PERSPEKTIF
Volume 22 No. 1 Tahun 2017 Edisi Januari
PENATAAN HUBUNGAN KELEMBAGAAN
ANTARA PEMERINTAH PROVINSI DENGAN
PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
Muh. Hasrul
Fakultas Hukum Universitas Hasanudin
e-mail: luluhukum@gmail.com
ABSTRAK
Penataan hubungan antara Gubernur dengan Bupati/Walikota dalam pelaksanaan tata pemerintahan
yang baik dan penataan kelembagaan yang dapat mensinergikan hubungan kewenangan pemerintahan
yang efektif antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pola hubungan antara
Gubernur dengan Bupati/Walikota dalam kaitannya dengan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik
dalam pelaksanaan peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, maka hubungan antara Gubernur
dengan Bupati/Walikota bersifat bertingkat di mana Gubernur dapat melakukan peran pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebaliknya Bupati/Walikota harus senantiasa
berkoordinasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam hubungan antar kabupaten/
kota dengan provinsi.
Kata Kunci: hubungan, pemerintah, provinsi, kabupaten/kota.
ABSTRACT
This Article are trying to find the relationship pattern between the governor and regent/majors, in
the field of government management, also to find out managing form that may show a sinergical inter
relationship between province and regency government. Based on the research, we found that the relation
pattern between governor and regents related to the implementation of good governance in governor
enforcement as the representative of the central government is that inter relation between governor and
regents/majors are in the gradual level, which governors can do a form of mentoring and supervising. In
other hands, regents should always perform coordination in region governance enforcement, including
the relationship between regency and province government.
Keywords: relationship, government, province, district.
PENDAHULUAN
Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945 menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang
tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undangundang. Negara Republik Indonesia sebagai Negara
Kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahannya
menganut asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan
Tugas Pembantuan. Pelaksanaan asas Dekonsentrasi
diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya
sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan
kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat
di daerah.
Sistem pemerintahan daerah di Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya
disingkat UUD 1945) secara jelas mengatur adanya
pembagian daerah dengan susunan pemerintahannya
yang bersifat otonom yang ditetapkan dengan undangundang. Istilah yang bersifat otonom ini, memberikan
keleluasaan kepada daerah untuk mengatur, mengurus
serta menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan
menurut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan atau medebewind. Hal ini
ditekankan pada percepatan terwujudnya tingkat
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi
1
Muh. Hasrul, Penataan Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Provinsi Dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
dan keanekaragaman daerah dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disingkat
NKRI).
Pemerintah daerah dapat menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya,
kecuali urusan pemerintahan ditentukan menjadi
urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendri
urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi
dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang
menjadi urusan pemerintah ialah kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal, serta agama yang masih
merupakan kewenangannya pemerintah pusat.1
Konstruksi perwilayahan yang diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menempatkan provinsi dan
kabupaten/kota sebagai daerah otonom sekaligus
sebagai wilayah administrasi. Pengaturan sedemikian
ini berarti bahwa antara provinsi dengan kabupaten
dan kota mempunyai keterkaitan dan hubungan
hirarkis satu sama lain, baik dalam arti status
kewilayahan maupun dalam sistem dan prosedur
penyelenggaraan pemerintahan.
Adanya pemikiran bahwa provinsi dengan
kabupaten/kota terlepas satu sama lain mengingkari
prinsip-prinsip NKRI dan UUD 1945, yang secara
jelas telah mengatur secara sistematik antara masingmasing tingkat pemerintahan. Menyadari hal itu,
maka dalam rangka prinsip-prinsip NKRI, Gubernur
sebagai wakil pemerintah menerima pelimpahan
wewenang di bidang pemerintahan umum dan
pelimpahan wewenang urusan teknis departemen.
Provinsi mempunyai kedudukan sebagai daerah
otonom sekaligus adalah wilayah administrasi yaitu
wilayah kerja Gubernur untuk melaksanakan fungsifungsi kewenangan yang dilimpahkan kepadanya.
Gubernur selain pelaksana asas desentralisasi juga
melaksanakan asas dekonsentrasi. Besaran dan isi
dekonsentrasi harus mempunyai sifat dekat dengan
1
Pemberian otonomi kepada daerah merupakan penjabaran
dari Pasal 18 UUD 1945, yang diimplementasikan ke dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, yang telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Nilai dasar yang
terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal
10 mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan
2
kepentingan masyarakat dan bermakna sebagai
upaya mempertahankan dan memperkuat persatuan
dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah NKRI
dan meningkatkan pemberdayaan, menumbuhkan
prakarsa, dan kreatifitas masyarakat serta kesadaran
nasional. Oleh sebab itu Gubernur memegang
peranan penting sebagai unsur perekat NKRI.
Dalam rangka pelaksanaan prinsip otonomi luas,
nyata, dan bertanggungjawab, Pembagian Urusan
Pemerintahan antar Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
mengalami perubahan pola sistem pemerintahan di
Indonesia dari sentralistik menjadi pola desentralisasi
diharapkan dapat memberikan banyak manfaat kepada
kemajuan daerah yaitu diberikannya keleluasaan dan
kemandirian kepada daerah untuk mengatur dan
mengelola urusan rumah tangganya sesuai dengan
kewenangannya, di samping kewajibannya untuk
menghormati hak-hak dan asal-usul daerah serta
nilai-nilai budaya daerah sesuai amanat konstitusi.
Kebijakan desentralisasi tersebut dilaksanakan
dengan prinsip otonomi yang luas, nyata dan
bertanggungjawab kepada daerah dengan
menumbuhkembangkan kualitas demokrasi di
daerah, meningkatkan peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan dengan memperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah. Prinsip otonomi
luas ini yaitu pemberian kewenangan kepada daerah
untuk mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah
yang ditetapkan undang-undang. Kewenangan
yang dimiliki oleh daerah ini yakni membentuk,
menjalankan serta melaksanakan kebijakan daerah
dalam rangka memberikan pelayanan, peningkatan
peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat
yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat.
Dalam UUD 1945 Setelah Amandemen, UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, kedudukan provinsi
tidak ditetapkan secara jelas, padahal keberadaannya
sangat dibutuhkan oleh pemerintah nasional untuk
menjalankan fungsi koordinasi dan pengawasan
terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dan
pelayanan umum oleh Pemerintah Daerah. Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan
bahwa daerah provinsi selain berstatus sebagai
PERSPEKTIF
Volume 22 No. 1 Tahun 2017 Edisi Januari
daerah juga merupakan wilayah administratif yang
menjadi wilayah kerja bagi Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat dan wilayah kerja bagi Gubernur
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
umum di wilayah daerah provinsi.
Provinsi dalam sistem pemerintahan daerah yang
berlaku tidak memiliki kewenangan yang jelas atas
kabupaten/kota, sebaliknya pemerintah kabupaten/
kota dapat berhubungan langsung dengan Pemerintah
Pusat. Akibatnya adalah Daerah Otonom merasa
tidak perlu bertanggungjawab kepada provinsi dan
kenyataan ini melemahkan fungsi koordinasi dan
pengawasan Gubernur.
Selanjutnya pada beberapa daerah muncul
permasalahan dalam kerangka hubungan antara
Bupati dan Walikota dengan Gubernur. Di satu
sisi Bupati dan Walikota menganggap tidak perlu
melakukan koordinasi dengan Gubernur karena
tidak adanya hubungan hirarki di antara mereka.
Sedangkan di pihak Gubernur merasa bahwa UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah mengurangi kekuasaan mereka terhadap
Daerah. Timbulnya permasalahan dan ketegangan
hubungan antara Gubernur dengan Bupati dan
Walikota pada beberapa daerah lebih disebabkan
oleh adanya perbedaan persepsi terhadap kedudukan
dan hubungan di antaranya sebagaimana diatur oleh
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
PERUMUSAN MASALAH
Mendasarkan pada latar belakang, maka
penelitian dalam penulisan ini mengkaji tentang pola
hubungan kelembagaan antara pemerintah provinsi
dengan kabupaten/kota dalam kaitannya dengan
pelaksanaan tata pemerintahan yang baik.
METODE PENELITIAN
Dalam penulisan ini menggunakan tipe
penelitian normatif dengan pendekatan masalah
statute approach dan conceptual approach. Adapun
undang-undang yang dikaji adalah: Undang-Undang
Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Otonomi Daerah, Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih dan Bebas Dari Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010
tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah di Wilayah Provinsi. Sedangkan konsep
yang digunakan adalah Konsep Negara Hukum,
Konsep Otonomi Daerah, dan Konsep Kewenangan.
PEMBAHASAN
Konsep Negara Hukum
Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara
hukum merupakan terjemahan langsung dari
rechtsstaat. Disamping itu dalam wacana akademik
digunakan pula istilah rule of law yang juga
dimaksudkan sebagai negara hukum. Meskipun
ketiga istilah tersebut (negara hukum, rechsstaat, dan
rule of law) terdapat pandangan yang menyamakan
dan membedakannya namun yang pasti ketiga konsep
tersebut mengusung tujuan yang sama yaitu untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh
penguasa secara sewenang-wenang agar hak asasi
manusia (yang selanjutnya disebut dengan HAM)
tetap terjamin dan terlindungi.
Sejarah perkembangan cita negara hukum
berawal dari konsep pemikiran Plato (427-347 SM)
yang kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles (384-322
SM). Plato dalam bukunya yang berjudul Politea
memberikan respons terhadap kondisi negara yang
memprihatinkan karena saat itu dipimpin oleh orangorang atas dasar kesewenang-wenangan. Ide Plato
dikembangkan lebih lanjut oleh Aristoteles. Dalam
pandangannya, suatu negara yang baik ialah negara
yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan
hukum. Pandangan ini termuat dalam karyanya yang
berjudul Politica. Ia juga mengemukakan bahwa
terdapat tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi,
yaitu: pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk
kepentingan umum, kedua, pemerintah dilaksanakan
menurut hukum yang berdasar ketentuan-ketentuan
umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenangwenang yang mengesampingkan konvensi dan
konstitusi, ketiga, pemerintah berkonstitusi, berarti
pemerintah yang dilaksanakan atas kehendak
rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan seperti yang
dilaksanakan pemerintahan despotis.
