SAMBUTAN KEPALA PPPPTK MATEMATIKA
Assalamu`alaikum wr.wb.
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya,
sehingga jurnal EDUMAT edisi kedelapan (Volume 4, Nomor 8) Tahun 2013
dapat diselesaikan dengan baik.
Sebagai wahana publikasi karya tulis ilmiah di bidang pendidikan matematika,
Jurnal EDUMAT berusaha menampilkan karya tulis baik dari guru, pengawas,
dosen, widyaiswara maupun pendidik lainnya. Pada nomor jurnal kali ini
menampilkan berbagai topik diantaranya pengembangan bahan ajar berbasis
inquiry,
pengembangan
bahan
ajar
dengan
pendekatan
berbasis
konstruktivisme, PMRI, creative problem solving, serta pengembangan media
pembelajaran matematika dengan TIK.
Kami berharap keberadaan Jurnal EDUMAT ini dapat memberi manfaat yang
sebesar-besarnya kepada semua pendidik dan tenaga kependidikan (PTK),
khususnya kepada para PTK matematika, baik sebagai sumber belajar dalam
pengembangan diri maupun sebagai wahana pengembangan karir. Kami
berharap peran serta para PTK matematika dalam mengisi artikel untuk edisi
mendatang lebih banyak lagi.
Sebagai institusi publik, PPPPTK Matematika selalu berusaha memberikan
layanan prima kepada semua pihak, khususnya pendidik dan tenaga
kependidikan matematika, dalam rangka mengemban visi lembaga yaitu
“Terwujudnya PPPPTK Matematika sebagai institusi yang terpercaya dan pusat
unggulan dalam pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga
kependidikan matematika”.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah berusaha keras dalam mewujudkan
penerbitan jurnal ilmiah ini, kami mengucapkan terima kasih dan memberikan
apresiasi yang tinggi. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan taufik,
hidayah, dan innayah-Nya kepada kita semua. Amin.
Wassalaamu`alaikum wr.wb.
Kepala PPPPTK Matematika,
Prof. Dr. rer.nat. Widodo, M.S.
NIP196202031982031004
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR TURUNAN FUNGSI
MELALUI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
DI SEKOLAH MENENGAH ATAS
Nurhayati
Guru SMAN 15 Palembang
Abstract. This study aims to produce a valid and practical teaching material for
derivative function using constructivist approach and determine its potential effect on
learning outcomes. The research method consists of two stages: (1) preliminary, the
analysis and design phase includes developing a worksheet, (2) formative study,
includes self evaluation, expert reviews and field test. The subjects were 42 students
of class XI IPA.3 SMAN 15 Palembang. Data was collected through observation, walkthrough and documentation. Based on the assessment and advice from validator, the
content, construct and language of the worksheet was developed. The test results
show that the worksheet is easy to use and not causing misinterpretation. The field
test shows that students activity was increased, students enthusiastically express
their opinion. Students suggest that the worksheet shall include prerequisite
knowledge, alternative answers, key questions, enrichment material and multimedia.
Keywords: constructivist approach, derivative function, worksheet
1. Pendahuluan
Seiring dengan terjadinya perubahan
paradigma
dalam
pembelajaran,
desain pembelajaran juga mengalami
perubahan orientasi. Pembelajaran
yang dulu berpusat kepada guru
(teacher centered), sekarang telah
berubah ke pembelajaran yang berpusat
kepada
siswa
(student
centered). Aktivitas pembelajaran
yang pada masa sebelumnya diwarnai pendekatan behaviorisme,
kini mulai menggunakan pendekatan konstruktivisme.
Pendekatan behaviorisme lebih menekankan pada perilaku yang dapat
diamati dan dapat diukur sebagai
hasil aktivitas dan proses pembelajaran. Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan itu tidak
dapat ditransmisi langsung oleh
guru ke dalam pikiran siswa,
melainkan proses perubahan yang
memerlukan konstruksi aktif siswa.
Menurut Driver dan Bell (Suparno,
1997) untuk mengkonstruksi makna
baru, siswa harus mempunyai
pengalaman mengadakan kegiatan
mengamati, menebak, berbuat dan
mencoba bahkan mampu menjawab
pertanyaan ”mengapa”.
Rochmad (2011), berpendapat bahwa
pembelajaran matematika menggunakan
pendekatan
konstruktivisme, menekankan pada aktivitas
siswa mengkonstruksi pengetahuan
secara individu berdasar pengalaman siswa sendiri tetapi di
dalamnya juga memuat kegiatan
pembelajaran
yang
melibatkan
interaksi sosial untuk mendukung
proses
konstruksi
pengetahuan
matematika yang dilakukan secara
individu tersebut.
Pada konstruktivisme, siswa perlu
mengkonstruksi pemahaman mereka
sendiri untuk masing-masing konsep
matematika. Peran guru dalam
pembelajaran bukannya menguliahi,
menerangkan
atau upaya-upaya
sejenis untuk memindahkan pengetahuan matematika pada siswa,
tetapi menciptakan situasi yang
membantu mereka membuat konstruksi-konstruksi
mental
yang
diperlukan. Hal senada juga diungkapkan
oleh
beberapa peneliti
sebelumnya seperti Nizarwati (2009)
dan Arita Marini (2008). Dari laporan
511
hasil tesis dan jurnal, secara umum
menunjukkan bahwa pendekatan
pembelajaran konstruktivisme berpotensi untuk mengembangkan kemampuan matematika siswa, yang
lebih banyak melibatkan siswa aktif
dalam proses berpikir, serta dapat
mendorong pengembangan individu
siswa didalam kelas.
Turunan Fungsi adalah salah satu
materi matematika SMA yang diberikan di kelas XI. Turunan Fungsi
merupakan materi penting sebagai
prasyarat untuk belajar integral di
kelas XII. Berdasarkan pengalaman
penulis dan beberapa guru matematika yang lain, salah satu kesulitan mempelajari materi integral
karena siswa kurang mampu mengimplementasikan materi turunan
fungsi, walaupun semua siswa
sudah dinyatakan mencapai Kriteria
Ketuntasan Minimum (KKM).
Untuk itu siswa perlu difasilitasi
dengan suatu pembelajaran yang
melibatkan upaya membangun sendiri pengetahuannya, yang didasarkan pada pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya. Dengan membangun sendiri pengetahuannya,
maka siswa akan lebih ingat, lebih
paham dan pembelajaran akan lebih
bermakna.
Melimpahnya referensi yang dapat
diperoleh untuk materi matematika
SMA dari buku-buku, media massa
maupun internet tidaklah menjadi
alasan seorang guru untuk tidak
mengembangkan bahan ajar yang
dapat dijadikan pedoman bagi
siswanya. Karena bahan ajar yang
dikembangkan sendiri dapat disesuaikan
dengan
karakteristik
siswa sebagai sasaran, sehingga
pembelajaran lebih efektif dan
efisien.
Berdasarkan uraian diatas, maka
peneliti tertarik untuk mengembangkan bahan ajar turunan fungsi
melalui pendekatan konstruktivisme
di SMA.
512
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
mengembangkan
bahan ajar turunan fungsi di
Sekolah Menengah Atas (SMA)
melalui pendekatan konstruktivisme yang valid dan praktis?
2. Bagaimana efek potensial dari
bahan ajar yang dikembangkan
terhadap aktivitas siswa kelas XI
IPA di SMA Negeri 15 Palembang ?
Tujuan Penelitian
1.
Menghasilkan bahan ajar
turunan
fungsi
di
Sekolah
Menengah Atas (SMA) melalui
pendekatan
konstruktivisme
yang valid dan praktis.
2.
Mengetahui efek potensial
bahan ajar yang dikembangkan
terhadap aktivitas siswa kelas XI
IPA di SMA Negeri 15 Palembang.
Manfaat Penelitian
1. Siswa mempunyai pengalaman
baru sehingga termotivasi untuk
lebih aktif dan mampu mengembangkan kemampuannya dalam
proses pembelajaran.
2. Bagi guru matematika dapat
menggunakan bahan ajar yang
dihasilkan dalam penelitian ini
sebagai alternatif dalam memperkaya variasi pembelajaran dan
dalam upaya peningkatan kualitas
pembelajaran
matematika
di
sekolah.
3. Peneliti lain dapat mempergunakannya sebagai
pertimbangan
untuk mengkaji lebih mendalam
mengenai bahan ajar yang dikembangkan melalui pendekatan
konstruktivisme dalam pembelajaran matematika.
Hakikat Bahan Ajar
Bahan
bahan
secara
untuk
ajar adalah segala bentuk
atau materi yang disusun
sistematis yang digunakan
membantu guru/instruktur
dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar.
Bahan tersebut dapat berupa bahan
tertulis
maupun
bahan
tidak
tertulis. (Depdiknas, 2006).
Bahan ajar secara garis besar terdiri
dari pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang harus dipelajari siswa
dalam rangka mencapai standar
kompetensi yang telah ditentukan.
Secara terperinci, jenis-jenis materi
pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip,
prosedur), keterampilan, dan sikap
atau nilai.
Pendekatan Konstruktivisme
dalam Pembelajaran
Matematika
Konstruktivis berarti bersifat membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme merupakan
suatu aliran yang berupaya membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Konstruktivisme
berupaya
membina
suatu konsensus yang paling luas,
mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan manusia
(Jalaludin, dalam Riyanto:143 ).
Menurut pandangan konstruktivis
bahwa pengetahuan harus diperoleh
siswa melalui kegiatan atau aktivitas, baik fisik maupun psikis.
Melalui kegiatan atau aktivitas inilah
siswa membangun pengetahuannya
sendiri. Guru bertindak sebatas
penyedia sarana belajar atau fasilitator, pembangkit dan pendorong
minat belajar atau motivator, atau
perancang pembelajaran.
Pendekatan konstruktivisme dalam
pembelajaran matematika adalah
sebuah proses pembelajaran yang
menganggap pengetahuan matematika siswa adalah serangkaian
pengalaman siswa hasil bentukannya
sendiri
dengan
lingkungannya.
Menurut Hanafiah (2010), pendekatan
konstruktivisme
memiliki
karakteristik sebagai berikut: 1)
Proses pembelajaran berpusat pada
siswa, sehingga siswa mempunyai
peluang untuk aktif dalam proses
pembelajaran; 2) Proses pembelajaran merupakan proses integrasi
pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang dimiliki siswa; 3)
Berbagai pandangan yang berbeda di
antara siswa dihargai dan sebagai
tradisi dalam proses pembelajaran;
4) Siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan
mensintesiskan secara terintegrasi;
5) Pembelajaran berbasis masalah
dalam rangka mendorong siswa
dalam proses pencarian yang lebih
alami; 6) Proses pembelajaran mendorong terjadinya koperatif dan
kompetitif dikalangan siswa secara
aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan; 7) Proses pembelajaran
dilakukan secara konstektual, yaitu
siswa dihadapkan ke dalam pengalaman nyata.
Aktivitas Siswa
Aktivitas dapat didefinisikan sebagai
suatu situasi terjadinya sesuatu
atau banyak hal dapat dikerjakan.
Pembelajaran matematika yang aktif
di ruang kelas dapat dipahami
sebagai “melibatkan siswa melakukan sesuatu secara aktif berkaitan
dengan apa yang ingin dicapai dalam
pembelajaran itu”.
Jenis aktivitas banyak sekali macamnya, maka para ahli mengadakan klasifikasi atas macammacam aktivitas tersebut. Adapun
aktivitas siswa yang dapat diamati
pada saat menggunakan LKS ini
(dimodifikasi dari Diedrich, Hamalik:2008).
a. Aktivitas menulis.
Siswa menyelesaikan LKS.
Siswa membuat rangkuman.
b. Aktivitas oral.
Siswa menyatakan pendapat.
Siswa menjawab pertanyaan.
513
c.
Aktivitas mendengarkan.
Siswa mendengarkan penjelasan dari guru.
Siswa mendengarkan penjelasan sesama teman.
d. Aktivitas mental.
Siswa
bekerja
dalam
kelompok.
Siswa
berdiskusi
dengan
teman.
e. Aktivitas emosi.
Siswa menunjukkan sikap
gembira dalam belajar.
Siswa
antusiasme
dalam
melakukan aktivitas.
dengan subjek penelitian siswa
XI IPA.3 SMA Negeri 15 Palembang
yang berjumlah 42 siswa, terdiri dari
10 laki-laki dan 32 perempuan.
Rancangan Penelitian
Menurut Akker (1999), langkahlangkah penelitian dan pengembangan terdiri dari dua tahapan
yaitu preliminary study (persiapan
dan desain) dan formative study (Self
Evaluation, Expert Reviews, One to
One, Small Group dan field test),
diperlihatkan pada gambar 1.
Low
resistance
to revision
Bahan Ajar yang Konstruktivis
Bahan ajar yang didesain adalah
bahan ajar yang berbentuk lembar
kerja siswa (LKS). Setiap LKS terdiri
dari lima aktivitas yang mencerminkan karakteristik pendekatan
konstruktivisme. Aktivitas pertama
adalah tahap pengaktifan pengetahuan prasyarat, tempat menggali
pengetahuan yang telah dimiliki oleh
siswa untuk menyelesaikan suatu
masalah. Aktivitas kedua merupakan ajang pengumpulan ide, di
sini diberikan satu permasalahan
yang harus diselesaikan oleh siswa.
Dalam proses penyelesaian, siswa
diberi bimbingan berupa langkahlangkah pada LKS dan siswa
dituntut untuk melakukan diskusi
dalam kelompoknya. Aktivitas ketiga
adalah saat pemerolehan pengetahuan
baru
melalui
presentasi
kelompok-kelompok terpilih, pertanyaan ataupun tanggapan dari
kelompok-kelompok yang lainnya.
Aktivitas keempat adalah saatnya
untuk memantapkan ide-ide baru
melalui pemberian soal-soal. Aktivitas kelima adalah rangkuman dan
refleksi.
2.Metodologi Penelitian
Subjek dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada semester
genap tahun pelajaran 2011/2012,
514
P
r
e
l
i
m
i
n
a
r
y
S
e
l
f
High
resistance
to revision
Expert
Review
s
Revise
E
v
a
l
u
a
t
i
o
n
R
e
v
i
s
e
Small
Group
R
e
v
i
s
e
Field
Test
Oneto-one
Gambar 1 Alur Desain Formative
Research (Zulkardi, 2002)
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumen
Peneliti dalam hal ini akan mengumpulkan data mengenai siswa,
materi dan kurikulum sesuai KTSP
SMA Negeri 15 Palembang. Hasil
kerja siswa yang terdiri dari lembar
kerja dan komentar siswa bagi
peneliti merupakan bahan untuk
merevisi prototipe.
b.Walktrough.
Pada tahap ini, tanggapan dan saran
dari pakar (validator) tentang desain
yang telah dibuat, ditulis pada
lembar validasi sebagai bahan revisi
dan menyatakan bahwa bahan ajar
tersebut telah valid.
c.Observasi.
Hasil pengamatan terhadap hambatan dan masalah yang dihadapi
siswa dalam One to One, small group
maupun field test dapat dijadikan
bahan revisi terhadap prototipe.
Hasil pengamatan terhadap aktivitas
siswa pada field test dijadikan dasar
untuk melihat efek potensial terhadap
bahan
ajar
yang
dikembangkan.
4. Hasil dan Pembahasan
a.
Pengembangan bahan ajar yang
dilakukan pada penelitian ini adalah
pengembangan bahan ajar turunan
fungsi melalui pendekatan konstruktivisme, untuk melihat efek potensial
yang muncul pada pengembangan
bahan ajar ini terhadap aktivitas
belajar siswa.
Yang pertama dilakukan adalah
menganalisis siswa, kurikulum dan
materi ajar (SK/KD, indikator dan
tujuan pembelajaran).
Pada
penelitian
ini
peneliti
mengambil KD 6.3. Menggunakan
konsep dan aturan turunan dalam
perhitungan
turunan
fungsi.
Pengembangan Bahan Ajar
Tabel 1 Tujuan Pembelajaran
Pertemuan
Ke
1
2
3
Tujuan Pembelajaran
Siswa dapat:
Menyatakan definisi turunan fungsi
Menentukan rumus-rumus turunan fungsi
Siswa dapat:
Menentukan turunan fungsi aljabar yang sederhana
mengguna
kan definisi turunan.
Menemukan rumus turunan fungsi aljabar yang sederhana.
Menentukan turunan fungsi aljabar menggunakan rumus.
Siswa dapat:
Menentukan turunan fungsi trigonometri yang sederhana
menggunakan definisi turunan.
Menemukan rumus turunan fungsi trigonometri yang sederhana.
Menentukan turunan fungsi trigonometri menggunakan rumus.
Kemudian dengan berdasarkan kompetensi dasar tersebut maka dikembangkan
indikator-indikator
yang akan dicapai selama proses
pembelajaran berlangsung.
Dari indikator, dijabarkan lagi ke
dalam tujuan pembelajaran pada
setiap pertemuan, dan dapat dilihat
pada tabel 1.
b. Pendesainan
Pada tahap ini, peneliti membuat
draf LKS bahan ajar turunan fungsi
sesuai dengan karakteristik pendekatan konstruktivisme, yang disebut
dengan prototipe pertama.
Peneliti meminta pendapat pakar
dan teman sejawat yang sudah
berpengalaman dalam pendidikan
matematika terutama pada penggunaan pendekatan konstruktivisme
(Expert Review).
Selain itu prototipe pertama diujicobakan pada lima orang siswa (one
to one). Dari komentar dan saran
validator, teman sejawat serta siswa
515
one to one, LKS prototipe pertama
direvisi kembali sehingga menghasilkan prototipe kedua. Berikut
ini, beberapa gambar yang memperlihatkan perubahan prototipe
pertama menjadi prototipe kedua.
Dari hasil small group dan masukan
dari siswa, maka prototipe kedua ini
direvisi untuk memperbaiki kekurangannya sehingga menghasilkan
prototipe ketiga yang valid dan
praktis.
Prototipe kedua diujicobakan kepada
sekelompok siswa small group untuk
melihat kepraktisan dari LKS.
Prototipe ketiga dilakukan ujicoba
field test untuk melihat efek
potensial terhadap aktivitas belajar
siswa.
Gambar 2 Perubahan Kasus 1 LKS 1
Gambar 3 Perubahan kalimat di langkah kedua dan bentuk tulisan pada Aktivitas 3
516
Gambar 4 Tulisan Lebih Variatif dan Berwarna
Dari hasil observasi aktivitas siswa
pada setiap pertemuan dapat dilihat
dalam tabel 2.
Jika diperhatikan dari data pada
tabel 2, maka pada pertemuan
pertama dan kedua didominasi oleh
siswa yang tergolong aktif, namun
ada peningkatan pada jumlah siswa
yang tergolong sangat aktif. Pada
pertemuan ketiga, aktivitas yang
terjadi didominasi oleh siswa yang
tergolong sangat aktif dengan jumlah
25 siswa, sedangkan
siswa aktif
berjumlah 16 siswa dan hanya 1
siswa saja yang tergolong cukup
aktif.
Tabel 2 Hasil Observasi Aktifitas
Siswa
Tingkat Aktivitas
F1
F2
F3
Sangat Aktif
16
18
25
Aktif
20
22
16
Cukup Aktif
4
1
1
Kurang Aktif
2
1
0
Jumlah
42
42
42
Dalam hal ini, siswa yang tergolong
aktif hingga sangat aktif lebih
mendominasi dalam aktivitas pembelajaran, maka dapat disimpulkan
bahwa tingkat aktivitas siswa dalam
kategori aktif. Adapun peningkatan
aktivitas tersebut terjadi pada aktivitas lisan karena siswa sudah
berani menyatakan pendapatnya
maupun
menjawab
pertanyaan.
Begitu juga pada aktivitas emosi,
karena siswa merasa gembira dan
antusias dalam mengikuti pembelajaran, sehingga menuju ke pembelajaran yang menyenangkan. Di
sini dapat dikatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan LKS
konstruktivisme mempunyai efek
terhadap aktivitas siswa dalam
proses pembelajaran. Dengan menggunakan LKS ini, siswa dituntut
untuk bekerja dalam kelompoknya,
presentasi, berbagi, antusias dan
gembira serta siswa dapat belajar
secara mandiri.
Berikut beberapa foto aktivitas siswa
selama proses pembelajaran saat
Field Test.
Gambar 5 Siswa Berdiskusi dan Berkerja
dalam Kelompoknya.
517
Saran
Gambar 6 Siswa Sedang Mempresentasikan
Hasil Kelompoknya.
G
ambar 7 Siswa Sedang Memberikan
Tanggapan
5.
Simpulan dan Saran
Simpulan
a. Bahan ajar yang dikembangkan
dalam penelitian ini, dikategorikan valid dan praktis.
b. Berdasarkan
proses
pengembangan diperoleh bahwa prototipe
bahan
ajar
yang
telah
dikembangkan
memilki
efek
potensial
terhadap
aktivitas
siswa.
a. Bagi siswa, diharapkan dapat
memberikan
suasana
baru,
termotivasi untuk memperkaya
pengalaman, serta dapat melatih
penalaran sehingga pembelajaran
menjadi bermakna.
b. Bagi guru matematika dapat
menggunakan LKS yang dihasilkan dalam penelitian ini sebagai
alternatif dalam memperkaya
variasi pembelajaran dan dalam
upaya
peningkatan
kualitas
pembelajaran
matematika
di
sekolah
c. Bagi peneliti lain, yang akan megembangkan bahan ajar melalui
pendekatan konstruktivisme, disarankan pada penyusunan LKS
agar menambah pengetahuan
prasyarat, tidak terbatas hanya
pengetahuan yang digunakan
pada proses penemuan pengetahuan baru saja, tetapi pengetahuan yang digunakan pada
soal-soal latihan juga harus diingatkan. Berdasarkan hasil refleksi dan komentar siswa pada
saat field test, maka akan lebih
baik lagi kalau LKS ditambahkan
soal-soal pengayaan dan dilengkapi perangkat multimedia
(untuk
memperjelas
gambar
ataupun grafik), serta menyertakan kunci jawaban untuk guru.
Daftar Pustaka
Akker, J.v.d. (1999). Principles and Methods of Development Research. Dalam
J.v.d Akker(Ed). Design Approaches and Tools in Education and Training.
Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Depdiknas. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas.
