Pengetahuan Dan Persepsi Petani Terhadap Pengomposan Limbah Jerami Padi
Pengetahuan Dan Persepsi Petani Terhadap Pengomposan Limbah Jerami Padi
Pengetahuan Dan Persepsi Petani Terhadap Pengomposan Limbah Jerami Padi
81-94
I Nengah Muliarta
Program Studi Agroekoteknolgi, Universitas Warmadewa, Denpasar-Bali
Email: nengahmuliarta@gmail.com
ABSTRACT
The utilization of rice straw as compost is very related to farmers' knowledge on
how to compost agricultural waste. Knowledge of rice straw composting owned by
farmers is closely related to socialization and training obtained from field extension
officers (FEO). The role of FEO in the field becomes very strategic in an effort to increase
farmers' knowledge about agricultural waste treatment and its utilization so as to
provide economic impact. The purpose of the research is to understand the knowledge and
perception of farmers about composting rice straw. By using survey and interview
methods, this research also seeks to uncover farmers' knowledge related to rice straw
compost. The research was conducted in 3 sub-districts in Klungkung (Klungkung,
Dawan, and Banjarangkan) during May-June 2017. The results showed that farmers do
not know how to compost rice straw because only 2.25% of farmers have ever attended
rice straw composting training. Dominant farmers (74.16%) view if rice straw cannot
be composted. The results of interviews with FEO in the Klungkung district obtained the
fact that FEO never socialized rice straw composting.
Keywords: Knowledge, Perception, Farmer, Composting, Rice Straw.
ABSTRAK
Pemanfaatan jerami padi sebagai kompos sangat berkaitan dengan pengetahuan
petani terhadap cara pengomposan limbah pertanian tersebut. Pengetahuan
pengomposan jerami padi yang dimiliki petani erat kaitannya dengan sosialisasi dan
pelatihan yang didapatkan dari petugas penyuluh lapangan (PPL). Peran PPL di
lapangan menjadi sangat strategis dalam upaya meningkatkan pengetahuan petani
PENDAHULUAN
Praktek pembakaran jerami secara terbuka telah terbukti menjadi sumber
emisi karbon yang signifikan selama musim panen. Pembakaran jerami secara
terbuka secara signifikan juga telah mempengaruhi kualitas udara (Chang et al.,
2013). Pembakaran jerami padi tidak saja menyebabkan polusi udara, tetapi juga
berdampak pada kesehatan masyarakat dan perubahan iklim (Tipayarom &
Oanh, 2007).
Jerami padi termasuk bahan baku lokal yang dapat dimanfaatkan dan
diolah menjadi pupuk organik. Ketersediaannya saat panen sangat berlimpah,
namun selama ini belum dimanfaatkan secara optimal (Zhao et al., 2015). Secara
global diperkirakan jumlahnya mencapai 650-975 juta ton per-tahun. Dalam
setiap 1 kg gabah dihasilkan 1-1,5 kg jerami padi (Binod et al., 2010).
Jerami padi merupakan limbah pertanian yang mengandung unsur hara
yang berguna untuk menjaga kestabilan unsur hara tanah dan untuk memenuhi
kebutuhan hara tanaman (Pavithira et al., 2017). Jerami padi mengandung sekitar
40% unsur N, 30 sampai 35% dari P, 80-85% unsur K, dan 40-45% unsur S yang
diambil tanaman padi dari tanah (Dobermann & Fairhurst, 2002).
Pemanfaatannya menjadi kompos tidak hanya menyediakan nutrisi penting
bagi tanaman, tetapi menjadi upaya menjaga kelestarian lingkungan melalui
pengelolaan limbah (Golabi et al., 2004). Kenyataanya di lapangan tidak banyak
petani yang memanfaatkan atau mengolah jerami menjadi kompos. Apabila
tidak terdapat upaya untuk melakukan daur ulang limbah pertanian akan
berdampak pada terjadinya degradasi lahan pertanian (Afriani et al., 2013).
Kompos merupakan sumber bahan organik yang dihasilkan dari
pemanfaatan limbah melalui proses biokonversi secara terkendali (Rashad et al.,
2011). Kompos berguna dalam memperbaiki kesuburan tanah, karena
berdampak pada perubahan sifat fisik, biologi dan kimia tanah. Kompos jerami
padi dan pemanfaatanmya pada tanah pertanian berfungsi untuk menjaga
kandungan bahan organik tanah dan sifat mikrobiologi tanah (Goyal et al., 2009).