Ide mengenai negara hukum ini dalam
catatan sejarahnya pernah ditinggalkan orang dan
menghilang. Kemudian muncul kembali di “barat”
3
Muh. Hasrul, Penataan Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Provinsi Dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
pada awal abad XVII. Kemunculan ulang pemikiran
tentang negara hukum ini dilatari oleh situasi dan
kondisi yang sama ketika era Plato dan Aristoteles
mengemukakan idenya tentang negara hukum, yaitu
merupakan reaksi terhadap kekuasaan yang absolute
dan sewenang-wenang.2
Menurut Frederich Julius Stahl,3 ciri dari negara
hukum Eropa continental atau rechtsstaat meliputi:
mengakui dan melindungi hak asasi manusia; untuk
melindungi hak asasi tersebut penyelenggara negara
harus berdasarkan pada teori trias politica; dalam
menjalankan tugasnya, pemerintah berdasar atas
undang-undang atau wetmatig bestuur; apabila
dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undangundang pemerintah masih melanggar hak asasi
(campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi
seseorang), maka ada pengadilan administrasi yang
akan menyelesaikannya.
Selanjutnya teori negara hukum menurut
Rosenthal4 menegaskan bahwa: ada desentralisasi
keuangan, ada perimbangan dalam politik, ada
keterbukaan pemerintahan dan pertimbangan yang
cermat tentang kepentingan rakyat dalam setiap
keputusan pemerintah.
Sementara itu menurut Albert Venn Dicey
ciri dari negara hukum atau rule of law meliputi:
supremacy of law, dalam arti tidak boleh ada
kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya
boleh dihukum jika melanggar hukum; equality
before the law, artinya kedudukan yang sama di
depan hukum; human rights, yakni terjaminnya hak
asasi manusia oleh undang-undang dan keputusankeputusan pengadilan.
Konsep Negara Hukum juga dikemukakan oleh
Berman,5 The Rule Under Law yaitu mengadakan
pengaturan di bawah kewenangan hukum atau
mengadakan perubahan sebagaimana di atur hukum;
2
Pemikiran-pemikiran yang muncul pada abad XVII
ini, merupakan embrio konsep negara hukum yang makin
berkembang di abad XIX dan mengilhami pemikiran John
Locke (1632-1704), Charles de Secondat Baron de La Brede
et de Montesquieu (1689-1755), dan Jean Jacques Rousseau
(1712-1778).
3
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, 2002, h. 2. Lihat pula dalam Ni’matul Huda, 2007,
Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, h. 57.
4
M.A.P. Bovens, et.all., Rechts Staaten Sturing, W.E.J.
Tjeenk Willing, Zwolle, 1987, h. 54.
5
Ibid., h. 6
4
Rule of Law yang mencakup separation power, checks
and balances dan equality before the law.
Utrecht6 kemudian mengingatkan bahwa agar
Negara Hukum dapat terwujud sesuai tujuannya,
maka pada Negara Hukum itu harus didasarkan
pada: Pertama, Asas Legliteit, yaitu semua tindakan
alat-alat negara harus didasarkan atas hukum dan
dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang
mempunyai kekuasaan tertinggi dalam negara, yaitu
Undang-Undang Dasar yang terdiri atas peraturanperaturan hukum dan asas-asas hukum. Kedua, Asas
perlindungan kebebasan dan hak pokok manusia/
semua orang yang ada dalam wilayah negara.
Internasional Commission of Jurists dalam
konferensinya di Bangkok Tahun 1965 telah
memperluas konsep mengenai Rule of Law, Rule
of Law in The Modern Age. Disamping hak-hak
politik, hak-hak sosial dan ekonomi harus diakui dan
dipelihara, dalam arti bahwa harus dibentuk standarstandar dasar sosial dan ekonomi.
Hirch Ballin7 mengemukakan pandangannya
tentang ciri-ciri negara hukum, sebagai berikut:
Penguasa harus terikat pada hukum, Negara harus
menghormati hak-hak mengenyam kebebasan, Setiap
kebijakan pemerintah harus berdasarkan undangundang, Mengupayakan terwujudnya keadilan sosial;
dan Hukum harus jelas dan stabil.
Jimly Asshiddiqie8 mengemukakan bahwa ada
sebelas prinsip pokok negara hukum atau rechtsstaat
yang belaku di zaman sekarang. Kesebelas prinsip
pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang
menyangga bediri tegaknya negara hukum modern
yang meliputi: supremasi hukum atau Supremacy
of Law; persamaan dalam hukum atau Equality
Before the Law; azas legalitas atau Due Process of
Law; pembatasan kekuasaan; organ-organ eksekutif
independen; peradilan bebas dan tidak memihak;
peradilan tata usaha negara; peradilan tata negara;
perlindungan HAM; bersifat demokratis atau
Democratische Rechtsstaat; dan berfungsi sebagai
sarana mewujudkan tujuan bernegara atau Welfare
Rechtsstaat.
6
E. Utrech, Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1990, h. 132.
7
Hamzah Halim, H.S. Muh. Ikhsan Saleh, Persekongkolan
Rezim Politik Lokal, Study atas Relasi Antara Eksekutif dan
Legislatif, Pukap Indonesia, Makassar, 2009, h. 22.
8
Ibid., h. 23.
PERSPEKTIF
Volume 22 No. 1 Tahun 2017 Edisi Januari
Marbun dan Mahfud9 mengklasifikasikan negara
hukum dalam dua bentuk, yaitu: pertama, Legal
State (Negara Hukum yang Statis), yaitu negara
yang bertindak sebagai wasit, penjaga malam atau
menjamin keamanan yang dapat bertindak apabila
terdapat gangguan keamanan; dan kedua, Welfare
State (Negara Hukum Kesejahteraan/Dinamis)
yaitu negara hukum yang tidak semata-mata menjadi
penjaga malam tetapi juga menjadi penjamin
kesejahteraan warga masyarakat.
Penegasan Indonesia sebagai negara hukum yang
selama ini diatur di dalam penjelasan UUD 1945,
dalam perubahan ketiga UUD Tahun 1945 Pasal 1
ayat (3), yang menegaskan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara Hukum. Konsekuensi ketentuan ini
adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku
alat negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai
dengan hukum. Sekaligus ketentuan ini mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi
kekuasaan, baik yang diakukan oleh alat negara
maupun penduduk. Perbedaan yang paling asasi
dari Negara hukum Indonesia hanya terletak pada
dasar bertumpu yaitu keseimbangan hubungan antara
pemerintah dan rakyat.
Konsep Otonomi Daerah
Pemahaman tentang istilah otonomi secara
etimologi berasal dari bahasa/kata latin autos yang
bermakna sendiri, dan nomos yang berarti aturan.
Berdasarkan etimologi tersebut kata otonomi ini
berarti zelwetgeving atau pengundangan sendiri atau
mengatur/memerintah sendiri. Pemaknaan otonomi
menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian telah
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah terletak pada
adanya kewenangan untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat yang menurut Van der Pot10 makna dari
otonomi yaitu pada aspek pengaturan atau regeling
dan pengurusan atau bestuur urusannya sendiri.
Gie berpendapat bahwa otonomi adalah
wewenang untuk menyelenggarakan kepentingan
9
S.F. Marbun dan Moh. Mahfud, Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, h. 43.
10
Lihat dalam Bhenyamin Hoessein, “Kebijakan
Desentralisasi”, Jurnal Administrasi Negara, Vol. 1 No. 02
Tahun 2002.
sekelompok penduduk yang berdiam dalam
suatu lingkungan wilayah tertentu. Wewenang
penyelenggaraan yang dimaksudkan Gie dalam
otonomi yaitu wewenang untuk mengatur, mengurus,
mengendalikan, dan mengembangkan berbagai hal
yang dianggap perlu bagi kehidupan para penduduk.
Menurut Manan bahwa makna kemandirian
dalam pengertian otonomi daerah adalah kebebasan
karena tidak akan ada kemandirian tanpa dibarengi
dengan kebebasan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri. Namun menurut Hatta,
makna otonomi lebih pada penekanan aspek
demokrasi, karena menurut Hatta bahwa dengan
memberikan otonomi kepada daerah tidak saja berarti
melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong
berkembangnya auto-aktivitet. Auto-aktivitet artinya
bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang
dianggap penting bagi lingkungan sendiri dan dengan
berkembangnya auto-aktivitet, akan tercapailah
apa yang dimaksudkan dengan demokrasi yaitu
pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat untuk
rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya
sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki
nasibnya sendiri.
Hal senada juga tertuang dalam Pasal 1 angka 5
UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa otonomi daerah
adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-udangan. Secara
normatif otonomi daerah lebih bermakna hak dan
wewenang untuk mengurus kepentingan daerahnya
sendiri.
Operasionalisasi otonomi ini mencakup 2 (dua)
komponen utama otonomi. Pertama, komponen
wewenang menetapkan dan melaksanakan
kebijaksanaan sebagai komponen yang mengacu pada
konsep pemerintahan yang terdapat dalam pengertian
otonomi. Kedua, komponen kemandirian sebagai
komponen yang mengacu pada kata oleh, dari dan
untuk rakyat. Kemandirian ini mendorong tumbuhnya
aktivitas yang sebagaimana dikemukakan Moh. Hatta
sebagai prakarsa dan aktivitas sendiri.
Kaloh menegaskan bahwa otonomi adalah
kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah yang melekat baik pada lokal kesatuan
maupun pada lokal federasi karena kewenangan
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah berada
5
Muh. Hasrul, Penataan Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Provinsi Dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
pada pemerintah lokal yang kesatuannya meliputi
segenap kewenangan pemerintah kecuali bebarapa
urusan tertentu yang masih dipegang oleh pusat.11
Dengan diletakkannya mengenai sistem otonomi
di dalam UUD 1945, secara yuridis memberikan
landasan dan pedoman yang kuat bagi undang-undang
organik di bidang pemerintahan daerah di masa
datang. Pengaturan yang demikian ternyata telah
diakomodir oleh TAP MPR RI No. XV/MPR/1998
dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang diubah
dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.
Konsep Kewenangan
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang
diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak,
kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan
melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan
lain.12 Menurut Bagir Manan,13 wewenang dalam
bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan.
Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat
atau tidak berbuat. Dalam hukum wewenang berarti
hak dan kewajiban. Wewenang dalam kaitannya
dengan otonomi daerah adalah hak yang memiliki
pengertian kekuasaan mengatur sendiri atau
zelfregelen dan mengelola sendiri atau zelfbesturen.