Hamalik, Oemar. (2008). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanafiah, Nanang. (2010). Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika
Aditama.
Marini, Arita. (2008). Pengaruh Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Hasil
Belajar dalam Pembelajaran Matematika Mahasiswa PGSD FIP Universitas
Negeri Jakarta. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaann No.074, tahun ke-14,
September 2008.
518
Nizarwati. (2009). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berorientasi
Konstruktivisme untuk Mengajarkan Konsep Perbandingan Trigonometri
Siswa Kelas X SMA. Jurnal Pendidikan Matematika Volume 3 No. 2,
Desember 2009. Program Studi Matematika PPs Universitas Sriwijaya.
Riyanto, Yatim. (2010). Paradigma Baru Pembelajaran. Sebagai Referensi Bagi
Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas.
Cet. 2. Jakarta: Kencana Prenada.
Rochmad. (2011). Tinjauan Filsafat dan Psikologi Konstruktivisme: Pembelajaran
Matematika yang Melibatkan Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif.
Jurnal Pembelajaran Matematika Tahun 1. Nomor 1. Januari 2011. Fakultas
MIPA Matematika Universitas Negeri Malang.
Suparno, Paul. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta:
Kanisius.
Zulkardi. (2002). Developing A learning Environment on RME for Indonesian
Student Teachers. Doctoral Dissertation. Enschede: University of Twente.
Tersedia:http://projects.edte.utwente.nl/cascade/imei/dissertation/disertas
i.html. Diakses 15 Desember 2010
519
PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI
MATEMATIS DENGAN PENDEKATAN CRATIVE PROBLEM
SOLVING (CPS) MELALUI MEDIA GEOGEBRA PADA SISWA
KELAS VIII SMPN 1 SUKOSARI BONDOWOSO
Widarso Pujianto E.P
Guru SMPN 1 Sukosari Bondowoso
Abstract. Eighth graders of SMP Negeri 1 Sukosari had difficulty with drawing
graphs in line equation topic. A model of Creative Problem Solving (CPS) approach
using GeoGebra is developed to overcome this problem. This research investigated
whether reasoning skills and mathematical communication of students are better for
those who learn using GeoGebra are those who do not. Pretest-posttest experiment
group design is used. The sample was 75 students divided into two classes. The
calculation of two-way variance analysis shows that the mathematical reasoning
ability and communication skill of students who learn with CPS approach using
GeoGebra are better than the students who learn with regular learning approach.
Keywords: GeoGebra, mathematical communication, problem solving, reasoning
1. Pendahuluan
Hasil penelitian yang dilakukan The
National Assesment of Educational
Progress, NAEP (Suherman, 2003)
menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan siswa dalam menyelesaikan soal kreatif pemecahan
masalah menurun drastis manakala
setting (konteks) permasalahannya
diganti dengan hal yang tidak dikenal siswa, walaupun permasalahan matematikanya tetap sama.
Berdasarkan pengamatan penulis, di
SMP Negeri 1 Sukosari pada siswa
kelas VIII merasa kesulitan pada
materi persamaan garis mengenai
menggambar grafik.
Salah satu cara untuk mengatasi
masalah tersebut perlu dikembangkan model pembelajaran matematika yang sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang ada
serta berpandangan pada perkembangan teknologi dan tuntutan
era globalisasi dan kurikulum, diantaranya dengan model Creative
Problem Solving (CPS) berbasis
teknologi
dalam
pembelajaran
matematika. Peneliti akan mencoba
520
salah satu metode alternatif yang
dapat digunakan sehingga prestasi
belajar siswa akan menjadi lebih
baik. Metode yang dimaksud adalah
pendekatan dengan CPS. Menurut
Cheah (2008) pengintegrasian teknologi dalam pembelajaran matematika tidak boleh diabaikan oleh
para pendidik. Dalam Principles and
Standards for School Mathematics,
(NCTM, 2000) menyatakan bahwa
teknologi mempunyai peran yang
sangat penting dalam pembelajaran
matematika.
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah apakah peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa yang belajar
dengan pendekatan CPS melalui
media GeoGebra lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran biasa?
Tujuan penelitian ini adalah untuk
membandingkan peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa yang belajar
dengan pendekatan CPS melalui
media GeoGebra dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran biasa.
2. Kajian Teoritik
Dalam Creative Problem Solving
(CPS) pembelajaran dipusatkan pada
pengajaran dan keterampilan kreatif
pemecahan masalah, yang diikuti
dengan
penguatan
keterampilan
(Pepkin, 2004). Dengan menggunakan pembelajaran ini diharapkan
dapat menimbulkan minat sekaligus
kreativitas dan motivasi siswa dalam
mempelajari matematika, sehingga
siswa dapat memperoleh manfaat
yang maksimal baik dari proses
maupun hasil belajarnya. Dengan
demikian
diharapkan
prestasi
belajar siswa menjadi lebih baik.
Dalam pembelajaran model CPS ini
siswa dituntut aktif sehingga dalam
pembelajaran
siswa
mampu
mengeluarkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki untuk kreatif
memecahkan masalah yang belum
mereka temui.
Langkah-langkah CPS dalam pembelajaran
matematika
sebagai
berikut: (1) klarifikasi masalah, (2)
pengungkapan gagasan, (3) evaluasi
dan
seleksi,
(4)
implementasi
(Pepkin, 2004: 2). Media pembelajaran juga diperlukan dalam
proses belajar mengajar. Dengan
media, pesan yang terkandung
dalam
pembelajaran
dituangkan
dalam komunikasi verbal (kata-kata
dan tulisan) dan nonverbal (gambar
visual).Komputer dengan program
GeoGebra merupakan salah satu
media pembelajaran yang dapat
menyajikan penyampaian materi
lebih terorganisasi, bersemangat
serta memudahkan guru dan siswa
untuk melakukan proses belajar
mengajar.
Selain
dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa,
penggunaan komputer dengan program GeoGebra dapat memperjelas
penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar me-
ningkatkan proses hasil belajar,
serta dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga
pembelajaran berlangsung efektif
dan efisien.
Pepkin (2004) menuliskan langkahlangkah CPS dalam pembelajaran
matematika sebagai berikut:
a. Klarifikasi Masalah
Setelah guru menjelaskan materi
pembelajaran matematika, siswa
menerima materi pelajaran. Guru
bersama
siswa
mengklarifikasi
permasalahan yang ada dalam soal
tersebut sehingga siswa mengetahui
solusi yang diharapkan dari soal
tersebut. Dalam tahap ini, masingmasing siswa mengajukan cara yang
dipecahkan permasalahannya.
b. Pengungkapan Gagasan
Siswa menggali dan mengungkapkan
pendapat sebanyak-banyaknya berkaitan dengan strategi CPS yang
dihadapi dalam soal tersebut.
c. Evaluasi dan Seleksi
Setelah diperoleh daftar gagasangagasan, siswa bersama guru dan
teman lainnya mengevaluasi dan
menyeleksi berbagai gagasan tentang strategi pemecahan masalah,
sehingga pada akhirnya diperoleh
suatu strategi yang optimal dan
tepat.
d. Implementasi
Siswa menentukan strategi yang
dapat diambil untuk menyelesaikan
masalah, kemudian menerapkannya
sampai menemukan penyelesaian
dari masalah tersebut. Dengan membiasakan
siswa
menggunakan
langkah-langkah yang kreatif dalam
memecahkan masalah, diharapkan
dapat membantu siswa untuk mengatasi kesulitan dalam mempelajari
matematika.
Implementasi dengan pendekatan
CPS melalui media GeoGebra yang
521
berbasis teknologi dalam
lajaran matematika yaitu:
pembe-
a. Tahap Awal
Guru menanyakan kesiapan siswa
dalam
mengikuti
pembelajaran
matematika, kemudian mengulas
kembali materi sebelumnya yang
dijadikan prasayarat materi yang
akan dipelajari siswa. Kemudian
menjelaskan aturan main dalam
pembelajaran matematika dengan
menggunakan pendekatan CPS melalui media GeoGebra. Pembelajaran
dilaksanakan di labotarium komputer yang telah diinstal program
GeoGebra. Guru juga memberikan
motivasi kepada siswa tentang
pentingnya pembelajaran dengan
pendekatan CPS melalui media
GeoGebra yang akan dilaksanakan.
b. Tahap Inti
Siswa berada di labotarium komputer yang telah diinstal pro-gram
GeoGebra dengan disediakan modul.
Siswa mendapat bimbingan dan
arahan dari guru dalam memecahkan masalah. Peranan guru
dalam hal ini adalah menciptakan
situasi yang dapat memudahkan
munculnya pertanyaan dan mengarahkan kegiatan brainstorming
dalam rangka menjawab pertanyaan
atas dasar interest siswa. Penekanan
dalam pendampingan siswa dalam
menyelesaikan permasalahan adalah
seb-agai berikut:
1) Klarifikasi Masalah
Setelah guru menjelaskan materi
pembelajaran matematika, siswa
dikelompokkan menjadi kelompokkelompok kecil dan menerima beberapa
proyek
yang
berkaitan
dengan materi pelajaran. Guru bersama siswa mengklarifikasi permasalahan yang ada dalam proyek
tersebut sehingga siswa mengetahui
solusi yang diharapkan dari proyek
tersebut. Misalnya proyek yang
diberikan adalah menggambar grafik
fungsi
. Dengan mengubah
nilai m (gradien) dan c (konstanta)
sehingga
siswa
dapat
melihat
pengaruhnya. Jika nilai c diubah
seperti pada persamaan y = 2x, y =
2x + 3, y = 2x – 3 dapat dilihat pada
gambar 1.
Gambar 1 Hasil gambar jika nilai c diubah
2) Pengungkapan Gagasan
Siswa menggali dan mengungkapkan
pendapat sebanyak-banyaknya berkaitan dengan strategi pemecahan
masalah
yang
dihadapi
dalam
proyek tersebut.
3) Evaluasi dan Seleksi
522
Setelah diperoleh daftar gagasangagasan, siswa bersama guru dan
teman lainnya mengevaluasi dan
menyeleksi berbagai gagasan tentang
strategi pemecahan masalah, sehingga pada akhirnya diperoleh
suatu strategi yang optimal dan
tepat.
4) Implementasi
Dalam tahap ini, siswa berusaha
memutuskan tentang strategi pemecahan masalah dalam proyeknya.
Setelah pekerjaan selesai siswa
mempresentasikan hasil kerjanya di
depan kelas dengan menggunakan
media sesuai dengan kreatifitasnya
untuk menyampaikan gagasannya
dan mendapatkan saran dan kritik
dari pihak lain sehingga diperoleh
solusi
yang
optimal
berkaitan
dengan kreatif pemecahan masalah
dengan
menggunakan
media
GeoGebra. Ke-mudian guru bersama
siswa
me-nyimpulkan
materi
pembelajaran ke arah matematika
formal.
c. Tahap Penutup
Sebagai pemantapan materi, secara
individual siswa mengerjakan pop
kuis yang ditampilkan dengan media pembelajaran dan guru memberikan poin bagi siswa yang mampu
kreatif memecahkan permasalahan
sebagai upaya memotivasi siswa
dalam mengerjakan soal-soal.
Heddens dan Speer (dalam Nuriana,
2005) menyarankan untuk menilai
hasil kerja pendekatan CPS salah
satu caranya adalah dengan menentukan skoring dan jawaban
siswa melalui rubrik. Rubrik ini
merupakan skala penilaian baku
yang digunakan untuk menilai
jawaban siswa dalam soal-soal CPS.
Banyak jenis rubrik berbeda yang
digunakan
oleh
individu
dan
sekolah. Dalam tes matematika
terbagi dalam acuan pada Pedoman
Pemberian Skor Kemampuan Penalaran dan Komunikasi matematis
yang menggunakan Holistic Scoring
Rubics yang dikemukakan oleh Cai
Lane Jakabsin (1996) dengan penggunaan skala ini jawaban siswa
berada pada rentang skor 0 sampai
dengan 4.
Fondasi dari matematika adalah
penalaran (reasoning). Ross (dalam
Dahlan, 2004) menyatakan bahwa
salah satu tujuan terpenting dari
pembelajaran matematika adalah
mengajarkan
kepada
siswa
penalaran logika (logical reasoning).
Bila ke-mampuan bernalar tidak
dikem-bangkan pada siswa, maka
bagi siswa matematika hanya akan
menjadi materi yang mengikuti
serangkaian prosedur dan meniru
contoh-contoh tanpa mengetahui
maknanya.
Penalaran matematika dalam sudut
pandang aktivitas dinamik melibatkan keragaman mode berpikir,
dan daya matematika dipandang
sebagai komponen integral dari
berpikir mate-matika. Khususnya
berpikir
mate-matika
yang
melibatkan keragaman matematika
dalam keterampilan ber-pikir untuk
memahami ide-ide, me-nemukan
hubungan
antar
ide-ide,
dan
mendukung gambaran atau kesimpulan tentang ide-ide dan hubungan-hubungannya,
dan
memecahkan
masalah-masalah yang
melibatkan ide-ide tersebut (O’Daffer
dan Thornquist dalam Dahlan,
2004).
Adapun komunikasi adalah bagian
yang esensial dari matematika dan
pendidikan matematika. Sulivan dan
Mousley (dalam Dahlan, 2004) mengemukakan bahwa komunikasi
matematik tidak hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi
lebih luas lagi yaitu kemampuan
siswa
dalam
hal
menyatakan,
menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja
sama.
Lebih lanjut, Schoen (dalam Dahlan,
2004) mengemukakan bahwa komunikasi
matematik
adalah
kemampuan
siswa
dalam
hal
menjelaskan suatu algoritma dan
cara
unik
untuk
pemecahan
masalah,
kemampuan
siswa
mengkonstruksi dan men-jelaskan
sajian fenomena dunia nyata secara
523
grafik,
kata-kata/kalimat,
persamaan, tabel dan sajian secara
fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambargambar geometri. Dengan berkomunikasi
akan
terjadi
suatu
peristiwa saling berhubungan/dialog
yang mengandung sejumlah unsur
dan pesan yang ingin disampaikan
serta cara menyampaikan pesan itu.
Sedangkan pembelajaran biasa oleh
Ruseffendi (2006) disebut sebagai
pendekatan langsung yang didefinisikan
pendekatan
langsung
sebagai suatu pendekatan yang lebih
terpusat pada guru. Pendekatan
langsung biasanya digunakan untuk
menyampaikan
informasi
dan
mengembangkan informasi keterampilan langkah demi langkah.
3. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan pada siswa dari
dua
kelas
yang
memiliki
kemampuan
setara
dengan
pendekatan
pem-belajaran
yang
berbeda.
Kelompok
pertama
diberikan
pembelajaran
dengan
menggunakan
pendekatan
CPS
melalui media GeoGebra. Kelompok
pertama
merupakan
ke-lompok
eksperimen, sedangkan ke-lompok
kedua merupakan kelompok kontrol
yang memperoleh pem-belajaran
biasa.
Penelitian ini merupakan studi
eksperimen penggunaan disain dilakukan dengan pertimbangan bahwa, kelas yang ada telah terbentuk
sebelumnya, sehingga tidak dilakukan lagi pengelompokkan secara
acak. Disain pada penelitian ini
adalah pretest-posttest experiment
group
design.
Disain
tersebut
digambarkan sebagai berikut:
O
O
Dengan:
524
X
O
O
X: Pembelajaran menggunakan pendekatan
CPS Melalui Media
GeoGebra.
O: Tes yang diberikan untuk mengetahui kemampuan siswa (pretest =
postest).
Populasi
dalam
penelitian
ini
adalah siswa SMPN 1 Sukosari.
Sedangkan sampel dalam penelitian
ini adalah siswa kelas VIII sebanyak
75 siswa (2 kelas) masing-masing
kelas terdiri dari 38 siswa pada
kelas eksperimen dan 37 siswa
pada kelas kontrol. Penentuan
kelas eksperimen dan kelas kontrol
penelitian
berdasarkan
asumsi
bahwa penyebaran siswa pada
setiap kelasnya ditinjau dari segi
akademiknya adalah sama.
Untuk memperoleh data dan informasi mengenai hal-hal yang ingin di
kaji dalam penelitian ini, maka
dibuatlah seperangkat instrumen.
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian
berupa
tes
tertulis.
Lembar
penilaian
berupa
tes
kemampuan
penalaran
dan
komunikasi matematis siswa.
Agar kemampuan penalaran dan
komunikasi matematis siswa dapat
terlihat dengan jelas maka masingmasing tes akan dibuat dalam
bentuk uraian. Tes tertulis ini terdiri
dari tes awal (pre-test) dan tes akhir
(post-test). Soal-soal pre-test dan
post-test dibuat ekuivalen/relativ
sama. Tes awal dilakukan untuk
mengetahui
kemampauan
awal
siswa dan di-gunakan sebagai tolak
ukur pening-katan prestasi belajar
sebelum mendapatkan pembelajaran
dengan model yang akan diterapkan,
se-dangkan tes akhir (post-test)
dilakukan untuk mengetahui perolehan hasil belajar dan ada
tidaknya perubahan yang signifikan
setelah mendapatkan pembelajaran
dengan model yang akan diterapkan.
Sebelum
penyusunan
tes
kemampuan
penalaran
dan
komunikasi matematik siswa dibuat
kisi-kisi soal terlebih dahulu.
4. Hasil Penelitian dan
Pembahasan
a. Hasil Penelitian
Data penelitian (hasil implementasi
pembelajaran) yang dianalisis dalam
penelitian ini adalah data yang
diperoleh dari satu kelas eksperimen
dan satu kelas kontrol, kemudian
dibandingkan.
Berdasarkan hasil
skor pretes dan postes pada aspek
yang akan diukur, yaitu aspek
kemampuan penalaran matematis,
diperoleh skor rerata, persentase (%)
rerata, dan deviasi standar seperti
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Rekapitulasi Hasil
Kemampuan Penalaran Matematis
Pretes
Kon
Ekspe
trol
rimen
Postes
Kon
Ekspe
trol
rimen
Mean
4.11
4.06
11.09
18.17
%
Stand
Dev
20.57
20.29
55.43
90.86
2.83
2.93
4.95
3.12
Tabel 1 menunjukkan rerata hasil
pretes pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol tidak jauh berbeda.
Sama halnya dengan persentase
skor rerata pada kelas eksperimen
dan kelas kontrol tidak jauh
berbeda. Per-sentase skor rerata
diperoleh dari hasil bagi skor rerata
dengan skor ideal 20 dikali 100%.
Rata-rata pretes kelas kontrol lebih
tinggi
di-bandingkan
kelas
eksperimen. Nilai deviasi standart
pretes kelas eksperimen 2,93 dan
kelas kontrol 2,83 (tidak jauh
berbeda) sehingga dapat dikatakan
bahwa penyebaran data berada pada
skor rerata.
Dari perhitungan hasil postes, rerata
hasil postes pada kelas eksperimen
dan kelas kontrol terlihat berbeda.
Skor rerata kemampuan penalaran
matematis pada kelas eksperimen
(18,17) lebih tinggi dari pada kelas
kontrol (11,09) dengan nilai deviasi
standar postes kelas eksperimen
(3,12) lebih rendah dari pada kelas
kontrol (4,95).
Hasil skor pretes dan postes pada
aspek
kemampuan
komunikasi
matematis, diperoleh skor rerata,
persentase (%) rerata dan deviasi
standar seperti pada Tabel 2.
Tabel 2 Rekapitulasi Hasil
Kemampuan Komunikasi Matematis
Pretes
Kon
Ekspe
trol
rimen
Postes
Kon
Ekspe
trol
rimen
Mean
4.80
4.63
10.63
18.34
%
Stand
Dev
24.00
23.15
53.15
91.70
2.13
2.10
3.06
2.68
Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata
hasil pretes pada kelas eksperimen
dan kelas kontrol tidak jauh
berbeda. Sama halnya dengan
persentase skor rerata pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol tidak
jauh berbeda. Dengan rata-rata
pretes kelas kontrol lebih tinggi
dibandingkan kelas eks-perimen.
Nilai deviasi standar postes kelas
eksperimen
dan
kelas
kontrol
masing-masing sebesar 2,13 dan
2,10. Dari perhitungan hasil postes,
rerata hasil postes pada kelas
eksperimen
dan
kelas
kontrol
terlihat
berbeda.
Skor
rerata
kemampuan komunikasi matematis
pada kelas eksperimen adalah 18,34
atau 91,70% lebih tinggi dari pada
kelas kontrol dengan rerata sebesar
10,63 atau 53,15%. Sedangkan,
untuk nilai deviasi standar pretes
kelas eks-perimen dan kelas kontrol
tidak jauh berbeda secara signifikan
sehingga dapat dikatakan bahwa
penyebaran data berada pada skor
rerata.
Uji Normalitas
525
Hasil uji normalitas dengan uji
Lilliefors pada taraf signifikansi 5%
disajikan pada tabel 3.
Tabel 3 Hasil Uji Normalitas
Kelas
Lhitung
Ltabel
Keputusan
Eksperimen
0.09
0.397
Normal
Kontrol
Komunikasi
0.14
0.397
Normal
Eksperimen
0.14
0.397
Normal
Kontrol
0.14
0.397
Normal
Penalaran
Dari tabel 3 tampak bahwa Lhitung<
Ltabel pada taraf signifikasi 5%.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa sampel tersebut berasal dari
populasi yang berdistribusi normal.
Uji Homogenitas
Selanjutnya untuk melihat apakah
kelas eksperimen dan kelas kontrol
mempunyai variasi yang sama maka
digunakan uji homogenitas varians.
Uji
homogenitas
adalah
suatu
pengujian untuk mengetahui apakah
antara dua variabel bebasnya mempunyai variansi yang sama atau
tidak.
Uji
homogenitas
yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah uji Levene Statistic. Dari
perhitungan
untuk
homogenitas
menggunakan SPSS versi 13 didapat
bahwa nilai pro-babilitas Levene
Statistic tes prestasi belajar Fhitung =
0,023 Ftabel = 3,972 dan probabilitas
= 0,880 > 0,05, maka H0 diterima
yang berarti bahwa kedua sampel
mempunyai varian yang homogen.
Uji Anava
Hasil perhitungan analisis variansi
dua jalan dengan sel tidak sama
dengan taraf signifikansi = 5%
menggunakan SPSS versi 13 disajikan Tabel 4 berikut.
