Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
ATURAN-ATURAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1948 Oleh: Lana Aprilia Elisma Herdinawati Claudya Putri Dewanti (1306450626) (1406536455) (1506676815) Tim Pengajar Hukum Administrasi Daerah: Bono Budi Priambodo S.H., M.Sc. Dr. Harsanto Nursadi S.H., M.Si Dr. Andhika Danesjvara S.H., M.Si Disusun dan dikumpulkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Administrasi Daerah FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM SARJANA REGULER DEPOK, 2017 A. PENDAHULUAN Keberlakuan sistem pemerintahan daerah di Indonesia didahului dengan sistem pemerintahan yang sentralistis di zaman kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut diamanatkan dalam Regeling Reglement, semacam undang-undang dasar bagi Indonesia pada masa itu. Sistem yang demikian membuat segala urusan pemerintahan jajahan di Indonesia diurus oleh gubernur jenderal di Bogor atau pejabat-pejabat Pemerintahan Hindia Belanda. Namun, terjadi tidak efektifnya pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis tersebut. Daerah-daerah yang keberadaannya jauh dari Bogor tidak terurus dengan baik dan memberatkan kinerja pemerintahan pusat. Pada tahun 1903 sistem pemerintahan jajahan di Indonesia diubah menjadi desentralisasi yang dikepalai oleh pegawai pamong praja belanda dan pegawai pamong praja Indonesia. “Daerah dikuasai langsung” yang konon dikatakan menganut desentralisasi, ternyata tidak memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, kecuali persekutuan-persekutuan masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa dan Madura maupun yang di luar Jawa dan Madura, misalnya Nagari di Sumatera, diperbolehkan menyelenggarakan otonomisasi masyarakat hukum adatnya sendiri. 1 Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, pemerintahan daerah tak luput dimuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 18 yang menegaskan sebagai berikut : Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. 2 Guna menjalankan pemerintahan daerah yang diamanatkan Pasal 18 UUD 1945, pada tanggal 23 November 1945 atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Pusat yang disetujui pemerintah, mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional. Dalam undang-undang tersebut Komite Nasional Daerah yang diketuai kepala daerah berubah sifatnya menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah bersama-sama menyelenggarakan pemerintahan daerah. 3 1 C.S.T.Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, cet.3 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm.247-248 2 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps.18. 3 C.S.T.Kansil, Hukum Tata Pemerintahan, hlm. 250-251. H uk um Admi nis trasi Da er ah |2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945 dipandang jauh dari cukup mengatur pemerintahan daerah. Sehingga ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 tentang pemerintahan daerah. B. PEMBAHASAN 1. Tingkatan Daerah dan Daerah yang Mengatur Rumah Tangganya Sendiri Bab I Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 membahas mengenai tentang pembagian Negara dalam daerah-daerah yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dari mulanya, Reglement Regeling memberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri hanya pada “daerah kekuasaan langsung” masyarakat hukum adat di Jawa, Madura dan beberapa di luar area tersebut, maka pada UndangUndang Nomor 1 Tahun 1945 kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menjadi lebih luas asalkan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat dan daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Kemudian berdasarkan Pasal 1 UndangUndang Nomor 22 Tahun 1945 daerah-daerah yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tersebut dibagi menjadi dua jenis, yaitu : a. Daerah Otonomi (biasa) Diberikan kebebasan berinisiatif dalam penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga pemerintah daerah. Kebebasan tersebut mencakup mengadakan peraturanperaturan, mengusahakan pembiayaan yang segala sesuatunya menurut keyakinan, kehendak dari pemerintah daerah itu sendiri. Kebebasan dalam mengadakan peraturan-peraturan serta penyelenggaraannya, maka daerah tersebut lazimnya dinamakan daerah yang berotonomi atau daerah yang berhak mengatur sendiri pemerintahannya. 