Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
2019, Priskila Anggi D.
The Father (Bapa) mengutus dan memperanakkan The Son yang adalah The Word dan mengeluarkan Holy Spirit. The Father atau Sang Bapa merupakan kehadiran Allah yang paling utama sehingga disebut The Fountain of the Godhead. Disebut “Bapa” bukan karena sebagai bentuk metafora tetapi memang sudah ada sejak kekekalan. Sedangkan The Son begotten from The Father. The Father tidak berkehendak untuk memiliki Anak tetapi karena NATUR-NYA maka Bapa memperanakkan Anak. Karena begotten from The Father, Sang Anak adalah the image of God (2 Cor 4:4) serta God’s perfect idea of God. The Son mengeluarkan Holy Spirit. Sehingga dapat diketahui bahwa Holy Spirit bukanlah diperanakkan melainkan dikeluarkan atau dipancarkan dari The Father dan The Son. Holy Spirit adalah the act of Love of God. Ada hubungan ontologis dan ekonomis diantara The Father, The Son, dan Holy Spirit. Secara ontologis keberadaan Allah itu apa adanya, sehingga The Father, The Son, dan Holy Spirit sejajar. Sedangkan secara ekonomis atau berupa covenant atau mutual agreement dalam kekelan memutuskan bahwa The Father adalah first person of Trinity dan atas keputusan The Father, The Son, dan Holy Spirit, The Father mengutus The Son. Dari pembelajaran ini simpulkan bahwa ada satu Bapa, satu Anak, dan satu Roh Kudus tetapi The Three are The One God. Melihat bagaimana The Father, The Son, dan Holy Spirit berelasi khususnya secara ontologis dapat diketahui bahwa kedudukan mereka dalam keallahan adalah sejajar meskipun secara ekonomis The Father, The Son, dan Holy Spirit memutuskan The Father adalah first person of Trinity, the Son adalah second person, dan Holy Spirit adalah third person. Sebagai guru Kristen sebaiknya kita bisa lebih menghargai setiap siswa kita karena sebenarnya guru sejajar dengan siswa hanya saja dalam kelas guru dan siswa memang sudah menyepakati bahwa guru melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai “guru” dan begitu juga dengan siswa melakukan kewajiban dan mendapatkan hak sebagai “siswa”. Dalam kelas guru lebih banyak membuat kesepakatan dengan siswa supaya siswa juga dapat belajar untuk bertanggung jawab dengan apa yang sudah dipercayakan.
Setelah zaman para rasuli, Gereja mula-mula terus bergumul dalam upaya untuk memahami dan memformulasikan konsep Allah Tritunggal di tengah konteks polemik dengan pemahaman heretic yang berkembang pada masa itu. Pemahaman konsep Allah Tritunggal secara lengkap seperti yang kita miliki sekarang belum di jumpai dalam tulisan Bapa-bapa Rasuli, antara lain Clement dari Roma, Ignatius, Polycarp. Konsep Allah Tritunggal baru mulai terlihat dalam tulisan Bapa-bapa Gereja pada abad ke-2 dan ke-3 seperti Justin Martyr, Irenaeus dan Tertullian. Dalam sejarah perkembangan doktrin Allah Tritunggal dari abad ke-2 sampai abad ke-5, pada awalnya perdebatan teologis berlangsung antara Gereja dengan ajaran heretic modalisme, yang berpandangan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah satu pribadi Allah dengan tiga peran. Ajaran ini dilawan oleh Tertullian. Pada tahap berikutnya Gereja berhadapan dengan ajaran heretic Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati, sehingga