Lubis menguraikan pengertian wewenang
dengan membedakan tugas atau functie adalah satuan
urusan pemerintahan yang dibebankan kepada organ
tertentu untuk dilaksanakan, dan wewenang adalah
pelaksanaan teknik urusan yang dimaksud.14
Dikemukan pula oleh Tonnaer 15 bahwa
kewenangan pemerintahan adalah kemampuan
untuk melaksanakan hukum positif, sehingga dengan
demikian dapat pemerintah dengan warga negara.
Sementara itu, Marbun16 memberikan pengertian
berbeda antara kewenangan dan wewenang.
Menurutnya kewenangan atau authority/gezag
adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap
11
J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Rineka Cipta,
Jakarta, 2002, h. 3.
12
Anton Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h. 101.
13
Ridwan HR., Op.Cit., h. 74.
14
M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju,
Bandung, 2002, h. 56.
15
Ridwan HR., Op.Cit., h. 27.
16
S.F. Marbun, dkk., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum
Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001, h. 122.
6
segolongan orang tertentu maupun terhadap sesuatu
bidang pemerintahan tertentu secara bulat. Sedangkan
wewenang atau competence, bevoegdheid hanya
mengenai bidang tertentu saja. Dengan demikian,
kewenangan berarti kumpulan dari wewenangwewenang atau rechtsbevoegdheden. Menurutnya,
wewenang adalah kemampuan untuk melakukan
suatu tindakan hukum publik atau kemampuan
bertindak yang diberikan peraturan perundangundangan untuk melakukan hubungan hukum.
Secara konseptual, istilah kewenangan tidak
bisa disamakan dengan istilah urusan pemerintahan,
karena kewenangan dapat diartikan sebagai hak atau
kewajiban untuk menjalankan satu atau beberapa
fungsi manajemen yaitu pengaturan, perencanaan,
pengorganisasian, pengurusan, pengawasan atas
suatu objek tertentu yang ditangani oleh pemerintah.
Cheema dan Rondinelli menyatakan bahwa
kewenangan lebih tepat diartikan dengan authority,
sedangkan Hans Antlov menggunakan istilah Power.
Kewenangan merupakan salah satu konsepsi inti
dalam Hukum Administrasi Negara. Kewenangan
adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan
yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberikan
oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif
administrasi.
Di dalam kewenangan terdapat wewenangwewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk
melakukan suatu tindakan hukum publik, misalnya
wewenang menandatangani/menerbitkan suratsurat izin dari seorang pejabat atas nama menteri,
sedangkan kewenangan tetap berada di tangan
menteri. Lahirnya Undang-Undang nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah era baru
bagi keberlangsungan pemerintahan di daerah.
Terkandung makna distribusi kekuasaan atau
distribution of power, daerah diberikan keleluasaan
untuk mengatur serta mengurus pemerintahannya
sendiri. Humes IV menjelaskan bahwa dasar
pendistribusian kewenangan antara pusat dan
daerah terdiri atas dua pendekatan yakni: pertama,
pendistribusian kewenangan atau distribution
of power berdasarkan pada basis kewilayahan
atau teritorial; dan kedua, berdasarkan pada basis
fungsional. Pada basis teritorial kewenangan untuk
menyelenggarakan urusan-urusan lokal yang
didistribusikan pada satuan wilayah atau state
local government dan pada pemerintahan lokal
PERSPEKTIF
Volume 22 No. 1 Tahun 2017 Edisi Januari
atau self local government. Pada basis fungsional,
kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan
lokal didistribusikan pada kementerian-kementerian
pusat yang bersifat khusus dan agen-agennya yang
berada di luar kantor pusatnya sebagai pelaksana
kebijakannya.
Adanya pemberian dan atau pembagian
wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah baik dalam bentuk atribusi maupun delegasi,
dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat
mengurus sendiri urusan rumah tangganya.Termasuk
didalamnya wewenang menetapkan peraturan sendiri
di daerah dalam rangka pemyelenggaraan urusan
rumah tangga daerah yang dikenal dengan Peraturan
Daerah.
Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah
Dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan
Indonesia, pemerintah daerah merupakan subsistem
dari pemerintahan negara. Berkenaan dengan hal
tersebut, maka terdapat hubungan antar tingkat
pemerintahan yang saling mempengaruhi sehingga
tercipta satu kesatuan pemerintahan negara. Dengan
demikian, dalam suatu pemerintahan negara terdapat
dua subsistem yaitu, pertama, Pemerintahan pusat
yang terdiri dari Presiden yang dibantu oleh para
menterinya; dan kedua, subsistem pemerintahan
daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD
dengan segenap perangkat daerah yang mendukung
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sampai
dengan pemerintah desa.
Urusan yang diserahkan kepada daerah disertai
dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana
dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan
urusan yang didesentralisasikan.Sedangkan urusan
pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur
disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang
didekonsentrasikan.
Dalam rangka melaksanakan urusan pusat yang
ada di daerah dilaksanakan oleh Kepala Pemerintahan
Provinsi atau Kepala Daerah Provinsi yang disebut
Gubernur sebagai wakil pusat di daerah dan instansi
vertikal yang menangani urusan pusat yang tidak
diserahkan kepada daerah. Sebagai wakil pusat
di daerah dalam konteks Integrated Prefectoral
System Gubernur mempunyai kewenangan untuk
mengkoordinir, mengawasi, melakukan supervisi
dan memfasislitasi agar daerah bawahannya mampu
menjalankan otonomi secara optimal. Gubernur juga
mempunyai Tutelage Power atau Kekuatan Perwalian/
Pengawasan, yaitu menjalankan kewenangan Pusat
untuk membatalkan kebijakan daerah bawahannya
yang bertentangan dengan kepentingan umum atau
pun peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Pola Hubungan Antara Gubernur Dengan Bupati/
Walikota Dalam Kaitannya Dengan Pelaksanaan
Tata Pemerintahan Yang Baik
Pembahasan mengenai pola hubungan antara
Gubernur dan Bupati/Walikota dalam rangka
mewujudkan tata pemerintahan yang baik atau
good governance tidak terlepas pada pembahasan
mengenai pola hubungan pusat dengan daerah
serta pola hubungan provinsi dengan kabupaten/
kota. Pola hubungan yang dimaksud ini tentunya
tidak dapat dilepaskan dalam kerangka teori bentuk
negara dan sistem pemerintahan Negara Republik
Indonesia. Bentuk Negara Republik Indonesia
sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (1)
UUD 1945 ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk
Republik. Perumusan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD
1945 dalam mendirikan negara yang kemudian
ditegaskan kembali dalam amandemen UUD 1945
dalam ketentuan Pasal 37 ayat (5) yang menyatakan
bahwa Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan RI
tidak dapat dilakukan perubahan. Sedangkan sistem
pemerintahan RI dalam kaitan dengan hubungan
pusat dan daerah adalah sebagaimana ditegaskan di
dalam Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945.
Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945
tersebut di atas merupakan dasar utama dalam
terbentuknya suatu pemerintahan di daerah. Di
samping itu, penerapan Pasal 18 UUD 1945 ini pun
merupakan cerminan demokrasi yang terlaksana
dalam proses desentralisasi. Melihat pada bentuk
Negara Indonesia, yaitu Negara Kesatuan dengan
wilayahnya yang luas dan jumlah penduduknya
yang banyak, maka tidak memungkinkan pemerintah
pusat dapat secara efektif menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan tanpa melibatkan perangkat daerah.
Oleh karena itu pemerintah pusat menyerahkan
beberapa kewenangannya kepada daerah otonom
ataupun kepada alat kelengkapan/organ atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu melalui
konsep desentralisasi dan dekonsentrasi. Dengan
menjalankan desentralisasi dengan pola pemencaran
7
Muh. Hasrul, Penataan Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Provinsi Dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
kekuasaan secara vertikal ini, maka tercipta suatu
hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa UUD
1945 menyatakan bahwa NKRI dibagi atas daerah
provinsi, kabupaten, dan kota. Pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan pemerintah pusat dilaksanakan melalui asas
dekonsentrasi dan tugas-tugas pembantuan. Dalam
NKRI, pemerintah memiliki peran yang sangat kuat
dalam menjaga kepentingan nasional dan pemerintah
memiliki kewenangan untuk menjamin bahwa
kebijakan nasional dapat dilaksanakan secara efektif
di seluruh wilayah Indonesia.
Penyerahan urusan pemerintahan yang sebagian
besar diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota
menuntut pemerintah untuk memastikan bahwa
kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan
tersebut sesuai dengan norma, standar, prosedur
dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, menempatkan posisi Gubernur selaku kepala
daerah provinsi sekaligus berkedudukan sebagai
wakil pemerintah di wilayah provinsi. Dalam hal
ini Gubernur mempunyai fungsi menjembatani dan
memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas
dan fungsi pemerintah dalam penyelenggaraan
pemerintahan di wilayah provinsi.
Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Gubernur
sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi
mempunyai tugas dan wewenang: Pembinaan
dan pengawasan, koordinasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah kabupaten/kota, Koordinasi
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Di samping pelaksanaan tugas tersebut, Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat mempunyai tugas:
Menjaga kehidupan berbangsa, bernegara dalam
rangka memelihara keutuhan NKRI; Menjaga dan
mengamalkan ideologi Pancasila dan kehidupan
demokrasi; Memelihara stabilitas politik; serta
Menjaga etika dan norma penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.
8
Idealnya, peran Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat untuk melaksanakan pembinaan,
pengawasan, koordinasi dan penyelarasan kegiatan
pembangunan di daerah akan dapat mengurangi
ketegangan yang selama ini sering terjadi pada
hubungan antara Bupati/Walikota dan Gubernur.
Perbedaan dalam memahami pola hubungan antar
kedua tingkatan pemerintahan tersebut cenderung
mempersulit koordinasi dan sinergi dalam
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di kabupaten/
kota.
Pengaturan peran Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat didasarkan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tatacara
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan
Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di
Wilayah Provinsi jo. Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tatacara
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan
Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di
Wilayah Provinsi. Pendanaan tugas dan wewenang
Gubernur sebagai wakil Pemerintah dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) melalui mekanisme dana dekonsentrasi
yang dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran
Kementerian Dalam Negeri. Dekonsentrasi
Kementerian Dalam Negeri merupakan bagian dari
Program Penguatan Penyelenggaraan Pemerintahan
Umum dan Kegiatan Penyelenggaraan Hubungan
Pusat dan Daerah serta Kerjasama Daerah.
