of
Journal
thematics
t io n
uca
Ed
Ma
Jurnal Edukasi Matematika
PENALARAN ALJABAR
Latifah Nuraini
DAPATKAH RUMUS LUAS LINGKARAN
DIBUKTIKAN LEWAT SEGITIGA?
Sumardyono
PENGGUNAAN MEDIA BERIBU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT
Suparman Pilomonu
UPAYA MENINGKATKAN SELF-EFFICACY SISWA TERHADAP
MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA SISWA KELAS VIII-1 SMP
TAMAN DEWASA JETIS YOGYAKARTA
Imaludin Agus, Arisnawati Dwi Purwani
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
DITINJAU DARI GENDER MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS
MASALAH BERKARAKTER PADA SISWA KELAS XI SMA YPK MEDAN
Rahmi Ramadhani
Volume 8
Nomor 15
Halaman 884- 932
Desember 2017
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika
(PPPPTK Matematika)
8
SUSUNAN DEWAN REDAKSI
JURNAL EDUMAT VOLUME 8 NOMOR 15 TAHUN 2017
PPPPTK MATEMATIKA
Pengarah
: 1. Kepala PPPPTK Matematika
Dr. Dra. Daswatia Astuty, M.Pd.
2. Kepala Bagian Umum
Nunik Sukeksi, S.H., M.Hum.
Penanggung jawab
: Kepala Sub Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangga
Harwasono, S.Kom., MM.
Reviewer
: 1. Dr. Rachmadi Widdiharto, M.A.
2. Dr. Supinah
3. Fadjar Noer Hidayat, M.Ed.
4. Sri Wulandari Danoebroto, S.Si, M.Pd
5. Untung Trisna Suwaji, S.Pd., M.Si.
6. Agus Dwi Wibawa, M.Si.
7. Sigit Tri Guntoro, M.Si.
8. Joko Purnomo, M.T.
9. Drs. Markaban, M.Si.
10. Titik Sutanti, M.Ed.
Dewan Redaksi
Pemimpin Redaksi
Anggota Redaksi
:
: Dra. Puji Iryanti, M.Sc.Ed.
: 1. Dr. Adi Wijaya, M.A.
2. Estina Ekawati, M.Pd.Si.
Administrasi
: 1. Andar Widiyarti, S.Pd.
2. Anggraheni Suharto, S.IP.
3. Lucia Andris Nurini, S.Psi.
Lay Out
: 1. Cahyo Sasongko, S.Sn.
2. Muhammad Fauzi
Alamat redaksi
: Sub. Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangga,
PPPPTK Matematika
Jl. Kaliurang km.6, Sambisari, Depok, Sleman
D.I. Yogyakarta
Telp. (0274)881717, 887755
Fax. (0274) 885752
Website. www.p4tkmatematika.org
Email. jurnaledumat@p4tkmatematika.org
sekretariat@p4tkmatematika.org
PENALARAN ALJABAR
Latifah Nuraini
Institut Pesantren Mathali’ul Falah, Pati
Abstract. This article is a literature study on algebraic reasoning with examples of
characteristics of algebraic reasoning of seventh graders. Algebra is a branch of
mathematics involving symbols and studying about the structure of abstraction
system on computation and relations, as well as modeling and solving equations. To
understand algebra requires reasoning ability, where the ability is very closely
related to drawing conclusions. Algebraic reasoning is essential for understanding
algebra, as algebraic capability is important for the mastery of mathematical
contents. Due to its importance, teachers are expected to have a clearer and more
comprehensive understanding of algebraic reasoning so they could apply it in
mathematics learning appropriately.
Keywords. Algebraic reasoning, mathematics learning, reasoning
1. Pendahuluan
Pengetahuan tentang kemampuan
penalaran
masing-masing
siswa
diperlukan
untuk
mewujudkan
pembelajaran
matematika
yang
efektif.
Kemampuan
penalaran
merupakan salah satu dari sekian
banyak kecerdasan yang sangat
penting dimiliki dan dikuasai siswa
saat
mempelajari
matematika.
Sebagaimana kecerdasan dasar lain
yang dimiliki anak, kemampuan
inilah yang digunakan anak ketika
dihadapkan
pada
masalah
matematika
(Minarni,
2010).
Penalaran adalah bagian tertentu
dalam memecahkan masalah yang
melibatkan proses penyelidikan dan
penarikan
kesimpulan
terhadap
dugaan-dugaan terkait yang telah
dibuktikan kebenarannya.
Menurut Trends in International
Mathematics and Science Study
(TIMSS)
2011
terhadap
siswa
Indonesia pada domain materi, ratarata presentase paling rendah adalah
884
pada kemampuan aljabar yaitu 22%
(Rosnawati,
2013).
Rendahnya
kemampuan aljabar siswa Indonesia
sangat mungkin karena siswa belum
cukup
memahami
penggunaan
simbol, penyimpulan dari pola-pola
tertentu, maupun konsep relasi dan
fungsi. Kemampuan menghubungkan, menyimpulkan pola, bilangan,
dan simbol dalam materi aljabar
sangat erat hubungannya dengan
kemampuan penalaran, maka dari
itu siswa hendaknya menguasai
penalaran aljabar agar mumpuni
dalam materi aljabar.
Teori mengenai penalaran aljabar
hendaknya dipahami dengan baik
oleh guru agar dapat merancang
pembelajaran yang dapat mengoptimalkan penalaran aljabar siswa.
Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut
mengenai teori penalaran aljabar
dan
bagaimana
menerapkannya
dalam pembelajaran. Artikel ini
merupakan studi literatur untuk
membahas teori penalaran aljabar
dengan
meletakkan
Indonesia
sebagai kasus. Diberikan contoh
karakteristik penalaran aljabar siswa
kelas VII sebagai gambaran rata-rata
kemampuan ajabar yang dimiliki
siswa di Indonesia.
2. Penalaran
Penalaran (reasoning) adalah proses
berpikir yang dilakukan dengan
suatu
cara
untuk
menarik
kesimpulan. Sebagaimana pernyataan Suriasumantri (2007: 42)
bahwa penalaran adalah suatu
proses berpikir dalam menarik
kesimpulan berupa pengetahuan,
penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan
berpikir bukan perasaan.
Dominowski (2002:57) menyatakan
bahwa
penalaran
adalah
jenis
khusus dari pemecahan masalah.
Intinya, penalaran adalah alat untuk
memahami
matematika
dan
pemahaman
matematik
itu
digunakan untuk menyelesaikan
masalah. Pengalaman menyelesaikan masalah dapat memperkuat
pemahaman
dan
penalaran
matematik yang kemudian kembali
menjadi modal untuk memecahkan
masalah baru atau masalah yang
lain lagi, demikian siklus itu
seharusnya berlangsung.
National Council of Teachers of
Mathematics
(NCTM,
2000)
menegaskan bahwa bernalar dan
membuktikan adalah salah satu dari
lima kompetensi yang harus tumbuh
dan berkembang ketika anak belajar
matematika.
Curriculum
and
Evaluation Standards (NCTM, 1989)
memberikan ciri-ciri saat proses
penalaran sedang berlangsung, yaitu
bila: (a) menggunakan coba-ralat
dan
bekerja
mundur
untuk
menyelesaikan
masalah,
(b)
membuat dan menguji dugaan, dan
(c) menciptakan argumen.
Shadiq
(2009:14)
menyatakan
indikator-indikator penalaran yang
dicapai
oleh
siswa
adalah
kemampuan menyajikan pernyataan secara lisan, tertulis, gambar
dan diagram, kemampuan mengajukan
dugaan,
kemampuan
melakukan manipulasi, kemampuan menyusun bukti, memberikan
alasan/bukti terhadap kebenaran
solusi,
kemampuan
menarik
kesimpulan
dari
pernyataan,
memeriksa
kesahihan
suatu
argumen, menemukan pola atau
sifat dari gejala matematis untuk
membuat generalisasi.
Russel (NCTM,1999:l) menyatakan
bahwa penalaran matematik adalah
pusat
belajar
matematika.
Matematika adalah suatu disiplin
berkenaan dengan objek abstrak dan
penalaranlah alat untuk memahami
abstraksi. Russel menambahkan,
penalaranlah yang digunakan untuk
berpikir
tentang
sifat-sifat
sekumpulan objek matematik dan
mengembangkan generalisasi yang
dikenakan
padanya.
Penalaran
melibatkan beberapa keterampilan
penting seperti menyelidiki pola,
membuat dan menguji dugaan
(conjecture),
dan
menggunakan
penalaran deduktif dan induktif
formal
untuk
memformulasikan
argumen matematik.
Sejalan dengan pernyatan Russel di
atas, Sumarto (2006: 6) menyatakan
penalaran dibedakan menjadi dua,
yaitu
penalaran
deduktif
dan
885
induktif.
Penalaran
deduktif
didasarkan atas prinsip, hukum,
atau teori yang berlaku umum
tentang suatu hal atau gejala untuk
ditarik kesimpulan tentang sesuatu
yang khusus. Sementara penalaran
induktif
merupakan
proses
penalaran untuk sampai pada suatu
keputusan, prinsip, atau sikap yang
bersifat
umum,
berdasarkan
pengamatan atas hal-hal khusus.
Menurut NCTM (2000: 56), bernalar
matematik adalah suatu kebiasaan,
dan seperti kebiasaan lainnya, maka
ia mesti dikembangkan melalui
pemakaian yang konsisten dan
dalam berbagai konteks. NCTM
menambahkan, orang yang bernalar
dan berpikir secara analitik akan
cenderung mengenal pola, struktur,
atau keteraturan baik di dunia nyata
maupun pada simbol-simbol. Gigih
mencari tahu apakah pola itu terjadi
secara kebetulan ataukah ada
alasan tertentu. Membuat dugaan
dan menyelidiki kebenaran atau
ketidakbenaran
dugaan
itu.
Membuat dan menyelidiki dugaan
adalah hal yang sangat penting
dalam matematika, karena melalui
dugaan
berbasis
informasilah
penemuan matematik sering terjadi.
Jadi, melalui pemecahan masalah
matematik
siswa
dibimbing,
didorong, dan difasilitasi untuk
mengasah
seluruh
kemampuan
penalaran matematiknya agar dapat
tumbuh dan berkembang seperti
yang diharapkan.
Berdasarkan definisi di atas dapat
disimpulkan
bahwa
penalaran
merupakan bagian tertentu dalam
memecahkan
masalah
yang
melibatkan proses penyelidikan dan
886
penarikan
kesimpulan
terhadap
dugaan-dugaan terkait yang telah
dibuktikan kebenarannya.
3. Aljabar
Aljabar
merupakan
cabang
matematika mengenai studi tentang
struktur, hubungan dan kuantitas.
Nama ini ini berasal dari risalah
yang ditulis oleh matematikawan
Persia Muhammad ibnu Musa alKhawarizmi dalam Al-Kitab al Jabr
wal-Muqabala, yang menyediakan
operasi
simbolik
untuk
solusi
matematis persamaan linear dan
kuadrat. Beberapa hal yang menjadi
penyebab
kesulitan
siswa
di
antaranya konsep variabel dan
simbol-simbol yang belum pernah
dijumpai
pada
pembelajaran
matematika sebelumnya. Selain itu
pemahaman siswa tentang konsep
aritmetika
yang
kurang
baik
menyebabkan kesulitan memahami
konsep dasar aljabar. Kesulitan ini
berkaitan dengan perbedaan antara
konsep aritmetika dan konsep
aljabar.
Konsep
aritmetika
memfokuskan pada hasil operasi
data spesifik, sedangkan pada
konsep
aljabar
melibatkan
pembuatan hubungan yang jelas
antara suatu yang tidak diketahui
dengan
data
dan
melakukan
manipulasi untuk menyelesaikan
masalah.
Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(2005:
31)
aljabar
diartikan
sebagai
cabang
matematika
yang
menggunakan
tanda-tanda dan huruf-huruf untuk
menggambarkan
atau
mewakili
angka-angka (a, b, c, sebagai
pengganti bilangan yang diketahui
dan x, y, z untuk bilangan yang
tidak diketahui).
Aljabar adalah proses mengenali
hubungan antara kuantitas dan
operasi (Ontario Ministri of Education,
2013). Aljabar adalah suatu cara
berpikir, suatu kumpulan konsep,
dan
keterampilan
yang
memungkinkan siswa melakukan
generalisasi,
memodelkan,
dan
menganalisis situasi matematika
(NCTM, 2008).
Chiappini dan Lemut menyatakan
bahwa tidak seperti aritmetika,
tujuan utama aljabar tidak untuk
menyatakan perhitungan numerik,
tetapi menyediakan jalan untuk
merepresentasikan,
menganalisis,
dan
memanipulasi
relasi
yang
memuat bilangan dan huruf (Dettori
et al., 2002).
Aljabar adalah ilmu logika yang
dinyatakan dengan simbol-simbol
dan
memungkinkan
untuk
mendeskripsikan dan menganalisis
hubungan
antar
kuantitas
(Dobrynina dan Tsankova, 2005).
Hal ini sesuai dengan Kieran (2004)
yang
menyatakan
untuk
mengembangkan
cara
berpikir
aljabar diperlukan penyesuaian di
antaranya: a) fokus pada hubungan
dan tidak hanya pada jawaban
berupa perhitungan numerik, b)
fokus pada operasi-operasi dan
inversnya, c) fokus pada langkah
dan penyelesaian masalah, bukan
hanya penyelesaiannya, d) fokus
pada bilangan dan huruf/variabel,
bukan hanya pada angka saja,
termasuk melakukan operasi pada
sesuatu yang belum diketahui
misalkan variabel atau parameter,
menerima kalimat terbuka sebagai
jawaban, membandingkan kesamaan pernyataan-pernyataan berdasarkan sifat pada evaluasi numerik,
dan e) memfokuskan kembali makna
tanda sama dengan.
Berdasarkan definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa aljabar adalah
ilmu logika yang menggunakan
simbol-simbol untuk menentukan
hubungan dari suatu yang tidak
diketahui dengan data, memanipulasi relasi yang memuat bilangan
dan simbol, fokus pada sifat operasi
tidak hanya pada hasil perhitungan,
dan mengetahui makna tanda sama
dengan dalam suatu persamaan.
4. Penalaran Aljabar
Penalaran aljabar diambil dari kata
penalaran sebagai suatu penarikan
kesimpulan dan aljabar sebagai
suatu pernyataan bervariabel yang
mewakili
suatu
nilai.
Jadi
berdasarkan arti kata, penalaran
aljabar merupakan proses penarikan
kesimpulan dari hal yang khusus
dan
menyatakan
kesimpul-an
tersebut
dalam
pernyataan
bervariabel.
Penalaran aljabar (Ontario Ministry of
Education, 2013) mendasari semua
penalaran
matematika,
karena
dalam aljabar struktur matematika
dapat
dieksplorasi.
Kaput
dan
Blanton
(Ontario
Ministry
of
Education, 2013) menyatakan bahwa
penalaran aljabar adalah proses
menggeneralisasikan ide matematika
dari suatu hal yang khusus melalui
pemberian
argumen,
dan
menyatakan secara formal sesuai
perkembangan usia siswa. De Walle
et al. (Ontario Ministry of Education,
887
2013) menyatakan penalaran aljabar
melibatkan
pembentukan
perumuman/generalisasi
dari
pengalaman dengan bilangan dan
perhitungan,
memformalkan
ide
tersebut
dengan
menggunakan
sistem simbol, dan mengeksplorasi
konsep dari pola dan fungsi.
Berdasarkan pernyataan De Walle et
al. di atas, menunjukkan pentingnya
generalisasi
dalam
penalaran
aljabar. Generalisasi merupakan
bagian dari penalaran aljabar yang
berkembang melalui pengalaman
yang berkelanjutan. Hal tersebut
diungkapkan
dalam
penelitian
Radford
(2003)
terhadap
penyelesaian masalah pola bilangan.
Siswa tidak serta merta dapat
melakukan generalisasi terhadap
masalah pola bilangan, generalisasi
berkembang
dari
perhitungan
dengan bilangan konkret hingga
penggunaan simbol.
Radford (2003) mengidentifikasikan
perkembangan generalisasi dalam
tiga tipe yaitu factual generalization,
contextual
generalization,
dan
symbolic
generalization.
Tipe
generalisasi
faktual
adalah
generalisasi
terhadap
objek
matematika
yang
menggunakan
skema numerik yang terbatas pada
level bilangan konkret. Generalisasi
kontekstual adalah tipe generalisasi
berikutnya
yang
sudah
meninggalkan perhitungan dengan
bilangan konkret, penentuan nilai
dilakukan dengan memperhatikan
pola sebelum dan sesudah tanpa
melibatkan
pola
spesifik.
Generalisasi yang telah menggunakan huruf sebagai simbol dalam
menentukan nilai, dan menentukan
888
bentuk
paling
sederhana
dari
formula tersebut disebut generalisasi simbolik.
Penalaran
aljabar
sebagai
generalisasi
aritmetika
menurut
Carpenter et al. (Ontario Ministry of
Education, 2013) adalah penalaran
tentang operasi dan sifat yang
berhubungan
dengan
bilangan.
Generalisasi
aritmetika
adalah
perubahan dari perhitungan pada
bilangan tertentu menuju berpikir
tentang struktur matematika yang
mendasari
aritmetika
dengan
mengidentifikasi
pola
yang
ditemukan pada aritmetika. Siswa
dapat mengembangkan penalaran
aljabar dengan beberapa cara dalam
generalisasi
aritmetika
yaitu
menyelediki sifat dan hubungan,
menyelediki
persamaan
sebagai
hubungan
antara
kuantitas,
menggunakan
simbol
sebagai
variabel.
Penalaran aljabar sebagai pemikiran
fungsional menurut Beatty dan
Bruce (Ontario Ministry of Education,
2013) adalah menganalisis pola
(numerik
dan
geometri)
untuk
mengidentifikasi
perubahan
dan
untuk mengenali hubungan antara
dua himpunan bilangan. Berpikir
fungsional adalah bentuk lain dari
generalisasi. Fungsi adalah hubungan antara dua himpunan data
dimana masing-masing elemen dari
satu
himpunan
dihubungkan
dengan elemen unik dari himpunan
yang lain. Siswa dapat mengembangkan cara berpikir fungsional
pada beberapa cara yang berbeda,
misalnya generalisasi pola, dan
menggunakan invers.
