Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
of Journal thematics t io n uca Ed Ma Jurnal Edukasi Matematika PENALARAN ALJABAR Latifah Nuraini DAPATKAH RUMUS LUAS LINGKARAN DIBUKTIKAN LEWAT SEGITIGA? Sumardyono PENGGUNAAN MEDIA BERIBU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT Suparman Pilomonu UPAYA MENINGKATKAN SELF-EFFICACY SISWA TERHADAP MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA SISWA KELAS VIII-1 SMP TAMAN DEWASA JETIS YOGYAKARTA Imaludin Agus, Arisnawati Dwi Purwani PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI GENDER MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH BERKARAKTER PADA SISWA KELAS XI SMA YPK MEDAN Rahmi Ramadhani Volume 8 Nomor 15 Halaman 884- 932 Desember 2017 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika (PPPPTK Matematika) 8 SUSUNAN DEWAN REDAKSI JURNAL EDUMAT VOLUME 8 NOMOR 15 TAHUN 2017 PPPPTK MATEMATIKA Pengarah : 1. Kepala PPPPTK Matematika Dr. Dra. Daswatia Astuty, M.Pd. 2. Kepala Bagian Umum Nunik Sukeksi, S.H., M.Hum. Penanggung jawab : Kepala Sub Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangga Harwasono, S.Kom., MM. Reviewer : 1. Dr. Rachmadi Widdiharto, M.A. 2. Dr. Supinah 3. Fadjar Noer Hidayat, M.Ed. 4. Sri Wulandari Danoebroto, S.Si, M.Pd 5. Untung Trisna Suwaji, S.Pd., M.Si. 6. Agus Dwi Wibawa, M.Si. 7. Sigit Tri Guntoro, M.Si. 8. Joko Purnomo, M.T. 9. Drs. Markaban, M.Si. 10. Titik Sutanti, M.Ed. Dewan Redaksi Pemimpin Redaksi Anggota Redaksi : : Dra. Puji Iryanti, M.Sc.Ed. : 1. Dr. Adi Wijaya, M.A. 2. Estina Ekawati, M.Pd.Si. Administrasi : 1. Andar Widiyarti, S.Pd. 2. Anggraheni Suharto, S.IP. 3. Lucia Andris Nurini, S.Psi. Lay Out : 1. Cahyo Sasongko, S.Sn. 2. Muhammad Fauzi Alamat redaksi : Sub. Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangga, PPPPTK Matematika Jl. Kaliurang km.6, Sambisari, Depok, Sleman D.I. Yogyakarta Telp. (0274)881717, 887755 Fax. (0274) 885752 Website. www.p4tkmatematika.org Email. jurnaledumat@p4tkmatematika.org sekretariat@p4tkmatematika.org PENALARAN ALJABAR Latifah Nuraini Institut Pesantren Mathali’ul Falah, Pati Abstract. This article is a literature study on algebraic reasoning with examples of characteristics of algebraic reasoning of seventh graders. Algebra is a branch of mathematics involving symbols and studying about the structure of abstraction system on computation and relations, as well as modeling and solving equations. To understand algebra requires reasoning ability, where the ability is very closely related to drawing conclusions. Algebraic reasoning is essential for understanding algebra, as algebraic capability is important for the mastery of mathematical contents. Due to its importance, teachers are expected to have a clearer and more comprehensive understanding of algebraic reasoning so they could apply it in mathematics learning appropriately. Keywords. Algebraic reasoning, mathematics learning, reasoning 1. Pendahuluan Pengetahuan tentang kemampuan penalaran masing-masing siswa diperlukan untuk mewujudkan pembelajaran matematika yang efektif. Kemampuan penalaran merupakan salah satu dari sekian banyak kecerdasan yang sangat penting dimiliki dan dikuasai siswa saat mempelajari matematika. Sebagaimana kecerdasan dasar lain yang dimiliki anak, kemampuan inilah yang digunakan anak ketika dihadapkan pada masalah matematika (Minarni, 2010). Penalaran adalah bagian tertentu dalam memecahkan masalah yang melibatkan proses penyelidikan dan penarikan kesimpulan terhadap dugaan-dugaan terkait yang telah dibuktikan kebenarannya. Menurut Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2011 terhadap siswa Indonesia pada domain materi, ratarata presentase paling rendah adalah 884 pada kemampuan aljabar yaitu 22% (Rosnawati, 2013). Rendahnya kemampuan aljabar siswa Indonesia sangat mungkin karena siswa belum cukup memahami penggunaan simbol, penyimpulan dari pola-pola tertentu, maupun konsep relasi dan fungsi. Kemampuan menghubungkan, menyimpulkan pola, bilangan, dan simbol dalam materi aljabar sangat erat hubungannya dengan kemampuan penalaran, maka dari itu siswa hendaknya menguasai penalaran aljabar agar mumpuni dalam materi aljabar. Teori mengenai penalaran aljabar hendaknya dipahami dengan baik oleh guru agar dapat merancang pembelajaran yang dapat mengoptimalkan penalaran aljabar siswa. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut mengenai teori penalaran aljabar dan bagaimana menerapkannya dalam pembelajaran. Artikel ini merupakan studi literatur untuk membahas teori penalaran aljabar dengan meletakkan Indonesia sebagai kasus. Diberikan contoh karakteristik penalaran aljabar siswa kelas VII sebagai gambaran rata-rata kemampuan ajabar yang dimiliki siswa di Indonesia. 2. Penalaran Penalaran (reasoning) adalah proses berpikir yang dilakukan dengan suatu cara untuk menarik kesimpulan. Sebagaimana pernyataan Suriasumantri (2007: 42) bahwa penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik kesimpulan berupa pengetahuan, penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir bukan perasaan. Dominowski (2002:57) menyatakan bahwa penalaran adalah jenis khusus dari pemecahan masalah. Intinya, penalaran adalah alat untuk memahami matematika dan pemahaman matematik itu digunakan untuk menyelesaikan masalah. Pengalaman menyelesaikan masalah dapat memperkuat pemahaman dan penalaran matematik yang kemudian kembali menjadi modal untuk memecahkan masalah baru atau masalah yang lain lagi, demikian siklus itu seharusnya berlangsung. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) menegaskan bahwa bernalar dan membuktikan adalah salah satu dari lima kompetensi yang harus tumbuh dan berkembang ketika anak belajar matematika. Curriculum and Evaluation Standards (NCTM, 1989) memberikan ciri-ciri saat proses penalaran sedang berlangsung, yaitu bila: (a) menggunakan coba-ralat dan bekerja mundur untuk menyelesaikan masalah, (b) membuat dan menguji dugaan, dan (c) menciptakan argumen. Shadiq (2009:14) menyatakan indikator-indikator penalaran yang dicapai oleh siswa adalah kemampuan menyajikan pernyataan secara lisan, tertulis, gambar dan diagram, kemampuan mengajukan dugaan, kemampuan melakukan manipulasi, kemampuan menyusun bukti, memberikan alasan/bukti terhadap kebenaran solusi, kemampuan menarik kesimpulan dari pernyataan, memeriksa kesahihan suatu argumen, menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi. Russel (NCTM,1999:l) menyatakan bahwa penalaran matematik adalah pusat belajar matematika. Matematika adalah suatu disiplin berkenaan dengan objek abstrak dan penalaranlah alat untuk memahami abstraksi. Russel menambahkan, penalaranlah yang digunakan untuk berpikir tentang sifat-sifat sekumpulan objek matematik dan mengembangkan generalisasi yang dikenakan padanya. Penalaran melibatkan beberapa keterampilan penting seperti menyelidiki pola, membuat dan menguji dugaan (conjecture), dan menggunakan penalaran deduktif dan induktif formal untuk memformulasikan argumen matematik. Sejalan dengan pernyatan Russel di atas, Sumarto (2006: 6) menyatakan penalaran dibedakan menjadi dua, yaitu penalaran deduktif dan 885 induktif. Penalaran deduktif didasarkan atas prinsip, hukum, atau teori yang berlaku umum tentang suatu hal atau gejala untuk ditarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus. Sementara penalaran induktif merupakan proses penalaran untuk sampai pada suatu keputusan, prinsip, atau sikap yang bersifat umum, berdasarkan pengamatan atas hal-hal khusus. Menurut NCTM (2000: 56), bernalar matematik adalah suatu kebiasaan, dan seperti kebiasaan lainnya, maka ia mesti dikembangkan melalui pemakaian yang konsisten dan dalam berbagai konteks. NCTM menambahkan, orang yang bernalar dan berpikir secara analitik akan cenderung mengenal pola, struktur, atau keteraturan baik di dunia nyata maupun pada simbol-simbol. Gigih mencari tahu apakah pola itu terjadi secara kebetulan ataukah ada alasan tertentu. Membuat dugaan dan menyelidiki kebenaran atau ketidakbenaran dugaan itu. Membuat dan menyelidiki dugaan adalah hal yang sangat penting dalam matematika, karena melalui dugaan berbasis informasilah penemuan matematik sering terjadi. Jadi, melalui pemecahan masalah matematik siswa dibimbing, didorong, dan difasilitasi untuk mengasah seluruh kemampuan penalaran matematiknya agar dapat tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penalaran merupakan bagian tertentu dalam memecahkan masalah yang melibatkan proses penyelidikan dan 886 penarikan kesimpulan terhadap dugaan-dugaan terkait yang telah dibuktikan kebenarannya. 3. Aljabar Aljabar merupakan cabang matematika mengenai studi tentang struktur, hubungan dan kuantitas. Nama ini ini berasal dari risalah yang ditulis oleh matematikawan Persia Muhammad ibnu Musa alKhawarizmi dalam Al-Kitab al Jabr wal-Muqabala, yang menyediakan operasi simbolik untuk solusi matematis persamaan linear dan kuadrat. Beberapa hal yang menjadi penyebab kesulitan siswa di antaranya konsep variabel dan simbol-simbol yang belum pernah dijumpai pada pembelajaran matematika sebelumnya. Selain itu pemahaman siswa tentang konsep aritmetika yang kurang baik menyebabkan kesulitan memahami konsep dasar aljabar. Kesulitan ini berkaitan dengan perbedaan antara konsep aritmetika dan konsep aljabar. Konsep aritmetika memfokuskan pada hasil operasi data spesifik, sedangkan pada konsep aljabar melibatkan pembuatan hubungan yang jelas antara suatu yang tidak diketahui dengan data dan melakukan manipulasi untuk menyelesaikan masalah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 31) aljabar diartikan sebagai cabang matematika yang menggunakan tanda-tanda dan huruf-huruf untuk menggambarkan atau mewakili angka-angka (a, b, c, sebagai pengganti bilangan yang diketahui dan x, y, z untuk bilangan yang tidak diketahui). Aljabar adalah proses mengenali hubungan antara kuantitas dan operasi (Ontario Ministri of Education, 2013). Aljabar adalah suatu cara berpikir, suatu kumpulan konsep, dan keterampilan yang memungkinkan siswa melakukan generalisasi, memodelkan, dan menganalisis situasi matematika (NCTM, 2008). Chiappini dan Lemut menyatakan bahwa tidak seperti aritmetika, tujuan utama aljabar tidak untuk menyatakan perhitungan numerik, tetapi menyediakan jalan untuk merepresentasikan, menganalisis, dan memanipulasi relasi yang memuat bilangan dan huruf (Dettori et al., 2002). Aljabar adalah ilmu logika yang dinyatakan dengan simbol-simbol dan memungkinkan untuk mendeskripsikan dan menganalisis hubungan antar kuantitas (Dobrynina dan Tsankova, 2005). Hal ini sesuai dengan Kieran (2004) yang menyatakan untuk mengembangkan cara berpikir aljabar diperlukan penyesuaian di antaranya: a) fokus pada hubungan dan tidak hanya pada jawaban berupa perhitungan numerik, b) fokus pada operasi-operasi dan inversnya, c) fokus pada langkah dan penyelesaian masalah, bukan hanya penyelesaiannya, d) fokus pada bilangan dan huruf/variabel, bukan hanya pada angka saja, termasuk melakukan operasi pada sesuatu yang belum diketahui misalkan variabel atau parameter, menerima kalimat terbuka sebagai jawaban, membandingkan kesamaan pernyataan-pernyataan berdasarkan sifat pada evaluasi numerik, dan e) memfokuskan kembali makna tanda sama dengan. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa aljabar adalah ilmu logika yang menggunakan simbol-simbol untuk menentukan hubungan dari suatu yang tidak diketahui dengan data, memanipulasi relasi yang memuat bilangan dan simbol, fokus pada sifat operasi tidak hanya pada hasil perhitungan, dan mengetahui makna tanda sama dengan dalam suatu persamaan. 4. Penalaran Aljabar Penalaran aljabar diambil dari kata penalaran sebagai suatu penarikan kesimpulan dan aljabar sebagai suatu pernyataan bervariabel yang mewakili suatu nilai. Jadi berdasarkan arti kata, penalaran aljabar merupakan proses penarikan kesimpulan dari hal yang khusus dan menyatakan kesimpul-an tersebut dalam pernyataan bervariabel. Penalaran aljabar (Ontario Ministry of Education, 2013) mendasari semua penalaran matematika, karena dalam aljabar struktur matematika dapat dieksplorasi. Kaput dan Blanton (Ontario Ministry of Education, 2013) menyatakan bahwa penalaran aljabar adalah proses menggeneralisasikan ide matematika dari suatu hal yang khusus melalui pemberian argumen, dan menyatakan secara formal sesuai perkembangan usia siswa. De Walle et al. (Ontario Ministry of Education, 887 2013) menyatakan penalaran aljabar melibatkan pembentukan perumuman/generalisasi dari pengalaman dengan bilangan dan perhitungan, memformalkan ide tersebut dengan menggunakan sistem simbol, dan mengeksplorasi konsep dari pola dan fungsi. Berdasarkan pernyataan De Walle et al. di atas, menunjukkan pentingnya generalisasi dalam penalaran aljabar. Generalisasi merupakan bagian dari penalaran aljabar yang berkembang melalui pengalaman yang berkelanjutan. Hal tersebut diungkapkan dalam penelitian Radford (2003) terhadap penyelesaian masalah pola bilangan. Siswa tidak serta merta dapat melakukan generalisasi terhadap masalah pola bilangan, generalisasi berkembang dari perhitungan dengan bilangan konkret hingga penggunaan simbol. Radford (2003) mengidentifikasikan perkembangan generalisasi dalam tiga tipe yaitu factual generalization, contextual generalization, dan symbolic generalization. Tipe generalisasi faktual adalah generalisasi terhadap objek matematika yang menggunakan skema numerik yang terbatas pada level bilangan konkret. Generalisasi kontekstual adalah tipe generalisasi berikutnya yang sudah meninggalkan perhitungan dengan bilangan konkret, penentuan nilai dilakukan dengan memperhatikan pola sebelum dan sesudah tanpa melibatkan pola spesifik. Generalisasi yang telah menggunakan huruf sebagai simbol dalam menentukan nilai, dan menentukan 888 bentuk paling sederhana dari formula tersebut disebut generalisasi simbolik. Penalaran aljabar sebagai generalisasi aritmetika menurut Carpenter et al. (Ontario Ministry of Education, 2013) adalah penalaran tentang operasi dan sifat yang berhubungan dengan bilangan. Generalisasi aritmetika adalah perubahan dari perhitungan pada bilangan tertentu menuju berpikir tentang struktur matematika yang mendasari aritmetika dengan mengidentifikasi pola yang ditemukan pada aritmetika. Siswa dapat mengembangkan penalaran aljabar dengan beberapa cara dalam generalisasi aritmetika yaitu menyelediki sifat dan hubungan, menyelediki persamaan sebagai hubungan antara kuantitas, menggunakan