Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

REFORMASI REGULASI MELALUI METODE OMNIBUS LAW SEBAGAI UPAYA MENGATASI HIPERREGULASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Sebagai Negara Hukum yang menganut sistem hukum Eropa-Kontinental atau civil law, undang-undang menempati kedudukan yang fundamental dalam melaksanakan proses penyelenggaraan bernegara. Meskipun menduduki posisi yang penting dalam negara hukum Indonesia, namun secara substansi dan materi muatan yang terkandung banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atas tingkatannya. Seiring berkembangnya zaman dengan berbagai kompleksitas permasalahan yang ada di dalamnya, secara linier membawa implikasi pada meningkatnya tendensi untuk mengatur kebutuhan hukum tersebut dalam bentuk undang-undang agar menjadikan hukum yang lebih responsif. Pembentukan undangundang menggunakan metode omnibus menjadi sebuah terobosan hukum dalam bidang perundang-undangan di tengah masifnya kuantitas undang-undang di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan konseptual dan perundang-undangan, kajian ini bertujuan untuk menakar kompatibilitas metode omnibus sebagai teknik perancangan perundang-undangan di Indonesia guna mewujudkan orientasi reformasi peraturan perundang-undangan. Pada kesimpulannya, penerapan metode omnibus di Indonesia membutuhkan proses pengharmonisasian undang-undang agar tidak terjadi konflik norma yang bermuara pada ketidakpastian hukum. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus tetap menjadi guidance bagi pembentuk undangundang dalam menerapkan metode omnibus. Keterbukaan dan partisipasi publik dalam proses legislasi dengan metode omnibus mutlak diperlukan sebagai implementasi nilainilai demokrasi dan demokratisasi dalam negara hukum yang demokratis.

REFORMASI REGULASI MELALUI METODE OMNIBUS LAW SEBAGAI UPAYA MENGATASI HIPERREGULASI PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN Regulatory Reform Through The Omnibus Law Method As an Effort to Overcome The Hyperregulation of Statutory Regulations M. Adib Akmal Hamdi Fakultas Hukum Universitas Airlangga Dan Ridho Budaya Septarianto Fakultas Hukum Universitas Airlangga Abstrak Sebagai Negara Hukum yang menganut sistem hukum Eropa-Kontinental atau civil law, undang-undang menempati kedudukan yang fundamental dalam melaksanakan proses penyelenggaraan bernegara. Meskipun menduduki posisi yang penting dalam negara hukum Indonesia, namun secara substansi dan materi muatan yang terkandung banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atas tingkatannya. Seiring berkembangnya zaman dengan berbagai kompleksitas permasalahan yang ada di dalamnya, secara linier membawa implikasi pada meningkatnya tendensi untuk mengatur kebutuhan hukum tersebut dalam bentuk undang-undang agar menjadikan hukum yang lebih responsif. Pembentukan undangundang menggunakan metode omnibus menjadi sebuah terobosan hukum dalam bidang perundang-undangan di tengah masifnya kuantitas undang-undang di Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan konseptual dan perundang-undangan, kajian ini bertujuan untuk menakar kompatibilitas metode omnibus sebagai teknik perancangan perundang-undangan di Indonesia guna mewujudkan orientasi reformasi peraturan perundang-undangan. Pada kesimpulannya, penerapan metode omnibus di Indonesia membutuhkan proses pengharmonisasian undang-undang agar tidak terjadi konflik norma yang bermuara pada ketidakpastian hukum. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus tetap menjadi guidance bagi pembentuk undangundang dalam menerapkan metode omnibus. Keterbukaan dan partisipasi publik dalam proses legislasi dengan metode omnibus mutlak diperlukan sebagai implementasi nilainilai demokrasi dan demokratisasi dalam negara hukum yang demokratis. Kata Kunci : Omnibus law, hyperregulation, peraturan perundang-undangan, legislasi. Abstract As a Rechtstaat that adheres to a European-Continental legal system or civil law, Law occupies a fundamental position in carrying out the process of state administration. Even though it occupies an important position in the Indonesian Rechtstaat, substantially and materially the content contained is in conflict with the laws and regulations above its level. Along with the development of the times with various complexities of the problems that exist in it, linear implications are increasing in the tendency to regulate these legal needs in the form of laws to make the law more responsive. The formation of laws using the omnibus method is a legal breakthrough in the field of legislation in the midst of the massive quantity of laws in Indonesia. By using a conceptual and statute approach, this study aims to measure the compatibility of the omnibus method as a technique for drafting legislation in Indonesia in order to achieve an orientation to statutory reform. In conclusion, the application of the omnibus method in Indonesia requires a process of harmonizing laws so that there is no conflict of norms that lead to legal uncertainty. The principles of forming good laws and regulations must continue to provide guidance for legislators in applying the omnibus method. Openness and public participation in the legislative process using the omnibus method are absolutely necessary as the implementation of democratic values and democratization in a democratic Rechtstaat (democratische Rechtstaat). Keywords: omnibus law, hyperregulation, regulation of law, legislation. A. Pendahuluan Kebutuhan akan produk hukum berupa peraturan perundang-undangan dalam sebuah negara hukum (rechtstaat) tidak lagi dapat terelakkan. Indonesia sebagai negara hukum selalu dekat dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Prinsip negara hukum yang memberikan jaminan dan kepastian hukum (rechtszekerheid) dimanifestasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum baik sebagai legalitas perolehan dan sumber wewenang kepada pemerintah selaku pemegang serta penyelenggara kekuasaan pemerintahan untuk melakukan tindakan pemerintahan (bestuurshandelingen) maupun sarana perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia. Setiap wewenang harus mampu menunjuk dasar hukumnya. Apabila suatu tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah tidak ada dasar hukumnya dalam peraturan perundang-undangan, maka berpotensi dapat dikategorikan sebagai tindakan yang cacat wewenang (onbevoegheid). Negara hukum menempatkan komando tertinggi penyelenggaraan berbangsa dan bernegara tentu membutuhkan legalitas formil berupa peraturan perundang-undangan sebagai unsur esensialia guna menjalankan