Penguatan fungsi Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di wilayah provinsi juga
dimaksudkan memperkuat hubungan antar tingkatan
pemerintahan. Dalam pelaksanaan peran Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat, maka hubungan
antara Gubernur dengan Bupati/Walikota bersifat
bertingkat di mana Gubernur dapat melakukan
peran pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebaliknya
Bupati/Walikota dapat melaporkan permasalahan
yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan
di daerah, termasuk dalam hubungan antar kabupaten/
kota.
Hubungan antara pusat dan daerah dalam
penerapan desentralisasi tidak terlepas pada
pembicaraan mengenai konsep dasar otonomi
daerah. Sesuai dengan dasar pengertian otonomi
PERSPEKTIF
Volume 22 No. 1 Tahun 2017 Edisi Januari
bahwa suatu daerah otonom diberikan kemandirian/
kebebasan dalam mengatur dan mengurus urusan
rumah tangganya sendiri, namun kemandirian atau
kebebasan itu tidaklah mutlak karena bahwasannya
daerah pun masih membutuhkan campur
tangan pemerintah pusat terutama dalam bidang
pengawasan, keuangan, dan kewenangan. Selain
bidang pengawasan, keuangan, dan kewenangan,
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bidang
lain dalam pola hubungan antara pusat dan daerah,
yaitu dalam bidang pelayanan umum dan juga bidang
pemanfaatan sumber daya alam. Campur tangan
pemerintah pusat terhadap daerah otonom merupakan
kaitan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kepemerintahan adalah suatu institusi,
mekanisme, proses, dan hubungan yang komplek
melalui warga negara atau citizens dan kelompokkelompok yang mengartikulasikan kepentingannya,
melaksanakan hak dan kewajibannya dan menengahi
atau memfasilitasi perbedaan-perbedaan di antara
mereka. Gerald Meier17 memberikan pengertian good
governance, yaitu Prinsip mengatur pemerintahan
yang memungkinkan layanan publiknya efisien,
sistem pengadilannya bisa diandalkan, dan
administrasinya bertanggungjawab pada publik, dan
dimana mekanisme pasar merupakan pertimbangan
utama dalam proses pembuatan keputusan mengenai
alokasi sumberdaya.
Selanjutnya Sedarmayanti mengelompokkan
unsur-unsur kepemerintahan atau governance
stakeholders ke dalam 3 (tiga) kategori, yaitu:
Pertama, Negara/Pemerintahan: konsepsi
kepemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan
kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula
sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani
atau Civil Society Organization.
Kedua, Sektor Swasta: Pelaku sektor swasta
mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam
interaksi dalam sistem pasar, seperti: industri
pengolahan atau manufacturing, perdagangan,
perbankan, dan koperasi, termasuk kegiatan sektor
informal.
Ketiga, Masyarakat Madani atau Civil Society:
Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan
17
Kasman Abdullah, “Penyelenggaraan Pemerintahan
Dalam Konsep Good Governance”, Jurnal Meritokrasi, Vol. 1
No. 1, Makassar, 2002, h. 69.
pada dasarnya berada di antara atau di tengahtengah antara pemerintah dan perseorangan, yang
mencakup baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik,
dan ekonomi.18
Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa dalam sistem
negara modern yang berdasar pada supremasi hukum
dan konstitusi, negara, pasar, dan masyarakat
madani harus berada dalam kedudukan yang harus
seimbang, dan berada dalam hubungan sinergis dan
secara fungsional saling menunjang. Akan tetapi,
pembedaan di antara ketiganya dianggap penting
sehingga ketiganya tidak saling mengintervensi
ke dalam urusan masing-masing. Ketiga wilayah
atau domain kekuasaan itu mempunyai logika dan
hukum-hukumnya sendiri. Ketiganya diidealkan
harus berjalan seiring dan sejalan, sama-sama kuat
dan sama-sama saling mengendalikan satu sama
lain, tetapi tidak boleh saling mencampuri atau
dicampuradukkan.19
Menurut Miftah Thoha20 bahwa selain dari
komponen pemerintah, swasta, dan rakyat, satu
komponen yang amat menentukan untuk melahirkan
tata kepemerintahan yang baik adalah moral.
Moral menghubungkan dan bertaut erat pada
ketiga komponen tersebut yang saling berinteraksi
menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Moral
merupakan operasionalisasi dari sikap dan pribadi
seseorang yang beragama. Ajaran agama melekat
pada pribadi-pribadi yang berada pada ketiga
komponen tersebut. Dengan melaksanakan ajaran
agamanya pada masing-masing komponen tersebut,
maka moral masing-masing pelaku akan berperan
besar sekali dalam menciptakan tata pemerintahan
yang baik. Terdapat empat unsur atau prinsip utama
yang dapat memberi gambaran administrasi publik
yang berciri kepemerintahan yang baik yaitu sebagai
berikut:
Pertama, Akuntabilitas: Adanya kewajiban
bagi aparatur pemerintah untuk bertindak selaku
penanggungjawab dan penanggunggugat atas segala
tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya.
18
Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang
Baik), Bagian Kedua, Mandar Maju, Bandung, 2004, h. 38.
19
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan
Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press,
Yogyakarta, 2005, h. 43.
20
MiftahThoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 72.
9
Muh. Hasrul, Penataan Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Provinsi Dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
Kedua, Transparansi: Kepemerintahan yang baik
akan bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik di
tingkat pusat maupun daerah.
Ketiga, Keterbukaan: Menghendaki terbukanya
kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan
dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak
transparan.
Keempat, Aturan hukum: Kepemerintahan
yang baik mempunyai karakteristik berupa jaminan
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat
terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang
Bersih dan Bebas Dari Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme menyatakan bahwa Asas-Asas Umum
Penyelenggaraan Negara meliputi Asas Kepastian
Hukum; Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
Asas Kepentingan Umum; Asas Keterbukaan; Asas
Proporsionalitas; Asas Profesionalitas; dan Asas
Akuntabilitas.
Membicarakan tentang tata pemerintahan
Indonesia di daerah adalah sangat penting dalam
rangka mengetahui keseluruhan Tata Pemerintahan
NKRI. Selain itu, untuk mengetahui sejarah proses
perjalanan pemerintahan daerah yang sudah pernah
diterapkan sejak Indonesia Merdeka hingga sekarang,
apakah mempunyai makna terhadap kemajuan bangsa
atau malah mempersulit percepatan pembangunan
yang telah direncanakan oleh Pemerintah Pusat/
Daerah.
Tujuan pemerintah memilih konsep desentralisasi
adalah untuk lebih mempercepat tercapainya
kesejahteraan masyarakat. Memang, persoalan
otonomi daerah dapat dikatakan cukup kompleks
dan banyak dimensi, karena tidak hanya menyangkut
persoalan hukum dan pemerintahan saja, tetapi
juga terkait aspek ekonomi, sosial, politik, budaya,
hankam, dan bidang lainnya. Saat ini, tantangan
implementasi otonomi daerah cukup menantang.
Ke depan, fokus penyelenggaraan otonomi tidak
hanya menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi,
peningkatan peran serta masyarakat, tetapi juga
menciptakan pemerataan keadilan dan kesejahteraan.
Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
10
NKRI. Soenobo Wirjosoegito memberikan definisi
sebagai berikut: Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang oleh badan-badan umum yang lebih
tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah
untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan
kepentinga sendiri mengambil keputusan pengaturan
dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang
terjadi dari itu.
DWP. Ruiter mengungkapkan bahwa
desentralisasi terjadi dalam 2 (dua) bentuk, yaitu
desentralisasi teritorial dan fungsional, yang
dijabarkan sebagai berikut: Pertama, Desentralisasi
teritorial adalah memberi kepada kelompok yang
mempunyai batas-batas teritorial suatu organisasi
tersendiri, dengan demikian memberi kemungkinan
suatu kebijakan sendiri dalam sistem keseluruhan
pemerintahan. Kedua, Desentralisasi fungsional
adalah memberi kepada suatu kelompok yang
terpisah secara fungsional suatu organisasi sendiri,
dengan demikian memberi kemungkinan akan
suatu kebijakan sendiri dalam rangka sistem
pemerintahan.21
Desentralisasi atau pendesentralisasian
pemerintahan merujuk pada suatu upaya
restrukturisasi atau reorganisasi dari kewenangan
yang yang menciptakan tanggung jawab bersama
di antara lembaga-lembaga di dalam pemerintahan,
baik di tingkat pusat, regional maupun lokal
sesuai dengan prinsip saling menunjang yang
diharapkan pada akhirnya adalah suatu kualitas dan
efektifitas keseluruhan dari sistem pemerintahan
tersebut termasuk peningkatan kewenangan dan
kemampuan dari pemerintahan di tingkat lokal.
Desentralisasi bukan sekedar memindahkan sistem
politik dan ekonomi yang lama dari pusat ke daerah,
tetapi pemindahan tersebut harus pula disertai
oleh perubahan kultural menuju arah yang lebih
demokratis dan beradab. Melalui desentralisasi
diharapkan akan meningkatkan peluang masyarakat
untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan
kebijakan yang terkait dengan masalah sosial, politik,
ekonomi. Hal ini sangatlah dimungkinkan karena
karena fokus pengambilan keputusan menjadi lebih
dekat dengan masyarakat. Melalui proses ini maka
desentralisasi diharapkan akan mampu meningkatkan
penegakan hukum, meningkatkan efisiensi dan
efektifitas pemerintah, dan sekaligus meningkatkan
21
Ibid.
PERSPEKTIF
Volume 22 No. 1 Tahun 2017 Edisi Januari
daya tanggap, transparansi dan akuntabilitas
pemerintah daerah.
Dengan demikian, sistem desentralisasi
mengandung makna pengakuan penentu
kebijaksanaan pemerintah terhadap potensi dan
kemampuan daerah dengan melibatkan wakilwakil rakyat di daerah dengan menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan, dengan melatih diri
menggunakan hak yang seimbang dengan kewajiban
masyarakat yang demokratis.