Berdasarkan
uraian
di
atas,
penalaran aljabar adalah proses
seseorang melakukan generalisasi
objek matematika dari suatu hal
yang khusus dan menyatakan dalam
bentuk umum/formal menggunakan
simbol/variabel,
serta
dapat
menentukan hubungan fungsional
objek
matematika.
Hubungan
fungsional
ini
dapat
berupa
penentuan suatu nilai berdasarkan
formula
tertentu,
ataupun
menentukan
formula
apabila
diketahui nilai-nilainya.
Level
5. Level Penalaran Aljabar
Level
Ake et al. (2013) mengajukan empat
level penalaran aljabar dengan
menggunakan tiga kriteria berikut.
a. Adanya bentuk umum yang
dihasilkan
dari
proses
generalisasi.
b. Langkah-langkah dalam melakukan generalisasi.
c. Operasi
dan
transformasi
terhadap variabel dalam bentuk
umum yang dihasilkan dari
proses generalisasi.
Karakteristik masing-masing level
aljabar menurut Ake et al. (2013)
diuraikan pada tabel berikut.
Tabel 1. Level penalaran aljabar
Level
Level
0
Karakteristik
- objek ekstensif (extensive
object)
- dinyatakan dengan bahasa
apa adanya, numerik,
ikonik, dan dengan isyarat
tertentu
- terdapat simbol (masih
berupa gambar) untuk
mewakili suatu nilai
- hasil yang diperoleh berasal
dari operasi pada objekobjek khusus
Level
1
2
Level
3
Karakteristik
- objek intensif (intensive
object)
- generalisasi dapat dikenali
dengan jelas dengan bahasa
apa adanya, numerik,
ikonik, dan dengan isyarat
tertentu
- terdapat simbol yang
merujuk pada objek intensif,
tetapi tidak melakukan
operasi terhadap objek
tersebut
- melibatkan variabel yang
dinyatakan dengan bahasa
simbol yang merujuk pada
objek intensif, tetapi masih
bersifat sementara
- bentuk umum berupa
persamaan Ax±B=C
- tidak melakukan operasi
dengan variabel untuk
membuat bentuk umum
- objek intensif dinyatakan
dengan bahasa simbol
- melakukan transformasi
dengan tidak merubah
persamaan (equivalen)
- terdapat operasi terhadap
variabel untuk membuat
bentuk umum
(sumber: Ake et al., 2013)
Hasil dari proses generalisasi disebut
objek intensif (intensive object),
sedangkan
objek
baru
yang
diperoleh melalui operasi terhadap
objek-objek tertentu disebut objek
ekstensif (extensive object) (Godino et
al., 2007). Kumpulan dari objek
khusus yang diperoleh sebagai hasil
generalisasi tidak dianggap intensif
jika masih ada batasan terhadap
aturan generalisasi tersebut.
6. Karakteristik
Penalaran
Aljabar Siswa Kelas VII
Level karakteristik penalaran aljabar
beberapa siswa kelas VII SMPN 1
889
Margoyoso Kabupaten Pati, Jawa
Tengah berdasarkan level penalaran
aljabar Ake et al (2013) dengan
instrumen pola bilangan (Latifah,
2015) terletak pada level yang lebih
tinggi dari level 2 namun belum
mencapai level 3. Pada level tersebut
siswa
masih
membutuhkan
dorongan untuk melakukan operasi
pada variabel.
Indikator
Karakteristik
-
-
-
Melakukan
generalisasi
(K2)
Gambar 1. Instrumen yang digunakan
untuk mengetahui karakteristik
penalaran aljabar
Karakteristik penalaran aljabar
siswa tersebut sebagai berikut.
Tabel 2. Karakteristik penalaran
aljabar siswa SMP kelas VII
Indikator
Karakteristik
-
Memahami
masalah (K1)
890
menggunakan
informasi pada
soal untuk
menentukan
langkah
penyelesaian
masalah, hal
tersebut
menunjukkan
Membuat
bentuk umum
dengan
-
bahwa siswa
memahami
masalah (K1)
memunculkan
variabel dan
memahami
maknanya, hal
ini
menunjukkan
subjek tidak
menggunakan
bahasa simbol
(K2-1)
siswa dapat
membuat
perhitungan
untuk
menentukan
kuantitas yang
ditanyakan,
menunjukkan
siswa tidak
bergantung
pada objek
khusus (K2-2)
memunculkan
variabel dan
memahami
maknanya, hal
ini
menunjukkan
subjek
menggunakan
bahasa simbol
(K2-3)
memperhatikan
keteraturan
pola yang
diketahui,
kemudian
membuat
perhitungan
untuk
menentukan
kuantitas pola
yang
ditanyakan. Hal
ini
menunjukkan
subjek
melakukan
generalisasi
(K2-4)
membuat
bentuk umum
menggunakan
Indikator
variabel (K3)
Karakteristik
-
-
Menyelesaikan
masalah (K4)
variabel, dan
memahami
maknanya (K31)
tidak
melakukan
operasi pada
variabel (tidak
berkategori K32)
menyelesaikan
masalah (K4-1)
memahami
bentuk umum,
sehingga siswa
dapat
menggunakan
bentuk umum
untuk
menyelesaikan
masalah (K4-2)
Siswa pada usia 11 – 12 tahun
menurut psikologi kognitif Piaget
berada pada tahap operasional
formal, di mana pada tahap tersebut
siswa
dapat
memikirkan
dan
membayangkan
konsep
abstrak,
dapat menyimpulkan dengan logis,
menguji
hipotesis,
dan
mengoperasikan variabel. Hal tersebut
sesuai
dengan
level
penalaran
aljabar level 3. Namun berdasarkan
Tabel 3, siswa belum berada pada
tahap kognitif operasional formal
dan belum berada pada level
penalaran
aljabar
level
3.
Berdasarkan
penelitian
tersebut
siswa
masih
belum
terbiasa
melakukan
penalaran
aljabar,
sehingga
masih
memerlukan
dorongan untuk melakukan operasi
variabel (karakteristik K3-2).
Tabel 3. Level penalaran aljabar
siswa kelas VII SMPN 1 Margoyoso
Indikator
penalaran
aljabar
Memahami
Karakterist
ik
yang
dimiliki
pada
tes
pertama
K1
Karakterist
ik
yang
dimiliki
pada
tes
kedua
K1
masalah
(K1)
Melakukan
generalisasi
(K2)
K2-1, K2-2,
K2-3, K2-4
K2-1, K2-2,
K2-3, K2-4
Membuat
bentuk
umum
dengan
variabel (K3)
K3-1,
belum
sepenuhnya
berkate-gori
K3-2
K3-1,
belum
sepenuhny
a
berkategori
K3-2
Menyelesaik
an masalah
(K4)
K4-1, K4-2
K4-1, K4-2
Level
Penalaran
Aljabar
di
atas
level
2
namun
belum
mencapai
level 3
di
atas
level
2
namun
belum
mencapai
level 3
7. Implementasi
Penalaran
Aljabar dalam Pembelajaran
Matematika
Menerapkan
penalaran
aljabar
dalam pembelajaran matematika
dapat dilakukan pada pendidikan
anak
usia
dini,
misalnya
mengenalkan
konsep
angka
(membilang,
mencocokkan,
dan
membandingkan),
mengenalkan
konsep
pola
dan
hubungan,
mengenalkan konsep memilih dan
mengelompokkan (Lestari, 2011).
Mengembangkan
kemampuan
penalaran
aljabar
tidak
dapat
dilakukan secara instan. Aljabar
yang
paling
sederhana
adalah
mengelompokkan,
kemudian
menentukan pola hubungan, dan
konsep aljabar kemudian semakin
kompleks dan abstrak misalnya
pada
penggunaan
dan
operasi
variabel. Oleh karena itu siswa perlu
dilatih tahap demi tahap agar
kemampuan
tersebut
menjadi
keterampilan.
891
Penting untuk mengenalkan aljabar
pada siswa dengan bantuan benda
konkret sehingga kemudian dapat
mengerjakan soal yang disajikan
dengan gambar (Ontario Ministry of
Education,
2013).
Perhatikan
Gambar 2 berikut, siswa diminta
menentukan bagaimana cara yang
tepat untuk mencari banyak tusuk
gigi pada pola tertentu. Soal berikut
dapat diberikan pada siswa pada
semua kelas, pertanyaan dapat
disesuaikan
tergantung
kelas.
Misalkan pada siswa SD kelas awal
digunakan benda konkret berupa
tusuk gigi, dan siswa diminta
menentukan bagaimana cara untuk
menentukan banyak tusuk gigi
kesepuluh. Kemudian pada siswa SD
kelas tinggi dengan menggunakan
gambar, diminta untuk menentukan
rumus
yang
digunakan
untuk
menentukan banyak tusuk gigi pada
pola keseratus tanpa menghitung
secara
aritmatik
(penambahan
berulang).
Gambar 2. Soal menentukan pola
tusuk gigi
(sumber: Ontario Ministry of
Education, 2013)
Penggunaan tabel seperti gambar
berikut, dapat digunakan untuk
mempermudah menentukan bagaimana cara mencari banyaknya
tusuk gigi yang diperlukan untuk
menyusun pola ke seratus. Pertama
menulis urutan pola pada kolom
pertama, kemudian menulis banyak
tusuk gigi pada kolom ketiga,
terakhir siswa menentukan cara
yang tepat memperoleh banyak
tusuk gigi dan menulisnya pada
kolom kedua.
Tabel 4. Menentukan rumus dari
pola
892
(I)
Pola
Ke-
(II)
Bagaimana Cara
Memperolehnya?
1
2
3
:
100
2+3
2+3+3
2+3+3+3
(III)
Banyak
Tusuk
Gigi
5
8
11
:
:
Siswa mula-mula menuliskan cara
yang berbeda pada kolom kedua,
kemudian
guru
mengarahkan
melalui gambar tusuk gigi tersebut
apa yang tetap dan apa yang
berubah.
Siswa
dengan
kemampuannya
menyimpulkan
bagaimana cara memperoleh banyak
tusuk
gigi
yang
dibutuhkan.
Mungkin beberapa siswa dapat
dengan
mudah
menyimpulkan
rumus berdasarkan perhitungannya
di kolom kedua. Namun ada pula
siswa yang membuat tabel tersebut
sampai
baris
keseratus
dan
melakukan perhitungannya satu per
satu.
Apabila siswa dapat dengan mudah
menentukan rumus 2 + 3n dapat
dikatakan
siswa
memiliki
karakteristik penalaran aljabar level
3, atau dalam tahap kognitif Piaget
berada pada tahap operasional
formal. Sebaliknya jika siswa masih
melakukan perhitungan manual,
maka siswa masih melakukan
tahapan hitung aritmatika, dan
dapat dikatakan belum memiliki
karakteristik penalaran aljabar.
Perkembangan kemampuan penalaran aljabar masing-masing siswa
berbeda-beda tergantung lingkungan, pendidikan, dan usia. Hal ini
memungkinkan pada suatu kelas
dengan siswa dengan usia yang
relatif sama memiliki kemampuan
yang berbeda. Sebagai pendidik
sebaiknya bijak menyikapi hal ini,
misalnya
mengondisikan
kelas
menjadi kelompok-kelompok yang
terdiri dari 5 sampai 6 siswa dengan
kemampuan
heterogen.
Dengan
pengkondisian tersebut memungkinkan siswa mendiskusikan pemikirannya, dan diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan penalaran aljabar melalui kegiatan
tersebut.
Berikut ini adalah langkah-langkah
yang dapat digunakan agar siswa
dapat mengembangkan kemampuan
penalaran aljabar dalam diskusi.
Langkah-langkah untuk mengembangkan
kemampuan
penalaran
aljabar
(Ontario
Ministry
of
Education, 2013) di antaranya, (a)
mengajukan dan menguji dugaan,
(b) menjustifikasi dan membuktikan, (c) memprediksikan.
a. Mengajukan dan menguji dugaan
Untuk menyelidiki hubungan
aljabar, diperlukan pemikiran
yang lebih. Salah satu hal yang
paling
penting
untuk
mengembangkan
pemikiran
aljabar siswa adalah membantu
siswa
membuat
dugaan
(konjektur)
dan
membantu
mereka menyaring dugaannya
yang mungkin salah atau tidak
tepat. Misalnya pada contoh 12 –
12 = 0 dan 45 – 45 = 0 sehingga
memunculkan dugaan bahwa
“jika bilangan pertama sama
dengan
bilangan
kedua,
jawabannya
adalah
nol.”
Kemudian diperbaiki menjadi
“jika kamu mengurangi bilangan
dengan bilangan yang sama,
hasilnya adalah nol.”
b. Menjustifikasi dan membuktikan
Sangat penting pula untuk
berlatih
menjustifikasi
dan
membuktikan
suatu
dugaan.
Pertanyaan
yang
dapat
digunakan untuk mengujinya
adalah “apakah ini selalu benar?
Bagaimana kamu mengetahuinya?”
Melalui latihan, siswa dapat
memahami bahwa jika ada satu
contoh
yang
mengakibatkan
simpulannya
salah,
maka
dugaannya pun salah. Selain itu
dengan banyak latihan siswa
dapat memahami bahwa suatu
contoh tidak dapat membuktikan
sebuah dugaan, dan dengan
membutuhkan banyak contoh
dari
suatu
aturan
untuk
membuktikan dugaan tersebut
berlaku.
c. Memprediksikan
Sebuah pola aturan adalah suatu
simpulan yang memungkinkan
untuk mem-prediksi jawaban
yang tepat. Siswa dapat memulai
dengan pertanyaan “jawaban apa
yang
mungkin
untuk
pola
berikut-nya?” kemudian pada
jawaban beberapa pola setelah
itu, hingga jawaban pola tertentu
yang sangat jauh dari pola awal.
Meminta siswa menjawab pola
tertentu yang sangat jauh dari
pola awal akan mendorong siswa
untuk mengetahui hubungan,
menentukan
operasi
yang
mungkin, dan menyimpulkan
formula/rumus
yang
cocok
untuk menentukan jawaban yang
diminta. Pada proses tersebut
siswa menganalisis karakteristik
dari data, sehingga ditemukanlah
operasi yang mungkin untuk
menyelesaikan
masalah yang
diberikan.
Demikian beberapa cara yang dapat
diimplementasikan untuk meningkatkan
kemampuan
penalaran
aljabar
pada
pembelajaran
matematika. Tentunya masih ada
banyak cara yang dapat digunakan
dengan memanfaatkan teori di atas
ataupun menggunakan referensi
lain. Guru dapat memilih maupun
mengombinasikan berbagai langkah
tersebut sesuai kemampuan kognitif
siswa, tersedianya alat peraga,
maupun media yang tersedia.
8. Kesimpulan
893
Penalaran aljabar adalah proses
seseorang melakukan generalisasi
objek matematika dari suatu hal
yang khusus dan menyatakan dalam
bentuk umum/formal menggunakan
simbol/variabel,
serta
dapat
menentukan hubungan fungsional
objek
matematika.
Hubungan
fungsional
ini
dapat
berupa
penentuan suatu nilai berdasarkan
formula
tertentu,
ataupun
menentukan
formula
apabila
diketahui nilai-nilainya. Penalaran
aljabar
sangat
penting
untuk
memahami materi aljabar mulai dari
yang sederhana hingga materi
kompleks
menggunakan
operasi
variabel.
Penalaran
merupakan
berpikir tingkat tinggi sehingga
dalam pengembangannya terutama
pada materi aljabar diperlukan
proses yang tidak instan. Penalaran
aljabar dapat diper-kenalkan mulai
pendidikan usia dini hingga siswa
mengembangkan
kemampuan
berpikir formal, sehingga nantinya
siswa mudah beradaptasi pada saat
siswa dihadapkan dengan situasi
yang kompleks khususnya pada
aljabar.
Daftar Pustaka
Ake, L. P., Godino, J. D., Gonzato, M., &Wilhelmi, M. R. (2013). Proto-Algebraic Level of
Mathematical Thinking. Proceedings of the 37th Conference of the International
Group for the Psychology of
Mathematics Education.Vol 2. PME
37/KIEL/GERMANY.
Depdiknas. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dettori, G., Garuti, R, & Lemut, E. (2002). From Arithmetic to Algebraic Thinking by
Using a Spreadsheet. In Perspectives on School Algebra, R. Sutherland, T.
Rojano, A. Bell and R. Lins (eds.), Mathematics Education Library, V. 22,
Dodrecht: Kluwer Academic Pub., pp. 191-207. ISBN: 978-0-7923-6462-7
DOI10.1007/0-306-47223-6_11.
Dobrynina, G., & Tsankova, J. (2005). Algebraic Reasoning of Young Students and
Preservice Elementary Teachers. Proceedings of the 27th annual meeting of the
North American Chapter of the International Group for the Psychology of
Mathematics Education. Lloyd, G. M., Wilson, M., Wilkins, J. L. M., & Behm, S.
L. (Eds.).
Dominowski, R. L. (2002). Teaching Undergraduates. New Jersey : Lawrence Erlbaum
Associates Publisher.
Godino, J.D., Batanero, C., & Font, V. (2007).The Onto-Semiotic Approach to Research in
Mathematics Education. ZDM The International Journal on Mathematics
Education. Vol. 39 (1 – 2). 127 – 135.
Kieran, C. (2004). Algebraic Thinking in Early Grades: What is it? The Mathematics
Educator. Vol. 8, No. 1, 139 – 151.
Lestari. (2011). Konsep Matematika untuk Anak Usia Dini. Direktorat Pembinaan
Pendidikan Anak Usia Dini. (tersedia online)
Minarni, A. (2010). Peran Penalaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematik Siswa. Makalah dipresentasikan pada 27
November 2010 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY)
NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston: VA.