Tabel 4 Hasil Analisis Anava Dua Jalan dengan Sel Tidak sama
Sumber
Variasi
Penalaran
Komunikasi
Error
Total
Jk
df
Rk
Fhitung
Ftabel
Sig
Keputusan
597,31
955,29
4666,04
316250,0
1
2
69
75
597,31
477,65
67,62
-
8,83
7,06
-
3,98
3,13
-
0,004
0,002
-
Ditolak
Dari Tabel 4 tampak bahwa Fhitung =
8,833 > Ftabel (1;69) = 3,980 dan
probabilitas = 0,004 < 0,05 dengan
= 5% dengan demikian H0A ditolak
sehingga H1A diterima. Sedangkan
untuk Fhitung = 7,063 > Ftabel (2;69) =
3,130 dan probabilitas = 0,002 <
0,05 dengan demikian H0B ditolak.
Hal ini berarti ada pengaruh
kemampuan
penalaran
dan
komunikasi matematis siswa yang
belajar dengan pendekatan CPS
melalui media GeoGebra lebih baik
dibandingkan dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran biasa.
b. Pembahasan
526
Berdasarkan hasil analisis terhadap
pretes, ternyata tidak ada perbedaan
pada kemampuan penalaran dan
komunikasi matematis siswa dengan
pendekatan CPS melalui media GeoGebra dengan pembelajaran biasa.
Sedangkan hasil analisis terhadap
postes pada kemampuan penalaran
dan komunikasi matematis siswa
dengan pendekatan CPS melalui
media GeoGebra lebih baik daripada
siswa
yang
memperoleh
pembelajaran
biasa.
Hal
ini
menunjukkan bahwa pembelajaran
dengan pendekatan CPS melalui
media GeoGebra lebih efektif untuk
meningkatkan
ke-mampuan
penalaran
dan
matematis siswa.
komunikasi
Temuan ini memperkuat, bahwa
pembelajaran pendekatan CPS melalui media GeoGebra dapat meningkatkan kemampuan penalaran
dan komunikasi matematis siswa
juga memiliki kekuatan yaitu siswa
lebih aktif dan kreatif dalam pembelajarannya dengan pendekatan
CPS
melalui
media
GeoGebra
daripada pembelajaran biasa.
Siswa
di
kelas
eksperimen
berkategori
tinggi
dikarenakan
suasana belajar berbeda, yaitu di
ruang labotarium komputer dan
rasa ingin tahu siswa terhadap
GeoGebra
tinggi sehingga siswa
ingin mengetahui lebih jauh dan
dapat
dengan
mudah
menyelesaikan
soal-soal yang
berhubungan dengan ke-mampuan
penalaran dan komunikasi siswa.
Sedangkan di kelas kontrol siswa
merasa monoton dengan pembelajaran biasa dikarenakan belajar
matematika membosankan yang
mengharuskan siswa menghafalkan
rumus dan mengaplikasikan dalam
soal-soal yang berhubungan dengan
kemampuan
penalaran
dan
komunikasi matematis siswa.
5. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis, dapat
disimpulkan: (1) Peningkatan kemampuan
penalaran
dan
komunikasi matematis siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan
pendekatan Creative Problem Solving
(CPS) melalui media GeoGebra lebih
baik
dari
pada
siswa
yang
mendapatkan
pendekatan
pembelajaran biasa. (2) Secara
umum, siswa menunjukkan aktivitas
yang
aktif
pada
saat
proses
pembelajaran dengan pendekatan
CPS melalui media GeoGebra. Siswa
merespon positif dan tergolong kuat
terhadap
proses
pembelajaran
dengan pendekatan CPS melalui
media GeoGebra.
Saran
Bagi guru matematika, sebaiknya
dalam pembelajaran matematika diciptakan suasana menyenangkan
dan
mengajak
siswa
terlibat
langsung
dalam
kegiatan
pembelajaran.
Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya diteliti sekolah yang lebih
memadai dari segi fasilitas guna
menunjang pembelajaran dengan
pendekatan CPS melalui media
GeoGebra.
Ditemukan
bahwa
siswa
yang
tingkat
kecerdasan
tinggi,
kemampuan
penalaran
dan
komunikasi
dalam
kreatifitas
matematisnya juga tinggi. Sehingga,
sebaiknya bagi guru matematika
perlu memperhatikan pentingnya
meningkatkan kratifitas siswa guna
menunjang kemampuan penalaran
dan
komunikasi
siswa
serta
menunjang prestasi siswa.
Daftar Pustaka
Cai, J. L, dan Jakabcsin, M.S. (1996). The Role of Open-Ended Tasks and Holistic
Scoring Rubrics: Assessing Students Mathematical Reasoning and
Communication. Communication in Mathematics K-12 and Beyond.
Virginia: NCTM.
Cheah, Ui Hock. (2008). A Practical Framework for Technology Integration in
Mathematics Education. Makalah dipresentasikan dalam SEAMEORECSAM. Penang. Malaysia.
527
Dahlan, J.A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman
Matematik Siswa Sekolah Menengah Lanjutan Pertama melalui Pendekatan
Pembelajaran Open-Ended. Disertasi PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Hasibuan, A. Zainal. (2008). Best Practice and Successful ICT Usage in Teaching
and Learning. Makalah dipresentasikan dalam ICT Conference and
Exhibition. Kuala Lumpur
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and
Standards for School Mathematics. Reston, VA: Author
Nuriana, R, (2005). Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Video
Compact Disk dalam Pembelajaran Matematika. Diambil tanggal 12 Juni
2013 dari http: //www.mathematic.transdigit.com.
Pepkin. (2004). Creative Problem Solving In Math. Diambil tanggal 5 Juni 2013,
dari http://www.uh.edu/hti/cu/2004/v02/04.htm.
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.
Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Tamimuddin, Muh. H. dan Muda Nurul K. (2012). Pemanfaatan Software
Aplikasi GeoGebra I. Modul Bimtek Online. PPPPTK Matematika:
Yogyakarta.
528
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR OPERASI BENTUK ALJABAR
KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) DENGAN
PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
INDONESIA (PMRI)
1)Siti
Rohayah, 2)Darmawijoyo, & 3)Nila Kesumawati
1)SMPN
6 Sekayu
Sriwijaya
3)Universitas PGRI Palembang
2)Universitas
Abstract. This study aims to (1) develop teaching material for algebra operations for
7th grade of junior high school using the approach of Indonesian Realistic
Mathematics Education and (2) determine its potential effects on learning outcomes.
This study uses the type of formative research methods development research. Stepby-step studies include preliminary stages (preparation and designing) and the
formative stages of evaluation (self-evaluation, revision, one-to-one, expert review,
revision, small group, revision, and field test, revision). Data was collected by walk
trough, documentation, and test competencies. The results validates the expert views
that teaching material of algebra operations for 7th grade of junior high school is a
valid and practical that can be used in field trials. The trials of teaching materials
were conducted in Junior High School 6 of Sekayu, Musi Banyuasin at 7.1 by 30
students. Competency test results show that 77% of students achieved minimum
qualifications in which 47% with excellent qualifications, 40% good qualified, 6.7%
sufficient qualification, and 6.7% less qualification. The results of student’s answer
analysis show that students are able to understand the problem, determine the
variables in a problem, and expressed in algebraic form. However, students are not
careful when completing subtraction algebraic expression using parentheses.
Keywords: algebra expression, PMRI, teaching materials
A. Pendahuluan
Aljabar berasal dari bahasa Arab
aljabar yang merupakan judul buku
Hisab al-jabr w’al-muqabala karya
Abu Ja’far Muhammad ibn Musa alKhwarizmi.
Aljabar
merupakan
bahasa simbol dan relasi yang
digunakan
untuk
memecahkan
masalah sehari-hari sehingga dapat
diselesaikan dengan lebih sederhana
(Wardhani, 2004). Aljabar merupakan hal pertama dalam semua
pekerjaan yang berkaitan dengan
rumus. Aljabar di sekolah berkaitan
erat
dengan
kata-kata
seperti
selesaikan, manipulasikan, generalisasikan, rumuskan, struktur dan
abstrak
(Drijvers,2011).
Dengan
demikian, aljabar merupakan konsep
fundamental dalam matematika.
Saat ini, pembelajaran
aljabar
mendapatkan perhatian dunia baik
pada aspek tujuan pembelajaran
aljabar, pendekatan yang digunakan,
maupun hasil belajar. Selain itu,
aljabar juga menjadi perdebatan di
berbagai negara. Hal yang paling
penting diperdebatkan adalah hubungan keterampilan prosedural dan
pemahaman konsep dalam belajar
mengajar aljabar. Aljabar digunakan
sebagai salah satu tes masuk
perguruan tinggi di beberapa negara.
Hasilnya,
kemampuan
aljabar
kurang memuaskan. Guru sekolah
menengah dituduh bersikap lunak
terhadap keterampilan mengajar
sehingga
berakibat
penurunan
keterampilan aljabar dan bahkan
untuk mengenali hubungan 144
529
dengan
12
atau
dengan
sekalipun (Drijvers, 2011).
Penguasaan kompetensi aljabar di
tingkat SMP sangat penting karena
aljabar di SMP menjadi prasyarat
untuk mempelajari aljabar lainnya.
Akan tetapi, peserta didik SMP pada
umumnya masih memiliki kesulitan
menyelesaikan
operasi
bentuk
aljabar. Adanya variabel, koefisien,
suku, dan konstanta menjadi hal
yang abstrak dan sulit untuk
dipahami
oleh
peserta
didik.
Padahal, kemampuan pengoperasian
bentuk aljabar tidak dapat dipisahkan dengan kemampuan pemahaman tentang lambang aljabar berupa
suku, faktor, variabel, konstanta,
koefisien, dan lainnya (Wardhani,
2004).
Tim PPPG Matematika, pada tahun
2002,
melakukan
pengkajian
terhadap kesulitan yang dihadapi
oleh guru matematika dan peserta
didik SMP di lima provinsi. Hasil
kajian tersebut menunjukkan bahwa
hampir semua provinsi memiliki
kendala yang sama, yaitu rendahnya
pemahaman peserta didik tentang
konsep yang terkait operasi bentuk
aljabar dan skill yang rendah dalam
menyelesaikan
operasi
bentuk
aljabar. Selain itu, tim PPPG
Matematika juga mengadakan uji
kompetensi
kemampuan
dasar
matematika peserta didik SMP pada
tahun 2001, 2002, dan 2003. Hasil
pengkajian tersebut menunjukkan
bahwa siswa mengalami kesulitan
dalam membedakan suku sejenis
dan tidak sejenis serta makna
koefisien, sehingga peserta didik
kesulitan
dalam
menyelesaikan
operasi bentuk aljabar (Wardhani,
2004).
Menurut Krismanto (2004), saat di
sekolah dasar peserta didik mempelajari aritmetika. Simbol-simbol yang
digunakan adalah angka yang dapat
dengan langsung dikenalinya. Akan
tetapi, peserta didik di SMP mulai
530
mengenal bahasa simbol yaitu
bentuk
aljabar
yang
harus
diperhatikan.
Membedakan
dengan
, memahami
sama
dengan
, memahami
bernilai
16 (dan bukan 64) untuk
adalah hal yang tidak mudah bagi
peserta didik.
MacGregor dan Stacey (1994) dalam
penelitiannya yang melibatkan 22
sekolah menengah di Victoria untuk
mengetahui beberapa hal yang
menjadi permasalahan bagi peserta
didik dalam memahami aljabar.
Dalam penelitiannya, keterampilan
aljabar
diklasifikasikan
meliputi
keterampilan
mengenali
tanda
operasi yang berkaitan dengan
kuantitas,
menggunakan
notasi
aljabar untuk menyatakan suatu
bentuk aljabar, memaknai sebuah
persamaan, dan menulis sebuah
pernyataan.
Hasil
penellitian
tersebut menyimpulkan
bahwa
peserta didik Australia pada kelas 7
sampai 10 pada umumnya memiliki
kesulitan jika menggunakan tanda
kurung,
merumuskan
suatu
persamaan dari suatu tabel nilai,
dan menggunakan notasi aljabar
untuk menyatakan penjumlahan
berulang.
Berdasarkan uraian di atas, berbagai kesulitan dalam pembelajaran
aljabar terjadi di berbagai negara,
tidak hanya di Indonesia saja.
Aljabar pun mendapatkan perhatian
yang
sangat
besar.
Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk
mengetahui hambatan yang dialami
oleh peserta didik dalam mempelajari
operasi bentuk aljabar.
Adanya
simbol
pada
aljabar
membuat peserta didik bingung dan
kesulitan
dalam
menyelesaikan
operasi
aljabar.
Pembelajaran
operasi
bentuk
aljabar
perlu
dikembangkan
sehingga
peserta
didik tidak lagi berpikir aljabar yang
abstrak menjadi semakin abstrak
dan sulit untuk dipahami.
Saat ini mulai berkembang suatu
pendekatan
yang
menggunakan
konteks real sebagai titik awal
pembelajaran
yaitu
Realistic
Mathematic Education (RME) atau
dikenal
di
Indonesia
dengan
Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia (PMRI). Wijers dalam
www.fi.uu.nl/publicaties menyebutkan:
“Students
had
difficulties
mastering the abstract algebraic skills
and teachers had a hard time trying
to give sense to the abstract algebra.
A new more sense making algebra
program based on the principles of
RME was believed to overcome these
difficulties”.
RME diyakini dapat memberikan
penyelesaian terhadap kesulitankesulitan dalam proses belajar
aljabar.
Salah satu aspek yang dapat
dikembangkan untuk meningkatkan
kualitas
pembelajaran
operasi
bentuk aljabar melalui PMRI adalah
pada bahan ajar peserta didik.
Bahan materi dan lembar kegiatan
peserta didik merupakan bahan
utama yang diperlukan dalam proses
belajar-mengajar. Oleh karena itu,
permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah mengembangkan
bahan ajar operasi bentuk aljabar
kelas
VII
SMP
dengan
menggunakan pendekatan PMRI
yang valid dan praktis?
2. Bagaimanakah
efek
potensial
penggunaan bahan ajar operasi
bentuk aljabar kelas VII SMP
dengan menggunakan pendekatan PMRI terhadap hasil belajar
peserta didik?
Tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Menghasilkan produk bahan ajar
operasi bentuk aljabar kelas VII
SMP dengan pendekatan PMRI
yang valid dan praktis.
2. Mengetahui
efek
potensial
penggunaan bahan ajar operasi
bentuk aljabar kelas VII SMP
dengan PMRI terhadap hasil
belajar peserta didik.
B. Tinjauan Pustaka
Bahan ajar adalah segala bentuk
bahan
yang
digunakan
untuk
membantu guru/instruktur dalam
melaksanakan
kegiatan
belajar
mengajar
(Depdiknas,
2008).
Sedangkan menurut Employment
Ontario (2011), ”learning materials
are resources that practitioners and
learners use for the purposes of
literacy instruction and learning”.
Bahan ajar adalah semua sumber
yang dapat digunakan sebagai
literatur belajar. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa bahan
ajar adalah segala sesuatu yang
dapat digunakan sebagai bahan
literatur dalam suatu proses belajar.
Bahan ajar dapat berupa print out
ataupun non print out.
Beberapa
prinsip
yang
harus
diperhatikan dalam mengembangkan
bahan ajar adalah sebagai berikut
(Depdiknas, 2008).
1. Mulai dari yang mudah untuk
memahami yang sulit, dari yang
konkret untuk memahami yang
abstrak.
2. Pengulangan akan memperkuat
pemahaman.
3. Umpan
balik
positif
akan
memberikan penguatan terhadap
pemahaman peserta didik.
4. Motivasi
belajar
yang
tinggi
merupakan salah satu faktor
penentu keberhasilan belajar.
5. Mencapai tujuan
ibarat naik
tangga, setahap demi setahap,
akhirnya
akan
mencapai
ketinggian tertentu.
6. Pembelajaran
adalah
suatu
proses
yang
bertahap
dan
berkelanjutan.
531
7. Mengetahui hasil yang telah
dicapai akan mendorong peserta
didik untuk terus mencapai
tujuan.
Bahan ajar yang akan dikembangkan
menggunakan
pendekatan
Realistics Mathematics Education
(RME) yang diadaptasi Indonesia
menjadi
Pendidikan
Matematika
Realistik Indonesia (PMRI). RME dikenalkan pada tahun 1971 oleh
Institut Freudental dibawah Utrecht
University Belanda. Hadi (2005)
menyebutkan bahwa PMRI mengombinasikan ide tentang apa yang
dimaksud matematika, bagaimana
peserta didik belajar matematika,
dan bagaimana matematika harus
diajarkan. Freudental berkeyakinan
bahwa peserta didik tidak boleh
dipandang sebagai passive receivers
of ready made mathematics atau
penerima pasif matematika yang
sudah jadi.
Freudenthal
memandang
bahwa
pembelajaran matematika harus
dikaitkan dengan konteks yang real
dan matematika sebagai aktivitas
manusia.
Freudenthal
dalam
Gravemeijer dan Terwel (2002)
menyebutkan bahwa matematika
dipandang sebagai aktivitas manusia
yaitu
suatu
aktivitas
untuk
memecahkan
masalah,
mencari
suatu permasalahan dan juga untuk
mengorganisir suatu permasalahan.
Freudenthal mengembangkan prinsip PMRI sebagai berikut.
1. Guided reinvention, penemuan
kembali secara terbimbing.
2. Progressive mathematizing, proses matematisasi progresif
3. Prinsip fenomena didaktik
4. Prinsip peserta didik membangun model sendiri.
Untuk karakteristik PMRI (Zulkardi,
2000) adalah sebagai berikut.
532
1. Phenomenological exploration or
the use of contexts;
2. The use of models or bridging by
vertical instruments;
3. The use of students own
productions and constructions or
students contribution;
4. The interactive character of the
teaching process or interactivity;
5. The
intertwining
of
various
learning strands.
Drijver (2011) dengan didasari
pandangan RME (Freudenthal, 1991;
Treffers, 1987) merumuskan aljabar
sebagai berikut.
1. Aljabar sebagai aktivitas
manusia.
Peserta didik perlu mendapatkan
pengalaman bahwa aljabar bukan
sesuatu yang kaku dan tidak dapat
dikompromikan,
tetapi
aljabar
sebagai konstruksi manusia yang
dapat
digunakan
untuk
menyelesaikan masalah.
2. Aljabar sebagai aktivitas otak.
Permasalahan kontekstual dapat
menjadi
jembatan
yang
mengarahkan dari yang nyata ke
tingkat yang lebih abstrak yaitu
aljabar sebagai dunia abstrak dari
objek matematika. Aktivitas otak
merupakan
keterampilan
dan
pemahaman yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Berbagai
konsep
aljabar
yang
abstrak
merupakan aktivitas otak, misalnya
group, ring, invariant theory, dan
sebagainya. Berbagai aljabar abstrak
tersebut dapat dengan mudah
dipahami
jika
sudah
memiliki
kemampuan berpikir abstrak yang
menjadi aktivitas otak. Meskipun
objek kajian aljabar tersebut abstrak
namun tidak menjadi abstrak jika
diikuti oleh kemampuan otak yang
dapat berpikir abstrak.
3. Aljabar sebagai aktivitas personal
Peserta didik dapat merepresentasikan dan mengembangkan aljabar
berdasarkan intuisi dan ide yang
mereka miliki. Melalui cara ini,
peserta
didik
dapat
menginternalisasi aljabar. Artinya, setiap
individu dapat menyelesaikan permasalahan aljabar dengan cara yang
berbeda sesuai dengan intuisi yang
mereka miliki.
4. Aljabar sebagai aktivitas yang
bermakna.
Apakah peserta didik menggunakan
aljabar pada taraf nyata atau yang
paling penting adalah pengalaman
aktivitas
yang
bermakna.
Permasalahan nyata dapat berupa
pengalaman peserta didik dan yang
paling
penting
bahwa
situasi
masalah
adalah
'berdasarkan
pengalaman nyata', para peserta
didik harus mengalaminya sebagai
sesuatu
yang
bermakna
dan
menyadari
apa
yang
mereka
lakukan.
Dalam
hal
ini,
pembelajaran aljabar diaplikasikan
langsung dalam pembelajaran.
C. Metodologi Penelitian
Subjek dan Tempat Penelitian
Subjek penelitian ini adalah 30
orang peserta didik kelas VII.1 SMP
Negeri 6 Sekayu, Musi Banyuasin,
Sumatera Selatan.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
penelitian pengembangan dengan
formative evaluation.
Prosedur Penelitian
1.
Tahap Preliminary
Tahap
preliminary
terdiri
dari
persiapan dan Pendesainan materi
(prototyping).
2. Tahap Formative Evaluation
Tessmer (Plomp, 2007) menyebutkan
tahapan formative evaluation dimulai
dari self evaluation, one to one
evaluation, expert review, small
group, dan field test (Gambar 1).
Bahan ajar operasi bentuk aljabar
yang akan dikembangkan dalam
penelitian ini adalah untuk kelas VII
SMP dengan standar kompetensi
(SK) dan kompetensi dasar (KD)
sesuai Standar Isi pada Kurikulum
2006 (KTSP) seperti pada tabel
berikut.
Tabel 1 SK dan KD Kelas VII SMP
Tentang Aljabar berdasarkan
Kurikulum 2006
Standar Kompetensi
Kompetensi
Dasar
2. Memahami
bentuk aljabar,
persamaan dan
pertidaksamaan
linear satu variabel
2.1 Mengenali
bentuk aljabar
dan unsurunsurnya
2.2 Melakukan
operasi bentuk
aljabar
Gambar 1 Tahapan Formative
Evaluation
Teknik Pengumpulan Data
1. Walk trough dengan pakar
2. Dokumen
3. Tes Uji KOmpetensi
Teknik Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini
dilakukan
secara
kualitatif.
Sugiyono (2009), mengemukakan
533
bahwa aktivitas dalam analisis
kualitatif dilakukan secara interaktif
dan berlangsung terus menerus
sampai tuntas, sehingga datanya
sudah
jenuh.
Aktivitas
dalam
analisis data meliputi data reduction,
data
display,
dan
conclusion
drawing/verivication.
Kriteria Keberhasilan
1. Validitas Bahan Ajar
Kevalidan bahan ajar meliputi aspek
isi, konstruk, dan bahasa.