terselenggara Konsili di Nicaea (325), yang kemudian merumuskan Pengakuan Iman Nicaea. Salah seorang Bapa Gereja yang berperan penting dalam konsili Nicaea adalah Athanasius. Di dalam Pengakuan Nicaea ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, Allah sejati dari Allah sejati, yang mempunyai substansi yang sama dengan Allah Bapa. Setelah Konsili Nicaea, ternyata Arianisme tetap berkembang dan di dalam periode ini Bapa-bapa Kapadokia meneruskan perjuangan Athanasius. Pertikaian teologis dengan Arianisme berakhir di dalam Konsili Konstantinopel (381). Pada masa yang sama, perdebatan teologis lainnya yang dihadapi oleh Gereja adalah dengan ajaran heretic Macedonianisme, yang tidak percaya bahwa Roh Kudus juga adalah Allah sejati. Perdebatan ini juga diselesaikan dalam Konsili Konstantinopel. Perdebatan teologis berikutnya berlangsung ketika Gereja harus menghadapi ajaran heretic Apollinarisme, yang menyangkal bahwa Yesus Kristus mempunyai jiwa manusia (human soul). Apollinarisme juga juga ditolak dalam Konsili Konstantinopel Sesudah itu, Gereja bergumul untuk memahami natur dan pribadi Kristus. Pergumulan ini dipicu oleh ajaran heretic Nestorianisme yang berpandangan bahwa Yesus Kristus mempunyai dua pribadi dan dua natur yang terpisah serta natur gabungan Allah dan manusia di dalam diriNya. Ajaran heretic ini ditolak di dalam konsili Efesus (431). Dan terakhir, Gereja menghadapi ajaran heretic monofisit yang berpandangan bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu natur. Ajaran ini kemudian ditentang di dalam Konsili Chalcedon (451), dimana para Bapa Gereja mencapai pemahaman serta perumusan final mengenai dua natur (Allah dan manusia) di dalam satu Pribadi Yesus Kristus, yang diyakini oleh Gereja Universal hingga hari ini. Pada pertengahan masa antara Konsili Nicaea dan Konsili Konstantinopel, hiduplah seorang Bapa Gereja Agustinus (354-430), yang memformulasikan doktrin Allah Tritunggal secara lebih rinci dan komprehensif di dalam bukunya, On the Trinity. Dengan demikian Gereja Universal kini memiliki warisan mengenai doktrin Allah Tritunggal dari Agustinus dan mengenai dua natur Kristus dari Konsili Chalcedon.
Setelah zaman para rasuli, Gereja mula-mula terus bergumul dalam upaya untuk memahami dan memformulasikan konsep Allah Tritunggal di tengah konteks polemik dengan pemahaman heretic yang berkembang pada masa itu. Pemahaman konsep Allah Tritunggal secara lengkap seperti yang kita miliki sekarang belum di jumpai dalam tulisan Bapa-bapa Rasuli, antara lain Clement dari Roma, Ignatius, Polycarp. Konsep Allah Tritunggal baru mulai terlihat dalam tulisan Bapa-bapa Gereja pada abad ke-2 dan ke-3 seperti Justin Martyr, Irenaeus dan Tertullian. Dalam sejarah perkembangan doktrin Allah Tritunggal dari abad ke-2 sampai abad ke-5, pada awalnya perdebatan teologis berlangsung antara Gereja dengan ajaran heretic modalisme, yang berpandangan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah satu pribadi Allah dengan tiga peran. Ajaran ini dilawan oleh Tertullian. Pada tahap berikutnya Gereja berhadapan dengan ajaran heretic Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati, sehingga terselenggara Konsili di Nicaea (325), yang kemudian