_______. (1999). Developing Mathematical Reasoning in Grade K-12. Reston: VA.
_______. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston: VA.
_______. (2008). Algebra: What, When, and for Whom. Reston: VA.
Nuraini, L. (2015). Penalaran Aljabar Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Margoyoso Kabupaten
Pati dalam Pemecahan Masalah Matematika Tahun Pelajaran 2014/2015.
Surakarta : Program Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Tesis.
894
Ontario Ministry of Education. (2013). Paying Attention to Algebraic Reasoning. Toronto,
ON: Queen’s Printer for Ontario.
Radford, L. (2003). Gestures, speech, andthe sprouting of sign: A semiotic-cultural
approach to students’ types of generalization. Mathematical Thinking and
Learning, 5 (1), 37-70. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Rosnawati, R. (2013). Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP Indonesia pada
TIMSS 2011. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan
MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 18 Mei 2013.
Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Makalah
disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang
Dasar tanggal 6 - 19 Agustus di PPG Matematika.
Sumantri, J. S. (2007). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Sumarto. (2006). Konsep Dasar Berpikir: Pengantar ke Arah Berpikir Ilmiah. Disajikan
dalam seminar akademik HUT ke-40 FE UPNV Jatim Surabaya: 23 Maret 2006.
895
DAPATKAH RUMUS LUAS LINGKARAN
DIBUKTIKAN LEWAT SEGITIGA?
Sumardyono
PPPPTK Matematika
Abstract. In this paper, we observe some mistakes or misconceptions which
emerge from using triangle shape to derive the formula of circle’s area. Based
on that problem, we construct some alternative methods to prove the formula of
circle’s area using triangle pattern, i.e we use formula of triangle`s area to
derive the formula of circle’s area. The use of formulas of area of other shapes
like trapezoid/trapezium, paralellogram, kite, rhombus, and irregular hexagon
to prove the formula of circle’s area are also provided in this paper.
Keywords: area, circle, proof, triangle
1. Pendahuluan
membuktikan rumus luas lingkaran
lewat segitiga.
Banyak dokumen dan literatur yang
menyuguhkan pembuktian rumus
luas lingkaran melalui susunan
juring yang berbentuk mirip segitiga,
lalu dengan rumus luas segitiga
dibuktikan rumus luas lingkaran,
𝜋𝑟 2 . Ilustrasinya pada Gambar 1.
Pertanyaan yang kemudian muncul
adalah:
a. Apakah pembuktian dengan pola
segitiga
di
atas
dapat
dibenarkan?
b. Jika tidak, apakah dimungkinkan
untuk membuktikan rumus luas
lingkaran menggunakan
pola
segitiga?
Untuk menjawab permasalahan di
atas, digunakan cara kajian kritis
terhadap beberapa literatur yang
memuat pembuktian di atas, dengan
menjustifikasikannya menggunakan
metode induktif maupun deduktif
(formal).
Selanjutnya,
dengan
mempertahankan pendekatan yang
sama
untuk
pembuktian
pola
segitiga
tersebut,
penulis
mengonstruksi beberapa alternatif
lain
yang
lebih
tepat
untuk
896
Gambar 1. Pola segitiga dengan ukuran
segitiganya.
2. Kekeliruan Pembuktian
Rumus Luas Lingkaran
Lewat Pola Segitiga
Berikut ini garis besar pembuktian
rumus luas lingkaran menggunakan
pola segitiga tersebut:
•
Sebarang lingkaran dipotongpotong menjadi 𝑛2 juring yang
•
•
kongruen (n suatu bilangan asli).
Misalnya, 4, 9, 16 atau 25 juring
yang kongruen.
Lalu, kesemua juring disusun
menjadi berpola segitiga, seperti
Gambar 1.
Oleh karena membentuk pola
segitiga, kemudian menggunakan
rumus
segitiga
untuk
menghitung luas lingkaran. Hal
ini
dilakukan
dengan
menentukan alas segitiga dan
tinggi segitiga. Dalam kasus
umum, alas segitiga disusun dari
n buah juring sehingga panjang
𝐾
2𝜋𝑟
,
alas dinyatakan dengan 2 𝑛 =
𝑛
𝑛
K = keliling lingkaran. Sementara
tinggi segitiga yang juga dibentuk
dari n buah juring dinyatakan
dengan
nr.
Dengan
menggunakan
rumus
luas
segitiga diperoleh luas lingkaran
(namakan L) sebagai berikut.
1 2𝜋𝑟
𝑛
2
L= ⋅
Contoh.
Pada sebuah prosiding seminar
nasional (Tisa, 2015), terdapat
penjelasan pembuktian rumus
luas lingkaran ( gambar 2).
Terlepas dari banyak penulisan
ekspresi matematika yang tidak
tepat, konsep susunan juring dan
konsep segitiga pada uraian di
Gambar
2,
keduanya
tidak
terbedakan dengan jelas dan
tepat. Bahkan dinyatakan bahwa
(luas) 16 juring sama dengan
(luas) segitiga samakaki. Pada
perhitungan
luas
segitiga,
misalnya, terdapat penggunaan
alas segitiga sama dengan ¼
keliling lingkaran.
⋅ 𝑛𝑟 = 𝜋𝑟 2
Dengan
menelaah
langkah
pembuktian seperti di atas dan dari
beberapa literatur atau dokumen
yang memuat pembuktian dengan
cara yang sama, berikut beberapa
kekeliruan yang termuat dalam
pembuktian seperti di atas.
a. Klaim bentuk susunan juring
sebagai segitiga
Beberapa dokumen yang memuat
pembuktian dengan cara yang
mirip
di
atas,
mengklaim
susunan dari beberapa juring
lingkaran membentuk segitiga
sempurna. Ini ditandai dengan
penggunakan rumus segitiga.
Jelas, bahwa secara intuitif,
bentuk susunan yang dimaksud
hanya “mirip” segitiga, karena
jelas mudah dipahami bahwa
setiap juring tidak sama dengan
segitiga.
Gambar 2. Contoh dokumen yang
memuat kesalahan: luas juring sama
dengan luas segitiga.
b. Klaim untuk sebarang n, bentuk
susunan juring adalah segitiga
Bahkan ada dokumen yang
mengklaim
bahwa
susunan
tersebut adalah segitiga untuk
setiap n buah juring dan dalam
pembuktiannya
menggunakan
sebarang n buah juring.
Contoh.
Perhatikan
screenshoot salah
satu laman Slideshare.net yang
memuat dokumen pdf tentang
pembuktian
rumus
luas
lingkaran melalui susunan juring
membentuk “segitiga”. (https://
www.slideshare.net/ abelrb/).
897
Gambar 3a dan 3b merupakan
contoh dokumen yang memuat
kesalahan dengan menyatakan
luas n juring sama dengan luas n
segitiga.
Mudah dipahami dari penjelasan
dari dokumen di Slideshare di
atas,
penulis
tersebut
menganggap
susunan
juring
sebanyak n sebagai sebuah
segitiga
(sempurna),
dengan
menghitung luas setiap juring
menggunakan
rumus
luas
segitiga.
Gambar 3a. Miskonsepsi luas
c. Klaim bahwa untuk n menuju tak
hingga (banyak juring tak-hingga)
maka bentuknya adalah segitiga.
Ada
pula
dokumen
yang
mengklaim untuk sebarang n
termasuk n menuju tak hingga
maka bentuknya tetap segitiga
sehingga dipergunakan rumus
luas segitiga.
Contoh.
Perhatikan cuplikan dokumen
(Rifandi, 2014) di sebuah laman
berikut ini (Gambar 4).
Terdapat kalimat, “..., semakin
banyak
juring
maka
akan
semakin
membentuk
segitiga
sama kaki yang lebih mendekati
... “. Kalimat ini mengarahkan
pembaca pada pengertian bahwa
semakin banyak juringnya maka
bentuknya mendekati segitiga
sama kaki yang sempurna.
Gambar 3b. Miskonsepsi luas
898
Padahal
kenyataannya
harus
disadari bahwa jika banyak
juring menuju tak hingga, maka
bentuknya menjadi garis bukan
lagi
secara
spesifik
berupa
segitiga samakaki.
Gambar 4. Kesalahan bentuk susunan juring menuju bentuk segitiga
Pada “pembuktian” di atas juga
memuat kekeliruan menyatakan luas
lingkaran sama dengan luas susunan
juring (yang terbatas). Jadi, apa yang
sesungguhnya terjadi? Sangat jelas
bahwa untuk 𝑛 → ∞
maka alas
“segitiga”
tersebut
menjadi
2𝜋𝑟
=0
dan tinggi “segitiga”
lim𝑛→∞
𝑛
tersebut
menjadi lim𝑛→∞ 𝑛𝑟 = ∞ .
Dapatkah
bentuk
demikian
dikatakan sebagai segitiga dengan
alas 0 dan tinggi ∞.
Mengapa pada bukti-bukti di atas,
diperoleh
rumus
yang
benar?
Tampaknya apa yang membuat
beberapa penulis terjebak pada
kekeliruan
di
atas,
adalah
“terbuktinya” cara tersebut untuk
membuktikan rumus luas lingkaran,
yang ditandai dengan munculnya
rumus luas lingkaran 𝜋𝑟 2 pada
bagian akhir pembuktian. Tetapi
apakah benar seperti itu?
Perhatikan
bawah ini.
contoh
sederhana
Mirip dengan kasus ini, pengerjaan
pada pembuktian menggunakan pola
segitiga pada bagian sebelumnya,
tidak dapat dibenarkan, walaupun
hasilnya benar.
Tetapi mengapa hasilnya benar?
Perhatikan yang berikut ini. Bentuk
“segitiga”
yang
dipergunakan
sesungguhnya
ekuivalen
dalam
konteks
limit
dengan
bentuk
“persegipanjang” pada gambar di
bawah ini. Secara intuitif, ini
dikarenakan bentuk “segitiga” tadi
dapat ditransformasi ke bentuk
“persegipanjang” (tanpa mengubah
luasnya).
di
Tampak bahwa dengan pengerjaan
menghilangkan angka yang sama di
atas dan di bawah tanda bagi (per)
maka diperoleh hasil berupa angka
yang
tersisa
yang
membentuk
pecahan ½. Hasilnya memang benar,
tetapi apakah pengerjaan di atas
dapat dibenarkan?
Gambar 5. Transformasi juring dari pola
segitiga ke pola persegipanjang.
Perhatikan pula bahwa transformasi
tersebut sesuai dengan kesamaan di
bawah ini.
1 𝐾
2 𝑛
L = ⋅ ⋅ 𝑛𝑟 =
𝐾
2
⋅𝑟
899
Perhitungan di atas berlaku hanya
jika 𝑛 ≠ 0. Untuk sebarang n bilangan
real, tentu hasil di atas benar. Jika
diteruskan, ruas kiri akan sama
dengan 𝜋𝑟 2 (rumus luas lingkaran).
3. Bagaimana Cara Menemukan
Rumus Luas Lingkaran
Melalui Pola Segitiga?
Pada bagian ini, sebagai alternatif
pembuktian
menggunakan
pola
segitiga (karena metode sebelumnya
ternyata tidak sebaik yang diduga,
mengandung
banyak
potensi
kekeliruan dan miskonsepsi), maka
diberikan
beberapa
cara
menggunakan pola segitiga, termasuk
juga pola bangun datar lainnya selain
persegipanjang.
Agar pembahasan tidak melebar
jauh, apa yang dimaksudkan dengan
penggunaan pola segitiga adalah
menyusun kembali bagian-bagian
daerah lingkaran (yang dipotong
dengan cara atau pola tertentu)
hingga menjadi sebuah pola yang
mirip segitiga dan limit bentuknya
(untuk banyak potongan menuju takhingga) merupakan sebuah segitiga.
Dalam bagian ini, potongan yang
dimaksud
adalah
juring-juring
lingkaran.
a. Penggunaan Juring
Lingkaran pada Prinsipnya
menggunakan Rumus
Segitiga
Sebenarnya kebanyakan pembuktian
luas lingkaran dengan cara induktif
yang menggunakan potongan juring
menggunakan rumus segitiga di
dalamnya.
Perhatikan bahwa secara intuitif, kita
sebenarnya
dapat
memandang
sebuah lingkaran dengan jari-jari r
sebagai
gabungan
tak-hingga
banyaknya juring lingkaran.
900
Gambar 6. Lingkaran sebagai gabungan
juring.
Jika banyak juring terbatas, maka
setiap segitiga yang dibentuk dari
kedua sisi juring (panjang r) dan tali
busur juring hanya merupakan
pendekatan
untuk
juring
bersangkutan. Namun jika banyak
juring menuju tak hingga (dengan
memandang setiap juring kongruen),
maka
setiap
juring
merepresentasikan sebuah segitiga
(trivial) berbentuk garis, yang jumlah
luasnya tidak trivial, karena jumlah
alasnya tak lain adalah 2πr dan tinggi
segitiga adalah r. Dengan demikian
luas lingkaran adalah jumlah luas
segitiga-segitiga tersebut yaitu
1
(𝑎1
2
1
𝑎 𝑟
2 1
1
2
1
2
+ 𝑎2 𝑟 + 𝑎3 𝑟 + ⋯ =
1
2
+ 𝑎2 + 𝑎3 + ⋯ )𝑟 = (2𝜋𝑟)𝑟 = 𝜋𝑟 2
Tentu tidak semua orang dengan
mudah memahami penjelasan di
atas, yang memuat konsep limit
terhadap kuantitas dan bentuk
bangun datar.
Sebagai
contoh
pada
sebuah
dokumen modul (Turmudi, 2009),
juga memuat kesalahan dalam cara
menyajikan konsep limit.
Pada Gambar 7, konsep segitiga dan
konsep juring, serta hubungannya
untuk bentuk dengan banyak juring
terbatas dan bentuk limitnya (untuk
banyak juring kongruen menuju takhingga) tidak dideskripsikan dengan
jelas.
persegipanjang (sempurna), dengan
lebar 𝑟 dan panjang 𝜋𝑟.
b. Beberapa Contoh
Pembuktian Luas Lingkaran
menggunakan Pola Segitiga
Memperhatikan sifat juring yang
akan mendekati garis lurus untuk
ukuran juring yang semakin kecil,
maka tidak ada atau sangat sulit
membentuk
kesemua
potongan
juring membentuk pola segitiga yang
limitnya juga merupakan segitiga.
Cara yang dapat ditempuh adalah
dengan
melakukan
pemotongan
dalam membentuk pola segitiga.
1) Pola
Segitiga
Pembuktian
Lingkaran
Gambar 7. Lingkaran sebagai
gabungan juring
Lalu, bagaimana memahami konsep
limit pada pembuktian di atas
dengan cara yang lebih mudah
dipahami
secara
intuitif?
Transformasi susunan semua juring
menjadi
berbentuk
pola
persegipanjang menjadi pilihan yang
terbaik untuk memudahkan orang
memahami penalaran di atas. Pola ini
pula yang sejak ribuan tahun lalu,
telah
digunakan
matematikawan
untuk membuktikan rumus luas
lingkaran. Berikut bila semua juring
disusun
membentuk
mirip
persegipanjang yang limit bentuknya
adalah persegipanjang.
Gambar 8. Pola persegipanjang
susunan juring lingkaran
Dengan susunan ini, lebih mudah
dipahami bahwa jika banyak juring
menuju tak-hingga maka bentuk
susunan
akan
menuju
untuk
Rumus
Berikut ini alternatif pola segitiga
untuk sekali pemotongan (selain
memotong 1 juring). Pola yang
disajikan juga dipilih yang memiliki
bentuk yang sederhana.
a) Segitiga Samakaki
Banyak juring ganjil dan salah satu
juring dibagi 2 (ada 6 cara)
Gambar 9. Pola segitiga samakaki
(cara 1)
Banyak juring genap dan salah satu
juring tidak dibagi 2 (ada 4 cara).
901
Gambar 13. Pola segitiga siku-siku
(cara 2)
Gambar 10. Pola segitiga samakaki
(cara 2)
Banyak juring genap dan salah satu
juring tidak dibagi 2 (ada 4 cara)
Perhatikan beberapa pola di atas,
yang awalnya tidak menyerupai
segitiga,
tetapi
limit
polanya
merupakan segitiga samakaki.
Banyak juring ganjil dan salah satu
juring tidak dibagi 2 (ada 1 cara)
Gambar 11. Pola segitiga samakaki
(cara 3)
b) Segitiga Siku-siku
Banyak juring genap dan salah satu
juring dibagi 2 (ada 2 cara)
Gambar 14. Pola segitiga siku-siku
(cara 3)
Banyak juring ganjil dan salah satu
juring tidak dibagi 2.
Gambar 12. Pola segitiga siku-siku
(cara 1)
Banyak
juring
genap
(bukan
kelipatan 4) dan salah satu juring
dibagi 2 (ada 2 cara)
Gambar 15. Pola segitiga siku-siku
(cara 4)
902
2) Pembuktian Rumus
Lingkaran Menggunakan Pola
Segitiga
bilangan genap. Terdapat 2 kasus,
sebagai berikut.
Berikut ini bukti formal untuk
beberapa pola segitiga di atas.
a) Pola Segitiga ke-1
Untuk membentuk pola ini, maka
sebarang lingkaran harus dipotong
menjadi n buah juring kongruen
dengan n ganjil.
Gambar 17. Pola Segitiga ke-2 (banyak
juring kelipatan 4)
Kasus 1: untuk 𝑛 = 2𝑘 dengan k
adalah bilangan genap.