roda pemerintahan. Hukum berfungsi tidak hanya sebagai normativisasi nilai-nilai prinsipil dan moral dalam kehidupan masyarakat melainkan sebagai penyelenggara negara. Dalam negara hukum, hukumlah yang menjadi panglima tertinggi dalam menyelenggarakan roda pemerintahan, berbangsa, dan bernegara. Negara khususnya pemerintah hanya merupakan subjek personifikasi yang diberikan atribusi oleh hukum untuk menyelenggarakan pemerintahan. Nomokrasi sebagai identitas bangsa Indonesia yang secara afirmatif terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 meletakkan prinsip ideal bahwa negara Indonesia bukan dijalankan oleh kekuasaan belaka (machtstaat) melainkan kekuasaan yang dijalankan oleh hukum (rechtstaat). Oleh karena itu, sejatinya, segala bentuk tingkah laku, sikap, dan perilaku masyarakat didasarkan oleh hukum. The Rule of Law and Not of Man. Nilai-nilai fundamental negara hukum seperti equality before the law, due process of law, dan supremacy of law mustahil dapat tercapai apabila tidak dikonkretisasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dapat dilepaskan dari prinsip dan konsep negara demokrasi. Karena pentingnya kedaulatan rakyat itu, maka sumber norma yang terkandung dalam segala bentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat untuk umum haruslah berasal dari atau atas persetujuan dari rakyat sendiri sebagai pemilik kedaulatan atau kekuasaan tertinggi di Indonesia. 1 Untuk mengatur atau menentukan hukum yang nantinya akan mengikat dan membebani rakyat, haruslah didasarkan atas persetujuan rakyat sendiri. Negara tidak berhak mengatur rakyat apabila tidak ada hukum yang bersumber dari rakyat itu sendiri yang duduk di parlemen.2 Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa negara hukum yang bertopang pada sistem demokrasi pada pokoknya mengidealkan suatu mekanisme bahwa negara hukum itu haruslah demokratis, dan negara demokrasi itu haruslah didasarkan atas hukum.3 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sejatinya menaati prinsip-prinsip yang terkandung dalam negara demokrasi salah satunya partisipasi publik dan keterbukaan. Pada praktiknya, produk hasil legislasi maupun regulasi belum sepenuhnya memberikan hasil yang optimal sesuai dengan intensi yang diharapkan. Banyaknya tumpang tindih kewenangan dan terhambatnya laju investasi akibat berbagai izin dan prosedural yang kompleks merupakan sederet problematika perundang-undangan yang semakin masif. Kecenderungan perkembangan perundangundangan di Indonesia selama ini adalah banyaknya persoalan yang diatur dengan 1 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 261. 2 Ibid, hlm. 261. 3 Armawan, Rumusan Demokrasi dan Negara Hukum dalam Norma Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 Pasca Perubahan, Tesis Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, 2016, Hlm. 339. Undang-Undang, seolah Undang-Undang menjadi solusi yang paling baik dalam penyelesaian masalah padahal belum tentu memiliki urgensitas untuk diatur dengan Undang-Undang. Pemerintah seolah terjebak dengan metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih bersifat single-subject rules. Jika hal tersebut dibarengi dengan ketidaksinkronan substansi antar Undang-Undang sementara kuantitas UndangUndang tersebut banyak namun tidak implementatif, maka dapat memunculkan disharmonisasi legislasi. Fenomena tersebut menjadikan Indonesia mengalami apa yang dinamakan hyper regulation. Berdasarkan data, pada periode 2000 hingga 2015, telah terbit 12.471 produk hukum peraturan perundang-undangan. Bentuk Peraturan setingkat Menteri merupakan produk peraturan perundang-undangan yang paling banyak dengan total 8.311 produk hukum, disusul Peraturan Pemerintah sebanyak 2.446 produk, dan yang paling sedikit adalah PERPU yang hanya 49 produk hukum4. Merujuk data dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), sejak tahun 2014 hingga 2019 terdapat total 10.180 regulasi yang terbentuk di tingkat pusat, meliputi 131 Undang-Undang, 526 Peraturan Pemerintah, 839 Peraturan Presiden, dan 8.684 Peraturan Menteri. Dari banyaknya jumlah regulasi tersebut, terdapat regulasi yang menandakan hyper regulation di dalamnya, seperti konflik norma dan inkonsistensi peraturan perundangundangan. Permasalahan terkait konflik norma dan inkonsistensi peraturan perundangundangan dapat berimplikasi pada ketidakjelasan dan tumpang tindih substansi yang diatur dalam suatu perundang-undangan. Lebih lanjut lagi akan berpotensi pada ketidakpastian hukum, ketidakmanfaatan, serta ketidakadilan. Padahal, hukum hadir sebagai upaya untuk mewujudkan suatu kondisi bermasyarakat dimana orientasinya adalah untuk menciptakan harmonisasi pelaksanaan hukum, yang kemudian dapat mewujudkan tiga nilai dasar sebagaimana menurut Gustav Radbruch yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Sehingga dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan perlu untuk memperhatikan ketiga nilai tersebut. 4 Kementerian PPN/Bappenas, Strategi Nasional Reformasi Regulasi Mewujudkan Regulasi yang Sederhana dan Tertib, (Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas, 2015), hlm. 5 Selama kurun waktu tahun 2003 hingga 2020, total jumlah Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang berjumlah 1.378 atau 45% dari 3.061 keseluruhan Putusan Mahkamah Konstitusi. Pada tahun 2011, jumlah permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar sebanyak 86 permohonan. Angka ini melonjak drastis pada tahun 2012 sebanyak 118 permohonan dan mencatatkan lonjakan tertinggi sejak tahun 2003 yakni meningkat sebanyak 31 permohonan. Data tersebut menandakan bahwa sejak tahun 2003 sampai saat ini masih terdapat banyak Undang-Undang yang materi muatannya (het onderwerp) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan suatu Undang-Undang yang tidak sejalan dengan konstitusi menunjukkan masih kurangnya kualitas suatu Undang-Undang itu sendiri. Dimana seharusnya tingginya kuantitas Undang-Undang harus berbanding lurus dengan kualitasnya. Bilamana kuantitas Undang-Undang yang dihasilkan berbanding terbalik dengan kualitasnya maka terbentuknya Undang-Undang tersebut hanya akan memicu pertentangan dengan norma yang lebih tinggi (konstitusi), konflik norma, dan ketidakpastian hukum yang nantinya hanya akan menambah daftar Undang-Undang yang harus diuji di Mahkamah Konstitusi, pun hal tersebut menggambarkan sebagian rupa hyper regulation di Indonesia. Mengacu pada Hierarki Peraturan PerundangUndangan, maka peraturan perundang-undangan telah tersusun berdasarkan suatu tingkatan norma masing-masing. Norma yang lebih rendah