merumuskan Pengakuan Iman Nicaea. Salah seorang Bapa Gereja yang berperan penting dalam konsili Nicaea adalah Athanasius. Di dalam Pengakuan Nicaea ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, Allah sejati dari Allah sejati, yang mempunyai substansi yang sama dengan Allah Bapa. Setelah Konsili Nicaea, ternyata Arianisme tetap berkembang dan di dalam periode ini Bapa-bapa Kapadokia meneruskan perjuangan Athanasius. Pertikaian teologis dengan Arianisme berakhir di dalam Konsili Konstantinopel (381). Pada masa yang sama, perdebatan teologis lainnya yang dihadapi oleh Gereja adalah dengan ajaran heretic Macedonianisme, yang tidak percaya bahwa Roh Kudus juga adalah Allah sejati. Perdebatan ini juga diselesaikan dalam Konsili Konstantinopel. Perdebatan teologis berikutnya berlangsung ketika Gereja harus menghadapi ajaran heretic Apollinarisme, yang menyangkal bahwa Yesus Kristus mempunyai jiwa manusia (human soul). Apollinarisme juga juga ditolak dalam Konsili Konstantinopel Sesudah itu, Gereja bergumul untuk memahami natur dan pribadi Kristus. Pergumulan ini dipicu oleh ajaran heretic Nestorianisme yang berpandangan bahwa Yesus Kristus mempunyai dua pribadi dan dua natur yang terpisah serta natur gabungan Allah dan manusia di dalam diriNya. Ajaran heretic ini ditolak di dalam konsili Efesus (431). Dan terakhir, Gereja menghadapi ajaran heretic monofisit yang berpandangan bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu natur. Ajaran ini kemudian ditentang di dalam Konsili Chalcedon (451), dimana para Bapa Gereja mencapai pemahaman serta perumusan final mengenai dua natur (Allah dan manusia) di dalam satu Pribadi Yesus Kristus, yang diyakini oleh Gereja Universal hingga hari ini. Pada pertengahan masa antara Konsili Nicaea dan Konsili Konstantinopel, hiduplah seorang Bapa Gereja Agustinus (354-430), yang memformulasikan doktrin Allah Tritunggal secara lebih rinci dan komprehensif di dalam bukunya, On the Trinity. Dengan demikian Gereja Universal kini memiliki warisan mengenai doktrin Allah Tritunggal dari Agustinus dan mengenai dua natur Kristus dari Konsili Chalcedon.
Setelah zaman para rasuli, Gereja mula-mula terus bergumul dalam upaya untuk memahami dan memformulasikan konsep Allah Tritunggal di tengah konteks polemik dengan pemahaman heretic yang berkembang pada masa itu. Pemahaman konsep Allah Tritunggal secara lengkap seperti yang kita miliki sekarang belum di jumpai dalam tulisan Bapa-bapa Rasuli, antara lain Clement dari Roma, Ignatius, Polycarp. Konsep Allah Tritunggal baru mulai terlihat dalam tulisan Bapa-bapa Gereja pada abad ke-2 dan ke-3 seperti Justin Martyr, Irenaeus dan Tertullian. Dalam sejarah perkembangan doktrin Allah Tritunggal dari abad ke-2 sampai abad ke-5, pada awalnya perdebatan teologis berlangsung antara Gereja dengan ajaran heretic modalisme, yang berpandangan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah satu pribadi Allah dengan tiga peran. Ajaran ini dilawan oleh Tertullian. Pada tahap berikutnya Gereja berhadapan dengan ajaran heretic Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati, sehingga terselenggara Konsili di Nicaea (325), yang kemudian merumuskan Pengakuan Iman Nicaea. Salah seorang Bapa Gereja yang