Robert Reinowmengatakan bahwa ada 2 (dua)
alasan pokok dari kebijaksanaan membentuk
pemerintahan di daerah. Pertama, membangun
kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri sebagian
kepentingannya yang berkaitan langsung dengan
mereka. Kedua, memberi kesempatan kepada masingmasing komunitas yang mempunyai tuntutan yang
bermacam-macam untuk membuat aturan-aturan dan
programnya sendiri.22
Ada beberapa hal yang hendak dicapai dari
maksud konsep desentralisasi ini, antara lain:
Dengan otonomi daerah diharapkan kesejahteraan
rakyat lebih tercipta dan untuk penguatan demokrasi
lokal; Dengan otonomi daerah diharapkan
pemerintah daerah bisa memberikan pelayanan
publik yang lebih optimal; Dengan otonomi
daerah diharapkan pemerintah daerah mempunyai
program pembangunan dan rencana kerja sesuai
dengan kebutuhan masyarakat; Dengan otonomi
daerah diharapkan dapat menciptakan Tata Kelola
Pemerintah yang Baik.
Konsep di atas mempertegas bahwa konsep
otonomi daerah adalah untuk menciptakan tata kelola
pemerintahan yang baik. Tata kelola pemerintahan
yang baik itu sejatinya adalah zero corruption.
Korupsi itu awal bencana daerah karena membuat
kinerja pemerintahan daerah menjadi buruk. Tata
kelola keuangan yang baik itu idealnya uang rakyat
jatuh ke rakyat dalam program-program yang
pro rakyat. Ini memang menjadi problem dalam
desentralisasi. Tetapi, dengan perjalanan waktu dan
pembimbingan mestinya hal itu bisa diatasi.
Saat ini, kepala daerah sudah berpacu bagaimana
mengelola daerah dengan prinsip akuntabilitas
dan transparansi sebagai bentuk perwujudan tata
pemerintahan yang baik atau good governance.
Satu lagi penghambat penerapan good governance
22
Ibid.
adalah reformasi birokrasi di daerah yang belum
berjalan mulus. Kalau mau menciptakan tata
kelola pemerintahan yang baik, birokrasinya harus
direformasi terlebih dahulu, mulai dari kelembagaan
yang efisien, tidak perlu membentuk lembaga jika
tidak ada urgensinya. Sekarang masih terdapat daerah
yang organisasinya gemuk sehingga menyedot tenaga
aparatur dan seenaknya mengangkat aparatur. Imbas
dari birokrasi yang gemuk adalah APBD habis untuk
belanja aparatur ketimbang untuk pembangunan/
belanja publik.
Pola hubungan antar tingkat pemerintahan,
khususnya antara provinsi dan kabupaten/kota
dianggap penting karena menyangkut efektifitas
kinerja pemerintahan dalam melayani masyarakatnya.
Gubernur dituntut untuk mengimplementasikan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD), khususnya menyangkut targettarget yang telah ditetapkan. Tidak mungkin hal
tersebut dapat dilakukan tanpa dukungan dan
kerjasama dari kabupaten/kota. Hal ini tentu saja dapat
terwujud apabila tercipta suatu kondisi yang harmoni
(seiring-sejalan) antara provinsi dan kabupaten/kota
dalam hal pelaksanaan pembangunan. Dalam proses
penyusunan rencana atau perencanaan, maka alur
yang wajar adalah dari bawah ke atas atau bottom
up, tetapi kalau dalam hal pelaksanaan pembangunan,
prosesnya adalah dari atas ke bawah atau top down.
Dengan kata lain bahwa harus diciptakan suatu
mekanisme tersendiri yang mengikat secara hierarki
menyangkut pelaksanaan pembangunan.
Perspektif Undang-Undang Pemerintah Daerah
jika kita mencermati Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dapat dilihat jelas bahwa hubungan pemerintah,
pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota
memang mengalir dari pusat ke daerah. Dalam Pasal
2 ayat (4) menjelaskan bahwa pemerintahan daerah
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
memiliki hubungan dengan pemerintah dan dengan
pemerintahan daerah lainnya. Kemudian dalam ayat
(7) menjelaskan pula bahwa hubungan wewenang,
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam, dan sumber daya lainnya menimbulkan
hubungan administrasi dan kewilayahan antar
susunan pemerintahan.
Selanjutnya dalam Bab III tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan khususnya Pasal 13 dan 14
11
Muh. Hasrul, Penataan Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Provinsi Dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
disebutkan bahwa nyaris tidak ada bedanya antara
urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/
kota sebagaimana telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Ini artinya bahwa pelaksanaan
urusan pemerintahan didasarkan pada tingkat
pemerintahannya. Pada pasal itu disebutkan bahwa
urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah provinsi merupakan urusan dalam skala
provinsi sedangkan urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota
merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota.
Provinsi dan kabupaten/kota itu sudah seharusnya
bekerjasama dan saling berkoordinasi. Hal ini
diharuskan karena objek pembangunannya sama,
wilayah administrasinya juga sama, masyarakat
yang diayominya juga sama. Sesuai UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan pemerintah
pusat yang ditetapkan memang sedikit tetapi
mendasar dan strategis, sedangkan kewenangan
daerah ditetapkan lebih besar. Daerah kabupaten/
kota merupakan penerima kewenangan terbesar,
sedangkan daerah provinsi menerima kewenangan
yang sifatnya koordinasi, pengawasan, dan
pembinaan. Dasar pemikirannya adalah bahwa
kabupaten/kota merupakan unit pemerintahan yang
bersentuhan langsung dengan masyarakat, yakni
langsung melayani masyarakat. Oleh karena itu,
bobot kewenangan harus dititikberatkan pada unit
pemerintahan ini, bukan pada provinsi. Provinsi
diberi kewenangan melakukan koordinasi antar
kabupaten/kota yang berada di bawah koordinasinya.
Di samping itu, sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah, Gubernur juga diberi kewenangan untuk
melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
kabupaten/kota yang berada di lingkup wilayah
provinsinya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, pemerintah provinsi menganut asas
dekonsentrasi sekaligus desentralisasi. Berdasarkan
asas dekonsentrasi, maka provinsi merupakan
wilayah administrasi, sedangkan berdasarkan asas
desentralisasi, maka provinsi menjadi daerah otonom.
Implikasinya secara struktural adalah menjadikan
provinsi sebagai wilayah administrasi sekaligus
sebagai wilayah otonom.
12
Sebagai wilayah administrasi, provinsi menerima
kebijakan politik dari pemerintah pusat. Kebijakan
tersebut dilaksanakan oleh Gubernur sebagai kepala
wilayah administrasi. Pada konteks ini Gubernur
bertindak atas nama pemerintah pusat, bukan atas
nama kepala daerah otonom. Dalam hubungannya
dengan pemerintah kabupaten/kota, Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010
tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah di wilayah provinsi menjelaskan bahwa,
Gubernur sebagai wakil pemerintah memiliki tugas
melaksanakan urusan pemerintahan meliputi:
Pertama, koordinasi penyelenggaraan
pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi
dengan instansi vertikal, dan antar instansi vertikal
di wilayah provinsi yang bersangkutan; kedua,
koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara
pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah
daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang
bersangkutan; ketiga, koordinasi penyelenggaraan
pemerintahan antar pemerintahan daerah kabupaten/
kota di wilayah provinsi yang bersangkutan; keempat,
koordinasi dalam penyusunan, pelaksanaan dan
pengendalian serta evaluasi dalam rangka sinkronisasi
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) kabupaten dan kota agar mengacu
pada RPJPD, RPJMD, dan RKPD Provinsi serta
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN), dan Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) serta kebijakan pembangunan nasional yang
ditetapkan oleh pemerintah; kelima, koordinasi
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/
kota; keenam, pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/
kota; ketujuh, menjaga kehidupan berbangsa dan
bernegara serta memelihara keutuhan NKRI;
kedelapan, menjaga dan mengamalkan ideologi
Pancasila dan kehidupan demokrasi; kesembilan,
memelihara stabilitas politik; dan kesepuluh, menjaga
etika dan norma penyelenggaraan pemerintahan di
daerah.
PERSPEKTIF
Volume 22 No. 1 Tahun 2017 Edisi Januari
Selain melaksanakan urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur
sebagai wakil Pemerintah juga melaksanakan urusan
pemerintahan di wilayah provinsi yang menjadi
kewenangan pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dalam hal provinsi sebagai daerah otonom,
maka pemerintah kabupaten/kota bukanlah bawahan
dari provinsi. Tetapi pada konteks provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi, maka
pemerintah kabupaten/kota adalah bawahannya di
mana pemerintah kabupaten/kota adalah subordinat
wilayah administrasi provinsi. Hubungan provinsi
dengan kabupaten/kota adalah sesama daerah otonom
dalam hubungan koordinasi. Jadi bukan hubungan
hierarki antara atasan dengan bawahan.
Hal ini berimplikasi pula pada kedudukan
Gubernur dan Bupati/Walikota. Dalam hal Gubernur
sebagai kepala daerah otonom, maka Bupati/Walikota
bukanlah bawahan dari Gubernur. Tetapi pada
konteks Gubernur dalam kedudukannya sebagai
kepala wilayah administrasi, maka Bupati/Walikota
adalah bawahannya. Hubungan Gubernur dengan
Bupati/Walikota adalah sesama kepala daerah otonom
dalam hubungan koordinasi. Jadi bukan hubungan
hierarki antara atasan dengan bawahan.
Sebagaimana halnya provinsi, kabupaten/
kota juga menerima tugas pembantuan dari
pmerintah atasnya, yakni dari pemerintah pusat
dan pemerintah provinsi. Tugas pembantuan yang
diberikan pemerintah kepada kabupaten/kota meliputi
sebagian tugas politik luar negeri, pertahanan
dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama, dan kewenangan lainnya seperti kebijakan
tentang perencanaan nasional dan pengendalian
pembangunan secara makro, dana perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan
sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya
alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi
dan standardisasi nasional.
Sedangkan tugas pembantuan yang diberikan
provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/
kota meliputi sebagian tugas dalam bidang
pemerintahan dalam bidang tertentu lainnya, termasuk
juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau
belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota.
Adapun tugas pembantuan yang diberikan provinsi
sebagai wilayah administrasi kepada kabupaten/kota
mencakup sebagian tugas dalam bidang pemerintahan
yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil
pemerintah. Jadi tugas pembantuan yang diberikan
kepada kabupaten/kota adalah kewenangan yang
merupakan kompetensi pemerintah pusat dan
pemerintah provinsi (baik sebagai daerah otonom
maupun administrasi).