tak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Dampak dari adanya hyper regulation adalah adanya pertentangan norma dalam suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini terjadi karena terlalu banyaknya peraturan yang dibuat dan dibarengi dengan kurangnya memperhatikan asas-asas dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang selanjutnya bermuara pada tumpang tindih norma. Tumpang tindih norma tersebut dapat terjadi pada beberapa Undang-Undang yang berada pada sektor yang berbeda padahal substansinya sama sehingga jelas materi muatan yang terkandung sebenarnya juga sama pula. Sejatinya sifat Undang-Undang yang seperti ini dapat digabungkan menjadi satu Undang-Undang yang lebih sistematis, efektif, dan koheren karena tujuan dari masing-masing Undang-Undang tersebut. Jika tidak digabungkan, maka keruwetan dan tumpang tindih peraturan tidak akan lepas dari pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Berangkat dari berbagai permasalahan tersebut, maka dalam rangka penyusunan dan pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih baik, berkualitas, harmonis dan sinkron, serta dapat menunjang pembangunan negara, maka dibutuhkan suatu metode pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dapat memperbaiki, mensinkronisasi dan mengharmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada agar tidak tumpang tindih dan metode yang dimaksud ialah metode Omnibus Law. B. Metode Penelitian Tipe penulisan dalam Karya Tulis Ilmiah ini adalah penelitian normatif. Penggalian dan pengkajian prinsip-prinsip negara hukum, negara demokrasi, dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menjadi bahan analisis hukum untuk menemukan benang merah penerapan omnibus di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam Karya Tulis Ilmiah ini meliputi conceptual approach dan statute approach. Pendekatan konseptual atau conceptual apporach digunakan untuk menjelaskan dan memperkuat konsep-konsep hukum yang berasal dari pandangan sarjana-sarjana dan doktrin hukum. Pendekatan perundang-undangan atau statute approach digunakan untuk memberikan analisis dan interpretasi terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Bahan hukum utama atau primer dalam Karya Tulis Ilmiah bersumber pada peraturan perundang-undangan, sedangkan bahan hukum penunjang atau sekunder didasarkan pada studi kepustakaan berupa literatur-literatur hukum baik berupa buku, jurnal, makalah maupun sumber non hukum yang memiliki relevansi dengan pembahasan. C. Pembahasan Konsep dan Teori Omnibus sebagai Metode Pembentukan Peraturan Perundangundangan Proses pembentukan undang-undang sebagai aturan hukum khususnya dalam negara civil law tentu mengalami proses politik yang panjang untuk dapat disahkan dan berlaku sebagai hukum positif. Semakin terdiversifikasinya komposisi anggota parlemen dengan divergensinya partai politik, maka secara linier akan semakin sulit untuk mencapai kesepakatan politik (political consent) membentuk undang-undang. Hal ini sesuai dengan premis yang dikembangkan oleh Mahfud MD yaitu hukum adalah produk politik.5 Belanda sebagai penganut sistem hukum civil law membutuhkan proses panjang untuk memberlakukan undang-undang di negaranya. Konstitusi Belanda menegaskan bahwa sebuah rancangan undang-undang menjadi undang-undang dari parlemen apabila telah disahkan oleh The States General (The House of Representatives of The States-General and Senate) dan telah diratifikasi oleh kerajaan.6 Schendelen mengatakan bahwa proses pengambilan keputusan dalam parlemen Belanda untuk menjadikan rancangan undang-undang menjadi hukum harus didukung oleh mayoritas anggota parlemen.7 Tentu dalam komposisi anggota parlemen, banyak pertarungan politik dan kepentingan yang dilakukan oleh partai dan koalisi untuk memberikan stimulus anggota parlemen saat formal votes diambil. Diferensiasi yang demikian merupakan sebuah konsekuensi dalam konstelasi politik yang dalam berbagai praktik seringkali menghambat hukum untuk berkembang selaras dengan perkembangan zaman dalam suatu negara. Perkembangan hukum terkadang tidak responsif dalam menjawab tuntutan perkembangan zaman. Bahkan, banyak hal yang belum diatur oleh hukum namun terjadi dalam praktik sehingga satu-satunya cara adalah memberikan beban kepada hakim untuk melakukan penafsiran hukum (rechtsvinding). Permasalahan lain yang muncul dalam pembentukan peraturan perundangundangan adalah disharmoni peraturan perundang-undangan. Dalam teori hukum dan 5 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Depok: PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 5. Art. 87, para. 1, Netherlands Constitution. 7 M.P.C.M van Schendelen, “Information and Decision Making in the Dutch Parliament”, https://www.jstor.org/stable/439515 Legislative Studies Quarterly, Volume 4 Nomor 2 Tahun 1976, (diakses tanggal 18 Desember 2020). 6 pembentukan peraturan perundang-undangan, metode omnibus atau omnibus law seringkali dipakai selain untuk proses deregulasi-simplikasi aturan hukum juga berfungsi sebagai mekanisme pengharmonisasian8 peraturan perundang-undangan dalam suatu negara. Secara etimologis, Omnibus Law dan Omnibus Bill merupakan dua frasa yang sama dan tidak ada perbedaan. Frasa Omnibus Bill memang erat kaitannya dengan sistem hukum common law sebagai basis tumbuh dan berkembangnya. Omnibus sendiri bermakna “A volume containing several novels or other items previously published separately, comprising several items”.9 Black Law Dictionary karya Bryan A. Garner menyebutkan bahwa Omnibus adalah relating to or dealing with numerous objects or item at once, including many things or having various purposes (Garner 2009). The House of Commons (Canada) mendefinisikan Omnibus Bill adalah “A Bill consisting of a number of related but separate parts that seeks to amend/or repeal one or several existing Acts and/or to enact one or several new Acts.” O’Brien and Bosc (2009) seperti dikutip oleh Louis Massicotte menjelaskan bahwa Omnibus Bill seeks to amend, repeal or enact several Acts, and is characterized by the fact that it has a number of related but separate “initiatives”.10 Abbe R. Gluck menggunakan istilah Omnibus Legislation untuk mendefinisikan proses pembentukan undang-undang yang menggunakan metode Omnibus11 dan 8 Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Permenkumham No. 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang Dibentuk oleh Perancang Peraturan Perundangundangan mendefinisikan pengharmonisasian adalah proses penyelarasan substansi rancangan peraturan perundang-undangan dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi peraturan perundang-undangan yang merupakan satu kesatuan yang utuh dalam kerangka sistem hukum nasional. 