berperan penting dalam konsili Nicaea adalah Athanasius. Di dalam Pengakuan Nicaea ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, Allah sejati dari Allah sejati, yang mempunyai substansi yang sama dengan Allah Bapa. Setelah Konsili Nicaea, ternyata Arianisme tetap berkembang dan di dalam periode ini Bapa-bapa Kapadokia meneruskan perjuangan Athanasius. Pertikaian teologis dengan Arianisme berakhir di dalam Konsili Konstantinopel (381). Pada masa yang sama, perdebatan teologis lainnya yang dihadapi oleh Gereja adalah dengan ajaran heretic Macedonianisme, yang tidak percaya bahwa Roh Kudus juga adalah Allah sejati. Perdebatan ini juga diselesaikan dalam Konsili Konstantinopel. Perdebatan teologis berikutnya berlangsung ketika Gereja harus menghadapi ajaran heretic Apollinarisme, yang menyangkal bahwa Yesus Kristus mempunyai jiwa manusia (human soul). Apollinarisme juga juga ditolak dalam Konsili Konstantinopel Sesudah itu, Gereja bergumul untuk memahami natur dan pribadi Kristus. Pergumulan ini dipicu oleh ajaran heretic Nestorianisme yang berpandangan bahwa Yesus Kristus mempunyai dua pribadi dan dua natur yang terpisah serta natur gabungan Allah dan manusia di dalam diriNya. Ajaran heretic ini ditolak di dalam konsili Efesus (431). Dan terakhir, Gereja menghadapi ajaran heretic monofisit yang berpandangan bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu natur. Ajaran ini kemudian ditentang di dalam Konsili Chalcedon (451), dimana para Bapa Gereja mencapai pemahaman serta perumusan final mengenai dua natur (Allah dan manusia) di dalam satu Pribadi Yesus Kristus, yang diyakini oleh Gereja Universal hingga hari ini. Pada pertengahan masa antara Konsili Nicaea dan Konsili Konstantinopel, hiduplah seorang Bapa Gereja Agustinus (354-430), yang memformulasikan doktrin Allah Tritunggal secara lebih rinci dan komprehensif di dalam bukunya, On the Trinity. Dengan demikian Gereja Universal kini memiliki warisan mengenai doktrin Allah Tritunggal dari Agustinus dan mengenai dua natur Kristus dari Konsili Chalcedon.
Ungkapan "Firman itu telah menjadi manusia" (Yoh 1:14) memberikan implikasi Teologis sekaligus Sosiologis. Pengkajian singkat ini dapat menuntun kita untuk lebih dekat lagi melihat sosok Yesus (Yahshua - Yeshua) Sang Mesias secara berimbang baik dari sudut pandang keimanan yang berdasarkan Kitab Suci maupun berdasarkan sudut pandang sosiologis dan historis berdasarkan berbagai literatur-literatur di luar Kitab Suci yang meneguhkan keimanan. Dengan melihat secara utuh siapa Yesus Sang Mesias Anak Tuhan, Juruslamat dan Junjungan Agung Yang Ilahi maka kita akan meletakkan keimanan kepada beliau dalam konsep yang obyektif dan tidak mencederai sejarah sebagaimana disaksikan dalam Kitab Perjanjian Baru.
Thomas Erwin
Johannine Christology.doc2018 •
Karya Tulis ini memuat Kristologi Yohanes secara komprehensif.
Fakta penting : Dia adalah Allah yg inkarnasi, Anak Allah yang suci, sepenuhnya menjadi Anak Manusia, supaya kita anak manusia dapat menjadi anak-anak Allah. Perjanjian Baru adalah satu-satunya sumber informasi penting dari abad pertama tentang kehidupan Yesus. Ia hampir tidak pernah disebutkan dalam tulisan-tulisan orang Yahudi dan Romawi pada waktu itu.
