekerja?
METODE
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang kuliah sambil bekerja.
Pengambilan subjek dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Jumlah
subjek dalam penelitian ini sebanyak 60 subjek. Metode penyusunan skala dalam
penelitian ini mengacu pada model likert.
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Academic burnout dan Skala
Academic Self-efficacy, dengan aitem-aitem skala yang hanya dibagi dalam satu kelompok
saja, yaitu kelompok favourable. Bentuk skala yang digunakan adalah model skala likert
dengan 4 alternatif jawaban yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan
Sangat Tidak Sesuai (STS).
Skala Academic burnout terdiri dari 15 aitem dengan koefisien aitem-total (Rix) daya
beda aitem bergerak dari rentang 0,250-0,630, sedangkan Skala Academic Self-efficacy terdiri
dari 20 aitem dengan koefisien aitem-total (Rix) daya beda aitem bergerak dari rentang
0,355-0,749. Berdasarkan hasil perhitungan dari Skala Academic burnoutdiperoleh koefisien
reliabilitas alpha (α) sebesar 0,828 dan Skala Academic Self-efficacy diperoleh koefisien
reliabilitas alpha (α) sebesar 0.911. Metode analisis data menggunakan teknik korelasi
product moment. Keseluruhan data dianalisis menggunakan program analisis data.
Yang (2004) menjelaskan mengenai dimensi yang terdapat dalam academic burnout
yaitu kelelahan emosional, keengganan untuk studi atau sinisme, dan kurangnya
keinginan untuk berprestasi. Academic burnout pada mahasiswa yang bekerja tidak
terbentuk dengan sendirinya, namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi academic
burnout. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi academic burnout adalah self-efficacy.
Konsep self-efficacy juga berlaku dalam konteks akademis, sehingga dapat disebut juga
sebagai academic self-efficacy. Menurut Zajacova et al. (2005) academic self-efficacy mengacu
pada keyakinan mahasiswa terhadap kemampuannya dalam melaksanakan tugas–tugas
akademik seperti mempersiapkan diri untuk ujian dan menyusun makalah. Rahmati
(dalam Arlinkasari & Akmal, 2017) mengatakan bahwa mahasiswa yang tidak memiliki
academic self-efficacy yang memadai menjadi rentan terhadap academic burnout dan kurang
124
Septriyan Orpina, Sowanya Ardi Prahara
125
INDONESIAN JOURNAL OF EDUCATIONAL COUNSELING 2019, 3(2), 119-130
Mahasiswa dengan tingkat academic self-efficacy yang tinggi ketika menghadapi masalah
akademik tidak akan mudah menyerah dan mencoba untuk menemukan solusi yang
tepat untuk memecahkan masalah mahasiswa (Charkhabi dkk., dalam Arlinkasari &
Akmal, 2017). Menurut Zajacova et al., (2005) ada empat dimensi dari academic self-efficacy,
yaitu: (a) Interaction at school, (b) Academic performance out of class, (c) Academic performance
in class, (d) Managing work, family, and school.
Dimensi interaction at school adalah dimensi yang membahas mengenai keyakinan
individu tentang kemampuan diri untuk berinteraksi dengan orang-orang yang terlibat
di perguruan tinggi (Zajacova et al., 2005). Individu dengan kemampuan interaction at
school yang baik akan mampu untuk berinteraksi dengan orang-orang di perguruan
tinggi, seperti berbicara dengan professor atau dosen saat berada di lingkungan kampus,
dapat mencari pertolongan dan mencari informasi di kampus, mampu dan tidak malu
untuk berbicara dengan staf kampus, berpartisipasi dalam diskusi kelas secara aktif, dan
memahami peraturan di kampus dengan baik (Zajacova et al., 2005). Hal ini diperkuat
dengan penuturan subjek di lapangan yaitusaat mengikuti proses perkuliahan subjek
selalu berusaha untuk mengajukan pertanyaan kepada dosen dan mencoba untuk
berpartisipasi dengan baik dalam diskusi kelas sehingga subjek dapat mendapatkan
informasi yang dibutuhkan dengan baik. Subjek juga menuturkan bahwa subjek dapat
berinteraksi dengan staf kampus untuk mendapatkan informasi mengenai peraturan
kampus sehingga subjek dapat memahami peraturan yang ada di kampus dengan baik.
Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek mampu dan tidak menarik diri secara sosial
dengan lingkungannya sehingga subjek tidak merasa frustasi di kampus dan tidak
membuat kepedulian subjek pada orang lain berkurang walaupun subjek melakukan
aktivitas di berbagai tempat yaitu seperti di tempat kerja dan di universitas.
Pada dimensi academic performance out of class mengacu pada keyakinan mahasiswa
dalam menampilkan kemampuan dirinya selama di luar perkuliahan (Zajacova et al.,
2005). Individu dengan kemampuan academic performance out of class yang baik akan
menampilkan kemampuan dirinya dalam hal belajar secara mandiri, membaca dan fokus
pada bacaan yang diperlukan, menuliskan makalah, menyelesaikan tugas tepat waktu,
mempersiapkan ujian dengan baik, meningkatkan kemampuan dalam membaca dan
menulis, meneliti makalah, dan memahami buku yang dipelajari (Zajacova et al., 2005).
Sehingga mahasiswa yang memiliki academic performance out of class yang baik memiliki
keyakinan yang tinggi dan selalu berusaha mengembangkan potensi diri secara maksimal
serta menunjukan yang terbaik dari dirinya dibuktikan dengan sebuah pencapaian
prestasi. Hal ini sangat mempengaruhi kesuksesan dalam belajar dan bekerja, dalam
lingkungan keluarga, dan hubungan sosial dengan orang lain (Komara, 2016). Hal ini
diperkuat dengan penuturan subjek di lapangan yang mengatakan bahwa subjek mampu
untuk menyelesaikan tugas tepat waktu sesuai deadline dan subjek juga mampu
menyelesaikan tugas laporan dengan baik sesuai dengan perintah dosen.Subjek juga
menuturkan bahwa subjek selalu berusaha untuk mengatur diri seperti membuat jadwal
untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah agar dapat terselesaikan dengan baik dan
maksimal sehingga hal tersebut tidak membuat ketertarikan subjek terhadap perkuliahan
berkurang walaupun kuliah sambil bekerja menguras pikiran dan tenaganya.Dengan
mengatur diri, subjek tidak merasa mudah lelah sepulang dari mengikuti kelas
perkuliahan walaupun ketika bangun di pagi hari subjek terkadang merasa letih ketika
membayangkan tugas-tugas yang harus di hadapi pada hari tersebut di kelas.
126
Septriyan Orpina, Sowanya Ardi Prahara
SIMPULAN
127
INDONESIAN JOURNAL OF EDUCATIONAL COUNSELING 2019, 3(2), 119-130
yang meliputi karakteristik demografik dan karakteristik kepribadian yang terdiri dari
konsep diri, aktualisasi diri, kecerdasan emosi, locus of control, introvert, dan self-efficacy.
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi para mahasiswa dalam mengatasi
permasalahan akademik yang kerap dialami oleh mahasiswa yang bekerja, terutama yang
berkaitan dengan faktor-faktor psikologis yang dapat memicu kemungkinan mahasiswa
mengalami academic burnout. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi untuk
menyeimbangkan kemampuan mahasiswa yang bekerja dalam mengelola aktivitas dan
meningkatkan keyakinan diri yang kuat dalam menyelesaikan pendidikan, hal tersebut
dapat meningkatkan academic self-efficacy untuk menurunkan academic burnout pada
mahasiswa yang bekerja. Bagi institusi pendidikan dapat memberikan pelatihan untuk
mengembangkan academic self-efficacy pada mahasiswa yang bekerja guna melindungi
mahasiswa dari potensi mengalami academic burnout selama menjalani perkuliahan.
Sementara bagi dosen mata kuliah ataupun pembimbing akademik dapat meningkatkan
kemampuan interaction at school, academic performance out of class, academic performance in
class, dan managing work, family, and school pada mahasiswa, sehingga mahasiswa mampu
meningkatkan academic self-efficacy yang dimiliki dan terhindar dari potensi mengalami
academic burnout.