Untuk mencari konfigurasi pola hubungan antara
Gubernur dengan Bupati/Walikota, penulis mencoba
menganalogikannya dengan pola hubungan antara
pusat dengan provinsi, dalam hal ini membandingkan
pelaksanaan dekonsentrasi yang dilimpahkan oleh
pusat kepada provinsi (Gubernur), di mana setiap
kementerian/lembaga mempunyai agenda program
(sesuai Renstra masing-masing) yang pelaksanaannya
dilimpahkan ke provinsi.
Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 menegaskan bahwa beberapa pola
hubungan yang bersifat hubungan atasan-bawahan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
yang dapat diuraikan sebagai berikut: Dalam
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah di luar urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah
dapat: Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan
pemerintahan; Melimpahkan sebagian urusan
pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah; atau Menugaskan sebagian urusan
kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Pola sebagaimana dipaparkan di atas dapat
diterjemahkan ke dalam pola hubungan antara
Provinsi dengan kabupaten/kota yang dalam hal ini
dibebankan kepada Gubernur dan Bupati/kepala
daerah. Jika melihat gambar di atas, ada urusan
pemerintahan yang mutlak adalah urusan pemerintah
pusat dan ada beberapa urusan pemerintahan yang
menjadi urusan bersama antara pemerintah pusat
dengan daerah, baik provinsi maupun kabupaten/
kota. Pola pembagian urusan pemerintahan ini jika
kemudian diejawantahkan ke dalam pola hubungan
provinsi dengan kabupaten/kota, maka tentunya
tidak akan berbeda jauh. Urusan pemerintahan
yang merupakan urusan mutlak provinsi terhadap
kabupaten/kota sebagaimana termaktub dalam
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan
13
Muh. Hasrul, Penataan Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Provinsi Dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
urusan pemerintahan yang menjadi urusan bersama
tetap mengadopsi pola hubungan pusat dengan
daerah.
Pola hubungan kerjasama yang seperti ini
berimplikasi pada penggunaan anggaran negara, baik
APBN maupun APBD. Pada dasarnya, dalam konsep
dekonsentrasi, setiap dinas provinsi atau UPT pusat
yang menerima dekonsentrasi diberikan kekuasaan
untuk menyusun anggarannya sesuai kebutuhan
daerahnya dengan acuan program, indikasi kegiatan,
dan besaran anggaran yang sudah ditentukan oleh
pusat. Dengan pola seperti itu, maka secara otomatis
tercipta hubungan yang melembaga antara pemerintah
pusat dengan unit organisasi di bawahnya. Andai
saja tidak ada mekanisme dekonsentrasi seperti ini
mungkin saja akan sulit juga bagi pemerintah pusat
untuk menitipkan agenda programnya di daerah.
Selain itu, pola hubungan kelembagaan juga diyakini
tidak akan berjalan secara mulus karena memang
secara struktural dinas provinsi tidak langsung berada
di bawah kementerian atau lembaga tertentu di pusat.
Pola penganggaran yang demikian ini juga dapat
diejawantahkan ke dalam pola hubungan kerjasama
antara provinsi dengan kabupaten/kota. Dengan pola
penganggaran yang seperti ini, maka pemerintah
provinsi dapat pula menitipkan agenda programnya
di kabupaten/kota sehingga dapat menghemat APBD.
Kalau melihat mekanisme penganggaran sesuai
aturan keuangan negara dan pemerintahan daerah,
maka model yang paling sesuai untuk dilaksanakan
adalah dengan Tugas Pembantuan provinsi ke
kabupaten/kota atau desa. Hal ini sesuai dengan
ketentuan bahwa yang dimaksud dengan Tugas
Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah
kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta
dari pemerintah kabupaten/ kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu. Pelaksanaan Tugas
Pembantuan dalam pelaksanaan APBD provinsi ini
tentunya harus mendapat dukungan dari legislatif
(DPRD) karena memang harus dituangkan ke dalam
Perda APBD.
Pada pelaksanaan Tugas Pembantuan ini
Pemerintah Provinsi mempunyai alokasi anggaran
untuk ditugas pembantuankan ke kabupaten/kota
dan/atau desa melalui setiap SKPD masing-masing.
Alokasi anggaran dimaksud untuk membiayai
pelaksanaan program-program provinsi yang bersifat
14
khusus (tertentu). Ada beberapa alasan kenapa model
Tugas Pembantuan dari provinsi ke kabupaten/kota
atau desa ini perlu diterapkan: pertama, Dengan
Tugas Pembantuan ini, maka pelaksanaan programprogram provinsi di kabupaten/kota diharapkan
dapat seiring sejalan sesuai target yang ditetapkan;
kedua, Akan tercipta hubungan yang melembaga
lebih kuat antara SKPD di tingkat provinsi dengan
SKPD di tingkat kabupaten/kota; ketiga, Bantuan
Langsung Masyarakat (BLM) dapat juga di tugas
pembantuankan; keempat, Tercipta keterpaduan
perencanaan antara provinsi dan kabupaten/kota.
Untuk dapat menerapkan konsep di atas,
tentunya setiap SKPD provinsi harus sudah siap
dengan mekanisme pengaturan tugas pembantuan
berdasarkan sektornya masing-masing. Tim Anggaran
Pemerintah Daerah (TAPD) bersama-sama dengan
Panitia Anggaran Legislatif dalam hal ini menentukan
besarnya alokasi anggaran bagi pelaksanaan tugas
pembantuan di kabupaten/kota, sementara mekanisme
penggunaan dananya diserahkan kepada setiap SKPD
terkait.
Dengan dilaksanakannya pola hubungan yang
seperti demikian itu, maka hubungan kerjasama
antara Gubernur dengan Bupati/Walikota atau antara
provinsi dengan kabupaten/kota dapat berjalan
dengan optimal, sinergis, dan berkesinambungan.
Terkhusus mengenai anggaran pelaksanaan kegiatan
maupun urusan pemerintahan lainnya, dengan pola
hubungan kerjasama seperti yang telah dijelaskan
di atas, maka tentunya dapat mengefektifkan,
mengefisiensikan, serta mengoptimalkan penggunaan
anggaran pendapan dan belanja negara maupun
daerah. Dengan pola hubungan ini, tentu saja
perwujudan good governance dapat diwujudkan
sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara.
P e n a t a a n K e l e m b a g a a n Ya n g D a p a t
Mensinergikan Hubungan Kewenangan
Pemerintahan Yang Efektif Antara Pemerintah
Provinsi Dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
Hubungan antara Pemerintah Daerah Provinsi
dengan Pemeritah Kabupaten/Kota tidak lagi sebagai
hubungan hirarki yang berjenjang, tapi masingmasing berkedudukan sebagai daerah otonom. Begitu
pula dalam distribusi dan alokasi kewenangan antara
Pemerintah Daerah Provinsi dengan Kabupaten/
PERSPEKTIF
Volume 22 No. 1 Tahun 2017 Edisi Januari
Kota, mengalami pergeseran dan perubahan jika
dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya.23
Dengan adanya perubahan dalam kewenangan
bagi daerah provinsi dan kabupaten/kota tersebut,
pada giliran berikutnya akan dituntut mengadakan
perubahan atau penataan ulang kelembagaan di
Daerah. Struktur kelembagaan yang baik, selayaknya
sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan beban
kerja yang ada. Namun dalam penerapannya di
lapangan tidak semudah yang dibayangkan, pola
pikir birokrasi dan kepentingan birokrat yang sangat
menonjol menghasilkan kelembagaan yang belum
sesuai dengan yang diharapkan.
Kelembagaan pemerintah daerah yang rasional
yaitu Kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan
daerahnya bukan kebutuhan dari birokrat atau politisi
daerah. Kelembagaan yang rasional, efisien, efektif
dan profesional sesuai dengan kebutuhan perlu
dikedepankan sehingga kelembagaan pemerintah
daerah yang kelak terbentuk tidak menjadi beban,
baik bagi pemerintah itu sendiri maupun bagi
masyarakat yang mendapatkan layanannya.
Berkaitan dengan model pembagian urusan
pemerintahan sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya, perlu ada konsistensi urusan
pemerintahan yang ditangani oleh birokrasi di tingkat
nasional. Pemerintah pusat lebih banyak menangani
urusan yang bersifat kebijakan, standar, norma,
prosedur, dan kriteria, serta melakukan melakukan
pembinaan pembinaan dan pengawasan pengawasan
secara terus menerus. Pemerintah pusat juga perlu
lebih banyak melakukan kegiatan yang bersifat
outward looking untuk membangun wibawa di ranah
internasional, tidak lagi mengurusi kegiatan yang
bersifat teknis operasional, kecuali untuk urusan yang
masih menjadi kewenangan mutlak pemerintah pusat.
Dalam membangun sebuah struktur pemerintahan
daerah, maka yang perlu diperhatikan adalah
kebutuhan daerah dengan melihat obyek yang di
urus, bukan subyek yang mengurus. Obyek yang di
urus adalah masyarakat dengan segala kegiatannya.
Hal ini juga akan berkaitan dengan urusan wajib dan
urusan pilihan dari masing-masing daerah yang sudah
ditetapkan melalui Perda sebagai sebuah kontrak
23
Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan semenjak
berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang kemudian di revisi dengan UU Nomor 32
Tahun 2004 telah membawa banyak perubahan pada sistem
pemerintahan di daerah.
sosial. Sedangkan subyek yang mengurus adalah
birokrasi pemerintah, yang dari waktu ke waktu
pangkatnya semakin tinggi sehingga memerlukan
organisasi yang lebih besar dan eselon yang lebih
tinggi, yang pada gilirannya mendesak waktu
pangkatnya semakin tinggi sehingga memerlukan
organisasi yang lebih besar dan eselon yang lebih
tinggi, yang pada gilirannya mendesak terbangunnya
birokrasi yang besar. Hal ini terjadi apabila tidak
dikembangkan organisasi fungsional yang dapat
menampung tuntutan kenaikan jabatan dan pangkat
ke dalam pekerjaan yang lebih profesional sepanjang
hayat atau life long career.