Aspek isi meliputi:
a. Apakah materi pada bahan ajar
sesuai
dengan
prinsip
dan
karakteristik PMRI?
b. Apakah
topik/konteks
yang
dipilih pada bahan ajar sesuai
untuk materi operasi
bentuk
aljabar?
c. Apakah materi pada bahan ajar
sudah merefleksikan karakteristik
aljabar yang akan dipelajari?
Aspek konstruk meliputi:
a. Apakah materi pada bahan ajar
disusun dengan tepat?
b. Apakah
tujuan
pembelajaran
dinyatakan dengan jelas?
c. Apakah
materi/konteks
pada
bahan ajar sudah tepat untuk
mencapai tujuan pembelaja-ran
yang ditetapkan?
Aspek bahasa meliputi:
a. Menggunakan
bahasa
yang
komunikatif
b. Kalimat tidak memiliki makna
ganda
c. Menggunakan bahasa Indone-sia
yang baik dan benar sesuai
dengan EYD
Bahan ajar dikatakan valid jika
pakar telah menyatakan valid baik
dari aspek isi, konstruk, maupun
dari aspek bahasa.
534
2. Kepraktisan
Terkait kepraktisan, dalam penelitian pengembangan, Akker (1999)
menyatakan: “Practically refers to the
extent that user (or other experts)
consider the intervention as appealing
and usable in ‘normal’ conditions.”
Kepraktisan mengacu pada sejauh
mana
pengguna
(para
ahli)
memandang keterlibatan/penggunaan (bahan ajar) sebagai daya tarik
dan dapat digunakan dalam kondisi
normal.
D. Hasil Penelitian
Pengembangan bahan ajar disusun
melalui
tahapan
preliminary
(persiapan dan pendesainan) dan
tahapan formative evaluation (self
evaluation, expert review, one-to-one,
revisi, small group, revisi, field test,
dan final revision).
1. Tahap Preliminary
Kegiatan pada tahap prelimi-nary
meliputi persiapan dan pendesaian
bahan ajar.
a. Persiapan
Pada tahap ini dilakukan analisis
kurikulum matematika SMP kelas
VII pada topik operasi bentuk
aljabar, analisis aktivitas aljabar
dengan pendekatan PMRI, mengkaji
literatur, mengkaji berbagai hasil
penelitian yang relevan, diskusi
dengan rekan sejawat, konsultasi
dengan expert, dan analisis kebutuhan peserta didik. Keterangan:
kurikulum yang digunakan pada
penelitian ini adalah Kurikulum
2006 (KTSP).
b. Pendesainan
Setelah proses persiapan, peneliti
mendesain dan mengembangkan
bahan ajar, yaitu buku peserta didik,
untuk mempelajari operasi bentuk
aljabar
dengan
menggunakan
pendekatan PMRI. Materi yang dikembangkan
meliputi
operasi
jumlah, kurang, kali, bagi, dan
pangkat pada bentuk aljabar. Desain
pengembangan materi terlihat pada
ice berg berikut (gambar 2 sampai 5)
Gambar 5 Ice Berg Operasi
Pembagian Bentuk Aljabar
Gambar 2 Ice Berg Operasi
Penjumlahan Bentuk Aljabar
Peneliti kemudian menyusun kisikisi pengembangan bahan ajar dan
menyusun draf bahan ajar. Setelah
draft selesai disusun, dilakukan
kegiatan formative evaluation.
1. Self Evaluation
Prototype yang dihasilkan pada
tahapan
pendesainan
dievaluasi
secara
mandiri
untuk
melihat
kelayakan bahan ajar tersebut
berdasarkan isi, konstruk, dan
bahasa. Self evaluation dilakukan
pada tanggal 5-15 Juli 2012 dan
ditemukan beberapa temuan yang
menjadi bahan perbaikan.
Gambar 3 Ice Berg Operasi
Pengurangan Bentuk Aljabar
2. Expert Review
Peneliti berdiskusi dengan pakar
untuk melihat kevalidan bahan ajar
pada aspek isi, konstruk, dan
bahasa. Berbagai masukan yang
diberikan pakar merupakan bahan
untuk
perbaikan
bahan
ajar.
Berdasarkan hasil diskusi pada saat
walk trough, keempat validator
menyimpulkan bahwa bahan ajar
operasi
bentuk
aljabar
dapat
dikatakan valid dan praktis dengan
perbaikan sesuai dengan saran yang
diberikan pada naskah.
3.
Gambar 4 Ice Berg Operasi Perkalian
Bentuk Aljabar
One-to-one
Kegiatan one-to-one dimaksudkan
untuk mengidentifikasi error yang
terdapat pada bahan ajar serta
mengetahui respon langsung dari
535
peserta didik terhadap bahan ajar.
Bahan ajar diujicobakan kepada 3
peserta didik kelas VII SMPN 4
Kebumen, Jawa
Tengah. Pada
kegiatan one-to-one terlihat bahwa
peserta
didik
tertarik
untuk
menyelesaikan permasalahan yang
diberikan, namun beberapa kalimat
dalam bahan ajar kurang sesuai
untuk peserta didik SMP sehingga
sulit dipahami, misal kata “verbal”.
Kesulitan
utama
yang
dialami
peserta didik adalah mengubah
suatu permasalahan yang disajikan
dalam kalimat ke dalam bahasa
matematika (simbol). Peserta didik
membutuhkan waktu yang lama
serta
bantuan
sehingga
dapat
menentukan variabel yang terdapat
dalam suatu konteks permasalahan.
4. Revisi
Berbagai temuan pada kegiatan
expert review dan one to one
merupakan
bahan
perbaikan
prototype I menjadi prototype II.
5. Small Group
Small group dilakukan dengan
tujuan
melihat
kepraktisan
prototype. Kegiatan small group
dilakukan di MTs Al Fatah, Kebumen
dengan 15 peserta didik (gambar 6).
Gambar 6 Kegiatan Small Group
Kegiatan small group dilakukan pada
tanggal 15-20 Oktober 2012. Dari
kegiatan small group diperoleh
beberapa hal sebagai berikut.
536
a. Secara umum alur materi pada
bahan ajar dapat diikuti oleh
peserta didik.
b. Bahasa yang digunakan dapat
dipahami oleh peserta didik
namun beberapa kalimat masih
perlu direvisi kembali.
Simpulan
tersebut
berdasarkan
observasi pada saat kegiatan small
group, analisis hasil pekerjaan
peserta didik, dan komentar yang
diberikan oleh peserta didik.
5. Revisi
Berbagai temuan kegiatan small
group merupakan bahan perbaikan
prototype II menjadi prototype III.
6. Field Test
Field test dilakukan dengan tujuan
untuk melihat outcomes pembelajaran atau efek potensial. Efek
potensial merupakan hasil pembelajaran yang dapat berupa aspek
afektif dan aspek kognitif. Aspek
kognitif berupa hasil yang dicapai
pada uji kompetensi sedangkan
aspek afektif meliputi motivasi,
aktivitas, dan kreativitas peserta
didik. Dalam penelitian ini akan
fokus pada efek potensial terhadap
hasil belajar (kognitif). Kegitan field
test dilaksanakan di SMPN 6 Sekayu
pada tanggal 6-25 November 2012
di kelas VII.1 terhadap 30 peserta
didik. Kegiatan field test dilakukan
dalam 6 pertemuan.
Pada pertemuan ke-1 peserta didik
berkelompok (4-5 orang) untuk
menyelesaikan
permasalahan
tentang unsur-unsur bentuk aljabar
yang meliputi variabel, koefisien,
konstanta, dan suku-suku sejenis.
Konteks yang digunakan adalah
stoples (gambar 7). Peserta didik
diberi berbagai bentuk stoples yang
berbeda jenis dan ukuran. Peserta
didik tidak diberitahu berapa banyak
permen dalam stoples tersebut. Oleh
karena itu, banyak permen dalam
stoples
dinyatakan
dengan
menggunakan variabel atau simbol.
Gambar 7 Konteks untuk Variabel
Dengan digunakannya konteks ini,
peserta didik dapat dengan mudah
memahami
unsur-unsur
dalam
bentuk aljabar.
Pertemuan ke-2 dilaksanakan pada
tanggal 8 November 2012. Peserta
didik mendiskusikan tentang menyatakan suatu permasalahan dalam
bentuk aljabar. Berdasarkan hasil
diskusi dengan rekan sejawat,
menyajikan permasalahan dalam
bentuk aljabar menjadi hal yang
sulit bagi peserta didik. Peserta didik
sulit
memahami
kalimat
dan
mengubahnya
dalam
kalimat
matematika khususnya menentukan
variabel
yang
terdapat
dalam
masalah tersebut. Dengan bimbingan guru peserta didik dapat
memahami
permasalahan
dan
menerjemahkan
permasalahan
dengan menyajikan dalam gambar.
Salah satu cara yang digunakan
peserta didik untuk menjawab
masalah 3 pada test yourself 3 yaitu,
“Berat badan ayah empat kali berat
badan
Dodi
ditambah
4
kg.
Nyatakan berat ayah dalam bentuk
simbol”.
Salah
satu
kelompok
memiliki ide kreatif menerjemahkan
soal
di
atas
adalah
dengan
menggambarkannya sehingga lebih
mudah
membuat
pemodelan
matematika. Salah satu jawaban
peserta didik terlihat pada gambar 8.
Pertemuan ke-3 dilaksanakan pada
tanggal 12 November 2012. Pada
pertemuan
ke-3
peserta
didik
mempelajari operasi penjumlahan
dan pengurangan bentuk aljabar.
Perma-salahan awal yang diberikan
cukup
mudah
yakni
dengan
menyajikan permasalahan dalam
gambar kemu-dian peserta didik
diminta
menyele-saikan
secara
matematis
dengan
menganalisis
penyelesaian dengan menggunakan
gambar. Kegiatan ini cukup efektif
untuk
memahami
konsep
penjumlahan
dan
pengura-ngan
bentuk aljabar.
Pertemuan ke-4 dilaksanakan pada
tanggal 14 November 2012. Peserta
didik mempelajari tentang operasi
perkalian bentuk aljabar. Dengan
bimbingan guru, peserta didik dapat
menyelesaikan permasalahan pada
aktivitas 4 dengan baik. Beberapa
peserta didik menyelesaikan operasi
perkalian bentuk aljabar dengan
menggunakan metode nonformal.
Berikut merupakan salah satu
metode
penyelesaian
yang
digunakan peserta didik untuk
menyelesaikan masalah 1 pada test
yourself (gambar 9).
“Ayah mengukur luas pekarangan
disamping rumah yang berbentuk
persegi
panjang.
Ayah
hanya
memiliki penggaris berukuran 30
cm. Karena tidak memiliki meteran
panjang, ayah mengukur panjang
dan
lebar
pekarangan
dengan
menggunakan sebatang bambu dan
mistar. Panjang pekarangan adalah
15 kali panjang bambu ditambah 5
cm, dan lebarnya 8 kali panjang
bambu
kurang
4
cm.
Jadi,
berapakah luas pekarangan ayah?”
Gambar 8 Salah Satu Jawaban
Peserta Didik pada Aktivitas 2
537
Gambar 9 Salah Satu Jawaban
Peserta Didik Pada Test Yourself 4
Masalah 1
Pertemuan ke-5 dilaksanakan pada
tanggal 19 November 2012. Peserta
didik mempelajari tentang operasi
pembagian dengan menyelesaikan
aktivitas 5 dan test yourself 5. Salah
satu konteks yang diberikan untuk
permasalahan ini adalah pengukuran panjang yang biasa dilakukan
oleh tukang dengan menggunakan
alat tradisional yaitu kayu. Tukang
tersebut hendak mengecat pagar
dengan dua warna berseling. Setiap
bagian warna memiliki panjang yang
sama. Beberapa peserta didik dapat
menyelesaikan permasalahan ini dengan cara nonformal yakni membuat
sketsa hasil pengukuran sehingga
terlihat hasil dari pembagiannya
(gambar 10).
Pertemuan ke-6 dilaksanakan pada
tanggal 20 November 2012. Peserta
didik mempelajari tentang operasi
pangkat bentuk aljabar. Peserta
didik mendiskusikan aktivitas 6 dan
dilanjutkan
mendiskusikan
test
yourself 6. Konteks yang diberikan
antara lain pemasangan ubin persegi
pada suatu ruang. Peserta didik
diminta mengukur luas ruang jika
diketahui banyak ubin yang diperlukan adalah 64 buah dan panjang
. Salah satu jawaban
sisi ubin
peserta didik terhadap permasalahan tersebut terlihat pada gambar
11.
Gambar 11 Salah Satu Jawaban
Peserta Didik pada Test Yourself 6
Secara umum peserta didik antusias
mengikuti kegiatan diskusi kelompok dan kegiatan presentasi. Peserta
didik memiliki keberanian untuk
bertanya jika diperlukan, dan saling
berebut kita guru menawarkan
kelompok mana yang siap memresentasikan hasil diskusi.
Pada akhir kegiatan dilakukan uji
kompetensi
untuk mengevaluasi
keberhasilan peserta didik. Hasil uji
kompetensi terlihat pada tabel 2.
Gambar 10 Salah Satu Jawaban
Peserta Didik Pada Soal Aktivitas 5
538
Tabel 2 Tabel Hasil Uji Kompetensi
E. Pembahasan
1.
Nilai
Frekuensi
Persentase
Ket
80 – 100
14
47%
Baik
Sekali
66 – 79
12
40%
Baik
56 – 65
2
6,7%
Cukup
40 – 55
2
6,7%
Kurang
30 – 39
0
0%
Gagal
Data pada tabel 2, disajikan dalam
diagram batang seperti pada gambar
12 berikut.
Gambar 12 Diagram Hasil Uji
Kompetensi
KKM matematika yang ditetapkan
SMPN 6 Sekayu adalah 75. Dari 30
peserta didik sebanyak 23 peserta
didik mencapai nilai KKM sedangkan
7 peserta didik memperoleh nilai di
bawah KKM. Persentase keberhasilan terlihat dalam diagram pada
gambar 13.
Gambar 13 Diagram Tingkat
Ketercapaian KKM
Pengembangan
Operasi Bentuk
Valid dan Praktis
Bahan
Aljabar
Ajar
yang
Penelitian ini bertujuan untuk
menghasilkan bahan ajar yang valid
dan
praktis.
Melalui
formative
evaluation dapat dihasilkan bahan
ajar yang valid dan praktis. Valid
yang dimaksud adalah validitas isi,
konstruk,
dan
bahasa.
Untuk
menguji validitas isi, konstruk, dan
bahasa peneliti berdiskusi dengan
pakar
yang
merupakan
pakar
pendidikan matematika dan guru
matematika senior. Bahan diskusi
meliputi silabus, desain pengembangan bahan ajar, dan bahan ajar
yang dikembangkan peneliti.
Peneliti mendapat berbagai masukan
sebagai bahan untuk perbaikan
bahan ajar. Masukan yang diberikan
oleh pakar di antaranya konteks
permalasahan ada yang kurang
realistis, intertwine belum nampak
jelas, dan beberapa kalimat perlu
diperbaiki agar lebih komunikatif.
Peneliti berdiskusi dengan pakar
untuk
mendapatkan
solusi
perbaikan. Pakar juga memberikan
saran perbaikan pada naskah draft
bahan ajar. Berbagai masukan menjadi saran perbaikan bahan ajar.
Hasil diskusi dengan keempat pakar
yang terdiri dari 3 dosen dan 1 guru
matematika
senior
disimpulkan
bahwa bahan ajar yang disusun oleh
peneliti telah dinyatakan secara valid
oleh pakar baik pada aspek isi,
konstruk,
dan
bahasa
dengan
perbaikan sesuai dengan saran yang
diberikan pakar.
Kepraktisan mengacu pada sejauh
mana
pengguna
(para
ahli)
memandang keterlibatan/penggunaan (bahan ajar) sebagai daya tarik
dan dapat digunakan dalam kondisi
normal. Kepraktisan dapat dilihat
dari kegiatan small group. Hasil
kegiatan small group memperlihatkan
539
bahwa
peserta
didik
dapat
memahami
bahan
ajar
dan
menggunakannya untuk mempelajari
operasi
bentuk
aljabar.
Hasil
pengamatan kegiatan small group,
portofolio jawaban peserta didik, dan
komentar-komentar peserta didik
(gambar 14), serta hasil diskusi
dengan beberapa peserta didik dapat
disimpulkan bahwa secara umum
peserta didik dapat menggunakan
bahan ajar untuk belajar operasi
bentuk aljabar. Namun demikian,
masih ditemukan ada beberapa
kalimat yang dijumpai masih perlu
diperbaiki sehingga beberapa peserta
didik menanyakan maksud dari soal
tersebut. Hal ini menjadi catatan
untuk peneliti dan menjadi saran
perbaikan bahan ajar.
kemudian menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menggunakan
operasi bentuk aljabar.
Peneliti juga berdiskusi dengan
peserta didik untuk mengetahui
respon dari peserta didik terhadap
bahan ajar. Peserta didik menyatakan bahwa bahan ajar tersebut
dapat membantunya untuk mengenali unsur-unsur bentuk aljabar
dengan baik, dan melakukan operasi
bentuk
aljabar.
Peneliti
juga
meminta komentar peserta didik
terhadap bahan ajar yang dapat
disimpulkan bahwa secara umum
peserta didik senang mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan
bahan ajar tersebut.
Berdasarkan berbagai uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa bahan
ajar operasi bentuk aljabar dengan
menggunakan
pendekatan
PMRI
yang disusun oleh peneliti adalah
valid dan praktis.
2. Efek Potensial Bahan Ajar Operasi
Bentuk Aljabar terhadap Hasil
Belajar
Gambar 14 Komentar Peserta Didik
Terhadap Bahan Ajar
Selain itu, kegiatan field test juga
memperlihatkan bahwa bahan ajar
yang
disusun
peneliti
dapat
digunakan oleh peserta didik untuk
belajar operasi bentuk aljabar. Hasil
analisis portofolio peserta didik
menunjukkan bahwa peserta didik
dapat mengikuti alur konsep yang
dibangun pada bahan ajar. Melalui
konteks yang diberikan pada bahan
ajar, peserta didik dapat memahami
pengertian variabel sehingga saat
mendapati soal cerita peserta didik
dapat dengan segera mengenali
variabel pada soal tersebut dan
menyatakannya
dalam
bentuk
simbol
(pemodelan
matematika)
540
Melalui kegiatan field test diperoleh
outcomes yang dapat berupa aspek
afektif
ataupun
kognitif.
Efek
potensial merupakan suatu kondisi
yang dihasilkan setelah melalui
suatu proses tertentu. Efek potensial
dalam proses pembelajaran meliputi
dua aspek yaitu kognitif dan afektif.
Aspek kognitif dapat dianalisis dari
hasil portofolio perserta didik yang
berupa hasil pekerjaan peserta didik
selama proses pembelajaran dan
hasil
evaluasi
pembelajaran.
Sedangkan aspek afektif dapat
dilihat melalui kegiatan pengamatan
dan wawancara. Dalam penelitian ini
akan dianalisis efek potensial bahan
ajar operasi bentuk aljabar terhadap
hasil belajar.
Data hasil uji kompetensi menunjukkan bahwa 47% peserta didik
memperoleh kategori hasil belajar
baik
sekali,
40%
memperoleh
kategori baik, 6,7% kategori cukup,
dan 6,7% kategori kurang.
Dari
distribusi nilai tersebut, sebanyak
77% peserta didik lulus KKM yang
telah
ditetapkan
yaitu
75.
Berdasarkan analisis hasil ujian
kompetensi ketercapaian soal A1
sebanyak 97%, soal A2 sebanyak
82%, soal A3 sebanyak 75%, soal B1
sebanyak 72%, soal B2 sebanyak
50%, dan soal B3 sebanyak 78%.
Berdasarkan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa peserta didik
dapat menyelesaikan permasalahan
A1, A2, A3 dengan baik, yaitu
tentang
menyajikan
suatu
permasalahan dalam bentuk aljabar.
Peserta
didik
sudah
dapat
menentukan variabel dalam suatu
permasalan
dan
menyajikannya
dalam bentuk simbol. Soal B1 dan
B3 tentang operasi jumlah, kurang,
kali, bagi, dan pangkat juga dalam
kategori baik. Sedangkan soal B2
menun-jukkan
bahwa
sebagian
besar
peser-ta
didik
masih
mengalami kesulitan. Hasil analisis
portofolio jawaban peserta didik
menunjukkan bahwa
masih ada
peserta didik yang kurang hati-hati
dalam
menyelesaikan
operasi
pengurangan yang menggu-nakan
tanda kurung (salah satu jawaban
terlihat pada gambar 15).
Gambar 15 Salah Satu Jawaban
Peserta Didik Soal Uji Kompetensi
No.B2
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa bahan ajar operasi
bentuk aljabar sangat membantu
peserta didik untuk memahami
konsep variabel dan penggunaan
simbol yang selama ini menjadi
permasalahan utama bagi sebagian
besar
peserta
didik
dalam
mempelajari bentuk aljabar. Peserta
didik juga dapat menyatakan suatu
kondisi dalam bentuk aljabar, dan
menyelesaikan
operasi
jumlah,
kurang, kali, bagi, dan pangkat
namun beberapa peserta didik
kurang hati-hati ketika menyelesaikan operasi pengurangan bentuk
aljabar yang berkaitan dengan tanda
kurung.
F. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Melalui
tahapan
persiapan
(analisis dan pendesainan) dan
formative
evaluation
(expert
review, one-to-one, revisi, small
group, revisi, dan field test) telah
dihasilkan bahan ajar yang valid,
praktis, dan efektif. Kevalidan
bahan ajar dinyatakan oleh expert
yang menilai bahan ajar dari
aspek isi, konstruk dan bahasa
dengan memperbaiki sesuai saran
yang diberikan. Kepraktisan ditunjukkan dari kegiatan small
group yakni peserta didik dapat
menggunakan
bahan
ajar
tersebut. Sedangkan melalui field
test dapat diketahui efek potensial
bahan ajar terhadap hasil belajar.
b. Pembelajaran
operasi
bentuk
aljabar
dengan
menggunakan
bahan ajar yang menggunakan
pendekatan PMRI memberikan
efek potensial terhadap hasil
belajar.