simbol sebagai variabel. Penalaran aljabar sebagai pemikiran fungsional menurut Beatty dan Bruce (Ontario Ministry of Education, 2013) adalah menganalisis pola (numerik dan geometri) untuk mengidentifikasi perubahan dan untuk mengenali hubungan antara dua himpunan bilangan. Berpikir fungsional adalah bentuk lain dari generalisasi. Fungsi adalah hubungan antara dua himpunan data dimana masing-masing elemen dari satu himpunan dihubungkan dengan elemen unik dari himpunan yang lain. Siswa dapat mengembangkan cara berpikir fungsional pada beberapa cara yang berbeda, misalnya generalisasi pola, dan menggunakan invers. Berdasarkan uraian di atas, penalaran aljabar adalah proses seseorang melakukan generalisasi objek matematika dari suatu hal yang khusus dan menyatakan dalam bentuk umum/formal menggunakan simbol/variabel, serta dapat menentukan hubungan fungsional objek matematika. Hubungan fungsional ini dapat berupa penentuan suatu nilai berdasarkan formula tertentu, ataupun menentukan formula apabila diketahui nilai-nilainya. Level 5. Level Penalaran Aljabar Level Ake et al. (2013) mengajukan empat level penalaran aljabar dengan menggunakan tiga kriteria berikut. a. Adanya bentuk umum yang dihasilkan dari proses generalisasi. b. Langkah-langkah dalam melakukan generalisasi. c. Operasi dan transformasi terhadap variabel dalam bentuk umum yang dihasilkan dari proses generalisasi. Karakteristik masing-masing level aljabar menurut Ake et al. (2013) diuraikan pada tabel berikut. Tabel 1. Level penalaran aljabar Level Level 0 Karakteristik - objek ekstensif (extensive object) - dinyatakan dengan bahasa apa adanya, numerik, ikonik, dan dengan isyarat tertentu - terdapat simbol (masih berupa gambar) untuk mewakili suatu nilai - hasil yang diperoleh berasal dari operasi pada objekobjek khusus Level 1 2 Level 3 Karakteristik - objek intensif (intensive object) - generalisasi dapat dikenali dengan jelas dengan bahasa apa adanya, numerik, ikonik, dan dengan isyarat tertentu - terdapat simbol yang merujuk pada objek intensif, tetapi tidak melakukan operasi terhadap objek tersebut - melibatkan variabel yang dinyatakan dengan bahasa simbol yang merujuk pada objek intensif, tetapi masih bersifat sementara - bentuk umum berupa persamaan Ax±B=C - tidak melakukan operasi dengan variabel untuk membuat bentuk umum - objek intensif dinyatakan dengan bahasa simbol - melakukan transformasi dengan tidak merubah persamaan (equivalen) - terdapat operasi terhadap variabel untuk membuat bentuk umum (sumber: Ake et al., 2013) Hasil dari proses generalisasi disebut objek intensif (intensive object), sedangkan objek baru yang diperoleh melalui operasi terhadap objek-objek tertentu disebut objek ekstensif (extensive object) (Godino et al., 2007). Kumpulan dari objek khusus yang diperoleh sebagai hasil generalisasi tidak dianggap intensif jika masih ada batasan terhadap aturan generalisasi tersebut. 6. Karakteristik Penalaran Aljabar Siswa Kelas VII Level karakteristik penalaran aljabar beberapa siswa kelas VII SMPN 1 889 Margoyoso Kabupaten Pati, Jawa Tengah berdasarkan level penalaran aljabar Ake et al (2013) dengan instrumen pola bilangan (Latifah, 2015) terletak pada level yang lebih tinggi dari level 2 namun belum mencapai level 3. Pada level tersebut siswa masih membutuhkan dorongan untuk melakukan operasi pada variabel. Indikator Karakteristik - - - Melakukan generalisasi (K2) Gambar 1. Instrumen yang digunakan untuk mengetahui karakteristik penalaran aljabar Karakteristik penalaran aljabar siswa tersebut sebagai berikut. Tabel 2. Karakteristik penalaran aljabar siswa SMP kelas VII Indikator Karakteristik - Memahami masalah (K1) 890 menggunakan informasi pada soal untuk menentukan langkah penyelesaian masalah, hal tersebut menunjukkan Membuat bentuk umum dengan - bahwa siswa memahami masalah (K1) memunculkan variabel dan memahami maknanya, hal ini menunjukkan subjek tidak menggunakan bahasa simbol (K2-1) siswa dapat membuat perhitungan untuk menentukan kuantitas yang ditanyakan, menunjukkan siswa tidak bergantung pada objek khusus (K2-2) memunculkan variabel dan memahami maknanya, hal ini menunjukkan subjek menggunakan bahasa simbol (K2-3) memperhatikan keteraturan pola yang diketahui, kemudian membuat perhitungan untuk menentukan kuantitas pola yang ditanyakan. Hal ini menunjukkan subjek melakukan generalisasi (K2-4) membuat bentuk umum menggunakan Indikator variabel (K3) Karakteristik - - Menyelesaikan masalah (K4) variabel, dan memahami maknanya (K31) tidak melakukan operasi pada variabel (tidak berkategori K32) menyelesaikan masalah (K4-1) memahami bentuk umum, sehingga siswa dapat menggunakan bentuk umum untuk menyelesaikan masalah (K4-2) Siswa pada usia 11 – 12 tahun menurut psikologi kognitif Piaget berada pada tahap operasional formal, di mana pada tahap tersebut siswa dapat memikirkan dan membayangkan konsep abstrak, dapat menyimpulkan dengan logis, menguji hipotesis, dan mengoperasikan variabel. Hal tersebut sesuai dengan level penalaran aljabar level 3. Namun berdasarkan Tabel 3, siswa belum berada pada tahap kognitif operasional formal dan belum berada pada level penalaran aljabar level 3. Berdasarkan penelitian tersebut siswa masih belum terbiasa melakukan penalaran aljabar, sehingga masih memerlukan dorongan untuk melakukan operasi variabel (karakteristik K3-2). Tabel 3. Level penalaran aljabar siswa kelas VII SMPN 1 Margoyoso Indikator penalaran aljabar Memahami Karakterist ik yang dimiliki pada tes pertama K1 Karakterist ik yang dimiliki pada tes kedua K1 masalah (K1) Melakukan generalisasi (K2) K2-1, K2-2, K2-3, K2-4 K2-1, K2-2, K2-3, K2-4 Membuat bentuk umum dengan variabel (K3) K3-1, belum sepenuhnya berkate-gori K3-2 K3-1, belum sepenuhny a berkategori K3-2 Menyelesaik an masalah (K4) K4-1, K4-2 K4-1, K4-2 Level Penalaran Aljabar di atas level 2 namun belum mencapai level 3 di atas level 2 namun belum mencapai level 3 7. Implementasi Penalaran Aljabar dalam Pembelajaran Matematika Menerapkan penalaran aljabar dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan pada pendidikan anak usia dini, misalnya mengenalkan konsep angka (membilang, mencocokkan, dan membandingkan), mengenalkan konsep pola dan hubungan, mengenalkan konsep memilih dan mengelompokkan (Lestari, 2011). Mengembangkan kemampuan penalaran aljabar tidak dapat dilakukan secara instan. Aljabar yang paling sederhana adalah mengelompokkan, kemudian menentukan pola hubungan, dan konsep aljabar kemudian semakin kompleks dan abstrak misalnya pada penggunaan dan operasi variabel. Oleh karena itu siswa perlu dilatih tahap demi tahap agar kemampuan tersebut menjadi keterampilan. 891 Penting untuk mengenalkan aljabar pada siswa dengan bantuan benda konkret sehingga kemudian dapat mengerjakan soal yang disajikan dengan gambar (Ontario Ministry of Education, 2013). Perhatikan Gambar 2 berikut, siswa diminta menentukan bagaimana cara yang tepat untuk mencari banyak tusuk gigi pada pola tertentu. Soal berikut dapat diberikan pada siswa pada semua kelas, pertanyaan dapat disesuaikan tergantung kelas. Misalkan pada siswa SD kelas awal digunakan benda konkret berupa tusuk gigi, dan siswa diminta menentukan bagaimana cara untuk menentukan banyak tusuk gigi kesepuluh. Kemudian pada siswa SD kelas tinggi dengan menggunakan gambar, diminta untuk menentukan rumus yang digunakan untuk menentukan banyak tusuk gigi pada pola keseratus tanpa menghitung secara aritmatik (penambahan berulang). Gambar 2. Soal menentukan pola tusuk gigi (sumber: Ontario Ministry of Education, 2013) Penggunaan tabel seperti gambar berikut, dapat digunakan untuk mempermudah menentukan bagaimana cara mencari banyaknya tusuk gigi yang diperlukan untuk menyusun pola ke seratus. Pertama menulis urutan pola pada kolom pertama, kemudian menulis banyak tusuk gigi pada kolom ketiga, terakhir siswa menentukan cara yang tepat memperoleh banyak tusuk gigi dan menulisnya pada kolom kedua. Tabel 4. Menentukan rumus dari pola 892 (I) Pola Ke- (II) Bagaimana Cara Memperolehnya? 1 2 3 : 100 2+3 2+3+3 2+3+3+3 (III) Banyak Tusuk Gigi 5 8 11 : : Siswa mula-mula menuliskan cara yang berbeda pada kolom kedua, kemudian guru mengarahkan melalui gambar tusuk gigi tersebut apa yang tetap dan apa yang berubah. Siswa dengan kemampuannya menyimpulkan bagaimana cara memperoleh banyak tusuk gigi yang dibutuhkan. Mungkin beberapa siswa dapat dengan mudah menyimpulkan rumus berdasarkan perhitungannya di kolom kedua. Namun ada pula siswa yang membuat tabel tersebut sampai baris keseratus dan melakukan perhitungannya satu per satu. Apabila siswa dapat dengan mudah menentukan rumus 2 + 3n dapat dikatakan siswa memiliki karakteristik penalaran aljabar level 3, atau dalam tahap kognitif Piaget berada pada tahap operasional formal. Sebaliknya jika siswa masih melakukan perhitungan manual, maka siswa masih melakukan tahapan hitung aritmatika, dan dapat dikatakan belum memiliki karakteristik penalaran aljabar. Perkembangan kemampuan penalaran aljabar masing-masing siswa berbeda-beda tergantung lingkungan, pendidikan, dan usia. Hal ini memungkinkan pada suatu kelas dengan siswa dengan usia yang relatif sama memiliki kemampuan yang berbeda. Sebagai pendidik sebaiknya bijak menyikapi hal ini, misalnya mengondisikan kelas menjadi kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 siswa dengan kemampuan heterogen. Dengan pengkondisian tersebut memungkinkan siswa mendiskusikan pemikirannya, dan diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penalaran aljabar melalui kegiatan tersebut. Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat digunakan agar siswa dapat mengembangkan kemampuan penalaran aljabar dalam diskusi. Langkah-langkah untuk mengembangkan kemampuan penalaran aljabar (Ontario Ministry of Education, 2013) di antaranya, (a) mengajukan dan menguji dugaan, (b) menjustifikasi dan membuktikan, (c) memprediksikan. a. Mengajukan dan menguji dugaan Untuk menyelidiki hubungan aljabar, diperlukan pemikiran yang lebih. Salah satu hal yang paling penting untuk mengembangkan pemikiran aljabar siswa adalah membantu siswa membuat dugaan (konjektur) dan membantu mereka menyaring dugaannya yang mungkin salah atau tidak tepat. Misalnya pada contoh 12 – 12 = 0 dan 45 – 45 = 0 sehingga memunculkan dugaan bahwa “jika bilangan pertama sama dengan bilangan kedua, jawabannya adalah nol.” Kemudian diperbaiki menjadi “jika kamu mengurangi bilangan dengan bilangan yang sama, hasilnya adalah nol.” b. Menjustifikasi dan membuktikan Sangat penting pula untuk berlatih menjustifikasi dan membuktikan suatu dugaan. Pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengujinya adalah “apakah ini selalu benar? Bagaimana kamu mengetahuinya?” Melalui latihan, siswa dapat memahami bahwa jika ada satu contoh yang mengakibatkan simpulannya salah, maka dugaannya pun salah. Selain itu dengan banyak latihan siswa dapat memahami bahwa suatu contoh tidak dapat membuktikan sebuah dugaan, dan dengan membutuhkan banyak contoh dari suatu aturan untuk membuktikan dugaan tersebut berlaku. c. Memprediksikan Sebuah pola aturan adalah suatu simpulan yang memungkinkan untuk mem-prediksi jawaban yang tepat. Siswa dapat memulai dengan pertanyaan “jawaban apa yang mungkin untuk pola berikut-nya?” kemudian pada jawaban beberapa pola setelah itu, hingga jawaban pola tertentu yang sangat jauh dari pola awal. Meminta siswa menjawab pola tertentu yang sangat jauh dari pola awal akan mendorong siswa untuk mengetahui hubungan, menentukan operasi yang mungkin, dan menyimpulkan formula/rumus yang cocok untuk menentukan jawaban yang diminta. Pada proses tersebut siswa menganalisis karakteristik dari data, sehingga ditemukanlah operasi yang mungkin untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Demikian beberapa cara yang dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kemampuan penalaran aljabar pada pembelajaran matematika. Tentunya masih ada banyak cara yang dapat digunakan dengan memanfaatkan teori di atas ataupun menggunakan referensi lain. Guru dapat memilih maupun mengombinasikan berbagai langkah tersebut sesuai kemampuan kognitif siswa, tersedianya alat peraga, maupun media yang tersedia. 8. Kesimpulan 893 Penalaran aljabar adalah proses seseorang melakukan generalisasi objek matematika dari suatu hal yang khusus dan menyatakan dalam bentuk umum/formal menggunakan simbol/variabel, serta dapat menentukan hubungan fungsional objek matematika. Hubungan fungsional ini dapat berupa penentuan suatu nilai berdasarkan formula tertentu, ataupun menentukan formula apabila diketahui nilai-nilainya. Penalaran aljabar sangat penting untuk memahami materi aljabar mulai dari yang sederhana hingga materi kompleks menggunakan operasi variabel. Penalaran merupakan berpikir tingkat tinggi sehingga dalam pengembangannya terutama pada materi aljabar diperlukan proses yang tidak instan. Penalaran aljabar dapat diper-kenalkan mulai pendidikan usia dini hingga siswa mengembangkan kemampuan berpikir formal, sehingga nantinya siswa mudah beradaptasi pada saat siswa dihadapkan dengan situasi yang kompleks khususnya pada aljabar. Daftar Pustaka Ake, L. P., Godino, J. D., Gonzato, M., &Wilhelmi, M. R. (2013). Proto-Algebraic Level of Mathematical Thinking. Proceedings of the 37th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education.Vol 2. PME 37/KIEL/GERMANY. Depdiknas. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dettori, G., Garuti, R, & Lemut, E. (2002). From Arithmetic to Algebraic Thinking by Using a Spreadsheet. In Perspectives on School Algebra, R. Sutherland, T. Rojano, A. Bell and R. Lins (eds.), Mathematics Education Library, V. 22, Dodrecht: Kluwer Academic Pub., pp. 191-207. ISBN: 978-0-7923-6462-7 DOI10.1007/0-306-47223-6_11. Dobrynina, G., & Tsankova, J. (2005). Algebraic Reasoning of Young Students and Preservice Elementary Teachers. Proceedings of the 27th annual meeting of the North American Chapter of the International Group for the Psychology of Mathematics Education. Lloyd, G. M., Wilson, M., Wilkins, J. L. M., & Behm, S. L. (Eds.). Dominowski, R. L. (2002). Teaching Undergraduates. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates Publisher. Godino, J.D., Batanero, C., & Font, V. (2007).The Onto-Semiotic Approach to Research in Mathematics Education. ZDM The International Journal on Mathematics Education. Vol. 39 (1 – 2). 