Berapapun
banyaknya
juring
kongruen, maka selalu berlaku:
𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 + 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 ≤ 𝐿 ≤ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶
Gambar 16. Pola Segitiga ke-1
Untuk sebarang n tersebut, maka
selalu berlaku ketaksamaan berikut:
𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 ≤ 𝐿 ≤ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶
𝑃𝐸 ⋅ 𝐴𝑃 ≤ 𝐿 ≤ 𝑄𝐶 ⋅ 𝐴𝑄
𝑛𝑟 sin
𝜋
𝜋
𝜋
⋅ 𝑟 cos ≤ 𝐿 ≤ 𝑛𝑟 tan ⋅ 𝑟
𝑛
𝑛
𝑛
Selanjutnya dengan mengambil limit
𝑛 → ∞ maka diperoleh
𝜋𝑟 2 ⋅ lim
𝜋
𝜋
⋅ lim cos ≤ 𝐿
𝑛 𝑛→∞
𝑛
𝜋
𝑛
2 ⋅ lim tan
≤ 𝜋𝑟
𝑛→∞ 𝜋
𝑛
𝑛
𝑛→∞ 𝜋
sin
𝜋𝑟 2 ⋅ 1 ⋅ 1 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2 ⋅ 1
𝜋𝑟 2 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2
Secara intuitif, jelas bahwa dengan
demikian 𝐿 = 𝜋𝑟 2 . Secara analisis,
luas lingkaran ini diturunkan dari
Teorema Apit dari ketaksamaan
terakhir.
b) Pola Segitiga ke-2
Tanpa
kehilangan
generalisasi,
sebuah lingkaran dibagi ke dalam n
buah juring kongruen dengan n
Dengan menggunakan prinsip
kesebangunan pada segitiga, tidak
sulit menunjukkan bahwa:
𝜋
1 𝑛
𝑛
2 4
𝜋
1
𝑛
𝜋
𝑛
𝜋
𝜋
𝑟 cos + ⋅ � 2𝑟 sin + 2𝑟 sin � ⋅ 𝑟 cos
𝑛
2
4
𝑛
2
𝑛
𝑛
𝜋
𝜋
𝑛
= 𝜋𝑟 2 sin cos
𝑛
𝑛
𝜋
𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 + 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻
dan
= ⋅ 2𝑟 sin ⋅
𝜋
1 𝑛𝑟 sin𝑛
𝜋
𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 = ⋅
𝜋 �3𝑟 − 𝑟 cos � ⋅
2 2𝑟 cos
𝑛
𝑛
1
𝜋 2
𝜋
�3𝑟 − 𝑟 cos � = 𝜋𝑟 2 ⋅ �3 − cos � ⋅
4
𝑛
𝑛
𝑛
𝜋
tan
𝜋
𝑛
Jika diambil limit n menuju takhingga, maka akan diperoleh
lim𝑛→∞(𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 + 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 ) ≤ lim𝑛→∞ 𝐿 ≤
lim𝑛→∞ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶
𝑛
𝜋
𝜋
𝑛
𝜋
𝑛
𝜋𝑟 2 ⋅ lim𝑛→∞ sin ⋅ lim𝑛→∞ cos ≤ 𝐿 ≤
1
4
𝜋 2
𝑛
𝑛
𝜋
𝜋𝑟 2 ⋅ �3 − lim𝑛→∞ cos � ⋅ lim𝑛→∞ tan
1
4
𝜋𝑟 2 ⋅ 1 ⋅ 1 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2 ⋅ (3 − 1)2 ⋅ 1
𝜋𝑟 2 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2
𝜋
𝑛
Kasus 2: untuk 𝑛 = 2𝑘 dengan k
adalah bilangan ganjil (banyak juring
bukan kelipatan 4).
903
Dengan kesebangunan ADE dan ABC
𝜋
𝜋
diperoleh BC = �3 − cos � �𝑟 tan �1 −
𝜋
𝑛
𝑛
2
𝑛
𝑛
𝜋
𝑛
cos � + 𝑟 ⋅ sin �
Gambar 20 menyatakan bagian dari
gambar 18.
Gambar 18. Pola Segitiga ke-2 (banyak
juring bukan kelipatan 4)
Berapapun
banyaknya
juring
kongruen, maka selalu berlaku:
𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 + 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 ≤ 𝐿 ≤ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶
Panjang DE, FG, dan BC sedikit sulit
untuk ditentukan. Namun dengan
menggunakan kesebangunan pada
segitiga, dapat ditunjukkan sebagai
berikut. Gambar 19 menyatakan
bagian dari gambar 18.
Gambar 20. Bagian juring AD dan
trapesium PDEQ
𝑛
𝜋
𝑛
𝑀𝑄 = 𝑁𝐺,
Jelas, bahwa
diperoleh,
𝑛
2
𝜋
𝑛
sehingga
𝑛
2
𝜋
𝑛
𝑀𝑄 = 𝑟 sin − 𝐷𝐸 = � − 1� 𝑟 sin �1 −
𝜋
𝑛
cos �
Juga dapat ditunjukkan
𝜋
𝑛
𝐹𝐺 = 𝑟 sin + 𝑁𝐺
𝑛
2
Gambar 19. Bagian juring AD dan
trapesium PDEQ
Dengan
menganggap
gambar
sebelumnya tersusun dari n buah
juring
kongruen
dan
dengan
kesebangunan segitiga PDK dan
segitiga DAT, maka diperoleh
=
𝜋
𝜋
𝑃𝑄 = 𝑟 �1 − cos � tan +
𝑛
𝑛
𝜋
𝜋
1 𝑛
� − 1� 2𝑟 sin + 𝑟 sin
𝑛
𝑛
2 2
𝜋
𝑟 tan �1
𝑛
𝜋
− cos �
𝑛
𝑛
𝜋
+ 𝑟 sin
2
𝑛
𝜋
𝑟 sin �1
𝑛
𝜋
− cos �
𝑛
𝜋
+ 𝑟 cos
𝑛
Dengan kesebangunan ADE dan APQ
diperoleh
DE =
⋅
𝑛
𝜋
sin
2
𝑛
𝑟
2
𝜋
𝑛
𝜋
𝑛
bahwa
𝜋
𝑛
𝐹𝐺 = 𝑛 sin �2 − cos � − 𝑟 sin �1 −
𝜋
𝑛
cos �
Dari hasil-hasil di atas, selanjutnya
diperoleh
1
2
𝜋
𝑛
𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 = 𝑟 cos ⋅ 𝐷𝐸
𝜋
𝜋
𝜋
𝜋
1
= 𝑟 cos �𝑟 sin �1 − cos � + 𝑟 cos
𝑛
𝑛
𝑛
𝑛
2
𝑛
𝜋
⋅ sin �
2
𝑛
Sehingga dapat ditunjukkan bahwa
1
lim𝑛→∞ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 = 𝜋𝑟 2
1
2
4
𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 = ⋅ (𝐹𝐺 + 𝐼𝐻) ⋅ 𝑟 cos
𝜋
𝑛
1 𝑟
2 2
𝜋
𝑛
𝜋
𝜋
𝑛
𝑛
𝜋
𝑛
𝜋
𝜋
cos � + 2𝑟 sin � 𝑟 cos
𝑛
2
𝑛
𝑛
= � 𝑛 sin �2 − cos � −
𝑟 sin �1 −
Sehingga dapat ditunjukkan bahwa
3
lim𝑛→∞ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 = 𝜋𝑟 2
4
904
𝜋
𝐷𝐸 = 𝑟 sin − 𝑀𝑄 dan 𝐹𝐺 = 𝑟 sin +
2
𝑛
2
𝑛
𝑁𝐺.
1
2
𝜋
𝑛
𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 = ⋅ 𝐵𝐶 ⋅ 𝑟 �3 − cos �
𝜋
𝑛
1
2
𝑛
𝜋
⋅ sin �
2
𝑛
𝜋
𝑛
𝜋
𝑛
𝜋
− cos �
𝑛
= ⋅ �3 − cos � �𝑟 tan �1 −
cos � + 𝑟
⋅ 𝑟 �3
Sehingga dapat ditunjukkan bahwa
lim𝑛→∞ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 = 𝜋𝑟 2
Walaupun
terlihat
seperti
persegipanjang, namun pola tersebut
menuju jajargenjang.
2) Pola Trapesium Samakaki
Banyak juring kongruen n ganjil
Dengan demikian, untuk 𝑛 → ∞
diperoleh
𝜋𝑟 2 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2
Dengan kata lain menurut Teorema
Apit, terbukti bahwa 𝐿 = 𝜋𝑟 2 .
c. Pola Bangun Datar Lain
selain Persegipanjang dan
Segitiga
Sesungguhnya, selain penggunaan
pola segitiga dalam menyusun semua
juring lingkaran, juga banyak ditemui
penggunaan
pola
jajargenjang,
trapesium, juga belahketupat yang
mengandung miskonsepsi yang mirip
dengan yang telah ditunjukkan pada
bagian di atas.
Gambar 23. Pola trapesium samakaki
(cara 1)
Banyak juring kongruen n genap
Gambar 24. Pola trapesium samakaki
(cara 1)
3) Pola Trapesium Siku-siku
Banyak juring kongruen n ganjil
Berikut ini beberapa pola bangun
datar lain yang benar, untuk
membuktikan rumus luas lingkaran,
yang
dibentuk dengan 1 atau 2
potongan (selain mungkin 1 juring
yang dibagi 2).
1) Pola Jajargenjang
Gambar 25. Pola trapesium siku-siku
Banyak juring kongruen n ganjil
4) Pola Layang-layang (konveks)
Banyak juring kongruen n ganjil
Gambar 21. Pola jajargenjang (cara 1)
Banyak juring kongruen n genap
Gambar 26. Pola layang-layang (cara 1)
Banyak juring kongruen n genap
Gambar 22. Pola jajargenjang (cara 2)
Gambar 27. Pola layang-layang (cara 2)
905
Walaupun
mungkin
awalnya
berbentuk layang-layang konkaf,
namun menuju layang-layang
konveks.
5) Pola
Layang-layang
(ada 2 potongan)
(konkaf)
Gambar 31. Pola belahketupat (cara 2)
Banyak juring kongruen n genap
kelipatan 4
7) Pola Segienam (Konkaf)
potongan)
(ada 2
Banyak juring kongruen n genap
Gambar 28. Pola layang-layang konkaf
(cara 1)
Banyak juring kongruen n genap
bukan kelipatan 4
Gambar 29. Pola layang-layang konkaf
(cara 2)
6) Pola Belahketupat
potongan)
(ada
2
Gambar 32. Pola segienam konkaf
Selain yang telah disajikan di atas,
masih banyak pola lain yang menuju
pada bentuk segitiga, trapesium,
layang-layang, dan bentuk bangun
datar lainnya, bahkan dari pola
bangun datar yang awalnya tidak
mirip bangun datar yang dikenal.
Contoh.
Banyak juring kongruen n genap
Gambar 33. Pola trapesium (yang lain)
4. Kesimpulan dan Saran
Gambar 30. Pola belahketupat (cara 1)
Walaupun awalnya membentuk
jajargenjang atau layang-layang
namun
menuju
bentuk
belahketupat.
Banyak juring kongruen n genap
(kelipatan 4 dan bukan kelipatan
4)
906
Metode pembuktian rumus luas
lingkaran yang tidak benar dengan
menggunakan juring-juring kongruen
sebuah lingkaran, dapat menuju
pada penggunaan konsep limit yang
tidak tepat bahkan mengandung
miskonsepsi,
seperti
pada
penggunaan
rumus
segitiga,
jajargenjang, atau trapesium yang
dapat ditemui dalam banyak literatur
resmi dan tidak resmi dengan hanya
berdasarkan
pada
susunan
berhingga juring lingkaran.
Cara
pembuktian
dengan
menggunakan rumus luas bangun
datar selain persegipanjang, masih
dapat
dilakukan
dengan
cara
menyusun semua juring membentuk
pola persegipanjang lalu dengan
memotongnya,
dapat
dibentuk
berbagai pola bangun datar lainnya.
Cara ini bahkan menyuguhkan
kemampuan berpikir yang baik
untuk memperkirakan dengan tepat
bentuk limit bangun datarnya (untuk
banyak juring kongruen menuju tak
hingga).
Selain berbagai pola bangun datar
dari juring-juring lingkaran telah
disajikan, masih banyak pola lain
yang
dapat
dibentuk,
dengan
memperbanyak potongan. Hal ini
juga
dapat
menjadi
sumber
pembelajaran menarik bagi guru dan
siswa.
Daftar Pustaka
Rifandi. (2014). “Pembuktian Luas Lingkaran dengan Pendekatan Luas ke
Bangun
Datar
Lainnya”.
25
Juni
2014.
dalam
http://rifandy23.blogspot.co.id/
2014/06/pembuktian-luas-lingkarandengan.html (diakses 10 Mei 2017) .
Tisa Oktiana. (2015). Pengembangan Alat Peraga Lingkaran dengan Metode
Penemuan Terbimbing Kelompok untuk Meningkatkan Komunikasi
Matematis. dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika UNY 2015. ISBN. 978-602-73403-0-5.
Turmudi. (2009). Luas Daerah Lingkaran, Modul 8, Modul Pelatihan Guru-guru
Matematika di Sungai Liat, Bangka. Bandung: UPI, Pendidikan
Matematika.
Tanpa
Nama
(anonim).
Sebuah
dokumen
pdf
dalam
https://www.slideshare.net/abelrb/
menghitung-luas-lingkaran-denganrumus-luas-segitiga-dan-belah-ketupat (diakses 11 Mei 2017)
907
PENGGUNAAN MEDIA BERIBU DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN
BILANGAN BULAT
Suparman Pilomonu
SDN 28 Tibawa
Abstract. This study aims to improve student learning outcomes in learning addition
and subtraction of integers by using learning media named BERIBU. This research
was classroom action research with fourth graders at SDN 28 Tibawa as the
research subject. The initial observation showed that students’ learning outcomes in
learning addition and subtraction of integers was very low. After implementing the
first cycle, the mean was 74 and classical completeness 19% which had not achieved
yet the minimum target completeness. After second cycle, the classical completeness
became 100% with the mean 89. Based on the results, it can be concluded that the
use of a BERIBU was able to improve student learning outcomes in learning addition
and subtraction of integers.
Keywords: addition and subtraction of integers, BERIBU, student learning outcomes
1. Pendahuluan
Darmansyah (2006:13) menyatakan
bahwa hasil belajar merupakan hasil
penilaian
terhadap
kemampuan
siswa yang ditentukan dalam bentuk
angka. Cece Rahmat (dalam Zainal
Abidin, 2004:1) mengatakan bahwa
hasil belajar adalah penggunaan
angka pada hasil tes atau prosedur
penilaian sesuai dengan aturan
tertentu, atau dengan kata lain
untuk mengetahui daya serap siswa
setelah menguasai materi pelajaran
yang
telah
diberikan.
Menurut
Sudjana (2010:22), hasil belajar
adalah kemampuan yang dimiliki
siswa setelah menerima pengalaman
belajar.
Pada kurikulum Matematika SD,
konsep pembelajaran Matematika
terbagi atas tiga bagian yaitu
penanaman
konsep
dasar,
pemahaman konsep, dan pembinaan
ketrampilan.
Pembelajaran Matematika di SD ini
memiliki tujuan agar peserta didik
dapat
terampil
mengaplikasikan
konsep
Matematika
di
dalam
kehidupannya.
Untuk
mencapai
908
tahap ketrampilan tersebut harus
memperhatikan kemampuan peserta
didik
dan
melalui
tahapan
pembelajaran Matematika menurut
Brunner.
Jerome Brunner membagi proses
pembelajaran menjadi 3 tahapan:
a. Tahap Enaktif (konkret)
Tahap
enaktif
adalah
tahap
pembelajaran
yang
bersifat
manipulatif (Dahar, 2011:78). Pada
tahap ini seseorang belajar dengan
menggunakan atau memanipulasi
objek-objek secara langsung.
b. Tahap Ikonik (semi konkret)
Tahap
ikonik
adalah
tahap
pembelajaran
yang
berdasarkan
pikiran internal (Dahar, 2011:78).
Pada tahap ini kegiatan anak-anak
tidak lagi memanipulasi objek secara
langsung
melainkan
dengan
penggunaan gambaran dari objek
tersebut.
c. Tahap Simbolik (abstrak)
Tahap simbolik adalah adalah tahap
pembelajaran
yang
berdasarkan
sistem berpikir abstrak arbitrer dan
lebih fleksibel (Dahar, 2011:78). Di
tahap
ini
anak
sudah
dapat
memanipulasi simbol-simbol secara
langsung
dan
tidak
lagi
mengaitkannya dengan objek-objek.
Pada
tahapan
ini
anak
telah
melakukan transisi dari tahap ikonik
ke tahap simbolik.
Untuk membelajarkan Matematika,
hendaknya
dimulai
dengan
mengenalkan masalah yang sesuai
dengan situasi terkini (contextual
problem), mengangkat isu sosial, atau
menyajikan
fenomena-fenomena
alam. Dengan mengajukan masalah
kontekstual, maka secara bertahap
peserta
didik
dibimbing
untuk
menguasai
konsep
Matematika
secara lebih bermakna. Kemudian
untuk meningkatkan hasil belajar,
guru
dituntut
agar
mampu
memaksimalkan penggunaan media
yang sesuai dan efektif menanamkan
konsep Matematika yang dipelajari.
Penggunaan media yang tidak sesuai
pun sangat mempengaruhi hasil
belajar yang diperoleh siswa. Media
pembelajaran adalah suatu alat
bantu yang digunakan oleh guru agar
kegiatan belajar berlangsung secara
efektif.
Sadiman
(2006:7)
menjelaskan bahwa Media adalah
segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menyalurkan pesan dari
pengirim ke penerima sehingga dapat
merangsang
pikiran,
perasaan,
perhatian dan minat serta perhatian
siswa sedemikian rupa sehingga
proses belajar terjadi.
Briggs (dalam Sadiman 2006:6)
berpendapat bahwa media adalah
segala
alat
fisik
yang
dapat
menyajikan pesan serta merangsang
siswa untuk belajar. Menurut Trianto
(2010: 199), media sebagai komponen
strategi pembelajaran merupakan
wadah dari pesan yang oleh sumber
atau penyalurnya ingin diteruskan
kepada sasaran atau penerima pesan
tersebut, dan materi yang ingin
disampaikan
adalah
pesan
pembelajaran, dan bahwa tujuan
yang ingin dicapai adalah terjadinya
proses belajar.
Sanjaya dalam Wina (2006:162)
mengemukakan bahwa dalam suatu
proses komunikasi selalu melibatkan
tiga
komponen
pokok,
yaitu
komponen pengirim pesan (guru),
komponen penerima pesan (murid),
dan komponen pesan itu sendiri yang
biasanya berupa materi pelajaran.