9 Radian Salman, “Omnibus Law : Perspektif Perundang-undangan”, (Presentasi disampaikan pada Mata Kuliah Hukum Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 17 September 2020). 10 Louis Massicotte, “Omnibus Bills in Theory and Practice”, Canadian Parliamentary Review, http://revparl.ca/36/1/36n1_13e_Massicotte.pdf, (diakses tanggal 18 Desember 2020). 11 Abbe R. Gluck, Anna Joseph O`Connell, and Rosa Po, “Unorthodox Lawmaking, Unorthodox Rulemaking”, Columbia Law Review, Volume 115, https://digitalcommons.law.yale.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=6193&context=fss_papers (diakses tanggal 20 Desember 2020). menegaskan bahwa “There is no single definition of omnibus legislation, but there is consensus that legislation that "packages together several measures into one or combines diverse subjects into a single bill.” Lebih lanjut dirinya memberikan pemahaman bahwa Omnibus Bills membawa bersama-sama banyak undang-undang yang berbeda dan masing-masing berangkat dari proses konvensional berbagai cara. Setidaknya dapat disimpulkan beberapa ciri-ciri Omnibus Bills yaitu selalu terdiri dari: (1) berbagai mini-bills; (2) bagian undang-undangnya terpisah walaupun berada dalam satu kesatuan undang-undang, atau setidaknya terpisah topik dalam satu subjek; (3) dirancang oleh komite kongres yang berbeda dan terhubung satu sama lain.12 The Right Honorable Herb Gray mengatakan bahwa elemen utama dari Omnibus Bill adalah “unifying purpose tying together the multitude of statutes”. Omnibus Bills bukanlah sesuatu yang baru. O`Brien and Bosc mengatakan bahwa praktik Omnibus Bills telah terjadi sejak lama tepatnya pada tahun 1888 yang mengafirmasi dua perjanjian perkeretaapian yang terpisah. Banyak negara-negara seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Filipina telah menerapkan metode Omnibus Law karena menawarkan pembenahan permasalahan timbulnya konflik dan tumpang tindih (overlapping) suatu norma/peraturan perundang-undangan.13 Apabila akan membenahi satu per satu peraturan perundang-undangan tentu akan memakan biaya besar dan waktu yang lama.14 Belum lagi dalam proses perancangan dan pembentukan peraturan perundangundangan serta pengambilan persetujuan yang seringkali mencapai deadlock. Louis Massicotte mengidentifikasi setidaknya manfaat yang dapat diperoleh oleh pemerintahan apabila menerapkan metode Omnibus, yaitu Omnibus Bills menghemat waktu dan memperpendek proses legislasi dalam pembentukan undang-undang karena 12 Salah satu contohnya adalah The 1990 Air Act yang diinisiasi oleh Bush I Administration dikerjakan oleh 9 (sembilan) kongres berbeda. 13 Firman Freaddy Busroh, “Konseptualisasi Omnibus dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan”, Jurnal Arena Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Vol. 10 https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena/article/view/327 (diakses tanggal 20 Desember 2020). 14 Berdasarkan data Indonesia Budget Center (IBC), IBC menyebutkan jumlah anggaran DPR untuk pembuatan satu RUU jika dirata-rata sebesar Rp. 6,56 Miliar. Biaya ini tidak termasuk proses legislasi yang berasal dari inisiatif/usulan pemerintah, intensi pemerintahan memperkenalkan Omnibus Bills adalah untuk membawa bersama-sama semua hasil amandemen legislatif dalam satu undang-undang tunggal.15 Salah satu bukti penerapan Omnibus Bills adalah penerapan The Criminal Law Amendment Act di Kanada pada tahun 1968-69. Menteri Pierre Trudeau memperkenalkan Omnibus Bills tersebut dengan orientasi untuk menyelaraskan perkembangan hukum pidana Kanada agar mampu responsif dan menjawab tantangan zaman. Undang-undang ini merombak the Criminal Code of Canada meliputi: dekriminalisasi perilaku homoseksualitas untuk laki-laki di atas 21 tahun, liberalisasi aborsi, dekriminalisasi kontrasepsi, lotere atau perjudian, kepemilikan senjata, hukuman minum dan mengemudi, melecehkan panggilan telepon, pengaturan iklan yang menyesatkan dan bahkan kekejaman terhadap hewan.16. Tidak dapat dipungkiri, inisiasi dalam mengaplikasikan metode Omnibus sejak dahulu telah memperoleh banyak tantangan. The single-subject rules dianggap lebih mampu mencerminkan penghormatan terhadap hak-hak privat dan dianggap merupakan upaya preventif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir/abuse of power)17 daripada Omnibus Bill yang dianggap erat dengan logrolling. Bahkan, pada kasus Commonwealth v. Barnett (199 Pa. 161), The Commonwealth Court of Pennsylvania pernah mempertegas prinsip “No law shall embrace more than one subject, which shall be expressed in one title” yang mengatur aturan hukum subjek tunggal. Majelis Hakim kemudian memberikan komentar terhadap proses legislatif dalam putusan yudisialnya yang pada pokoknya melarang bagian dari bills mengandung lebih dari satu subjek. Pertimbangan yuridisnya adalah apabila mengandung lebih dari satu subjek akan menyebabkan kebingungan oleh karena campur aduk subjek yang tidak sesuai. Indonesia sebagai negara dengan sistem hukum civil law yang bertumpu pada legalitas berupa aturan hukum tertulis yakni undangAdam M. Dodek, “Omnibus Bills: Constitutional Constraints and Legislative Liberations”, Ottawa Law Review, Vol. 48 No. 1, https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2889773 (diakses tanggal 20 Desember 2020). 16 Louis Massicotte, Op. Cit, hlm. 14. 17 Ibnu Sina Chandranegara, “Kompatibilitas Penggunaan Metode Omnibus Dalam Pembentukan Undang-Undang”, Jurnal IUS QUIA IUSTUM, Vol. 27, No. 2, https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/view/14956 (diakses tanggal 22 Desember 2020). 