Hasil
evaluasi
menyatakan bahwa sebanyak 77%
peserta didik mencapai KKM yang
ditetapkan sekolah SMP N 6
Sekayu yaitu 75. Sedangkan
kualifikasi ketercapaian sebanyak
47% peserta didik memperoleh
kategori hasil belajar baik sekali,
40% kategori baik, 6,7% kategori
cukup, dan 6,7% kategori kurang.
541
Peserta didik dapat mengenali
variabel,
menyatakan
suatu
kondisi dalam bentuk aljabar, dan
melakukan operasi bentuk aljabar
dengan baik namun masih kurang
hati-hati saat melakukan operasi
pengurangan bentuk aljabar yang
menggunakan tanda kurung.
2. Saran
a. Diperlukan pengembangan bahan
ajar dengan pendekatan PMRI
pada materi aljabar lainnya
sehingga peserta didik dapat lebih
mudah
memahami
konsep
matematika.
a. Diperlukan penelitian lebih lanjut
tentang
permasalahanpermasalahan
yang
dialami
peserta didik dalam menyelesaikan operasi bentuk aljabar
khususnya penyelesaian operasi
pengurangan
bentuk
aljabar.
DAFTAR PUSTAKA
Akker, J..(1999).
Principles and Methods of Development Research. Diambil dari
http://www.heybradfords.com/FormativeResearchInstructionalUnit/Van%20der%20Akk
er%20Ch1.pdf pada tanggal 26 Maret 2012
Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas
Depdiknas. (2008). Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Depdiknas
Drijvers, P. (2011). Secondary Algebra Education. Rotterdam: SensePubliser
Employment Ontario. (2011). Foundation of Learning Materials. Diambil dari
http://www.tcu.gov.on.ca/eng/eopg/publications/OALCF_Foundations_of_Learning_
Materials_March_2011.pdf pada tanggal 18 Mei 2012
Gravemeijer, K., & Terwel, J. (2002). Hans Freudenthal: a Mathematician on Didactics
and Curriculum Theory . Curriculum Studies, 2000, VOL. 32, NO. 6, 777± 796.
Gravemeijer, K. (2004). Creating Opportunities for Students to Reinvent Mathematics.
Diambil
dari
http://www.icme10.dk/proceedings/pages/regular_pdf/RL_
Koeno_Gravemeijer.pdf pada tanggal 15 April 2012
Hadi, S. (2005). Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Tulip
Krismanto. (2004). Aljabar. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Penataran Guru
Matematika.
MacGregor, Mollie, & Stacey, K. (1994). Progress In Learning Algebra: Temporary
And Persistent Difficulties. University of Melbourne. Australian Research Council .
Diambil
dari
http:// www.m erga.net.au/documents/
RP_MacGregor_Stacey_1994.pdf pada tanggal 18 Mei 2012
Plomp & Nieveen.( 2007). An Introduction to Educational Design Research. Proceedings
of the seminar conducted at the East China Normal University, Shanghai (PR China),
November 23-26, 2007.: SLO •Netherlands institute for curriculum development
Sugiyono. (2009). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Bandung
Wardhani, S. (2004). Permasalahan Kontekstual Mengenalkan Aljabar di SMP.
Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Matematika
Wijers, M. M. How to deal with Algebraic Skills in Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia?.Freudenthal
Institute,
The
Netherlands.
Diambil
dari
www.fi.uu.nl/publicaties/literatuur/4466.pdf pada tanggal 10 Maret 2012
Zulkardi.(2000). How to Design Mathematics Lessons Based on the Realistic Approach.
Diambil dari http://www.reocities.com/ratuilma/PMRI.html pada tanggal 20 April
2012
542
REPRESENTASI SOAL KE GAMBAR DALAM SETTING
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA SISWA
KELAS VII SMP
Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya, M.Pd.
SMP Negeri 1 Singaraja
Abstract. This action research aims to increase student’s achievement in solving
word problems. The learning model involves providing experience for students to
represent problems by pictures or diagrams in problem-based learning setting. The
research was conducted in three cycles, with three topics, namely: "scaled picture”,
“direct proportion”, and “inverse proportion”. The mean score increased from cycle I to
cycle II as follow: 77.2, 80.0, and 79.1. The questionnaire results show that students
change their opinion about the learning model from negative to positive and from
positive to very positive. These findings indicate that the action has been successfully
applied to improve students’ skills in solving word problems.
Keywords: picture representation, problem-based learning, word problem
1. Pendahuluan
Kelemahan paling menonjol yang
tampak pada siswa kelas VII A4 SMP
Negeri 1 Singaraja tahun pelajaran
2012/2013 berkaitan dengan pelajaran
matematika
adalah
kekurang-mampuannya
menjelaskan kembali cara yang
digunakan dalam menyelesaikan
permasalahan
mate-matika.
Walaupun
siswa
dapat
menyelesaikan permasalahan matematika
dengan
benar,
namun
mereka tidak dapat memberikan
alasan mengapa cara itu dipilih dan
mengapa
langkah-langkah
penyelesaiannya se-perti itu. Salah
satu penyebab dari kelemahan siswa
dalam
ber-argumentasi
adalah
kebiasaan mereka dalam mencontoh
atau mencontek cara orang lain.
Berdasarkan pengamatan awal, lebih
dari 60% siswa mengikuti bimbingan
belajar di luar sekolah, ada yang
mengikuti bimbingan belajar secara
berkelompok dan ada pula yang dibimbing secara individual dengan
mendatangkan guru ke rumahnya.
Keikutsertaan
siswa
dalam
bimbingan belajar secara otomatis
mereka memperoleh trik-trik singkat
dalam menjawab soal. Akibatnya
sebagian siswa mengandalkan triktrik singkat dalam menjawab soal
ulangan
di
sekolah
tanpa
memperdulikan konsep matematika
yang mendasarinya.
Seperti
diketahui,
lembaga
bimbingan belajar umumnya lebih
menekankan
strategi
menjawab
singkat
daripada
pembahasan
konsep.
Sebagai
contoh
permasalahan
yang
berkaitan
dengan skala, untuk mencari ”Jarak
Se-benarnya” (JS), siswa cenderung
menggunakan trik: ”Jarak pada Peta”
(JP) dikalikan dengan ”Skala” (S)
atau dirumuskan:
JS = JP x S
(1)
Dalam hal ini nilai S hanya diambil
nilai perbesarannya (misalnya: skala
peta
1:100000
hanya
diambil
100000). Itu berarti siswa tidak
menggunakan konsep skala yang
543
sebenarnya.
Dengan
demikian
rumus itu tentu saja menyalahi
konsep, sebab yang benar adalah:
JS = JP:S.
(2)
Akibat
dari
kebiasaan
siswa
menjawab soal dengan trik, mereka
tidak dapat menjelaskan kembali
maksud dari langkah per langkah
penyelesaian yang ditulisnya sendiri.
Selain itu, siswa yang sebelumnya
dapat men-jawab suatu jenis soal
dengan
gampang, setelah
soal
tersebut di-modifikasi oleh guru,
mereka menjadi bingung dan kurang
percaya diri. Walaupun perubahan
soal hanya sebatas membalik bagian
yang di-ketahui dengan bagian yang
di-tanyakan, siswa tidak lagi dapat
menggunakan trik-trik yang dimilikinya. Hal ini terutama dialami
siswa ketika menjawab soal-soal
cerita. Selain itu, kegiatan menghafal
trik-trik yang jumlahnya banyak itu
tidak gampang (Harahap, B. & S.T.
Negoro, 1994).
Di
sisi
lain,
Pokok
Bahasan
”Perbandingan” yang muncul di
kelas VII semester ganjil sarat
dengan soal cerita. Soal-soal latihan
yang di-tampilkan baik pada buku
paket maupun pada LKS, yang berhubungan
dengan
konsep
”Perbandingan”, lebih dari 90%
merupakan soal-soal cerita yang
bersifat kontekstual. Sementara,
sebagian
besar
siswa
kurang
menyenangi soal cerita, karena sebelum menjawab mereka harus
mampu mengupas isi cerita, memikirkan masalah yang harus dipecahkan, menemukan unsur-unsur
pendukung
yang
diberikan,
kemudian
mencari
solusinya.
Sebagai gambaran, hasil ulangan
siswa kelas VII SMPN 1 Singaraja
tahun sebelumnya yang berkaitan
dengan ”Perbandingan”, sebagian
besar di bawah 75, dengan rata-rata
kelas berkisar 65,42 s.d 73,71.
Hanya siswa kelas VIIA1 (kelas
unggulan) yang memiliki rata-rata
kelas sebesar 79,04.
544
Bertolak dari fenomena tersebut, dicoba dilakukan peningkatan kemampuan
siswa
dalam
menyelesaikan soal cerita dengan
cara menyeder-hanakan kalimatkalimat yang panjang dan berbelitbelit ke dalam gambar sederhana.
Kemampuan
me-representasikan
soal ke dalam bentuk gambar, selain
dapat menyeder-hanakan persoalan,
juga dapat menggiring konsentrasi
dan mengu-rangi kebosanan siswa
terhadap soal-soal verbalitas.
Berkaitan dengan latar belakang
permasalahan tersebut di atas,
dalam penelitian ini diangkat dua
masalah
pokok,
yaitu:
(1)
bagaimanakah
pe-ngalaman
merepresentasikan soal ke dalam
bentuk
gambar
dalam
setting
pembelajaran
berbasis
masalah
dapat meningkatkan kemampuan
siswa dalam menyelesaikan soal
cerita?, (2) bagaimanakah tanggapan
siswa ter-hadap model pembelajaran
ini?
2. Metodologi Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian
tindakan kelas (classroom action
research). Dengan demikian dalam
pelaksanaannya
menggunakan
model siklus, yang setiap siklusnya
terdiri
atas
empat
kegiatan
(mengikuti model Kemmis & Tagart),
yaitu:
perencanaan
(planning),
pelaksanaan
(acting),
observasi
(observing), dan refleksi (reflecting).
Penelitian ini dilakukan di SMP
Negeri 1 Singaraja pada semester
ganjil tahun pelajaran 2012/2013.
Sebagai subjek penelitian adalah
siswa kelas VIIA4 SMP Negeri 1
Singaraja. Di-pilihnya kelas VIIA4
SMP Negeri 1 Singaraja sebagai
subjek
penelitian
berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut: (1)
kelas VIIA4 merupakan kelas dengan
kemampuan matematika terendah di
antara empat kelas yang menjadi
beban tugas mengajar pe-neliti, (2)
berdasarkan refleksi awal, kelas
VIIA4 memiliki kemampuan rendah
dalam menyelesaikan soal cerita, (3)
sebagian besar (lebih dari 65%)
siswa
kelas
VIIA4
kurang
menggemari pelajaran matematika.
Pada tahap perencanaan, peneliti
melakukan
persiapan
sebagai
berikut: (1) bersama-sama guru
serumpun berdiskusi tentang topik
pelajaran dan kesesuaiannya dengan
tindakan yang akan dilakukan,
dalam
hal
ini
menyangkut
“Perbandingan”., (2) melapor kepada
kepala sekolah tentang penelitian
tindakan kelas yang akan dilakukan
di kelas VII A4 pada semester ganjil
tahun ajaran 2012/2013, (3) selain
menyiapkan administrasi standar,
guru juga menyiapkan instrumen
penelitian, seperti: tes kemampuan
me-nyelesaikan
soal
cerita,
kuesioner untuk merekam pendapat
siswa tentang pembelajaran, dan
media pendukung pembelajaran.
Ber-dasarkan RPP yang disusun,
pembagian
siklusnya
meliputi
pokok-pokok bahasan seperti tertera
pada tabel berikut:
Tabel 1 Pembagian Siklus, Materi
Bahasan dan Alokasi Waktu
Siklus
ke
I
II
III
Materi
(pokok
bahasan)
Gambar
Berskala
Perbandingan
Senilai
Perbandingan
Berbalik Nilai
Total waktu
Alokasi
waktu
4×40 menit
(2×pertemuan)
4×40 menit
(2×pertemuan)
4×40 menit
(2×pertemuan)
12×40 menit
(6×pertemuan)
Catatan:1 jam pelajaran=40 menit.
Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pemberian pengalaman mengubah soal ke dalam
bentuk gambar pada setting pembelajaran berbasis masalah. Dalam
pelaksanaannya di kelas, langkahlangkah pembelajaran dalam setiap
pertemuannya (selama 2×40 menit)
secara garis besar dapat disebutkan
sebagai
berikut:
(1)
guru
memperbaiki
miskonsepsi
yang
mungkin terjadi sebelumnya, (2)
informasi
tentang
tujuan
pembelajaran
hari
itu
serta
penjelasan singkat tentang langkahlangkah pembelajaran yang akan
dilaksanakan, (3) Pembentukan kelompok-kelompok kecil, yang terdiri
atas 4-5 orang tiap kelompok, (4)
Kegiatan eksplorasi diawali dengan
pengajuan
permasalahan
untuk
dipecahkan,
(5)
Siswa
mendiskusikan masalah tersebut
pada kelompoknya masing-masing,
(6) Kegiatan elaborasi dimulai
dengan pemberian masalah sejenis
dengan masalah yang telah dipecahkan sebelumnya, (7) ditunjuk
beberapa kelompok secara bergiliran
untuk
mempresentasikan
hasil
diskusinya di depan kelas, yang ditanggapi oleh kelompok lainnya,
serta diberi penguatan atau koreksi
oleh guru, sebagai bagian dari kegiatan
konfirmasi,
(8)
siswa
mengerjakan
tes
akhir,
yang
hasilnya untuk melihat keberhasilan
pembelajaran hari itu.
Jenis
data
yang
dikumpulkan
meliputi kemampuan siswa dalam
me-nyelesaikan soal cerita dan
pendapat
siswa
tentang
pembelajaran.
Data
tentang
kemampuan menyelesaikan soal
cerita dikumpulkan dengan tes
dalam bentuk uraian (essai). Setiap
menyelesaikan
satu
penggalan
materi, guru memberi ulangan
kepada
siswa.
Jadi,
selama
penelitian ini, yang dipilah menjadi
tiga siklus, ada tiga kali ulangan.
Sedangkan data tentang pendapat
siswa
dikumpulkan
dengan
kuisioner.
Kegiatan
refleksi
dilaksanakan
dengan acuan hasil observasi. Data
yang diperoleh pada tahap observasi,
kemudian dianalisis untuk melihat
sejauh mana terjadi peningkatan
kemampuan
siswa
dalam
me-
545
nyelesaikan soal cerita. Selain itu,
juga dilihat pendapat siswa terhadap
model
pembelajaran
yang
diterapkan. Kelemahan-kelemahan
yang dapat ditemukan pada siklus I
menjadi acuan perbaikan pada
siklus II, demikian pula untuk
perbaikan tindakan pada siklus III,
berdasarkan kelemahan-kelemahan
pada siklus II.
Analisis data dalam hal ini menggunakan metode deskriptif kualitatif
dan kuantitatif. Untuk data tentang
pendapat siswa menggunakan model
Likert dengan empat option. Adapun
konversi nilainya mengikuti kriteria
yang dekemukakan Sadra (2007),
yaitu seperti tabel berikut.
Tabel 2 Kriteria penilaian pendapat
siswa terhadap pembelajaran
Skor
3,5 ≤ Sr ≤ 4,0
2,5 ≤ Sr < 3,5
1,5 ≤ Sr < 2,5
1,0 ≤ Sr < 1,5
Kriteria
Sangat positif (Sangat
Senang)
Postif (Senang)
Negatif (Tidak Senang)
Sangat Negatif (Sangat
Tidak Senang)
Sedangkan untuk data kemampuan
menyelesaikan soal cerita, yang
memang berupa angka-angka, dianalisis secara kuantitatif. Perhitungan
matematika
yang
digunakan sampai pada rata-rata
hitung,
per-sentase,
ketuntasan
belajar klasikal.
Kiteria keberhasilan dari tindakan
yang diangkat dalam penelitian ini
ada dua, yaitu: (1) berdasarkan
KKM=75, siswa yang memperoleh
nilai tuntas (≥75) pada akhir siklus
III minimal 85%, (2) pada akhir
siklus III, minimal 85% siswa
memiliki pendapat positif dan sangat
positif terhadap pembelajaran. Perlu
diketahui bahwa KKM untuk KD
yang
berkaitan
dengan
”Perbandingan”
sebesar
75,
sedangkan KKM mata pelajaran
matematika kelas VII SMP Negeri 1
Singaraja sebesar 80.
546
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian
Sesuai perencanaan, setiap siklus
dalam penelitian ini melewati empat
tahapan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan
refleksi. Pada tahap pelaksanaan
(acting), guru melaksanakan pembelajaran di kelas yang berorientasi
pada tindakan yang dipilih. Bagian
yang menarik dalam hal ini adalah
proses pengubahan soal cerita ke
dalam gambar. Langkah ini sebagai
bagian dari upaya peningkatan
pemahaman siswa terhadap masalah
dan untuk memfokuskan pikiran
siswa dalam menemukan solusinya.
Sebagai contoh masalah tentang
hubungan antara ukuran pada
model dan ukuran sebenarnya suatu
pesawat udara. Guru mengajak
siswa untuk membuat dua sketsa
pesawat
udara.
Sketsa
kecil
dianggap modelnya dan sketsa besar
dianggap pesawat sebenarnya.
15 cm
2 cm
45 m
?
Gambar 1 Representasi ke gambar
Pelaksanaan
pembelajaran
pada
siklus I menemukan beberapa
kendala, antara lain: (1) sebagian
besar siswa masih ragu-ragu dalam
memecahkan
masalah
yang
diberikan guru. Mereka lebih banyak
menunggu arahan guru daripada
berusaha me-nemukan solusi secara
mandiri, (2) beberapa siswa tidak
mau mengubah soal ke dalam
gambar. Mereka lebih memilih
menggunakan
trik-trik
sing-kat
daripada
menuliskan
tahapantahanpan penyelesaian yang dianggapnya terlalu panjang, (3)
jalannya diskusi pada beberapa
kelompok masih sangat belum
efektif. Ditinjau dari pendapat siswa
tentang
pembelajaran,
sebagian
besar siswa telah berpendapat positif
terhadap model pembelajaran yang
diterapkan guru.
Siklus
II
mengangkat
topik
”Perbandingan Senilai”. Perbaikanperbaikan yang dilakukan pada
siklus ini meliputi: (1) untuk
mengurangi keragu-raguan siswa
dalam me-mecahkan masalah yang
diberikan,
guru
menyampaikan
batasan waktu secara jelas dan
memberi bonus nilai pada setiap
kemajuan yang dicapai siswa dalam
menyelesaikan masalah, (2) untuk
memotivasi
dan
mem-biasakan
siswa mengubah soal ke dalam
gambar, guru memodifikasi soal
sedemikian rupa agar siswa tidak
secara
langsung
dapat
menggunakan trik menjawab yang
telah
dimilikinya,
(3)
untuk
mengefektifkan jalannya diskusi dan
agar
siswa
fokus
terhadap
permasalahan, guru memberi nilai
kepada siswa berdasarkan konsentrasi dan keterlibatannya dalam
diskusi.
Walupun hasil tes dan pendapat
siswa tentang model pembelajaran
terjadi peningkatan, pada siklus ini
juga ditemukan beberapa kendala,
yaitu: (1) gambar-gambar yang
dibuat
siswa
masih
sangat
kompleks, sehingga tidak efesien
dalam
penggunaan
waktu,
(2)
percepatan diskusi pada masingmasing
kelompok
tidak
sama,
karena ada kelompok yang semua
anggotanya siswa-siswa pintar, (3)
Soal
serupa
yang
dimodifikasi
dengan cara pengubahan setting
cerita, sering menjadikan siswa
bingung.
Dari hasil refleksi siklus II, pada
siklus III bagian yang diperbaiki
adalah sebagai berikut: (1) Disarankan oleh guru agar gambargambar yang dibuat siswa tidak
terlalu kompleks, sehingga dapat
lebih efesien dalam penggunaan
waktu, (2) Agar percepatan diskusi
pada
masing-masing
kelompok
menjadi sama, cara pengelompokan
diubah
agar
tiap
ke-lompok
kemampuannya seimbang, (3) Soal
serupa yang dimodifikasi dengan
cara pengubahan angka dan redaksi
kalimatnya,
bukan
mengubah
setting.
Dengan perbaikan tersebut, ternyata
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Hal ini terindikasi dari
semakin banyaknya siswa berpendapat positif dan sangat positif
terhadap model pembelajaran yang
diterapkan. Dilihat dari hasil tes
kemampuan menyelesaikan soal
cerita, pada siklus III memang
terjadi penurunan skor rata-rata dibandingkan siklus II. Hal ini
bukanlah berarti kegagalan dari
perbaikan tindakan yang dilakukan,
melainkan memang karakteristik
konsep
”Perbandingan
Berbalik
Nilai” relatif lebih sulit dibandingkan
”Per-bandingan Senilai”.
Dilihat dari perkembangan hasil
tindakan dari siklus ke siklus, baik
tentang kemampuan siswa dalam
menyelesaikan soal cerita maupun
frekuensi siswa yang berpendapat
positif dan sangat positif tentang
pembelajaran,
mengalami
peningkatan dari siklus I ke siklus II.
Pendapat siswa tentang model
pembelajaran lebih baik lagi pada
siklus III dibandingkan siklus II.
Sedangkan khusus untuk hasil tes
kemampuan menyelesaikan soal
cerita, pada siklus III lebih rendah
dibandingkan siklus II. Untuk jelasnya perhatikan tabel berikut.
547
Tabel 3 Perkembangan kemampuan
siswa dalam menyelesaikan soal
cerita
dari siklus ke siklus
Uraian
Jumlah
skor
Rerata
Ketunt.
Skl. I
Skl. II
Skl. III
2162
77,2
92.86%
2240
80,0
96.43%
2214
79,1
96,43%
Dilihat dari skor rata-rata, siklus I
sebesar 77,2, kemudian meningkat
menjadi 80,0 pada siklus II. Ini
berarti terjadi peningkatan skor
rata-rata sebesar 2,8. Sedangkan
pada siklus III, skor rata-rata siswa
menurun menjadi 79,1, yang berarti
terjadi penurunan sebesar 0,9
dibandingkan skor rata-rata siswa
pada siklus II. Jika dibandingkan
siklus I, masih lebih tinggi skor ratarata pada siklus III, yaitu terpaut
sebesar
1,9.