Kadang dalam proses pembelajaran
terjadi
kegagalan
komunikasi.
Artinya, materi pelajaran atau pesan
yang disampaikan guru tidak dapat
diterima oleh murid dengan optimal,
artinya
tidak
seluruh
materi
pelajaran dapat dipahami dengan
baik oleh murid, lebih lagi murid
sebagai
penerima
pesan
salah
menangkap
isi
pesan
yang
disampaikan. Untuk menghindari
semua itu, maka guru dapat
menyusun
strategi
pembelajaran
dengan
memanfaatkan
berbagai
media dan sumber belajar.
Pembahasan di atas menggambarkan
bahwa
sebaiknya
pembelajaran
Matematika tidak melulu hanya
muatan logika. Tetapi bisa juga
terintegrasi dengan nilai, norma,
karakter, isu-isu sosial atau pun
fenomena alam. Namun, kenyataan
di lapangan, hal ini belum terlihat.
Khususnya pada materi penjumlahan
dan pengurangan bilangan bulat.
Guru tidak mengangkat masalah
kontekstual isu sosial yang sesuai
dengan kondisi peserta didik dan
situasi
terkini.
Guru
tidak
menyajikan fenomena-fenomena alam
sebagai pemantik rasa ingin tahu
peserta didik. Guru justru langsung
membelajarkan
bilangan
bulat
melalui
garis
bilangan.
Guru
langsung mengajarkan penjumlahan
dan pengurangan bilangan bulat
melalui pendekatan konsep hutang
dan uang. Hal ini yang menyebabkan
pembelajaran menjadi tidak efektif
dan tidak memperoleh hasil belajar
yang maksimal karena tidak terjadi
909
penanaman
konsep
terhadap peserta didik.
yang
baik
dipadukan dalam satu media yang
disebut BERIBU.
Berdasarkan fakta tersebut, maka
penulis
mengembangkan
sebuah
media yang disebut BERIBU sebagai
media
yang
digunakan
pada
pembelajaran
penjumlahan
dan
pengurangan bilangan bulat. Media
ini
menggabungkan
3
tahapan
pembelajaran
Brunner
(enaktif,
ikonik,
dan
simbolik)
dengan
pendekatan penurunan permukaan
tanah.
Pendekatan
penurunan
permukaan tanah digunakan karena
sangat sesuai dengan isu yang
sedang terjadi di kota besar dan
sangat urgen untuk diketahui sejak
dini oleh para peserta didik.
Media BERIBU adalah media yang
memadukan
tiga
tahapan
pembelajaran
Brunner
(Enaktif,
Ikonik dan Simbolik) dalam satu
media
yang
disajikan
melalui
peristiwa penurunan muka tanah
(Land Subsidence).
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana peningkatan
hasil belajar peserta didik pada
materi pembelajaran penjumlahan
dan pengurangan bilangan bulat
dengan menggunakan media yang
dinamakan Belajar Bilangan Bulat
(BERIBU).
Gambar 1 Desain media BERIBU
Pada umumnya, materi penjumlahan
dan pengurangan bilangan bulat
diajarkan
langsung
dengan
mengenalkan bilangan melalui garis
bilangan atau melalui analogi hutang
dan uang. Tentu sangat keliru jika
guru harus mengenalkan hutang dan
uang kepada peserta didik kelas IV
SD. Hal ini sangat tidak sesuai
dengan tingkat psikologis dan level
berpikir anak. Pemahaman konsep
pun menjadi tidak maksimal.
Berdasarkan
masalah
tersebut,
penulis
mendesain
pembelajaran
materi
penjumlahan
dan
pengurangan bilangan bulat yang
menerapkan
tiga
tahapan
pembelajaran (enaktif, ikonik dan
simbolik) yang disampaikan melalui
peristiwa
penurunan
permukaan
tanah. Kedua aspek tersebut (3
tahapan pembelajaran Brunner dan
persitiwa penurunan muka tanah)
910
Media BERIBU terdiri dari tiga
permukaan yang memiliki grafis
dalam
menyampaikan
konsep
Matematika sesuai dengan tahapan
pembelajaran Brunner. Permukaan 1
(P1) menampilkan grafis tentang
peristiwa penurunan muka tanah
(tahap enaktif). Permukaan 2 (P2)
menampilkan penanaman konsep
penjumlahan
dan
pengurangan
bilangan
bulat
(tahap
enaktif).
Permukaan 3 (P3) menampilkan
grafis kotak-kotak tanah (tahap
ikonik) untuk memperdalam konsep
penjumlahan
dan
pengurangan
bilangan bulat serta area untuk
menulis angka penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat (tahap
simbolik). Untuk lebih jelasnya dapat
diuraikan sebagai berikut.
1) Tahap Enaktif (P1 dan P2)
Pada
tahap
ini
peserta
didik
memperoleh pengetahuan tentang
penurunan permukaan tanah yang
mutlak terjadi di daerah yang padat
gedung,
dimana
setiap
gedung
mengambil air bawah tanah (Ground
Water).
Peserta
didik
akan
memahami
bahwa
semakin
berkurangnya ketersediaan air bawah
tanah, maka tanah di atasnya akan
menekan
ke
bawah
sehingga
permukaan tanah menjadi turun
atau amblas.
Gambar 2 Ilustrasi penurunan muka
tanah pada media BERIBU
Setelah memahami proses terjadinya
penurunan muka tanah melalui
ilustrasi pada gambar 3, kemudian
peserta
didik
diajak
untuk
memahami konsep penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat melalui
P2. Peserta didik dapat diajak
langsung memanipulasi P2 untuk
memahami konsep penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat. Gambar
berikut
merupakan
contoh
penanaman konsep penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat.
Soal: 0 – 2 = -2
Gambar 3 Contoh operasi
pengurangan bilangan bulat pada
media BERIBU
Gambar 4 Contoh operasi
penjumlahan bilangan bulat pada
media BERIBU
Pada gambar 3 dapat dijelaskan
bahwa 0 adalah posisi awal dari
permukaan tanah. Kemudian terjadi
penurunan muka tanah (amblas)
sebanyak 2 tingkat (kurang 2). Maka
permukaan tanah turun ke posisi
negatif 2 (-2).
Pada gambar 4 dapat dijelaskan pula
bahwa
-2
adalah
posisi
awal
permukaan
tanah.
Kemudian
ditambah 3 tingkat tanah (ditimbun)
maka permukaan tanah naik di
posisi 1.
2) Tahap Ikonik (P3)
Pada
tahap
ini
peserta
didik
memanipulasi gambar kotak-kotak
tanah dengan menggunakan spidol
warna. Peraturan yang perlu diingat
pada
tahap
ini
adalah
jika
permukaan tanah rata dengan garis 0
tanpa ada kotak yang tidak terisi
tanah (lubang), maka menunjukkan
posisi 0. Apabila terdapat 1 lubang di
bawah garis 0, maka menunjukkan
posisi
-1
(lubang
1)
begitu
seterusnya. Dan apabila terdapat
satu kotak tanah terisi di atas garis
0, maka menunjukkan posisi 1
(positif 1) begitu seterusnya.
Gambar
berikut
menunjukkan
contoh operasi penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat pada
tahap ikonik.
Soal: -2 + 3 = 1
Soal: 0 – 1 = -1
Gambar 5 Contoh operasi
pengurangan bilangan bulat pada
tahap ikonik
911
Soal: -1 + 2 = 1
Gambar 6 Contoh operasi
penjumlahan bilangan bulat pada
tahap ikonik
3) Tahap Simbolik
Pada tahap ini peserta didik tinggal
menuliskan
angka
pada
area
penulisan
sambil
menerapkan
konsep
penjumlahan
dan
pengurangan yang telah pahami pada
tahapan
sebelumnya.
Gambar
berikut
menjelaskan
bagaimana
operasi
penjumlahan
dan
pengurangan pada tahap simbolik.
Soal: 0 – 2 = -2
Soal: -2 - 2 = -4
Gambar 7 Contoh operasi
pengurangan bilangan bulat pada
tahap simbolik
Soal: -2 + 3 = 1
dalam dua siklus. Setiap siklus
terdiri dari empat tahapan, yaitu
perencanaan/perbaikan, pelaksanaan, pengamatan/ pengumpulan dan
analisis data, dan refleksi. Penelitian
dilaksanakan di SDN 28 Tibawa
Kabupaten Gorontalo dengan subjek
penelitian kelas IV yang berjumlah
16 orang.
Variabel yang diteliti melingkupi
penggunaan media BERIBU dalam
pembelajaran
penjumlahan
dan
pengurangan bilangan bulat serta
hasil belajar yang dicapai. Dalam
pengumpulan
data
penulis
menggunakan tes tertulis sebagai
instrumen. Tes tersebut diberikan
pada saat observasi awal dan pada
setiap akhir pembelajaran di setiap
siklus. Setelah diberikan tes, jawaban
kemudian diolah dan dianalisis
dengan
menggunakan
pedoman
penskoran untuk memperoleh nilai
akhir.
Dari hasil proses tersebut kemudian
penulis melakukan refleksi untuk
mengidentifikasi
kelemahankelemahan jika hasil belajar belum
mencapai indikator keberhasilan.
Indikator
keberhasilan
pada
penelitian yaitu KKM 75 dan
ketuntasan klasikal sebesar 75%.
Jika pada siklus 1 hasil belajar
sudah mencapai indikator keberhasilan,
maka
penelitian
tetap
dilanjutkan pada siklus 2 untuk lebih
menguatkan kredibilitas hasil yang
diperoleh pada siklus 1.
3. Hasil dan Pembahasan
Gambar 8 Contoh operasi
penjumlahan bilangan bulat pada
tahap simbolik
2. Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian
tindakan kelas yang dilaksanakan
912
Hasil tes siswa dari tes (observasi)
awal, siklus 1 dan siklus 2 disajikan
pada tabel berikut.
Tabel 1 Hasil Tes Siswa
Jenis Tes
Nilai
Rata-Rata
Ketuntasan
Tes Awal
21
0%
Siklus 1
74
19%
Siklus 2
89
100%
Tes atau observasi awal dilaksanakan
pada tanggal 4 Januari 2016.
Berdasarkan
tabel
di
atas
menggambarkan bahwa hasil belajar
tes/observasi awal
pada materi
penjumlahan
dan
pengurangan
bilangan bulat masih sangat rendah,
yaitu nilai rata-rata hanya 21 dengan
ketuntasan klasikal 0%. Berdasarkan
data tersebut penulis merencanakan
tindakan siklus 1 dengan mempersiapkan
pembelajaran
yang
menggunakan media BERIBU pada
materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat.
Pada pelaksanaan tindakan siklus 1
guru memeragakan media BERIBU
diintegrasikan dengan pendekatan
penurunan permukaan tanah untuk
menjelaskan konsep penjumlahan
dan pengurangan bilangan bulat.
Setelah dilaksanakan pembelajaran
pada siklus 1, kemudian diberikan
tes akhir kepada siswa. Berdasarkan
hasil belajar yang diperoleh, terlihat
adanya peningkatan nilai rata-rata
menjadi 74 dan ketuntasan klasikal
mencapai 19 %. Namun demikian,
karena hasil ini belum mencapai
indikator keberhasilan, maka penulis
melakukan
refleksi
untuk
menemukan kelemahan-kelemahan
pada pelaksanaan siklus 1. Setelah
dilakukan refleksi, kemudian penulis
merencanakan kembali pelaksanaan
siklus 2.
Pelaksanaan siklus 2 dilakukan
dengan lebih memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
siswa
untuk
berpartisipasi
aktif
memanipulasi media pembelajaran.
Hal ini dilakukan agar para siswa
dapat
lebih
memahami
konsep
penjumlahan
dan
pengurangan
bilangan bulat dengan baik.
Setelah dilaksanakan pembelajaran
pada siklus 2, terjadi peningkatan
yang sangat signifikan pada nilai
rata-rata menjadi 89 dan ketuntasan
klasikal mencapai 100%. Data ini
menggambarkan
bahwa
dengan
memberikan
kesempatan
kepada
siswa untuk berpartisipasi aktif
memanipulasi
media
dapat
berpengaruh
pada
pemahaman
konsep
penjumlahan
dan
pengurangan bilangan bulat sehingga
dapat meningkatkan hasil belajar
siswa.
Melihat hasil belajar yang telah
dicapai pada siklus 2 tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa penelitian
ini
dianggap
berhasil.
Progres
peningkatan hasil belajar dari tes
awal hingga siklus 2 dapat dilihat
pada grafik berikut.
Gambar 9 Grafik progres
peningkatan hasil belajar siswa
4. Kesimpulan
Penggunaan media BERIBU pada
pembelajaran
Matematika
dapat
membantu siswa dalam memahami
konsep
penjumlahan
dan
pengurangan bilangan bulat. Di
samping itu, siswa juga memperoleh
wawasan tentang bahaya penggunaan air bawah tanah yang
berlebihan karena berdampak pada
penurunan muka tanah. Dengan
pemahaman konsep Matematika yang
baik dibarengi dengan pendidikan
913
lingkungan, maka akan meningkatkan
hasil
belajar
siswa,
memudahkan mereka memahami
pelajaran-pelajaran selanjutnya, me-
numbuhkan
kecintaan
pada
lingkungan dan berusaha menjaga
kelestarian
lingkungan.
Daftar Pustaka
Abidin, Zainal. (2004). Evaluasi Pengajaran. Padang: UNP
Dahar, R. W. (2011). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga
Darmansyah. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Padang: UNP
Sadiman, Arief S dkk. (2006). Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan, dan
Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo.
Sanjaya, Wina, (Sundayana, Rostina. 2013:13). Media Pembelajaran Matematika.
Bandung: Alfabeta
Sudjana, Nana. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Cet. XV).
Bandung: PT. Ramaja Rosdakarya.
Trianto. (2009). Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik. Jakarta: PT
Prestasi Pustaka.
914
UPAYA MENINGKATKAN SELF-EFFICACY SISWA TERHADAP
MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN PENDEKATAN
CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA SISWA
KELAS VIII-1 SMP TAMAN DEWASA JETIS YOGYAKARTA
1Imaludin
1Mahasiswa
Agus, 2Arisnawati Dwi Purwani
Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta
2SMP Swasta Taman Dewasa Jetis, Yogyakarta
Abstract. This Class Action Research aims to increase self-efficacy towards
mathematics of eighth graders at SMP Taman Dewasa Jetis Yogyakarta. CTL
approach was implemented in two cycles. Data were collected through self-efficacy
questionnaire, observation sheets on teaching and learning process, and field notes.
Data were analyzed through qualitative and quantitative analysis. In the first cycle,
students’ scores on self-efficacy increased in average 123.42 (high), where two
students (6.67%) obtained very high score, 18 students (48.13%) were categorized
high, and 12 students (44.45%) were categorized moderate. The implementation
result of CTL in first cycle was 82.69%. In the second cycle, students’ self-efficacy
scores increased exceeded the target. The average results of the self-efficacy score
were 135.88 (high), with 8 students (26.67%) were categorized very high, 16
students (57.14%) were categorized high, and 4 students (14.29%) were categorized
moderate. Similarly, CTL learning reached 96.15%. Based on these results, it can be
concluded that the students’ self-efficacy towards mathematics may increase after
the implementation of CTL approach.
Keywords: Self-efficacy, Contextual Teaching and Learning (CTL), Junior High
school Mathematics.
1. Pendahuluan
Matematika merupakan pengetahuan
universal (Van de Wale, 2010: 1) yang
digunakan dalam berbagai disiplin
ilmu pengetahuan seperti fisika,
kimia, statistik, dan lain-lain (Muijs
&
Reynold,
2008:
212).
Memperhatikan begitu besar manfaat
matematika bagi kehidupan, tidak
lantas
menjadikan
matematika
sebagai
mata
pelajaran
yang
disenangi
oleh
siswa,
namun
sebaliknya.
Matematika
justru
menjadi pelajaran yang yang kurang
disenangi bahkan cenderung tidak
disukai dan dihindari (Kennedy, Tipss
& Jhonson, 2008: 4-5). Kondisi ini,
salah satunya diakibatkan oleh
kurang
yakinnya
siswa
atas
kemampuan mereka dalam belajar
serta
menyelesaikan
masalah
matematika. Graham & Pajars (1999:
126) menyatakan bahwa dalam
belajar
matematika
diperlukan
keyakinan
siswa
terhadap
kemampuan,
keberhasilan,
dan
kegigihan mereka dalam belajar dan
mengerjakan
segala
tugas-tugas
matematika atau sering disebut
dengan self-efficacy.
Self-efficacy
dalam
matematika
merupakan tingkat keyakinan siswa
atas
kemampuannya
dalam
menyelesaikan tugas matematika,
memecahkan masalah matematika,
dan berurusan dengan tugas-tugas
matematika
yang
berhubungan
dengan kehidupan sehari sehari-hari
(Xiu & Koirala, 2009: 1). Selain itu,
menurut Bandura (Slavin, 2006:
159), self-efficacy merupakan variabel
penting
dalam
menunjang
keberhasilan belajar siswa di sekolah.
Namun,
berdasarkan
hasil
pra
penelitian, siswa tingkatan SMP
915
memiliki
self-efficacy
yang
berkategori sedang. Justifikasi ini
didasarkan pada hasil wawancara
dan
pretest
self-efficacy
siswa
terhadap matematika pada kelas VIII1 SMP Taman Dewasa Jetis dengan
rata-rata
hasil
118,4
(sedang).
Menurut
hasil
observasi
dan
wawancara yang dilaksanakan pada
bulan Agustus 2016 sebanyak 2
pertemuan,
salah
satu
faktor
penyebabnya
adalah
kurang
terlibatnya siswa dalam proses
pembelajaran dan kurang relevannya
materi
matematika
dengan
kehidupan mereka.
Oleh karena itu, diperlukan upaya
untuk meningkatkan self-efficacy
siswa terhadap matematika yaitu
melalui pemilihan pendekatan yang
mampu melibatkan siswa aktif dan
mengetahui relevansi materi dengan
kehidupannya. Pendekatan tersebut
adalah
pendekatan
contextual
teaching
and
learning
(CTL).