15 undang, masih memegang teguh prinsip single-subject rules seperti yang banyak diterapkan di berbagai negara, termasuk Amerika yang nantinya akan dipaparkan. Single-subject rules dipandang sebagai pengundangan undang-undang yang dapat menghindarkan dari adanya potensi kompleksitas permasalahan apabila diundangkan dalam produk undang-undang yang berbeda. Kuatnya doktrin single-subject rules di Indonesia juga secara implisit telah dipertegas dalam Lampiran II Bab I angka 3 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan . Tidak setiap undang-undang harus diundangkan metode Omnibus. Sebelum memutuskan akan menggunakan metode Omnibus, harus senantiasa diperhatikan beberapa prinsip fundamental omnibus yang dikemukakan Adam M. Dodek (Dodek 2017) yaitu: (1) “unifying principle”; (2) “single purpose”; (3) “unifying thread”; (4) “unitary purposes”. Lebih lanjut, Adam M. Dodek memberikan pengertian bahwa prinsip The “unifying purpose” dalam pembentukan undang-undang menggunakan metode omnibus harus menyediakan dasar kebenaran normatif yang penting (an important normative justification, biasa juga dikenal dengan ratio decidendi dan legal reasoning – Penulis.) bagi Omnibus Bills itu sendiri untuk diberlakukan. Pemberlakuan undangundang dengan metode omnibus harus juga bersifat prediktif dan harus mampu meminimalisasi implikasi negatif kemudian hari yang timbul sebagai konsekuensi logis pengundangan undang-undang dengan metode omnibus. Louis Massicotte seperti yang dikutip oleh Adam M. Dodek (Dodek 2017) menuliskan bahwa “The underlying basic principle or purposes of an omnibus bill can be anything, ranging from innocuous to the most controversial.” An Important Normative Justification tersebut harus mampu memberikan jaminan bahwa dengan diberlakukannya Omnibus Bill tersebut memberi kemanfaatan dan kemaslahatan secara umum sesuai dengan kepentingan publik dan tujuan hukum yaitu mencapai kemanfaatan (utility). A contrario, apabila normative justification tersebut erat dan lebih banyak kepentingan kekuasaan, maka hal tersebut membenarkan premis yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf seperti dikutip Mahfud MD (MD 2009) yaitu hukum menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan atau identik dengan kekuasaan. Proses legislasi yang buruk demikian merupakan sebuah kemunduran negara hukum demokratis (democratische rechtstaat) Indonesia karena undang-undang hanya ditafsirkan produk politik kehendak dari kekuasaan. Urgensi Penerapan Metode Omnibus Law di Indonesia Penopang negara hukum adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa, terlebih lagi bagi negara penganut sistem civil law. Hal ini pun guna mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hadir sebagai dasar yuridis dalam menciptakan produk legislasi yang sejalan dengan konstitusi dan Pancasila. Walaupun Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 telah mengatur mengenai hierarki, materi muatan, dan asas-asas yang harus dipenuhi dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, tetapi pada kenyataannya kualitas dan kuantitas legislasi di Indonesia memang telah menjadi persoalan tersendiri. Begitu banyak aturan yang dibentuk, bahkan jika merujuk pada data dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia pada akhir tahun 2019 jumlah regulasi mencapai 42.996, sehingga muncul hyper regulation. Fenomena hyper regulation ini tidak semata-mata karena jumlah regulasi yang terlalu banyak saja, melainkan karena adanya tumpang tindih di dalamnya, lebih lanjut lagi terdapat pertentangan norma, ketidaksinkronan, dan disharmonisasi aturan. Seperti yang terjadi pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 22 ayat (1) huruf a dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Ketentuan Agraria (UUPA) Pasal 29. Pengaturan jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha pada Undang-Undang Penanaman Modal lebih panjang (paling lama 95 tahun) dibandingkan dengan pengaturan dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Ketentuan Agraria (paling lama 60 tahun), padahal keduanya sama-sama memiliki substansi yang sama, yakni pemberian Hak Guna Usaha. Jika Undang-Undang Penanaman Modal memang memberikan pengaturan jangka waktu lain dengan maksud untuk mempermudah daya saing Indonesia di bidang investasi, maka sebagai dua Undang-Undang yang berkedudukan sederajat seharusnya pasal-pasal pada Undang-Undang Pokok-Pokok Ketentuan Agraria yang tidak sinkron dengan pasal pada peraturan yang lebih baru yakni UndangUndang Penanaman Modal, seharusnya dicabut terlebih dahulu. Hal inilah yang memunculkan disharmoni regulasi sehingga akan berdampak pula pada pelaksanaannya.18 Semestinya pembentukan undang-undang memenuhi asas formal dan asas materiil. Asas-asas formil mencakup asas tujuan yang jelas demi keadilan, asas lembaga yang tepat untuk membentuk undang-undang, asas perlu pengaturan, asas dapat dilaksanakan, dan asas konsensus. Adapun asas-asas materiil meliputi asas terminologi dan sistematika yang benar, asas dapat dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum, dan asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.19 Kasus yang terjadi pada kedua undang-undang tersebut di atas sejatinya tidak memenuhi asas-asas materiilnya, yang dalam hal ini ialah asas kepastian hukum sebab dengan perbedaan jangka waktu di kedua undang-undang tersebut akan mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat. Jika kondisi ini dibairkan saja tanpa adanya langkah evaluasi maupun penataan kembali terhadap peraturanperaturan tersebut maka hyperregulation ini belum dapat dikatakan teratasi. Memasuki persoalan berikutnya, banyaknya topik permasalahan yang sesungguhnya dapat diatur dengan satu produk peraturan perundang-undangan tetapi justru diatur dalam beberapa produk peraturan perundang-undangan. Seperti yang 18 Ibnu Sina Chandranegara, “Bentuk-Bentuk Perampingan dan Harmonisasi Regulasi”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Vol. 26 No. 3, September 2019, hlm. 17, https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/view/13070 (diakses 21 Desember 2020) 19 Ferry Irawan Febriansyah, ”Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, https://jurnalJurnal Perspektif , Vol 21 No. 3, September 2016, perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/586 (diakses 21 Desember 2020) tampak dalam undang-undang mengenai pendidikan. Selain Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terdapat pula Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dimana kedua undang-undang tersebut bersifat khusus pada sektor pendidikan.20 Kerumitan regulasi terus berlanjut hingga merambah ke sektor kesehatan. Sebagai contohnya, dibentuk Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, padahal Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan di dalamnya telah mengatur mengenai profesi dokter dan profesi perawat, pun ketika ditelaah lebih lanjut sebenarnya sudah ada peraturan yang lebih spesifik mengenai profesi dokter yaitu Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Tak berhenti sampai disitu, materi muatan yang sama namun dipisah menjadi lebih dari satu peraturan juga terjadi pada Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dengan Undang-Undang No. 