Walaupun
dibandingkan siklus II, pada siklus
III terjadi penurunan kemampuan
siswa dalam menye-lesaikan soal
cerita, bukan berarti perbaikan
tindakan dalam pem-belajaran gagal.
Jika
dicermati
lebih
seksama,
penurunan ini secara dominan
disebabkan oleh perbedaan tingkat
kesulitan materi bahasan.
Dilihat dari pendapat siswa tentang
model
pembelajaran
yang
diterapkan,
tampak
terjadi
peningkatan frekuensi siswa yang
berpendapat positif dan sangat
pesitif, baik dari siklus I ke siklus II,
maupun dari siklus II ke siklus III.
Untuk jelasnya perhatikan tabel
berikut.
Tabel 4 Pendapat siswa tentang
model pembelajaran dari siklus ke
siklus
No
2
3
4
Unsur
Representasi
ke gambar
Kesesuaian
tugas-tugas
Penilaian
terhadap
matematika
Rata-rata
Siswa Berpendapat Positif
dan Sangat Positif
Siklus Siklus Siklus
I (%)
II (%) III (%)
50
100
100
100
100
100
96,43
100
100
83,03
100
100
Catatan: data persentase jumlah
pendapat positif dan sangat positif
Dari tabel tersebut dapat diketahui
bahwa pada siklus I hanya 85,71%
siswa berpendapat positif dan sangat
positif menyangkut pemberian masalah-masalah
kontekstual
oleh
guru. Itu berarti 4,29% siswa masih
berpendapat
negatif
terhadap
masalah kontekstual yang disajikan
guru. Pendapat siswa tentang merepresentasikan
soal
ke
bentuk
gambar, baru 50% siswa yang
berpendapat positif dan sangat
positif, yang berarti 50% lagi masih
berpendapat negatif. Dari empat
aspek yang ditanyakan, hanya aspek
“kesesuaian tugas” yang langsung
dinilai positif oleh 100% siswa.
Pada siklus II frekuensi siswa yang
berpendapat positif dan sangat
positif
meningkat
dibandingkan
siklus I. Bahkan pada semua aspek,
100% siswa berpendapat positif dan
sangat positif. Demikian pula pada
siklus III, semua aspek dinilai positif
oleh 100% siswa. Pada siklus III,
siswa yang berpendapat sangat
positif lebih banyak dibandingkan
pada siklus II. Hal ini menunjukkan
bahwa
semakin
tingginya
persetujuan siswa terhadap model
pembelajaran yang diterapkan.
Pembahasan
No
1
Unsur
Masalah
kontekstual
548
Siswa Berpendapat Positif
dan Sangat Positif
Siklus Siklus Siklus
I (%)
II (%) III (%)
85,71 100
100
Terjadinya peningkatan frekuensi
siswa yang berpendapat positif dan
sangat
positif
terhadap
model
pembelajaran, tidak lepas dari kegiatan merepresentasikan soal ke
bentuk gambar dalam setiap proses
penyelesaian soal. Soal-soal yang
kompleks dengan kalimat yang
panjang dan berbelit-belit dapat disederhanakan
dengan
gambar,
grafik, atau sketsa sederhana. Hal
ini
men-jadikan
siswa
dapat
merasakan bahwa persoalan yang
rumit dapat dibuat simpel dengan
menggambarkannya
secara
sederhana. Akhirnya mereka sampai
pada kesimpulan bahwa pe-lajaran
matematika bukanlah pe-lajaran
yang sulit dan tidak perlu ditakuti.
Dengan pandangan seperti itu, siswa
tentunya
mulai
menyenangi
pelajaran matematika. Mereka telah
dapat mengubah image matematika
dari
pelajaran
sulit
menjadi
pelajaran yang mudah dan menarik,
bahkan pelajaran yang memancing
rasa ingin tahu.
DePorter,
B.,
et.al.
(1999)
menyatakan bahwa kegembiraan
anak penting artinya dalam belajar,
agar anak bersangkutan dapat lebih
mudah menerima pelajaran. Seiring
dengan pendapat tersebut, dengan
ditam-pilkannya
gambar-gambar
ilustrasi dan gambar penjelas dalam
pem-belajaran, kegembiraan siswa
me-ningkat, yang berarti pula memudahkan bagi mereka dalam menerima pelajaran. Dengan demikian
tindakan yang diberikan pada penelitian ini wajar memberi dampak
pada peningkatan kegemaran siswa
terhadap matematika dan terjadinya
peningkatan pada aspek penalaran
dan komunikasi matematika.
Selain itu, penerapan pembelajaran
berbasis masalah, yang dalam hal
ini
difokuskan
pada
masalah
kontekstual
yang
diintegrasikan
dengan gambar, telah memberikan
hasil berupa peningkatan penalaran
siswa ter-hadap persoalan-persoalan
yang
berhubungan
dengan
”Perbandingan”. Sajian soal sejenis
secara berulang (dengan modifikasi
ringan), yang di-tampilkan dalam
bentuk
gambar,
tentunya
menambah keyakinan siswa akan
kebenaran
jawabannya,
yang
selanjutnya
menciptakan
rasa
percaya
diri
siswa.
Ditambah
pengerjaan
tugas
secara
berkelompok
telah
menambah
semangat dan menciptakan iklim
ker-jasama dan saling membantu.
Kondisi seperti ini juga mampu
menghi-langkan kebosanan dan rasa
jenuh dalam belajar matematika.
Pengu-langan
pengerjaan
soal
sejenis mem-perkuat daya ingat
siswa,
karena
cara-cara
penyelesaian diterapkan berulang
kali, secara tidak langsung siswa
menjadi
hafal
cara
menyelesaikannya. Tetapi perlu diingat bahwa kekuatan daya ingat
siswa dalam hal ini bukan sematamata karena mereka hafal, namun
secara dominan disebabkan oleh
kuatnya pemahaman mereka ketika
menyelesaikan persoalan tersebut.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Roestiyah,
N.K.
(1982),
yang
menyatakan bahwa pengulanganpengulangan dapat di-wujudkan
guru berupa pemberian latihanlatihan (latihan secara ber-ulang)
menyelesaikan soal kepada siswa,
agar pengetahuan dan pema-haman
siswa tentang materi pelajaran lebih
mantap dan mendalam.
Merepresentasikan soal ke dalam
gambar tidak bertentangan dengan
teori
belajar
Bruner,
yang
menyatakan bahwa tahapan belajar
matematika
hendaknya
diawali
dengan
enaktif,
kemudian
dilanjutkan ikonik, dan be-rikutnya
disambung
dengan
simbolik.
Kegiatan merepresentasikan soal ke
dalam
bentuk
gambar
ini
sebenarnya bersifat kompleks, di
dalamnya telah masuk kegiatan
enaktif, ikonik, maupun simbolik.
Pada saat siswa mencoba-coba
membuat bentuk-bentuk yang cocok
sebagai
gambaran
dari
permasalahan yang sedang dihadapi,
siswa telah masuk pada tahapan
549
enaktif. Selain tangannya aktif
membuat goresan-goresan membuat sketsa, desain, atau bentukbentuk yang sesuai, pikirannya pun
juga bekerja. Jadi, siswa memulai
dengan
aktivitas
menciptakan
gambar-gambar yang sesuai untuk
persoalan
yang
dihadapi.
Selanjutnya,
ketika
menghadapi
persoalan serupa (karena diterapkan
pengulangan atau drill), siswa tidak
perlu lagi membuat gambar yang
utuh, namun cukup di-buat sketsa
sederhana, sekedar dapat dimengerti
oleh dirinya sendiri. Dengan kata
lain siswa hanya membuat tandatanda
seperlunya
saja
untuk
mengantarkan pikirannya da-lam
memecahkan
masalah.
Dengan
demikian bagian ini telah masuk
pada tahapan ikonik. Jika siswa
telah
me-mahami
betul
cara
menyelesaikan
permasalahan
tersebut, ia kemudian memikirkan
teknik menjawab singkat dengan
menyusun trik-trik atau rumusrumus sesuai dengan hasil-hasil
yang diperolehnya pada latihan
sebelumnya. Bagian terakhir ini
telah dapat digolongkan sebagai
tahapan simbolik. Jadi, kegiatan
merepre-sentasikan soal ke dalam
bentuk gambar telah mendukung
teori
belajar
Bruner.
Dengan
demikian, wajarlah tindakan ini
telah
memberi
hasil
berupa
peningkatan
kemampuan
menyelesaikan soal cerita dan perubahan pendapat siswa tentang
model pembelajaran, dari negatif
menjadi positif dan dari positif
menjadi sangat positif.
4. Penutup
Berdasarkan
kajian
teori
dan
analisis data empirik seperti yang
telah
diuraikan
pada
bab-bab
sebelumnya, dapat diambil dua
simpulan
utama.
Pertama,
pengalaman merepre-sentasikan soal
ke dalam bentuk gambar dalam
setting
pembelajaran
berbasis
550
masalah
dapat
meningkatkan
kemampuan siswa kelas VIIA4 SMP
Negeri 1 Singaraja dalam menyelesaikan
soal
cerita.
Peran
gambar dalam hal ini selain dapat
me-nyederhanakan
permasalahan,
mem-fokuskan perhatian siswa, mengarahkan alur berpikir siswa, juga
dapat menstimuli siswa untuk
mencari permasalahan serupa serta
menyelesaikannya. Kedua, tindakan
yang
diberikan
ini
dapat
memperbaiki
pendapat
siswa
tentang model pembelajaran. Dari
siklus I sampai siklus III frekuensi
siswa yang memberi pendapat posisif
dan sangat positif terhadap model
pembelajaran
mengalami
peningkatan. Pada akhir siklus III,
100% siswa memberi pendapat
positif terhadap model pembelajaran
yang sedang di-kembangkan ini
Seiring dengan simpulan tersebut di
atas, dapat dikemukakan beberapa
saran kepada pihak-pihak terkait,
yaitu: (1) kepada siswa diharapkan
selalu menghargai dan mengikuti
berbagai inovasi pembelajaran yang
dilakukan guru, yang bertujuan
untuk
meningkatkan
kualitas
pembelajaran, (2) kepada rekanrekan guru matematika diharapkan
se-nantiasa
melakukan
inovasiinovasi dalam pembelajaran untuk
me-ningkatkan kualitas proses dan
hasil belajar siswa. Dalam kaitan ini,
rekan-rekan guru matematika dapat
mencoba model pembelajaran ini
dan
disesuaikan
dengan
karakteristik kelas yang diasuh, (3)
kepada kepala-kepala sekolah dan
pengelola
lembaga
pendidikan
diharapkan terus me-ndukung, baik
secara moril maupun finansial
sesuai kemampuan sekolah masingmasing, berkaitan dengan inovasi
pembelajaran yang dilakukan guru
di sekolahnya.
Daftar Pustaka
Anonimus. (2012).Visualisasi Blok Dienes sebagai Media Pembelajaran Operasi
Hitung Bilangan di Sekolah Dasar dengan Bantuan Komputer (http://blog.
tp.ac.id/
visualisasi-blok-dienes-sebagai-media-pembelajaran-operasihitung-bilangan-di-sekolah-dasar-dengan-bantuankomputer#ixzz2DOWDfgFI. Diunduh tanggal 22 Desember 2012.
Depdiknas. (2007). Materi Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
DePorter,
B.,
Reardon,
M.,
Singer,
S,Nourie.
(1999).Quantum
Teaching:Orchestrating Student Success. Boston: Allyn and Bacon.
Harahap, B.& S.T.Negoro. (1994). Ensiklopedia Matematika. Bandung:Ghalia
Indonesia.
Ibrahim, M. & Nur, M. (2000). Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:
Pusat Sains dan Matematika Sekolah, Program Pascasarjana UNESA.
Roestiyah, N.K. (1982). Didaktik Metodik. Jakarta: Bina Aksara.
Sadra, I W. 2007.
Pengembangan
Model
Pembelajaran Matematika
Berwawasan Lingkungan dalam Pelatihan Guru Kelas I Sekolah Dasar.
Desertasi. Tidak Dipublikasikan. Surabaya: UNESA.
Winarmo. (2003). Penerapan
Problem
Solving
dalam Pembelajaran
(http://www. sarjanaku. com/ 2011/01/konsep-soal-cerita-pecahan.html.
Diunduh tanggal 9 Januari 2013.
551
PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN
MATEMATIKA POKOK BAHASAN SEGITIGA
MENGGUNAKAN MACROMEDIA FLASH UNTUK
SISWA KELAS VII SMP
1 Meilani
Safitri, 2Yusuf Hartono, 3Somakim
1,2,3Universitas
Sriwijaya
Abstract. The objective of this research is to produce a media-based math learning
using Macromedia Flash for triangle topic for seventh grade junior high school.
Furthermore, a trial was conducted to investigate the potential effect of the media to
improve students’ understanding. The research used a development research
method which consists of three phases: analysis, design, and evaluation. The data
obtained from the evaluation showed that learning using macromedia flash media
has a positive effect in improving students’ understanding of triangle concepts.
Keywords: development research, learning media, macromedia flash, triangle
1. Pendahuluan
Dalam kerangka kompetensi abad 21
peserta didik diharapkan melek
informasi, melek media, dan melek
Teknologi
Informasi
Komunikasi
(TIK). Kurikulum 2013 yang berpijak
pada paradigma pembelajaran abad
21, dalam rancangnnya menyebutkan
bahwa dalam struktur kurikulum
SMP komputer akan menjadi sarana
pada semua mata pelajaran. Hal ini
menjadi landasan perlunya media
pembelajaran berbantuan komputer.
Bangun datar merupakan salah satu
materi esensial pada mata pelajaran
matematika di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) kelas 7. Materi
bangun datar adalah titik awal bagi
siswa untuk mempelajari bangun
ruang di kelas 8 dan 9 SMP. Salah
satu pokok bahasan pada materi
bangun
datar
adalah
segitiga.
Adapun kompetensi dasar (KD) yang
harus dicapai pada materi ini yaitu:
1) Mengidentifikasi jenis-jenis segitiga
2) Menurunkan rumus luas dan
keliling segitiga
3) Melukis segitiga
4) Menyelesaikan
soal-soal
yang
berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari
552
Berdasarkan kompetensi tersebut seharusnya guru menciptakan suasana
pembelajaran
matematika
yang
interaktif
dan
menyenangkan.
Suasana tersebut diharapkan akan
menarik perhatian siswa untuk
belajar memahami materi segitiga.
Sebelum melakukan penelitian, telah
dilakukan wawancara dan analisis
terhadap nilai tes siswa untuk materi
segitiga dan didapatkan hasil 3 siswa
yang
memperoleh
nilai
dengan
rentang
antara
80-89
dengan
persentase 8,6%. Sedangkan 29
siswa mendapat nilai dibawah 76.
Upaya yang akan dilakukan adalah
melalui media pembelajaran yang
bervariasi dan inovatif, dengan
adanya
ini
diharapkan
dapat
menumbuhkan rasa senang dan
cinta belajar matematika. Media
pembelajaran yang dianggap cocok
dan
inovatif
adalah
media
pembelajaran berbantuan komputer.
Hamalik (Arsyad, 2011) mengemukakan bahwa pemakaian media
pembelajaran dalam proses belajar
mengajar
dapat
membangkitkan
keingintahuan dan minat yang baru,
membangkitkan
motivasi
dan
rangsangan kegiatan belajar, dan
bahkan
membawa
pengaruh–
pengaruh psikologis pada siswa.
Sudrajat
(2010)
mengemukakan
bahwa media dalam pembelajaran
memiliki fungsi sebagai alat bantu
untuk memperjelas pesan yang disampaikan guru. Media juga berfungsi untuk pembelajaran individual
dimana
kedudukan
media
sepenuhnya
melayani
kebutuhan
belajar siswa.
Berbagai
penelitian
yang
telah
dilakukan
terhadap
penggunaan
media pembelajaran dalam proses
belajar
mengajar
sampai
pada
kesimpulan bahwa proses dan hasil
belajar siswa menunjukkan perbedaan yang berarti antara pembelajaran tanpa media dengan pembelajaran menggunakan media. Oleh
sebab itu penggunaan media pembelajaran
dalam
proses
belajar
mengajar sangat dianjurkan untuk
mempertinggi kualitas pembelajaran
termasuk
di
dalamnya
media
komputer (Sudjana dan Rivai, 2011).
Untuk
menjadikan
pembelajaran
matematika ini lebih baik dari
pembelajaran sebelumnya dimana
hanya menjelaskan materi tanpa
mengaitkan
materi
dengan
kehidupan
disekitar
siswa,
pada
penelitian ini akan diterapkan pembelajaran kontekstual pada pelajaran
matematika. Dengan pembelajaran
kontekstual, siswa diharapkan untuk
lebih tertarik dan aktif dalam belajar
matematika serta memperoleh hasil
belajar siswa yang lebih baik.
Menurut
Suherman
(2003),
”pendekatan pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan mengambil (mensimulasikan, menceritakan) kejadian
pada dunia nyata dalam kehidupan
sehari-hari
yang
dialami
siswa
kemudian diangkat ke dalam konsep
matematika yang dibahas”. Sedangkan
menurut
Sanjaya
(2008:255), ”Contextual Teaching and
Learning (CTL) atau pembelajaran
kontekstual adalah suatu strategi
pembelajaran
yang
menekankan
kepada proses keterlibatan siswa
secara
penuh
untuk
dapat
menemukan materi yang dipelajari
dan
menghubungkannya
dengan
situasi kehidupan nyata sehingga
mendorong
siswa
untuk
dapat
menerapkannya dalam kehidupan
mereka”.
Jadi,
pembelajaran
kontekstual
adalah
pembelajaran
yang
diorientasikan pada proses pengalaman
secara langsung, sehingga materi
yang diterima oleh siswa tidak akan
mudah dilupakan. Selain itu juga diharapkan
dengan
pembelajaran
kontekstual apa yang dimiliki siswa
sebagai hasil belajar menjadi lebih
awet tertanam dalam diri siswa
karena siswa dihadapkan pada
permasalahan yang tidak jauh dari
kehidupannya dan didorong untuk
aktif dalam membangun pemahaman
dan keterampilan yang akan dimilikinya.
Adapun tujuan dalam penelitian ini
adalah untuk menghasilkan sebuah
media
pembelajaran
berbasis
macromedia flash pokok bahasan
segitiga di SMP yang valid dan
praktis, serta untuk mengetahui efek
potensial
yang
muncul
akibat
penggunaan media tersebut.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan
penelitian
pengembangan
(Development Research). Menurut Akker
(1999) terdapat tiga kriteria kualitas
yaitu:
a. Validitas
(pakar
dan
teman
sejawat) suatu validitas yang baik
jika
sesuai
dengan
content
pembelajaran tercantum sesuai
dengan indikator pembelajaran.
b. Kepraktisan berarti produk yang
dihasilkan mudah digunakan oleh
pengguna dalam hal ini siswa dan
guru.
c. Keefektifan berarti tercapainya
tujuan pembelajaran yang terlihat
dari hasil belajar.
553
Pengembangan media pembelajaran
berbatuan komputer mengikuti dua
tahapan utama development research
yaitu tahap preliminary study (tahap
persiapan dan tahap pengembangan)
dan formative study (tahap evaluasi
dan tahap revisi). Berikut langkahlangkah
pengembangan
media
pembelajaran berbantuan komputer
pokok bahasan segitiga, berdasarkan
bentuk diagram alir pada Gambar 1
berikut ini.
Low resistance to revision
High resistance to revision
Expert Review
Revisi
Preliminary
Self Evaluation
Revisi
Revisi
Small Group
Field Test
One-to-one
Gambar 1 Alur desain formative evaluation Tessmer (Zulkardi, 2002)
Penelitian dilakukan pada semester
genap tahun pelajaran 2012/2013.
Subjek penelitian adalah seluruh
siswa SMPN 54 Palembang kelas
VII.6 yang berjumlah 40 orang.
Alasan
dilakukan
penelitian
di
sekolah ini dikarenakan sekolah ini
telah
menerapkan
pembelajaran
berbantuan komputer.
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan melalui
lembar komentar dan saran untuk
para
expert,
observasi
untuk
mengetahui aktivitas siswa dan tes
tertulis untuk mengetahui hasil
belajar siswa. Data yang diperoleh
kemudian di analisis melalui analisis
deskriptif.
3. Hasil Dan Pembahasan
Analisis Hasil Penelitian
Pada tahap ini dilakukan analisis
materi yang akan dikembangkan
dengan menggunakan macromedia
flash dan power point yaitu materi
segitiga. Tahap ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan memilih materi
esensial yang akan ditampilkan pada
media ajar menggunakan macromedia
554
flash. Kemudian tahap ini dilanjutkan dengan membuat flowchart
yang bertujuan untuk menentukan
urutan materi pembelajaran yang
akan ditampilkan pada media ajar,
serta menentukan materi apa saja
yang
dapat
dibuat
bangun
geometrinya baik berupa animasi
maupun simulasi.
Desain Paper Based
Pada tahapan ini materi tentang
pokok bahasan segitiga yang dirancang
di
atas
kertas,
baik
rancangan berupa teks maupun
gambar-gambar. Tahapan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
tentang apa yang akan ditampilkan
pada
computer
based
dengan
menggunakan program macromedia
flash. Menu utama terdiri dari tiga
pokok bahasan yaitu jenis-jenis
segitiga, luas dan keliling segitiga,
dan melukis segitiga. Media ajar yang
dibuat ini merupakan media ajar
yang terstruktur, artinya siswa harus
mengikuti slide per slide materi yang
terdapat dalam media sehingga
proses pembelajaran berlangsung
secara
efektif
sesuai
dengan
pendekatan yang digunakan yaitu
pendekatan contextual teaching and
learning (CTL) yang didalamnya
mencakup tujuh komponen yaitu
konstruktivisme
(constructivism),
menemukan
(inquiry),
bertanya
(questioning),
masyarakat
belajar
(learning
community),
pemodelan
(modeling), refleksi (reflection) dan
penilaian yang sebenarnya (authentic
assessment). Gambar 2 di bawah ini
adalah contoh hasil dari desain paper
based.
Gambar 2 Hasil paper-based
Computer Based
Pada tahapan ini desain produk yang
telah dibuat dalam paper based
dituangkan dalam bentuk computer
based.
Adapun
program
yang
digunakan untuk desain produk
computer based ini adalah program
macromedia flash. Produk yang
didesain dalam computer based ini
merupakan prototype 1. Prototype 1
yang ditampilkan sudah berfokus
pada
tiga
karakteristik
utama
(content, support dan interface).