4 b. Daerah Istimewa Daerah yang memiliki asal-usul dan di zaman Republik Indonesia mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa (zelfbenturnde/landschappen). Keistimewaan daerah istimewa ialah bahwa kepala/wakil kepala daerah istimewa diangkat oleh presiden RI dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu sejak zaman sebelum RI dan masih menguasai daerah tersebut.5 4 R.G.Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tatanegara, cet 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm.94- 5 C.S.T.Kansil, Hukum Tata Pemerintahan, hlm.252 95 H uk um Admi nis trasi Da er ah |3 Pada Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 menyatakan dalam hal pembentukan satu daerah otonom maupun daerah istimewa maka dilakukan dengan undang-undang dengan menegaskan nama, batas-batas wilayah, tingkatan serta hak dan kewajiban daerah yang bersangkutan.6 Sedangkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 menyebutkan bahwa baik daerah otonom maupun daerah istimewa dibedakan dalam tiga tingkatan yakni: a. Provinsi b. Kabupaten (Kota Besar) c. Desa/Marga/Nagari dan sebagainya (Kota Kecil). 7 Tentang daerah administratif yang keterangannya terdapat pada peraturan peralihan undang-undang ini, hanya dikatakan bahwa daerah-daerah administratif yang ada pada waktu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberlakukan dapat terus berlaku sampai dihapuskannya Pasal 46 ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Maka jelas bahwa terdapat kehendak untuk menghapuskan daerah-daerah administratif tersebut.8 Urusan pemerintahan menurut Hoessein erat kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan. Secara umum, urusan pemerintahan dibagi dalam dua kelompok, yakni, pertama, urusan pemerintahan khusus yang dibagi oleh menteri departemen teknis/lembaga pemerintah non departemen (LPNK). Kedua, urusan pemerintahan umum yang berada di luar pengelolaan departemen teknis/lembaga pemerintah non departemen.9 Hoessein juga menyatakan bahwa urusan pemerintahan merupakan penyebutan dari materi wewenang yang termasuk dalam salah satu dimensi dari wewenang pemerintahan. Adapun wewenang pemerintahan itu sendiri, terdiri dari wewenang untuk menetapkan keputusan politik atau kebijakan (wewenang politik) dan wewenang untuk menetapkan keputusan untuk melaksanakan kebijakan (wewenang administratif). 10 6 Yogyakarta, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Ps. 1 ayat 3. Ibid, Ps.1 ayat 1. 8 R.G.Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tatanegara, hlm.108. 9 Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah, (Depok: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011), hal. 168. 10 Ibid. 7 H uk um Admi nis trasi Da er ah |4 Menurut Maddick, terdapat dua metode yang dapat digunakan dalam rangka distribusi urusan pemerintahan, yakni open-end arrangement atau ultra-vires doctrine. Metode Open-end arrangement diartikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan dengan cara memberikan rumusan secara umum. Konsekuensinya, daerah yang diberi urusan pemerintahan dapat melakukan berbagai fungsi sepanjang tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau tidak termasuk dalam yurisdiksi pemerintah yang lebih atas. Sedangkan, metode ultra vires doctrine diartikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan dengan cara memberikan rumusan yang rinci. Konsekuensinya adalah daerah yang diberi urusan pemerintahan hanya diperbolehkan untuk melakukan fungsifungsi yang telah ditetapkan dan dirinci oleh pemerintah. 