Banyaknya persoalan kewenangan antar
pemerintahan yang terjadi dalam implementasi
otonomi daerah, khususnya antara Gubernur dengan
Bupati/Walikota, menyebabkan perlu adanya
pemikiran yang inovatif dalam merestrukturisasi
kelembagaan dalam pelaksanaan otonomi daerah
untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
otonomi daerah lebih banyak dibebankan kepada
kabupaten/kota sebagai daerah otonom, sedangkan
provinsi ditempatkan sebagai wilayah administrasi
dan juga sekaligus sebagai daerah otonom. Provinsi
diposisikan sebagai intermediate government
yang merupakan penyambung dan penghubung
kepentingan serta kewenangan yang bersifat
nasional dengan yang bersifat lokal. Kedudukan
Gubernur pada konteks ini ditempatkan sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah sekaligus pula sebagai
kepala daerah otonom.
Pembahasan masalah eksistensi Gubernur tidak
lepas dari konsepsi pemerintahan secara keseluruhan.
Harus dipahami, pemerintahan daerah merupakan
subsistem dari sistem pemerintahan negara secara
keseluruhan, seperti yang dicantumkan dalam
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah pusat bisa
melaksanakannya dengan cara sentralisasi (pemusatan
kekuasaan) atau desentralisasi. Dalam kaitan dengan
pemerintahan otonom, desentralisasi hanya mencakup
pemencaran kekuasaan di bidang otonomi. Posisi
Gubernur dalam konteks ini, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, ada 2 (dua) kedudukan, yaitu
sebagai Kepala Daerah Otonom yang kewenangannya
15
Muh. Hasrul, Penataan Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Provinsi Dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
atas delegasi24 dan sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah yang jelas sekali kewenangannya atas dasar
mandat25 karena kewenangannya mewakili pusat dan
atas kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat
didaerah, Gubernur harus bertanggungjawab kepada
Presiden.
Kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah
di daerah memiliki fungsi pembinaan, pengawasan
dan koordinasi urusan pemerintahan di daerah serta
tugas pembantuan. Dari sini bisa dilihat bahwa dalam
pelaksanaan otonomi daerah Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah memiliki kewenangan
dalam melakukan pembinaan, pengawasan dan
koordinasi urusan pemerintah di daerah.
Dalam pelaksanaan peran Gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat, maka hubungan antara
Gubernur dengan Bupati/Walikota bersifat bertingkat
di mana Gubernur dapat melakukan peran pembinaan
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Sebaliknya Bupati/Walikota
dapat melaporkan permasalahan yang terjadi dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk
dalam hubungan antar kabupaten/kota.
Berdasarkan asas dekonsentrasi, maka provinsi
merupakan wilayah administrasi, sedangkan
berdasarkan asas desentralisasi, maka provinsi
menjadi daerah otonom. Dalam hal provinsi sebagai
daerah otonom, maka pemerintah kabupaten/kota
bukanlah bawahan dari provinsi. Tetapi pada konteks
provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah
administrasi, maka pemerintah kabupaten/kota
adalah bawahannya di mana pemerintah kabupaten/
kota adalah subordinat wilayah administrasi provinsi.
Hubungan provinsi dengan kabupaten/kota adalah
sesama daerah otonom dalam hubungan koordinasi.
Jadi bukan hubungan hierarki antara atasan dengan
bawahan. Dalam hal Gubernur sebagai kepala daerah
otonom, maka Bupati/Walikota bukanlah bawahan
dari Gubernur. Tetapi pada konteks Gubernur dalam
kedudukannya sebagai kepala wilayah administrasi,
maka Bupati/Walikota adalah bawahannya.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka sangat
pantaslah untuk kemudian melakukan rekonstruksi
penataan kelembagaan dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah untuk mewujudkan tata pemerintahan
yang baik. Penataan kelembagaan yang dimaksud
disini adalah reposisi kedudukan Gubernur. Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 telah memberikan
penegasan terhadap kedudukan Gubernur sehingga
penulis memiliki gagasan konstruksi penataan
kelembagaan pemerintahan daerah yang dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar:
Konstruksi Penataan Kelembagaan
Pemerintahan Daerah
UUD 1945
24
Kewenangan Delegatif merupakan kewenangan yang
bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada
organ lain dengan dasar peraturan perundang-undangan.
Berbeda dengan kewenangan mandat, dalam kewenangan
delegatif tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada
yang diberi limpahan wewenang tersebut atau beralih pada
delegataris. Dengan begitu, si pemberi limpahan wewenang
tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah
ada pencabutan dengan berpegang pada azas contrarius actus.
Oleh sebab itu, dalam kewenangan delegatif peraturan dasar
berupa peraturan perundang-undangan merupakan dasar pijakan
yang menyebabkan lahirnya kewenangan delegatif tersebut.
Tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur
pelimpahan wewenang tersebut, maka tidak terdapat kewenangan
delegatif. Lihat Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi,
Bayumedia Publishing, Malang, 2004, h. 77-79.
25
Kewenangan Mandat merupakan kewenangan yang
bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat
atau badan yang lebih rendah. Kewenangan mandat terdapat
dalam hubungan rutin atasan bawahan, kecuali bila dilarang
secara tegas. Kemudian, setiap saat si pemberi kewenangan dapat
menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan tersebut.
Untuk mengetahui secara tepat bentuk perbuatan pemerintahan
yang dilakukan atas dasar wewenang mandat dapat dilihat dari
tanda atas nama (a.n.) ataupun tanda untuk beliau (u.b.). Lihat
Lutfi Effendi, Ibid.
16
UU No. 32 Tahun 2004
Pemerintah Pusat
Intermediate
Desentralisasi/
Dekonsentrasi
Provinsi
Gubernur
Kabupaten/Kota
Bupati/Walikota
Desentralisasi
Berdasarkan gambar di atas dapat dipahami
bahwa antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupaten/kota bukanlah hubungan hierarki
antara atasan dengan bawahan, begitu pula antara
PERSPEKTIF
Volume 22 No. 1 Tahun 2017 Edisi Januari
Gubernur dengan Bupati/Walikota. Pemerintah
Provinsi/Gubernur diposisikan sebagai Intermediate
government di mana Pemerintah Provinsi/Gubernur
menjadi titik tengah antara pemerintah pusat dengan
pemerintah kabupaten/kota.
Peran sebagai kepala daerah otonom dalam
relasi horizontal antara Gubernur dengan Bupati/
Walikota praktis merupakan pengalaman baru
sehingga berbagai bentuk praksis, yakni dialektika
teori dan praktek, tentang hubungan horizontal antar
pemerintah selalu dibutuhkan. Untuk sampai pada
dialektika itu, upaya-upaya menuju pencapaian suatu
tata kelola pemerintahan yang baik perlu dilihat dulu
dari tiga persepektif, yakni:
Pertama, Perspektif Internal Organisasi, yakni
masing-masing organisasi pemerintah dalam
dirinya sendiri bergerak ke arah perubahan untuk
kepentingan efisiensi organisasi di sisi input. Ini
umumnya mengambil wujud reformasi birokrasi,
kepegawaian, administrasi, atau sistem organisasi.
Pemerintah, dalam perspektif ini, melayani dirinya
sendiri.
Kedua, Perspektif Eksternal Organisasi, yakni
pemerintah berhubungan dengan publik atau
masyarakat luas dengan menggunakan cara-cara
yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi di
sisi output atau pun outcome. Bentuknya dapat dilihat
dari reformasi pelayan sosial dan ekonomi seperti
penyediaan infrastruktur kebutuhan dasar, perijinan,
dan lain-lain, dengan suatu standar tertentu. Dalam
perspektif ini, pemerintah melayani publik sebagai
pihak di luar organisasi.
Ketiga, Perspektif Antara, yakni hubungan antar
sesama organisasi pemerintah yang berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan bersama melalui pembangunan
konsensus, complementarity with embeddedness, atau
pun coproduction, yang pada prinsipnya merupakan
tindakan-tindakan kolektif berbasis negosiasi. Dalam
perspektif ini, suatu organisasi pemerintah melayani
organisasi pemerintah yang lain untuk pencapaian
tujuan bersama.
Perspektif yang terakhir lebih relavan untuk
dijadikan acuan dalam pembentukan hubungan
horizontal antar pemerintah karena sejumlah alasan.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa provinsi dan
kabupaten/kota adalah yurisdiksi-yurisdiksi otonom
dalam relasi horizontal, sehingga Gubernur dan
Bupati/Walikota adalah mitra yang sejajar. Sebagai
mitra sejajar, integrasi provinsi dan kabupaten/kota
tidak digerakkan oleh sebuah komando vertikal
ataupun dominasi. Selain itu, Perspektif Antara
ini sejalan dengan atribut yang melekat pada
masing-masing yurisdiksi, yakni setiap yurisdiksi
pada prinsipnya memiliki potensi dan kapasitas
tertentu yang berbeda (unik) sehingga melahirkan
kompetensi yang berbeda (unik) pula. Dalam relasi
yang horizontal, potensi, kapasitas, dan kompetensi
yang unik ini didayagunakan dalam wujud tindakantindakan kolektif dengan basis negosiasi.
Jika relasi horizontal provinsi dan kabupaten/kota
menunjukkan wajah Indonesia yang terdesentralisasi,
maka relasi vertikalnya menampilkan Indonesia
dalam rupa negara kesatuan. Relasi vertikal
pemerintah subnasional ini terjadi manakala Gubernur
memainkan perannya sebagai wakil pemerintah
pusat. Dalam peran ini Gubernur tidak lain adalah
pemerintah pusat di provinsi dan di kabupaten/
kota, sehingga lazim disebut sebagai kepala wilayah
administratif untuk membedakannya dari kepala
daerah otonom. Disini pemerintah pusat memiliki
agenda-agenda dan target-target pembangunan
tersendiri yang kemudian didelegasikan,
didekonsentrasikan, atau dialirkan sebagai tugas
pembantuan kepada Gubernur. Gubernur kemudian
mengimplementasikan kekuasaan otoritatif vertikal
itu dengan suatu derajat commanding power tertentu.
Sudah barang tentu proses pelaksanaan agendaagenda pemerintah pusat itu dan tingkat pencapaian
target-targetnya di daerah ditentukan oleh seberapa
jauh Gubernur mampu membina, mengawasi, dan
melakukan koordinasi dengan agen-agen daerah
dan pusat. Selain itu, pelaksanaan agenda-agenda
dan tingkat pencapaian target-target pemerintah
pusat ini ditentukan pula oleh seberapa jauh
Gubernur mampu memantau, mengevaluasi, serta
memberikan rekomendasi atas proses dan hasil
interaksi antara instansi-instansi vertikal pusat
dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota,
antar instansi vertikal pusat sendiri yang beroperasi
di daerah, pemerintah provinsi dengan kabupaten/
kota, serta antar pemerintah kabupaten/kota dalam
konteks dekonsentrasi ataupun tugas pembantuan.