Setelah zaman para rasuli, Gereja mula-mula terus bergumul dalam upaya untuk memahami dan memformulasikan konsep Allah Tritunggal di tengah konteks polemik dengan pemahaman heretic yang berkembang pada masa itu. Pemahaman konsep Allah Tritunggal secara lengkap seperti yang kita miliki sekarang belum di jumpai dalam tulisan Bapa-bapa Rasuli, antara lain Clement dari Roma, Ignatius, Polycarp. Konsep Allah Tritunggal baru mulai terlihat dalam tulisan Bapa-bapa Gereja pada abad ke-2 dan ke-3 seperti Justin Martyr, Irenaeus dan Tertullian. Dalam sejarah perkembangan doktrin Allah Tritunggal dari abad ke-2 sampai abad ke-5, pada awalnya perdebatan teologis berlangsung antara Gereja dengan ajaran heretic modalisme, yang berpandangan bahwa Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus adalah satu pribadi Allah dengan tiga peran. Ajaran ini dilawan oleh Tertullian. Pada tahap berikutnya Gereja berhadapan dengan ajaran heretic Arianisme yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati, sehingga terselenggara Konsili di Nicaea (325), yang kemudian merumuskan Pengakuan Iman Nicaea. Salah seorang Bapa Gereja yang berperan penting dalam konsili Nicaea adalah Athanasius. Di dalam Pengakuan Nicaea ditegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, Allah sejati dari Allah sejati, yang mempunyai substansi yang sama dengan Allah Bapa. Setelah Konsili Nicaea, ternyata Arianisme tetap berkembang dan di dalam periode ini Bapa-bapa Kapadokia meneruskan perjuangan Athanasius. Pertikaian teologis dengan Arianisme berakhir di dalam Konsili Konstantinopel (381). Pada masa yang sama, perdebatan teologis lainnya yang dihadapi oleh Gereja adalah dengan ajaran heretic Macedonianisme, yang tidak percaya bahwa Roh Kudus juga adalah Allah sejati. Perdebatan ini juga diselesaikan dalam Konsili Konstantinopel. Perdebatan teologis berikutnya berlangsung ketika Gereja harus menghadapi ajaran heretic Apollinarisme, yang menyangkal bahwa Yesus Kristus mempunyai jiwa manusia (human soul). Apollinarisme juga juga ditolak dalam Konsili Konstantinopel Sesudah itu, Gereja bergumul untuk memahami natur dan pribadi Kristus. Pergumulan ini dipicu oleh ajaran heretic Nestorianisme yang berpandangan bahwa Yesus Kristus mempunyai dua pribadi dan dua natur yang terpisah serta natur gabungan Allah dan manusia di dalam diriNya. Ajaran heretic ini ditolak di dalam konsili Efesus (431). Dan terakhir, Gereja menghadapi ajaran heretic monofisit yang berpandangan bahwa Yesus Kristus hanya mempunyai satu natur. Ajaran ini kemudian ditentang di dalam Konsili Chalcedon (451), dimana para Bapa Gereja mencapai pemahaman serta perumusan final mengenai dua natur (Allah dan manusia) di dalam satu Pribadi Yesus Kristus, yang diyakini oleh Gereja Universal hingga hari ini. Pada pertengahan masa antara Konsili Nicaea dan Konsili Konstantinopel, hiduplah seorang Bapa Gereja Agustinus (354-430), yang memformulasikan doktrin Allah Tritunggal secara lebih rinci dan komprehensif di dalam bukunya, On the Trinity. Dengan demikian Gereja Universal kini memiliki warisan mengenai doktrin Allah Tritunggal dari Agustinus dan mengenai dua natur Kristus dari Konsili Chalcedon.
Saksi-Saksi Yehuwa saat ini makin solid dan eksis dengan perubahan status mereka. Sudah beberapa kali Saksi Yehuwa berani tampil ke permukaan dan membuat event kebaktian kebangunan rohani al.,18 Jul 2008 07:07:26 WIB dan 09.30 - 17.00 WIB di Gedung Istora Gelora Bung Karno Senayan Jakarta Pusat dengan penanggung jawab acara Nico Rewowu, akan dihadiri sekitar 6.000 orang . Demikian pula Tanggal 14 Maret 2010 kembali diadakan KKR yang di tempat yang sama. Siapa dan bagaimanakah kepercayaan Saksi-Saksi Yehuwa? Buku ini hendak menjawab pertanyaan di atas dengan memberikan deskripsi historis dan deskripsi doktrinal Saksi-Saksi Yehuwa dan ditinjau berdasarkan Kitab Suci dengan menggunakan kajian teks bahasa Ibrani dan Yunani serta pendekatan Akar Ibrani iman Kristen
SUMBANGSIH FILSAFAT BAGI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DI INDONESIA
SUMBANGSIH FILAFAT BAGI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DI INDONESIA2018 •