11 Di samping itu, terdapat teori lain yang erat kaitannya dengan distribusi urusan pemerintahan, yakni teori pembagian kekuasaan yang dikemukakan oleh Arthur Mass yang disebut dengan Capital Division of Power (CDP) dan Areal Division of Power (ADP). Pada CDP, terjadi pembagian kekuasaan secara horizontal dan terjadi pemisahan kekuasaan antara lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif. Sedangkan pada ADP, terjadi pembagian kekuasaan secara vertikal dan terdapat pembagian kekuasaan menurut wilayah. Misalnya dalam negara yang berbentuk kesatuan akan terbagi dalam provinsi, kabupaten/kota, distrik, dan sebagainya.12 Lebih jauh lagi, pembagian kekuasaan secara vertikal ini melahirkan garis hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind. 13 Pada hakikatnya, desentralisasi merupakan instrumen yang digunakan dalam rangka ADP. Maddick mengartikan desentralisasi sebagai “the legal conferring of powers to discharge specified or residual function upon formally constituted local authorities”.14 Pendapat Maddick tersebut mengandung tiga unsur pokok, yakni: 1) penyerahan wewenang oleh pemerintah (pusat); 11 Ibid, hal. 28. Harsanto Nursadi, Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, serta Otonomi Daerah, Bahan Perkuliahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Mata Kuliah Hukum Administrasi Daerah, pada 11 September 2017. 13 Daly Erni, Pemerintahan Daerah: Desentrasilasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, Bahan Perkuliahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang diunduh dari http://staff.ui.ac.id/system/files/users/daly.erni/material/desentralisasidekonsentrasi.ppt pada 17 September 2017. 14 Hoessen, Op.Cit., hal. 89. 12 H uk um Admi nis trasi Da er ah |5 2) yang diserahi wewenang adalah local authorities yang dibentuk secara formal pemerintah; 3) wewenang tersebut digunakan oleh local authorities untuk melaksanakan berbagai fungsi baik yang dirumuskan secara umum sebagai fungsi-fungsi yang tersisa maupun fungsi-fungsi yang dirinci. 15 Sedangkan dekonsentrasi menurut Maddick adalah “the delegation of authority adequate for discharge of specified functions to staff of central department who are situated outside the headquarters”.16 Sedangkan Harold Aldefer berpendapat sebagai berikut:17 in deconcentration, it merely sets up administrative units or field stations, singly or in a hierarchy, separately, or jointly, with orders as to what they should do it. No major matters or policies are decided locally, no fundamental decision taken. The central agency reserves all basic powers to itself. Local officials are strictly subordinate, they carry out orders”. Selain itu, menurut Brian C Smith, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang untuk mengambil keputusan administrasi atas nama Pusat kepada pejabat di daerah yang bertanggung jawab dalam kebijaksanaan publik di wilayah yurisdiksi tertentu.18 Pada desentralisasi, terjadi penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri kepentingan masyarakat setempat. Oleh karena itu, desentralisasi menciptakan local self-government. Sedangkan pada dekonsentrasi terjadi pelimpahan wewenang untuk mengurus, namun wewenang pengaturan masih tetap berada di pemerintah pusat dan akan menciptakan local state-government atau field administration.19 Selain desentralisasi dan dekonsentrasi, dikenal juga istilah medebewind atau tugas pembantuan. Tugas pembantuan berasal dari salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah di Belanda. Menurut Danuderdjo, medebewind adalah kewajiban daerah otonom untuk menjalankan peraturan perundang-undangan pusat atas penugasan dari Pemerintah dengan jalan mengadakan peraturan daerah guna menyesuaikan 15 Dwi Andayani Budisetyowati, Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Disertasi Universitas Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 57-58. 16 Hoessen, Op.Cit.,hal. 89 17 Budisetyowati, Op.Cit., hal. 63. 18 Nursadi, Op.Cit. 19 Hoessen , hal. 89 yang dikutip dari Smith, 1967) H uk um Admi nis trasi Da er ah |6 peraturan perundang-undangan pusat dengan kondisi daerah otonom tersebut. 20 Secara rinci, berikut adalah sejumlah indikator yang dimiliki oleh medebewind: 1) sebagaimana dalam hal desentralisasi dan dekonsentrasi, tugas pembantuan dalam negara kesatuan hanya oleh pemerintah kepada daerah otonom; 2) urusan pemerintahan yang terkait tugas pembantuan merupakan urusan pemerintahan yang tidak diserahkan secara dekonsentrasi maupun desentralisasi; 3) tugas pembantuan dengan produk hukum; 4) daerah otonom yang diserahi tugas pembantuan mempunyai diskresi dalam hal pengaturan melalui peraturan daerah dan pengurusan sesuai dengan kondisi daerah otonom yang bersangkutan; 5) pengaturan oleh daerah otonom yang diserahi tugas pembantuan hanya mengenai tata cara pelaksanaan tugas pembantuan, bukan mengenai substansi urusan pemerintah yang terkait; 6) anggaran untuk pelaksanaan tugas pembantuan diberikan oleh pemerintah; 7) tugas pembantuan tidak mungkin terselenggara tanpa desentralisasi. 