Pendekatan
CTL
merupakan
pendekatan yang membantu siswa
melihat
manfaat
materi
yang
dipelajari
dengan
kehidupannya
(Johnson, 2002: 25)
Dengan
demikian,
penggunaan
pendekatan CTL menjadi alternatif
yang digunakan selama beberapa
siklus. Adapun tujuan yang hendak
dicapai yaitu untuk meningkatkan
self-efficacy
siswa
terhadap
matematika pada Siswa SMP Taman
Dewasa Jetis Yogyakarta kelas VIII-1.
2. Kajian Teori
Pembelajaran Matematika
Nitko dan Brookhart (2007: 18)
mendefinisikan pembelajaran sebagai
interaksi yang membantu siswa
mencapai target belajar mereka. Hal
yang sama di ungkapkan oleh
Rustam
(2012:
93)
bahwa
pembelajaran
sebagai
proses
916
interaksi antara guru dan siswa yang
dilakukan melalui berbagai pola
pembelajaran yang dilaksanakan baik
secara langsung melalui tatap muka
maupun secara tidak langsung yakni
menggunakan
bantuan
media
pembelajaran.
Secara spesifik dalan pembelajaran
matematika,
NCTM
(2000:
11)
mendefinisikan
“Learning
mathematics is maximized when
teachers focus on mathematical
thinking and reasoning”. Pendapat ini,
mengindikasikan bahwa matematika
merupakan ilmu tentang berpikir dan
bernalar, sehingga tidak hanya
bermanfaat pada materi matematika,
tetapi dapat diintegrasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu,
pembelajaran
matematika
disimpulkan sebagai interaksi yang
terjadi antara siswa dan sumber
belajar matematika baik langsung
maupun
tidak
langsung,
yang
bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan berpikir dan bernalar
Pendekatan Contextual Teaching
and Learning (CTL)
Pembelajaran dengan pendekatan
CTL merupakan konsep belajar dan
mengajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi real siswa
dan memotivasi siswa melakukan
hubungan antara pengetahuan dan
penerapannya
dalam
kehidupan
mereka
baik
sebagai
anggota
keluarga,
masayarakat,
dan
pekerjaan (Berns & Erickson, 2001:
1). Pembelajaran kontekstual pula
diartikan sebagai proses pendidikan
yang bertujuan membantu para
siswa melihat manfaat dari setiap
materi
yang
dipelajari
melalui
pembelajaran yang menghubungkan
subjek-subjek materi belajar dengan
kehidupan mereka (Johnson, 2002:
25).
Langkah-langkah pendekatan CTL
menurut Crawford (2001: 2-5) dan
Komalasari (2013: 9) terdiri atas lima
strategi yang digunakan guru dalam
pembelajaran berbasis kontekstual.
Adapun kelima strategi pembelajaran
yang dimaksud adalah relating,
experiencing, cooperating, applying,
dan transfering. Relating adalah
strategi
menghubungkan
materi
pembelajaran dengan dunia real;
Experiencing adalah strategi untuk
memberikan pengalaman langsung
dalam
kegiatan
bereksplorasi,
menemukan dan inventori; Applying
adalah strategi untuk memberikan
gambaran
terkait
pengaplikasian
konsep
pada
dunia
nyata;
Cooperating adalah strategi yang
memberikan
kesempatan
siswa
untuk
berkomunikasi
dan
menyelesaikan masalah bersama;
dan Transfering adalah strategi untuk
memecahkan masalah yang baru
berdasarkan pemahaman yang telah
diperoleh sebelumnya. Berdasarkan
penjelasan tersebut maka pada
penelitian tindakan ini menggunakan
kelima strategi dimaksud.
Self-efficacy Matematika
Bandura (1997) mendefinisikan selfefficacy sebagai keyakinan seseorang
terhadap kemampuan yang dimiliki
untuk menciptakan suatu hal yang
baru dan bermanfaat bagi kehidupan
mereka. Selain itu, Schunk (2012:
205) self-efficacy sangat berkaitan
dengan usaha individu dalam usaha
dan keuletan menjalankan tugas.
Lebih lanjut, Schunk menyatakan
bahwa
individu
yang
memiliki
keyakinan self-efficacy yang tinggi
cenderung mengeluarkan usaha yang
lebih
besar
dalam
menghadapi
kesulitan.
Dalam konteks matematika, Xiu &
Koirala (2009: 1) menjelaskan bahwa
self-efficacy
dalam
matematika
merupakan
tingkat
kepercayaan
siswa dalam menyelesaikan tugas
matematika, memecahkan masalah
matematika, dan berurusan dengan
tugas-tugas
matematika
yang
berhubungan
dengan
kehidupan
sehari-hari. Begitu pula Graham &
Pajares (1999: 133) self-efficacy
matematika
merupakan
variabel
motivasi untuk memprediksi kinerja
matematika baik di awal maupun
akhir, serta menyelesaikan masalah
substantif.
Menurut Bandura (Maddux, 1995: 9),
self-efficacy memiliki 3 aspek yaitu
Magnitude, Strength dan Generality.
Aspek magnitude merupakan aspek
yang berhubungan dengan terus
meningkatnya kesulitan. Individu
yang memiliki self-efficacy yang tinggi
akan
cenderung
memilih
menyelesaikan
masalah-masalah
yang rumit. Strength merujuk pada
kekuatan, ketegasan serta keyakinan
individu dalam melakukan suatu
tindakan dengan kemampuan yang
dimiliki.
Sedangkan
Generality
merupakan
aspek
menunjukan
keyakinan sejauh mana keberhasilan
atau
kegagalan
individu
dalam
menyelesaikan tugas-tugas tertentu
berdasarkan kemampuannya.
Berpijak pada berbagai pendapat
tersebut, maka disimpulkan bahwa
self-efficacy matematika merupakan
keyakinan yang dimiliki siswa atas
kemampuan dan kegigihanya dalam
menjalankan
dan
menyelesaikan
terus
meningkatnya
tugas-tugas
matematika. Adapun aspek yang
menjadi dasar dalam penetapan
indikator penyusunan angket selfefficacy siswa terhadap matematika
yaitu
merujuk
pada
pendapat
Bandura
yang
meliputi
aspek
Magnitude, Strength dan Generality.
Magnitude berupa keyakinan siswa
917
menyelesaikan masalah matematika
dengan
tingkat
kesulitan
yang
berbeda; Strength berupa kegigihan
siswa
menyelesaikan
masalah
matematika; serta Generality berupa
keyakinan siswa atas keberhasilan
dalam menyelesaikan suatu masalah
matematika.
3. Metode Penelitian
Penelitian
Tindakan
Kelas
ini
dilakukan secara kolaboratif bersama
guru
matematika
SMP
Taman
Dewasa Jetis Yogyakarta. Waktu
pelaksanaannya dilakukan selama 1
bulan yang dimulai pada tanggal 3
Oktober 2016 sampai tanggal 16
November 2016. Siswa yang menjadi
subjek penelitian yaitu kelas VIII-1
dengan jumlah siswa 28, dengan
klasifikasi 13 siswa perempuan dan
15 siswa laki-laki.
Pelaksanaan penelitian tindakan ini
menggunakan
setting
kolaboratif
dengan
sumber
data
diperoleh
melalui hasil angket self-efficacy
siswa,
observasi
lembar
keterlaksanaan pembelajaran, dan
catatan lapangan lainnya. Model
tindakan yang digunakan selama
penelitian merujuk pada model yang
dikembangkan oleh Kemmis dan
Robin
McTanggart
(1988)
yang
meliputi
tahap:
perencanaan
(planning),
tindakan
(act),
pengamatan (observing), dan refleksi
(reflecting) serta berlangsung paling
sedikit 2 siklus.
Instrumen yang digunakan meliputi
instrumen
angket
self-efficacy,
lembar keterlaksanaan pembelajaran,
dan catatan lapangan. Instrumen
angket self-efficacy berjumlah 36
butir item yang terdiri atas 12 butir
untuk masing-masing aspek selfefficacy. Validitas yang digunakan
yaitu validitas isi (face dan logic) yang
diperiksa oleh 2 expert (Ahli) dan
918
estimasi reliabilitas sebesar 0.67
(baik). Hal
ini
sesuai
dengan
pendapat (Ebel & Frisbe, 1991: 86)
nilai estimasi reliabilitas yang baik
minimal 0,65. Instrumen ini diisi oleh
siswa. Lembar keterlaksanaan pembelajaran terdiri atas 26 pernyataan
yang
merujuk
pada
rencana
pelaksanaan
pembelajaran
(RPP)
dengan pendekatan CTL. Lembar
keterlaksanaan pembelajaran ini diisi
oleh observer yang nantinya akan
memberikan
komentar
terkait
kekurangan pelaksanaan tindakan.
Data yang diperoleh dari instrumen
dianalisis dengan dua cara yaitu
teknik
analisis
kuantitatif
dan
kualitatif. Teknik analisis kuantitatif
dilakukan pada angket self-efficacy
dan
lembar
keterlaksanaan
pembelajaran. Pada angket selfefficacy skala 5 (skala likert) yang
terdiri terdiri dari lima pilihan
jawaban yaitu selalu (SL), sering (SR),
Kadang-kadang (KD), jarang (JR) dan
tidak pernah (TP) yang berturut-turut
nilai penskorannya adalah 5, 4, 3, 2,
dan 1 (Sugiono, 2015: 135). Dari
hasil
tersebut
kemudian
dikategorikan seperti pada tabel 1
berikut.
Tabel 1. Kategorisasi Hasil Angket
Self-efficacy Siswa
No
Skor (X)
1
2
3
4
5
151,2 < 𝑥 ≤ 180
Sangat Tinggi
64,8 < 𝑥 ≤ 93,6
Rendah
122,4 < 𝑥 ≤ 151,2
93,6 < 𝑥 ≤ 122,4
36 < 𝑥 ≤ 64,8
Kriteria
Tinggi
Sedang
Sangat Rendah
(Widoyoko, 2009: 238)
Teknik analisis kualitatif dilakukan
melalui
lembar
keterlaksanaan
pembelajaran. Data observasi yang
telah diperoleh dihitung, kemudian
dipersentasekan
sehingga
dapat
diketahui sejauh mana pendekatan
CTL dilaksanakan
pembelajaran.
selama
proses
Penelitian
tindakan
kelas
ini
dikatakan berhasil jika mencapai
indikator keberhasilan yang telah
ditetapkan.
Adapun
indikator
keberhasilan yang ditetapkan adalah
sebagai berikut:
1) Terjadi peningkatan self-efficacy
siswa untuk tiap siklusnya dan
mencapai target yang sudah
dibuat yaitu 25 % (7 siswa) untuk
kategori sangat tinggi dan 60,7 %
(17 siswa) untuk kategori tinggi
dan 14,3% (4 siswa) dengan
kategori sedang.
2) Tingkat keterlaksanaan belajar
dengan pendekatan CTL mencapai
≥ 95%.
4. Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Penelitian
tindakan
ini
diawali
dengan memberikan angket pretest
self-efficacy siswa kelas VIII-1 SMP
Taman Dewasa Jetis. Pemberian
angket
ini
bertujuan
untuk
mengetahui kondisi awal subjek
penelitian. Dari hasil pretest rata-rata
skor siswa berada pada kategori
sedang (118,4). Dari 26 siswa yang
mengikuti pretest hanya terdapat
3,85 % (1 siswa) yang berkategori
sangat tinggi, 34,62 % (9 siswa)
dengan kategori tinggi, 57,69 % (15
siswa) dengan kategori sedang, 3,85%
(1 siswa) dengan kategori rendah,
dan tidak ada siswa yang berada
pada kategori sangat rendah. Sejalan
dengan hasil tersebut, untuk setiap
aspek self-efficacy diperoleh rata-rata
89 untuk aspek magnitude, 84 untuk
aspek strength, dan 85 untuk aspek
generality.
Berdasarkan hasil pretest yang
menunjukan
self-efficacy
siswa
terhadap matematika masih dalam
kategori sedang, sehingga diperlukan
upaya
untuk
meningkatkannya.
Upaya yang dimaksud yaitu dengan
penggunaan pendekatan CTL selama
pelaksanaan siklus.
Siklus I
Pelaksanaan
tindakan
Siklus
I
dilakukan selama dua pertemuan (4
x 40 menit) yaitu hari Jum’at, 4
November 2016 dan Sabtu, 5
November 2016. Dari pelaksanaan
tindakan
siklus
I
diperoleh
peningkatan hasil self-efficacy siswa
terhadap matematika. Skor selfefficacy siswa sudah masuk pada
kategori tinggi dengan nilai rata-rata
123,42.
Adapun
data
rincian
disajikan pada tabel 2 berikut:
Tabel 2. Hasil Posttest Self-efficacy
Siklus I
Kategori
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
Rata-rata
Jumlah Presentasi
Siswa
2
6,67%
18
48,13%
12
44,45%
0
0%
0
0%
123,42 (Tinggi)
Berdasarkan tabel 2, dari 28 siswa
yang mengikuti postest diperoleh 2
siswa (6,67%) dengan kategori sangat
tinggi, 18 siswa (48,13%) dengan
kategori tinggi, dan 12 siswa (44,45%)
dengan kategori sedang. Jika ditinjau
dari setiap aspek self-efficacy siswa
dalam belajar matematika, memiliki
nilai rata-rata yang relatif sama,
dimana untuk aspek magnitude,
strength,
dan
generality
secara
berturut-turut yaitu 96, 96, dan 95.
Meskipun hasil tersebut sudah
mengalami peningkatan dari kondisi
awal, akan tetapi belum mencapai
indikator keberhasilan yang telah
ditetapkan.
Kaitannya dengan keterlaksanaan
pembelajaran
CTL,
hasil
yang
diperoleh hanya mencapai 82,69%.
Secara lebih rinci disajikan pada
tabel 3 berikut:
919
Tabel 3. Hasil Keterlaksanaan
Pembelajaran Siklus I
Pertemuan
Pertama
Kedua
Terlaksana
Terlaksana
Tidak
Terlaksana
Tidak
Siklus I
Pres
Jml
(%)
19
7
24
2
73,07
26,92
92,3
7,7
Berdasarkan tabel 3, diperoleh pada
pertemuan
pertama
presentasi
keterlaksanaan pembelajaran mencapai 73,07 % serta pada pertemuan
kedua mencapai 92,3 %. Hasil ini
belum
menunjukan
tercapainya
target yang ditetapkan yakni ≥ 95%
terlaksana.
Hasil siklus I secara keseluruhan
menunjukan
peningkatan,
akan
tetapi belum ada yang mencapai
indikator
keberhasilan.
Melalui
tahapan refleksi antara peneliti dan
observer
diperoleh
kekurangan
selama proses pelaksanaan tindakan
yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
Menghabiskan waktu yang lama
dalam proses perkenalan;
Siswa belum terbiasa dengan
pendekatan CTL, sehingga belum
terlibat aktif dalam pembelajaran;
Contoh dalam LKS yang terlalu
banyak sehingga membutuhkan
waktu yang lama;
Masih ada siswa belum berani
bertanya
dan
memberikan
jawaban dengan yakin; dan
Pemberian refleksi secara lisan
belum efisien dalam menggambarkan
keseluruhan
materi
pelajaran.
Memperhatikan berbagai kekurangan
tersebut, maka peneliti merumuskan
solusi yang bertujuan agar siklus
berikutnya diperoleh yang lebih baik.
Solusi yang dirumuskan yaitu:
1) Peneliti harus mampu mengalokasikan waktu pada RPP secara
tepat;
2) Peneliti memberikan motivasi dan
apersepsi yang kuat kepada
920
3)
4)
5)
siswa, sehingga dapat terlibat
aktif
selama
proses
pembelajaran;
Peneliti harus menyusun LKS
yang singkat dan lengkap;
Peneliti dan guru bersama-sama
membimbing siswa bertanya dan
menanggapi pertanyaan; dan
Setiap akhir pertemuan, guru
menyiapkan powerpoint untuk
merefleksi pembelajaran.
Siklus II
Pelaksanaan tindakan Siklus II
dilakukan selama dua pertemuan
pula (4 x 40 menit) yaitu hari Jum’at,
11 November 2016 dan Sabtu, 12
November 2016. Berdasarkan refleksi
pada siklus I, maka hasil pretest selfefficacy siswa terhadap matematika
pada
siklus
II
mengalami
peningkatan dibandingkan siklus I.
Rata-rata skor self-efficacy siswa
yaitu 135,88 dengan kriteria tinggi.
Hasil posttest self-efficacy disajikan
pada tabel 4 berikut.
Tabel 4. Hasil Posttest Self-efficacy
Siklus II
Kategori
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
Rata-rata
Jumlah Presentasi
Siswa
8
26,67%
16
57,14%
4
14,29%
0
0%
0
0%
135,88 (Tinggi)
Berdasarkan tabel 4 diperoleh, dari
28 siswa yang mengikuti postest
diperoleh
8
siswa
(26,67%)
berkategori sangat tinggi, 16 siswa
(57,14%) berkategori tinggi dan 4
siswa (14,29%) berkategori sedang.
Hasil ini menunjukan indikator
keberhasilan yang ditetapkan telah
dicapai. Peningkatan ini juga dapat
dilihat dari skor rata-rata untuk
setiap
aspek
self-efficacy
yaitu
magnitude sebesar 104, strength
sebesar 108, dan generality sebesar
104. Hasil ini semakin mempertegas
bahwa pembelajaran CTL dapat
meningkatkan
self-efficacy
siswa
dalam belajar matematika.
Kaitannya
dengan
lembar
keterlaksanaan pembelajaran, hasil
yang diperoleh yaitu sebesar 96,15%.