Pengelolaan jerami padi dapat memberi nilai ekonomi bagi petani dan
masyarakat lokal, serta dapat merangsang pertumbuhan ekonomi pedesaan
yang lebih luas dengan memberi nilai tambah melalui pengembangan industri
dan nilai tambah bagi lingkungan pertanian (Rosmiza et al., 2014b). Dalam
sebuah penelitian di Malaysia disebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi pemanfaatan jerami padi oleh petani. Faktor-faktor tersebut
yaitu tidak adanya insentif bagi petani, teknologi yang tidak efisien, kurangnya
fasilitas logistik (penyimpanan dan pengangkutan), rendahnya tingkat
keterampilan dan pengetahuan petani, dan kurangnya modal untuk mengelola
jerami (Rosmiza et al., 2014a).
Permasalahanya kemudian, apakah petani memiliki pengetahuan yang
memadai untuk melakukan pengomposan jerami padi?. Kemudian, apakah
petani mengetahui pentingnya memanfaatkan kompos jerami padi bagi
ketersediaan hara tanah dan pertumbuhan tanaman? Pengetahuan petani terkait
pengomposan jerami padi juga berhubungan dengan peran petugas penyuluh
pertanian (PPL), sehingga menjadi penting juga mengetahui apakah PPL
melakukan sosialisasi pengomposan jerami padi.
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti tingkat pengetahuan petani
dalam pengomposan jerami padi. Tujuan lainnya yaitu meneliti pengetahuan
dan persepsi petani terhadap pentingnya pengomposan jerami padi. Penelitian
juga bertujuan meneliti hubungan pengetahuan petani dan peran PPL dalam
melakukan sosialisasi dan pelatihan pengomposan limbah jerami padi pada
petani.
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan
Survei dilakukan di 3 kecamatan (Banjarangkan, Klungkung, dan
Dawan) di Klungkung selama Mei-Juni 2017. Wilayah Klungkung menjadi
pilihan karena Klungkung merupakan salah satu wilayah yang masuk dalam
program nasional pengembangan tanaman padi, jagung dan kedelai (Pajale).
Dua kelompok Subak dipilih secara acak pada masing-masing kecamatan dan
jumlah responden adalah 10 persen dari masing-masing anggota kelompok
Subak (Arikunto, 2010). Kelompok Subak yang menjadi sampel penelitian
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Kelompok Subak yang menjadi sampel penelitian
Jumlah Petani Jumlah
Kecamatan Kelompok Subak
(orang) Responden (10%)
Klungkung Subak Gembalan 170 17
Subak Jero Kuta 110 11
Banjarangkan Subak Tegehan 157 16
Subak Lepang 154 15
Dawan Subak Pesinggahan 186 19
Subak Sampalan Dlod Margi 110 11
Total 887 89
Sumber : Data jumlah petani diambil dari masing-masing kelompok Subak
Karakteristik petani
Jenis kelamin petani di Kabupaten Klungkung di dominasi oleh laki-laki,
dimana dari 89 responden sebanyak 98,9 persen adalah petani laki-laki dan
hanya 1,1% (1 orang) petani perempuan. Dominasi petani laki-laki juga terjadi
di Filipina yang mencapai 92% dan di Vietnam mencapai 85%. Dominasi ini
menunjukkan bahwa petani laki-laki bertanggungjawab dalam budidaya padi
sawah di Filipina dan Vietnam (Truc et al., 2012). Rendahnya jumlah perempuan
yang terlibat langsung dalam pertanian juga terjadi di Borno-Nigeria yang hanya
mencapai 1,88% dan salah satunya disebabkan oleh faktor budaya (Mustafa-
Msukwa et al., 2011).
Terdapat sekitar 30,34% (27 petani) yang membakar jerami padi yang
dihasilkan dengan alasan untuk mempercepat pengolahan lahan dan
membahasmi hama. Terdapat pula petani yang membakar jerami karena
berdasarkan pengetahuan yang didapatkan bahwa abu pembakaran jerami padi
dapat bermanfaat bagi kesuburan tanah. Pembakaran jerami padi merupakan
salah satu awal penerapan pertanian organik yang berasal dari pengalaman
petani (Dobermann & Fairhurst, 2002).
Petani berasumsi bahwa abu dari pembakaran jerami padi dapat
meningkatkan produksi jagung dan kacang tanah. Pandangan ini sejalan dengan
pandangan Ahmed & Ahmad (2013) yang menyatakan banyak petani
berpemikiran bahwa residu pembakaran meningkatkan kesehatan tanah dan
hasil panen. Kemampuan teknis petani tampaknya tidak berdampak pada
keputusan untuk membakar residu padi. Hasil ini memiliki implikasi penting
bagi kebijakan mitigasi untuk mengurangi pembakaran residu (Gupta, 2010).