21 2. Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menurut UndangUndang Nomor 22 Tahun 1948 Desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan secara implisit diatur di dalam BAB III tentang Kekuasaan dan Kewajiban Pemerintah Daerah pasal 23 sampai dengan pasal 25. Pasal 23 mengatur tentang hak otonomi, sedangkan pasal 24 mengatur tentang hak medebewind. Berdasarkan penjelasannya, UU Nomor 22 Tahun 1948 membagi pemerintahan daerah menjadi dua macam, yakni: a) pemerintahan daerah yang disandarkan pada hak otonomi dan, b) pemerintahan daerah yang disandarkan pada hak medebewind. Menurut UU Nomor 22 Tahun 1948, pada pembentukan pemerintahan daerah yang hendak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, maka oleh Pemerintahan Pusat ditentukan Kewajiban (pekerjaan) mana-mana saja yang dapat diserahkan kepada daerah. Pekerjaan Pemerintah, yang diserahkan kepada daerah, dapat berupa hak otonomi atau 20 Budisetyowati, Op.Cit., hal 64 yang dikutip dari SLS Danuderjo, Struktur Administrasi dan Sistem Pemerintahan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Laras, 1967), hal. 75. 21 Hoessein, Op.Cit., hal. 169-170. H uk um Admi nis trasi Da er ah |7 hak medebewind seluruhnya. Tetapi dapat juga penyerahan itu terjadi berupa sebagian dengan hak otonomi dan sebagian dengan hak medebewind. Umpamanya Jawatan Pertanian, bagian yang mengenai urusan penyelidikan, dapat diserahkan dengan hak medebewind, sedang bagian yang mengenai pekerjaan lainnya mengadakan percobaan tanaman, dll.), dapat diserahkan berupa hak otonomi. Penyerahan pekerjaan yang dimaksud pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 ada dua macam, yaitu penyerahan penuh dan penyerahan tidak penuh. Penyerahan penuh, artinya baik tentang prinsip-prinsipnya maupun tentang caranya menjalankan kewajiban atau pekerjaan yang diserahkan itu, diserahkan semuanya kepada daerah. Penyerahan ini akan menciptakan pemerintahan daerah yang disandarkan pada hak otonomi. Sedangkan penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedang prinsip-prinsipnya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sendiri. Penyerahan tidak penuh ini, akan melahirkan pemerintahan daerah yang disandarkan pada hak medebewind. Menurut undang-undang ini, hak medebewind hendaknya tidak boleh diartikan sempit, dengan kata lain tidak dapat diartikan hanya menjalankan perintah dari atas saja. Oleh karena pemerintah daerah juga berhak mengatur caranya menjalankan menurut pendapatnya sendiri, jadi masih mempunyai hak otonomi, sekalipun hanya mengenai cara menjalankan saja. Menurut ketentuan yang masih berlaku pada saat itu, untuk kabupaten dan kota, hak medebewindnya dapat diserahkan kepada Kepala Daerah sendiri, dan oleh karena hak otonomi kabupaten dan kota itu merupakan bagian pemerintahan daerah yang amat kecil dan juga hak medebewind amat sedikit pula, maka Kepala Daerah lalu menerima hak medebewind yang terbanyak. Namun keadaan ini berubah sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, sebab hak medebewind menurut pasal 24, baik dari Pemerintah ke Daerah, maupun dari Daerah ke Daerah di bawahnya, hanya dapat diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau kepada Dewan Pemerintah Daerah, maka Kepala Daerah sendiri tidak dapat diserahi hak medebewind. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dengan jelas telah menyatakan bahwa di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri akan terdapat: H uk um Admi nis trasi Da er ah |8 a) pemerintahan daerah yang bersandarkan hak otonomi dan medebewind dengan diberi batas-batasnya kekuasaan oleh Pemerintah, dan b) kewajiban (pekerjaan) Pemerintah Pusat sendiri di luar pemerintahan daerah, misalnya jawatan kereta api, pos dan telepon dan lain-lain, ialah pekerjaanpekerjaan yang dijalankan dari Pusat (sentral) ke daerah-daerah oleh Pemerintah sendiri, (belum atau tidak diserahkan kepada Daerah). Tetapi tidak jarang jawatan-jawatan tersebut membutuhkan bantuan dari Pemerintah Daerah, untuk memenuhi kewajibannya di daerah-daerah. Permintaan bantuan yang sedemikian itu diajukan kepada Dewan Pemerintah Daerah. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 secara jelas telah mengakomodasi asas desentralisasi dan tugas pembantuan meski menggunakan istilah yang berbeda, yakni hak otonomi dan hak medebewind. Di dalam undang-undang tersebut, tidak ditemukan pengaturan mengenai asas dekonsentrasi secara jelas. Namun demikian, ternyata undang-undang tersebut secara tidak langsung mengatur mengenai hal yang hampir serupa dengan asas dekonsentrasi. Hal ini dapat ditemukan pada pasal 25 ayat (2) yang menyatakan bahwa: jika Pemerintah daerah tidak menjalankan kewajiban pemerintah di daerah-daerah yang tidak termasuk urusan rumah tangga daerah, maka oleh Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah atau oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dengan peraturan daerah ditunjuk badanbadan Pemerintahan yang harus menjalankan pekerjaan itu. Ini berarti pelimpahan sebagian urusan pemerintahan kepada instansi vertikal tersebut tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan juga dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Hanya saja, penunjukan badan-badan pemerintahan yang harus menjalankan pekerjaan tersebut hanya dapat dilakukan apabila pemerintah daerah telah keliru dalam menggunakan kekuasaan otonominya, sehingga merugikan daerah atau negara atau melalaikan kewajiban medebewind yang telah diserahkan kepadanya. Undang-undang ini menggunakan metode Open-end arrangement, karena penyerahan urusan pemerintahan dilakukan dengan cara memberikan rumusan secara umum. Namun, sedang menuju menggunakan metode ultra-vires doctrine dikemudian hari. Hal yang demikian ini dapat ditemukan pada penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang menyatakan bahwa di dalam undang-undang ini tidak disebutkan H uk um Admi nis trasi Da er ah |9 macam-macam kewajiban Pemerintah yang diserahkan kepada daerah baik berupa hak otonomi maupun hak medebewind, oleh karena penyerahan serupa itu memerlukan tempo, sedang undang-undang ini perlu selekas-lekasnya ditetapkan. Kelak di dalam undang-undang pembentukan dari masing-masing daerah akan disebutkan macammacam kewajiban Pemerintah yang diserahkan kepada daerah. Sebagai misal saja, yang dapat diserahkan kepada daerah-daerah, ialah pengairan, pertanian, perhewanan, kesehatan, koperasi, perindustrian, pendidikan, kebudayaan, pengajaran, dll. 3. Bagaimana mekanisme pemilihan Kepala Daerah dan Anggota DPRD Proses lahirnya UU No 22 Tahun 1948 Proses lahirnya UU ini dikarenakan oleh dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 No X dan Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945, maka terjadi perubahan sistem pemerintahan di Indonesia dari sistem presidensial (yang semu) sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 menjadi sistem parlementer. Perubahan ketatanegaraan (sistem pemerintahan) di pusat tersebut, mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Itulah sebabnya dasar pertimbangan dikeluarkannya Undang – undang No 22 Tahun 1948. Perubahan ini tentu saja memiliki dampak yang sangat besar bagi konstruksi sistem pemerintahan dari pusat hingga ke sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Adapun UU ini diundangkan pada tanggal 10 Juli 1948 di Yogyakarta. Adapun maksud dan tujuan dari UU No 22 Tahun 1948 adalah sebagai berikut: a) Menghindarkan pemerintahan yang dualisme di daerah, tidak akan ada lagi pemerintahan yang dijalankan oleh kepala daerah sendiri; b) Desa mendapat perhatian khusus dari UU ini, karena desa dianggap sebagai ujung tombak untuk menciptakan kemakmuran di negeri ini. Sifat otonomi yang digunakan dalam undang – undang ini adalah sebagai berikut : a) Memberi kewajiban yang seluas – luasnya kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. b) Hanya daerah otonom, di luar itu tidak dikenal daerah lainnya atau istilah yang biasa dipakai adalah wilayah administrasi. c) Menghargai nilai – nilai kearifan local (value of local