127 – 135. Kieran, C. (2004). Algebraic Thinking in Early Grades: What is it? The Mathematics Educator. Vol. 8, No. 1, 139 – 151. Lestari. (2011). Konsep Matematika untuk Anak Usia Dini. Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini. (tersedia online) Minarni, A. (2010). Peran Penalaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa. Makalah dipresentasikan pada 27 November 2010 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY) NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston: VA. _______. (1999). Developing Mathematical Reasoning in Grade K-12. Reston: VA. _______. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston: VA. _______. (2008). Algebra: What, When, and for Whom. Reston: VA. Nuraini, L. (2015). Penalaran Aljabar Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Margoyoso Kabupaten Pati dalam Pemecahan Masalah Matematika Tahun Pelajaran 2014/2015. Surakarta : Program Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tesis. 894 Ontario Ministry of Education. (2013). Paying Attention to Algebraic Reasoning. Toronto, ON: Queen’s Printer for Ontario. Radford, L. (2003). Gestures, speech, andthe sprouting of sign: A semiotic-cultural approach to students’ types of generalization. Mathematical Thinking and Learning, 5 (1), 37-70. Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Rosnawati, R. (2013). Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP Indonesia pada TIMSS 2011. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 18 Mei 2013. Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Makalah disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar tanggal 6 - 19 Agustus di PPG Matematika. Sumantri, J. S. (2007). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sumarto. (2006). Konsep Dasar Berpikir: Pengantar ke Arah Berpikir Ilmiah. Disajikan dalam seminar akademik HUT ke-40 FE UPNV Jatim Surabaya: 23 Maret 2006. 895 DAPATKAH RUMUS LUAS LINGKARAN DIBUKTIKAN LEWAT SEGITIGA? Sumardyono PPPPTK Matematika Abstract. In this paper, we observe some mistakes or misconceptions which emerge from using triangle shape to derive the formula of circle’s area. Based on that problem, we construct some alternative methods to prove the formula of circle’s area using triangle pattern, i.e we use formula of triangle`s area to derive the formula of circle’s area. The use of formulas of area of other shapes like trapezoid/trapezium, paralellogram, kite, rhombus, and irregular hexagon to prove the formula of circle’s area are also provided in this paper. Keywords: area, circle, proof, triangle 1. Pendahuluan membuktikan rumus luas lingkaran lewat segitiga. Banyak dokumen dan literatur yang menyuguhkan pembuktian rumus luas lingkaran melalui susunan juring yang berbentuk mirip segitiga, lalu dengan rumus luas segitiga dibuktikan rumus luas lingkaran, 𝜋𝑟 2 . Ilustrasinya pada Gambar 1. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: a. Apakah pembuktian dengan pola segitiga di atas dapat dibenarkan? b. Jika tidak, apakah dimungkinkan untuk membuktikan rumus luas lingkaran menggunakan pola segitiga? Untuk menjawab permasalahan di atas, digunakan cara kajian kritis terhadap beberapa literatur yang memuat pembuktian di atas, dengan menjustifikasikannya menggunakan metode induktif maupun deduktif (formal). Selanjutnya, dengan mempertahankan pendekatan yang sama untuk pembuktian pola segitiga tersebut, penulis mengonstruksi beberapa alternatif lain yang lebih tepat untuk 896 Gambar 1. Pola segitiga dengan ukuran segitiganya. 2. Kekeliruan Pembuktian Rumus Luas Lingkaran Lewat Pola Segitiga Berikut ini garis besar pembuktian rumus luas lingkaran menggunakan pola segitiga tersebut: • Sebarang lingkaran dipotongpotong menjadi 𝑛2 juring yang • • kongruen (n suatu bilangan asli). Misalnya, 4, 9, 16 atau 25 juring yang kongruen. Lalu, kesemua juring disusun menjadi berpola segitiga, seperti Gambar 1. Oleh karena membentuk pola segitiga, kemudian menggunakan rumus segitiga untuk menghitung luas lingkaran. Hal ini dilakukan dengan menentukan alas segitiga dan tinggi segitiga. Dalam kasus umum, alas segitiga disusun dari n buah juring sehingga panjang 𝐾 2𝜋𝑟 , alas dinyatakan dengan 2 𝑛 = 𝑛 𝑛 K = keliling lingkaran. Sementara tinggi segitiga yang juga dibentuk dari n buah juring dinyatakan dengan nr. Dengan menggunakan rumus luas segitiga diperoleh luas lingkaran (namakan L) sebagai berikut. 1 2𝜋𝑟 𝑛 2 L= ⋅ Contoh. Pada sebuah prosiding seminar nasional (Tisa, 2015), terdapat penjelasan pembuktian rumus luas lingkaran ( gambar 2). Terlepas dari banyak penulisan ekspresi matematika yang tidak tepat, konsep susunan juring dan konsep segitiga pada uraian di Gambar 2, keduanya tidak terbedakan dengan jelas dan tepat. Bahkan dinyatakan bahwa (luas) 16 juring sama dengan (luas) segitiga samakaki. Pada perhitungan luas segitiga, misalnya, terdapat penggunaan alas segitiga sama dengan ¼ keliling lingkaran. ⋅ 𝑛𝑟 = 𝜋𝑟 2 Dengan menelaah langkah pembuktian seperti di atas dan dari beberapa literatur atau dokumen yang memuat pembuktian dengan cara yang sama, berikut beberapa kekeliruan yang termuat dalam pembuktian seperti di atas. a. Klaim bentuk susunan juring sebagai segitiga Beberapa dokumen yang memuat pembuktian dengan cara yang mirip di atas, mengklaim susunan dari beberapa juring lingkaran membentuk segitiga sempurna. Ini ditandai dengan penggunakan rumus segitiga. Jelas, bahwa secara intuitif, bentuk susunan yang dimaksud hanya “mirip” segitiga, karena jelas mudah dipahami bahwa setiap juring tidak sama dengan segitiga. Gambar 2. Contoh dokumen yang memuat kesalahan: luas juring sama dengan luas segitiga. b. Klaim untuk sebarang n, bentuk susunan juring adalah segitiga Bahkan ada dokumen yang mengklaim bahwa susunan tersebut adalah segitiga untuk setiap n buah juring dan dalam pembuktiannya menggunakan sebarang n buah juring. Contoh. Perhatikan screenshoot salah satu laman Slideshare.net yang memuat dokumen pdf tentang pembuktian rumus luas lingkaran melalui susunan juring membentuk “segitiga”. (https:// www.slideshare.net/ abelrb/). 897 Gambar 3a dan 3b merupakan contoh dokumen yang memuat kesalahan dengan menyatakan luas n juring sama dengan luas n segitiga. Mudah dipahami dari penjelasan dari dokumen di Slideshare di atas, penulis tersebut menganggap susunan juring sebanyak n sebagai sebuah segitiga (sempurna), dengan menghitung luas setiap juring menggunakan rumus luas segitiga. Gambar 3a. Miskonsepsi luas c. Klaim bahwa untuk n menuju tak hingga (banyak juring tak-hingga) maka bentuknya adalah segitiga. Ada pula dokumen yang mengklaim untuk sebarang n termasuk n menuju tak hingga maka bentuknya tetap segitiga sehingga dipergunakan rumus luas segitiga. Contoh. Perhatikan cuplikan dokumen (Rifandi, 2014) di sebuah laman berikut ini (Gambar 4). Terdapat kalimat, “..., semakin banyak juring maka akan semakin membentuk segitiga sama kaki yang lebih mendekati ... “. Kalimat ini mengarahkan pembaca pada pengertian bahwa semakin banyak juringnya maka bentuknya mendekati segitiga sama kaki yang sempurna. Gambar 3b. Miskonsepsi luas 898 Padahal kenyataannya harus disadari bahwa jika banyak juring menuju tak hingga, maka bentuknya menjadi garis bukan lagi secara spesifik berupa segitiga samakaki. Gambar 4. Kesalahan bentuk susunan juring menuju bentuk segitiga Pada “pembuktian” di atas juga memuat kekeliruan menyatakan luas lingkaran sama dengan luas susunan juring (yang terbatas). Jadi, apa yang sesungguhnya terjadi? Sangat jelas bahwa untuk 𝑛 → ∞ maka alas “segitiga” tersebut menjadi 2𝜋𝑟 =0 dan tinggi “segitiga” lim𝑛→∞ 𝑛 tersebut menjadi lim𝑛→∞ 𝑛𝑟 = ∞ . Dapatkah bentuk demikian dikatakan sebagai segitiga dengan alas 0 dan tinggi ∞. Mengapa pada bukti-bukti di atas, diperoleh rumus yang benar? Tampaknya apa yang membuat beberapa penulis terjebak pada kekeliruan di atas, adalah “terbuktinya” cara tersebut untuk membuktikan rumus luas lingkaran, yang ditandai dengan munculnya rumus luas lingkaran 𝜋𝑟 2 pada bagian akhir pembuktian. Tetapi apakah benar seperti itu? Perhatikan bawah ini. contoh sederhana Mirip dengan kasus ini, pengerjaan pada pembuktian menggunakan pola segitiga pada bagian sebelumnya, tidak dapat dibenarkan, walaupun hasilnya benar. Tetapi mengapa hasilnya benar? Perhatikan yang berikut ini. Bentuk “segitiga” yang dipergunakan sesungguhnya ekuivalen dalam konteks limit dengan bentuk “persegipanjang” pada gambar di bawah ini. Secara intuitif, ini dikarenakan bentuk “segitiga” tadi dapat ditransformasi ke bentuk “persegipanjang” (tanpa mengubah luasnya). di Tampak bahwa dengan pengerjaan menghilangkan angka yang sama di atas dan di bawah tanda bagi (per) maka diperoleh hasil berupa angka yang tersisa yang membentuk pecahan ½. Hasilnya memang benar, tetapi apakah pengerjaan di atas dapat dibenarkan? Gambar 5. Transformasi juring dari pola segitiga ke pola persegipanjang. Perhatikan pula bahwa transformasi tersebut sesuai dengan kesamaan di bawah ini. 1 𝐾 2 𝑛 L = ⋅ ⋅ 𝑛𝑟 = 𝐾 2 ⋅𝑟 899 Perhitungan di atas berlaku hanya jika 𝑛 ≠ 0. Untuk sebarang n bilangan real, tentu hasil di atas benar. Jika diteruskan, ruas kiri akan sama dengan 𝜋𝑟 2 (rumus luas lingkaran). 3. Bagaimana Cara Menemukan Rumus Luas Lingkaran Melalui Pola Segitiga? Pada bagian ini, sebagai alternatif pembuktian menggunakan pola segitiga (karena metode sebelumnya ternyata tidak sebaik yang diduga, mengandung banyak potensi kekeliruan dan miskonsepsi), maka diberikan beberapa cara menggunakan pola segitiga, termasuk juga pola bangun datar lainnya selain persegipanjang. Agar pembahasan tidak melebar jauh, apa yang dimaksudkan dengan penggunaan pola segitiga adalah menyusun kembali bagian-bagian daerah lingkaran (yang dipotong dengan cara atau pola tertentu) hingga menjadi sebuah pola yang mirip segitiga dan limit bentuknya (untuk banyak potongan menuju takhingga) merupakan sebuah segitiga. Dalam bagian ini, potongan yang dimaksud adalah juring-juring lingkaran. a. Penggunaan Juring Lingkaran pada Prinsipnya menggunakan Rumus Segitiga Sebenarnya kebanyakan pembuktian luas lingkaran dengan cara induktif yang menggunakan potongan juring menggunakan rumus segitiga di dalamnya. Perhatikan bahwa secara intuitif, kita sebenarnya dapat memandang sebuah lingkaran dengan jari-jari r sebagai gabungan tak-hingga banyaknya juring lingkaran. 900 Gambar 6. Lingkaran sebagai gabungan juring. Jika banyak juring terbatas, maka setiap segitiga yang dibentuk dari kedua sisi juring (panjang r) dan tali busur juring hanya merupakan pendekatan untuk juring bersangkutan. Namun jika banyak juring menuju tak hingga (dengan memandang setiap juring kongruen), maka setiap juring merepresentasikan sebuah segitiga (trivial) berbentuk garis, yang jumlah luasnya tidak trivial, karena jumlah alasnya tak lain adalah 2πr dan tinggi segitiga adalah r. Dengan demikian luas lingkaran adalah jumlah luas segitiga-segitiga tersebut yaitu 1 (𝑎1 2 1 𝑎 𝑟 2 1 1 2 1 2 + 𝑎2 𝑟 + 𝑎3 𝑟 + ⋯ = 1 2 + 𝑎2 + 𝑎3 + ⋯ )𝑟 = (2𝜋𝑟)𝑟 = 𝜋𝑟 2 Tentu tidak semua orang dengan mudah memahami penjelasan di atas, yang memuat konsep limit terhadap kuantitas dan bentuk bangun datar. Sebagai contoh pada sebuah dokumen modul (Turmudi, 2009), juga memuat kesalahan dalam cara menyajikan konsep limit. Pada Gambar 7, konsep segitiga dan konsep juring, serta hubungannya untuk bentuk dengan banyak juring terbatas dan bentuk limitnya (untuk banyak juring kongruen menuju takhingga) tidak dideskripsikan dengan jelas. persegipanjang (sempurna), dengan lebar 𝑟 dan panjang 𝜋𝑟. b. Beberapa Contoh Pembuktian Luas Lingkaran menggunakan Pola Segitiga Memperhatikan sifat juring yang akan mendekati garis lurus untuk ukuran juring yang semakin kecil, maka tidak ada atau sangat sulit membentuk kesemua potongan juring membentuk pola segitiga yang limitnya juga merupakan segitiga. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pemotongan dalam membentuk pola segitiga. 1) Pola Segitiga Pembuktian Lingkaran Gambar 7. Lingkaran sebagai gabungan juring Lalu, bagaimana memahami konsep limit pada pembuktian di atas dengan cara yang lebih mudah dipahami secara intuitif? Transformasi susunan semua juring menjadi berbentuk pola persegipanjang menjadi pilihan yang terbaik untuk memudahkan orang memahami penalaran di atas. Pola ini pula yang sejak ribuan tahun lalu, telah digunakan matematikawan untuk membuktikan rumus luas lingkaran. Berikut bila semua juring disusun membentuk mirip persegipanjang yang limit bentuknya adalah persegipanjang. Gambar 8. Pola persegipanjang susunan juring lingkaran Dengan susunan ini, lebih mudah dipahami bahwa jika banyak juring menuju tak-hingga maka bentuk susunan akan menuju untuk Rumus Berikut ini alternatif pola segitiga untuk sekali pemotongan (selain memotong 1 juring). Pola yang disajikan juga dipilih yang memiliki bentuk yang sederhana. a) Segitiga Samakaki Banyak juring ganjil dan salah satu juring dibagi 2 (ada 6 cara) Gambar 9. Pola segitiga samakaki (cara 1) Banyak juring genap dan salah satu juring tidak dibagi 2 (ada 4 cara). 