Petani di Kabupaten Klungkung tidak ada yang memanfaatkan limbah
jerami padi sebagai kompos. Mayoritas (97,75%) menyatakan tidak tahu cara
atau metode pengomposan jerami padi dan hanya 2,25% yang mengaku sedikit
tahu cara pengomposan jerami padi. Secara umum petani (96,63%) tidak tahu
bahwa dalam pengomposan memerlukan dekomposer dan 96,63% petani juga
tidak tahu bahwa dekomposer berfungsi untuk mempercepat pengomposan.
Hasil ini sejalan dengan pemikiran Supaporn et al. (2013), bahwa prosedur
pembuatan kompos jerami padi yang kompleks dan padat karya menyebabkan
petani kesulitan dalam pembuatan kompos jerami padi.
Sedang;
1,12%
Sedikit Perlu
; 2,25%
Gambar 1.
Persepsi petani terkait perlu-tidaknya pengomposan jerami padi
Gambar 2.
Tingkat pengetahuan petani mengenai manfaat kompos terhadap
kesuburan tanah dilihat dari tingkat pendidikan.
Pengetahuan petani tentang manfaat kompos jerami padi bagi kesuburan
tanah cenderung didapatkan dari cerita sesama petani atau selama menempuh
pendidikan formal dan bukan dari pengalaman sendiri. Survei mendapatkan
bahwa 68,54% petani tidak mengetahui kompos jerami padi mengandung unsur
hara yang dibutuhkan tanaman, hanya sekitar 17,98% petani yang mengetahui
dan 13,48% petani yang sedikit mengetahui bahwa kompos jerami padi
mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Akibat ketidaktahuan
terhadap kandungan unsur hara jerami padi jika dijadikan pupuk menyebabkan
petani di Sri Lanka membuang jerami padi (Amamsiri & Wichramasinghe,
1977). Tingkat pengetahuan petani mengenai kandungan unsur hara jerami
dilihat dari tingkat pendidikan petani disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3.
Tingkat pengetahuan petani mengenai kandungan unsur hara jerami dilihat
dari tingkat pendidikan petani
Gambar 4.
Tingkat pengetahuan petani mengenai dampak pembakaran jerami padi
terhadap peningkatan emisi karbon dilihat dari tingkat pendidikan petani
Menurut Sherawat & Sindhu (2012), terdapat perbedaan yang cukup besar
antara kesadaran dan upaya pemanfaatan limbah pertanian oleh petani.
Perbedaan ini terjadi karena kurangnya pelatihan, ceramah dan demonstrasi
teknik pengolahan limbah pertanian di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian
terungkap dari 89 responden tercatat 97,75% belum pernah mengikuti pelatihan
pengomposan jerami padi, hanya 2,25% (2 orang) yang mengaku pernah dan
hanya sekali mengikuti pelatihan pengomposan jerami padi. Sayangnya
pelatihan yang didapatkan tidak pernah dipraktekkan untuk melakukan
pengomposan jerami padi.
Menurut pengakuan para petani hambatan utama pengomposan jerami
padi adalah tidak mengetahui cara atau metode pengomposan jerami padi.
Pengetahuan tentang teknik pengomposan cepat menjadi salah satu faktor yang
Simpulan
Umumnya petani (97,75%) tidak mengetahui cara pengomposan jerami
padi, karena tidak pernah mendapatkan sosialisasi pengomposan jerami padi
dari petugas penyuluj lapangan (PPL). Jumlah petani yang mendapatkan
pelatihan sangat terbatas (2,25%) dan hanya mendapatkan pelatihan sebanyak
satu kali, serta enggan mengimplementasikan ilmu yang didapatkan.
Petani cenderung (74,16%) berpandangan jika jerami padi tidak dapat
dikomposkan. Hal ini menunjukkan bila jerami padi selama ini belum
dipandang sebagai bahan pupuk oleh sebagian besar petani, buktinya terdapat
84,27% petani yang menyatakan tidak mengetahui bahwa membakar jerami padi
berarti membuang bahan pupuk organik.
Rendahnya pengetahuan petani mengenai cara pengomposan jerami padi
dan manfaat jerami padi bagi kesuburan tanah erat kaitannya dengan rendahnya
sosialisasi pemanfaatan jerami padi dan teknik pengomposan jerami padi yang
efektif, efisien serta cepat. Petani membutuhkan teknologi pengomposan yang
mudah, cepat dan menghasilkan kualitas kompos yang baik.
Saran
Kedepan Dinas Pertanian melalui petugas penyuluh lapangan harus lebih
gencar untuk melakukan sosialisasi dan pelatihan pengomposan jerami padi.