Gambar 3 di bawah ini adalah contoh
hasil desain produk computer based
untuk prototype 1. Hasil dari
pendesainan ini disebut prototype 1.
Gambar 3 Hasil computer based
Expert Review
Tahap expert review melibatkan
beberapa
validator
yaitu
Dr.
Marcelinus
Andy
Rudhito
dari
Yogyakarta, Dr. Rusman Hasan dari
Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI), Dr. Endang Mulayana dari UPI,
Drs.
Yoan
Yose
Rizal
yang
merupakan guru matematika senior,
dan
Mery
Trisia,
S.Pd.
guru
matematika kelas VII SMPN 54
Palembang.
Berikut
beberapa
komentar dari validator terhadap
prototype
1
yang
telah
dikembangkan.
Proses validasi dilakukan melalui
email dan walkthrough. Validasi
melalui email dengan Dr. Marcelinus,
Dr. Rusman, dan Dr. Endang.
555
sedangkan
validasi
melalui
walkthrough dengan Drs. Yoan Yose
Rizal dan Mery Trisia, S.Pd. Berdasarkan uji validasi oleh pakar,
teman sejawat dan guru matematika
maka dapat disimpulkan desain
produk bahan ajar (prototype 1) yang
dikembangkan sudah tergolong baik
(valid
dan
praktis),
walaupun
tentunya
masih
diperlukan
perbaikan-perbaikan
berdasarkan
saran-saran validator. Saran-saran
tersebut dijadikan acuan untuk
pengembangan prototype 2.
One-to-one
Pada tahap ini prototype 1 tadi diujikan pada one-to-one bersamaan
dengan tahap expert. Prototype 1 ini
diujikan pada dua orang siswa kelas
VII SMPN 14 Palembang yang
bernama Meiliza dan Iqbal. Ujicoba
ini dilakukan dengan tujuan untuk
melihat
kesulitan-kesulitan
yang
mungkin
terjadi
selama proses
pembelajaran menggunakan bahan
ajar
tersebut,
sehingga
dapat
memberikan indikasi apakah media
ajar tersebut perlu diperbaiki atau
tidak.
Pada
prosesnya
siswa
diberikan media ajar berisi materi
segitiga.
Pembelajaran
dilakukan
dengan menggunakan laptop.
Pada saat pembelajaran dilakukan
observasi
terhadap
siswa.
Berdasarkan hasil observasi selama
kegiatan pembelajaran dapat di-
simpulkan
bahwa siswa
masih
kesulitan mengoperasian media ajar
dengan
menggunakan
komputer
karena
tidak
ada
petunjuk
penggunaan di dalam media. Siswa
juga diminta menjawab beberapa
pertanyaan
tentang
media
pembelajaran
pokok
bahasan
segitiga.
Jawaban
siswa
akan
digunakan sebagai acuan untuk
memperbaiki prototype 1.
Berdasarkan jawaban, komentar, dan
saran yang diberikan siswa maka
secara umum dapat dikatakan bahwa
prototype 1 sudah baik dan tergolong
prototype yang praktis. Selain itu
siswa juga diminta menyelesaikan
soal tes yang telah disiapkan. Dari
hasil tes, diperoleh nilai tes siswa
tersebut adalah 78 sehingga dapat
disimpulkan bahwa efek potensial
dari media ajar yang telah dibuat
cukup baik terhadap pemahaman
konsep siswa.
Revisi Prototype 1
Setelah tahap expert dan one to one
selesai, berdasarkan saran-saran dari
validator dan hasil uji oba one-to-one,
maka produk dari desain prototype 1
direvisi guna memperoleh media
pembelajaran yang lebih baik yang
kemudian disebut sebagai prototype
2. Berikut ini tabel 1 yang berisi
perubahan sebelum dan sesudah
revisi berdasarkan hasil validasi dan
ujicoba one-to-one.
Tabel 1 Perubahan Sebelum dan Sesudah Revisi Untuk Prototype 1
Saran
1. Perbaiki tulisan pada
bagian awal media,
agar terbaca.
2. Gambar kunci untuk
ikon
menu
tujuan
pembelajaran
kurang
tepat.
Konotasinya
kunci jawaban
556
Sebelum Revisi
1. Pada
bagian
awal
tulisan “Enjoy your
learning”
tertutup/bertumpuk
dengan
tulisan
“Dikembangkan
oleh...”
2. Pada
menu
tujuan
pembelajaran
digunakan
gambar
kunci sebagai ikon
tombol
Sesudah Revisi
1. Tulisan “Enjoy your
learning”
diperbaiki
dan dibuat agar tidak
menumpuk
dengan
tulisan
“Dikembangkan
oleh...”
2. Ikon tombol untuk
menu
tujuan
pembelajaran diganti
dengan
gambar
kompas
Saran
3. Gambar
kedap-kedip
segilima putih yang di
kanan atas kurang
tepat posisinya, karena
kadang menutupi
4. Ada materi yang hilang
dan ada materi yang
tidak sesuai dengan
silabus
5. Belum ada contoh soal
6. Belum ada latihan soal
dan pembahasannya
7. Kualitas tampilan teks
pada materi belum
optimal, ada bagianbagian tertentu yang
kurang jelas
Sebelum Revisi
3. Pada bagian materi
terdapat animasi yang
berkedip
berbentuk
segilima dan menutupi
teks materi sehingga
sulit terbaca
4. Pada materi segitiga,
materi
“hubungan
panjang sisi dengan
sudut pada segitiga”
lembar
pertama
kosong. Disamping itu
materi
“translasi
bidang”
sepertinya
tidak sesuai.
5. Pada materi belum ada
contoh-contoh
soal
dan
juga
soal-soal
yang kontekstual dalam
kehidupan sehari-hari
6. Pada media, latihan
soal dan pembahasan
belum ada
7. Tampilan teks pada
materi terlihat kabur
sehingga sulit terbaca
Prototype 2
Pada tahap ini, prototype 1 direvisi
sehingga menghasilkan prototype 2.
Sesudah Revisi
3. Animasi yang berkedip
itu dihapus
4. Materi yang hilang
dimuat
ulang
sedangkan
materi
‘translasi pada bidang
dihapus’
5. Ditambahkan
soal
dan
kontekstual
contoh
soal
6. Ditambahkan
soal
latihan
7. Tampilan teks materi
diperbaiki
Berikut adalah gambar
merupakan prototype 2.
4
yang
Gambar 4. Prototype 2
Small Group
Tahap ini bertujuan untuk melihat
kepraktisan dan keefektifan dari
prototype 2. Ujicoba prototype 2
dilakukan pada siswa dengan bentuk
pembelajaran diskusi kelompok kecil
(small group) yang berjumlah 4 siswa
kelas VII SMP 14 Palembang.
Pembelajaran ujicoba small group
dilaksanakan pada tanggal 2 Maret
2013 menggunakan laptop. Data
yang diperoleh dari kelompok kecil ini
adalah komentar dari peserta didik,
data observasi, dan hasil tes dari
peserta didik. Gambar 5 di bawah ini
merupakan kegiatan small group.
557
Gambar 5 Siswa Small Group
Akhir dari pembelajaran yang mereka
lakukan, mereka diminta untuk
mengerjakan soal-soal evaluasi yang
dibagikan, hasil belajarnya dapat
dilihat dalam tabel 2 berikut.
skor hasil belajar, maka dapat
disimpulkan bahwa media ajar
prototype 2 yang dikembangkan
dalam kategori baik.
Tabel 2 Hasil Ujicoba Prototype 2
Berdasarkan hasil ujicoba small
group serta masukkan dari siswa,
maka produk desain prototype 2 ini
direvisi
yang
bertujuan
untuk
memperbaiki
kekurangan
pada
prototype 2 guna menghasilkan
prototype 3. Berikut merupakan
perubahan sebelum dan sesudah
revisi berdasarkan hasil ujicoba small
group yang dimuat dalam tabel 3.
Frekuensi
Skor
80 – 100
4
66 – 79
2
56 – 65
0
40 – 55
0
0 – 39
0
Rata-rata
82
Berdasarkan hasil ujicoba, rata-rata
Revisi prototype 2
Tabel 3 Perubahan Sebelum dan Sesudah Revisi
Saran
1. Paket soal kuis
kurang banyak
variasinya
2. Biodata kurang
lengkap
1.
2.
3. Materi
belum
kontekstual
3.
4. Tambahkan
menu petunjuk
penggunaan
media
4.
Sebelum revisi
Sesudah Revisi
Soal kuis terpusat 1. Ditambahkan soal-soal lain
pada
keliling
dan
termasuk
soal
aplikasi
luas segitiga
dalam kehidupan sehari-hari
Pada
menu
profil 2. Profil dibuat lebih lengkap
author,
hanya
dengan menambahkan foto,
ditampilkan
nama
moto, pendidikan,
tempat
dan instansi
dan tanggal lahir.
Materi
hanya 3. Materi diperbaiki dan dibuat
berpaku pada buku
kontekstual
teks siswa.
Media
pembelajaran 4. Ditambahkan
menu
tidak memuat menu
petunjuk penggunaan media
petunjuk penggunaan
sehingga
membingungkan
pengguna
Revisi prototype 2 bertujuan untuk
memperbaiki
kekurangankekurangan
guna
menghasilkan
prototype 3. Prototype 3 ini dianggap
sebagai produk desain media ajar
558
yang baik yang memenuhi kriteria
kualitas yaitu valid dan praktis.
Berikut ini gambar 6 sebagai hasil
pengembangan prototype 2 yang telah
direvisi menghasilkan prototype 3.
Gambar 6. Hasil Revisi Prototype 2
Field Test
Setelah diperoleh prototype 3 yang
valid dan praktis, maka dilakukan
ujicoba field test untuk melihat efek
potensial terhadap hasil belajar.
Tahap ini hanya berisikan uji
keefektifan dari prototype 3. Pada
Prototype 3 ini kepraktisan tidak
diujikan lagi, karena pada prototype 2
bahan ajar yang dikembangkan telah
memenuhi kriteria praktis. Ujicoba
dilaksanakan dari tanggal 11 Maret
2013 sampai dengan 15 Maret 2013
di kelas VII.6 SMPN 54 Palembang.
Pembelajaran dilaksanakan dalam 4
kali pertemuan, dimana pertemuan
ke-1, ke-2 dan ke-3 dilaksanakan
pembelajaran di ruang multimedia
SMPN 54 Palembang dan pertemuan
ke-4, pelaksanaan tes dilaksanakan
di ruang kelas.
Bentuk pembelajaran yang dilakukan
adalah berbasis CTL, dimana guru
bertindak sebagai fasilitator. Dalam
pembelajaran ini, siswa dibentuk
dalam beberapa kelompok dengan
masing-masing anggota kelompok
berjumlah 2 sampai 3 orang. Dalam
pembelajaran
ini
masing-masing
kelompok diberikan media ajar
dengan menggunakan komputer dan
juga diberikan lembar aktivitas untuk
menjawab
soal-soal
yang
berhubungan dengan materi yang
terdapat dalam media ajar.
Proses pengembangan media ajar
disesuaikan
dengan
contextual
teaching and learning (CTL) dimana di
dalam media ajar tersebut terdapat
kegiatan kelompok yang sesuai
dengan aspek masyarakat belajar,
materi disusun untuk menggiring
siswa dalam memahami konsep
segitiga
sehingga
siswa
dapat
mengerjakan soal-soal latihan dan
dengan kegiatan kelompok dapat
menyimpulkan hasil dari proses
pembelajaran yang sesuai dengan ciri
CTL yaitu konstruktivisme dan
inkuiri. Pada media ajar ini sudah
ada beberapa bangun atau gambar
yang
dapat
dijadikan
model,
sedangkan
untuk
refleksi
dan
penilaian sebenarnya dapat kita lihat
dengan adanya soal-soal latihan
untuk mengukur ketercapaian tujuan
pembelajaran.
Tabel 4 Hasil Belajar Siswa pada
Field Test
Skor
Frekuensi
80 – 100
20
66 – 79
14
56 – 65
5
40 – 55
1
0 – 39
0
Rata-rata
82,6
Dari tabel 4 di atas terlihat bahwa
hasil belajar siswa dengan kategori
Baik Sekali 50%, Kategori Baik 35%,
Cukup 12,5%, Kurang 2,5%, dan
Sangat Kurang 0%. Pada ujicoba
prototype 3 ini tidak terdapat siswa
yang hasil belajarnya tergolong dalam
kategori Buruk.
Jika persentase siswa dilihat dari
ketuntasan
hasil
belajar
yang
ditetapkan oleh guru bidang studi
559
matematika sebesar 71, maka 85%
siswa tuntas dalam memahami
materi segitiga yang pembelajarannya
menggunakan media ajar dengan
macromedia flash.
Berdasarkan hasil rata-rata skor
hasil
belajar,
maka
dapat
disimpulkan bahwa prototype 3 yang
telah dikembangkan dikategorikan
baik.
4. Pembahasan
Penelitian ini menghasilkan media
pembelajaran segitiga menggunakan
macromedia
flash
yang
telah
dikembangkan menurut Tessmer.
Berdasarkan hasil deskripsi dari
tahap persiapan dan uji validitas
konten dari pakar menunjukkan
tidak ada kendala dalam hal materi
karena telah sesuai dengan KTSP.
Sedangkan ditinjau dari kondisi
teknis komputer yang digunakan
untuk
pengujicobaan
media
pembelajaran yang dikembangkan
sempat mengalami kendala karena
ruang multimedia SMPN 54 dalam
keadaan sedang direnovasi sehingga
pelaksanaan
field
test
sempat
diundur dari jadwal. Pada tahap
pengembangan media pembelajaran,
dilakukan desain produk yaitu
diawali dengan paper-based dan
dilanjutkan dengan computer-based
yang
selanjutnya
dinamakan
prototype 1. Berikutnya produk
desain prototype 1 yang berisi materi
segitiga ini divalidasi oleh pakar yang
melihat
konten,
bahasa
dan
konstruk. Bersamaan dengan validasi
para
pakar
prototype
1,
juga
diujicobakan
pada
one-to-one.
Berdasarkan
saran-saran
dari
validator dan siswa, prototype 1
masih banyak kekurangan baik
mengenai isi, tampilan materi yaitu
warna, teks dan lain-lain.
Dari hasil validasi pakar dan
masukan siswa inilah desain produk
dalam bentuk media pembelajaran
yang terdapat pada prototype 1
direvisi
sehingga
menghasilkan
prototype 2. Pada prototype 2 media
pembelajaran yang dikembangkan
sudah lebih baik dari prototype 1.
Untuk melihat kepraktisan media
pembelajaran,
dilakukan
ujicoba
prototype 2 pada siswa dengan
bentuk
pembelajaran
diskusi
kelompok kecil (small group) yang
berjumlah 6 siswa kelas VII SMP
Negeri 14 Palembang. Prototype 2 ini
sudah dikategorikan praktis, karena
semua
siswa
sudah
dapat
menggunakan media pembelajaran
dengan
baik
tanpa
bantuan
temannya. Hasil belajar siswa terlihat
pada Gambar 15.
Hasil Belajar Siswa pada Ujicoba
6
4
2
0
Baik Sekali Baik Cukup Kurang Gagal
Gambar 15. Diagram batang hasil belajar siswa pada ujicoba small group
Dari hasil observasi small group
didapat kekurangan pada soal-soal
latihan dan warna dari beberapa slide
yang masih kurang menarik. Saransaran dan kejadian di lapangan saat
ujicoba prototype 2 menjadi masukan
560
untuk
direvisi
sehingga
menghasilkan prototype 3. Hasil dari
prototype 3 ini merupakan hasil
pengembangan media pembelajaran
yang valid dan praktis dan siap
diujikan ke lapangan (field test)
untuk
melihat
efek
terhadap hasil belajar.
potensial
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) Media ajar interaktif berbasis
komputer pokok bahasan segitiga
di Sekolah Menengah Pertama
yang
dikembangkan
sudah
memenuhi kriteria valid. Valid
terlihat
dari
hasil
penilaian
validator, dimana semua validator
menyatakan baik berdasarkan
content, construct dan bahasa.
Sedangkan ditinjau dari sisi
kepraktisan bahan ajar ini juga
sudah dinyatakan praktis, hal ini
terlihat dari hasil ujicoba pada
one to one dan small group
diperoleh rata-rata hasil belajar
siswa dengan kategori baik.
2) Berdasarkan filed test diketahui
bahwa media ajar interaktif
berbasis komputer pokok bahasan
segitiga di Sekolah Menengah
Pertama memiliki efek potensial
terhadap hasil belajar siswa
terlihat hasil pencapaian nilai
akhir siswa yaitu kategori baik
sekali 50%, kategori baik 35%
sedangkan kateori cukup 12,5%,
6. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan
kesimpulan diatas, maka disarankan
kepada peneliti lain, agar dapat
mengembangkan media pembelajaran
interaktif berbasis komputer dengan
materi dan model yang berbeda
sehingga
dapat
menjadi
lebih
menarik
dan
lebih
interaktif.
Daftar Pustaka
Akbar & Habibah. (2010). Pengaruh Penggunaan Alat Peraga Model Segitiga Pada
Pembelajaran Bidang Datar Terhadap Hasil Belajar Siswa di Kelas VII SMP
Negeri 1 Krangkeng. EduMat, 2, 165-172.
Akker, J.V.D. (1999). Principles and Methods of Development Research. dalam
(Eds). Design Approaches and Tools in Education and Training. Dordrecnt :
Klower Academic Publisrs.
Basturk, R. (2005). The Evectivines of Computer Assisted Instruction in Teaching
Introductory Statistics. Jurnal Educational and Society Vol 8 (2) 170-178.
Hanafi, I., Maksum, M., & Yuliatmojo, P. (2010). Pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Komunikasi. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Teknik
Informatika. Singaraja Bali: Universitas Pendidikan Ganesha.
Hasrullah. (2010). Langkah-Langkah Pengembangan Pembelajaran Multimedia
Interaktif. Jurnal MEDTEK,Vol 2 (1).
Idris, H. (2008). Pengembangan Multimedia Pembelajaran Berbantuan
Komputer. IQRA',Vol 5.
Rahmawati, P.I dan Diatmika, I.P.G. (2011). Pembelajaran Berbasis ICT dalam
Perkuliahan Pariwisata dan Perhotelan: Peran, Peluang, dan Tantangannya.
Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 44, Nomor 1-3, hlm.93-100.
Sudatha, W. (2010). Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Komputer
Pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas VII Untuk Optimalisasi
Hasil Belajar. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Teknik Informatika.
Singaraja Bali: Universitas Pendidikan Ganesha.
Sugiarti, D. dan Sukadi. (2012). Media Pembelajaran Interaktif Pengenalan
Bangun pada Play Group Mutiara Kasih Desa Gembuk. Seruni FTI UNSA
vol.1.
561
Suherman, E. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung:
JICA. Universitas Pendidikan Indonesia.
Susanti, E. (2008). Studi kasus pada Computer Aided Learning (CAL). Jurnal
Pendidikan Matematika Vol 2 no 2.
Sutjiono, T. (2005). Pendayagunaan Media Pembelajaran. Jurnal Pendidikan
Penabur Vol 4 (4).
Widodo, S., dan Sopian, A. (2007). Pemanfaatan Cabri Geometri II Plus dalam
Pembelajaran Mata Kuliah Konsep Dasar Matematika Pokok bahasan
Geometri. Jurnal Pendidikan Dasar no 8.
Yuhana, Y., Rahayu, I., dan Nindiasari,H. (2008). Model Pembelajaran
Matematika Berbasis Komputer Sebagai Strategi Untuk Meningkatkan
Sikap pada Siswa SMA. JPP Vol 6 no 1.
562
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MATEMATIKA BANGUN RUANG
SISI DATAR BERBASIS INQUIRY UNTUK SISWA SMP
1Anggria
Septiani Mulbasari, 2Darmawijoyo, 3Nila Kesumawati
1Mahasiswa
2,3Dosen
Pendidikan Matematika Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya
Pendidikan Matematika Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya
Abstract. This study aims to produce a teaching material for three dimensional
spaces using inquiry-based approach. This research is a developmental research
consists of three steps: preliminary, formative study (self evaluation, expert review,
one-to-one and small group) and a field test. The subjects were eighth grade students
of SMP Negeri 45 Palembang. Experts review suggests that this study has produced
a valid and practical teaching material for three dimensional spaces. The results of
the field test also show that the material has a potential effect to improve student’s
critical thinking skills.
Keywords: inquiry-based approach, three dimensional spaces, worksheet
1. Pendahuluan
Pada tujuan pembelajaran matematika
yang
tertuang
dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 disebutkan
bahwa pembelajaran matematika
salah satunya bertujuan agar siswa
memiliki
kemampuan
penalaran
pada pola dan sifat. O’Daffer dan
Thornquist
dalam
Noer
(2008)
menggabungkan
penalaran
dan
pembuktian matematika sebagai
elemen terkait dalam berpikir kritis.
Dengan
demikian,
kemampuan
siswa berpikir kritis matematika
harus
mendapatkan
perhatian
khusus agar tujuan pembelajaran
matematika tersebut dapat tercapai.
Maesuri (2007) menyatakan bahwa
untuk
menemukan
suatu
pemahaman secara baik bisa dilakukan dengan mengerjakannya,
mengalami, ataupun dengan berinteraksi
dengan
orang
lain.
Sehingga,
pandangan
terhadap
matematika mengalami perubahan
yaitu dari matematika sebagai alat
menjadi matematika sebagai aktivitas manusia.
Perubahan juga
terjadi dalam paradigma pendidikan
dari pembelajaran berpusat pada
guru menjadi pembelajaran berpusat
pada siswa. Artinya kemampuan
berpikir kritis dapat dikembangkan
melalui pembelajaran yang berpusat
pada siswa. Akan tetapi dalam
kenyataanya
di
sekolah-sekolah
tidak seperti itu, terutama pada
materi geometri ruang.