901 Gambar 13. Pola segitiga siku-siku (cara 2) Gambar 10. Pola segitiga samakaki (cara 2) Banyak juring genap dan salah satu juring tidak dibagi 2 (ada 4 cara) Perhatikan beberapa pola di atas, yang awalnya tidak menyerupai segitiga, tetapi limit polanya merupakan segitiga samakaki. Banyak juring ganjil dan salah satu juring tidak dibagi 2 (ada 1 cara) Gambar 11. Pola segitiga samakaki (cara 3) b) Segitiga Siku-siku Banyak juring genap dan salah satu juring dibagi 2 (ada 2 cara) Gambar 14. Pola segitiga siku-siku (cara 3) Banyak juring ganjil dan salah satu juring tidak dibagi 2. Gambar 12. Pola segitiga siku-siku (cara 1) Banyak juring genap (bukan kelipatan 4) dan salah satu juring dibagi 2 (ada 2 cara) Gambar 15. Pola segitiga siku-siku (cara 4) 902 2) Pembuktian Rumus Lingkaran Menggunakan Pola Segitiga bilangan genap. Terdapat 2 kasus, sebagai berikut. Berikut ini bukti formal untuk beberapa pola segitiga di atas. a) Pola Segitiga ke-1 Untuk membentuk pola ini, maka sebarang lingkaran harus dipotong menjadi n buah juring kongruen dengan n ganjil. Gambar 17. Pola Segitiga ke-2 (banyak juring kelipatan 4) Kasus 1: untuk 𝑛 = 2𝑘 dengan k adalah bilangan genap. Berapapun banyaknya juring kongruen, maka selalu berlaku: 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 + 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 ≤ 𝐿 ≤ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 Gambar 16. Pola Segitiga ke-1 Untuk sebarang n tersebut, maka selalu berlaku ketaksamaan berikut: 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 ≤ 𝐿 ≤ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 𝑃𝐸 ⋅ 𝐴𝑃 ≤ 𝐿 ≤ 𝑄𝐶 ⋅ 𝐴𝑄 𝑛𝑟 sin 𝜋 𝜋 𝜋 ⋅ 𝑟 cos ≤ 𝐿 ≤ 𝑛𝑟 tan ⋅ 𝑟 𝑛 𝑛 𝑛 Selanjutnya dengan mengambil limit 𝑛 → ∞ maka diperoleh 𝜋𝑟 2 ⋅ lim 𝜋 𝜋 ⋅ lim cos ≤ 𝐿 𝑛 𝑛→∞ 𝑛 𝜋 𝑛 2 ⋅ lim tan ≤ 𝜋𝑟 𝑛→∞ 𝜋 𝑛 𝑛 𝑛→∞ 𝜋 sin 𝜋𝑟 2 ⋅ 1 ⋅ 1 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2 ⋅ 1 𝜋𝑟 2 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2 Secara intuitif, jelas bahwa dengan demikian 𝐿 = 𝜋𝑟 2 . Secara analisis, luas lingkaran ini diturunkan dari Teorema Apit dari ketaksamaan terakhir. b) Pola Segitiga ke-2 Tanpa kehilangan generalisasi, sebuah lingkaran dibagi ke dalam n buah juring kongruen dengan n Dengan menggunakan prinsip kesebangunan pada segitiga, tidak sulit menunjukkan bahwa: 𝜋 1 𝑛 𝑛 2 4 𝜋 1 𝑛 𝜋 𝑛 𝜋 𝜋 𝑟 cos + ⋅ � 2𝑟 sin + 2𝑟 sin � ⋅ 𝑟 cos 𝑛 2 4 𝑛 2 𝑛 𝑛 𝜋 𝜋 𝑛 = 𝜋𝑟 2 sin cos 𝑛 𝑛 𝜋 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 + 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 dan = ⋅ 2𝑟 sin ⋅ 𝜋 1 𝑛𝑟 sin𝑛 𝜋 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 = ⋅ 𝜋 �3𝑟 − 𝑟 cos � ⋅ 2 2𝑟 cos 𝑛 𝑛 1 𝜋 2 𝜋 �3𝑟 − 𝑟 cos � = 𝜋𝑟 2 ⋅ �3 − cos � ⋅ 4 𝑛 𝑛 𝑛 𝜋 tan 𝜋 𝑛 Jika diambil limit n menuju takhingga, maka akan diperoleh lim𝑛→∞(𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 + 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 ) ≤ lim𝑛→∞ 𝐿 ≤ lim𝑛→∞ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 𝑛 𝜋 𝜋 𝑛 𝜋 𝑛 𝜋𝑟 2 ⋅ lim𝑛→∞ sin ⋅ lim𝑛→∞ cos ≤ 𝐿 ≤ 1 4 𝜋 2 𝑛 𝑛 𝜋 𝜋𝑟 2 ⋅ �3 − lim𝑛→∞ cos � ⋅ lim𝑛→∞ tan 1 4 𝜋𝑟 2 ⋅ 1 ⋅ 1 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2 ⋅ (3 − 1)2 ⋅ 1 𝜋𝑟 2 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2 𝜋 𝑛 Kasus 2: untuk 𝑛 = 2𝑘 dengan k adalah bilangan ganjil (banyak juring bukan kelipatan 4). 903 Dengan kesebangunan ADE dan ABC 𝜋 𝜋 diperoleh BC = �3 − cos � �𝑟 tan �1 − 𝜋 𝑛 𝑛 2 𝑛 𝑛 𝜋 𝑛 cos � + 𝑟 ⋅ sin � Gambar 20 menyatakan bagian dari gambar 18. Gambar 18. Pola Segitiga ke-2 (banyak juring bukan kelipatan 4) Berapapun banyaknya juring kongruen, maka selalu berlaku: 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 + 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 ≤ 𝐿 ≤ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 Panjang DE, FG, dan BC sedikit sulit untuk ditentukan. Namun dengan menggunakan kesebangunan pada segitiga, dapat ditunjukkan sebagai berikut. Gambar 19 menyatakan bagian dari gambar 18. Gambar 20. Bagian juring AD dan trapesium PDEQ 𝑛 𝜋 𝑛 𝑀𝑄 = 𝑁𝐺, Jelas, bahwa diperoleh, 𝑛 2 𝜋 𝑛 sehingga 𝑛 2 𝜋 𝑛 𝑀𝑄 = 𝑟 sin − 𝐷𝐸 = � − 1� 𝑟 sin �1 − 𝜋 𝑛 cos � Juga dapat ditunjukkan 𝜋 𝑛 𝐹𝐺 = 𝑟 sin + 𝑁𝐺 𝑛 2 Gambar 19. Bagian juring AD dan trapesium PDEQ Dengan menganggap gambar sebelumnya tersusun dari n buah juring kongruen dan dengan kesebangunan segitiga PDK dan segitiga DAT, maka diperoleh = 𝜋 𝜋 𝑃𝑄 = 𝑟 �1 − cos � tan + 𝑛 𝑛 𝜋 𝜋 1 𝑛 � − 1� 2𝑟 sin + 𝑟 sin 𝑛 𝑛 2 2 𝜋 𝑟 tan �1 𝑛 𝜋 − cos � 𝑛 𝑛 𝜋 + 𝑟 sin 2 𝑛 𝜋 𝑟 sin �1 𝑛 𝜋 − cos � 𝑛 𝜋 + 𝑟 cos 𝑛 Dengan kesebangunan ADE dan APQ diperoleh DE = ⋅ 𝑛 𝜋 sin 2 𝑛 𝑟 2 𝜋 𝑛 𝜋 𝑛 bahwa 𝜋 𝑛 𝐹𝐺 = 𝑛 sin �2 − cos � − 𝑟 sin �1 − 𝜋 𝑛 cos � Dari hasil-hasil di atas, selanjutnya diperoleh 1 2 𝜋 𝑛 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 = 𝑟 cos ⋅ 𝐷𝐸 𝜋 𝜋 𝜋 𝜋 1 = 𝑟 cos �𝑟 sin �1 − cos � + 𝑟 cos 𝑛 𝑛 𝑛 𝑛 2 𝑛 𝜋 ⋅ sin � 2 𝑛 Sehingga dapat ditunjukkan bahwa 1 lim𝑛→∞ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 = 𝜋𝑟 2 1 2 4 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 = ⋅ (𝐹𝐺 + 𝐼𝐻) ⋅ 𝑟 cos 𝜋 𝑛 1 𝑟 2 2 𝜋 𝑛 𝜋 𝜋 𝑛 𝑛 𝜋 𝑛 𝜋 𝜋 cos � + 2𝑟 sin � 𝑟 cos 𝑛 2 𝑛 𝑛 = � 𝑛 sin �2 − cos � − 𝑟 sin �1 − Sehingga dapat ditunjukkan bahwa 3 lim𝑛→∞ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 = 𝜋𝑟 2 4 904 𝜋 𝐷𝐸 = 𝑟 sin − 𝑀𝑄 dan 𝐹𝐺 = 𝑟 sin + 2 𝑛 2 𝑛 𝑁𝐺. 1 2 𝜋 𝑛 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 = ⋅ 𝐵𝐶 ⋅ 𝑟 �3 − cos � 𝜋 𝑛 1 2 𝑛 𝜋 ⋅ sin � 2 𝑛 𝜋 𝑛 𝜋 𝑛 𝜋 − cos � 𝑛 = ⋅ �3 − cos � �𝑟 tan �1 − cos � + 𝑟 ⋅ 𝑟 �3 Sehingga dapat ditunjukkan bahwa lim𝑛→∞ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 = 𝜋𝑟 2 Walaupun terlihat seperti persegipanjang, namun pola tersebut menuju jajargenjang. 2) Pola Trapesium Samakaki Banyak juring kongruen n ganjil Dengan demikian, untuk 𝑛 → ∞ diperoleh 𝜋𝑟 2 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2 Dengan kata lain menurut Teorema Apit, terbukti bahwa 𝐿 = 𝜋𝑟 2 . c. Pola Bangun Datar Lain selain Persegipanjang dan Segitiga Sesungguhnya, selain penggunaan pola segitiga dalam menyusun semua juring lingkaran, juga banyak ditemui penggunaan pola jajargenjang, trapesium, juga belahketupat yang mengandung miskonsepsi yang mirip dengan yang telah ditunjukkan pada bagian di atas. Gambar 23. Pola trapesium samakaki (cara 1) Banyak juring kongruen n genap Gambar 24. Pola trapesium samakaki (cara 1) 3) Pola Trapesium Siku-siku Banyak juring kongruen n ganjil Berikut ini beberapa pola bangun datar lain yang benar, untuk membuktikan rumus luas lingkaran, yang dibentuk dengan 1 atau 2 potongan (selain mungkin 1 juring yang dibagi 2). 1) Pola Jajargenjang Gambar 25. Pola trapesium siku-siku Banyak juring kongruen n ganjil 4) Pola Layang-layang (konveks) Banyak juring kongruen n ganjil Gambar 21. Pola jajargenjang (cara 1) Banyak juring kongruen n genap Gambar 26. Pola layang-layang (cara 1) Banyak juring kongruen n genap Gambar 22. Pola jajargenjang (cara 2) Gambar 27. Pola layang-layang (cara 2) 905 Walaupun mungkin awalnya berbentuk layang-layang konkaf, namun menuju layang-layang konveks. 5) Pola Layang-layang (ada 2 potongan) (konkaf) Gambar 31. Pola belahketupat (cara 2) Banyak juring kongruen n genap kelipatan 4 7) Pola Segienam (Konkaf) potongan) (ada 2 Banyak juring kongruen n genap Gambar 28. Pola layang-layang konkaf (cara 1) Banyak juring kongruen n genap bukan kelipatan 4 Gambar 29. Pola layang-layang konkaf (cara 2) 6) Pola Belahketupat potongan) (ada 2 Gambar 32. Pola segienam konkaf Selain yang telah disajikan di atas, masih banyak pola lain yang menuju pada bentuk segitiga, trapesium, layang-layang, dan bentuk bangun datar lainnya, bahkan dari pola bangun datar yang awalnya tidak mirip bangun datar yang dikenal. Contoh. Banyak juring kongruen n genap Gambar 33. Pola trapesium (yang lain) 4. Kesimpulan dan Saran Gambar 30. Pola belahketupat (cara 1) Walaupun awalnya membentuk jajargenjang atau layang-layang namun menuju bentuk belahketupat. Banyak juring kongruen n genap (kelipatan 4 dan bukan kelipatan 4) 906 Metode pembuktian rumus luas lingkaran yang tidak benar dengan menggunakan juring-juring kongruen sebuah lingkaran, dapat menuju pada penggunaan konsep limit yang tidak tepat bahkan mengandung miskonsepsi, seperti pada penggunaan rumus segitiga, jajargenjang, atau trapesium yang dapat ditemui dalam banyak literatur resmi dan tidak resmi dengan hanya berdasarkan pada susunan berhingga juring lingkaran. Cara pembuktian dengan menggunakan rumus luas bangun datar selain persegipanjang, masih dapat dilakukan dengan cara menyusun semua juring membentuk pola persegipanjang lalu dengan memotongnya, dapat dibentuk berbagai pola bangun datar lainnya. Cara ini bahkan menyuguhkan kemampuan berpikir yang baik untuk memperkirakan dengan tepat bentuk limit bangun datarnya (untuk banyak juring kongruen menuju tak hingga). Selain berbagai pola bangun datar dari juring-juring lingkaran telah disajikan, masih banyak pola lain yang dapat dibentuk, dengan memperbanyak potongan. Hal ini juga dapat menjadi sumber pembelajaran menarik bagi guru dan siswa. Daftar Pustaka Rifandi. (2014). “Pembuktian Luas Lingkaran dengan Pendekatan Luas ke Bangun Datar Lainnya”. 25 Juni 2014. dalam http://rifandy23.blogspot.co.id/ 2014/06/pembuktian-luas-lingkarandengan.html (diakses 10 Mei 2017) . Tisa Oktiana. (2015). Pengembangan Alat Peraga Lingkaran dengan Metode Penemuan Terbimbing Kelompok untuk Meningkatkan Komunikasi Matematis. dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNY 2015. ISBN. 978-602-73403-0-5. Turmudi. (2009). Luas Daerah Lingkaran, Modul 8, Modul Pelatihan Guru-guru Matematika di Sungai Liat, Bangka. Bandung: UPI, Pendidikan Matematika. Tanpa Nama (anonim). Sebuah dokumen pdf dalam https://www.slideshare.net/abelrb/ menghitung-luas-lingkaran-denganrumus-luas-segitiga-dan-belah-ketupat (diakses 11 Mei 2017) 907 PENGGUNAAN MEDIA BERIBU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT Suparman Pilomonu SDN 28 Tibawa Abstract. This study aims to improve student learning outcomes in learning addition and subtraction of integers by using learning media named BERIBU. This research was classroom action research with fourth graders at SDN 28 Tibawa as the research subject. The initial observation showed that students’ learning outcomes in learning addition and subtraction of integers was very low. After implementing the first cycle, the mean was 74 and classical completeness 19% which had not achieved yet the minimum target completeness. After second cycle, the classical completeness became 100% with the mean 89. Based on the results, it can be concluded that the use of a BERIBU was able to improve student learning outcomes in learning addition and subtraction of integers. Keywords: addition and subtraction of integers, BERIBU, student learning outcomes 1. Pendahuluan Darmansyah (2006:13) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan hasil penilaian terhadap kemampuan siswa yang ditentukan dalam bentuk angka. Cece Rahmat (dalam Zainal Abidin, 2004:1) mengatakan bahwa hasil belajar adalah penggunaan angka pada hasil tes atau prosedur penilaian sesuai dengan aturan tertentu, atau dengan kata lain untuk mengetahui daya serap siswa setelah menguasai materi pelajaran yang telah diberikan. Menurut Sudjana (2010:22), hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Pada kurikulum Matematika SD, konsep pembelajaran Matematika terbagi atas tiga bagian yaitu penanaman konsep dasar, pemahaman konsep, dan pembinaan ketrampilan. Pembelajaran Matematika di SD ini memiliki tujuan agar peserta didik dapat terampil mengaplikasikan konsep Matematika di dalam kehidupannya. Untuk mencapai 908 tahap ketrampilan tersebut harus memperhatikan kemampuan peserta didik dan melalui tahapan pembelajaran Matematika menurut Brunner. Jerome Brunner membagi proses pembelajaran menjadi 3 tahapan: a. Tahap Enaktif (konkret) Tahap enaktif adalah tahap pembelajaran yang bersifat manipulatif (Dahar, 2011:78). Pada tahap ini seseorang belajar dengan menggunakan atau memanipulasi objek-objek secara langsung. b. Tahap Ikonik (semi konkret) Tahap ikonik adalah tahap pembelajaran yang berdasarkan pikiran internal (Dahar, 2011:78). Pada tahap ini kegiatan anak-anak tidak lagi memanipulasi objek secara langsung melainkan dengan penggunaan gambaran dari objek tersebut. c. Tahap Simbolik (abstrak) Tahap simbolik adalah adalah tahap pembelajaran yang berdasarkan sistem berpikir abstrak arbitrer dan lebih fleksibel (Dahar, 2011:78). Di tahap ini anak sudah dapat memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi mengaitkannya dengan objek-objek. Pada tahapan ini anak telah melakukan transisi dari tahap ikonik ke tahap simbolik. Untuk membelajarkan Matematika, hendaknya dimulai dengan mengenalkan masalah yang sesuai dengan situasi terkini (contextual problem), mengangkat isu sosial, atau menyajikan fenomena-fenomena alam. Dengan mengajukan masalah kontekstual, maka secara bertahap peserta didik dibimbing untuk menguasai konsep Matematika secara lebih bermakna. Kemudian untuk meningkatkan hasil belajar, guru dituntut agar mampu memaksimalkan penggunaan media yang sesuai dan efektif menanamkan konsep Matematika yang dipelajari. Penggunaan media yang tidak sesuai pun sangat mempengaruhi hasil belajar yang diperoleh siswa. Media pembelajaran adalah suatu alat bantu yang digunakan oleh guru agar kegiatan belajar berlangsung secara efektif. Sadiman (2006:7) menjelaskan bahwa Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Briggs (dalam Sadiman 2006:6) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar. Menurut Trianto (2010: 199), media sebagai komponen strategi pembelajaran merupakan wadah dari pesan yang oleh sumber atau penyalurnya ingin diteruskan kepada sasaran atau penerima pesan tersebut, dan materi yang ingin disampaikan adalah pesan pembelajaran, dan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah terjadinya proses belajar. Sanjaya dalam Wina (2006:162) mengemukakan bahwa dalam suatu proses komunikasi selalu melibatkan tiga komponen pokok, yaitu komponen pengirim pesan (guru), komponen penerima pesan (murid), dan komponen pesan itu sendiri yang biasanya berupa materi pelajaran. Kadang dalam proses pembelajaran terjadi kegagalan komunikasi. Artinya, materi pelajaran atau pesan yang disampaikan guru tidak dapat diterima oleh murid dengan optimal, artinya tidak seluruh materi pelajaran dapat dipahami dengan baik oleh murid, lebih lagi murid sebagai penerima pesan salah menangkap isi pesan yang disampaikan. Untuk menghindari semua itu, maka guru dapat menyusun strategi pembelajaran dengan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar. Pembahasan di atas menggambarkan bahwa sebaiknya pembelajaran Matematika tidak melulu hanya muatan logika. Tetapi bisa juga terintegrasi dengan nilai, norma, karakter, isu-isu sosial atau pun fenomena alam. Namun, kenyataan di lapangan, hal ini belum terlihat. Khususnya pada materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Guru tidak mengangkat masalah kontekstual isu sosial yang sesuai dengan kondisi peserta didik dan situasi terkini. Guru tidak menyajikan fenomena-fenomena alam sebagai pemantik rasa ingin tahu peserta didik. Guru justru langsung membelajarkan bilangan bulat melalui garis bilangan. Guru langsung mengajarkan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat melalui pendekatan konsep hutang dan uang. Hal ini yang menyebabkan pembelajaran menjadi tidak efektif dan tidak memperoleh hasil belajar yang maksimal karena tidak terjadi 909 penanaman konsep terhadap peserta didik. yang baik dipadukan dalam satu media yang disebut BERIBU. Berdasarkan fakta tersebut, maka penulis mengembangkan sebuah media yang disebut BERIBU sebagai media yang digunakan pada pembelajaran penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Media ini menggabungkan 3 tahapan pembelajaran Brunner (enaktif, ikonik, dan simbolik) dengan pendekatan penurunan permukaan tanah. Pendekatan penurunan permukaan tanah digunakan karena sangat sesuai dengan isu yang sedang terjadi di kota besar dan sangat urgen untuk diketahui sejak dini oleh para peserta didik. Media BERIBU adalah media yang memadukan tiga tahapan pembelajaran Brunner (Enaktif, Ikonik dan Simbolik) dalam satu media yang disajikan melalui peristiwa penurunan muka tanah (Land Subsidence). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peningkatan hasil belajar peserta didik pada materi pembelajaran penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dengan menggunakan media yang dinamakan Belajar Bilangan Bulat (BERIBU). Gambar 1 Desain media BERIBU Pada umumnya, materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat diajarkan langsung dengan mengenalkan bilangan melalui garis bilangan atau melalui analogi hutang dan uang. Tentu sangat keliru jika guru harus mengenalkan hutang dan uang kepada peserta didik kelas IV SD. Hal ini sangat tidak sesuai dengan tingkat psikologis dan level berpikir anak. Pemahaman konsep pun menjadi tidak maksimal. Berdasarkan masalah tersebut, penulis mendesain pembelajaran materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat yang menerapkan tiga tahapan pembelajaran (enaktif, ikonik dan simbolik) yang disampaikan melalui peristiwa penurunan permukaan tanah. Kedua aspek tersebut (3 tahapan pembelajaran Brunner dan persitiwa penurunan muka tanah) 910 Media BERIBU terdiri dari tiga permukaan yang memiliki grafis dalam menyampaikan konsep Matematika sesuai dengan tahapan pembelajaran Brunner. Permukaan 1 (P1) menampilkan grafis tentang peristiwa penurunan muka tanah (tahap enaktif). Permukaan 2 (P2) menampilkan penanaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat (tahap enaktif). Permukaan 3 (P3) menampilkan grafis kotak-kotak tanah (tahap ikonik) untuk memperdalam konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat serta area untuk menulis angka penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat (tahap simbolik). Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Tahap Enaktif (P1 dan P2) Pada tahap ini peserta didik memperoleh pengetahuan tentang penurunan permukaan tanah yang mutlak terjadi di daerah yang padat gedung, dimana setiap gedung mengambil air bawah tanah (Ground Water). Peserta didik akan memahami bahwa semakin berkurangnya ketersediaan air bawah tanah, maka tanah di atasnya akan menekan ke bawah sehingga permukaan tanah menjadi turun atau amblas. Gambar 2 Ilustrasi penurunan muka tanah pada media BERIBU Setelah memahami proses terjadinya penurunan muka tanah melalui ilustrasi pada gambar 3, kemudian peserta didik diajak untuk memahami konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat melalui P2. Peserta didik dapat diajak langsung memanipulasi P2 untuk memahami konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Gambar berikut merupakan contoh penanaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Soal: 0 – 2 = -2 Gambar 3 Contoh operasi pengurangan bilangan bulat pada media BERIBU Gambar 4 Contoh operasi penjumlahan bilangan bulat pada media BERIBU Pada gambar 3 dapat dijelaskan bahwa 0 adalah posisi awal dari permukaan tanah. Kemudian terjadi penurunan muka tanah (amblas) sebanyak 2 tingkat (kurang 2). Maka permukaan tanah turun ke posisi negatif 2 (-2). Pada gambar 4 dapat dijelaskan pula bahwa -2 adalah posisi awal permukaan tanah. Kemudian ditambah 3 tingkat tanah (ditimbun) maka permukaan tanah naik di posisi 1. 2) Tahap Ikonik (P3) Pada tahap ini peserta didik memanipulasi gambar kotak-kotak tanah dengan menggunakan spidol warna. Peraturan yang perlu diingat pada tahap ini adalah jika permukaan tanah rata dengan garis 0 tanpa ada kotak yang tidak terisi tanah (lubang), maka menunjukkan posisi 0. Apabila terdapat 1 lubang di bawah garis 0, maka menunjukkan posisi -1 (lubang 1) begitu seterusnya. Dan apabila terdapat satu kotak tanah terisi di atas garis 0, maka menunjukkan posisi 1 (positif 1) begitu seterusnya. Gambar berikut menunjukkan contoh operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat pada tahap ikonik. Soal: -2 + 3 = 1 Soal: 0 – 1 = -1 Gambar 5 Contoh operasi pengurangan bilangan bulat pada tahap ikonik 911 Soal: -1 + 2 = 1 Gambar 6 Contoh operasi penjumlahan bilangan bulat pada tahap ikonik 3) Tahap Simbolik Pada tahap ini peserta didik tinggal menuliskan angka pada area penulisan sambil menerapkan konsep penjumlahan dan pengurangan yang telah pahami pada tahapan sebelumnya. Gambar berikut menjelaskan bagaimana operasi penjumlahan dan pengurangan pada tahap simbolik. Soal: 0 – 2 = -2 Soal: -2 - 2 = -4 Gambar 7 Contoh operasi pengurangan bilangan bulat pada tahap simbolik Soal: -2 + 3 = 1 dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahapan, yaitu perencanaan/perbaikan, pelaksanaan, pengamatan/ pengumpulan dan analisis data, dan refleksi. Penelitian dilaksanakan di SDN 28 Tibawa Kabupaten Gorontalo dengan subjek penelitian kelas IV yang berjumlah 16 orang. Variabel yang diteliti melingkupi penggunaan media BERIBU dalam pembelajaran penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat serta hasil belajar yang dicapai. Dalam pengumpulan data penulis menggunakan tes tertulis sebagai instrumen. Tes tersebut diberikan pada saat observasi awal dan pada setiap akhir pembelajaran di setiap siklus. Setelah diberikan tes, jawaban kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan pedoman penskoran untuk memperoleh nilai akhir. Dari hasil proses tersebut kemudian penulis melakukan refleksi untuk mengidentifikasi kelemahankelemahan jika hasil belajar belum mencapai indikator keberhasilan. Indikator keberhasilan pada penelitian yaitu KKM 75 dan ketuntasan klasikal sebesar 75%. Jika pada siklus 1 hasil belajar sudah mencapai indikator keberhasilan, maka penelitian tetap dilanjutkan pada siklus 2 untuk lebih menguatkan kredibilitas hasil yang diperoleh pada siklus 1. 3. Hasil dan Pembahasan Gambar 8 Contoh operasi penjumlahan bilangan bulat pada tahap simbolik 2. Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan 912 Hasil tes siswa dari tes (observasi) awal, siklus 1 dan siklus 2 disajikan pada tabel berikut. Tabel 1 Hasil Tes Siswa Jenis Tes Nilai Rata-Rata Ketuntasan Tes Awal 21 0% Siklus 1 74 19% Siklus 2 89 100% Tes atau observasi awal dilaksanakan pada tanggal 4 Januari 2016. Berdasarkan tabel di atas menggambarkan bahwa hasil belajar tes/observasi awal pada materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat masih sangat rendah, yaitu nilai rata-rata hanya 21 dengan ketuntasan klasikal 0%. Berdasarkan data tersebut penulis merencanakan tindakan siklus 1 dengan mempersiapkan pembelajaran yang menggunakan media BERIBU pada materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Pada pelaksanaan tindakan siklus 1 guru memeragakan media BERIBU diintegrasikan dengan pendekatan penurunan permukaan tanah untuk menjelaskan konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Setelah dilaksanakan pembelajaran pada siklus 1, kemudian diberikan tes akhir kepada siswa. Berdasarkan hasil belajar yang diperoleh, terlihat adanya peningkatan nilai rata-rata menjadi 74 dan ketuntasan klasikal mencapai 19 %. Namun demikian, karena hasil ini belum mencapai indikator keberhasilan, maka penulis melakukan refleksi untuk menemukan kelemahan-kelemahan pada pelaksanaan siklus 1. Setelah dilakukan refleksi, kemudian penulis merencanakan kembali pelaksanaan siklus 2. Pelaksanaan siklus 2 dilakukan dengan lebih memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk berpartisipasi aktif memanipulasi media pembelajaran. Hal ini dilakukan agar para siswa dapat lebih memahami konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dengan baik. Setelah dilaksanakan pembelajaran pada siklus 2, terjadi peningkatan yang sangat signifikan pada nilai rata-rata menjadi 89 dan ketuntasan klasikal mencapai 100%. Data ini menggambarkan bahwa dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif memanipulasi media dapat berpengaruh pada pemahaman konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Melihat hasil belajar yang telah dicapai pada siklus 2 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini dianggap berhasil. Progres peningkatan hasil belajar dari tes awal hingga siklus 2 dapat dilihat pada grafik berikut. Gambar 9 Grafik progres peningkatan hasil belajar siswa 4. Kesimpulan Penggunaan media BERIBU pada pembelajaran Matematika dapat membantu siswa dalam memahami konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Di samping itu, siswa juga memperoleh wawasan tentang bahaya penggunaan air bawah tanah yang berlebihan karena berdampak pada penurunan muka tanah. Dengan pemahaman konsep Matematika yang baik dibarengi dengan pendidikan 913 lingkungan, maka akan meningkatkan hasil belajar siswa, memudahkan mereka memahami pelajaran-pelajaran selanjutnya, me- numbuhkan kecintaan pada lingkungan dan berusaha menjaga kelestarian lingkungan. Daftar Pustaka Abidin, Zainal. (2004). Evaluasi Pengajaran. Padang: UNP Dahar, R. W. (2011). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga Darmansyah. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Padang: UNP Sadiman, Arief S dkk. (2006). Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo. Sanjaya, Wina, (Sundayana, Rostina. 2013:13). Media Pembelajaran Matematika. Bandung: Alfabeta Sudjana, Nana. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Cet. XV). Bandung: PT. Ramaja Rosdakarya. Trianto. (2009). Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik. Jakarta: PT Prestasi Pustaka. 914 UPAYA MENINGKATKAN SELF-EFFICACY SISWA TERHADAP MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA SISWA KELAS VIII-1 SMP TAMAN DEWASA JETIS YOGYAKARTA 1Imaludin 1Mahasiswa Agus, 2Arisnawati Dwi Purwani Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta 2SMP Swasta Taman Dewasa Jetis, Yogyakarta Abstract. This Class Action Research aims to increase self-efficacy towards mathematics of eighth graders at SMP Taman Dewasa Jetis Yogyakarta. CTL approach was implemented in two cycles. Data were collected through self-efficacy questionnaire, observation sheets on teaching and learning process, and field notes. Data were analyzed through qualitative and quantitative analysis. In the first cycle, students’ scores on self-efficacy increased in average 123.42 (high), where two students (6.67%) obtained very high score, 18 students (48.13%) were categorized high, and 12 students (44.45%) were categorized moderate. The implementation result of CTL in first cycle was 82.69%. In the second cycle, students’ self-efficacy scores increased exceeded the target. The average results of the self-efficacy score were 135.88 (high), with 8 students (26.67%) were categorized very high, 16 students (57.14%) were categorized high, and 4 students (14.29%) were categorized moderate. Similarly, CTL learning reached 96.15%. Based on these results, it can be concluded that the students’ self-efficacy towards mathematics may increase after the implementation of CTL approach. Keywords: Self-efficacy, Contextual Teaching and Learning (CTL), Junior High school Mathematics. 1. Pendahuluan Matematika merupakan pengetahuan universal (Van de Wale, 2010: 1) yang digunakan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, statistik, dan lain-lain (Muijs & Reynold, 2008: 212). Memperhatikan begitu besar manfaat matematika bagi kehidupan, tidak lantas menjadikan matematika sebagai mata pelajaran yang disenangi oleh siswa, namun sebaliknya. Matematika justru menjadi pelajaran yang yang kurang disenangi bahkan cenderung tidak disukai dan dihindari (Kennedy, Tipss & Jhonson, 2008: 4-5). Kondisi ini, salah satunya diakibatkan oleh kurang yakinnya siswa atas kemampuan mereka dalam belajar serta menyelesaikan masalah matematika. Graham & Pajars (1999: 126) menyatakan bahwa dalam belajar matematika diperlukan keyakinan siswa terhadap kemampuan, keberhasilan, dan kegigihan mereka dalam belajar dan mengerjakan segala tugas-tugas matematika atau sering disebut dengan self-efficacy. Self-efficacy dalam matematika merupakan tingkat keyakinan siswa atas kemampuannya dalam menyelesaikan tugas matematika, memecahkan masalah matematika, dan berurusan dengan tugas-tugas matematika yang berhubungan dengan kehidupan sehari sehari-hari (Xiu & Koirala, 2009: 1). Selain itu, menurut Bandura (Slavin, 2006: 159), self-efficacy merupakan variabel penting dalam menunjang keberhasilan belajar siswa di sekolah. Namun, berdasarkan hasil pra penelitian, siswa tingkatan SMP 915 memiliki self-efficacy yang berkategori sedang. Justifikasi ini didasarkan pada hasil wawancara dan pretest self-efficacy siswa terhadap matematika pada kelas VIII1 SMP Taman Dewasa Jetis dengan rata-rata hasil 118,4 (sedang). Menurut hasil observasi dan wawancara yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2016 sebanyak 2 pertemuan, salah satu faktor penyebabnya adalah kurang terlibatnya siswa dalam proses pembelajaran dan kurang relevannya materi matematika dengan kehidupan mereka. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan self-efficacy siswa terhadap matematika yaitu melalui pemilihan pendekatan yang mampu melibatkan siswa aktif dan mengetahui relevansi materi dengan kehidupannya. Pendekatan tersebut adalah pendekatan contextual teaching and learning (CTL). Pendekatan CTL merupakan pendekatan yang membantu siswa melihat manfaat materi yang dipelajari dengan kehidupannya (Johnson, 2002: 25) Dengan demikian, penggunaan pendekatan CTL menjadi alternatif yang digunakan selama beberapa siklus. Adapun tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk meningkatkan self-efficacy siswa terhadap matematika pada Siswa SMP Taman Dewasa Jetis Yogyakarta kelas VIII-1. 