wisdom) Kekuasaan kepala daerah (eksekutif) lebih diminimalkan, sedangkan yang dikedepankan adalah kekuasaan DPRD (legislative). H u k u m A d m i n i s t r a s i D a e r a h | 10 Rekrutmen politik kepala daerah tingkat 1 Gubernur menurut pasal 18 ayat (1) dan ayat (5) UU No 22 Tahun 1948. Dalam hal pemilihan dan perekrutan kepala daerah/ Gubernur, kami membandingkan 2 ayat, yakni ayat (1) dan ayat (5). Adapun perbandingan itu adalah sebagai berikut : Pasal 18 Berdasarkan pasal 18 ayat (1), kepala daerah diangkat oleh Presiden atas rekomendasi atau yang diajukan oleh DPRD. Dalam konteks ini, kedudukan kepala daerah adalah sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sehingga dominasi kekuasaan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dari pemerintah pusat sangat kuat di daerah. Pasal 18 ayat (5) Berdasarkan pasal 18 ayat (5), kepala daerah diangkat oleh Presiden berdasarkan keturunan keluarga bangsawan atau ningrat yang berkuasa sebelum dan sesudah Negara Indonesia merdeka, sudah barang tentu dengan kapasitas yang mumpuni seperti kecakapan, kejujuran dan menjunjung tinggi nilai – nilai kearifan lokal (value of local wisdom) atau adat istiadat di daerahnya. Jika berkaca pada UU sebelumnya, maka dominasi kepala daerah sangat sentralistis. Namun dalam UU No 22 Tahun 1948, terjadi perubahan paradigma dalam sistem penyelenggaraan daerah dari sentralistis ke desentralistik. Hal ini berdampak pada wewenang lembaga – lembaga penyelenggara pemerintahan di daerah, khususnya daerah otonom dan daerah istimewa. Oleh sebab itu, fokus analisis kelompok kami adalah sebagai berikut : System politik Berdasarkan pasal yang dibahas maka dapat dikatakan bahwa sistem politik yang terjadi pada saat itu adalah demokrasi tak langsung (indirect democracy), dimana kedaulatan politik masyarakat tidak berhadapan langsung dengan pihak eksekutif (kepala daerah) melainkan melalui lembaga perwakilan (DPRD). Dalam pengertian seperti ini demokrasi tak langsung (indirect democracy) dapat disebut juga demokrasi perwakilan. Tidak ada sistem kepartaian dalam pemilihan kepala daerah Secara politis, lembaga – lembaga penyelenggara pemerintahan daerah, khususnya provinsi terbagi menjadi dua : a) DPRD provinsi terdiri dari sejumlah anggota yang berasal dari daerah keresidenan yang meliputi masing-masing provinsi. Menurut UU ini, DPRD diketuai oleh Gubernur tetapi tidak mempunyai hak suara. b) Badan eksekutif terdiri dari 5 lima orang yang dipilih oleh dan dari anggota DPRD diketuai oleh Gubernur dengan hak suara menjalankan pemerintahan sehari – hari. Mekanisme pemilihan kepala daerah yang tidak melibatkan partai politik serta menggunakan asas demokrasi tak demokrasi langsung perwakilan (indirect sehingga H u k u m A d m i n i s t r a s i D a e r a h | 11 democracy) kedaulatan atau rakyat dijalankan oleh DPRD. Contoh kasus : daerah istimewa Yogyakarta, kepala daerah dan wakil kepala daerah diangkat dari keturunan raja dengan mempertimbangkan nilai kecakapan, kejujuran dan kesetiaan berdasarkan adat – istiadat yang berlaku di daerah tersebut dari zaman pra kemerdekaan. Sedangkan yang terjadi di daerah otonom tidak berbeda dengan yang ada di daerah istimewa. Dampak Rekrutmen tersebut bagi Tata Pemerintahan Lokal, Dampaknya dari pada rekrutmen politik yang didasarkan pada pasal 18 ayat (1) dan ayat (5), ini adalah terjadinya dualisme kepemimpinan kepala daerah sehingga tidak adanya prinsip check and balance antara pihak eksekutif (excecutive heavy), dan pihak legislative (legislative heavy). Tidak adanya partisipasi langsung dari masyarakat dalam memberi legitimasi penuh kepada pemimpin daerah melalui pemilihan langsung. Kepala daerah adalah orang yang dikenal baik oleh masyarakat sehingga jika merunut pada pasal ini maka masyarakat bisa jadi tidak mengenal secara baik kepala daerah yang akan memimpin daerahnya. Kepala daerah yang diangkat oleh pemerintah pusat berperan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang berfungsi mengawasi jalannya roda pemerintahan di daerah dan bertanggungjawab kepada pemerintah pusat bukan kepada DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah. H u k u m A d m i n i s t r a s i D a e r a h | 12