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang di dalamnya juga mengatur mengenai rumah sakit. Aturan terkait bidang kesehatan tampaknya masih belum sistematis dan seolah berceceran di berbagai aturan, sementara materi muatan yang diatur pada undang-undang tersebut di atas sama-sama mengatur tentang kesehatan, bahkan terdapat undang-undang yang mengatur kembali muatan yang telah dikandung oleh undang-undang lain yang sebelumnya. Persoalan semacam ini sesungguhnya dapat diatasi dengan pengaturan melalui satu produk peraturan perundang-undangan saja. Hadirnya konsep omnibus law ini mengatur berbagai produk peraturan perundang-undangan dengan norma hukum yang akan diharmonisasikan. Jika konsep ini diterapkan, maka dapat mengisi celah sistematisasi hukum dalam sistem peraturan perundang-undangan.21 Antoni Putra, “Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi”, Jurnal LEGISLASI INDONESIA, Vol 17 No. 1, Maret 2020, hlm. 4, https://ejurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/602 (diakses 20 Desember 2020) 20 Sodikin, “Paradigma Undang-Undang Dengan Konsep Omnibus Law Berkaitan Dengan Norma Hukum Yang Berlaku di Indonesia”, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 9 No. 1, April 2020, https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/view/393 (diakses 21 Desember 2020) 21 Negara hukum harus mampu menjaga dan mendorong pencapaian tujuan nasional yang secara umum termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mencapai tujuan nasional, lima program prioritas yang akan dilaksanakan mencakup dua diantaranya ialah investasi dan reformasi birokrasi. Hyper regulation telah berdampak pada turunnya kualitas regulasi serta tidak terkendalinya kuantitas regulasi sehingga penyederhanaan birokrasi harus dilakukan mengingat kendala birokrasi yang terkesan rumit dan berkelit hingga menghambat penciptaan lapangan kerja dan investasi. Dari perspektif ekonomi dan sosial, dampak dari kegagalan pengelolaan dan penataan regulasi nasional tercermin antara lain dari: a) Inefisiensi anggaran Hyper regulation merupakan beban bagi APBN dan APBD, baik pada saat pembentukan, implementasi, maupun penegakannya. Hal ini terjadi ketika peraturan perundang-undangan yang dioperasionalkan ternyata tidak memberi kemanfaatan bagi masyarakat luas karena alasan tertentu, misalnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tumpang tindih, atau tidak operasional.22 b) Menurunnya minat investasi Hyper regulation jelas saja mengakibatkan ketidakpastian hukum. Bagi investor, ketiadaan kepastian hukum menjadi hambatan besar karena investor tidak memperoleh jaminan atas investasi yang dijalaninya. Akibatnya, investor lebih menahan diri untuk melakukan investasi di Indonesia atau mengalihkan investasinya di negara lain yang lebih sederhana birokrasinya dan menjamin kepastian hukum atas investasinya.23 c) Hilangnya kesempatan dan lapangan kerja 22 23 Ibid, hlm. 26. Ibid, hlm. 27. Rendahnya investasi akibat para investor kurang berminat untuk menanamkan investasinya, mengakibatkan hilangnya kesempatan dan lapangan kerja terutama bagi tenaga kerja lokal Sebagai penopang negara hukum, kualitas dan kuantitas peraturan perundangundangan harus dikelola dengan baik agar mampu menghasilkan produk peraturan perundang-undangan yang sederhana dan tertib. Berangkat dari berbagai hal tersebutlah maka metode omnibus law menjadi urgen untuk diterapkan di Indonesia guna menjawab berbagai persoalan terkait hyper regulation yang berdampak terhadap tujuan nasional negara. Penyesuaian Yang Perlu Dilakukan Apabila Menerapkan Metode Omnibus Law Perbedaan sistem hukum, dimana metode omnibus law lahir dari sistem hukum common law yang berbeda dengan sistem hukum Indonesia yang memiliki struktur, substansi, dan budaya tersendiri. Konsep omnibus law yang sudah dipraktekkan di Amerika Serikat, Irlandia, dan di beberapa negara lainnya yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, kini diadopsi oleh Indonesia sebagai upaya dalam melakukan terobosan di bidang hukum. Dengan sistem hukum yang berbeda bukan berarti metode omnibus law ini tidak lazim dan tak dapat diterapkan di Indonesia, justru metode omnibus law bisa diterapkan di Indonesia untuk penyeragaman dan harmonisasi kebijakan pusat dan daerah dalam mendorong iklim investasi dengan cara yang lebih praktis dan efisien sebagai solusi hyper regulation yang terjadi saat ini, namun harus melalui penyesuaianpenyesuaian terhadap kaidah-kaidah dalam sistem hukum nasional. Penyesuaian ini bertujuan agar pengadopsian hukum (omnibus law) sebagai kebijakan baru pembangunan hukum nasional dapat sesuai dengan jiwa dan roh hukum Indonesia, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, dasar ideologis-filosofis Pancasila yang merupakan the original paradicmatic value of Indonesia culture and society tanpa adanya pengabaian posisi dan keberadaan Indonesia di tengah-tengah pergaulan internasional. Dengan demikian hukum yang dilahirkan adalah hukum yang commit nationally, think globally and act locally. Kebijakan membuat undang-undang yang memadupadankan unsur hukum asing dengan hukum yang bersumber dari the original paradicmatic values of Indonesian culture and society haruslah dilakukan secara cermat dan penuh perhitungan, agar hukum yang akan diberlakukan tidak tercabut dari akar ideologisfilosofis negara dan bangsa Indonesia.24 Penyesuaian yang dilakukan harus memerhatikan meliputi: prinsip perancangan dan pembentukan peraturan perundangundangan, sinkronisasi wewenang, dan partisipasi publik. Implementasi metode omnibus law untuk mengatasi hyper regulation harus mengacu pada prinsip-prinsip perancangan dan pembentukan peraturan perundangundangan yaitu pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang No. 15 Tahun 2019. Dengan demikian, dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 5 UndangUndang No. 12 Tahun 2011, yang meliputi: 1. “Asas kejelasan tujuan” Bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan konstitusi Indonesia. 2. “Asas Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” Setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang, pun ketika akan memformulasikan konsep omnibus law ini terhadap regulasi, juga harus sesuai dengan kewenangan pejabat pembentuknya. 3. “Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” Ahmad Ulil Aedi, Sakti Lazuardi, Ditta Chandra Putri, “Arsitektur Penerapan Omnibus Law Melalui Transplantasi Hukum Nasional Pembentukan Undang-Undang”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 14 No. 1, Maret 2020, hlm. 8, https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/926 (Diakses 23 Desember 2020) 24 Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarkinya. 4. “Asas dapat dilaksanakan” Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitasnya di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. 