2. Kajian Teori Pembelajaran Matematika Nitko dan Brookhart (2007: 18) mendefinisikan pembelajaran sebagai interaksi yang membantu siswa mencapai target belajar mereka. Hal yang sama di ungkapkan oleh Rustam (2012: 93) bahwa pembelajaran sebagai proses 916 interaksi antara guru dan siswa yang dilakukan melalui berbagai pola pembelajaran yang dilaksanakan baik secara langsung melalui tatap muka maupun secara tidak langsung yakni menggunakan bantuan media pembelajaran. Secara spesifik dalan pembelajaran matematika, NCTM (2000: 11) mendefinisikan “Learning mathematics is maximized when teachers focus on mathematical thinking and reasoning”. Pendapat ini, mengindikasikan bahwa matematika merupakan ilmu tentang berpikir dan bernalar, sehingga tidak hanya bermanfaat pada materi matematika, tetapi dapat diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pembelajaran matematika disimpulkan sebagai interaksi yang terjadi antara siswa dan sumber belajar matematika baik langsung maupun tidak langsung, yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan berpikir dan bernalar Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Pembelajaran dengan pendekatan CTL merupakan konsep belajar dan mengajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi real siswa dan memotivasi siswa melakukan hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka baik sebagai anggota keluarga, masayarakat, dan pekerjaan (Berns & Erickson, 2001: 1). Pembelajaran kontekstual pula diartikan sebagai proses pendidikan yang bertujuan membantu para siswa melihat manfaat dari setiap materi yang dipelajari melalui pembelajaran yang menghubungkan subjek-subjek materi belajar dengan kehidupan mereka (Johnson, 2002: 25). Langkah-langkah pendekatan CTL menurut Crawford (2001: 2-5) dan Komalasari (2013: 9) terdiri atas lima strategi yang digunakan guru dalam pembelajaran berbasis kontekstual. Adapun kelima strategi pembelajaran yang dimaksud adalah relating, experiencing, cooperating, applying, dan transfering. Relating adalah strategi menghubungkan materi pembelajaran dengan dunia real; Experiencing adalah strategi untuk memberikan pengalaman langsung dalam kegiatan bereksplorasi, menemukan dan inventori; Applying adalah strategi untuk memberikan gambaran terkait pengaplikasian konsep pada dunia nyata; Cooperating adalah strategi yang memberikan kesempatan siswa untuk berkomunikasi dan menyelesaikan masalah bersama; dan Transfering adalah strategi untuk memecahkan masalah yang baru berdasarkan pemahaman yang telah diperoleh sebelumnya. Berdasarkan penjelasan tersebut maka pada penelitian tindakan ini menggunakan kelima strategi dimaksud. Self-efficacy Matematika Bandura (1997) mendefinisikan selfefficacy sebagai keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimiliki untuk menciptakan suatu hal yang baru dan bermanfaat bagi kehidupan mereka. Selain itu, Schunk (2012: 205) self-efficacy sangat berkaitan dengan usaha individu dalam usaha dan keuletan menjalankan tugas. Lebih lanjut, Schunk menyatakan bahwa individu yang memiliki keyakinan self-efficacy yang tinggi cenderung mengeluarkan usaha yang lebih besar dalam menghadapi kesulitan. Dalam konteks matematika, Xiu & Koirala (2009: 1) menjelaskan bahwa self-efficacy dalam matematika merupakan tingkat kepercayaan siswa dalam menyelesaikan tugas matematika, memecahkan masalah matematika, dan berurusan dengan tugas-tugas matematika yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Begitu pula Graham & Pajares (1999: 133) self-efficacy matematika merupakan variabel motivasi untuk memprediksi kinerja matematika baik di awal maupun akhir, serta menyelesaikan masalah substantif. Menurut Bandura (Maddux, 1995: 9), self-efficacy memiliki 3 aspek yaitu Magnitude, Strength dan Generality. Aspek magnitude merupakan aspek yang berhubungan dengan terus meningkatnya kesulitan. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan cenderung memilih menyelesaikan masalah-masalah yang rumit. Strength merujuk pada kekuatan, ketegasan serta keyakinan individu dalam melakukan suatu tindakan dengan kemampuan yang dimiliki. Sedangkan Generality merupakan aspek menunjukan keyakinan sejauh mana keberhasilan atau kegagalan individu dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu berdasarkan kemampuannya. Berpijak pada berbagai pendapat tersebut, maka disimpulkan bahwa self-efficacy matematika merupakan keyakinan yang dimiliki siswa atas kemampuan dan kegigihanya dalam menjalankan dan menyelesaikan terus meningkatnya tugas-tugas matematika. Adapun aspek yang menjadi dasar dalam penetapan indikator penyusunan angket selfefficacy siswa terhadap matematika yaitu merujuk pada pendapat Bandura yang meliputi aspek Magnitude, Strength dan Generality. Magnitude berupa keyakinan siswa 917 menyelesaikan masalah matematika dengan tingkat kesulitan yang berbeda; Strength berupa kegigihan siswa menyelesaikan masalah matematika; serta Generality berupa keyakinan siswa atas keberhasilan dalam menyelesaikan suatu masalah matematika. 3. Metode Penelitian Penelitian Tindakan Kelas ini dilakukan secara kolaboratif bersama guru matematika SMP Taman Dewasa Jetis Yogyakarta. Waktu pelaksanaannya dilakukan selama 1 bulan yang dimulai pada tanggal 3 Oktober 2016 sampai tanggal 16 November 2016. Siswa yang menjadi subjek penelitian yaitu kelas VIII-1 dengan jumlah siswa 28, dengan klasifikasi 13 siswa perempuan dan 15 siswa laki-laki. Pelaksanaan penelitian tindakan ini menggunakan setting kolaboratif dengan sumber data diperoleh melalui hasil angket self-efficacy siswa, observasi lembar keterlaksanaan pembelajaran, dan catatan lapangan lainnya. Model tindakan yang digunakan selama penelitian merujuk pada model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Robin McTanggart (1988) yang meliputi tahap: perencanaan (planning), tindakan (act), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting) serta berlangsung paling sedikit 2 siklus. Instrumen yang digunakan meliputi instrumen angket self-efficacy, lembar keterlaksanaan pembelajaran, dan catatan lapangan. Instrumen angket self-efficacy berjumlah 36 butir item yang terdiri atas 12 butir untuk masing-masing aspek selfefficacy. Validitas yang digunakan yaitu validitas isi (face dan logic) yang diperiksa oleh 2 expert (Ahli) dan 918 estimasi reliabilitas sebesar 0.67 (baik). Hal ini sesuai dengan pendapat (Ebel & Frisbe, 1991: 86) nilai estimasi reliabilitas yang baik minimal 0,65. Instrumen ini diisi oleh siswa. Lembar keterlaksanaan pembelajaran terdiri atas 26 pernyataan yang merujuk pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dengan pendekatan CTL. Lembar keterlaksanaan pembelajaran ini diisi oleh observer yang nantinya akan memberikan komentar terkait kekurangan pelaksanaan tindakan. Data yang diperoleh dari instrumen dianalisis dengan dua cara yaitu teknik analisis kuantitatif dan kualitatif. Teknik analisis kuantitatif dilakukan pada angket self-efficacy dan lembar keterlaksanaan pembelajaran. Pada angket selfefficacy skala 5 (skala likert) yang terdiri terdiri dari lima pilihan jawaban yaitu selalu (SL), sering (SR), Kadang-kadang (KD), jarang (JR) dan tidak pernah (TP) yang berturut-turut nilai penskorannya adalah 5, 4, 3, 2, dan 1 (Sugiono, 2015: 135). Dari hasil tersebut kemudian dikategorikan seperti pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Kategorisasi Hasil Angket Self-efficacy Siswa No Skor (X) 1 2 3 4 5 151,2 < 𝑥 ≤ 180 Sangat Tinggi 64,8 < 𝑥 ≤ 93,6 Rendah 122,4 < 𝑥 ≤ 151,2 93,6 < 𝑥 ≤ 122,4 36 < 𝑥 ≤ 64,8 Kriteria Tinggi Sedang Sangat Rendah (Widoyoko, 2009: 238) Teknik analisis kualitatif dilakukan melalui lembar keterlaksanaan pembelajaran. Data observasi yang telah diperoleh dihitung, kemudian dipersentasekan sehingga dapat diketahui sejauh mana pendekatan CTL dilaksanakan pembelajaran. selama proses Penelitian tindakan kelas ini dikatakan berhasil jika mencapai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Adapun indikator keberhasilan yang ditetapkan adalah sebagai berikut: 1) Terjadi peningkatan self-efficacy siswa untuk tiap siklusnya dan mencapai target yang sudah dibuat yaitu 25 % (7 siswa) untuk kategori sangat tinggi dan 60,7 % (17 siswa) untuk kategori tinggi dan 14,3% (4 siswa) dengan kategori sedang. 2) Tingkat keterlaksanaan belajar dengan pendekatan CTL mencapai ≥ 95%. 4. Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian Penelitian tindakan ini diawali dengan memberikan angket pretest self-efficacy siswa kelas VIII-1 SMP Taman Dewasa Jetis. Pemberian angket ini bertujuan untuk mengetahui kondisi awal subjek penelitian. Dari hasil pretest rata-rata skor siswa berada pada kategori sedang (118,4). Dari 26 siswa yang mengikuti pretest hanya terdapat 3,85 % (1 siswa) yang berkategori sangat tinggi, 34,62 % (9 siswa) dengan kategori tinggi, 57,69 % (15 siswa) dengan kategori sedang, 3,85% (1 siswa) dengan kategori rendah, dan tidak ada siswa yang berada pada kategori sangat rendah. Sejalan dengan hasil tersebut, untuk setiap aspek self-efficacy diperoleh rata-rata 89 untuk aspek magnitude, 84 untuk aspek strength, dan 85 untuk aspek generality. Berdasarkan hasil pretest yang menunjukan self-efficacy siswa terhadap matematika masih dalam kategori sedang, sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkannya. Upaya yang dimaksud yaitu dengan penggunaan pendekatan CTL selama pelaksanaan siklus. Siklus I Pelaksanaan tindakan Siklus I dilakukan selama dua pertemuan (4 x 40 menit) yaitu hari Jum’at, 4 November 2016 dan Sabtu, 5 November 2016. Dari pelaksanaan tindakan siklus I diperoleh peningkatan hasil self-efficacy siswa terhadap matematika. Skor selfefficacy siswa sudah masuk pada kategori tinggi dengan nilai rata-rata 123,42. Adapun data rincian disajikan pada tabel 2 berikut: Tabel 2. Hasil Posttest Self-efficacy Siklus I Kategori Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah Rata-rata Jumlah Presentasi Siswa 2 6,67% 18 48,13% 12 44,45% 0 0% 0 0% 123,42 (Tinggi) Berdasarkan tabel 2, dari 28 siswa yang mengikuti postest diperoleh 2 siswa (6,67%) dengan kategori sangat tinggi, 18 siswa (48,13%) dengan kategori tinggi, dan 12 siswa (44,45%) dengan kategori sedang. Jika ditinjau dari setiap aspek self-efficacy siswa dalam belajar matematika, memiliki nilai rata-rata yang relatif sama, dimana untuk aspek magnitude, strength, dan generality secara berturut-turut yaitu 96, 96, dan 95. Meskipun hasil tersebut sudah mengalami peningkatan dari kondisi awal, akan tetapi belum mencapai indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Kaitannya dengan keterlaksanaan pembelajaran CTL, hasil yang diperoleh hanya mencapai 82,69%. Secara lebih rinci disajikan pada tabel 3 berikut: 919 Tabel 3. Hasil Keterlaksanaan Pembelajaran Siklus I Pertemuan Pertama Kedua Terlaksana Terlaksana Tidak Terlaksana Tidak Siklus I Pres Jml (%) 19 7 24 2 73,07 26,92 92,3 7,7 Berdasarkan tabel 3, diperoleh pada pertemuan pertama presentasi keterlaksanaan pembelajaran mencapai 73,07 % serta pada pertemuan kedua mencapai 92,3 %. Hasil ini belum menunjukan tercapainya target yang ditetapkan yakni ≥ 95% terlaksana. Hasil siklus I secara keseluruhan menunjukan peningkatan, akan tetapi belum ada yang mencapai indikator keberhasilan. Melalui tahapan refleksi antara peneliti dan observer diperoleh kekurangan selama proses pelaksanaan tindakan yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) Menghabiskan waktu yang lama dalam proses perkenalan; Siswa belum terbiasa dengan pendekatan CTL, sehingga belum terlibat aktif dalam pembelajaran; Contoh dalam LKS yang terlalu banyak sehingga membutuhkan waktu yang lama; Masih ada siswa belum berani bertanya dan memberikan jawaban dengan yakin; dan Pemberian refleksi secara lisan belum efisien dalam menggambarkan keseluruhan materi pelajaran. Memperhatikan berbagai kekurangan tersebut, maka peneliti merumuskan solusi yang bertujuan agar siklus berikutnya diperoleh yang lebih baik. Solusi yang dirumuskan yaitu: 1) Peneliti harus mampu mengalokasikan waktu pada RPP secara tepat; 2) Peneliti memberikan motivasi dan apersepsi yang kuat kepada 920 3) 4) 5) siswa, sehingga dapat terlibat aktif selama proses pembelajaran; Peneliti harus menyusun LKS yang singkat dan lengkap; Peneliti dan guru bersama-sama membimbing siswa bertanya dan menanggapi pertanyaan; dan Setiap akhir pertemuan, guru menyiapkan powerpoint untuk merefleksi pembelajaran. Siklus II Pelaksanaan tindakan Siklus II dilakukan selama dua pertemuan pula (4 x 40 menit) yaitu hari Jum’at, 11 November 2016 dan Sabtu, 12 November 2016. Berdasarkan refleksi pada siklus I, maka hasil pretest selfefficacy siswa terhadap matematika pada siklus II mengalami peningkatan dibandingkan siklus I. Rata-rata skor self-efficacy siswa yaitu 135,88 dengan kriteria tinggi. Hasil posttest self-efficacy disajikan pada tabel 4 berikut. Tabel 4. Hasil Posttest Self-efficacy Siklus II Kategori Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah Rata-rata Jumlah Presentasi Siswa 8 26,67% 16 57,14% 4 14,29% 0 0% 0 0% 135,88 (Tinggi) Berdasarkan tabel 4 diperoleh, dari 28 siswa yang mengikuti postest diperoleh 8 siswa (26,67%) berkategori sangat tinggi, 16 siswa (57,14%) berkategori tinggi dan 4 siswa (14,29%) berkategori sedang. Hasil ini menunjukan indikator keberhasilan yang ditetapkan telah dicapai. Peningkatan ini juga dapat dilihat dari skor rata-rata untuk setiap aspek self-efficacy yaitu magnitude sebesar 104, strength sebesar 108, dan generality sebesar 104. Hasil ini semakin mempertegas bahwa pembelajaran CTL dapat meningkatkan self-efficacy siswa dalam belajar matematika. Kaitannya dengan lembar keterlaksanaan pembelajaran, hasil yang diperoleh yaitu sebesar 96,15%. Berikut ini disajikan tabel keterlaksanaan pembelajaran siklus II: Tabel 6. Skor Angket Self-efficacy Siswa dan Keterlaksanaan Pembelajaran Kriteria ST T S R SR Terlaksana Tabel 5. Hasil Keterlaksanaan Pembelajaran Siklus II Siklus II Pertemuan Ketiga Keempat Terlaksana Terlaksana Tidak Terlaksana Tidak Jml Pres (%) 25 1 26 0 96,15% 3,85 % 100 % 0% Berdasarkan tabel 5 hasil observasi keterlaksanaan pembelajaran siklus II, diperoleh hasil pada pertemuan ketiga presentasi keterlaksanaan pembelajaran mencapai 96,15% serta pada pertemuan keempat mencapai 100%. Hasil ini menunjukan keterlaksanaan pembelajaran selama tindakan pada siklus II dengan menggunakan pendekatan CTL sudah mencapai kriteria yang ditetapkan yaitu ≥ 95% terlaksanaan. Oleh karena pada siklus II semua indikator keberhasilan yang ditetapkan telah tercapai maka siklus dihentikan pada siklus ke-II. Pembahasan Penelitian tindakan kelas ini berlangsung selama dua siklus pada kelas VIII-1 SMP Taman Dewasa Jetis Yogyakarta. Tindakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan CTL menunjukan peningkatan hasil self-efficacy siswa disetiap siklusnya. Hasil yang diperoleh tersebut disajikan pada tabel 6 berikut. Kondisi Awal 3,34% 34,69% 57,69% 3,85% 0,00% Sedang - Siklus I 6,67% 48,13% 44,45% 0% 0% Tinggi 83,65% Siklus II 26,67% 57,14% 14,29% 0% 0% Tinggi 96,16% Berdasarkan tabel 6 diperoleh, hasil untuk self-efficacy yang terus meningkat disetiap siklusnya. Dari hasil pretest, siswa dengan kategori sangat tinggi hanya mencapai presentasi 4%, kemudian setelah diberikan pembelajaran dengan pendekatan CTL mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari hasil postest pada siklus I dan siklus II yaitu 6,67% dan 26,67%. Kondisi ini sama seperti pada kategori tinggi yang juga mengalami peningkatan dari 35% pada pretest menjadi 48,13% pada siklus I dan 57,14% pada siklus II. Untuk kategori sedang dan rendah keduanya mengalami penurunan. Hasil ini menunjukan bahwa terjadi peningkatan self-efficacy matematika siswa setelah diterapkan pendekatan CTL dalam dua siklus. Peningkatan dapat dilihat juga dari setiap aspek self-efficacy pada setiap siklusnya. Aspek magnitude mengalami peningkatan dari 96 pada siklus I menjadi 104 pada siklus II; aspek strength mengalami peningkatan dari 96 pada siklus I menjadi 108 pada siklus II; serta aspek generality mengalami peningkatan dari 95 pada siklus I menjadi 104 pada siklus II. Berdasarkan hasil tersebut, peningkatan terbesar terjadi pada aspek strength disebabkan oleh siswa sudah terbiasa menyelesaikan masalah-masalah matematika melalui pembelajaran CTL, hal ini 921 tercermin melalui kegiatan experiencing (menemukan, menyelidiki, dan inventori). Selain itu, pada kegiatan cooperating dan transfering melatih siswa untuk saling bekerja sama, berbagi informasi, serta saling menguatkan. Secara umum, karateristik CTL yang menitikberatkan pada relating atau menghubugkan materi matematika yang dipelajari dengan dunia nyata siswa menjadikan self-efficacy siswa terhadap matematika meningkat. Hal ini pula dikemukakan oleh Graham dan Pajares (1999: 126) self-efficacy matematika berkaitan dengan keyakinan siswa atas manfaat matematika dalam kehidupan nyata. Hal ini sejalan dengan hasil studi yang dilakukan oleh Irjayanti (2014) dan Susanti (2016) yang menyimpulkan bahwa pendekatan CTL yang terdiri atas lima strategi (REACT) efektif dalam meningkatkan self-efficacy siswa terhadap matematika. 5. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembasahan yang telah diuraikan, maka diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan pendekatan CTL dapat meningkatkan self-efficacy siswa terhadap matematika siswa kelas VIII-1 SMP Taman Dewasa Jetis. Skor rata-rata self-efficacy siswa sebelum diberikan tindakan mencapai 118,85 (sedang) dengan presentasi 62%. Setelah diberikan tindakan, pada siklus I rata-rata capaian siswa sebesar 123,42 (tinggi) dengan presentasi 54,8%. Namun, hasil tersebut belum mencapai target yang ditetapkan, sehingga dilanjutkan pada siklus II. Pada siklus II skor rata-rata siswa sebesar 135,88 (tinggi) dengan presentasi 83,81%. Skor tersebut telah memenuhi target yang ditetapkan sebagai indikator keberhasilan pendekatan CTL meningkatkan self-efficacy siswa terhadap matematika. Kaitannya dengan keterlaksanaan pembelajaran, dari hasil pengamatan diperoleh peningkatan disetiap siklusnya yaitu 82,69 pada siklus I dan 96,15% pada siklus II. Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan tersebut, penulis menyarankan kepada peneliti tindakan selanjutnya agar dapat menjadikan pendekatan CTL sebagai alternatif cara untuk meningkatkan self-efficacy matematika siswa. Selain itu, bagi peneliti berikutnya dapat mencoba untuk meneliti aspek kognitif dan afektif yang lain melalui penggunaan pendekatan CTL. Daftar Pustaka Bandura, A. (1997). Self-efficacy University Press. in Changing Societies. New York: Cambridge Erickson, R. G & Bern, F. H (2001). Contextual Teaching and Learning:Preparing Students for the New Economy. Diakses dari www.nccte.com pada tanggal 11 Mei 2016. Crawford, M. L. (2001). Teaching Contextually: Research, Rationale, and Techniques for Improving Student Motivation and Achievement in Mathematics and Science. Texas: CCI Publishing. 922 Pajares, F & Graham, L. (1999). Self-efficacy , Motivation Constructs, and Mathematics Performance of Entering Middle School Students. Contenporery Educational Psychologi, 124-139. Diakses dari www.idealibrary.com pada tanggal 11 Mei 2016. Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Konstektual dalam Pembelajaran abad 21 Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor: Ghalia Indonesia. Irjayanti, R. (2014). Keefektifan Strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transfering) dalam Pembelajaran Turunan Fungsi Ditinjau dari Pestasi Belajar Matematika, Kemampuan Penyelesaian Masalah Matemtika, Kemampuan Koneksi, dan Self-efficacy Siswa Kelas XII IPA SMA. Tesis Magister, Tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Johnson, E. B. (2002). Contextual Teaching and Learning: What it is and Why it's Here to Stay. California: Corwin Press. Kemmis, S dan McTaggart. (1988). The Action Research Planner. Victoria: Deakin University. Komalasari, K. (2013). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika. Liu, X & Koirala, H. (2009). The Effect of Mathematics Self-efficacy on Mathematics Achievement of High School Student. Paper North East Educational Research Association Annual Conference (p.1-15). Science and Mathematics Education Commons. Maddux, J. E. (1995). Self-efficacy , Adaptation, and Adjustment Theory, Research, and Application. Virginia: Springer Science+Business Media. NCTM. (2000). National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). New York: NCTM. Diakses dari www.nctm.org pada tanggal 7 September 2015. Schunk, D. (2012). Learning Theories and Educational Perspective (Six Edition). California: Pearson Education. Slavin, R. E. (2006). Educational Pyscology Theory and Practice (Eight Edition). Boston: Pearson Education. Sugiono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Susanti, U. (2016). Keefektifan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Problem Solving pada Pembelajaran Himpunan Ditinjau dari Prestasi Belajar dan Kepercayaan Diri Siswa SMP Kelas VII. Tesis Magister, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Widoyoko, E. P. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran (Panduan Praktis bagi Pendidik dan Calon Pendidik). Yogyakarta: Pustaka Belajar. 923 PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI GENDER MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH BERKARAKTER PADA SISWA KELAS XI SMA YPK MEDAN Rahmi Ramadhani Universitas Potensi Utama, Jl. KL. Yos Sudarso KM. 6,5 N0. 3-A Tanjung Mulia, Medan Abstract. The aims of this research were (1) to analyze improvement of student’s mathematics problem solving ability using characterized problem based learning; and (2) to look interaction between student’s gender and learning in increasing student’s mathematics problem solving ability. This type of research was a quasi experimental. The population of this research was all students in SMA YPK Medan. The experimental class consisted of 21 female students and 21 male students in XI MIPA 1 and the control class consisted of 19 female students and 23 male students in XI MIPA 2. The sample was chosen by using purposive sampling. The data were analyzed using Two Ways ANOVA. The result of this research were (1) the improvement of student’s mathematical problem solving ability using characterised problem based learning was higher than the improvement of those using conventional learning; (2) there is no interaction between student’s gender and learning in increasing student’s mathematical problem solving ability. Based on this research, the characterized problem based learning was able to be used to improve mathematical problem solving ability of students. Keywords: Characterized Problem Solving, Gender Based 1. Pendahuluan Standar proses dari pembelajaran matematika menurut National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) adalah problem solving (pemecahan masalah), reasoning dan proof (penalaran dan pembuktian), communication (komunikasi), connections (koneksi), dan representation (representasi). Pemecahan masalah merupakan bagian dari standar proses matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan untuk menggunakan keterampilan dan pengalaman yang mereka miliki untuk diterapkan dalam penyelesaian soal-soal yang tidak rutin karena setelah menempuh pendidikan, para siswa akan terjun ke masyarakat yang penuh dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Russefendi (Effendi, 2012: 3) 924 Learning, Mathematics Problem mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah sangat penting dalam matematika, bukan saja bagi mereka yang di kemudian hari akan mendalami atau mempelajari matematika, melainkan juga bagi mereka yang akan menerapkannya dalam bidang studi lain dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, kemampuan pemecahan masalah harus dimiliki siswa untuk melatih agar terbiasa menghadapi berbagai permasalahan, baik masalah dalam matematika, masalah dalam bidang studi lain, ataupun masalah dalam kehidupan sehari-hari yang lebih kompleks. Pada kenyataannya saat siswa dihadapkan pada soal-soal yang tidak rutin, (soal cerita yang terkait pemecahan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari), nilai yang diperoleh oleh siswa biasanya akan lebih rendah jika dibandingkan dengan soal pilihan berganda. Masih terlihat kesenjangan yang cukup besar antara apa yang diharapkan dalam belajar matematika dengan kenyataan yang akan dicapai. Hal ini menjadi salah satu masalah bagi guru karena pemecahan masalah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya nalar dan melatih siswa agar mampu berpikir kritis, logis dan berkarakter. Seyogianya untuk menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin, siswa membutuhkan kemampuan pemecahan masalah matematika yang baik. Tahapan pemecahan masalah menurut Polya yaitu : “(1) memahami masalah, (2) merencanakan penyelesaiannya, (3) melaksanakan masalah sesuai rencana dan (4) melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang dikerjakan.” Selain kemampuan pemecahan masalah dalam soal-soal tidak rutin juga dibutuhkan karakter siswa, karena dalam memecahkan masalah tidak rutin diperlukan juga cara-cara untuk menyelesaikannya. Pada kenyataannya pendidikan di Indonesia cenderung terbatas pada penguasaan materi pelajaran atau bertumpu pada pengembangan aspek kognitif tingkat rendah yang tidak mampu mengembangkan karakter siswa. Dalam hal ini, salah satu tujuan pendidikan adalah membentuk karakter pada diri seseorang yang terwujud dalam kesatuan perilaku dan sikap hidup. Namun realitasnya bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Pendidikan cenderung hanya mengejar kecerdasan intelektual, cenderung miskin budi pekerti, dan akhlak. Sehingga menjadikan manusia kehilangan karakternya. Fadillah (2012: 143) menambahkan bahwa nilai-nilai dasar pendidikan karakter bangsa terdapat 18 nilai karakter, yaitu sebagai berikut: bertakwa (religius), bertanggung jawab, disiplin, jujur, toleransi, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, menghargai, bersahabat, peduli sosial, cinta damai, demokratis, peduli lingkungan, gemar membaca, cinta tanah air. Dari kedelapan belas nilai-nilai karakter yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti tertarik untuk menerapkan beberapa nilai karakter tersebut ke dalam proses pembelajaran matematika. Nilai karakter yang digunakan pada pembelajaran berbasis masalah berkarakter adalah bertanggung jawab, disiplin, kreatif, mandiri serta peduli lingkungan. Melalui pembelajaran matematika diharapkan dengan sendirinya tujuan untuk membentuk karakter siswa seperti, bersikap kritis, cermat, jujur dan lain sebagainya dapat dicapai. Soedjadi (Fadillah, 2012: 145) mengatakan pembelajaran semacam ini dinamakan pembelajaran by chance. Setelah melakukan kajian berbagai model pembelajaran yang ada maka peneliti menganggap bahwa pembelajaran berbasis masalah yang selanjutnya disingkat dengan PBM merupakan suatu strategi yang cocok digunakan. Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu pembelajaran yang didasarkan kepada psikolog kognitif yang berangkat dari asumsi bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Belajar bukan semata-mata proses menghafal sejumlah fakta, tetapi suatu proses interaksi secara sadar antara individu dan lingkungannya. Pembelajaran berbasis masalah berkarakter merupakan salah satu solusi yang tepat untuk digunakan dalam proses pembelajaran, yang bertujuan untuk menanamkan nilai925 nilai karakter kepada siswa, khususnya siswa SMA. Beberapa pakar pendidikan matematika telah mencoba mengkaji model-model pembelajaran yang dapat membentuk karakter siswa. Soedjadi (Fadillah, 2012: 145) mengatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dengan berbagai model dan metodenya, dapat dijadikan sebagai alat untuk membangun karakter bangsa. Sementara itu Prabowo dan Sidi (Fadillah, 2012: 145) mengatakan bahwa pendekatan pembelajaran matematika realistik (PMRI) dapat memahat karakter siswa. Pembelajaran berbasis masalah juga membantu siswa menjadi siswa yang mandiri. Selain dilihat dari aspek kemampuan memecahkan soal cerita diperhatikan juga aspek perbedaan gender, perbedaan gender sudah menjadi sorotan sejak jaman dahulu. Maccoby dan Jacklyn (Nafi’an, 2011: 574) mengatakan laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan kemampuan antara lain sebagai berikut: (1) perempuan mempunyai kemampuan verbal lebih tinggi daripada laki-laki; (2) laki-laki lebih unggul dalam kemampuan visual spatial (penglihatan keruangan) daripada perempuan; dan (3) laki-laki lebih unggul dalam kemampuan matematika. Menurut Susento (Nafi’an, 2011: 574) perbedaan gender bukan hanya berakibat pada perbedaan kemampuan dalam matematika, tetapi cara memperoleh pengetahuan matematika juga terkait dengan perbedaan gender. Keitel (Nafi’an, 2011: 574) menyatakan “Gender, social, and cultural dimensions are very powerfully interacting in conceptualization of mathematics education”. Berdasarkan pendapat Keitel bahwa gender, sosial dan budaya berpengaruh pada 926 pembelajaran Matematika, Brandon (Nafi’an, 2011: 574) menyatakan bahwa perbedaan gender berpengaruh dalam pembelajaran matematika terjadi selama usia sekolah menengah. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa adanya keberagaman hasil penelitian mengenai peran gender dalam pembelajaran matematika. Beberapa hasil menunjukkan adanya faktor gender dalam pembelajaran matematika, namun pada sisi lain beberapa penelitian mengungkapkan bahwa gender tidak berpengaruh signifikan dalam pembelajaran matematika. Dari paparan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk melihat: (1) apakah terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah berkarakter?; dan (2) apakah terdapat interaksi (hubungan) antara pembelajaran dan gender siswa dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika? Dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah berkarakter ini, diharapkan pembelajaran yang akan didapatkan siswa lebih bermakna, memberi kesan yang lebih kuat pada siswa, dapat mengatasi kesulitan siswa dalam mempelajari matematika dan siswa itu sendiri juga dapat menyelesaikan pemecahan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari serta dapat membentuk karakter siswa. 2. Kajian Teori Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Pemecahan masalah memainkan peran penting dalam pendidikan matematika mulai dari siswa tingkat dasar hingga tingkat menengah. Namun, mengetahui bagaimana cara untuk memasukkan pemecahan masalah secara menyeluruh ke dalam kurikulum matematika masih sulit bagi para guru matematika (NCTM, 2010: 1). Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika dengan memperhatikan proses menemukan jawaban berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah (memahami masalah; merencanakan pemecahan masalah; menyelesaikan masalah; dan melakukan pengecekan kembali) yang dikemukakan oleh Polya (Author, 2016) Pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang paling tinggi dibandingkan tipe belajar lainnya. Menurut Slameto (dalam Pamungkas, 2013: 119) pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses untuk menentukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi yang baru. Kemampuan pemecahan masalah sangat penting artinya bagi siswa dan masa depannya. Para ahli pembelajaran sependapat bahwa kemampuan pemecahan masalah dalam batasbatas tertentu, dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang diajarkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika adalah kemampuan yang harus dimiliki siswa untuk dapat memahami masalah, merencanakan pemecahan, menyelesaikan masalah, dan memeriksa kembali hasil dari suatu matematika yang diberikan. Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran berbasis masalah adalah salah satu model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dengan cara menghadapkan para peserta didik tersebut dengan berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Dengan strategi pembelajaran ini, peserta didik sejak awal sudah dihadapkan kepada berbagai masalah kehidupan yang mungkin akan ditemukan kelak pada saat mereka sudah lulus dari bangku sekolah (Nata, 2009: 243). Menurut Sanjaya (2008: 214), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah secara ilmiah. Sedangkan menurut pandangan Arends dalam Trianto (2010: 92), pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri. Trianto menambahkan juga bahwa pada pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pembelajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memeroses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran berbasis masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembelajaran berbasis masalah berkarakter. Dalam 927 mengimplementasikan pembelajaran tersebut, peneliti menyisipkan nilainilai karakter dalam proses pembelajaran. Penyisipian nilai-nilai karakter dilakukan pada langkahlangkah (sintaks) pembelajaran. Sintaks pembelajaran berbasis masalah diantaranya orientasi siswa pada masalah, mengorganisasi siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, serta menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah (Trianto, 2010: 98). Dari sintaks pembelajaran di atas, peneliti menyisipkan nilainilai karakter pada langkah orientasi pada masalah serta mengembangkan dan menyajikan hasil karya serta menganalisis proses pemecahan. Orientasi masalah diambil dari permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari para siswa serta berunsur nilai-nilai karakter. 3. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA YPK Medan. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling. Sekolah yang dijadikan sebagai sampel adalah SMA YPK Medan kelas XI MIPA 1 sebagai kelas eksperimen dengan jumlah siswa sebanyak 42 orang (21 orang siswa laki-laki dan 21 orang siswa perempuan). Sedangkan kelas XI MIPA 2 sebagai kelas kontrol dengan jumlah siswa sebanyak 42 orang (19 orang siswa laki-laki dan 23 orang siswa perempuan). 4. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu dengan desain kelompok kontrol pretes-postes. Unitunit penelitian ditentukan kategori model pembelajaran (pembelajaran 928 berbasis masalah berkarakter dan biasa). 5. Hasil Penelitian Tabel 1 menyajikan informasi hasil pre test dan post test kemampuan pemecahan masalah matematika siswa baik menggunakan pembelajaran berbasis masalah berkarakter maupun pembelajaran biasa (konvensional). Secara keseluruhan sesuai dengan katagori gender siswa, kelompok eskperimen mendapatkan hasil yang lebih baik daripada kelompok kontrol. Dari hasil Uji Kolmogrof-Smirnov dan Uji Leneve menunjukkan bahwa sampel yang diambil dari populasi yang terdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen. Tabel 1. Deskripsi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Pretes_ Eksperimen Posttes _Eksperimen Pretes_ Kontrol Posttes_ Kontrol Valid N (listwise) � 𝑿 N Min Max SD Var 42 5.0 12.0 8.12 1.7 2.9 42 10.0 19.0 14.3 2.2 4.7 42 5.0 12.0 8.24 1.7 2.8 42 10.0 17.0 13.3 1.7 2.9 42 Tabel 2 dan tabel 3 menyajikan deskripsi data kemampuan pemecahan masalah matematika berdasarkan skor N-Gain dilihat dari kelompok pembelajaran dan kelompok gender siswa. Tabel 2. Deskripsi Berdasarkan N-Gain Setiap Pembelajaran Data skor N-Gain Kelompok Eksperimen Kontrol 𝑥𝑚𝑖𝑛 0,30 𝑥𝑚𝑎𝑘𝑠 0.90 𝑥̅ 0,53 0,16 0,13 0,77 0,43 0,14 SD Kategori Sedang Sedang Tabel 3. Deskripsi Berdasarkan N-Gain dan Gender Siswa Gender LakiLaki Perem -puan PBM Berkarakter � N SD 𝑿 2 0,5 0,1 1 5 9 2 0,4 0,1 1 9 0 Biasa/ Konvensional � N SD 𝑿 1 0,4 0,1 9 2 2 2 0,4 0,1 3 3 5 Setelah dilakukan pre test dan post test kepada siswa, diperoleh N-Gain masing-masing kelas untuk melihat apakah terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara siswa yang diberi pembelajaran berbasis masalah berkarakter dan yang diberi pembelajaran biasa (konvensional). Rata-rata N-Gain kemampuan pemecahan masalah matematika pada kelas eksperimen sebesar 0,53 dan pada kelas kontrol sebesar 0,43. Jika ditinjau dari faktor gender siswa, terlihat pada tabel 3 bahwa gender laki-laki mendapatkan nilai rata-rata lebih tinggi daripada gender perempuan pada kelas eskperimen. Namun, kondisi berbeda terlihat di kelas kontrol. Siswa dengan gender perempuan mendapatkan nilai ratarata lebih tinggi daripada siswa dengan gender laki-laki. Hasil perhitungan uji ANAVA 2 Jalur, NGain kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 4 berikut. Tabel 4. Hasil Uji Hipotesis KPMM Menggunakan ANAVA 2 Jalur Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:NGain_PM Type III Mean Source Sum of df F Square Squares Corrected .247a 3 .082 3.619 Model Intercept 19.172 1 19.17 842.9 0 Pembelajaran .221 1 .221 9.696 Sig. Gender Pembelajaran * Gender Error Total Corrected Total .002 .027 1 1 .002 .027 1.820 21.286 2.067 80 84 83 .023 .081 .777 1.187 .279 a. R Squared = ,779 (Adjusted R Squared = ,760) Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa untuk faktor pembelajaran, diperoleh nilai F hitung sebesar 9.696 dan nilai signifikan sebesar 0,003. Karena nilai signifikan lebih kecil dari nilai taraf signifikan 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah berkarakter lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh pembelajaran biasa. Dari tabel 4 juga terlihat bahwa untuk faktor pembelajaran dan gender, diperoleh nilai F hitung sebesar 1,187 dan nilai signifikan sebesar 0,279. Karena nilai signifikan lebih besar dari nilai taraf signikan 0,05, maka H1 ditolak dan H0 diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi yang signifikan antara pembelajaran dengan gender siswa terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika. Ini menunjukkan bahwa gain rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dengan gender (laki-laki dan perempuan) siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah berkarakter tidak berbeda secara signifikan dengan siswa yang diajar dengan pembelajaran biasa. .017 .000 .003 929 pada kelas eksperimen sebesar 0,54 dan pada kelas kontrol sebesar 0,33. Gambar 1. Interaksi antara Kemampuan Pemecahan Masalah dan Gender Siswa Gambar 2 menunjukkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa berdasarkan indikator dan kelompok pembelajaran siswa. Gambar 2. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Dari grafik di atas, terlihat bahwa siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah berkarakter memperoleh peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika yang lebih tinggi pada indikator melaksanakan penyelesaian (0,65). Sedangkan siswa yang mendapat pembelajaran biasa (konvensional) memperoleh hasil yang lebih tinggi juga pada indikator melaksanakan penyelesaian (0,47). Sedangkan jika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika pada aspek peningkatan terendah, terdapat pada indikator memahami masalah yaitu 930 Dari paparan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa masih kesulitan dalam memahami masalah yang diberikan, sehingga penyelesaian yang diberikan oleh siswa masih tidak sesuai dengan permintaan permasalahan. Jika ditinjau dari aspek gender siswa sesuai dengan gambar 1, maka didapatkan hasil bahwa tidak ada interaksi antara pembelajaran dan gender dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika. Baik dari gender lakilaki maupun gender perempuan, sama sekali tidak mempengaruhi proses pembelajaran baik pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol. Dapat dikatakan bahwa faktor penentu peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika adalah murni dikarenakan perlakuan model pembelajaran yang diberikan. Pembelajaran berbasis masalah berkarakter mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Namun jika ditinjau dari pemberian nilai-nilai karakter pada proses pembelajaran di dalam kelas, peneliti mendapatkan hasil yang memuaskan. Pada pembelajaran berbasis masalah berkarakter, peneliti menyisipkan nilai-nilai karakter pada langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah, hingga pada pemberian masalah non rutin kepada siswa. Pada langkah-langkah pembelajaran, peneliti menyisipkan nilai karakter pada langkah investigasi kelompok dan presentasi hasil diskusi kelompok. Dalam hal ini, peneliti menginginkan munculnya nilai karakter disiplin, mandiri dan bertanggung jawab. Sedangkan pada pemberian masalah non rutin, peneliti menyisipkan nilai-nilai karakter kreatif lingkungan. dan peduli Peneliti mengharapkan para siswa dapat secara langsung menyerap makna tersirat dari pemberian masalah non rutin tersebut. Peneliti melakukan observasi selama proses pembelajaran berlangsung serta melakukan penyebaran angket untuk melihat apakah siswa mendapatkan pesan dan makna tersirat terhadap nilai-nilai karakter tersebut. Hasil observasi dan angket siswa dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Hasil Perhitungan Angket Penerapan Nilai Karakter Angket Pernyataan Bertanggung Jawab Mengerjakan LKS secara berkelompok dan tepat waktu sesuai arahan guru Mengerjakan LKS tepat waktu dan menyelesaikan-nya sesuai dengan langkah-langkah Polya Menyelesaikan soal tes kemampuan pemecahan masalah secara pribadi dan sebaik-baiknya, serta menggunakan langkah-langkah Polya untuk menyelesaikan tes tersebut Rata-rata Disiplin Mandiri Skor 3.25 3.35 3.21 Contoh berikut merupakan masalah non rutin dengan menyisipkan nilai karakter pada materi matriks. Gambar 3. Salah satu masalah non rutin dengan nilai karakter peduli lingkungan 5. Simpulan Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa melalui pembelajaran berbasis masalah berkarakter membutuhkan komitmen yang tinggi antara siswa dan guru. Penerapan nilai-nilai karakter pada proses pembelajaran sangat penting dalam proses pembentukan karakter diri para siswa itu sendiri. Melalui pembelajaran matematika berbasis masalah berkarakter, para siswa dapat menyinergikan antara nilai karakter dengan permasalahan yang dihadapinya dalam sehari-hari. Dalam proses pembelajaran, faktor gender tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Keseluruhan proses pembelajaran dipengaruhi oleh perlakukan pembelajaran berbasis masalah berkarakter. Penerapan pembelajaran berbasis masalah berkarakter dapat semakin diterapkan dalam menanamkan nilai- 931 nilai karakter dalam khususnya siswa SMA. diri siswa, Saran Berdasarkan simpulan hasil penelitian, dapat dikemukakan saran sebagai berikut terutama kepada guru. (1) pembelajaran berbasis masalah berkarakter dapat dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi sekolah dan budaya lokal. (2) guru dapat melakukan penelitian lanjutan dengan meneliti kemampuan matematis lainnya. Daftar Pustaka Author. (2016). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika yang Berorientasi pada Model Problem Based Learning. Jurnal KREANO, 7 (2) Effendi, Leo Adhar. (2012). Pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing untuk meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa SMP. Jurnal Penelitian Pendidikan, 3 (2): 1-10 Fadillah, Syarifah. (2012). Pembentukan Karakter Siswa Melalui Pembelajaran Matematika. Jurnal Paradikma, 6 (2): 142-148 Nafi’an, Muhammad Iman. (2011). Kemampuan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita Ditinjau dari Gender di Sekolah Dasar. Prosidding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema ”Matematika dan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran”, FMIPA UNY Nata, Abuddin. (2009). Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Kencana: Jakarta NCTM. (2010). Why is Teaching with Problem Solving Important to Students’ Learning. Problem Solving Reasearch Brief Pamungkas, dkk. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kreativitas Belajar Matematika dengan Pemanfaatan Software Core Math Tools (CMT). Prosiding: Seminar Nasional Pendidikan Matematika Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Trianto. (2010). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta: Kencana 932 Redaksi Edumat PPPPTK Matematika menerima artikel naskah jurnal yang terkait dengan pendidikan matematika. Ketentuan penulisan dan untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi Redaksi. Jurnal Edukasi Matematika