Berikut
ini
disajikan
tabel
keterlaksanaan pembelajaran siklus
II:
Tabel 6. Skor Angket Self-efficacy
Siswa dan Keterlaksanaan
Pembelajaran
Kriteria
ST
T
S
R
SR
Terlaksana
Tabel 5. Hasil Keterlaksanaan
Pembelajaran Siklus II
Siklus II
Pertemuan
Ketiga
Keempat
Terlaksana
Terlaksana
Tidak
Terlaksana
Tidak
Jml
Pres
(%)
25
1
26
0
96,15%
3,85 %
100 %
0%
Berdasarkan tabel 5 hasil observasi
keterlaksanaan pembelajaran siklus
II, diperoleh hasil pada pertemuan
ketiga
presentasi
keterlaksanaan
pembelajaran mencapai 96,15% serta
pada pertemuan keempat mencapai
100%.
Hasil
ini
menunjukan
keterlaksanaan pembelajaran selama
tindakan pada siklus II dengan
menggunakan
pendekatan
CTL
sudah
mencapai
kriteria
yang
ditetapkan yaitu ≥ 95% terlaksanaan.
Oleh karena pada siklus II semua
indikator
keberhasilan
yang
ditetapkan telah tercapai maka siklus
dihentikan pada siklus ke-II.
Pembahasan
Penelitian
tindakan
kelas
ini
berlangsung selama dua siklus pada
kelas VIII-1 SMP Taman Dewasa Jetis
Yogyakarta.
Tindakan
dilakukan
dengan menggunakan pendekatan
CTL menunjukan peningkatan hasil
self-efficacy siswa disetiap siklusnya.
Hasil yang diperoleh tersebut disajikan pada tabel 6 berikut.
Kondisi
Awal
3,34%
34,69%
57,69%
3,85%
0,00%
Sedang
-
Siklus I
6,67%
48,13%
44,45%
0%
0%
Tinggi
83,65%
Siklus
II
26,67%
57,14%
14,29%
0%
0%
Tinggi
96,16%
Berdasarkan tabel 6 diperoleh, hasil
untuk
self-efficacy
yang
terus
meningkat disetiap siklusnya. Dari
hasil pretest, siswa dengan kategori
sangat
tinggi
hanya
mencapai
presentasi 4%, kemudian setelah
diberikan
pembelajaran
dengan
pendekatan
CTL
mengalami
peningkatan. Hal ini dapat dilihat
dari hasil postest pada siklus I dan
siklus II yaitu 6,67% dan 26,67%.
Kondisi ini sama seperti pada
kategori tinggi yang juga mengalami
peningkatan dari 35% pada pretest
menjadi 48,13% pada siklus I dan
57,14% pada siklus II. Untuk
kategori
sedang
dan
rendah
keduanya mengalami penurunan.
Hasil ini menunjukan bahwa terjadi
peningkatan self-efficacy matematika
siswa setelah diterapkan pendekatan
CTL dalam dua siklus.
Peningkatan dapat dilihat juga dari
setiap aspek self-efficacy pada setiap
siklusnya.
Aspek
magnitude
mengalami peningkatan dari 96 pada
siklus I menjadi 104 pada siklus II;
aspek
strength
mengalami
peningkatan dari 96 pada siklus I
menjadi 108 pada siklus II; serta
aspek
generality
mengalami
peningkatan dari 95 pada siklus I
menjadi
104
pada
siklus
II.
Berdasarkan
hasil
tersebut,
peningkatan terbesar terjadi pada
aspek strength disebabkan oleh siswa
sudah
terbiasa
menyelesaikan
masalah-masalah
matematika
melalui pembelajaran CTL, hal ini
921
tercermin
melalui
kegiatan
experiencing (menemukan, menyelidiki, dan inventori). Selain itu, pada
kegiatan cooperating dan transfering
melatih siswa untuk saling bekerja
sama, berbagi informasi, serta saling
menguatkan.
Secara umum, karateristik CTL yang
menitikberatkan pada relating atau
menghubugkan materi matematika
yang dipelajari dengan dunia nyata
siswa menjadikan self-efficacy siswa
terhadap matematika meningkat. Hal
ini pula dikemukakan oleh Graham
dan Pajares (1999: 126) self-efficacy
matematika
berkaitan
dengan
keyakinan
siswa
atas
manfaat
matematika dalam kehidupan nyata.
Hal ini sejalan dengan hasil studi
yang dilakukan oleh Irjayanti (2014)
dan
Susanti
(2016)
yang
menyimpulkan bahwa pendekatan
CTL yang terdiri atas lima strategi
(REACT) efektif dalam meningkatkan
self-efficacy
siswa
terhadap
matematika.
5. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembasahan yang telah diuraikan,
maka diperoleh kesimpulan bahwa
penggunaan pendekatan CTL dapat
meningkatkan
self-efficacy
siswa
terhadap matematika siswa kelas
VIII-1 SMP Taman Dewasa Jetis. Skor
rata-rata self-efficacy siswa sebelum
diberikan tindakan mencapai 118,85
(sedang) dengan presentasi 62%.
Setelah diberikan tindakan, pada
siklus I rata-rata capaian siswa
sebesar
123,42
(tinggi)
dengan
presentasi 54,8%. Namun, hasil
tersebut belum mencapai target yang
ditetapkan,
sehingga
dilanjutkan
pada siklus II. Pada siklus II skor
rata-rata siswa sebesar 135,88
(tinggi) dengan presentasi 83,81%.
Skor tersebut telah memenuhi target
yang ditetapkan sebagai indikator
keberhasilan
pendekatan
CTL
meningkatkan
self-efficacy
siswa
terhadap
matematika.
Kaitannya
dengan keterlaksanaan pembelajaran, dari hasil pengamatan diperoleh
peningkatan disetiap siklusnya yaitu
82,69 pada siklus I dan 96,15% pada
siklus II.
Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan
yang telah dipaparkan tersebut,
penulis menyarankan kepada peneliti
tindakan selanjutnya agar dapat
menjadikan pendekatan CTL sebagai
alternatif cara untuk meningkatkan
self-efficacy matematika siswa. Selain
itu, bagi peneliti berikutnya dapat
mencoba untuk
meneliti aspek
kognitif dan afektif yang lain melalui
penggunaan pendekatan CTL.
Daftar Pustaka
Bandura, A. (1997). Self-efficacy
University Press.
in Changing Societies. New York: Cambridge
Erickson, R. G & Bern, F. H (2001). Contextual Teaching and Learning:Preparing
Students for the New Economy. Diakses dari www.nccte.com pada tanggal
11 Mei 2016.
Crawford, M. L. (2001). Teaching Contextually: Research, Rationale, and
Techniques for Improving Student Motivation and Achievement in
Mathematics and Science. Texas: CCI Publishing.
922
Pajares, F & Graham, L. (1999). Self-efficacy , Motivation Constructs, and
Mathematics Performance of Entering Middle School Students. Contenporery
Educational Psychologi, 124-139. Diakses dari www.idealibrary.com pada
tanggal 11 Mei 2016.
Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Konstektual dalam Pembelajaran
abad 21 Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Irjayanti, R. (2014). Keefektifan Strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying,
Cooperating, Transfering) dalam Pembelajaran Turunan Fungsi Ditinjau dari
Pestasi Belajar Matematika, Kemampuan Penyelesaian Masalah Matemtika,
Kemampuan Koneksi, dan Self-efficacy Siswa Kelas XII IPA SMA. Tesis
Magister, Tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Johnson, E. B. (2002). Contextual Teaching and Learning: What it is and Why it's
Here to Stay. California: Corwin Press.
Kemmis, S dan McTaggart. (1988). The Action Research Planner. Victoria: Deakin
University.
Komalasari, K. (2013). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung:
Refika.
Liu, X & Koirala, H. (2009). The Effect of Mathematics Self-efficacy
on
Mathematics Achievement of High School Student. Paper North East
Educational Research Association Annual Conference (p.1-15). Science and
Mathematics Education Commons.
Maddux, J. E. (1995). Self-efficacy , Adaptation, and Adjustment Theory,
Research, and Application. Virginia: Springer Science+Business Media.
NCTM. (2000). National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). New York:
NCTM. Diakses dari www.nctm.org pada tanggal 7 September 2015.
Schunk, D. (2012). Learning Theories and Educational Perspective (Six Edition).
California: Pearson Education.
Slavin, R. E. (2006). Educational Pyscology Theory and Practice (Eight Edition).
Boston: Pearson Education.
Sugiono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Susanti, U. (2016). Keefektifan Pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) dan Problem Solving pada Pembelajaran Himpunan Ditinjau dari
Prestasi Belajar dan Kepercayaan Diri Siswa SMP Kelas VII. Tesis Magister,
tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Widoyoko, E. P. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran (Panduan Praktis bagi
Pendidik dan Calon Pendidik). Yogyakarta: Pustaka Belajar.
923
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIKA DITINJAU DARI GENDER MELALUI
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH BERKARAKTER
PADA SISWA KELAS XI SMA YPK MEDAN
Rahmi Ramadhani
Universitas Potensi Utama, Jl. KL. Yos Sudarso KM. 6,5 N0. 3-A Tanjung Mulia, Medan
Abstract. The aims of this research were (1) to analyze improvement of student’s
mathematics problem solving ability using characterized problem based learning; and (2) to
look interaction between student’s gender and learning in increasing student’s
mathematics problem solving ability. This type of research was a quasi experimental. The
population of this research was all students in SMA YPK Medan. The experimental class
consisted of 21 female students and 21 male students in XI MIPA 1 and the control class
consisted of 19 female students and 23 male students in XI MIPA 2. The sample was
chosen by using purposive sampling. The data were analyzed using Two Ways ANOVA.
The result of this research were (1) the improvement of student’s mathematical problem
solving ability using characterised problem based learning was higher than the
improvement of those using conventional learning; (2) there is no interaction between
student’s gender and learning in increasing student’s mathematical problem solving ability.
Based on this research, the characterized problem based learning was able to be used to
improve mathematical problem solving ability of students.
Keywords:
Characterized Problem
Solving, Gender
Based
1. Pendahuluan
Standar proses dari pembelajaran
matematika menurut National Council
of Teachers of Mathematics (NCTM)
adalah problem solving (pemecahan
masalah),
reasoning
dan
proof
(penalaran
dan
pembuktian),
communication
(komunikasi),
connections
(koneksi),
dan
representation
(representasi).
Pemecahan
masalah
merupakan
bagian
dari
standar
proses
matematika yang sangat penting
karena dalam proses pembelajaran
maupun
penyelesaian,
siswa
dimungkinkan untuk menggunakan
keterampilan dan pengalaman yang
mereka miliki untuk diterapkan
dalam penyelesaian soal-soal yang
tidak rutin karena setelah menempuh
pendidikan, para siswa akan terjun
ke masyarakat yang penuh dengan
masalah-masalah
kemasyarakatan.
Russefendi
(Effendi,
2012:
3)
924
Learning,
Mathematics
Problem
mengemukakan bahwa kemampuan
pemecahan masalah sangat penting
dalam matematika, bukan saja bagi
mereka yang di kemudian hari akan
mendalami
atau
mempelajari
matematika, melainkan juga bagi
mereka yang akan menerapkannya
dalam bidang studi lain dalam
kehidupan sehari-hari. Berdasarkan
beberapa
pendapat
di
atas,
kemampuan pemecahan masalah
harus dimiliki siswa untuk melatih
agar terbiasa menghadapi berbagai
permasalahan, baik masalah dalam
matematika, masalah dalam bidang
studi lain, ataupun masalah dalam
kehidupan sehari-hari yang lebih
kompleks.
Pada
kenyataannya
saat
siswa
dihadapkan pada soal-soal yang tidak
rutin, (soal cerita yang terkait
pemecahan masalah yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari), nilai
yang diperoleh oleh siswa biasanya
akan lebih rendah jika dibandingkan
dengan soal pilihan berganda. Masih
terlihat kesenjangan yang cukup
besar antara apa yang diharapkan
dalam belajar matematika dengan
kenyataan yang akan dicapai. Hal ini
menjadi salah satu masalah bagi
guru karena pemecahan masalah
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya nalar dan melatih siswa
agar mampu berpikir kritis, logis dan
berkarakter.
Seyogianya untuk menyelesaikan
soal-soal yang tidak rutin, siswa
membutuhkan kemampuan pemecahan masalah matematika yang
baik. Tahapan pemecahan masalah
menurut Polya yaitu : “(1) memahami
masalah,
(2)
merencanakan
penyelesaiannya, (3) melaksanakan
masalah sesuai rencana dan (4)
melakukan
pengecekan
kembali
terhadap
semua
langkah
yang
dikerjakan.”
Selain
kemampuan
pemecahan
masalah dalam soal-soal tidak rutin
juga dibutuhkan karakter siswa,
karena dalam memecahkan masalah
tidak rutin diperlukan juga cara-cara
untuk
menyelesaikannya.
Pada
kenyataannya
pendidikan
di
Indonesia cenderung terbatas pada
penguasaan materi pelajaran atau
bertumpu pada pengembangan aspek
kognitif tingkat rendah yang tidak
mampu mengembangkan karakter
siswa. Dalam hal ini, salah satu
tujuan
pendidikan
adalah
membentuk
karakter
pada
diri
seseorang yang terwujud dalam
kesatuan perilaku dan sikap hidup.
Namun realitasnya bertolak belakang
dengan
kenyataan
yang
ada.
Pendidikan
cenderung
hanya
mengejar
kecerdasan
intelektual,
cenderung miskin budi pekerti, dan
akhlak.
Sehingga
menjadikan
manusia kehilangan karakternya.
Fadillah (2012: 143) menambahkan
bahwa nilai-nilai dasar pendidikan
karakter bangsa terdapat 18 nilai
karakter, yaitu sebagai berikut:
bertakwa
(religius),
bertanggung
jawab,
disiplin, jujur, toleransi,
kerja keras, kreatif, mandiri, rasa
ingin tahu,
semangat kebangsaan,
menghargai,
bersahabat,
peduli
sosial,
cinta damai, demokratis,
peduli lingkungan, gemar membaca,
cinta tanah air.
Dari kedelapan belas nilai-nilai
karakter yang telah dipaparkan
sebelumnya, peneliti tertarik untuk
menerapkan beberapa nilai karakter
tersebut
ke
dalam
proses
pembelajaran
matematika.
Nilai
karakter
yang
digunakan
pada
pembelajaran
berbasis
masalah
berkarakter
adalah
bertanggung
jawab, disiplin, kreatif, mandiri serta
peduli
lingkungan.
Melalui
pembelajaran
matematika
diharapkan
dengan sendirinya
tujuan untuk membentuk karakter
siswa
seperti,
bersikap
kritis,
cermat, jujur dan lain sebagainya
dapat dicapai. Soedjadi (Fadillah,
2012: 145) mengatakan pembelajaran
semacam
ini
dinamakan
pembelajaran by chance.
Setelah melakukan kajian berbagai
model pembelajaran yang ada maka
peneliti
menganggap
bahwa
pembelajaran berbasis masalah yang
selanjutnya disingkat dengan PBM
merupakan suatu strategi yang cocok
digunakan. Pembelajaran berbasis
masalah merupakan salah satu
pembelajaran
yang
didasarkan
kepada
psikolog
kognitif
yang
berangkat dari asumsi bahwa belajar
adalah proses perubahan tingkah
laku berkat adanya pengalaman.
Belajar bukan semata-mata proses
menghafal sejumlah fakta, tetapi
suatu proses interaksi secara sadar
antara individu dan lingkungannya.
Pembelajaran
berbasis
masalah
berkarakter merupakan salah satu
solusi yang tepat untuk digunakan
dalam proses pembelajaran, yang
bertujuan untuk menanamkan nilai925
nilai
karakter
kepada
siswa,
khususnya siswa SMA.
Beberapa
pakar
pendidikan
matematika
telah
mencoba
mengkaji model-model pembelajaran
yang dapat membentuk
karakter
siswa. Soedjadi (Fadillah, 2012: 145)
mengatakan
bahwa pembelajaran
dengan
pendekatan kontekstual
dengan
berbagai
model dan
metodenya, dapat dijadikan sebagai
alat untuk membangun karakter
bangsa. Sementara itu Prabowo
dan
Sidi
(Fadillah, 2012: 145)
mengatakan bahwa
pendekatan
pembelajaran matematika realistik
(PMRI)
dapat memahat
karakter
siswa.
Pembelajaran
berbasis
masalah juga membantu siswa
menjadi siswa yang mandiri.
Selain dilihat dari aspek kemampuan
memecahkan soal cerita diperhatikan
juga
aspek
perbedaan
gender,
perbedaan gender sudah menjadi
sorotan sejak jaman dahulu. Maccoby
dan Jacklyn (Nafi’an, 2011: 574)
mengatakan laki-laki dan perempuan
mempunyai perbedaan kemampuan
antara lain sebagai berikut: (1)
perempuan mempunyai kemampuan
verbal lebih tinggi daripada laki-laki;
(2) laki-laki lebih unggul dalam
kemampuan
visual
spatial
(penglihatan keruangan) daripada
perempuan; dan (3) laki-laki lebih
unggul
dalam
kemampuan
matematika.
Menurut Susento (Nafi’an, 2011: 574)
perbedaan gender bukan hanya
berakibat
pada
perbedaan
kemampuan
dalam
matematika,
tetapi cara memperoleh pengetahuan
matematika juga terkait dengan
perbedaan gender. Keitel (Nafi’an,
2011: 574) menyatakan “Gender,
social, and cultural dimensions are
very
powerfully
interacting
in
conceptualization
of
mathematics
education”. Berdasarkan pendapat
Keitel bahwa gender, sosial dan
budaya
berpengaruh
pada
926
pembelajaran Matematika, Brandon
(Nafi’an, 2011: 574) menyatakan
bahwa
perbedaan
gender
berpengaruh dalam pembelajaran
matematika terjadi selama usia
sekolah menengah.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian
yang diuraikan di atas menunjukkan
bahwa adanya keberagaman hasil
penelitian mengenai peran gender
dalam pembelajaran matematika.
Beberapa hasil menunjukkan adanya
faktor gender dalam pembelajaran
matematika, namun pada sisi lain
beberapa penelitian mengungkapkan
bahwa gender tidak berpengaruh
signifikan
dalam
pembelajaran
matematika.