5. “Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” Bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang nantinya diformulasikan dengan metode omnibus law dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan masyarakat serta memberikan kemanfaatan. 6. “Asas kejelasan rumusan” Pembentukan peraturan perundang-undangan melalui metode omnibus law nantinya harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dipahami sehingga tidak ada multitafsir. 7. “Asas keterbukaan” Mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan undang-undang yang dibuat dengan metode omnibus law harus bersifat transparan dan terbuka. Dengan memerhatikan asas-asas dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, pembentukan undang-undang melalui metode omnibus law dapat menghasilkan legislasi yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dapat dilaksanakn, serta dapat berlaku secara efektif dan efisien karena sesuai dengan kepentingan umum.25 Penyesuaian selanjutnya mengenai sinkronisasi wewenang pejabat negara yang berkaitan. Pembagian kewenangan yang paling mendasar dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berpijak pada produk omnibus law yang pertama di Indonesia yakni Undang-Undang Cipta Kerja, substansi di dalamnya cenderung bercorak sentralistik. Hal ini terlihat pada pemangkasan izin-izin yang umumnya merupakan kewenangan daerah menjadi tersentralisasi ke pemerintah pusat melalui skema perizinan berusaha, bertentangan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.26 Penerapan metode omnibus law pada Undang-Undang Cipta Kerja memang menuai beberapa persoalan yang salah satunya adalah terkait wewenang, sehingga diperlukan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenai pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang mengadopsi metode omnibus law karena materi muatan di dalam suatu peraturan perundang-undangan sejatinya juga mengatur mengenai wewenang pelaksanaan dari pejabat negara terkait. Untuk itu, dalam mengharmonisasikan dan mengatasi hyper regulation melalui metode omnibus law perlu memerhatikan sinkronisasi wewenang dari pejabat negara yang bersangkutan. Secara substansial produk peraturan perundang-undangan dikatakan berkualitas bilamana menampung dan melindungi seluruh kepentingan masyarakat secara luas, sehingga faktor partisipasi publik merupakan hal yang esensial dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.27 Partisipasi publik dalam penerapan metode omnibus law dapat berupa keikutsertaan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari tahap Bau Inggit AR, “Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah”, Jurnal Restorative Justice, Vol. 3 No. 1, Mei 2019, hlm. 11, http://scholar.google.co.uk/citations?user=Lx8KroMAAAAJ&hl=en (Diakses 23 Desember 2020) 26 Ibid, Hlm. 16. 27 Azim Hamidi dkk, “Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif”, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2008) hlm. 48. 25 Andi perencanaan hingga tahap evaluasi.28 Nonet dan Selznick berpendapat bahwa pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan produk hukum harus tampak pada proses pembentukannya yang partisipatif dengan mengundang sebanyakbanyaknya partisipasi dari berbagai elemen masyarakat.29 Dalam prosesnya, selain pejabat negara yang berwenang, pembentukan produk hukum berupa peraturan perundang-undangan dengan mengadopsi konsep omnibus law, juga dapat melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan sebagai contohnya adalah kalangan akademisi, organisasi masyarakat, dan para ahli di bidang objek yang diatur oleh suatu peraturan perundang-undangan.. Sehingga hadirnya metode omnibus law ini tak hanya mengharmonisasikan regulasi di Indonesia melainkan memberikan kemanfaatan pada masyarakat sebagaimana menurut Jeremy Bentham dalam teori utilitarianismenya yang mengatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mencapai the greatest happiness for the greatest number of people. Penyesuaian-penyesuaian dalam mengadopsi metode omnibus law untuk diterapkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia sejatinya merupakan langkah yang perlu ditempuh agar hadirnya metode baru ini tetap selaras dengan sistem hukum nasional serta ideologis-filosofis bangsa Indonesia. Implikasinya, apabila penyesuaian-penyesuaian tersebut di atas dilaksanakan dengan baik dan matang, tidak mustahil akan berefek positif bagi negara ini. Setidaknya terdapat lima kelebihan penerapan konsep omnibus law dalam mengatasi hyper regulation di Indonesia antara lain: (Busroh 2017) 1. Mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien; 28 Eko Noer Kristiyanto, Loc.Cit. dan Philip Selznick, “Law and Society in Transition: Toward Responsive Law”, dalam Antoni Putra, “Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi”, Jurnal LEGISLASI https://eINDONESIA, Vol 17 No. 1, Maret 2020, hlm. 6, jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/602 (Diakses 25 Desember 2020) 29 Philipe Nonet 2. Menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi; 3. Mampu memutus rantai birokrasi menjadi sederhana sehingga pengurusan perizinan lebih terpadu, efektif, dan efisien; 4. Meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus law yang terpadu; 5. Adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.30 D. Penutup Omnibus law sebagai terobosan hukum progresif hadir untuk menjadi solusi atas permasalahan hyper regulation. Walaupun terdapat perbedaan sistem hukum, tetapi konsep omnibus law dapat diterapkan di Indonesia yang bercorak civil law. Dalam menerapkannya diperlukan penyesuaian-penyesuaian agar tetap sejalan dengan dasar ideologis-filosofis pancasila dan sistem hukum nasional. Penyesuaian tersebut harus memperhatikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan koordinasi dan sinkronisasi wewenang pembentuk undang-undang serta sangat penting untuk mengoptimalkan partisipasi publik. Apabila dalam mengadopsi metode omnibus law telah menempuh penyesuaian-penyesuaian tersebut, maka metode ini akan memberikan manfaat seperti perampingan dan pembenahan regulasi, mempermudah investasi, memperlancar pembangunan nasional, dan mensejahterakan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Agnes Fitriyantica, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Indonesia Melalui Konsep Omnibus Law”, Jurnal Gema Keadilan, Vol. 6 Edisi. 3, hlm. 303, https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/view/6751 (Diakses 25 Desember 2020) 30 Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan Kementerian PPN/Bappenas. 