Oleh karenanya, tugas sebagai wakil pemerintah
pusat ini tidak lain adalah tugas mengelola titik temu
kepentingan-kepentingan pusat dan daerah.
17
Muh. Hasrul, Penataan Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Provinsi Dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
Walau begitu, ada banyak kementerian dan
lembaga non kementerian yang beroperasi di daerah
sehingga tugas mengelola titik temu kepentingan ini
sesungguhnya pelik juga. Ada beberapa alasan untuk
itu, yakni Pertama, sampai sejauh ini belum tampak
pembedaan yang tajam antara organisasi perangkat
pendukung Gubernur sebagi wakil pemerintah pusat
dengan organisasi perangkat Gubernur sebagai
kepala daerah otonom. Dalam format Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010, operasi harian
wakil pemerintah pusat secara ex-officio dikendalikan
oleh sekretaris daerah yang ditopang oleh sebuah
sekretaris khusus. Format ini menuntut ketentuan
yang khusus pula mengenai pendayagunaan aparatur,
termasuk juga mengenai pembiayaan atas operasi
hariaannya. Dalam hal pendayagunaan aparatur,
dualisme sektoral masa lalu antara dinas daerah
dan kantor wilayah departemen berpotensi untuk
muncul kembali, khususnya jika diingat bahwa
selain tugas dekonsentrasi dalam jalur Kementerian
Dalam Negeri, ada pula tugas dekonsentrasi yang
dilimpahkan melalui jalur lembaga non kementerian
yang masing-masing memiliki perangkat institusi
(aturan, organisasi, dan tatalaksana) sendiri-sendiri,
termasuk Unit-unit Pelaksana Teknis, dan Badanbadan di luar Kementerian.
Kedua, tidak semua undang-undang sektoral
sepadan dengan Undang-Undang Pemerintahan
Daerah dan aturan turunannya. Hal-hal yang diatur
dalam undang-undang sektoral pada prinsipnya
kewenangan-kewenangan kementerian maupun
lembaga non kementerian di pusat. Jika implementasi
di daerah bertabrakan kewenangan-kewenangan
yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan
Daerah, konflik regulasi akan bertumpuk di tangan
Gubernur. Beberapa contoh tentang ini telah ditelisik
dalam, misalnya sektor kehutanan, perkebunan,
pertambangan, perairan laut, dan sebagainya. Konflik
regulasi, bahkan juga dualisme sektoral yang disebut
di atas, menagih pembentukan kerangka hukum
yang jauh lebih terintegrasi. Konflik itu tidak cukup
diselesaikan sepihak oleh satu undang-undang secara
parsial, misalnya Undang-Undang Pemerintah
Daerah atau undang-undang sektoral saja. Dengan
kata lain, pembentukan kerangka hukum yang lebih
terintegrasi akan menjadi agenda desentralisasi yang
lebih luas dan lebih panjang dari pada revisi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004.
18
Alasan ketiga lebih politis dari pada legalistis,
yakni meletakkan keberhasilan atau bahkan kegagalan
agenda-agenda dan target-target pembangunan
itu sebagai suatu politik citra, yang itu dipandang
sebagai keberhasilan atau kegagalan Pemerintah
Pusat, Gubernur, atau Bupati-Walikota. Pertanyaan
senada juga bisa dilontarkan untuk distribusi dana
dekonsetrasi melalui program-program pembangunan
yang langsung dilaksakan di tingkat pemerintahan
terbawah, figur politik siapakah yang dicitrakan.
Dalam konteks kompetensi politik yang tinggi di
Indonesia saat ini, citra tampaknya masih memainkan
peran yang penting, apalagi bila diingat konstituensi
Presiden, Gubernur, Bupati-Walikota, dan partai
politik yang berhimpit. Mengelola meeting pot,
tapi sekaligus juga kontestasi, kepentingan politik
semacam ini merupakan kepelikan tersendiri, karena
Gubernur, sebagaimana juga Presiden dan BupatiWalikota adalah agen-agen politik yang juga punya
kepentingan politik, sehingga citra, baik positif atau
pun negatif selalu sensitif secara politik pula.
Relasi di dalam tata kelola pemerintahan yang
baik, yakni melaksanakan desentralisasi secara
konsisten, hingga batas Gubernur memainkan porsi
peran sebagai wakil pemerintahan pusat atau kepala
wilayah administratif untuk dihadapkan sebagai
peran kepala daerah otonom. Dalam satu keadaan,
relasi ini dapat bersifat saling meniadakan, yakni
bilamana porsi peran sebagai Gubernur sebagai wakil
pemerintahan pusat atau kepala wilayah administratif
membesar, maka porsi peran sebagai kepala daerah
otonom dapat menyusut. Ini berarti agenda nasional
lebih mendominasi daripada agenda-agenda daerah.
Sebaliknya, peningkatan porsi peran Gubernur
sebagai kepala daerah otonom menurunkan porsi
peran Gubernur sebagai wakil pemerintahan pusat
atau kepala wilayah administratif.
Pengaturan yang lebih jauh tentang hal ini
sangat dibutuhkan, mengingat sekarang ini Indonesia
berada dalam konstelasi rezim desentralisasi yang
bagaimanapun menuntut aksentuasi agenda-agenda
daerah. Patut dicatat pula bahwa apa yang dimaksud
dengan agenda-agenda daerah itu sendiri tidaklah
tunggal karena di dalamnya terdapat agenda-agenda
kabupaten/kota dan provinsi masing-masing sebagai
daerah otonom.
Apa yang dibutuhkan dalam pengaturan itu
adalah keseimbangan antara dua peran itu agar
PERSPEKTIF
Volume 22 No. 1 Tahun 2017 Edisi Januari
desentralisasi tetap kentara mewarnai pembangunan
Indonesia yang berprinsip negara kesatuan. Ini adalah
agenda penting untuk menghilangkan kesan bahwa
penguatan Gubernur sebagai wakil pemerintahan
pusat atau kepala wilayah administratif adalah
proses resentralisasi yang mengutamakan agendaagenda pemerintah pusat dan melemahkan otonomi
provinsi dan kabupaten/kota. Penguatan Gubernur
secara normatif tetap harus dibaca dalam satu
tarikan napas, yakni sebagai penguatan Gubernur
wakil pemerintahan pusat atau kepala wilayah
administratif dan sekaligus sebagai kepala daerah
otonom, termasuk relasi Gubernur secara horizontal
dengan Bupati/Walikota yang juga sebagai kepala
daerah otonom. Pengaturan ini berisi azas-azas
penuntun dan anasir-anasir pokok tentang batasan
peran Gubernur sebagai wakil pemerintahan pusat
atau kepala wilayah administratif, sebagai kepala
daerah otonom, dan dalam relasi horisontalnya
dengan kabupaten-kota, serta yang paling penting
adalah keseimbangan yang harus dimainkan di antara
peran ganda itu.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dirangkum
sebuah strategi penguatan peran Gubernur yang
memuat pergerakan bertahap desentralisasi wewenang
kementerian dan lembaga non kementerian ke tangan
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah,
termasuk pemetaan kapasitas dan agenda perbaikan
kapasitas perangkat serta sistem pendukungnya.
Strategi ini dapat dipandang sebagai suatu gerakan
“Desentralisasi Generasi Kedua” di mana penguatan
hubungan antar pemerintah dan keseimbangan peran
Gubernur menjadi agenda pokoknya.
PENUTUP
Kesimpulan
Pola hubungan antara Gubernur dengan Bupati/
Walikota dalam kaitannya dengan pelaksanaan
tata pemerintahan yang baik adalah bahwa dalam
pelaksanaan peran Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat, maka hubungan antara Gubernur
dengan Bupati/Walikota bersifat bertingkat di
mana Gubernur dapat melakukan peran pembinaan
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Sebaliknya Bupati/Walikota
dapat melaporkan permasalahan yang terjadi dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk
dalam hubungan antar kabupaten/kota dengan
provinsi. Pola hubungan antar tingkat pemerintahan,
khususnya antara provinsi dan kabupaten/kota
dianggap penting karena menyangkut efektifitas
kinerja pemerintahan dalam melayani masyarakatnya.
Rekomendasi
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
dan diposisikan sebagai intermediate government
maka diperlukan pengaturan lebih jauh agar terjadi
penguatan hubungan antar pemerintah guna efektiitas
kinerja pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas
Dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2010 tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas
dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah
Provinsi.
Buku:
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Format Kelembagaan
Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, Yogyakarta: FH UII Press.
Bovens, M.A.P. (et.all), 1987, Rechts Staaten Sturing,
Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willing.
Effendi, Lutfi, 2004, Pokok-Pokok Hukum
Administrasi, Malang: Bayumedia Publishing.
Halim, Hamzah, 2009, Persekongkolan Rezim Politik
Lokal, Study Atas Relasi Antara Eksekutif dan
Legislatif, Makassar: Pukap Indonesia.
Huda, Ni’matul, 2007, Pengawasan Pusat Terhadap
Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, Yogyakarta: FH UII Press.
Kaloh, J., 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah,
Jakarta: Rineka Cipta.
Lubis, M. Solly, 2002, Hukum Tata Negara, Bandung:
Mandar Maju.
19
Muh. Hasrul, Penataan Hubungan Kelembagaan Antara Pemerintah Provinsi Dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
Marbun, S.F. dan Moh. Mahfud, 2000, Pokok-Pokok
Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta:
Liberty.
Marbun, S.F. dkk., 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran
Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII
Press.
Moeliono, Anton dkk., 1989, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Ridwan H.R., 2002, Hukum Administrasi Negara,
Yogyakarta: UII Press.
Sedarmayanti, 2004, Good Governance
(Kepemerintahan Yang Baik), Bagian Kedua,
Bandung: Mandar Maju.
20
Thoha, Miftah, 2004, Birokrasi dan Politik di
Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Utrech, E., 1990, Pengantar Hukum Administrasi
Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru.
Jurnal:
Abdullah, Kasman, “Penyelenggaraan Pemerintahan
Dalam Konsep Good Governance”, Jurnal
Meritokrasi, Vol. 1 No. 1, Makassar, 2002.
Hoessein, Bhenyamin, “Kebijakan Desentralisasi”,
Jurnal Administrasi Negara, Vol. 1 No. 02 Tahun
2002.