REFERENSI
Arlinkasari, F., & Akmal, S. Z. (2017). Hubungan antara school engagement, academic self-
efficacy dan academic burnout pada mahasiswa. Humanitas (Jurnal Psikologi), 1(2),
81-102. doi: 10.28932/humanitas.v1i2.418
Chemers, M. M., Hu, L. T., & Garcia, B. F. (2001). Academic self-efficacy and first year
college student performance and adjustment. Journal of Educational Psychology, 93(1),
55-64.
Dadgar, M. (2012). The academic consequences of employment for students enrolled in community
college. CCRC working paper no. 46. New York: Community College Research Center,
Columbia University.
Depdiknas. (2005). Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka.
Kaho, J, R. (2015). Hati-hati, mahasiswa yang bekerja bisa memiliki masalah mental. Retrieved
March 20, 2018, from https://www.brilio.net/life/hati-hati-mahasiswa-yang-bekerja-
bisa-memiliki-masalah-mental-150730a.html.
Komara, I. B. (2016). Hubungan antara kepercayaan diri dengan prestasi belajar dan
perencanaan karir siswa. Psikopedagogia Jurnal Bimbingan dan Konseling, 5(1), 33-42.
doi: 10.12928/psikopedagogia.v5i1.4474
128
Septriyan Orpina, Sowanya Ardi Prahara
Mardelina, E., & Muhson, A. (2017). Mahasiswa bekerja dan dampaknya pada aktivitas
belajar dan prestasi akademik. Jurnal Economia, 13(2), 201-209. doi:
10.21831/economia.v13i2.13239
Maslach, C., Schaufeli, W. B., & Leiter, M. P. (2001). Job burnout. Annual Review of
Psychology, 52, 397-422. doi: 10.1146/annurev.psych.52.1.397
Noble, T., McGrath, H., Wyatt, T., Carbines, R., Robb, L., & International, E. (2008).
Employment and workplace relations scoping study into approaches to student wellbeing.
Final report. Seven, (November), 177. Brisbanne: Australian Catholic University
(ACU).
Octavia, E., & Nugraha, S. P. (2013). Hubungan antara adversity quotient dan work-study
conflict pada mahasiswa yang bekerja. Psikologi Integratif, 1(1), 44-51.
Orszag, J. M., Orszag, P. R., & Whitmore, D. M. (2001). Learning and earning: Working in
college. Journal of Student Employment, 10(1), 1-19.
Priyatna, A. (2012). Inilah faktor penghambat lulus kuliah. Kompasiana. Retrieved March
20, 2018, from https://www.kompasiana.com/adryandrea/inilah-faktor-
penghambat-lulus kuliah_550e3d24a33311bf2dba8016
Rad, M., Shomoossi, N., Rakhshani, M. H., & Sabzevari, M. T. (2017). Psychological capital
and academic burnout in students of clinical majors in Iran. Acta Facultatis Medicae
Naissensis, 34(4), 311-319. doi: 10.1515/afmnai-2017-0035
Rustika, I. M. (2016). Efikasi Diri: Tinjauan Teori Albert Bandura. Buletin Psikologi, 20 (1-
2), 18-25. https://doi.org/10.22146/bpsi.11945
Schaufeli, W. B., Martínez, I. M., Pinto, A. M., Salanova, M., & Barker, A. B. (2002). Burnout
and engagement in university students a cross-national study. Journal of Cross-
Cultural Psychology, 33(5), 464-481. doi: 10.1177/0022022102033005003
Ugwu, F. O., Onyishi, I. E., & Tyoyima, W. A. (2013). Exploring the relationships between
academic burnout, selfefficacy and academic engagement among Nigerian college
students. The African Symposium, 13(2), 37-45.
Van der Meer, P., & Wielers, R. (2001). The increased labour market participation of Dutch
students. Work, Employment and Society, 15(1), 55-71.
Wenno, M. W. (2018). Hubungan antara worklife balance dan kepuasan kerja pada
karyawan di PT PLN Persero Area Ambon. Jurnal Maneksi,7(1), 47-54.
129
INDONESIAN JOURNAL OF EDUCATIONAL COUNSELING 2019, 3(2), 119-130
Zajacova, A., Lynch, S. M., & Espenshade, T. J. (2005). Self-efficacy, stress, and academic
success in college. Research in higher education, 46(6), 677-706. doi: 10.1007/s11162-004-
4139-z
130