Dari paparan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk melihat:
(1) apakah terdapat peningkatan
kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang diajar dengan
menggunakan pembelajaran berbasis
masalah
berkarakter?;
dan
(2)
apakah
terdapat
interaksi
(hubungan) antara pembelajaran dan
gender siswa dalam meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah
matematika? Dengan menerapkan
model
pembelajaran
berbasis
masalah berkarakter ini, diharapkan
pembelajaran yang akan didapatkan
siswa lebih bermakna, memberi
kesan yang lebih kuat pada siswa,
dapat mengatasi kesulitan siswa
dalam mempelajari matematika dan
siswa
itu
sendiri
juga
dapat
menyelesaikan pemecahan masalah
yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari serta dapat membentuk
karakter siswa.
2. Kajian Teori
Kemampuan
Pemecahan
Masalah Matematika
Pemecahan
masalah
memainkan
peran penting dalam pendidikan
matematika mulai dari siswa tingkat
dasar hingga tingkat menengah.
Namun, mengetahui bagaimana cara
untuk
memasukkan
pemecahan
masalah secara menyeluruh ke
dalam kurikulum matematika masih
sulit bagi para guru matematika
(NCTM,
2010:
1).
Kemampuan
pemecahan
masalah
adalah
kemampuan
siswa
dalam
menyelesaikan masalah matematika
dengan
memperhatikan
proses
menemukan jawaban berdasarkan
langkah-langkah pemecahan masalah
(memahami masalah; merencanakan
pemecahan masalah; menyelesaikan
masalah; dan melakukan pengecekan
kembali) yang dikemukakan oleh
Polya (Author, 2016)
Pemecahan masalah merupakan tipe
belajar
yang
paling
tinggi
dibandingkan tipe belajar lainnya.
Menurut Slameto (dalam Pamungkas,
2013: 119) pemecahan masalah
dipandang sebagai suatu proses
untuk menentukan kombinasi dari
sejumlah
aturan
yang
dapat
diterapkan dalam upaya mengatasi
situasi yang baru. Kemampuan
pemecahan masalah sangat penting
artinya bagi siswa dan masa
depannya. Para ahli pembelajaran
sependapat
bahwa
kemampuan
pemecahan masalah dalam batasbatas
tertentu,
dapat
dibentuk
melalui bidang studi dan disiplin
ilmu yang diajarkan. Jadi dapat
disimpulkan
bahwa
kemampuan
pemecahan
masalah
matematika
adalah kemampuan yang harus
dimiliki
siswa
untuk
dapat
memahami masalah, merencanakan
pemecahan, menyelesaikan masalah,
dan memeriksa kembali hasil dari
suatu matematika yang diberikan.
Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran
berbasis
masalah
adalah
salah
satu
model
pembelajaran yang berpusat pada
peserta
didik
dengan
cara
menghadapkan para peserta didik
tersebut dengan berbagai masalah
yang dihadapi dalam kehidupannya.
Dengan strategi pembelajaran ini,
peserta didik sejak awal sudah
dihadapkan
kepada
berbagai
masalah kehidupan yang mungkin
akan ditemukan kelak pada saat
mereka sudah lulus dari bangku
sekolah (Nata, 2009: 243).
Menurut
Sanjaya
(2008:
214),
pembelajaran
berbasis
masalah
(problem based learning) diartikan
sebagai
rangkaian
aktivitas
pembelajaran
yang
menekankan
kepada proses penyelesaian masalah
secara ilmiah. Sedangkan menurut
pandangan Arends dalam Trianto
(2010: 92), pengajaran berdasarkan
masalah
merupakan
suatu
pendekatan pembelajaran dimana
siswa mengerjakan permasalahan
yang autentik dengan maksud untuk
menyusun
pengetahuan
mereka
sendiri, mengembangkan inkuiri dan
keterampilan berpikir tingkat lebih
tinggi, mengembangkan kemandirian,
dan
percaya
diri.
Trianto
menambahkan juga bahwa pada
pengajaran berdasarkan masalah
merupakan pendekatan yang efektif
untuk pembelajaran proses berpikir
tingkat tinggi. Pembelajaran ini
membantu siswa untuk memeroses
informasi yang sudah jadi dalam
benaknya
dan
menyusun
pengetahuan mereka sendiri tentang
dunia sosial dan sekitarnya.
Pembelajaran berbasis masalah yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah
pembelajaran
berbasis
masalah
berkarakter.
Dalam
927
mengimplementasikan pembelajaran
tersebut, peneliti menyisipkan nilainilai
karakter
dalam
proses
pembelajaran. Penyisipian nilai-nilai
karakter dilakukan pada langkahlangkah
(sintaks)
pembelajaran.
Sintaks
pembelajaran
berbasis
masalah diantaranya orientasi siswa
pada masalah, mengorganisasi siswa
untuk
belajar,
membimbing
penyelidikan
individual
maupun
kelompok,
mengembangkan
dan
menyajikan
hasil
karya,
serta
menganalisis
dan
mengevaluasi
proses pemecahan masalah (Trianto,
2010: 98). Dari sintaks pembelajaran
di atas, peneliti menyisipkan nilainilai karakter pada langkah orientasi
pada masalah serta mengembangkan
dan menyajikan hasil karya serta
menganalisis
proses
pemecahan.
Orientasi masalah diambil dari
permasalahan yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari para siswa
serta berunsur nilai-nilai karakter.
3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas XI SMA YPK
Medan. Pengambilan sampel dalam
penelitian
ini
menggunakan
purposive sampling. Sekolah yang
dijadikan sebagai sampel adalah SMA
YPK Medan kelas XI MIPA 1 sebagai
kelas eksperimen
dengan jumlah
siswa sebanyak 42 orang (21 orang
siswa laki-laki dan 21 orang siswa
perempuan). Sedangkan kelas XI
MIPA 2 sebagai kelas kontrol dengan
jumlah siswa sebanyak 42 orang (19
orang siswa laki-laki dan 23 orang
siswa perempuan).
4. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen semu dengan desain
kelompok kontrol pretes-postes. Unitunit penelitian ditentukan kategori
model pembelajaran (pembelajaran
928
berbasis masalah berkarakter dan
biasa).
5. Hasil Penelitian
Tabel 1 menyajikan informasi hasil
pre test dan post test kemampuan
pemecahan
masalah
matematika
siswa
baik
menggunakan
pembelajaran
berbasis
masalah
berkarakter maupun pembelajaran
biasa
(konvensional).
Secara
keseluruhan sesuai dengan katagori
gender siswa, kelompok eskperimen
mendapatkan hasil yang lebih baik
daripada kelompok kontrol. Dari hasil
Uji Kolmogrof-Smirnov dan Uji Leneve
menunjukkan bahwa sampel yang
diambil
dari
populasi
yang
terdistribusi normal dan memiliki
varians yang homogen.
Tabel 1. Deskripsi Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika
Pretes_
Eksperimen
Posttes
_Eksperimen
Pretes_
Kontrol
Posttes_
Kontrol
Valid N
(listwise)
�
𝑿
N
Min Max
SD Var
42
5.0 12.0 8.12 1.7 2.9
42 10.0 19.0 14.3 2.2 4.7
42
5.0 12.0 8.24 1.7 2.8
42 10.0 17.0 13.3 1.7 2.9
42
Tabel 2 dan tabel 3 menyajikan
deskripsi
data
kemampuan
pemecahan
masalah
matematika
berdasarkan skor N-Gain dilihat dari
kelompok
pembelajaran
dan
kelompok gender siswa.
Tabel 2.
Deskripsi Berdasarkan
N-Gain Setiap Pembelajaran
Data skor N-Gain
Kelompok
Eksperimen
Kontrol
𝑥𝑚𝑖𝑛
0,30
𝑥𝑚𝑎𝑘𝑠
0.90
𝑥̅
0,53
0,16
0,13
0,77
0,43
0,14
SD
Kategori
Sedang
Sedang
Tabel 3.
Deskripsi Berdasarkan
N-Gain dan Gender Siswa
Gender
LakiLaki
Perem
-puan
PBM
Berkarakter
�
N
SD
𝑿
2
0,5
0,1
1
5
9
2
0,4
0,1
1
9
0
Biasa/
Konvensional
�
N
SD
𝑿
1
0,4
0,1
9
2
2
2
0,4
0,1
3
3
5
Setelah dilakukan pre test dan post
test kepada siswa, diperoleh N-Gain
masing-masing kelas untuk melihat
apakah
terdapat
peningkatan
kemampuan pemecahan masalah
matematika antara siswa yang diberi
pembelajaran
berbasis
masalah
berkarakter
dan
yang
diberi
pembelajaran biasa (konvensional).
Rata-rata
N-Gain
kemampuan
pemecahan
masalah
matematika
pada kelas eksperimen sebesar 0,53
dan pada kelas kontrol sebesar 0,43.
Jika ditinjau dari faktor gender siswa,
terlihat pada tabel 3 bahwa gender
laki-laki mendapatkan nilai rata-rata
lebih
tinggi
daripada
gender
perempuan pada kelas eskperimen.
Namun, kondisi berbeda terlihat di
kelas kontrol. Siswa dengan gender
perempuan mendapatkan nilai ratarata lebih tinggi daripada siswa
dengan
gender
laki-laki.
Hasil
perhitungan uji ANAVA 2 Jalur, NGain
kemampuan
pemecahan
masalah matematika siswa kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol
dapat dilihat pada tabel 4 berikut.
Tabel 4.
Hasil Uji Hipotesis
KPMM Menggunakan ANAVA 2 Jalur
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:NGain_PM
Type III
Mean
Source
Sum of df
F
Square
Squares
Corrected
.247a
3
.082 3.619
Model
Intercept
19.172
1
19.17 842.9
0
Pembelajaran
.221
1
.221 9.696
Sig.
Gender
Pembelajaran
* Gender
Error
Total
Corrected
Total
.002
.027
1
1
.002
.027
1.820
21.286
2.067
80
84
83
.023
.081 .777
1.187 .279
a. R Squared = ,779 (Adjusted R Squared = ,760)
Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa
untuk faktor pembelajaran, diperoleh
nilai F hitung sebesar 9.696 dan nilai
signifikan sebesar 0,003. Karena nilai
signifikan lebih kecil dari nilai taraf
signifikan 0,05, maka H0 ditolak dan
H1 diterima. Dengan demikian, dapat
disimpulkan
bahwa
peningkatan
kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang memperoleh
pembelajaran
berbasis
masalah
berkarakter lebih tinggi daripada
kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa.
Dari tabel 4 juga terlihat bahwa
untuk faktor pembelajaran dan
gender, diperoleh nilai F hitung
sebesar 1,187 dan nilai signifikan
sebesar 0,279. Karena nilai signifikan
lebih besar dari nilai taraf signikan
0,05, maka
H1 ditolak dan H0
diterima. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat
interaksi yang signifikan antara
pembelajaran dengan gender siswa
terhadap peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematika. Ini
menunjukkan bahwa gain rata-rata
kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa dengan gender
(laki-laki dan perempuan) siswa yang
diajar dengan pembelajaran berbasis
masalah berkarakter tidak berbeda
secara signifikan dengan siswa yang
diajar dengan pembelajaran biasa.
.017
.000
.003
929
pada kelas eksperimen sebesar 0,54
dan pada kelas kontrol sebesar 0,33.
Gambar 1. Interaksi antara
Kemampuan Pemecahan Masalah
dan Gender Siswa
Gambar 2 menunjukkan peningkatan
kemampuan pemecahan masalah
matematika
siswa
berdasarkan
indikator dan kelompok pembelajaran
siswa.
Gambar 2. Peningkatan Kemampuan
Pemecahan Masalah
Dari grafik di atas, terlihat bahwa
siswa yang mendapat pembelajaran
berbasis
masalah
berkarakter
memperoleh peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika yang lebih tinggi pada indikator
melaksanakan penyelesaian (0,65).
Sedangkan siswa yang mendapat
pembelajaran biasa (konvensional)
memperoleh hasil yang lebih tinggi
juga pada indikator melaksanakan
penyelesaian (0,47). Sedangkan jika
ditinjau dari kemampuan pemecahan
masalah matematika pada aspek
peningkatan terendah, terdapat pada
indikator memahami masalah yaitu
930
Dari paparan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa siswa masih
kesulitan dalam memahami masalah
yang
diberikan,
sehingga
penyelesaian yang diberikan oleh
siswa masih tidak sesuai dengan
permintaan
permasalahan.
Jika
ditinjau dari aspek gender siswa
sesuai dengan gambar 1, maka
didapatkan hasil bahwa tidak ada
interaksi antara pembelajaran dan
gender
dalam
meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah
matematika. Baik dari gender lakilaki maupun gender perempuan,
sama sekali tidak mempengaruhi
proses pembelajaran baik pada kelas
eksperimen maupun pada kelas
kontrol. Dapat dikatakan bahwa
faktor
penentu
peningkatan
kemampuan pemecahan masalah
matematika
adalah
murni
dikarenakan
perlakuan
model
pembelajaran
yang
diberikan.
Pembelajaran
berbasis
masalah
berkarakter
mempunyai
peranan
penting
dalam
meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa.
Namun jika ditinjau dari pemberian
nilai-nilai karakter pada proses
pembelajaran di dalam kelas, peneliti
mendapatkan hasil yang memuaskan. Pada pembelajaran berbasis
masalah
berkarakter,
peneliti
menyisipkan nilai-nilai karakter pada
langkah-langkah pembelajaran berbasis
masalah,
hingga
pada
pemberian masalah non rutin kepada
siswa.
Pada
langkah-langkah
pembelajaran, peneliti menyisipkan
nilai
karakter
pada
langkah
investigasi kelompok dan presentasi
hasil diskusi kelompok. Dalam hal
ini, peneliti menginginkan munculnya
nilai karakter disiplin, mandiri dan
bertanggung jawab. Sedangkan pada
pemberian
masalah
non
rutin,
peneliti
menyisipkan
nilai-nilai
karakter
kreatif
lingkungan.
dan
peduli
Peneliti mengharapkan para siswa
dapat secara langsung menyerap
makna
tersirat
dari
pemberian
masalah non rutin tersebut. Peneliti
melakukan observasi selama proses
pembelajaran
berlangsung
serta
melakukan
penyebaran
angket
untuk
melihat
apakah
siswa
mendapatkan pesan dan makna
tersirat terhadap nilai-nilai karakter
tersebut. Hasil observasi dan angket
siswa dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5.
Hasil Perhitungan Angket
Penerapan Nilai Karakter
Angket
Pernyataan
Bertanggung
Jawab
Mengerjakan
LKS
secara berkelompok
dan
tepat
waktu
sesuai arahan guru
Mengerjakan LKS
tepat waktu dan
menyelesaikan-nya
sesuai
dengan
langkah-langkah
Polya
Menyelesaikan soal
tes kemampuan
pemecahan masalah
secara pribadi dan
sebaik-baiknya,
serta menggunakan
langkah-langkah
Polya untuk menyelesaikan tes tersebut
Rata-rata
Disiplin
Mandiri
Skor
3.25
3.35
3.21
Contoh berikut merupakan masalah
non rutin dengan menyisipkan nilai
karakter pada materi matriks.
Gambar 3. Salah satu masalah non
rutin dengan nilai karakter peduli
lingkungan
5. Simpulan
Untuk meningkatkan kemampuan
pemecahan
masalah
matematika
siswa melalui pembelajaran berbasis
masalah berkarakter membutuhkan
komitmen yang tinggi antara siswa
dan guru. Penerapan nilai-nilai
karakter pada proses pembelajaran
sangat
penting
dalam
proses
pembentukan karakter diri para
siswa
itu
sendiri.
Melalui
pembelajaran matematika berbasis
masalah berkarakter, para siswa
dapat menyinergikan antara nilai
karakter dengan permasalahan yang
dihadapinya dalam sehari-hari.
Dalam proses pembelajaran, faktor
gender tidak memberikan pengaruh
yang signifikan. Keseluruhan proses
pembelajaran
dipengaruhi
oleh
perlakukan pembelajaran berbasis
masalah
berkarakter.
Penerapan
pembelajaran
berbasis
masalah
berkarakter
dapat
semakin
diterapkan dalam menanamkan nilai-
931
nilai karakter dalam
khususnya siswa SMA.
diri
siswa,
Saran
Berdasarkan
simpulan
hasil
penelitian, dapat dikemukakan saran
sebagai berikut terutama kepada
guru.
(1) pembelajaran berbasis masalah
berkarakter dapat dikembangkan
dan disesuaikan dengan kondisi
sekolah dan budaya lokal.
(2) guru dapat melakukan penelitian
lanjutan
dengan
meneliti
kemampuan matematis lainnya.
Daftar Pustaka
Author. (2016). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika yang
Berorientasi pada Model Problem Based Learning. Jurnal KREANO, 7 (2)
Effendi, Leo Adhar. (2012). Pembelajaran matematika dengan metode penemuan
terbimbing untuk meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan
masalah matematis siswa SMP. Jurnal Penelitian Pendidikan, 3 (2): 1-10
Fadillah, Syarifah. (2012). Pembentukan Karakter Siswa Melalui Pembelajaran
Matematika. Jurnal Paradikma, 6 (2): 142-148
Nafi’an, Muhammad Iman. (2011). Kemampuan Siswa dalam Menyelesaikan Soal
Cerita Ditinjau dari Gender di Sekolah Dasar. Prosidding Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema ”Matematika dan
Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran”, FMIPA UNY
Nata, Abuddin. (2009). Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Kencana:
Jakarta
NCTM. (2010). Why is Teaching with Problem Solving Important to Students’
Learning. Problem Solving Reasearch Brief
Pamungkas, dkk. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan
Kreativitas Belajar Matematika dengan Pemanfaatan Software Core Math
Tools (CMT). Prosiding: Seminar Nasional Pendidikan Matematika
Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana
Trianto.
(2010).
Mendesain
Model
Pembelajaran
Inovatif
Progresif.
Jakarta: Kencana
932
Redaksi Edumat PPPPTK Matematika menerima artikel naskah jurnal yang terkait
dengan pendidikan matematika.
Ketentuan penulisan dan untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi Redaksi.
Jurnal Edukasi Matematika