2015. Strategi Nasional Reformasi Regulasi Mewujudkan Regulasi Yang Sederhana dan Tertib, (Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas). Hamidi, Azim, et al., Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2008) MD, Mahfud. Politik Hukum di Indonesia, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada) Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010) B. Jurnal Ilmiah Aedi, Ahmad Ulil, et al., “Arsitektur Penerapan Omnibus Law Melalui Transplantasi Hukum Nasional Pembentukan Undang-Undang”. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum. Vol. 14 No. 1, Maret 2020, https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/926 (Diakses 23 Desember 2020) AR, Andi Bau Inggit, “Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah” Jurnal Restorative Justice. Vol. 3 No. 1, Mei 2019, http://scholar.google.co.uk/citations?user=Lx8KroMAAAAJ&hl=en (Diakses 23 Desember 2020) Busroh, Firman Freaddy, “Konseptualisasi Omnibus dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan”. Jurnal Arena Hukum. Vol 10 No. 2, Agustus 2017, https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena/article/view/327 (diakses tanggal 20 Desember 2020). Chandranegara, Ibnu Sina, “Bentuk-Bentuk Perampingan dan Harmonisasi Regulasi”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Vol. 26 No. 3, September 2019, hlm. 17, https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/view/13070 (diakses 21 Desember 2020) Chandranegara, Ibnu Sina, “Kompatibilitas Penggunaan Metode Omnibus Dalam Pembentukan Undang-Undang”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. Vol. 27 No. 2, Mei 2020, https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/view/14956 Desember 2020). (diakses tanggal 22 Dodek, Adam M, “Omnibus Bills: Constitutional Constraints and Legislative Liberations”. Ottawa Law Review. Vol. 48 No. 1, https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2889773 (diakses tanggal 20 Desember 2020). Febriansyah, Ferry Irawan, “Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”. Jurnal Perspektif. Vol. 21 No. 3, September 2016, https://jurnalperspektif.org/index.php/perspektif/article/view/586 (diakses 21 Desember 2020) Fitriyantica, Agnes, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Indonesia Melalui Konsep Omnibus Law. Jurnal Gema Keadilan”. Vol. 6 Edisi 3, https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/view/6751 (Diakses 25 Desember 2020) Gluck, Abbe R., “Unorthodox Lawmaking, Unorthdox Rulemaking”. Columbia Law Review. Vol. 115, https://digitalcommons.law.yale.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=6193&context=fss_p apers (diakses tanggal 20 Desember 2020) Massicotte, Louis, “Omnibus Law in Theory and Practice”. Canadian Parliamentary Review, Spring 2013, http://revparl.ca/36/1/36n1_13e_Massicotte.pdf, (diakses tanggal 18 Desember 2020). Putra, Antoni, “Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi”. Jurnal LEGISLASI INDONESIA. Vol. 17 No. 1, Maret 2020, https://ejurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/602 (diakses 20 Desember 2020) Schendelen, M.P.C.M van, “Information and Decision Making in the Dutch Parliament”. Legislative Studies Quarterly. Vol. 1 No. 2, Mei 1976, https://www.jstor.org/stable/439515 (Diakses 18 Desember 2020) Sodikin, “Paradigma Undang-Undang Dengan Konsep Omnibus Law Berkaitan Dengan Norma Norma Hukum Yang Berlaku di Indonesia”. Jurnal Rechtsvinding. Vol. 9 No. 1, April 2020, https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/view/393 (diakses 21 Desember 2020) C. Skripsi/Tesis/Disertasi/Pidato Ilmiah/Presentasi Ilmiah Salman, Radian, “Omnibus Law : Perspektif Perundang-undangan”, (Presentasi disampaikan pada Mata Kuliah Hukum Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 17 September 2020) Armawan, “Rumusan Demokrasi dan Negara Hukum dalam Norma Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 Pasca Perubahan”, Tesis Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, 2016. D. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Kedokteran Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan BIODATA PENULIS M. Adib Akmal Hamdi merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya tahun ke-dua atau semester 4. Penulis aktif dalam organisasi Masyarakat Yuris Muda Airlangga sebagai Staf Divisi Constitutional Moot Court Competition, Staf Kementerian Agama Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Penulis juga pernah menjadi Constitutional Content Creator di Advokat Konstitusi selama dua bulan. Beberapa penelitian, esai, dan penulisan ilmiah yang pernah dilakukan antara lain berjudul: “Memperkuat Whistleblowing System sebagai Upaya Penanggulangan Korupsi Politik dan Institusi Publik” yang berhasil meraih Juara Harapan 1 dalam Kompetisi DEMA Fasih Youth Law Fair 2021 dan dibukukan dalam Antologi Esai Hukum terbitan SATU PRESS IAIN Tulungagung. “Penegakan Hukum yang Berkarakter Pancasilais dalam Rangka Mewujudkan Keadilan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia” dan “Perubahan Norma Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagai Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia dalam Keadaan Darurat” yang keduanya menjadi 10 besar dalam Kompetisi Brawijaya Law Fair IX 2019 dan Kompetisi Fasih Law Fair 2021. Ridho Budaya Septarianto merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga tahun ke-dua atau semester 4. Penulis aktif dalam organisasi Masyarakat Yuris Muda Airlangga sebagai Ketua Divisi Debat, Amnesty International Chapter Universitas Airlangga sebagai Ketua Divisi Internal, Staf Kementerian Seni dan Olahraga Airlangga University Bidikmisi Organization, dan Staf Divisi Keanggotaan UKM Paduan Suara Universitas Airlangga. Beberapa penulisan ilmiah dan esai yang pernah dilakukan penulis antara lain: “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Sebagai Kamar Kedua Dalam Sistem Bikameral Di Indonesia” yang telah dipublikasikan oleh Justitia Jurnal Hukum Volume 4, Nomor 1, April 2020. “Reformasi Tak Akan Dikorupsi Asalkan Ekspresi Milenial Tidak Dieksekusi” yang berhasil meraih Juara 1 dalam Esai Opini National Law Student Conference 2020, dan “Implementasi Prinsip Penanganan Perubahan Iklim dalam SDGs 2030: Optimalisasi Peran Masyarakat Adat dalam Pengurangan Tingkat Deforestasi dan Degradasi Hutan” yang berhasil menjadi Finalis dan Best Paper dalam Kompetisi Esai Pendidikan Nasional 2021. Nama : M. Adib Akmal Hamdi Alamat Email : adibakmal83@gmail.com Nomor Telepon : 087758482495 Nama : Ridho Budaya Septarianto Alamat Email : ridhoridhiz@gmail.com Nomor Telepon : 081329919274