Menurut Suwaji dalam Setiawan
(2012)
geometri
ruang
telah
diajarkan sejak Sekolah Dasar (SD),
namun ternyata kemampuan siswa
dalam menyelesaikan soal dimensi
tiga masih rendah. Hasil Training
Need Assessment yang dilaksanakan
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan
Pendidik
dan
Tenaga
Kependidikan (PPPPTK) Matematika
tahun
2007
dengan
sampel
sebanyak 268 pendidik Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dari 15
propinsi menunjukkan bahwa sebanyak
43,7%
guru
masih
memerlukan pendalaman materi
luas permukaan dan volume balok,
kubus,
prisma,
serta
limas,
sebanyak
48,1%
guru
masih
memerlukan pendalaman materi
sifat-sifat kubus, balok, prisma, dan
limas
serta
bagian-bagiannya,
sebanyak
48,1%
guru
masih
memerlukan pendalaman materi
pembuatan
jaring-jaring
kubus,
balok, prisma, dan limas, dan
563
sebanyak
45,9%
guru
masih
memerlukan pendalaman materi
unsur-unsur tabung, kerucut, dan
bola. Markaban dalam Setiawan
(2012).
Dari
penjelasan
diatas
terlihat bahwa kemampuan bangun
ruang sisi datar masih rendah.
Menurut Rohati (2011) selama ini
bahan ajar yang berupa buku-buku
pelajaran matematika yang digunakan oleh siswa dan guru disekolah belum mampu menciptakan
pembelajaran
yang
bermakna.
Misalnya pada materi bangun ruang
langsung diinformasikan kepada
siswa.
Agar siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematika, maka diperlukan suatu
bahan ajar metode pembelajaran
yang dapat memberikan kesempatan
dan mengkondisikan siswa untuk
menemukan jawaban sendiri dari
suatu masalah. Sehingga bisa kemampuan berpikir kritis siswa berkembang dan siswa aktif. Keterampilan guru dalam memilih
metode pembelajaran merupakan
faktor penting agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Menurut Sanjaya (2010:52), inquiry
adalah metode pembelajaran yang
menekankan pada proses berpikir
secara kritis dan analitis untuk
mencari dan menemukan sendiri
jawaban dari suatu masalah yang
dipertanyakan. Berdasarkan teoriteori tersebut, peneliti menemukan
keterkaitan antara inquiry dengan
kemampuan siswa berpikir kritis
matematika jika diterapkan pada
pembelajaran matematika.
Berdasarkan latar belakang dan
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penulis tertarik untuk mengembangkan bahan
ajar matematika bangun ruang sisi
datar dengan menggunakan inquiry
untuk siswa SMP.
564
Rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana mengembangkan bahan ajar matematika bangun
ruang sisi datar berbasis inquiry
untuk siswa SMP yang valid dan
praktis?.
2. Bagaimana efek potensial dari
bahan ajar matematika yang dikembangkan
terhadap
kemampuan berpikir kritis untuk
siswa SMP?
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah
1. Menghasilkan
bahan
ajar
matematika bangun ruang sisi
datar berbasis inquiry untuk siswa
SMP yang valid dan Praktis,
2. Mengetahui efek potensial dari
bahan ajar matematika yang
dikembangkan
terhadap
kemampuan berpikir kritis untuk
siswa SMP.
1. Metode Penelitian
a. Subjek dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada semester
genap
tahun
pembelajaran
2012/2013.
Subjek
penelitian
adalah siswa kelas VIII SMP Negeri
45 Palembang dengan jumlah siswa
39 orang. Terdiri dari 23 orang lakilaki dan 16 orang siswa perempuan.
Pelaksanaan penelitian di semester 2
mata pelajaran matematika dengan
materi bangun ruang sisi datar pada
luas permukaan dan volume kubus
dan balok.
b. Metode Penelitian
Dalam
peneltian
ini,
Peneliti
menggunakan
metode
peneltian
pengembangan atau development
research (Akker, 1999). Penelitian ini
akan mengembangkan bahan ajar
berupa lembar kerja siswa (LKS)
yang valid dan praktis dalam
pembelajaran matematikja di kelas
VIII, melalui dua tahapan yaitu
preliminary
study
dan
tahap
formative study. Tahap preliminary
meliputi persiapan dan desain,
sedangkan tahap formative study
meliputi Self Evaluation, Expert
Reviews, One to One, Small Group
dan Field Tes. Tahapan tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut.
Low resistance to revision
High resistance to revision
Expert
Revise
Preliminary
Self
Evaluation
Revise
Revise
Small
Group
Field
Test
One-toone
Gambar 1. Alur desain formative evaluation Zulkardi dalam Tessmer (2002)
c. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian
ini melalui
beberapa tahapan, meliputi:
1. Preliminary
Tahap ini meliputi:
a) Persiapan.
Tahap ini dilakukan dengan
melakukan analisis kurikulum
matematika level SMP pada pokok
bangun ruang sisi datar dan
analisis
terhadap
buku-buku
paket berdasarkan KTSP 2006,
menghubungi guru di sekolah,
mewawancarai
guru
yang
bersangkutan serta menyiapkan
penjadwalan
dan
prosedur
kerjasama dengan guru kelas
yang dipakai.
b) Pendesainan (prototyping).
Pada tahap ini peneliti mendesain
atau merancang bahan ajar
berupa LKS dan RPP. LKS
berdasarkan
langkah-langkah
metode inquiry, yang disebut
dengan prototipe.
2. Formative study
a) Self evaluation
Setelah didesain, prototipe awal
dievaluasi oleh peneliti sendiri dan
dilakukan revisi kecil sehingga
menjadi prototipe I.
b) Expert review and one to one
Prototipe I yang telah direvisi
berdasarkan hasil self evaluation
diberikan
kepada
pakar.
Selanjutnya prototipe I akan dicermati, dinilai dan dievaluasi
oleh pakar dari segi kontent,
konstruk dan bahasa. Bersamaan
dengan tahapan Expert review
dilakukan juga tahapan one to
one, peneliti meminta tiga orang
siswa kelas VIII SMP Negeri 1
Tanjung Raja sebagai tester. Hasil
Komentar serta saran pakar dan
siswa pada tahap ini akan
digunakan
untuk
merevisi
prototipe I.
c) Small group
Hasil revisi prototipe I selanjutnya
dinamakan prototipe II. Kemudian
prototipe II diujicobakan pada
small group (kelompok kecil yang
terdiri dari 6 orang siswa kelas
VIII SMP Negeri 45 Palembang non
subjek penelitian). Secara berkelompok
yang terdiri masingmasing kelompok 2 orang, siswa
diminta
menyelesaikan
permasalahan pada prototipe II.
565
Selama
proses
berlangsung,
peneliti melakukan wawancara
kepada 6 orang siswa tersebut
dan kemudian meminta komentar
atau saran siswa pada small group
terhadap prototipe II yang telah
mereka kerjakan. Saran dan
komentar siswa pada small group
dijadikan dasar untuk merevisi
prototipe II sehingga menjadi
prototipe III yang akan diujicobakan pada subjek penelitian.
3. Field test
Prototipe III diuji cobakan pada
subjek penelitian yaitu siswa kelas
VIII.4 SMP Negeri 45 Palembang.
Subjek penelitian sebanyak 39 siswa
yang terdiri dari 16 orang siswa
perempuan dan 23 orang siswa
laki-laki.
d. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan metode penelitian di
atas, teknik pengumpulan data yang
akan
digunakan
adalah
walk
through,
dokumentasi,
tes,
wawancara, dan video.
2. Hasil dan Pembahasan
Pengembangan
bahan
ajar
ini
melalui beberapa tahapan yaitu :
a. Hasil Penelitian
Priliminary study
1. Analisis
Pada tahap ini dilakukan kegiatan
analisis kurikulum matematika level
SMP pada materi pokok bangun
ruang sisi datar dan analisis terhadap
buku-buku
paket
berdasarkan KTSP 2006, menghubungi
guru di sekolah dan mewawancarai
guru yang bersangkutan serta
menyiapkan
penjadwalan
dan
prosedur kerjasama dengan guru
kelas yang dipakai. Dari hasil
diskusi dijadwalkan field test dilaksanakan sebanyak empat kali
566
pertemuan yaitu tanggal 21 Febuari
s.d 2 Maret 2013 dan penelitian
akan dilaksanakan dikelas VIII.4
sebagai subjek penelitian.
2. Pendesainan (prototyping)
Pada tahap ini peneliti mendesain
atau merancang bahan ajar berupa
LKS dan RPP. LKS berdasarkan
langkah-langkah
inquiry,
yang
disebut dengan prototipe.
Formative study
1. Self Evaluation
Setelah melalui tahapan persiapan
dan pendesainan, hasil desain
bahan ajar (prototipe) dievaluasi oleh
peneliti. Hasil dari self evaluation ini
adalah prototipe I.
2. Expert review and one to one
Tahap
ini
bertujuan
untuk
memperoleh bahan ajar yang valid.
Selanjutnya, prototipe I divalidasi
oleh pakar dari segi konten,
konstruk dan bahasa. Saran dan
komentar pakar dijadikan dasar
untuk merevisi prototipe I.
Bersamaan dengan tahap expert
review dilakukan juga tahap one to
one. Pada tahap ini prototipe I yang
berupa LKS (Lembar Kegiatan Siswa)
diuji cobakan pada tiga orang siswa
kelas VIII SMP Negeri 1 Tanjung
Raja. Selanjutnya, siswa diminta
untuk mengerjakan bahan ajar
berupa LKS. Selama tahapan ini
berlangsung, peneliti berinteraksi
dan ber-komunikasi dengan ketiga
siswa untuk mengetahui kesulitankesulitan yang mereka hadapi
selama proses pengerjaan LKS,
sehingga komentar dari siswa-siswi
tersebut dapat dijadikan masukan
untuk merevisi prototipe I yang telah
dikembangkan
3. Small group
Berdasarkan komentar dan saran
pakar serta komentar one to one
maka prototipe I direvisi sehingga
menghasilkan prototipe II yang
kemudian diujicobakan pada siswa
dengan pembelajaran
kelompok
kecil.
4. Field test
Setelah diperoleh prototipe III yang
valid dan praktis, maka dilakukan
tahap field test untuk melihat efek
potensial bahan ajar yang dibuat.
Field test dilakuan selama 5 kali
pertemuan, tanggal 21 febuari
sampai 2 maret 2013. Siswa yang
menjadi subjek penelitian adalah
siswa kelas VIII.4 SMP Negeri 45
Palembang dengan jumlah 39 orang
siswa, yang dibagi dalam kelompok
kecil yang terdiri dari 6-7 orang
perkelompok
dengan
tingkat
kemampuan yang berbeda-beda.
Siswa akan diberikam LKS untuk
didiskusikan secara berkelompok.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan
pembelajaran
tertuang
dalam
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP). Selain itu juga peneliti
dibantu oleh tiga orang observer
yaitu Zainab, S.Pd, Meilani Safitri,
S.Pd dan Nora Surmilasari, S.Pd
yang
bertugas
membantu
dan
mengamati aktivitas selama proses
pembelajaran berlangsung dengan
menggunakan catatan lapangan.
b. Pembahasan
1) Bahan Ajar yang Valid dan Praktis
Proses pengembangan bahan ajar
yang telah dilalui terdiri dari 3 tahap
besar, Preliminary,
Prototyping
(expert review, one to one dan small
group) dan Field Test .
Pada tahap prototyping dan proses
revisi berdasarkan saran validator
dan komentar siswa, diperoleh
bahan ajar berupa lembar kerja
siswa (LKS) yang dikembangkan
berdasarkan pembelajaran dengan
menggunakan metode inquiry dapat
dikategorikan valid dan praktis.
Valid tergambar dari hasil penilaian
validator,
dimana
validator
menyatakan
baik
berdasarkan
konten (sesuai silabus pada KTSP,
dan indikator-indikator pada materi
bangun ruang sisi datar), konstruk
(sesuai
dengan
langkah-langkah
metode inquiry) dan bahasa (sesuai
dengan EYD).
Dari
hasil
revisi
berdasarkan
komentar dan saran
siswa pada
small group menunjukkan bahwa
bahan ajar yang dikembangkan
praktis. Kepraktisan LKS dilihat dari
proses pembelajaran siswa, dimana
semua kelompok dapat mengisi LKS
yang diberikan. LKS yang telah
dibuat dimulai dari suatu masalah,
pemberian bantuan melalui langkahlangkah yang menggiring siswa
melalui
pertanyaan-pertanyaan
sehingga sampai pada kesimpulan,
untuk menemukan suatu konsep,
definisi ataupun rumus. Mudah
dipakai pengguna, sesuai alur
pikiran siswa, mudah dibaca, tidak
menimbulkan penafsiran beragam,
dan dapat diberikan serta digunakan
oleh semua siswa.
2) Efek
Potensial
Bahan
Ajar
Terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis
Bahan ajar yang telah dikategorikan
valid dan praktis, diujicobakan pada
subjek penelitian yaitu siswa kelas
VIII.4 SMP Negeri 45 Palembang
selama lima kali pertemuan. Dalam
pelaksanaan pembelajaran, siswa
dibagi dalam 6 kelompok dan
diberikan
LKS
yang
telah
dikembangkan,
kemudian
tiap
kelompok membaca, berdiskusi dan
melakukan kegiatan-kegiatan yang
ada pada LKS untuk menyelesaikan
permasalahan yang diberikan.
Pada pertemuan pertama, siswa
diberikan LKS I dengan materi luas
permukaan kubus. Hasil rata-rata
nilai siswa perkelompok 84,2 dan
nilai tugas siswa yang mengarah
pada kemampuan berpikir kritis
siswa rata-rata nilai 71,7. Kesulitan
yang dialami siswa pada LKS I
567
adalah siswa masih sulit memahami
masalah yang terdapat pada soal
sehingga pada saat merumuskan
masalah dan merumuskan hipotesis
masih banyak siswa yang kurang
tepat, karena butuh konsentrasi dan
kerjasama dalam kelompok masingmasing, tetapi secara keseluruhan
kelompok cukup berantusias dalam
mengerjakan
LKS
yang
telah
dikembangkan.
Pada pertemuan kedua, diberikan
materi
volume
kubus.
Setiap
kelompok melakukan kegiatan pada
LKS yang diberikan. Siswa mulai
terbiasa dalam mengerjakan soalsoal dalam LKS. Rata-rata nilai LKS
adalah 79,2 dan nilai tugas yang
mengarahkan
siswa
untuk
kemampuan berpikir kritis rata-rata
90. Pada LKS ini kesulitan yang
dialami
siswa
adalah
saat
merumuskan masalah, merumuskan
hipotesis dan kesimpulan, tetapi
secara
keseluruhan
siswa
berantusias
untuk
berpikir
menyelesaikan soal yang terdapat
pada LKS II.
Pada pertemuan ketiga, diberikan
materi luas permukaan balok. Ratarata nilai LKS siswa 84,2 dan ratarata nilai tugas 75. Kesulitan yang
dialami siswa pada LKS III ini adalah
siswa sulit dalam merumuskan
masalah, merumuskan hipotesis dan
juga saat menguji hipotesis ada
beberapa redaksi soal yang membuat
siswa binggung, tetapi
setelah
dibimbing siswa bisa melakukan
kegiatan dengan baik.
Pada pertemuan keempat, materi
volume balok setiap kelompok
melakukan kegiatan-kegiatan pada
LKS yang diberikan. Siswa mulai
terbiasa dalam mengerjakan soalsoal dalam LKS. Rata-rata nilai LKS
adalah 75,8 dan nilai tugas yang
mengarahkan
siswa
untuk
kemampuan berpikir kritis rata-rata
81,7. Pada LKS ini kesulitan yang
dialami
siswa
adalah
saat
568
merumuskan masalah, merumuskan
hipotesis dan kesimpulan, tetapi
secara
keseluruhan
siswa
berantusias untuk berpikir dan
menyelesaikan soal yang terdapat
pada LKS II.
Pada pertemuan kelima dilakukan
tes akhir. Berdasarkan hasil tes di
akhir pembelajaran yang telah
dilakukan diperoleh bahwa bahan
ajar berupa LKS yang telah diujikan
oleh
siswa
SMP
Negeri
45
Palembang,
sebagai
subjek
penelitian menghasilkan bahan ajar
yang mempunyai efek potensial.
Data Berdasarkan hasil analisis data
tes tergambar pada jawaban siswa
yang dapat mengisi pertanyaan yang
diberikan, meskipun jawaban yang
diberikan belum sempurna tetapi
sudah mengarah dengan harapan
peneliti. Data hasil tes kemampuan
berikir kritis siswa dianalisis untuk
menentukan
kategori
tingkat
kemampuan berpikir kritis siswa.
Pada
penelitian
ini
indikator
kemampuan berpikir kritis dibatasi
menjadi 3 indikator yang akan
dicapai,
dikarenakan
peneliti
menyesuaikan dengan metode dan
materi yang akan dipakai. Adapun
persentase
tingkat
kemampuan
berpikir kritis siswa tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Distribusi Skor Rata-Rata
Kemampuan Berpikir Kritis
Interval
Skor
13,7 – 18,3
9,2 – 13,7
4,6 – 9,1
0 – 4,5
Jumlah
Freku
ensi
1
25
10
2
38
Persent
ase (%)
2,63%
65,79%
26,32%
5,26%
100
Kategori
Sangat
baik
Baik
Cukup
Kurang
3. Simpulan dan Saran
a.
Simpulan
Penelitian ini menghasilkan sebuah
bahan ajar bangun ruang sisi datar
berbasis inquiry. Berdasarkan hasil
penelitian
di
SMP Negeri
45
Palembang maka dapat disimpulkan
bahwa:
diharapkan
dapat
digunakan
sebagai
alternatif
dalam
pembelajaran matematika.
1) Bahan Ajar yang dikembangkan
berdasarkan
inquiry dikategorikan valid dan praktis. Valid
tergambar dari hasil revisi setelah
divalidasi oleh pakar berdasarkan
konten, konstruk dan bahasa.
2) Berdasarkan
proses
pengembangan diperoleh juga bahan ajar
yang menghasilkan efek potensial
terhadap kemampuan berpikir
kritis. Hal ini dilihat dari hasil
yang diperoleh siswa. Dalam
kemampuan berpikir kritis, siswa
secara
klasikal
memiliki
kemampuan berpikir kritis baik.
2) Bagi siswa
Bahan ajar materi bangun ruang
sisi datar kubus dan balok yang
telah dikembangkan berbasis
inquiry diharapkan dapat digunakan
sebagai
alternatif
sumber belajar.
b.
Saran
1) Bagi guru
Bahan
ajar
berupa
materi
pembelajaran bangun ruang sisi
datar kubus dan balok yang telah
dikembangkan berbasis inquiry
3) Calon peneliti
a) Melakukan penelitian lebih
lanjut untuk mengembangkan
bahan ajar berbasis inquiry
untuk materi lain.
b) Diharapkan
dapat
mengembangkan
bahan
ajar
bangun ruang sisi datar pada
kubus dan balok berbasis
inquiry yang lebih luas dan
baik
lagi,
yang
dapat
mengetahui
kemampuan
berpikir kritis.
Daftar Pustaka
Akker, J.V.D. (1999). Principles and Methods of Development Research. dalam
(Eds). Design Approaches and Tools in Education and Training. Dordrecnt :
Klower Academic Publisrs.
Anggraeni, Y. (2010). Pemahaman konsep dalam pembelajaran matematika
dengan menggunakan merode inquiry di kelas VIII SMP Negeri 40
palembang. Indralaya : Universitas Sriwijaya.
Hasratuddin. (2010). Meningkatan kemampuan berpikir kritis siswa SMP
melalui pendekatan matematika realistik. Jurnal Pendidikan Matematika.
Vol 4 (2). 19-20.
Indrianto, L. (1998). Pemanfaatan lembar kerja dalam pengajaran matematika
sebagai upaya peningkatan prestasi belajar matematika. Semarang : IKIP
Kusumawati, E. (2011). Pembelajaran kubus dan balok menurut standar
pengajaran NCTM dengan setting kooperatif. Edumatica,Volume 01 Nomor
01 April 2011 ISSN:2088-2157, hal 33-34. Uniam Bajarmasin.
Maesuri,
S.
Pikirkanlah
Anak
didik
kita.
(Online).
Tersedia
:
http://journey.maesuri.com. Diakses: 19 September 2012
Nizaruddin. (2011). Keefektifan model inquiry dengan pemanfaatan alat peraga
dibandingkan dengan CD interaktif terhadap kemampuan pemecahan
masalah. Journal Of Education IKIP PGRI Semarang. Vol.2. (2).1-12.
Noer, H. S. (2008). Problem-based Learning dan Kemampuan Berpikir Kritis
dalam Matematika. Prosiding Konferensi Nasional Matematika XIV. 961-969.
Universitas Sriwijaya.
569
Nopriayanti. (2010). Pengembangan lembar kegiatan siswa berbasis argumen
untuk melatih siswa menyelesaikan soal-soal pembuktian pada mata
pelajaran matematika di SMP Xaverius 1 Palembang. Tesis. Palembang :
Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya.
Rohati. (2011). Pengembangan bahan ajar materi bangun dengan menggunakan
strategi relating, experiencing, applying, cooperatting, transferring (react) di
sekolah menengah pertama. Edumatica. Vol 1 (2). 61-73
Sanjaya, W. (2008). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses
pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Setiawan dkk. (2012). Pengembangan perangkat pembelajaran matematika
dengan pendekatan problem based learning untuk meningkatkan
keterampiran higher Order Thinking.
(Online). Journal of Research
Mathematics Education. Vol 1 (1) (2012).
Tersedia : http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujrme
Suyitno, A, dkk. (1997). Dasar dan proses pembelajaran matematika. Semarang:
FMIPA UNESS.
Syair. (2008). Pembelajaran matematika dengan menggunakan kooperatif tipe
NHT. (Online). Tersedia: http://syair79.files.wordpress.com/2008/03/babii.pdf. Diakses: tanggal 3 oktober 2012.
Wardani, S. (2003). Strategi pembelajaran matematika SD. bahan ajar
disampaikan pada TOT instruktur matematika SD di propinsi baru.
Yogyakarta : PPPG Matematika.
Wijaya, H. (2010). Penerapan metode inquiry dalam pembelajaran matematika
untuk meningkatkan kemampuan logika berpikir matematika siswa SMA N 1
muara enim. Universitas Sriwijaya : Program pascasarjana palembang.
Zulkardi. (2002). Developing a Learning Environment on Realistic mathematics
Education for Indonesian Student Teachers. Doctoral dissertation. Enschede:
University of Twente, Enschede. The Netherland.
570