Pemanfaatan jerami padi secara optimal melalui pengomposan selain akan
mengurangi penggunaan pupuk anorganik, juga memberi kontribusi bagi
DAFTAR PUSTAKA
Afriani, H., Dianita, R., & Idris, N. (2013). Optimalisasi Pemanfaatan Limbah
Pertanian Melalui Pembuatan Kompos dan Silase Pada Kelompok Peternak
Sapi dan Kelompok Wanita Petani Holtikultura. Jurnal Pengabdian Pada
Masyarakat, 55(1), 21.
Ahmed, T., & Ahmad, B. (2013). Why do farmers burn rice residue? : examining
farmers’ choices in Punjab, Pakistan. Punjab.
Amamsiri, S. ., & Wichramasinghe, K. (1977). Use of Rice Straw as a Fertilizer
Material. Tropical Agriculturist, 133, 39–49.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revi).
Jakarta: Rineka Cipta.
Binod, P., Sindhu, R., Singhania, R. R., Vikram, S., Devi, L., Nagalakshmi, S., …
Pandey, A. (2010). Bioethanol production from rice straw: An overview.
Bioresource Technology, 101(13), 4767–4774.
https://doi.org/10.1016/j.biortech.2009.10.079
Chang, C. H., Liu, C. C., & Tseng, P. Y. (2013). Emissions inventory for rice straw
open burning in Taiwan based on burned area classification and mapping
using Formosat-2 satellite imagery. Aerosol and Air Quality Research, 13(2),
474–487. https://doi.org/10.4209/aaqr.2012.06.0150
Coolong, T. (2012). Mulches for Weed Management in Vegetable Production. In
Vegetable Production. In: A. Price (ed.). Weed Control. (pp. 57–74). Retrieved
from www.intechopen.com
Dobermann, A., & Fairhurst, T. H. (2002). Rice Straw Management. In Better
Crops International (Vol. 16).
Golabi, M. ., Denney, M. ., & Iyekar, C. (2004). Use of Composted Organic Wastes
As Alternative to Synthetic Fertilizers for Enhancing Crop Productivity and
Agricultural Sustainability on The Tropical Island of Guam. Conserving Soil
and Water for Society: Sharing Solutions. ISCO 2004 - 13th International Soil
Conservation Organisation Conference, (234), 1–6. Brisbane.: International Soil
Conservation Organisation.
Goyal, S., Singh, D., Suneja, S., & Kapoor, K. . (2009). Effect Of Rice Straw
Compost On Soil Microbiological Properties And Yield Of Rice. Indian
Journal Of Agricultural Research, 43(4), 263–268.
Grover, D., Kaur, P., & Sharma, H. . (2015). Possible reasons and farmers
awareness towards crop residue burning: an overview and a case study
from Mirzapur village of Kurukshetra district, India. Environment & We an
International Journal of Science & Technology (EWIJST), 10(2015), 75–85.
Gupta, P. K., Sahai, S., Singh, N., Dixit, C. K., Singh, D. P., Sharma, C., … Garg,
S. C. (2004). Residue burning in rice-wheat cropping system: Causes and
Sjakir, M., Awang, A. H., Azima, A. M., Hussain, M. Y., & Zaimah, R. (2015).
Learning and Technology Adoption Impacts on Farmer’s Productivity.
Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(4).
https://doi.org/10.5901/mjss.2015.v6n4s3p126
Supaporn, P., Kobayashi, T., & Supawadee, C. (2013). Factors affecting farmers’
decisions on utilization of rice straw compost in Northeastern Thailand.
Journal of Agriculture and Rural Development in the Tropics and Subtropics,
114(1), 21–27.
Tipayarom, D., & Oanh, N. T. K. (2007). Effects from Open Rice Straw Burning
Emission on Air Quality in the Bangkok Metropolitan Region. ScienceAsia,
33(3), 339–345. https://doi.org/10.2306/scienceasia1513-1874.2007.33.339
Truc, N. T. ., Sumalde, Z. ., Espaldon, M. V. ., Pacardo, E. ., Rapera, C. ., & Palis,
F. . (2012). Farmers’ Awareness and Factors Affecting Adoption of Rapid
Composting in Mekong Delta, Vietnam and Central Luzon, Philippines.
Journal of Environmental Science and Management, 15(2), 59–73.
Verma, S. S. (2014). Technologies for Stubble Use. Journal of Agriculture and Life
Sciences, 1(2), 106–110. Retrieved from www.jalsnet.com
Zhao, H., Yu, H., Yuan, X., Piao, R., Li, H., Wang, X., & Cui, Z. (2015).
Degradation of Lignocelluloses in Rice Straw by BMC-9, a Composite
Microbial System. Journal of Microbiology and Biotechnology, 24(5), 585–591.
https://doi.org/10.4014/jmb.1509.09043